Anda di halaman 1dari 30

MANAJEMEN PERPAJAKAN

MANAJEMEN GAJI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI


YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA DENGAN WAJIB PAJAK
LUAR NEGERI

DISUSUN OLEH :
1. CHANDRA WIJAYA

26560

2. ARNANDA ARVI UNTARI

26561

3. BENYAMIN YOSEP SAILANA

26562

4. WAHYU FEBRI EKA SUSANTI

26563

5. HAYU DWI ADIYANTI

26564

6. WISNU ELANG SUMAMBAR

26565

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI


YAYASAN KELUARGA PAHLAWAN NEGARA
YOGYAKARTA

Latar Belakang
Di dalam dunia perpajakan dikenal adanya azas-azas pengambilan pajak, yakni azas
sumber yaitu pemungutan pajak berdasarkan tempat objek pajak atau asal penghasilan
tersebut, azas kewarganegaraan yaitu pemungutan pajak berdasarkan status atau kedudukan
warga negara dari setiap orang pribadi yang berasal dari negara yang memungut pajak, azas
tempat tinggal yaitu pemungutan pajak oleh negara berdasarkan tempat tinggal atau tempat
kedudukan dari wajib pajak.
Perbedaan peraturan perundang-undangan dan kebijakan antar negara tentang
penerapan pengambilan pajak memungkinkan dan dapat juga mengharuskan adanya
perjanjian antar negara, sehingga pemungutan pajak tidak dilakukan dengan kesewenangan
sendiri-sendiri. Dari perjanjian tersebut pemungutan pajak menjadi lebih adil, tidak terjadi
pemungutan dua kali atas penghasilan seorang wajib pajak, adanya pemungutan pajak ketika
wajib pajak sama sekali tidak di pungut pajaknya.
Perjanjian tersebut yakni P3B atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda, atau pun
dalam istilah masing-masing negara.

Rumusan Masalah
1. Apa itu Tax Treaty ?
2. Bagaimana menentuan Gaji Wajar untuk WP Orang Pribadi yang bekerja di
Perusahaan luar negeri yang mempunyai Hubungan Istimewa ?
3. Apa yang dimaksud dengan hubungan istimewa ?

Tujuan
1. Menjelaskan Tax Treaty
2. Menjelaskan mengenai Penentuan Gaji Wajar untuk WP Orang Pribadi Yang
Bekerja Di Perusahaan LN yang mempunyai Hubungan Istimewa
3. Menjelaskan maksud dari Hubungan Istimewa

Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) pasal 18 ayat (3d)


Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari
pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi
kerja mengalihakan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam
2

negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengurangan lainnya yang dibayarkan kepada
perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.

Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) pasal 18 ayat 3


Direktorat Jendral Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan
dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi
oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang
independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya plus atau metode lainnya.

Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 18 ayat 4


Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat 3 sampai dengan ayat 3d,Pasal
9 ayat 1 huruf, dan Pasal 10 ayat 1dianggap ada apabila :
a.

Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah
25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak
dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak
atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;

b.

Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di
bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau

c.

terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garisn keturunan
lurus dan/atau kesamping satu derajat.

PMK-139/PMK.03/2010
Penentuan kembali besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri dari pemberi kerja yang memiliki Hubungan Istimewa dengan perusahaan lain
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pasal 2
(1) Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan atau jasa dari pemberi kerja yang memiliki
Hubungan Istimewa dengan perusahaan di luar negeri dapat ditentukan kembali, dalam
hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang

pribadi dalam negeri dimaksud dalam bentuk pembebanan biaya atau pembayaran
pengeluaran lainnya kepada perusahaan di luar negeri tersebut.
(2) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pegawai dari perusahaan di luar negeri yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan
pemberi kerja.
(3) Biaya atau pengeluaran lainnya yang dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi kerja
kepada perusahaan luar negeri yang mempunyai Hubungan Istimewa antara lain berupa
biaya atau pengeluaran sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, atau jasa
lainnya.
Pasal 3
(1) Besarnya penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan
pekerjaan, kegiatan, atau jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan kembali
dengan memperhatikan tingkat penghasilan yang wajar yang seharusnya diperoleh oleh
Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan.
(2) Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjumlahan dari penghasilan
Wajib Pajak yang diterima di Indonesia dan penghasilan yang diterima di luar negeri.
(3) Besarnya selisih penghasilan setelah ditentukan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak boleh melebihi jumlah biaya atau pengeluaran lain yang dibebankan atau
dibayarkan oleh pemberi kerja kepada perusahaan di luar negeri yang terdapat Hubungan
Istimewa.

Pasal 32A UU PPh:


Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain
dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak

Tax Treaty
Tax treaty adalah perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka
meminimalisir pemajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini
digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari
suatu transaksi di antara mereka.
Setiap tax treaty mempunyai prinsip-prinsip dasar yang kurang lebih sama, sebagai
bagian dari konvensi internasional dimana setiap negara yang terlibat dalam suatu tax treaty
menyusun tax treaty-nya masing-masing berdasarkan model-model perjanjian yang diakui

secara internasional. Di dunia ini, ada dua model treaty yang sering dijadikan acuan dalam
menyusun suatu treaty yaitu model OECD dan model PBB.
Payung hukum persetujuan penghindaran pajak berganda atau P3B ini adalah Pasal
32A Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh). Berdasarkan pasal ini Pemerintah berwenang
untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak
berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
Dari isi Pasal 32A UU PPh ini jelas bahwa dilakukannya perundingan dengan negara
lain untuk membuat perjanjian perpajakan ini memiliki dua tujuan utama yaitu pertama
menghindari pengenaan pajak berganda (avoidance of double taxation) dan yang kedua
adalah mencegah pengelakan pajak (prevention of fiscal evasion).

Menghindari Pajak Berganda (Double Taxation)


Dalam menerapkan ketentuan perpajakan, yusrisdiksi perpajakan suatu negara akan
berinteraksi dengan yurisdiksi perpajakan negara lainnya. Interaksi dua yusrisdiksi
perpajakan dua negara ini biasanya akan menimbulkan pajak berganda. Pajak berganda ini
timbul karena dua yusrisdiksi perpajakan mengenakan pajak kepada penghasilan yang sama
yang dimiliki oleh subjek pajak yang sama.
Misalkan seseorang bernama Mr. X yang merupakan warga negara A mendapatkan
penghasilan yang bersumber dari negara B. Ketentuan pajak negara A akan mengenakan
pajak atas penghasilan yang diterima oleh warganegaranya dari manapun sumber penghasilan
tersebut. Di lain pihak, ketentuan pajak negara B juga mengenakan pajak terhadap
penghasilan yang bersumber dari negaranya walaupun penerimanya bukan warga negara atau
bukan penduduk negara B. Nah dalam kasus ini Mr. X akan dikenakan pajak dua kali oleh
negara A dan negara B.
Pajak berganda juga bisa timbul jika seseorang atau badan memenuhi definisi sebagai
subjek pajak dalam negeri (residence) dua negara. Dengan kondisi ini maka orang atau badan
ini akan dikenakan pajak dua kali juga atas seluruh penghasilannya. Masalah ini biasa dikenal
dengan istilah masalah dual residence.
Untuk memecahkan masalah-masalah seperti di atas akibat penerapan ketentuan
perpajakan dua negara, maka kedua negara perlu melakukan perundingan untuk membuat
persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B). Dalam P3B ini nantinya akan diatur tentang
hak pemajakan masing-masing negara untuk jenis-jenis penghasilan tertentu.

Dalam kasus dual residence, suatu P3B akan membuat ketentuan sedemikian sehingga
seseorang atau badan hanya akan menjadi residence (subjek pajak dalam negeri) dari satu
negara saja. Ketentuan ini biasa disebut Tie Breaker Rule yang biasanya dimuat dalam Pasal
2 P3B.
Dalam P3B juga biasanya akan diatur mengenai corresponding adjutment dalam
kasus transfer pricing serta memuat ketentuan tentang metode penghilangan pajak berganda.
Corresponding adjutment mengandung makna bahwa jika satu negara melakukan koreksi
harga dalam suatu transasksi dengan lawan transaksi di negara lain, maka negara lain juga
harus melakukan koreksi sebaliknya agar pengenaan pajak tidak berganda.

Cara Mengantisipasi Penghindaran Pajak


Menghindari pajak bisa dilakukan dalam bentuk tax avoidance dan tax evasion. Tax
avoidance biasanya dilakukan masih dalam koridor ketentuan perpajakan. Apabila
penghindaran ini dilakukan masih sesuai dengan maksud dari pembuat ketentuan, maka
penghindaran ini tidak menjadi masalah. Namun demikian, jika penghindaran ini dilakukan
dengan mengakali peraturan yang tidak sesuai dengan maksud pembuat undang-undang
maka jenis penghindaran ini perlu dipermasalahkan.
Contoh dari pengindaran pajak yang mengakali ketentuan ini misalnya dengan
membuat modal sebagai pinjaman dengan harapan dividen bisa disebut bunga sehingga bisa
dibiayakan. Praktek menggunakan harga transfer (transfer pricing) dalam transaksi
internasional dengan menggeser laba ke negara dengan low tax rate juga merupakan salah
satu jenis penghindaran pajak seperti ini.
Dalam kasus lain, bentuk penghindaran pajak ini bisa berupa membuat transaksi yang
semu walaupun legal form nya benar. Transaksi semu ini dimaksudkan untuk mendapatkan
manfaat dari suatu tax treaty dimana jika transaksi dilakukan dengan cara yang seharusnya
maka dia tidak akan mendapat manfaat dari suatu tax treaty.
Penghindaran pajak dalam bentuk tax evasion bermakna penghindaran pajak dengan
melanggar ketentuan pajak seperti tidak melaporkan penghasilan atau membebankan biaya
fiktif. Dengan demikian, tax evasion berdimensi illegal dan kriminal.
Salah satu motif yang selama ini dilakukan adalah berupa pengalihan penghasilan
yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri ke dalam bentuk biaya atau
pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang memiliki hubungan istimewa. Tindakan ini tentunya

