Anda di halaman 1dari 15

Manajemen Pajak atas Penjualan Saham Special Purpose Company di

Luar Negeri yang Memiliki Hubungan Istimewa dengan Perusahaan


di Indonesia

Disusun Oleh:
Jeane Marcella Prisca

26552

Idalia Randungan

26553

Ongky Dehani

26554

Devita Karlina Putri

26555

Fifit Yovita Sari

26556

Doddy Rizqi A

26557

PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI STIE YKPN


YOGYAKARTA
2016

Penjualan saham special purpose company diatur dalam pasal 18 ayat (3c) UndangUndang Pajak Penghasilan Tahun 1984 yang menyatakan bahwa penjualan atau pengalihan
saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose company) yang didirikan
atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven
country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai
penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
Pasal tersebut berkaitan dengan Pasal 26 ayat (2a) yang menyatakan bahwa atas
penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (3c) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
Ketentuan pelaksanaannya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.03/2008
tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Dari Penjualan Atau
Pengalihan Saham Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 18 Ayat (3c) Undang-Undang Pajak
Penghasilan Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri.
Jadi, walaupun saham yang dijual adalah saham perusahaan yang berkedudukan di
negara lain, Indonesia bisa mengenakan Pajak Penghasilan kepada pemilik saham yang
menjualnya. Hal ini dimungkinkan karena saham perusahaan yang dijual adalah saham
perusahaan antara (conduit company), yang pada dasarnya adalah saham perusahaan di
Indonesia. Pendirian perusahaan antara ini dimaksudkan hanya untuk menghindari pengenaan
pajak (tax avoidance) supaya tidak terkena Pajak Penghasilan di Indonesia.
Contoh special purpose company, saham PT Indokaya dimiliki oleh beberapa
perusahaan yaitu, X Corporation memiliki Rp1.000.000.000, Rich Corporation memiliki
Rp5.000.000.000, PT ABC memiliki sebesar Rp3.000.000.000 dan Tuan Eko memiliki
Rp1.000.000.000. X Corporation ingin menjual sahamnya kepada PT QRS, penjualan saham
tersebut tentu saja dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia. Untuk menghindari pajak
tersebut X Corporation membuat perusahaan baru yaitu Lite Ltd sebagai anak perusahaan, di
negara yang menjadi tax heaven country. Dengan demikian, X Corporation dapat menjual
sahamnya kepada PT QRS melalui Lite Ltd tanpa adanya pengenaan pajak di Indonesia.
Dengan kata lain PT QRS juga otomatis memiliki saham PT Indokaya.
Pemotong PPh Pasal 26
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (2a) berdasarkan Pasal 2 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.03/2008 adalah pembeli apabila pembelinya wajib pajak

dalam negeri. Namun, apabila pembelinya adalah wajib pajak luar negeri, maka pemotong
pajaknya adalah badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia yang sahamnya
diperjualbelikan oleh pemegang saham wajib pajak luar negeri di luar Bursa Efek.
Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 26 dan Tarif dan Dasar Pengenaan
Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special
purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan
perlindungan pajak (tax heaven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia
dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia. PPh Pasal 26 yang
dipotong atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham ini adalah 20% (dua puluh
persen) dari perkiraan penghasilan neto.
Besarnya perkiraan penghasilan neto adalah 25% (dua puluh lima persen) dari harga
jual sesuai Pasal 1 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 258/PMK.03/2008 tentang
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Penghasilan Dari Penjualan Atau Pengalihan
Saham Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 18 Ayat (3c) Undang-Undang Pajak Penghasilan
Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri. Dengan demikian, tarif efektifnya
adalah 20% x 25% x harga jual atau sama dengan 5% dari harga jual.
Tatacara Penyetoran dan Pelaporan
1. Dalam Hal Pembelinya Wajib Pajak Dalam Negeri
Penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara oleh
Wajib Pajak luar negeri kepada Wajib Pajak Dalam Negeri, dipotong pajak oleh
pembeli Wajib Pajak Dalam Negeri dan kepada Wajib Pajak Luar Negeri tersebut
diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 26.
Pajak yang telah dipotong wajib disetorkan ke kas negara melalui kantor pos
atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan oleh pemotong Pajak Penghasilan
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah terjadinya transaksi
pengalihan. Pemotong Pajak Penghasilan wajib melaporkan pajak yang telah dipotong
dalam Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
2. Dalam Hal Pembelinya Wajib Pajak Luar Negeri
Dalam hal saham dibeli oleh Wajib Pajak Luar Negeri, maka pihak yang
dtunjuk sebagai pemungut pajak adalah badan yang didirikan atau berkedudukan di

