Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I
A. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian.
Perkembangan dunia bisnis dalam beberapa dekade ini telah banyak
mengalami kemajuan, diantaranya semakin banyak perusahaan yang bergerak
dalam berbagai bidang bisnis. Setiap pemilik perusahaan (principal)
mempunyai tujuan dalam mendirikan perusahaan. Tujuan untuk memproduksi,
mendistribusikan atau mengelola barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat
dengan ekonomis dan efisien yang pada akhirnya akan menghasilkan
keuntungan. Keuntungan yang diperoleh akan digunakan untuk kepentingan
pihak-pihak yang berhubungan dengan perusahaan serta digunakan untuk
kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut perusahaan memerlukan sumber
daya, seperti modal yang memadai, teknologi yang tepat, tempat produksi
serta tenaga kerja yang dapat bekerja dengan optimal. Tanpa adanya sumber
daya tersebut suatu perusahaan tidak akan dapat berjalan. Dalam
perkembangannya, dunia bisnis menunjukkan bahwa sumber daya manusia
merupakan faktor terpenting dari sumber daya yang dibutuhkan oleh
perusahaan. Tanpa adanya sumber daya manusia, maka perusahaan tidak dapat
menjalankan kegiatannya.
Sumber daya manusia atau karyawan merupakan aset penting perusahaan
karena perannya sebagai subyek dalam pelaksanaan kebijakan dan kegiatan
operasional perusahaan. Sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan, seperti
modal, metode dan mesin tidak dapat memberikan hasil yang optimal apabila
tidak didukung oleh sumber daya manusia yang memiliki kinerja (job
performance) yang tinggi. Oleh karena itu, peningkatkan kinerja perlu
diperhatikan agar karyawan dapat bekerja secara efisien dan menampilkan
kinerja yang dapat memberikan kontribusi terhadap produktivitas. Manajemen
perlu mengetahui bagaimana cara kerja dari tenaga kerja yang mereka miliki.
Apakah terjadi penurunan kinerja atau apakah kinerja karyawan telah sesuai
dengan ketentuan dan harapan perusahaan.
Karyawan perlu diolah dengan perencanaan yang baik. Untuk melakukan
pengolahan tersebut diperlukan suatu kepemimpinan yang mengatur
penggunaan sumber daya dengan maksimal. Pada awalnya, kajian mengenai
kepemimpinan memusatkan perhatian pada keperibadian yang merupakan
karakter pemimpin yang berhasil. Teori kepribadian (traits theory)
mengasumsikan pemimpin yang berhasil sudah merupakan takdir dan kualitas
bawaan lahir yang membedakan seorang pemimpin dengan non pemimpin.
Namun banyak yang mengkritik teori kepribadian ini karena pada
kenyataannya kepemimpinan dapat dilatih dan dikembangkan, sehingga kajian
beralih pada pendekatan perilaku dan gaya kepemimpinan.
Karyawan memerlukan motivasi untuk dapat bekerja secara lebih baik.
Melihat pentingnya karyawan dalam perusahaan, maka diperlukan perhatian
yang sangat serius terhadap tugas yang dikerjakan dalam rangka pencapaian
tujuan perusahaan. Dengan motivasi yang tinggi, maka karyawan akan

memiliki semangat bekerja, tidak mudah menyerah, dan hal tersebut


berdampak pada kinerja karyawan yang maksimal. Sebaliknya dengan
motivasi yang rendah, maka karyawan tidak akan memiliki semangat bekerja,
mudah menyerah dan akan berdampak pada kinerja karyawan yang tidak
maksimal.
Saat ini kita berada di abad ke-21, tantangan yang langsung kita hadapi
adalah globalisasi dengan segala implikasinya. Agar dapat memenangkan
persaingan, perusahaan harus berani dalam menghadapi tantangan perubahan
di masa datang. Permasalahan mengenai kinerja merupakan permasalahan
yang akan selalu dihadapi oleh pihak manajemen perusahaan, untuk itu
manajemen perlu memikirkan suatu strategi untuk meningkatkan kinerja
karyawan.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat diajukan
sebuah penelitian dengan judul Analisis Pengaruh Gaya Kepemimpinan
dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan.
1.2 Batasan Masalah Penelitian.
Dalam penelitian ini permasalahan yang diteliti dibatasi pada faktor gaya
kepemimpinan dan motivasi kerja.
1.3 Rumusan Masalah Penelitian.
Dengan latar belakang yang telah dijelaskan dapat dilihat bahwa kinerja
karyawan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dengan pertimbangan tersebut,
selanjutnya dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian, sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja
Karyawan?
b. Bagaimanakah pengaruh Motivasi Kerja terhadap Kinerja Karyawan?
1.4 Tujuan Penelitian.
Tujuan penelitian ini adalah, sebagai berikut:
a. Menganalisis pengaruh Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja Karyawan.
b. Menganalisis pengaruh Motivasi Kerja terhadap Kinerja Karyawan.
1.5 Manfaat Penelitian.
Manfaat penelitian ini adalah, sebagai berikut:
a. Bagi akademis.
Hasil penilitian ini diharapkan dapat memberikan bahan pembelajaran dan
pengaplikasian ilmu pengetahuan di bidang manajemen, khususnya dalam
bidang manajemen SDM.
b. Bagi institusi.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan pertimbangan
berkaitan dengan Gaya Kepemimpinan dan Motivasi Kerja terhadap
Kinerja Karyawan.
c. Bagi peneliti.
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai salah satu bahan kajian terutama
menyangkut perilaku organisasi khususnya Gaya Kepemimpinan dan
Motivasi Kerja terhadap Kinerja Karyawan.
1.6 Sistematika Penulisan Laporan Penelitian.
Sistematika penelitian dalam proposal ini sebagai berikut:
BAB I
: PENDAHULUAN