akan mengakibatkan potensi pemajakan yang seharusnya dikenakan oleh Indonesia kepada
Wajib Pajak ini menjadi hilang.
Untuk mengantisipasi tindakan ini, maka dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) telah menambahkan satu ayat baru, yaitu pada
Pasal 18 ayat (3d). Pada pasal ini ditegaskan bahwa apabila terjadi transaksi pengalihan
pembayaran penghasilan kepada orang pribadi ini, maka besarnya penghasilan wajar yang
seharusnya diterima oleh orang pribadi tersebut (sebagai akibat adanya pemberian imbalan
kepada Wajib Pajak Orang Pribadi dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa
dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia)
dapat ditentukan kembali dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Untuk mengatur penentuan kembali nilai wajar pembayaran penghasilan kepada
orang

pribadi

ini,

maka

diterbitkanlah Peraturan

Menteri

Keuangan

Nomor

139/PMK.03/2010 tanggal 11 Agustus 2010 tentang Penentuan Kembali Besarnya


Penghasilan Yang Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Dari Pemberi Kerja
Yang Memiliki Hubungan Istimewa Dengan Perusahaan Lain Yang Tidak Didirikan Dan
Tidak Bertempat Kedudukan Di Indonesia.

Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini adalah:


Ruang Lingkup Transaksi Yang Dimaksud Dalam Ketentuan Ini
Hubungan Istimewa yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah hubungan istimewa
sebagaimana diatur Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, atau hubungan
istimewa sebagaimana diatur dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dan
Pencegahan Pengelakan Pajak (P3B) antara Indonesia dengan negara mitra yang berlaku.
Jenis Penghasilan yang harus ditentukan kembali adalah besarnya penghasilan yang
diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, kegiatan,
atau jasa dari pemberi kerja yang memiliki Hubungan Istimewa dengan perusahaan di luar
negeri dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian
penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dimaksud dalam bentuk pembebanan
biaya atau pembayaran pengeluaran lainnya kepada perusahaan di luar negeri tersebut.
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah pegawai
dari perusahaan di luar negeri yang memiliki Hubungan Istimewa dengan pemberi kerja.

Jenis biaya atau pengeluaran lainnya yang dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi
kerja kepada perusahaan luar negeri yang mempunyai Hubungan Istimewa antara lain berupa
biaya atau pengeluaran sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, atau jasa lainnya.

Cara Penentuan Kembali Besarnya Penghasilan Yang Wajar


Besarnya penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan
pekerjaan, kegiatan, atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini ditentukan kembali
dengan memperhatikan tingkat penghasilan yang wajar yang seharusnya diperoleh oleh
Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan. Penghasilan ini adalah penjumlahan dari
penghasilan Wajib Pajak yang diterima di Indonesia dan penghasilan yang diterima di luar
negeri.
Besarnya selisih penghasilan setelah ditentukan kembali tersebut tidak boleh melebihi
jumlah biaya atau pengeluaran lain yang dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi kerja
kepada

perusahaan

di

luar

negeri

yang

terdapat

Hubungan

Istimewa.

Atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang sudah ditentukan kembali ini
menjadi dasar penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Dalam rangka menentukan kembali besarnya penghasilan Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri ini, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan pedoman standar gaji karyawan
asing. Sebagaimana kita ketahui bahwa hingga saat ini, pedoman standar gaji karyawan asing
diatur melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-173/PJ./2002

Hubungan Istimewa
Hubungan istimewa diantara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau
keterikatan satu dengan yang lain. Hubungan istimewa dianggap ada apabila :
1. Wajib Pajak mempunyai hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal
sebesar 25 % atau lebih secara langsung atau tidak langsung;
2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih WP berada dibawah
penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung;
3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan/atau ke samping satu derajat. Dalam hal ini yang dimaksud dengan :

a. Hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah,
ibu dan anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke
samping satu derajat adalah saudara.
b. Hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah
mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis
keturunan ke samping satu derajat adalah ipar
Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (4) UU PPh dinyatakan bahwa hubungan istimewa di
antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang
lain yang disebabkan:
1. Kepemilikan atau penyertaan modal; atau
2. Adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak Orang Pribadi dapat
pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.
Penggunaan kata hubungan istimewa dalam akuntansi sudah tidak digunakan lagi
tetapi menggunakan istilah berelasi merujuk pada istilah bahasa Inggris yang menggunakan
kata related party. Pihak-pihak berelasi didefinisikan secara luas dalam PSAK 7. Suatu
perusahaan dikatakan mempunyai hubungan istimewa dengan perusahaan pelapor jika
(paragraf 9):
Perusahaan tersebut yang melalui satu atau lebih perantara, mengendalikan, atau
dikendalikan oleh, atau berada di bawah ventura bersama, dengan perusahaan pelapor
(termasuk holding companies, subsidiaries, sub-subdiaries, dan fellow subsidiaries).
Perusahaan tersebut adalah perusahaan asosiasi (sebagaimana didefinisikan dalam PSAK
15 Investasi dalam Perusahaan Asosiasi);
Perusahaan tersebut adalah perusahaan ventura bersama di mana perusahaan pelapor
menjadi venture (sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 12 Bagian Partisipasi dalam
Ventura Bersama);
Perusahaan tersebut adalah perorangan (dan anggota keluarga dekat dari perorangan
tersebut) dari anggota manajemen kunci perusahaan pelapor atau induk perusahaannya;
Perusahaan tersebut adalah perusahaan yang mengendalikan, venture bersama, atau yang
dipengaruhi secara signifikan oleh individu (dan anggota keluarga dekat dari individu
tersebut) dari anggota manajemen kunci perusahaan pelapor atau induk perusahaannya;
dan

Perusahaan tersebut adalah suatu program imbalan pascakerja untuk imbalan kerja dari
salah satu perusahaan pelapor atau perusahan mana pun yang berelasi dengan perusahaan
pelapor.

Kesimpulan
Tax treaty muncul karena dua sebab yang mendasar yaitu, keinginan untuk
menghindari pemajakan berganda yang bisa berakibat buruk bagi dunia investasi, dan
keinginan untuk mencegah usaha-usaha penghindaran pajak yang dapat berpengaruh terhadap
penerimaan pajak suatu negara. Setiap tax treaty antara suatu negara dan negara lainnya
adalah suatu perjanjian yang bersifat spesifik hanya mengikat negara-negara yang terlibat
dalam perjanjian tersebut.
Dengan peraturan yang mengatur mengenai ketentuan tentang penghasilan Wajib
Pajak orang pribadi Dalam Negeri yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak
Luar Negeri diharap dapat meminimalkan atau mengurangi praktek penghindaran atau
penyelundupan pajak serta meminimalisasi pajak berganda.
Transfer pricing dapat terjadi antar wajib pajak dalam negeri atau antara wajib pajak dalam
negeri dengan pihak luar negeri, terutama yang berkedudukan di Tax Heaven Countries yaitu
negara yang tidak memungut atau memungut pajak lebih rendah dari Indonesia. Terhadap
transaksi antar wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut.

Kasus
Mr. John seorang warga Negara Jepang yang ditugaskan ke PT PMA Indonesia oleh XYZ
Inc. Jepang sebagai pemegang saham PT PMA Indonesia tersebut. Tahun 2015 Mr. John
telah berada di Indonesia selama 190 hari. Sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan
tersebut, Mr. John menerima gaji dari PT PMA Indonesia dan dari XYZ Inc. Jepang. Mr,
John berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan (time test
terpenuhi) sehingga Mr. John adalah wajib pajak dalam negeri.
a. Gaji Mr. John di PT PMA Indonesia sebesar 1 miliar. Dengan gaji 1 miliar Mr. John
akan dikenakan PPh Pasal 21 progresif (30%), sehingga pajak yang ditanggung Mr.
John besar.
Dari segi perusahaan dengan gaji sebesar 1 miliar, laba perusahaan semakin kecil
sehingga pajak yang ditanggung perusahaan juga kecil.

10

BAGAIMANA MANAJEMEN PAJAKNYA?


Perusahaan tetap menggaji 1 miliar kepada Mr. John dengan cara gaji sebesar 1 miliar
itu yang dibayar di Indonesia hanya sebesar 100 juta, sisanya yang 900 juta ditagihkan
ke perusahaan luar negeri yang diakui misalnya sebagai beban operasi (tidak diakui
sebagai gaji Mr. John). Perusahaan luar negeri akan mengirimkan uang ke perusahaan
yang berada di Indonesia sebesar 900 juta. Dengan cara demikian beban pajak yang
ditanggung oleh orang pribadi (Mr. John) dan perusahaan yang ada di Indonesia
menjadi kecil. Pajak orang pribadi menjadi kecil karena seolah-olah Mr. John hanya
menerima gaji 100 juta sehingga dikenai pajak progresif 15%. Sedangkan

bagi

perusahaan, pajak menjadi kecil karena menanggung beban operasi sebesar 900 juta
beban operasi dan beban gaji 100 juta.