Indonesia yang sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham Wajib Pajak Luar
Negeri di luar Bursa Efek; dan badan tersebut harus mencatat akta pemindahan hak
atas saham yang dijual.
Pajak yang telah dipungut wajib disetorkan ke Kantor Pos atau bank yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan oleh pemungut Pajak Penghasilan paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah terjadinya transaksi pengalihan.
Pemungut Pajak Penghasilan wajib melaporkan pajak yang telah dipungut dalam
Surat Pemberitahuan Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
Contoh Perhitungan
Misal, Wow Way Co. (perusahaan di Hongkong) adalah salah satu pemegang saham
PT Indonat. Wow Way Co. di bulan Januari 2013 menjual saham yang dimilikinya di
PT Indonat kepada PT Holdindo (perusahaan di Indonesia) senilai Rp5.000.000.000
dan kepada Tematek Co. (perusahaan di Malaysia) senilai Rp20.000.000.000.
Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkait transaksi tersebut?
a. Penghasilan dari penjualan saham Perseroan Terbatas dalam negeri yang diperoleh
Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) dipotong pajak sebesar 20
% x 25 % atau 5 % (lima persen) dari harga jual.
b. Perseroan Terbatas dalam negeri tersebut adalah Perseroan Terbatas yang sahamnya
diperjualbelikan oleh pemegang saham yang berstatus Wajib Pajak luar negeri dan
tidak berstatus sebagai Emiten atau Perusahaan Publik.
c. Pemotong PPh Pasal 26 ini adalah pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak.
Dalam hal pembelinya adalah WPLN, maka yang ditunjuk sebagai pemungut pajak
adalah Perseroan.
d. Bagi pemegang saham Wajib Pajak luar negeri yang berkedudukan di negara-negara
yang telah mempunyai P3B dengan Indonesia, maka pemotongan PPh Pasal 26 hanya
dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya ada di
Indonesia.

Kewajiban Pemotongan PPh Pasal 26 PT Holdindo adalah:


PT Holdindo memotong PPh Pasal 26 sebesar Rp250.000.000,00 (20% x 25% x
Rp5.000.000.000,00) atas penghasilan dari penjualan saham yang dibayarkan kepada
Wow Way Co, menyetor PPh Pasal 26 yang telah dipotong atas pengalihan saham
tersebut paling lambat tanggal 11 Februari 2013 dan melaporkan PPh Pasal 26

menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23/26 masa pajak Januari 2013 paling lambat tanggal

20 Februari 2013.
Kewajiban Pemungutan PPh Pasal 26 oleh PT Indonat adalah sebagai berikut:
PT Indonat memungut PPh Pasal 26 sebesar Rp1.000.000.000,00 (20% x 25% x
Rp20.000.000.000,00) atas penghasilan dari penjualan saham yang dibayar oleh Tematek
Co. kepada Wow Way Co, menyetor PPh Pasal 26 yang telah dipungut atas pengalihan
saham tersebut paling lambat tanggal 11 Februari 2013 dan melaporkan PPh Pasal 26
menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23/26 masa pajak Januari 2013 paling lambat tanggal
20 Februari 2013.