BAB II
BAB III

Bab ini berisi tentang latar belakang penelitian, batasan masalah


penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat
penelitian dan sistematika penulisan laporan penelitian.
: TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang rerangka teori dan penurunan hipotesa.
: METODE PENELITIAN
Bab ini berisi tentang obyek/subyek penelitian, jenis data, teknik
pengambilan sampel, teknik pengumpulan data, definisi
operasional variabel penelitian, uji kualitas instrumen dan data,
uji hipotesis untuk analisis data.

BAB II
B. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rerangka Teori.
2.1.1 Gaya Kepemimpinan.
2.1.1.1 Pengertian Gaya Kepemimpinan.
Dalam memimpin perusahaan, seorang pemimpin tidak dapat
terlepas dari gaya kepemimpinan. Setiap pemimpin mempunyai gaya
kepemimpinan yang berbeda-beda. Dalam memberikan motivasi
kepada bawahannya, berbagai cara dapat dilakukan oleh seorang
pemimpin dengan melakukan tindakan-tindakan yang selalu terarah
pada tujuan organisasi. Hal tersebut dimaksud untuk memaksimalkan
kinerja bawahan untuk pencapaian tujuan perusahaan. Cara atau
teknik seseorang dalam menjalankan kepemimpinan disebut gaya
kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan dipengaruhi oleh latar belakang dan
kepribadian dari pimpinan yang bersangkutan. Latar belakang
meliputi hal-hal seperti umur, pendidikan formal, dan pengalaman
pada suatu fungsi tertentu. Karakteristik kepribadian meliputi hal-hal
seperti kemauan pimpinan mengambil risiko dan toleransinya
(Anthony et al., 2009).
2.1.1.2 Model Gaya Kepemimpinan.
Menurut G.R. Terry yang dikutip oleh Donni dan Suwatno
(2011:156-157), mengemukakan ada 6 tipe kepemimpinan, yaitu:
a. Kepemimpinan Pribadi (Personal Leadership).
Dalam tipe ini pimpinan mengadakan hubungan langsung dengan
bawahannya, sehingga timbul kontak pribadi.
b. Kepemimpinan Non-Pribadi (Non-Personal Leadership).
Dalam tipe ini pimpinan tidak mengadakan hubungan langsung
dengan bawahannya, sehingga antara atasan dan bawahan tidak
timbul kontak pribadi.
c. Kepemimpinan Otoriter (Authoriterian Leadership).
Dalam tipe ini pimpinan memperlakukan bawahannya sewenangwenang, karena menganggap dirinya orang yang paling berkuasa,
bawahannya digerakkan dengan jalan paksa sehingga para pekerja
dalam melakukan pekerjaannya bukan karena ikhlas melainkan
karena takut.
d. Kepemimpinan Kebapakan (Paternal Leadership).
Dalam tipe ini pemimpin memperlakukan bawahannya seperti anak
sendiri, sehingga para bawahannya tidak berani mengambil
keputusan, segala sesuatu diserahkan kepada bapak pimpinan
untuk menyelesaikannya.
e. Kepemimpinan Demokratis (Democratis Leadership).
Dalam tipe ini pimpinan selalu mengadakan musyawarah dengan
para bawahannya untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang
sukar.

f. Kepemimpinan Bakat (Indigenous Leadership).


Dalam tipe ini pimpinan dapat menggerakkan bawahannya karena
mempunyai bakat untuk itu, sehingga bawahannya senang
mengikutinya. Tipe ini lahir karena bawaan sejak lahir.
Menurut Donni dan Suwatno (2011:157-158), kepemimpinan
dibagi menjadi 4 jenis kepemimpinan, yaitu:
a. Kepemimpinan Transaksional.
Kepemimpinan ini berfokus pada transaksi antar pribadi, antara
manajemen dan karyawan, dua karakteristik yang melandasi
kepemimpinan transaksional, yaitu:
a) Para pemimpin menggunakan penghargaan kontigensi untuk
memotivasi para karyawan.
b) Para pemimpin melaksanakan tindakan korektif hanya ketika
para bawahan gagal mencapai tujuan kinerja.
b. Kepemimpinan Kharismatik.
Kepemimpinan ini menekannkan perilaku pemimpin yang
simbolis, pesan-pesan mengenai visi dan memberikan inspirasi,
komunikasi non-verbal, daya tarik terhadap nilai-nilai ideologis,
stimulasi intelektual terhadap para pengikut oleh pimpinan,
penampilan kepercayaan diri sendiri dan untuk kinerja yang
melampaui panggilan tugas.
c. Kepemimpinan Visioner.
Kepemimpinan ini merupakan kemampuan untuk menciptakan
dan mengartikulasikan suatu visi yang realitas, dapat dipercaya,
atraktif dengan masa depan suatu organisasi atau unit organisasi
yang terus tumbuh dan meningkat.
d. Kepemimpinan Tim.
Menjadi pemimpin efektif harus mempelajari keterampilan seperti
kesabaran untuk membagi informasi, percaya pada orang lain atau
tim, menghentikan otoritas dan memahami kapan harus melakukan
intervensi.
Menurut Haryono Sudriamunawar (2006), terdapat 3
kepemimpinan, yaitu:
a. Gaya Otokratis, gaya kepemimpinan otokratis dapat pula disebut
tukang cerita, pemimpin otokratis biasanya merasa bahwa
mereka mengetahui apa yang mereka inginkan dan cenderung
mengekspresikan kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam bentuk
perintah-perintah langsung pada bawahan.
b. Gaya Partisipatif, gaya kepemimpinan partisipatif dikenal pula
dengan istilah gaya demokratis, gaya ini berasumsi bahwa para
anggota organisasi yang ambil bagian secara pribadi dalam proses
pengambilan keputusan akan lebih memungkinkan sebagai suatu
akibat mempunyai komitmen yang jauh lebih besar pada sasaran
dan tujuan organisasi, bukan tidak berarti para pemimpin tidak
membuat keputusan tapi justru para pemimpin seharusnya
memahami terlebih dahulu apakah yang menjadi sasaran