11

Daftar Pustaka :
-

http://keuanganui2009.blogspot.com/2012/01/penentuan-gaji-wajar-untuk-wporang.html

http://yantipuji.blogspot.com/2014_11_01_archive.html

http://ptkarmacon.com/newsprint.php?pid=10

Pasal 18 ayat 3d UU PPh

Pasal 18 ayat 3 UU PPh

Pasal 18 ayat 4 UU PPh

PMK-139/PMK.03/2010

Tax Treaty

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 04/PJ.7/1993

Imam Santoso, Ning Rahayu, Corporate Tax Management. Ortax,2013

Tax treaty Indonesia - Jepang

12

LAMPIRAN
PERSETUJUAN ANTARA
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
DAN
PEMERINTAH JEPANG
TENTANG
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN
PAJAK YANG BERHUBUNGAN DENGAN PAJAK-PAJAK ATAS PENDAPATAN
Pasal 1
Persetujuan ini berlaku terhadap orang-orang dan badan-badan yang merupakan penduduk
salah satu atau kedua Negara yang terikat Persetujuan.
Pasal 2
1. Pajak-pajak yang tunduk dalam Persetujuan ini adalah:
(a)

(b)

di Indonesia
(i) Pajak Pendapatan dan
(ii) Pajak Perseroan
termasuk setiap pajak yang dipungut pada sumbernya, pembayaran dimuka
atau pembayaran terlebih dahulu terhadap pajak-pajak tersebut diatas;
(iii) Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti
(selanjutnya disebut "pajak Indonesia");
di Jepang
(i) Pajak Pendapatan (the income tax); dan
(ii) Pajak Perseroan (the corporation tax)
(selanjutnya disebut "pajak Jepang").

2. Persetujuan ini berlaku pula terhadap semua pajak yang serupa atau pada hakekatnya
sama yang dikenakan setelah tanggal penandatanganan Persetujuan ini sebagai
tambahan terhadap ataupun sebagai pangganti dari pajak-pajak tersebut pada ayat 1.
Pejabat-Pejabat yang berwenang dari Negara yang terkait Persetujuan ini akan
memberitahukan satu sama lain setiap perubahan-perubahan yang telah diadakan
dalam perundang-undangan pajak masing-masing dalam jangka waktu yang layak
setelah terjadinya perubahan-perubahan tersebut.
Pasal 3
1. Kecuali jika hubungan kalimat harus diartikan lain, maka yang dimaksud dalam
Persetujuan ini dengan :
(a)

(b)

istilah "Indonesia" meliputi wilayah Republik Indonesia seperti dirumuskan di


dalam undang-undangnya dan bagian-bagian dari landas kontinen dan lautan
sekitarnya yang berbatasan, dimana Republik Indonesia mempunyai kedaulatan,
hak-hak kedaulatan atau hak-hak lainnya sesuai dengan hukum international;
istilah "Jepang" jika dipergunakan dalam pengertian ilmu bumi, berarti seluruh
wilayah Jepang, termasuk wilayah laut, dimana perundang-undangan pajak
13

LAMPIRAN

(c)

(d)
(e)
(f)
(g)

(h)

(i)

(j)

Jepang berlaku, dan seluruh wilayah diluar wilayah laut, termasuk dasar laut dan
lapisan tanah sebelah bawah dimana Jepang mempunyai hak hukum sesuai
dengan hukum internasional dan dimana perundang-undangan pajak Jepang
berlaku.
istilah "suatu negara yang terikat Persetujuan" dan "suatu Negara lainnya yang
terikat Persetujuan" berarti Indonesia atau Jepang, menurut hubungan
kalimatnya;
istilah "pajak" berarti pajak Indonesia atau pajak Jepang, menurut hubungan
kalimatnya;
istilah "orang" meliputi orang pribadi, perseroan dan setiap gabungan lain dari
orang orang atau badan-badan;
istilah "perseroan" berarti setiap badan hukum atau setiap kesatuan yang untuk
tujuan perpajakan diperlukan sebagai badan hukum;
istilah-istilah "Perusahaan dari suatu Negara yang terikat Persetujuan" dan
"perusahaan dari Negara lainnya yang terikat Persetujuan" berarti, berturut-turut
suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk dari suatu Negara yang terikat
Persetujuan dan suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk dari Negara
lainnya yang terikat persetujuan;
istilah "warganegara" berarti semua orang pribadi yang memiliki warganegara
dari salah satu Negara dan semua badan hukum yang didirikan atau diatur
menurut undang-undang Negara itu dan semua perkumpulan yang untuk tujuan
perpajakan dari Negara itu dianggap sebagai badan hukum yang didirikan atau
diatur menurut undang-undang dari Negara tersebut;
istilah "lalu lintas international" berarti setiap pengakuan oleh kapal laut atau
pesawat udara yang dilakukan oleh perusahaan dari suatu Negara, kecuali
apabila kapal laut atau pesawat udara tersebut semata-mata dioperasikan antara
tempat-tempat di Negara lainnya;
istilah "Pejabat yang berwenang" sehubungan dengan Persetujuan ini berarti
Menteri Keuangan dari masing-masing Negara atau wakilnya yang syah.

2. Untuk penerapan persetujuan ini oleh suatu Negara, istilah-istilah yang tidak
dirumuskan, kecuali dari hubungan kalimatnya harus diartikan lain, akan mempunyai
arti menurut perundang-undangan Negara itu menyangkut pajak-pajak yang berlaku
dalam Persetujuan ini.
CATATAN :
Untuk selanjutnya dalam terjemahan ini " suatu Negara yang terikat Persetujuan"
disingkat "suatu Negara" dan "suatu Negara lainnya yang terikat Persetujuan"
disingkat "suatu Negara lainnya".
Pasal 4
1. Untuk kepentingan persetujuan ini, istilah "penduduk dari suatu negara" berarti setiap
orang atau badan yang menurut perundang-undangan Negara itu dapat dikenakan
pajak berdasarkan tempat tinggal, tempat kediaman, kantor pusat atau kantor besar,
tempat ketatalaksanaan atau patokan lainnya yang serupa.
2. Jika berdasarkan ketentuan ayat 1, seseorang atau suatu badan merupakan penduduk
dari kedua Negara, maka untuk tujuan persetujuan ini pejabat yang berwenang dari
masing-masing Negara, berdasarkan permufakatan kedua belah pihak akan
menentukan tempat kedudukan seseorang atau badan tersebut.
14

LAMPIRAN
Pasal 5
1. Untuk tujuan Persetujuan ini, istilah "pendirian tetap" berarti suatu tempat usaha
tertentu dimana seluruh atau sebagian usaha suatu perusahaan dijalankan.
2. Istilah "pendirian tetap" terutama meliputi :
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)

suatu tempat ketatalaksanaan;


suatu cabang;
suatu kantor;
suatu pabrik;
suatu tempat kerja;
suatu pertanian atau perkebunan;
suatu pertambangan, suatu sumur minyak atau gas, suatu tempat penggalian atau
tempat lainnya untuk pengembalian sumber kekayaan alam.

3. Suatu lokasi bangunan atau tempat pekerjaan konstruksi atau proyek instalasi
merupakan suatu pendirian tetap jika kegiatannya berlangsung lebih dari enam bulan.
4. Istilah "pendirian tetap" tidak dianggap termasuk :
(a)
(b)

(c)
(d)

(e)

(f)

penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan


atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan kepunyaan perusahaan;
pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan kepunyaan
perusahaan semata-mata dengan maksud untuk penyimpanan atau untuk
pameran.
pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan kepunyaan
perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain;
pengurusan suatu tempat usaha tertentu semata-mata maksud untuk melakukan
pembelian barang-barang atau barang dagangan atau untuk pengumpulan
keterangan bagi keperluan perusahaan.
pengurusan suatu tempat usaha tertentu semata-mata dengan maksud untuk
keperluan reklame, untuk pemberian keterangan-keterangan, untuk penelitian
ilmiah atau kegiatan kegiatan serupa yang bersifat persiapan atau penunjang
bagi perusahaan.
pengurusan tempat usaha tertentu semata-mata untuk setiap kegiatan-kegiatan
gabungan dari yang disebut dalam sub ayat (a) sampai (c), asal saja keseluruhan
kegiatan ditempat usaha tertentu itu bersifat persiapan atau penunjang.

5. Perusahaan dari suatu Negara akan dianggap mempunyai pendirian tetap di Negara
lainnya apabila perusahaan tersebut memberikan jasa konsultan atau jasa pengawasan
sehubungan dengan pendirian bangunan, konstruksi atau proyek instalasi melalui
pekerja-pekerja atau pegawai lainnya kecuali oleh agen yang berdiri sendiri dimana
ketentuan ayat 8 berlaku dimana kegiatan-kegiatan itu berlangsung (untuk dua atau
lebih proyek yang sama atau yang berhubungan) dalam jangka waktu lebih dari 6
bulan dalam suatu tahun pajak.
Namun apabila pemberian jasa-jasa tersebut dilakukan sebagai akibat adanya
perjanjian antara kedua Negara yang menyangkut kerjasama ekonomi atau tehnik,
maka perusahaan tersebut tidak dianggap mempunyai pendirian tetap di Negara lain
tersebut.
6. Orang atau badan disuatu Negara (kecuali agen yang berdiri sendiri, dimana ketentuan
ayat 8 berlaku) yang bertindak untuk kepentingan suatu perusahaan dari Negara lain,
15

LAMPIRAN
maka perusahaan itu akan dianggap mempunyai pendirian tetap di Negara itu
sehubungan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk perusahaan tersebut,
apabila:
(a)

(b)

orang atau badan untuk memiliki kuasa untuk menutup kontrak atas nama
perusahaan dan biasa menjalankan kuasa itu di Negara tersebut kecuali bila
kegiatan-kegiatan yang dilakukan terbatas pada yang disebut dalam ayat 4, atau
orang atau badan itu mengurus di Negara tersebut persediaan barang-barang
atau barang kepunyaan perusahaan, dimana ia secara teratur memenuhi pesananpesanan atau nama perusahaan dimaksud.