Hubungan Istimewa
Hubungan istimewa di Indonesia diatur pada pasal 18 ayat 4 Undang-undang Pajak
Penghasilan yaitu;
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib
Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib
Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut
terakhir;
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di
bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Menangkal Kecurangan Transfer Pricing
Transfer pricing merupakan transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi pada
suatu kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar, bisa dengan menaikkan (mark up) atau
menurunkan harga (mark down), kebanyakan dilakukan oleh perusahaan global (MultiNational Enterprise). Tujuannya, pertama, untuk mengakali jumlah profit sehingga
pembayaran pajak dan pembagian dividen menjadi rendah. Kedua, menggelembungkan profit
untuk memoles (window-dressing) laporan keuangan.
Modus transfer pricing dapat terjadi atas harga penjualan, harga pembelian, overhead
cost, bunga shareholder-loan, pembayaran royalti, imbalan jasa, penjualan melalui pihak
ketiga yang tidak ada usaha (special purpose company). Model penghindaran pajak (tax

avoidance) sering mungkin terjadi pada ekspor komoditas. Para eksportir, masih banyak
menggunakan kontrak penjualan lama, yang belum direnegosiasi, untuk pelaporan omset
pada SPT Tahunan. Pengusaha juga melakukan transfer pricing (TP) dengan mendirikan
perusahaan perantara di negara bertarif pajak rendah seperti Hongkong dan Singapura,
sebelum menjual ke enduser.
Ilustrasi berikut ini adalah praktik transfer pricing. PT ABC bisa menjual produk
mainannya ke pasar dengan harga US$20/pcs tetapi terlebih dahulu menjualnya ke S Co yang
masih merupakan grup perusahaan yang berada di negara S yang mempunyai tarif pajak yang
lebih rendah (tax heaven country) dengan harga US$14/pcs. Kemudian S Co baru menjual
mainan tersebut dengan harga USD20/pcs ke Z Corp yang merupakan pihak independen
(tidak mempunyai hubungan istimewa/bukan grup perusahaan).

Model transfer pricing lainnya dengan membayar royalti ke induk usaha. Contoh
PT.A di Indonesia, selaku anak usaha PQR Limited, mendapat lisensi untuk menjualan
produk PQR Limited. Selain itu PQR Limited juga memberi lisensi ke perusahaan non afiliasi
di Indonesia, yaitu PT.B. Atas omset tahunan, PT.A membayar royalti ke PQR Ltd sebesar
Rp.10 milyar. Dengan jumlah omset yang hampir sama, PT.B hanya membayar royalti ke
PQR Ltd sebesar Rp.2,5 milyar. Atas perbedaan tarif royalti, perlu ada penelitian lanjut,
kemungkinan pembayaran royalti PT.A adalah pembayaran dividen terselubung dari PT.A ke
PQR Limited selaku pemegang saham.

Mengumumkan Pengemplang Pajak

Untuk mencegah penghindaran pajak karena penentuan harga tidak wajar (non arm's
length price), muncul Peraturan Dirjen Pajak No.PER-42/PJ/2011 tanggal 11 November
2011. Aturan ini membahas penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arms length
principles) terkait transaksi antara wajib pajak dengan pihak yang memiliki hubungan
istimewa. Aturan ini mengharuskan wajib pajak untuk menggunakan nilai pasar wajar dalam
bertransaksi dengan pihak istimewa (related parties).
Kategori hubungan istimewa di Indonesia, diatur Pasal 18 UU No.36/2008 yaitu
penyertaan modal minimal 25 persen, keterkaitan pengelolaan manajemen dan hubungan
keluarga sederajat sedarah maupun semenda. Apabila wajib pajak tidak bisa menunjukkan
bukti pendukung kewajaran harga transaksi, maka Ditjen Pajak akan menetapkan harga
transaksi yang wajar antara pihak-pihak yang terafiliasi. Namun ada pengecualian, kewajiban
pelaporan TP dibatasi untuk nilai minimal sebesar Rp.10 milyar dalam satu tahun pajak.
Melenyapkan transfer pricing bukan urusan gampang. Ketiadaan akses publik ke
dalam detil rincian transaksi perusahaan, menyebabkan perusahaan leluasa memodifikasi
laporan keuangan. Bahkan perusahaan terbuka (Tbk) mungkin juga melakukan TP. Bahkan
TP tidak hanya dilakukan antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa. Transaksi
antara perusahaan yang sama sekali tidak hubungan istimewa, juga bisa dilakukan under
invoice, untuk mengecilkan omset penjualan.
Aturan PER-32/PJ/2011 menyatakan bahwa penentuan harga transaksi wajar (arms
length price) bisa melalui metode perbandingan harga antara pihak non istimewa, resale
price dan metode lainnya. Syarat utama analisis ini adalah ketersediaan data pembanding
eksternal maupun internal.
Publik berhak mengetahui perusahaan yang mengemplang pajak. Kasus seperti ini
pernah terjadi di Australia pada tahun 2004, antara perusahaan otomotif PMA Jepang dengan
otoritas pajak Australia. Dengan pengumuman kasus transfer pricing ke publik, publik bisa
melakukan tekanan moral ke perusahan yang melakukan transfer pricing.
Perlu dikaji beberapa hal untuk mengurangi transfer pricing. Pertama, mengaktifkan
peran akuntan publik. Ketentuan paragraf 9 huruf d Standar Professional Akuntan Publik
(SPAP) No. 34 mengatur peranan auditor untuk menguji kewajaran perhitungan
jumlah related parties transaction yang diungkapkan dalam laporan keuangan. Kedua,