organisasi sehingga mereka dapat menggunakan pengetahuan para


anggotanya.
c. Gaya Kendali Bebas, istilah lain dari gaya ini yaitu laissez faire,
pendekatan ini tidak berarti tidak ada sama sekali pimpinan, ini
hanya berarti tidak ada adanya pimpinan langsung. Menurut
pendekatan ini suatu tugas disajikan kepada kelompok yang
biasanya menentukan teknik-teknik mereka sendiri guna mencapai
tujuan tersebut dalam rangka mencapai sasaran-sasaran
kebijaksanaan organisasi.
Menurut House Robbins yang dikutip oleh Donni dan Suwatno
(2011:158), gaya kepemimpinan dapat dibagi menjadi 4, yaitu:
a. Kepemimpinan Direktif.
Kepemimpinan ini membuat bawahan agar tahu apa yang
diharapkan pimpinan dari mereka, menjadwalkan kerja untuk
dilakukan, dan memberi bimbingan khusus mengenai bagaimana
menyelesaikan tugas.
b. Kepemimpinan yang Mendukung.
Kepemimpinan ini bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian
akan kebutuhan bawahan.
c. Kepemimpinan Partisipatif.
Kepemimpinan ini berkonsultasi dengan bawahan dan
menggunakan saran mereka sebelum mengambil keputusan.
d. Kepemimpinan Berorientasi pada Prestasi
Kepemimpinan ini menetapkan tujuan yang menantang dan
mengharapkan bawahan untuk berprestasi pada tingkat tertinggi
mereka.
Menurut Yusuf Suit, Almasdi (2000), gaya kepemimpinan dapat
dibedakan sebagai berikut:
a. Demokrasi, setiap orang dapat memberikan pokok-pokok pikiran
melalui saluran tertentu. Kelemahannya adalah segala sesuatu
yang hendak dicapai berjalan lamban dan tidak jarang menemui
kesulitan dalam menyatukan pokok-pokok pikiran, sehingga tidak
mustahil pula ada yang hendak dituju itu menjadi tertunda-tunda
atau terbengkalai. Tetapi, jika dapat berjalan dengan ketentuanketentuan yang telah digariskan bersama, hasilnya akan baik.
b. Diktator atau otoriter, orang yang dapat menghemat waktu, tetapi
banyak sekali pokok-pokok pikiran yang tertampung dan bahkan
tidak mustahil pula ditemui kegagalan-kegagalan, karena segala
sesuatunya berjalan menurut selera penguasa tertinggi yang
kadang-kadang tidak terkendali dengan baik.
c. Konsultatif, kebiasaan yang dilakukan seorang pemimpin sebelum
mengambil keputusan adalah memanggil staf atau bawahan
tertentu, untuk berkonsultasi meminta pandangan atau pikiran.
Menurut M.S.P. Hasibuan (Edisi Revisi 2011), terdapat 3 gaya
kepemimpinan, yaitu:

a. Kepemimpinan Otoritas, adalah jika kekuasaan atau wewenang


sebagian besar mutlak tetap berada pada pimpinan atau kalau
pimpinan itu menganut sistem sentralisasi wewenang.
Pengambilan keputusan dari kebijaksanaan hanya ditetapkan
sendiri oleh pimpinan, bawahan tidak diikutsertakan untuk
memberikan saran, ide dan pertimbangan dalam proses
pengambilan keputusan.
b. Kepemimpinan
Partisipatif,
adalah
apabila
dalam
kepemimpinannya dilakukan dengan cara persuasif, menciptakan
kerjasama yang serasi, menumbuhkan loyalitas dan partisipasi
para bawahan. Pimpinan memotivasi bawahan agar merasa ikut
memiliki perusahaan.
c. Kepemimpinan
Delegatif,
adalah
seorang
pemimpin
mendelegasikan wewenang kepada bawahan dengan lengkap,
dengan demikian bawahan dapat mengambil keputusan dan
kebijaksanaan dengan bebas atau leluasa dalam melaksanakan
pekerjaannya. Pimpinan tidak peduli cara bawahan mengambil
keputusan dan mengerjakan pekerjaannya, sepenuhnya diserahkan
kepada bawahan.
Adapun gaya kepemimpinan menurut Edy Sutisna (222-224),
terdapat 10 gaya kepemimpinan, yaitu:
a. Gaya Persuatif, yaitu gaya memimpin dengan menggunakan
pendekatan yang menggungah perasaan, pikiran, atau dengan kata
lain dengan melakukan ajakan atau bujukan,
b. Gaya Refrensif, yaitu gaya kepemimpinan dengan cara
memberikan tekanan-tekanan, ancaman-ancama, sehingga
bawahan merasa ketakutan.
c. Gaya Partisipatif, yaitu gaya kepemimpinan dimana memberikan
kesempatan pada bawahan untuk ikut secara aktif baik mental,
spiritual, fisik, maupun materiil dalam kiprahnya di organisasi.
d. Gaya Inovatif, yaitu pemimpin yang selalu berusaha dengan keras
dengan mewujudkan usaha-usaha pembaruan disegala bidang,
baik bidang politi, sosial, budaya, ekonomi, atau setiap produk
terkait dengan kebutuhan manusia.
e. Gaya Investigatif, yaitu gaya pemimpin yang selalu melakukan
penelitian yang disertai dengan rasa penuh kecurigaan terhadap
bawahannya sehingga menimbulkan yang menyebabkan
kreativitas, inovasi, serta inisiatif dari bawahan kurang
berkembang, karena bawahan takut melakukan kesalahan.
f. Gaya Inspektif, yaitu pimpinan yang suka melakukan acara-acara
yang sifatnya protokorer, kepemimpinan ini menuntut
penghormatan bawahan, atau pimpinan yang senang dihormati.
g. Gaya Motivatif, yaitu pimpinan yang dapat menyampaikan
informasi mengenai ide-idenya, program-program, dan kebijakankebijakan kepada bawahan dengan baik. Komunikasi tersebut
membuat segala ide, program, dan kebijakan yang dapat dipahami

oleh bawahan sehingga bawahan ingin merealisasikan semua ide,


program, dan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan.
h. Gaya Naratif, yaitu pimpinan yang bergaya naratif merupakan
pimpinan yang banyak bicara namun tidak disesuaikan dengan apa
yang ia kerjakan, atau dengan kata lain pimpinan yang banyak
bicara tapi sedikit bekerja.
i. Gaya Edukatif, yaitu pimpinan yang suka melakukan
pengembangan bawahan dengan cara memberikan pendidikan dan
keterampilan kepada bawahan, sehingga bawahan memiliki
wawasan dan pengalaman yang lebih baik dari hari kehari.
Sehingga pimpinan yang bergaya edukatif tidak akan pernah
menghalangi bawahannya yang ingin mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan.
j. Gaya Retrogresif, yaitu pimpinan tidak suka melihat maju, apalagi
melebihi dirinya. Untuk itu pemimpin yang bergaya retrogresif
selalu menghalangi bawahannya untuk mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan, sehingga dengan kata lain
pemimpin yang bergaya ini sangat senang dengan bawahannya
selalu terbelakang, bodoh dan sebagainya.
2.1.2 Motivasi Kerja.
2.1.2.1 Pengertian Motivasi Kerja.
Motivasi adalah keinginan dalam diri seseorang yang menyebabkan
orang tersebut bertindak (Malthis, 2006: 114). Menurut Handoko
(1999), motivasi diartikan sebagai keadaan dalam pribadi seseorang
yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatankegiatan tertentu guna tujuan. Teori motivasi manusia yang
dikembangkan oleh Maslow dalam Malthis, 2006, mengelompokkan
kebutuhan manusia menjadi lima kategori yang naik dalam urutan
tertentu. Sebelum kebutuhan lebih mendasar terpenuhi, seseorang
tidak akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.
Hierarki Maslow yang terkenal terdiri atas kebutuhan fisiologi,
kebutuhan akan keselamatan dan keamanan, kebutuhan akan
kebersamaan dan kasih sayang, kebutuhan akan aktualisasi diri.
Menurut Arep (2003: 51), ada sembilan faktor motivasi, yang dari
kesembilan tersebut dapat dirangkum dalam enam faktor secara garis
besar, yaitu:
1. Faktor kebutuhan manusia.
a. Kebutuhan dasar (ekonomis).
Kebutuhan dasar yang dimaksud disini adalah kebutuhan akan
makanan, pakaian, dan perumahan yang biasa disebut sebagai
kebutuhan primer. Untuk memenuhi kebutuhan dasar ini
seseorang akan bekerja keras dengan mengerahkan segala
kemampuannya, karena kebutuhan makanan, pakaian, dan
perumahan merupakan kebutuhan yang paling mendasar yang
harus dipenuhi.
b. Kebutuhan rasa aman (psikologis).