7. Perusahaan asuransi di salah satu Negara akan dianggap mempunyai pendirian tetap
di Negara apabila perusahaan tersebut memungut premi atau menanggung risiko yang
terjadi di Negara itu melalui seorang pegawai atau perwakilan yang bukan merupakan
agen yang berdiri sendiri dalam arti menurut ayat 8.
Ketentuan ini tidak berlaku terhadap reasuransi.
8. Suatu perusahaan dari suatu Negara tidak dianggap mempunyai pendirian tetap di
Negara lain hanya karena menjalankan usaha di Negara lain tersebut melalui makelar,
komisioner umum atau agen lainnya yang berdiri sendiri, sepanjang mereka bertindak
dalam rangka usahanya yang lazim.
9. Kenyataan bahwa badan yang berkedudukan di suatu Negara menguasai atau dikuasai
badan yang berkedudukan di Negara lain, atau menjalankan usaha di Negara lain itu
(baik melalui suatu pendirian tetap atau tidak), tidak dengan sendirinya bahwa salah
satu dari badan itu merupakan suatu pendirian tetap dari yang lainnya.
Pasal 6
1. Pendapatan yang diterima oleh seorang penduduk suatu Negara yang berasal dari
harta tak gerak dapat dikenakan pajak di Negara dimana harta itu berada.
2. Istilah "harta tak gerak" akan diartikan sesuai dengan Undang-undang Negara yang
terikat Persetujuan, dimana harta yang bersangkutan berada. Bagaimanapun istilah ini
akan termasuk benda-benda yang menyertai harta tak gerak, ternak dan peralatan yang
digunakan dalam pertanian dan kehutanan, hak-hak yang diberlakukan terhadap
ketentuan-ketentuan hukum umum mengenai tanah, hak memetik hasil dari harta tak
gerak dan hak-hak terhadap macam macam pembayaran-pembayaran atau
pembayaran-pembayaran yang ditetapkan sebagai alasan atau pekerjaan, atau hak
mengerjakan, penggalian-penggalian tambang, sumber-sumber dan sumber kekayaan
alam lainnya; kapal-kapal, perahu-perahu dan pesawat udara tidak akan dianggap
sebagai harta tak gerak.
3. Ketentuan-ketentuan ayat 1 akan berlaku untuk pendapatan yang diperoleh dan
penggunaan langsung sewa atau setiap bentuk penggunaan lainnya dan harta tak
gerak.
4. Ketentuan-ketentuan dari ayat 1 dan 3 juga akan berlaku bagi pendapatan dan harta
tak gerak suatu perusahaan dan bagi pendapatan dari harta tak gerak yang digunakan
untuk pelaksanaan jasa-jasa profesi.
Pasal 7
1. Laba perusahaan disuatu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara itu kecuali
perusahaan itu menjalankan usahannya di Negara lainnya, melalui suatu pendirian
16

LAMPIRAN

2.

tetap yang berkedudukan disitu.


Jika perusahaan menjalankan usahannya seperti yang dikatakan sebelumnya, laba dari
perusahaan itu bisa dikenakan pajak di Negara lain itu, tetapi hanya mengenai bagian
laba yang dianggap berasal dari pendirian tetap tersebut.
Mengikuti ketentuan-ketentuan pada ayat 3, jika suatu perusahaan dari suatu Negara
menjalankan usahannya di Negara lain melalui suatu pendirian tetap yang
berkedudukan disitu, masing-masing Negara akan memperhitungkan laba pendirian
tetap itu sama dengan laba seandainya pendirian tetap tersebut merupakan suatu
perusahaan lain yang terpisah dan berdiri sendiri, yang melakukan kegiatan-kegiatan
yang sama atau sejenis dalam keadaan yang sama atau serupa, dan yang mengadakan
hubungan sepenuhnya bebas dengan perusahaan yang mempunyai pendirian tetap
tersebut.
Dalam menentukan laba suatu pendirian tetap, akan diijinkan penguranganpengurangan seperti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan-kepentingan
pendirian tetap itu termasuk biaya untuk para pimpinan dan biaya administrasi umum,
baik yang dikeluarkan di Negara tempat pendirian tetap itu berkedudukan maupun
tempat lainnya.
Selama menjadi kebiasaan di suatu Negara untuk menetapkan laba yang diperkirakan
diperoleh suatu pendirian tetap berdasarkan suatu pembagian laba dari keseluruhan
laba perusahaan terhadap pelbagai bagiannya, ketentuan-ketentuan dalam ayat 2 tidak
akan menutup kemungkinan bagi perusahaan di Negara itu untuk menetapkan laba
yang dikenakan pajak atas suatu pembagian laba seperti itu yang mungkin merupakan
kebiasaan; bagaimanapun cara penghitungan pembagian yang dianut, akan
menjadikan hasilnya sesuai dengan azas-azas yang terkandung dalam pasal ini.
Tidak ada laba yang diperoleh suatu pendirian tetap hanya karena pembelian barangbarang atau barang-barang dagangan oleh pendirian tetap itu bagi perusahaannya.
Untuk kepentingan-kepentingan ayat-ayat terdahulu, laba yang diperoleh suatu
pendirian tetap akan ditentukan dengan cara perhitungan yang sama dari tahun ke
tahun kecuali bila ada alasan yang cukup kuat untuk melakukan penyimpangan.
Jika dalam jumlah laba termasuk unsur-unsur pendapatan yang diatur secara tersendiri
oleh Pasal-pasal lain dari Persetujuan ini, maka ketentuan-ketentuan dalam Pasalpasal itu tidak akan terpengaruh oleh ketentuan-ketentuan dalam Pasal ini.

3.

4.

5.
6.

7.

Pasal 8
1. Keuntungan yang diperoleh dari pengoperasian kapal laut atau pesawat udara dalam
jalur lalu lintas internasional oleh perusahaan dari suatu Negara, hanya dikenakan
pajak di Negara itu.
2. Ketentuan-ketentuan ayat 1 juga berlaku bagi keuntungan yang diperoleh karena ikut
serta dalam suatu gabungan perusahaan-perusahaan, suatu usaha kerjasama atau suatu
keagenan usaha internasional, tetapi hanya sebesar keuntungan yang seimbang dengan
penyertaan dalam usaha kerjasama itu.
Pasal 9
Apabila :
(a)

suatu perusahaan dari salah satu Negara, baik secara langsung maupun tidak langsung
turut serta dalam pimpinan, pengawasan atau modal suatu perusahaan dari Negara
lainnya, atau
17

LAMPIRAN
(b)

orang atau badan yang sama baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta
dalam pimpinan, pengawasan atau modal suatu perusahaan dari salah satu Negara dan
dalam suatu perusahaan dari Negara lainnya,

dan tiap kedua hal itu, diantara kedua perusahaan itu di dalam hubungan dagangan atau
hubungan keuangannya diadakan atau diterapkan syarat-syarat yang menyimpang dari yang
lazimnya terjadi diantara perusahaan-perusahaan yang bebas, maka setiap keuntungan yang
seharusnya jatuh pada salah satu perusahaan, tetapi tidak diperolehnya karena adanya syarat
syarat tersebut, dapat ditambahkan ke dalam laba perusahaan tersebut dan dikenakan pajak.
Pasal 10
1. Dividen yang dibayarkan oleh suatu badan yang berkedudukan di suatu Negara
kepada penduduk Negara lainnya dikenakan pajak di Negara lainnya itu.
2. Namun demikian, dividen itu dapat dikenakan pajak di Negara dimana badan yang
membayarkan dividen itu berkedudukan sesuai dengan perundang-undangan Negara
itu, tetapi apabila sipenerima dividen adalah pemilik yang menikmatinya, maka pajak
yang dikenakan tidak akan melebihi :
(a)

10 persen dari jumlah kotor dividen jika penerima dividen adalah, suatu badan
yang selama 12 bulan pada akhir masa pembukuan dimana pembagian
keuntungan dilakukan, memiliki sekurang-kurangnya 25 persen modal dari
badan yang membayarkan dividen.
(b) 15 persen dari jumlah kotor dividen dalam hal lainnya.
Ketentuan-ketentuan dari ayat ini tidak akan mempengaruhi pengenaan pajak
terhadap badan itu atas laba dimana dividen dibayarkan.
3. Istilah "dividen" yang digunakan dalam Pasal ini berarti pendapatan dari sahamsaham atau hak-hak lainnya yang bukan merupakan surat-surat hutang namun turut
serta dalam pembagian keuntungan, demikian halnya pendapatan dari hak-hak
perseroan lainnya yang dalam hal pengenaan pajaknya diperlakukan sama sebagai
pendapatan dari saham menurut perundang-undangan pajak Negara dimana badan
yang melakukan pembayaran berkedudukan.
4. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 tidak berlaku apabila penerima dividen yang
merupakan penduduk suatu Negara, menjalankan usaha di negara lainnya dimana
badan yang membayarkan dividen berkedudukan, melalui suatu pendirian tetap atau
menjalankan pekerjaaan bebas dengan suatu tempat tertentu, dan penguasaan sahamsaham atas nama dividen itu dibayarkan, mempunyai hubungan efektif dengan
pendirian tetap atau tempat tertentu itu. Dalam hal demikian, melihat pada
masalahnya, ketentuan-ketentuan Pasal 7 atau Pasal 14 berlaku.
5. Jika suatu badan yang berkedudukan disuatu Negara memperoleh keuntungan atau
pendapatan dari Negara lain, Negara lain tersebut tidak akan mengenakan pajak atas
dividen yang dibayarkan oleh badan itu, kecuali sepanjang dividen-dividen tersebut
dibayarkan kepada penduduk Negara lain itu atau sepanjang penguasaan sahamsaham atas mana dividen dibayarkan mempunyai hubungan efektif dengan suatu
pendirian tetap atau tempat tertentu yang berada di Negara lain itu, juga tidak
dikenakan pajak atas keuntungan-keuntungan badan yang tidak dibagikan, sekalipun
dividen-dividen yang dibayarkan atau keuntungan keuntungan yang tidak dibagikan
terdiri dari seluruhnya atau sebagian dari keuntungan atau pendapatan yang berasal
dari Negara lain itu.
18