memperluas kriteria transfer pricing tidak hanya related parties, tetapi melebar ke semua
transaksi yang diindikasikan di bawah harga pasar wajar, termasuk dengan perusahaan non
afiliasi. Ketiga, menggunakan data pembanding Eksternal dari pelaporan DHE (Devisa Hasil
Ekspor) untuk mendeteksi aliran dana dan underlying transaksi ekspor. Dalam Peraturan
Bank Indonesia No.13/20/PBI/2011, seluruh penerimaan DHE harus melalui Bank Devisa,
dimana eksportir wajib menyampaikan informasi tentang DHE meliputi informasi tanggal
PEB, kode kantor Bea Cukai, nomor pendaftaran PEB, dan NPWP eksportir. Keempat,
mengumumkan ke publik tentang proses banding oleh wajib pajak yang melakukan transfer
pricing, sebagai bentuk tekanan moral. Perlu dicermati, pada pasal 50 ayat (1) UU
No.14/2002 tentang Pengadilan Pajak, disebutkan bahwa pengadilan pajak terbuka bagi
publik. Dengan Pemerintah mengumumkan jalannya peradilan pajak, akan membuka mata
publik bahwa perusahaan-perusahaan terkenal tersebut ternyata melakukan kecurangan untuk
menghindari pajak. Kelima, perlu ada data center, seperti Indonesian Coal Index, yang mengupdate harga

terbaru

komoditas

untuk assesment kewajaran

omset

tambang.
penjualan

Harga
pada

terbaru
SPT

komoditas

diperlukan

tahunan

perusahaan

pertambangan. Keenam, pembentukan single document window (SDW) antar negara yang
telah menerapkan tax treaty, dan forum multilateral, seperti APEC. Model SDW efektif untuk
mengawasi harga pengiriman barang antar negara produsen dan konsumen. Dengan model
SDW, penerbitan invoice oleh perusahaan perantara abal-abal di tax haven country akan
terkena pajak, sehingga modus transfer pricing tidak efisien untuk perusahaan tersebut.

Tax Treaty
Perjanjian Tax Treaty antara Indonesia dan Hongkong
Salah satu cara menghemat pajak adalah dengan memanfaatkan tax treaty dari setiap
negara. Setiap negara mempunyai peraturan masing-masing dalam memungut pajak atas
penghasilan yang diterima di negara tersebut baik terhadap penduduk maupun bukan
penduduk negaranya berdasarkan asas perpajakan yang dianut negara tersebut. Terdapat
beberapa jenis asas pemungutan pajak yang umumnya dianut oleh suatu negara, yaitu asas
domisili, asas sumber, asas kewarganegaraan, dan asas teritorial.
Suatu negara yang menganut asas domisili akan memajaki penghasilan dari subjek
pajak yang berdomisili di negaranya. Umumnya negara ini menerapkan prinsip world wide
income, yaitu negara akan melakukan pemungutan pajak terhadap wajib pajak atas