Yang termasuk dalam kategori kebutuhan psikologis disini


diantaranya adalah kebutuhan akan status, pengakuan,
penghargaan, dan lain-lain. Menurut Arep (2003: 61),
keinginan karyawan untuk mencapai status tertentu atau untuk
menjadi seorang tokoh, bukan saja berarti bahwa karyawan
harus mempunyai kesempatan lebih banyak untuk mencapai
kemajuan, akan tetapi juga harus bersedia menerima
kewajiban-kewajiban lebih banyak. Artinya motivasi untuk
meraih status yang diidam-idamkan akan melekat kuat dalam
dirinya.
c. Kebutuhan sosial.
Menurut Robert Carison: Satu cara meyakinkan para
karyawan betah bekerja adalah dengan meyakinkan bahwa
dirinya memiliki banyak mitra di organisasi. Karyawan dalam
suatu organisasi memerlukan berinteraksi dengan sesama
karyawan dan dengan sesama atasannya serta menumbuhkan
pengakuan atas prsetasi kerjanya.
2. Faktor Kompensasi.
Menurut Handoko (2001: 155), kompensasi adalah segala
sesuatu yang diterima para karyawan sebagai balas jasa bekerja.
Apabila kompensasi diberikan secara benar, para karyawan akan
lebih terpuaskan dan termotivasi untuk mencapai sasaran-sasaran
organisasi. Kompensasi penting bagi karyawan, karena
kompensasi mencerminkan nilai karya karyawan itu sendiri,
keluarga, dan masyarakat. Dalam hal pemberian gaji beberapa
faktor yang harus diperhatikan, diantarannya:
a. Arti gaji bagi karyawan.
Bagi seorang karyawan, gaji mempunyai arti yang mendalam,
yakni sesuatu yang dapat mempengaruhi tingkat kehidupan
karyawan yang bersangkutan bersama keluarganya.
b. Dasar pemberian gaji.
Ada beberapa dasar dalam pemberian gaji. Satu diantaranya
adalah hasil kerja yakni gaji diberikan berdasarkan jumlah
atau nilai barang yang dijial atau yang dihasilkan.
3. Faktor Komunikasi.
Menurut Arep dalam manajemen personalia (2003: 81),
komunikasi yang lancar adalah komunikasi terbuka dimana
informasi mengalir secara bebas dari atas ke bawah atau
sebaliknya. Dalam suatu organisasi komunikasi perlu dijalin
secara baik antara atasan dengan bawahan atau sesama bawahan,
karena dengan komunikasi yang lancar maka arus komunikasi
akan berjalan lancar pula serta tidak terjadi adanya mis
komunikasi yang akan mengakibatkan kesimpang siuran dalam
melaksanakan pekerjaan dalam organisasi. Dengan komunikasi
yang lancar kebijakan organisasi akan dapat lebih mudah
dimengerti.

10

4. Faktor Kepemimpinan.
Menurut Arep dalam manajemen personalia (2003: 93),
kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk menguasai
atau mempengaruhi orang lain atau masyarakat yang berbeda-beda
menuju pencapaian tertentu.
5. Faktor Pelatihan.
Menurut Arep (2003: 108), pelatihan merupakan salah satu
usaha untuk mengembangkan sumber daya manusia, terutama
dalam hal pengetahuan, kemampuan, keahlian, dan sikap. Manfaat
pelatihan bagi karyawan adalah:
a. Meningkatkan motivasi.
b. Meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan
dalam melaksanakan tugas sehari-hari.
c. Meningkatkan rasa percaya diri dan menghilangkan rasa
rendah diri.
d. Memperlancar pelaksanaan tugas.
e. Menumbuhkan sikap positif terhadap organisasi.
f. Meningkatkan semangat dan gairah kerja.
g. Mempertinggi rasa peduli terhadap organisasi.
h. Meningkatkan rasa saling menghargai antar karyawan.
i. Memberikan dorongan bagi karyawan untuk menghasilkan
yang terbaik.
j. Memberikan dorongan bagi karyawan untuk memberikan
pelayanan yang terbaik.
6. Faktor Prestasi.
Penilaian prestasi kerja karyawan bagi organisasi merupakan
sarana untuk mengembangkan sumber daya manusia. Sedangkan
bagi karyawan penilaian prestasi dapat memacu semangat kerja,
guna peningkatan kinerja selanjutnya. Karena dengan penilaian
prestasi ini akan merasa bahwa hasil kerja mereka diakui oleh
pihak organisasi. Hal ini merupakan sumber motivasi kerja yang
sangat mempengaruhi kinerja karyawan.
2.1.2.2 Model Motivasi.
Para manajer mempunyai beberapa model pandangan tentang
bagaimana mereka dapat memotivasi bawahannya. Ranupandojo dan
Suad Husnan (1995, hal 201-202), mengemukakan ada tiga model
pandangan tentang motivasi sebagai berikut:
a. Model Tradisional.
Untuk memberikan dorongan kepada karyawan agar melakukan
pekerjaan mereka dengan berhasil, para manajer menggunakan
sistem upah insentif, semakin banyak mereka menghasilkan,
semakin besar penghasilan mereka.
b. Model Hubungan Manusiawi.
Para manajer bisa memotivasi para karyawan dengan mangakui
kebutuhan sosial mereka dan mencoba memotivasi mereka dengan
meningkatkan kepuasan kerjanya.

11

c. Model Sumber Daya Manusia.