LAMPIRAN
Pasal 11
1. Bunga yang berasal dari suatu Negara dan dibayarkan kepada penduduk Negara
lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lainnya tersebut.
2. Namun demikian, bunga itu dapat juga dikenakan pajak di negara tempat asal bunga
sesuai dengan perundang-undangan pajak Negara itu, akan tetapi jika sipenerima
bunga adalah pemilik yang menikmati bunga tersebut, maka pajak yang dikenakan
tidak akan melebihi 10 persen dari jumlah kotor bunga itu.
3. Walaupun ada ketentuan-ketentuan ayat 2, bunga yang berasal dari suatu Negara
diterima oleh Pemerintah Negara lainnya termasuk Pemerintah Daerah dan lokal,
Bank Sentral atau setiap lembaga keuangan milik Pemerintah, atau yang diterima oleh
setiap penduduk Negara sehubungan dengan surat-surat hutang yang dijamin atau
secara tidak langsung dibiayai oleh Pemerintah Negara lainnya itu termasuk
Pemerintah Daerah dan lokal, Bank Sentral atau Lembaga keuangan milik
Pemerintah, akan dibebaskan dari Pengenaan pajak oleh negara tersebut terdahulu.
4. Untuk tujuan-tujuan ayat 3, istilah-istilah "Bank Sentral" dan "Lembaga keuangan
milik Pemerintah" berarti
(a)

(b)

Untuk Jepang.
(i) the Bank of Japan,
(ii) the Export Import Bank of Japan,
(iii) the Japan International Cooperation Fund,
(iv) lembaga keuangan lainnya yang modalnya milik Pemerintah Jepang yang
dimufakati dari waktu kewaktu antara kedua Negara.
untuk Indonesia
(i) Bank Indonesia dan
(ii) lembaga keuangan lainnya yang modalnya milik Pemerintah Republik
Indonesia yang dimufakati dari waktu kewaktu antara kedua Negara.

5. Istilah "bunga" yang digunakan dalam Pasal ini berarti Pendapatan dari semua jenis
tagihan hutang, baik yang dijamin dengan hipotik maupun tidak dan baik yang berhak
ikut serta dalam bagian keuntungan sipeminjam atau tidak, dan khususnya pendapatan
dari surat-surat hutang, termasuk premi dan hadiah yang terikat pada surat-surat
perbendaharaan Negara, obligasi atau surat-surat hutang tersebut diatas.
6. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 tidak berlaku apabila penerima bunga yang
merupakan penduduk suatu Negara, melakukan usaha di Negara lainnya dimana
bunga itu berasal, melalui suatu pendirian tetap atau menjalankan pekerjaan bebas
dengan tempat tertentu dan tagihan hutang sehubungan dengan mana bunga itu
dibayar mempunyai hubungan efektif dengan pendirian tetap atau tempat tertentu itu.
Dalam hal demikian, melihat pada masalahnya, berlaku ketentuan-ketentuan Pasal 7
atau Pasal 14.
7. Bunga akan dianggap berasal dari suatu Negara, jika yang membayar bunga adalah
Negara itu sendiri, Pemerintah Daerah/Lokal atau penduduk dari Negara tersebut,
namun demikian, orang atau badan yang membayar bunga, tanpa memandang apakah
ia merupakan penduduk suatu Negara atau tidak, memiliki suatu pendirian tetap
disuatu Negara atau suatu tempat tertentu dalam hubungan mana hutang yang menjadi
pokok pembayaran bunga itu dan bunga itu dibebaskan pada pendirian tetap atau
tempat tertentu tersebut., maka bunga itu akan dianggap berasal dari Negara dimana
pendirian tetap atau tempat tertentu itu berada.

19

LAMPIRAN
8. Apabila, karena adanya suatu hubungan istimewa antara pembayar bunga dengan
penerima bunga atau antara keduanya dengan pihak ketiga, besarnya jumlah bunga
yang dibayarkan, dengan memperhatikan besarnya tagihan hutang yang menjadi
pokok pembayaran itu, melebihi jumlah yang seharusnya disepakati oleh pembayar
dan penerima bunga seandainya tidak ada hubungan istimewa semacam itu, maka
keuntungan-keuntungan Pasal ini akan berlaku hanya terhadap jumlah bunga yang
disebut terakhir.
Dalam hal ini, jumlah pembayaran selebihnya akan tetap dikenakan pajak menurut
perundang undangan masing-masing Negara, dengan memperhatikan ketentuanketentuan lainnya dalam persetujuan ini.
Pasal 12
1. Royalti yang berasal dari suatu Negara dan dibayarkan kepada penduduk Negara
lainnya, dikenakan pajak di Negara lainnya itu.
2. Namun demikian, royalti tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara dimana
royalti itu berasal, sesuai dengan perundang-undangan Negara itu, tetapi apabila
sipenerima adalah pemilik royalti yang menikmatinya, pajak yang dikenakan tidak
akan melebihi 10 persen dan jumlah kotor royalti.
3. Istilah "royalti" yang digunakan dalam Pasal ini berarti segala bentuk pembayaran
yang diterima sebagai balas jasa atas penggunaan, atau hak menggunakan setiap hak
cipta kesusasteraan, kesenian atau karya ilmiah termasuk film-sinematografi dan film
atau pita-pita untuk siaran radio atau televisi, paten, merek dagang, pola atau model,
rencana, rumus rahasia atau pengolahan, atau penggunaan atau hak menggunakan
perlengkapan-perlengkapan industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan, atau untuk
keterangan mengenai pengalaman dibidang industri, perdagangan atau ilmu
pengetahuan.
4. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 tidak berlaku apabila penerima royalti yang
merupakan penduduk suatu Negara menjalankan usaha di Negara lainnya dimana
royalti itu berasal, melalui pendirian tetap, atau melakukan pekerjaan bebas dengan
suatu tempat tertentu, dan hak atau milik sehubungan dengan mana royalti itu
dibayarkan, mempunyai hubungan efektif dengan pendirian tetap atau tempat tertentu
itu.
Dalam hal demikian, melihat pada masalahnya, berlaku ketentuan-ketentuan Pasal 7
atau Pasal 14
5. Royalti dianggap berasal dari suatu Negara, jika pembayaran royalti itu adalah Negara
itu sendiri, Pemerintah Daerah/Lokal atau penduduk Negara tersebut.
Namun demikian apabila pembayaran royalti, tanpa memandang apakah ia merupakan
penduduk suatu Negara atau bukan mempunyai pendirian tetap atau tempat tertentu di
Negara lain dimana kewajiban membayar royalti timbul dan royalti itu dibebankan
pada pendirian tetap atau tempat tertentu itu, maka royalti itu dianggap berasal dari
Negara dimana pendirian tetap atau tempat tertentu itu berada.
6. Apabila karena adanya suatu hubungan istimewa antara pembayar dan penerima
royalti atau antara keduanya dengan pihak ketiga maka jumlah royalti, dengan
memperhatikan penggunaan, hak dan keterangan untuk mana royalti itu dibayar
melebihi jumlah yang seharusnya disepakati oleh pembayar dan penerima seandainya
tidak terdapat hubungan istimewa, maka ketentuan-ketentuan pasal ini hanya akan
berlaku terhadap jumlah yang disebut terakhir.
Dalam hal demikian, jumlah pembayaran selebihnya tetap dikenakan pajak menurut

20

LAMPIRAN
perundang-undangan masing-masing Negara dengan memperhatikan ketentuanketentuan lain dalam Persetujuan ini.
Pasal 13
1. Keuntungan yang diterima oleh penduduk suatu Negara dari pemindahtanganan harta
tak gerak sebagaimana disebut pada pasal 6 yang terletak di Negara lain, dapat
dikenakan pajak di Negara lain itu.
2. Keuntungan dari pemindahtanganan dari harta lainnya yang bukan harta tak gerak,
yang merupakan bagian kekayaan daripada suatu pendirian tetap atau
pemindahtanganan harta lainnya dari suatu tempat tertentu untuk tujuan
melaksanakan pekerjaan bebas di Negara lain, termasuk keuntungan dari
pemindahtanganan pendirian tetap itu (tersendiri atau bersama dengan seluruh
perusahaan) atau pemindahtanganan tersebut tertentu itu, dapat dikenakan pajak oleh
Negara lain tersebut.
3. Keuntungan yang diterima oleh penduduk suatu Negara dari pemindahtanganan Kapal
atau pesawat udara yang dioperasikan dalam jalur lalulintas internasional dan
pemindahtanganan harta yang bukan harta tak gerak yang ada hubungannya dengan
pengoperasian kapal atau pesawat udara, hanya akan dikenakan pajak di Negara itu.
4. Keuntungan-keuntungan dari pemindahtanganan harta lainnya yang tidak diatur
dalam ayat terdahulu, hanya dikenakan pajak di Negara dimana orang/badan yang
memindahtangankan merupakan penduduk/berkedudukan.
Pasal 14
1. Pendapatan yang diterima seorang penduduk suatu Negara sehubungan dengan
pekerjaan bebas atau pekerjaan lain yang bersifat sama, hanya akan dikenakan pajak
di Negara itu, kecuali ia mempunyai tempat tertentu yang secara teratur dipergunakan
untuk melakukan pekerjaannya di Negara lain atau ia berada di Negara lain itu untuk
suatu masa atau masa masa yang tidak melebihi jumlah 183 hari dalam suatu tahun
takwim, apabila ia mempunyai tempat tertentu atau tinggal di Negara lain seperti
disebut diatas, maka pendapatannya dikenakan pajak di Negara lain itu, tetapi hanya
bagian pendapatan yang dianggap berasal dari tempat tertentu itu atau pendapatan
yang diterima selama masa ia berada di Negara lain tersebut.
2. Istilah "pekerjaan bebas" meliputi terutama, pekerjaan bebas dibidang ilmu
pengetahuan, kesusastraan, kesenian pendidikan atau pengajaran demikian pula
pekerjaan bebas yang dilakukan oleh dokter, ahli hukum, ahli tehnik, arsitek, dokter
gigi dan akuntan.
Pasal 15
1. Tunduk pada ketentuan-ketentuan Pasal 16, 18, 19, 20 dan 21, gaji upah dan jasa
lainnya yang serupa yang diterima oleh seorang penduduk dari suatu Negara
berkenaan dengan pekerjaan dalam hubungan perburuhan hanya akan dikenakan
pajak di negara itu, kecuali jika pekerjaan itu dilakukan di negara lain jika demikian,
maka balas jasa yang diterima dari pekerjaan itu dikenakan pajak di Negara lain itu.
2. Walaupun ada ketentuan-ketentuan ayat 1, balas jasa yang diperoleh seorang
penduduk disuatu Negara dari pekerjaan yang dilakukan di Negara lain, hanya akan
dikenakan pajak di Negara yang disebut pertama, jika:

21

LAMPIRAN
(a)
(b)
(c)

si penerima berada di Negara lain itu selama suatu masa atau masa-masa yang
jumlahnya tidak melebihi 183 hari dalam suatu tahun takwim; dan
balas jasa dibayar oleh atau nama majikan yang bukan merupakan penduduk
Negara lainnya itu; dan
balas jasa tidak menjadi beban suatu ayat 1 dan 2, balas jasa yang berkenaan
dengan pekerjaan dalam hubungan perburuhan yang dilakukan di atas kapal atau
pesawat udara yang dioperasikan dalam jalur lalulintas internasional oleh
perusahaan dari suatu Negara, dikenakan pajak di Negara itu.
Pasal 16

Pendapatan para pengurus dan pembayaran-pembayaran sejenis lainnya yang diperoleh


seorang penduduk suatu Negara dalam kedudukannya sebagai anggota pengurus dari suatu
perusahaan yang berkedudukan di Negara lain, dikenakan pajak di Negara lainnya itu.
Pasal 17
1. Walaupun ada ketentuan-ketentuan Pasal 14 dan 15, pendapatan yang diperoleh
seorang seniman penghibur, seperti artis teater, film, radio atau televisi, dan pemain
musik, atau oleh seorang atlit, dari kegiatan-kegiatan pribadi mereka diatas,
dikenakan pajak di Negara dimana kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan.
Bagaimanapun pendapatan itu dibebaskan dari pengenaan pajak di Negara tersebut
apabila kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang menjadi penduduk
Negara lain, berdasarkan suatu program khusus pertukaran kebudayaan yang
dimufakati oleh Pemerintah kedua Negara.
2. Bila pendapatan sehubungan dengan kegiatan pribadi demikian dari penghibur atau
atlit tidak jatuh kepada mereka tetapi kepada orang lain walaupun ada ketentuanketentuan Pasal 7, 14 dan 15, dikenakan pajak di Negara dimana kegiatan-kegiatan
mereka dilakukan.
Bagimanapun pendapatan itu dibebaskan dari pengenaan pajak di Negara tersebut,
apabila kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang merupakan penduduk
Negara lain berdasarkan suatu program khusus pertukaran kebudayaan yang
dimufakati oleh Pemerintah kedua Negara dan jatuh kepada orang lain yang
merupakan penduduk dari Negara lainnya itu.
Pasal 18
Tunduk pada ketentuan-ketentuan Pasal 19 ayat 2, pensiun dan pembayaran sejenis lainnya
yang dibayarkan kepada seorang penduduk suatu Negara akibat suatu hubungan kerja masa
lalu, hanya dikenakan pajak di Negara itu.
Pasal 19
1. (a) Balas jasa, selain pensiun, yang dibayar oleh suatu Negara, Pemerintah/Lokal
kepada seseorang sehubungan dengan jasa-jasa yang diberikan kepada Negara
atau Pemerintah Daerah/Lokal itu, dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas
Pemerintah, hanya akan dikenakan pajak di Negara itu.
(b) Namun demikian, balas jasa itu hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya
apabila jasa-jasa tersebut diberikan di Negara lainnya itu dari pemberi jasa adalah
penduduk Negara tersebut yang :
22

LAMPIRAN
(i)
(ii)

mempunyai kewarganegaraan Negara lain itu, atau


tidak menjadi penduduk Negara lain itu semata-mata dengan tujuan
melaksanakan pemberian jasa-jasa di maksud.
2. (a) Setiap pensiun yang dibayar oleh atau dari dana-dana yang diadakan oleh suatu
Negara atau Pemerintah Daerah/Lokal kepada seseorang sehubungan dengan
pemberian jasa kepada Negara, atau Pemerintah Daerah/Lokal itu, hanya akan
dikenakan pajak di Negara itu.
(b) Namun demikian pensiun itu hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya
apabila orang tersebut merupakan penduduk dan berkewarganegaraan Negara
lainnya itu.
3. Ketentuan-ketentuan Pasal 15, 16, 17 dan 18 akan berlaku terhadap balas jasa atau
pensiun dari jasa yang diberikan kepada perusahaan yang dijalankan oleh suatu Negara
atau Pemerintah Daerah/Lokal.
Pasal 20
Seorang guru besar atau guru yang mengadakan kunjungan untuk sementara ke suatu Negara
dalam jangka waktu yang tidak melebihi 2 tahun dengan maksud untuk mengajar atau
melakukan riset di suatu Universitas, Akademi, Sekolah atau Lembaga pendidikan yang
diakui Pemerintah, dan yang sebelum kunjungan itu ia adalah penduduk Negara lainnya,
hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya itu atas balas jasa yang diperolehnya dari
mengajar dan melakukan riset itu.
Pasal 21
1. Seseorang yang merupakan penduduk suatu Negara sebelum melakukan kunjungan ke
Negara lainnya dan untuk sementara berada di Negara lain itu semata-mata:
(a)

(b)

(c)

sebagai seorang mahasiswa atau pelajar pada suatu Universitas, Akademi,


Sekolah atau Lembaga pendidikan lainnya yang diakui Pemerintah di Negara
lain itu.
sebagai seorang yang menerima bantuan, tunjangan atau hadiah dari Pemerintah,
organisasi-organisasi keagamaan, sosial, ilmu pengetahuan, kesusasteraan atau
pendidikan, dengan tujuan pokok untuk belajar atau melakukan riset, atau
sebagai seorang yang sedang belajar diperusahaan, akan dibebaskan dari
pengenaan pajak di Negara lain itu, untuk suatu jangka waktu yang tidak
melebihi 5 tahun pajak terhitung dari tanggal kedatangannya yang pertama di
Negara lain tersebut, atau pendapatan yang diperoleh dari
(i) pengiriman uang dari luar negeri untuk maksud keperluan hidupnya,
pendidikan, pelajaran, riset atau latihan.
(ii) bantuan, tunjangan atau hadiah.
(iii) pemberian jasa perorangan di Negara lainnya itu yang dibayar oleh majikan
yang merupakan penduduk dari Negara yang disebut pertama, dan
(iv) pemberian jasa perorangan di Negara lainnya itu selain pendapatan yang
disebut dalam sub-ayat (iii), tidak melebihi jumlah 600.000 yen apabila
Negara lainnya itu Jepang, atau 900.000, rupiah apabila Negara lainnya itu
adalah Indonesia, selama satu tahun takwim.

2. Seseorang yang merupakan penduduk suatu Negara sebelum mengadakan kunjungan


ke Negara lainnya dan berada untuk sementara di Negara lainnya itu selama suatu
23

LAMPIRAN
jangka waktu yang tidak melebihi 12 bulan sebagai pegawai dari, atau dalam ikatan
kerja dengan suatu perusahaan dari Negara yang disebut pertama, atau suatu
organisasi seperti tersebut pada ayat 1 (b), semata-mata untuk mendapatkan
pengalaman dibidang tehnik, keahlian atau usaha, akan dibebaskan dari pengenaan
pajak di Negara lainnya itu atas pendapatan selama jangka waktu tersebut diatas untuk
jasa-jasa yang langsung diberikannya untuk mendapatkan pengalaman itu, jika jumlah
seluruhnya yang diterima dari luar negeri oleh orang tersebut dan yang dibayarkan di
negara lainnya itu tidak melebihi jumlah 1.800.000 Yen apabila Negara lainnya itu
adalah Jepang, atau 2.700.000 Rupiah apabila Negara lainnya itu adalah Indonesia,
selama suatu tahun takwim.
3. Seseorang yang merupakan penduduk suatu Negara sebelum mengadakan kunjungan
ke Negara lainnya dan berada untuk sementara di Negara itu selama suatu jangka
waktu yang tidak melebihi 12 bulan berdasarkan rencana Pemerintah Negara lainnya
itu, semata-mata dengan maksud untuk belajar, riset atau latihan, akan dibebaskan
dari pengenaan pajak di Negara lainnya itu atas pendapatan dari jasa-jasa yang
langsung diberikannya sehubungan dengan maksud tersebut di atas.
4. Walaupun ada ketentuan-ketentuan ayat 1, 2 dan 3, dimana seseorang memenuhi
persyaratan untuk pembebasan pajak sehubungan dengan jangka waktu berdasarkan
dua atau semua ayat ayat itu, namun ia hanya mempunyai hak pembebasan pajak
berdasarkan satu ayat saja yang dapat ia pilih.
5. Untuk tujuan-tujuan dari Pasal ini, istilah Pemerintah akan dianggap termasuk setiap
Pemerintah Daerah/Lokal dari suatu Negara.
Pasal 22
1. Bagian-bagian dan pendapatan dari seorang penduduk suatu Negara, darimanapun
asalnya, yang tidak diatur dalam Pasal-pasal terdahulu dari persetujuan ini hanya akan
dikenakan pajak di Negara itu.
2. Ketentuan-ketentuan ayat 1 tidak akan berlaku terhadap pendapatan yang berasal dari
harta tak gerak seperti dirumuskan dalam Pasal 6 ayat 2, jika penerimaan pendapatan
itu merupakan penduduk dari suatu Negara, menjalankan perusahaan dengan suatu
pendirian tetap di Negara lain, atau melakukan pekerjaan bebas dengan suatu tempat
tertentu di Negara lain, dan hak atau kekayaan sehubungan dengan mana pendapatan
itu dibayarkan mempunyai hubungan efektif dengan pendirian tetap atau tempat
tertentu itu.
Dalam hal demikian, melihat pada masalahnya berlaku ketentuan-ketentuan Pasal 7
atau Pasal 14
Pasal 23
1. Tunduk kepada perundang-undangan Jepang mengenai kelonggaran sebagai suatu
pengurangan terhadap pajak di Jepang, yaitu pajak yang dibayar di Negara lain di luar
Jepang
(a) jika penduduk Jepang memperoleh pendapatan dari Indonesia dan pendapatan itu
dikenakan pajak di Indonesia sesuai dengan ketentuan-ketentuan Persetujuan ini,
maka jumlah pajak yang dibayar atas pendapatan itu akan diperhitungkan dengan
pajak terhutang yang dikenakan di Jepang terhadap penduduk itu.
Bagaimanapun jumlah pajak yang diperhitungkan itu tidak akan melebihi jumlah
pajak yang dikenakan di Jepang atas bagian pendapatan itu.
(b) jika pendapatan itu berupa dividen yang dibayarkan oleh suatu badan yang
24