Menurut model ini, tugas manajer bukanlah menyuap para
karyawan dengan upah yang tinggi untuk mau melakukan apa
yang diinginkan oleh manajer seperti model tradisional atau
memanipulir mereka dengan cara yang lebih manusiawi seperti
model hubungan manusiawi, tetapi adalah untuk mengembangkan
tanggung jawab bersama untuk mencapai tujuan organisasi dan
anggota organisasi dimana setiap karyawan mengembangkan
sesuai dengan kepentingan dan kemampuan mereka.
Secara skematis urutan perkembangan pandangan tentang motivasi
dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Model Tradisional

Memberi insentif dalam wujud uang


Model Hubungan Manusiawi

Melayani kebutuhan sosial karyawan


Model Sumber Daya Manusia

Memberi tanggung jawab yang lebih besar


2.1.3

Kinerja.
2.1.3.1 Pengertian Kinerja Karyawan.
Kinerja dapat diartikan sebagai pencapian tugas, dimana seseorang
harus bekerja sesuai dengan program yang telah ditetapkan dalam
rangka pencapaian tujuan tertentu.
Kinerja karyawan (job performance) dapat diartikan sebagai sejauh
mana seseorang melaksanakan tanggung jawab dan tugas kerjanya
(Singh et al., 1996), Faustino Gomes (1995), mengatakan performansi
pekerjaan adalah catatan hasil atau keluaran (outcomes) yang
dihasilkan dari suatu fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu

12

dalam suatu periode waktu tertentu. Sedangkan pengukuran


performasi menurut Faustino Gomes (1995) merupakan cara untuk
mengukur tingkat kontribusi individu kepada organisasinya. Kinerja
karyawan umumnya diposisikan sebagai variabel dependen dalam
penelitian-penelitian empiris karena dipandang sebagai akibat atau
dampak dari perilaku organisasi atau praktik-praktik sumber daya
manusia bukan sebagai penyebab atau determinan.
Faustino Gomes (1995), lebih lanjut menjelaskan terdapat dua
kriteria pengukuran performansi atau kinerja karyawan, yaitu (1)
pengukuran berdasarkan hasil akhir (result-based performance
evalution); dan (2) pengukuran berdasarkan perilaku (behavioralbased performance evalution). Pengukuran berdasarkan hasil,
mengukur kinerja berdasarkan pencapaian tujuan organisasi. Tujuan
organisasi ditetapkan oleh pihak manajemen, kemudian karyawan
dipacu dan dinilai performanya berdasarkan seberapa jauh karyawan
mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan. Kriteria pengukuran
ini mengacu pada konsep management by objective (MBO).
Keuntungan pengukuran kinerja karyawan seperti ini adalah
adanya kriteria-kriteria dan target kinerja yang jelas dan secara
kuantitatif dapat diukur. Namun demikian, kelemahan utama adalah
dalam praktik kehidupan organisasi, banyak pekerjaan yang tidak
dapat diukur secara kuantitatif sehingga dianggap mengabaikan
dimensi-dimensi kinerja yang sifatnya non kuantitatif (Faustino
Gomes, 1995).
Pengukuran berdasarkan perilaku lebih menekankan pada cara atau
sarana (means) dalam mencapai tujuan, dan bukan pada pencapaian
hasil akhir. Pengukuran berdasarkan perilaku cenderung pada aspek
kualitatif daripada aspek kuantitatif yang terukur. Pengukuran
berdasarkan perilaku umumnya bersifat subyektif dimana diasumsikan
karyawan dapat menguraikan dengan tepat kinerja yang efektif untuk
dirinya sendiri maupun untuk rekan kerjanya (Faustino Gomes, 1995).
Pengukuran berdasarkan perilaku mendapat perhatian luas dari
penelitian-penelitian mengenai perilaku organisasi dan sumber daya
manusia karena terbukti skala pengukuran subyektif mempunyai
konsistensi (reliabilitas) yang tidak kalah dengan pengukuran obyektif
(Sing et al., 1996). Kelemahan utama kriteria pengukuran ini adalah
rentan terhadap bias pengukuran karena kinerja diukur berdasarkan
persepsi. Untuk mengatasi hal tersebut, Babin dan Boles (1998), Bono
dan Judge (2003) serta Sing et al. (1996), menyarankan penggunaan
instrumen yang mengukur kinerja dari banyak aspek perilaku spesifik,
seperti perilaku inovatif, pengambilan inisiatif, tingkat potensi diri,
manajemen waktu, pencapaian kuantitas dan kualitas pekerjaan,
kemampuan diri untuk mencapai tujuan, hubungan dengan rekan kerja
dan pelanggan, dan pengetahuan akan produk perusahaannya serta
produk pesaing (product knowladge). Cara ini menurut Judge dan
Bone (2003), selain ditunjukkan untuk mengatasi bias pengukuran