LAMPIRAN
berkedudukan di Indonesia kepada suatu badan yang berkedudukan di Jepang dan
yang memiliki tidak kurang dari 25 persen dari hak suara dari badan yang
membayar dividen atau dari seluruh saham yang dikeluarkan oleh badan itu, maka
pajak yang dibayar di Indonesia oleh badan yang memberikan dividen itu akan
diperhitungkan.
2. (a) untuk tujuan ayat 1 (a), pajak yang dikenakan di Indonesia akan selalu dianggap
telah dibayar menurut tarip 10 persen terhadap dividen seperti yang diatur menurut
pasal 11 ayat 2, dan royalty seperti yang diatur menurut Pasal 12 ayat 2, dan
dengan tarip 15 persen terhadap dividen seperti yang diatur menurut Pasal 10 ayat
2 (b), jika
(i) dividen, bunga atau royalti itu dibayar oleh suatu badan yang berkedudukan
di Indonesia dan yang pada saat pembayaran, mengambil bagian dalam
penanaman modal berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1967 mengenai
Penanaman Modal Asing, seperti telah dirubah dan ditambah dengan
Undang-undang No. 11 tahun 1970, dan sepanjang belum ada perubahan
sejak tanggal penandatanganan Persetujuan ini, atau perubahan tersebut tidak
berarti sehingga tidak mempengaruhi ciri umumnya;
(ii) dividen, bunga atau royalti yang menurut perpajakan Indonesia dibebaskan
atau diberi kelonggaran berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat 3, Undangundang No. 1 tahun 1967 setelah dirubah, seperti disebut pada (i) diatas, atau
(iii) dividen, bunga atau royalti yang menurut perpajakan Indonesia dibebaskan
atau diberi kelonggaran berdasarkan fasilitas-fasilitas pajak lainnya yang
ditujukan untuk memajukan perkembangan ekonomi Indonesia yang
mungkin ditetapkan dalam perundang-undangan Indonesia sesudah tanggal
penandatanganan Persetujuan itu, dan yang dapat dimufakati oleh Pemerintah
kedua Negara.
(b) untuk tujuan-tujuan ayat 1 (b), istilah pajak yang dibayar di Indonesia akan
dianggap termasuk jumlah pajak Indonesia yang seharusnya telah dibayar
seandainya pajak Indonesia itu tidak dibebaskan atau diberi kelonggaran
berdasarkan:
(i) ketentuan-ketentuan Pasal 16 ayat 1, 2 dan 3 undang-undang No. 1 tahun
1967 setelah dirubah, seperti disebut pada sub ayat (a) (i);
(ii) ketentuan-ketentuan Pasal 15 ke 4 d Undang-undang No. 1 tahun 1967
setelah dirubah, seperti disebut pada sub-ayat (a) (i); atau
(iii) setiap fasilitas pajak lainnya yang ditujukan untuk memajukan perkembangan
ekonomi Indonesia yang mungkin ditetapkan dalam perundang-undangan
Indonesia sesudah tanggal penandatanganan Persetujuan ini, dan yang dapat
dimufakati oleh Pemerintah kedua Negara.
3. Di Indonesia, pajak ganda akan dihindarkan dengan cara sebagai berikut.
(a) Indonesia, ketika mengenakan pajak kepada penduduknya, dapat menggabungkan
dalam pendapatan kena pajak, bagian-bagian dari pendapatan yang dikenakan
pajak di Jepang menurut ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini;
(b) Jika penduduk Indonesia memperoleh pendapatan dari Jepang dan pendapatan itu
dikenakan pajak di Jepang menurut ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini,
jumlah pajak yang dibayar di Jepang atas pendapatan itu akan diperkenankan
untuk diperhitungkan dengan pajak terhutang yang dikenakan terhadap penduduk
itu.
Bagaimanapun jumlah pajak yang diperhitungkan itu tidak akan melebihi jumlah
pajak yang dikenakan Indonesia atas bagian pendapatan itu.

25

LAMPIRAN
Pasal 24
1. Warganegara dari suatu Negara tidak akan dikenakan pajak atau kewajiban apapun
sehubungan dengan itu oleh Negara lainnya, yang berlainan atau lebih memberatkan
daripada pengenaan pajak dan kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dengan itu
dibandingkan dengan warganegara dari Negara lainnya itu dalam keadaan yang sama.
2. Pengenaan pajak atas suatu pendirian tetap di Negara lain yang merupakan milik
suatu perusahaan di suatu Negara tidak akan diperlakukan dengan cara yang kurang
menguntungkan oleh Negara lainnya itu, dibandingkan dengan pemungutan pajak atas
perusahaan dari Negara lainnya yaitu yang menjalankan kegiatan-kegiatan yang sama.
Ketentuan ini tidak akan ditafsirkan sebagai mewajibkan suatu Negara untuk
memberikan kepada penduduk Negara lainnya potongan pribadi, keringanan dan
pengurangan untuk tujuan pengenaan pajak berdasarkan status sipil atau tanggungan
keluarga sebagaimana yang diberikan kepada penduduk Negara itu sendiri.
3. Kecuali dimana ketentuan-ketentuan Pasal 9, Pasal 11 ayat 8, atau pasal 12 ayat 6
berlaku, bunga, royalti dan lain-lain pengeluaran yang dibayarkan oleh suatu
perusahaan disuatu Negara kepada penduduk di Negara lainnya, maka untuk tujuan
menentukan laba kena pajak perusahaan itu akan dapat dikurangkan berdasarkan
keadaan yang sama, seolah-olah bunga, royalti dan lain-lain pengeluaran itu telah
dibayarkan kepada penduduk dari Negara yang disebut pertama.
4. Perusahaan dari suatu Negara, yang modalnya baik seluruhnya ataupun sebagian
dimiliki atau diawasi, langsung atau tidak langsung, oleh penduduk atau pendudukpenduduk dari Negara lainnya, tidak akan dikenakan pajak atau kewajiban apapun
sehubungan dengan itu di Negara tersebut pertama yang berlainan atau lebih
memberatkan dari pada pengenaan pajak dan kewajiban-kewajiban yang bersangkutan
dengan itu, yang dikenakan atau dapat dikenakan atas perusahaan-perusahaan lainnya
yang serupa di negara tersebut pertama.
5. Meskipun ada ketentuan-ketentuan pada ayat-ayat terdahulu, Indonesia dapat
membatasi warganegaranya menikmati fasilitas pajak yang diberikan berdasarkan :
(a)

(b)

Undang-undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri,


sepanjang belum dirubah sejak tanggal penandatanganan Persetujuan ini, atau
perubahan tersebut tidak berarti, sehingga tidak mempengaruhi ciri umumnya;
atau
Undang-undang lainnya yang akan diumumkan oleh Indonesia mengenai
program pengembangan ekonomi dan mengenai hal itu Pemerintah kedua
Negara dapat mengadakan pemufakatan bahwa ketentuan-ketentuan dari ayat
terdahulu tidak berlaku.

6. Dalam Pasal ini pengertian pengenaan pajak berarti pengenaan pajak-pajak yang
diatur oleh persetujuan ini.
Pasal 25
1. Apabila seseorang atau suatu badan beranggapan bahwa tindakan-tindakan satu atau
kedua Negara mengakibatkan atau akan mengakibatkan baginya pengenaan pajak
yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan. Persetujuan ini ia dapat terlepas dari
cara-cara penyelesaian yang diatur oleh undang-undang nasional masing-masing
Negara, mengajukan masalahnya kepada pejabat yang berwenang dan Negara dimana
ia merupakan penduduk atau apabila masalahnya menyangkut Pasal 24 ayat 1, kepada
26

LAMPIRAN
Negara dimana ia merupakan warganegara, masalah itu harus diajukan dalam waktu 3
tahun sejak pemberitahuan pertama, mengenai tindakan yang mengakibatkan
pengenaan pajak tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan Persetujuan ini.
2. Pejabat yang berwenang akan berusaha, bila keberatan yang ditujukan kepadanya itu
beralasan dan ia tidak dapat menemukan pemecahan yang memuaskan menyelesaikan
masalah itu melalui permufakatan bersama antara pejabat yang berwenang dan kedua
Negara, dengan tujuan mencegah pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan
Persetujuan ini. Meskipun terdapat pembatasan waktu dalam undang-undangan
nasional. Negara masing-masing, setiap permufakatan yang telah dicapai harus
dilaksanakan.
3. Pejabat-pejabat yang berwenang dan kedua Negara akan berusaha menyelesaikan
melalui permufakatan setiap kesulitan-kesulitan dan keraguan-keraguan yang timbul
mengenai penafsiran atau penerapan Persetujuan ini.
Mereka dapat pula berunding bersama untuk meniadakan pajak berganda dalam halhal yang diatur dalam Persetujuan ini.
4. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara dapat berhubungan satu sama lain
secara langsung guna mencapai suatu persetujuan seperti dimaksud pada ayat-ayat
terdahulu.
Pasal 26
1. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara akan mengadakan tukar-menukar
bahan keterangan yang diperlukan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan
Persetujuan ini atau untuk pencegahan pengelakan pajak atau untuk pelaksanaan
ketentuan undang undang terhadap penghindaran pajak yang sehubungan dengan
pajak-pajak yang diatur oleh Persetujuan ini.
Setiap keterangan yang dipertukarkan akan dirahasiakan dan tidak akan diundangkan
kepada orang atau badan lain atau pejabat-pejabat selain dari mereka yang (termasuk
pengadilan) berkepentingan dengan penerapan dan penagihan pajak-pajak itu atau
penentuan banding, dan orang atau badan yang bersangkutan dengan keterangan itu.
2. Ketentuan-ketentuan ayat 1 tidak boleh ditafsirkan sedemikian rupa sehingga
membebankan suatu Negara kewajiban:
(a)
(b)

(c)

melaksanakan tindakan administratif yang berlawanan dengan undang-undang


dan praktek administrasi dari Negara tersebut atau Negara lainnya:
memberikan ketentuan-ketentuan yang tidak dapat diperoleh berdasarkan
undang undang atau dalam pelaksanaan administrasi yang lazim dari Negara
tersebut atau Negara lainnya; atau
memberikan keterangan yang akan mengungkapkan setiap rahasia dibidang
perniagaan, usaha industri perdagangan atau rahasia keahlian atau tata-cara
perniagaan, atau keterangan yang pengungkapannya akan bertentangan dengan
kebijaksanaan umum.
Pasal 27

Tidak ada sesuatupun dalam Persetujuan ini akan ditafsirkan untuk menghalangi Pemerintah
kedua Negara membuat pengaturan yang khusus dibidang perpajakan seperti pembebasan
pajak sehubungan dengan kerjasama ekonomi atau kerjasama tehnik antara kedua Negara.
Pasal 28
27

LAMPIRAN
Tidak ada sesuatupun dalam Persetujuan ini akan mempengaruhi hak-hak khusus dibidang
fiskal dari para anggota misi diplomatik atau pegawai-pegawai konsuler berdasarkan
ketentuan umum hukum internasional atau berdasarkan ketentuan-ketentuan persetujuan yang
khusus.
Pasal 29
1. Persetujuan ini akan diratifisir dan instrumen ratifikasi akan dipertukarkan di Jakarta
secepat mungkin.
2. Persetujuan ini akan syah berlaku pada hari ke-30 setelah tanggal pertukaran
instrumen ratifikasi dan akan diterapkan di kedua Negara, terhadap pendapatan yang
diterima selama suatu tahun pajak yang dimulai atau setelah 1 Januari tahun takwim
berikutnya sesudah Persetujuan ini syah berlaku.
Pasal 30
Persetujuan ini akan berlaku tanpa batas waktu, tetapi salah satu dari kedua Negara dapat,
pada tanggal atau sebelum 30 Juni suatu tahun setelah berakhirnya jangka waktu 3 tahun
terhitung tanggal berlakunya mengirimkan surat pemberitahuan tertulis mengenai
penghentian Persetujuan kepada Negara lainnya melalui saluran diplomatik.
Dalam hal demikian Persetujuan ini tidak berlaku lagi dikedua Negara sehubungan dengan
pendapatan yang diperoleh selama tahun pajak yang dimulai atau setelah 1 Januari tahun
takwim berikutnya sesudah pemberitahuan itu.
Dengan kesaksian para pendatanganan dibawah ini yang telah diberi kuasa syah untuk ini
oleh masing-masing Pemerintahnya telah menandatangani Persetujuan ini.
Dibuat dalam rangkap dua di Tokyo tanggal 3 Maret 1982 dalam bahasa Inggris.
Untuk Pemerintah
Republik Indonesia

Untuk Pemerintah
Jepang

PROTOKOL
Pada saat penandatanganan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Jepang untuk Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak
yang menyangkut Pajak atas pendapatan (selanjutnya disebut Persetujuan), penandatangan
dibawah ini telah mufakat mengenai ketentuan-ketentuan berikut ini yang merupakan bagian
yang perlu untuk dilengkapi Persetujuan itu.
1. Sehubungan dengan Pasal 5 ayat 8 dari Persetujuan, dimana makelar, agen
komisioner umum dan agen lainnya disuatu negara seluruhnya atau hampir
seluruhnya berusaha untuk kepentingan suatu perusahaan di Negara lain, maka ia
tidak akan dianggap mempunyai status yang berdiri sendiri dalam pengertian ayat
tersebut.
2. Berkenaan dengan Pasal 8 dari Persetujuan, keuntungan-keuntungan yang diperoleh
dari pengoperasian kapal laut dalam pengertian Pasal tersebut akan terdiri hanya dari
28

LAMPIRAN
keuntungan-keuntungan yang diperoleh suatu perusahaan dari suatu Negara yang
menjalankan usaha perkapalan atas dasar perhitungan dan tanggung jawabnya sendiri.
3. Sehubungan dengan Pasal 16 dari Persetujuan, istilah, anggota pengurus dari suatu
perusahaan akan termasuk anggota pengurus dan anggota dewan komisaris dari suatu
perusahaan yang berkedudukan di Indonesia.
4. Untuk tujuan-tujuan Pasal 23 ayat 2 (b) Persetujuan, istilah pajak yang dibayar di
Indonesia tidak termasuk jumlah pajak Indonesia yang seharusnya telah dibayar
seandainya kerugian-kerugian yang diderita suatu badan yang berkedudukan di
Indonesia tidak diperhitungkan, karena penerapan perangsang penanaman sesuai
dengan ketentuan ketentuan atau langkah-langkah yang berkenaan dengan ayat
tersebut, kecuali dalam hal suatu badan yang berkedudukan di Indonesia dibebaskan
dari pengenaan pajak Indonesia atau diberi kelonggaran sesuai dengan ketentuanketentuan pasal 16 ayat 3 Undang-undang No. 1 tahun 1967 setelah dirubah, yang
berkenaan dengan Pasal 23 yat 2 (a) (i) Persetujuan.
5. (a) Tidak ada suatupun dalam Persetujuan ini akan ditafsirkan untuk menghalangi
Indonesia mengenakan pajak atas bagian laba sesuai dengan ketentuan-ketentuan
Pasal 7 Persetujuan dari Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti yang ada
hubungannya dengan Pasal 3 b ke-b Undang-undang Pajak Dividen 1959 setelah
dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 10 tahun 1970, sepanjang belum
ada perubahan sejak tanggal penandatanganan protokol ini, atau perubahan tersebut
tidak berarti sehingga tidak mempengaruhi ciri umumnya, atas laba setelah pajak
Perseroan (kecuali untuk pengoperasian kapal laut atau pesawat udara dalam jalur
lalulintas internasional) dari suatu badan yang berkedudukan di Jepang yang
mempunyai pendirian tetap di Indonesia; tetapi jumlah pajak tersebut tidak akan
melebihi 10 persen dari sisa laba tersebut, kecuali sisa laba itu merupakan laba yang
diperoleh dari badan-badan yang melakukan kontrak bagi hasil dibidang perminyakan
dan gas alam dengan Pemerintah Republik Indonesia atau dengan perusahaan minyak
milik Negara Indonesia.
(b) Pajak tersebut diatas yang sehubungan dengan laba setelah Pajak Perseroan dari suatu
badan yang berkedudukan di Jepang yang mempunyai pendirian tetap di Indonesia,
yang diperoleh dari kontrak bagi hasil dibidang perminyakan dan gas alam dengan
Pemerintah Republik Indonesia atau dengan perusahaan minyak milik Negara
Indonesia tidak akan diperlakukan dengan cara yang kurang menguntungkan
dibandingkan dengan perlakukan terhadap badan yang berkedudukan di Negara ketiga
yang mempunyai pendirian tetap di Indonesia yang memperoleh laba dari kontrak
bagi hasil dibidang perminyakan dan gas alam dengan Pemerintah Republik Indonesia
atau perusahaan minyak milik Negara Indonesia.
(c) Untuk tujuan-tujuan daripada ayat ini, laba setelah pajak Perseroan berarti jumlah sisa
dari keuntungan-keuntungan yang merupakan pendirian tetap dari suatu badan yang
tidak berkedudukan di Indonesia, dikurangi jumlah pajak Indonesia selain daripada
yang dimaksud dalam (a) diatas, yang dikenakan atas keuntungan keuntungan
tersebut.
Dengan kesaksian para penandatangan dibawah ini, yang telah diberi kuasa syah untuk ini
oleh masing-masing Pemerintahnya, telah menandatangani Protokol ini.
Dibuat dalam rangkap dua di Tokyo tanggal 3 Maret 1982 dalam bahasa Inggris.
Untuk Pemerintah

Untuk Pemerintah
29

LAMPIRAN
Republik Indonesia

Jepang

30

Anda mungkin juga menyukai