13

juga dimaksudkan untuk mengakomodirukuran-ukuran kinerja yang


sangat luas, sehingga diperoleh gambaran job performance yang
komprehensif.
2.1.3.2 Penilaian Kinerja.
Setiap perusahaan apapun bidang bisnisnya akan selalu
membutuhkan manusia untuk menjalankan aktivitas perusahaan.
Untuk itu perusahaan perlu menilai bagaimana kinerja dari tiap-tiap
karyawannya. Penilaian kinerja merupakan proses melalui mana
organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja
karyawan (Hani Handoko, 1996, hal 135).
Keterangan lain tentang penilaian kinerja diungkapkan oleh Joseph
Tiffin, dimana dia mendefinisikan penilaian kinerja sebagai sebuah
penelitian sistematis dari seorang karyawan oleh atasannya atau
beberapa orang ahli lainnya yang paham akan pelaksanaan pekerjaan
karyawan atau jabatan itu. Sedikit berbeda dengan Tiffin, Roger
Bellows merumuskan penilaian kinerja sebagai sebuah penilaian
periodik secara sistematis akan peranan daripada seseorang terhadap
organisasi, biasanya dilakukan oleh seorang supervisor atau seorang
yang ahli lainnya dalam situasi memperhatikan cara pelaksanaan
pekerjaan (Manuliang, 1994, hal 118).
Manuliang (1994, hal 118), menyebutkan bahwa penilaian kinerja
adalah suatu penilaian secara sistematis kepada pegawai oleh beberapa
orang ahli untuk suatu atau beberapa tujuan tertentu.
2.1.3.3 Kegunaan Penilaian Kinerja.
Secara lebih rinci, kegunaan penilaian kinerja dalam suatu
organisasi adalah, sebagai berikut (Hani Handoko, 1996, hal 135137):
a. Perbaikan kinerja.
b. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi.
c. Keputusan-keputusan penempatan.
d. Kebutuhan-kebutuhan latihan dan pengembangan.
e. Perencanaan dan pengembangan karier.
f. Penyimpangan-penyimpangan proses penempatan.
g. Ketidak-akuratan informasional.
h. Kesalahan-kesalahan desain pekerjaan.
i. Kesempatan kerja yang adil.
j. Tantangan-tantangan eksternal.
2.1.3.4 Metode Penilaian Kinerja.
Dalam melakukan penilaian kinerja ada beberapa metode yang
dapat digunakan. Perusahaan dapat memilih metode yang sesuai
dengan perusahaan untuk melakukan penilaian kinerja. Adapun
penilaian kinerja secara garis besar terbagi atas 2 bagian, yaitu (Hani
Handoko, 1996, hal 142):
a. Metode penilaian berorientasi pada masa lalu.
Metode ini mengevaluasi kinerja dimasa lalu sehingga karyawan
memperoleh umpan balik tentang kinerja mereka yang dapat

14

mengarahkan pada perbaikan kinerja. Metode penilaian ini


mencakup:
a) Rating scale.
b) Checklist.
c) Metode peristiwa kritis.
d) Field review method.
e) Tes dan observasi kinerja.
f) Metode evaluasi kelompok.
b. Metode penilaian berorientasi pada masa depan.
Penilaian dengan metode ini memusatkan pada kinerja di waktu
yang akan datang melalui penilaian potensi karyawan atau
penetapan sasaran-sasaran kinerja di masa mendatang. Metode
penilaian ini mencakup:
a) Penilaian diri sendiri.
b) Penilaian psikologis.
c) Pendekatan Management By Objectives (MBO).
d) Teknik pusat penilaian.
2.1.4 Penurunan Hipotesa.
Dalam melakukan penelitian perlu dilakukan suatu perumusan
hipotesis. Hipotesis merupakan suatu kebenaran sementara yang
ditentukan oleh peneliti, tetap masih harus dibuktikan kebenarannya
(Arikunto, 1998, hal 17).
2.1.4.1 Penelitian Terdahulu.
Teori keunggulan (excellent theoris) dari Peters dan Waterman
(1982) yang menyatakan bahwa kinerja yang unggul tidak
hanya ditentukan oleh budaya organisasi tetapi juga gaya
kepemimpinan. Cahn, et al. (2004), Wilson (1995), Savery
(2001), Chew dan Sharma (2005) menguji pengaruh gaya
kepemimpinan dengan kinerja karyawan dan menemukan
bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan
dengan kinerja karyawan. Berdasarkan uraian diatas maka
hipotesis dalam penelitian.
Menurut Joko Purnomo (2008), dalam penelitiannya mengenai
kepemimpinan, motivasi kerja dan lingkungan kerja terhadap
kinerja karyawan menunjukkan hasil yang signifikan. Dimana
variabel motivasi kerja dan lingkungan yang mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan.
2.1.4.2 Kerangka Pemikiran.
Berdasarkan tinjauan landasan teori dan penelitian terdahulu,
maka dapat disusun kerangka pemikiran dalam penelitian ini,
yang disajikan dalam gambar berikut:

15

Gaya Kepemimpinan (X1)


X1

Motivasi Kerja (X2)

Kinerja Karyawan (Y)

X2

2.1.4.3 Hipotesis
H1 : Ada pengaruh yang signifikan antara gaya kepemimpinan
terhadap kinerja karyawan.
H2 : Ada pengaruh yang signifikan antara motivasi kerja
terhadap kinerja karyawan.

16

BAB III
C. METODE PENELITIAN
3.1.
M
etode Penelitian.
3.1.1 Obyek/subyek penelitian.
Obyek atau subyek penelitian adalah pihak-pihak yang dijadikan
sebagai sampel dalam sebuah penelitian.
3.1.2 Jenis data.
Data Primer.
Data primer adalah data yang dapat dari sumber pertama baik dari
individu atau perorangan seperti hasil wawancara atau hasil pengisian
kuesioner yang biasa dilakukan oleh peneliti (Umar, 2000, hal 99).
Teknik pengambilan sampel.
Data Sekunder.
Data sekunder merupakan data primer yang telah diolah lebih
lanjut, dan disajikan baik oleh pihak pengumpul data primer atau
pihak lain (Umar, 2000, hal 100).
3.1.3 Teknik pengumpulan data.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian adalah kuesioner.
Kuesioner merupakan daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang
lain (responden) dengan maksud agar orang yang diberi daftar tersebut
bersedia memberi respon sesuai dengan permintaan pengguna
(Arikunto, 1997, hal 136).
3.1.4 Teknik pengambilan sampel.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian adalah metode
purposive sampling, artinya bahwa populasi yang akan dijadikan
sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria
sampel tertentu sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (Sekaran,
2006).
3.1.5 Definisi operasional variabel penelitian.
Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang terbentuk apa saja
yang ditetapkan oleh penelitian untuk dipelajari sehingga diperoleh
informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya
(Sugiono, 2011:38). Penelitian ini melibatkan dua variabel yaitu
variabel independen dan variabel dependen.
3.1.5.1
Variabel Dependen.
Variabel dependen atau variabel terikat adalah variabel
yang dijelaskan atau dipengaruhi oleh variabel independen
atau variabel bebas (Sekaran, 2003). Variabel dependen
dalam penelitian ini adalah kinerja karyawan.
3.1.5.2
Variabel Independen.
Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel
yang membantu menjelaskan varians dalam variabel
terikat (Sekaran, 2003). Variabel independen dalam

17

3.1.6

3.1.7

penelitian ini adalah gaya kepemimpinan dan motivasi


kerja.
Uji kualitas instrumen dan data.
Suatu instrumen dikatakan valid jika instrumen ini mampu
mengukur apa saja yang hendak diukurnya, mampu mengungkapkan
apa saja yang ingin diungkapkan. Sedangkan reliabilitas menunjukkan
sejauh mana suatu instrumen dapat memberikan hasil pengukuran
yang konsisten, apabila pengukuran dilakukan berulang-ulang.
Pengujian validitas dilakukan selain untuk mengetahui dan
mengungkapkan data dengan tepat juga harus memberikan gambaran
yang cermat mengenai data tersebut. Uji validitas dimaksud untuk
melihat konsisten variabel independen dengan apa yang akan diukur.
Uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana hasil
pengukuran tetap konsisten, apabila dilakukan pengukuran dua kali
atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan alat
pengukur yang sama.
Uji hipotesis untuk analisis data.
Analisis Data.
Analisis Kualitatif.
Analisis kualitatif merupakan analisis data yang disajikan berupa
keterangan, penjelasan dan pembahasan teori.
Analisis Kuantitatif.
Analisis kuantitatif merupakan analisis data yang disajikan berupa
angka-angka dapat melalui perhitungan statistik berdasarkan jawaban
kuesioner dari responden. Hasil penghitungan dari skor atau nilai
tersebut dalam analisis statistik dilakukan dengan bantuan program
SPSS.
Pengujian Hipotesis.
Pengujian Hipotesis Secara Parsial.
Pengujian parsial atau satu per satu dengan menggunakan uji t
untuk mengetahui analisis perbandingan, menganalisis perbandingan
dan mengaplikasikan perbandingan dua variabel bebas. Tujuan uji t
dua variabel bebas adalah untuk membandingkan (membedakan)
apakah kedua variabel tersebut sama atau berbeda. Gunanya untuk
menguji kemampuan generalisasi (signifikansi hasil penelitian yang
berupa perbandingan dua rata-rata sampel) (Riduwan & Sunarto,
2012, hal 125-126).
Pengujian Hipotesis Secara Simultan.
Pengujian simultan dengan menggunakan anava atau analysis of
variance (anova). Anova lebih dikenal dengan uji F (Fisher Test),
sedangkan arti varians atau variansi itu asal usulnya dari pengertian
konsep Mean Square atau Kuadrat Rerata (KR). Tujuan uji F ialah
untuk membandingkan lebih dari dua rata-rata. Gunanya untuk
menguji kemampuan generalisasi artinya data sampel dianggap dapat
mewakili populasi (Riduwan & Sunarto, 2012, hal 132).

18

DAFTAR PUSTAKA
Anthony, R.N & V.Govindarajan. 2009. Management Control System. Jakarta:
Salemba Empat.
Riduwan & Sunarto. 2012. Pengantar Statistika Untuk Penelitian: Pendidikan,
Sosial, Komunikasi, Ekonomi Dan Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Perwitasari, E.N.A. 2003. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan
(Studi Kasus Pada Hotel Dana Solo). Skripsi. FE Universitas
Soegijapranata.
Nugroho, Rakhmat. 2006. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Karyawan (Studi Empiris Pada PT. Bank Tabungan Negara (Persero),
Cabang Bandung). Tesis. FE Universitas Diponegoro.
Ruyatnasih, H.Y., A. Musadad dan B.Hasyim. 2013. Pengaruh Gaya
Kepemimpinan Terhadap Kinerja Karyawan Pada Bagian Operator
SPBU PT. Mitrabuana Jayalestari Karawang. Jurnal Manajemen Vol.
10 : 1108.
Maryani., A. Thoyib., M. Setiawan., dan Ubud Salim. 2011. Pengaruh Budaya
Organisasi dan Gaya Kepemimpinan Serta Pengembangan Karyawan
Terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Karyawan Pada Perusahaan
Ritel Di Sulawesi Selatan. Jurnal Aplikasi Manajemen Vol. 9 No. 3 :
1031.

Anda mungkin juga menyukai