penghasilan yang diperoleh baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sedangkan negara
yang menganut asas sumber hanya melakukan pemungutan pajak jika suatu penghasilan
bersumber dari dalam negeri. Pada negara yang menganut asas kewarganegaraan, pengenaan
pajak didasarkan pada status kewarganegaraan seseorang, negara akan mengenakan pajak
atas penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri bila penerima penghasilan
berstatus sebagai warga negaranya. Sedangkan pada negara yang menganut asas teritorial,
pajak dikenakan atas penghasilan yang diperoleh di wilayah teritorial negaranya.
Perbedaan asas perpajakan dapat timbul karena adanya perbedaan asas pemungutan
pajak yang digunakan oleh dua negara. Misalnya, seorang atau suatu wajib pajak berasal dari
negara yang mempergunakan asas domisili mempunyai penghasilan yang berasal dari negara
yang menganut asas sumber, maka atas penghasilan tersebut akan terjadi pengenaan pajak
pada kedua negara. Agar tidak terjadi pajak berganda ini, suatu negara melakukan berbagai
upaya penghindaran pajak berganda yang dilakukan baik secara unilateral dan bilateral.
Secara unilateral, dilakukan dengan cara melengkapi peraturan perpajakan di negara
masing-masing dengan metode penghindaran pajak berganda. Beberapa metode penghindaran
pajak berganda secara unilateral yaitu sebagai berikut.
a. Metode pembebasan/pengecualian (exemption method)
Dalam metode ini penghasilan yang diperoleh di luar negeri (negara sumber)
tidak akan lagi dipajaki di dalam negeri (negara domisili). Terdapat dua variasi dalam
penerapan metode pengecualian, yaitu metode full exemption method dan exemption
with progression method. Dalam full exemption method, semua penghasilan yang
sudah dikenakan pajak di negara lain tidak akan lagi dipajaki di dalam negeri.
Sedangkan dalam exemption with progression method penghasilan yang sudah
dikenakan pajak di negara lain tidak dikenakan pajak di dalam negeri, namun
penghasilan tersebut diperhitungkan dalam menentukan tarif pajak yang diberlakukan
(lapisan tarif progresif).
b. Metode kredit (credit method)
Dalam metode ini penghasilan yang diperoleh diluar negeri dan sudah dipajaki
di negara tersebut (negara sumber) akan tetap dipajaki di dalam negeri (negara
domisili), namun jumlah pajak yang dibayarkan diluar negeri (negara sumber) dapat
dikurangkan sebagai kredit pajak dalam perhitungan pajak yang harus dibayarkan di
dalam negeri. Terdapat dua variasi metode credit yaitu full credit method dan ordinary
credit method.
Sedangkan penghindaran pajak berganda secara Bilateral dilakukan dengan
cara suatu negara membuat persetujuan dengan negara lain mengenai penghindaran

pajak berganda (tax treaty). Perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dibuat
untuk mengatur pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau
diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara yang melakukan perjanjian.
Pembuatan P3B sebagai salah satu bentuk perjanjian internasional dilakukan melalui
beberapa tahapan, yaitu tahap penjajakan, tahap perundingan, perumusan naskah,
tahap penerimaan, dan tahap penandatanganan.
Tahap penjajakan dilakukan untuk melihat apakah suatu negara perlu
mempunyai P3B dengan negara tertentu. Hal-hal yang harus dilakukan dalam tahap
penjajakan yaitu meneliti secara selektif mitra runding P3B untuk mencegah
terjadinya pemanfaatan P3B untuk keperluan treaty shopping, mempelajari sistem
perpajakan calon negara P3B, dan melihat tingkat hubungan ekonomi antar kedua
negara. Dalam pembuatan P3B, pemerintah Indonesia berpedoman pada kepentingan
nasional

dan

berdasarkan

prinsip-prinsip

persamaan

kedudukan,

saling

menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum


internasional yang berlaku. Setelah setiap tahapan tersebut dilalui, P3B selanjutnya
ditandatangani. Penandatanganan P3B merupakan persetujuan kedua negara terkait
atas naskah P3B yang telah dihasilkan. Kedudukan P3B terhadap undang-undang
perpajakan domestik adalah bersifat lex specialis. Maksudnya yaitu jika terdapat
perbedaan antara ketentuan dalam undang-undang PPh dengan P3B. maka yang
berlaku adalah ketentuan dalam P3B, dan untuk pemajakan luar negeri yang tidak
diatur dalam P3B, maka tunduk pada ketentuan UU PPh pasal 26.
Saat ini Indonesia memiliki lebih dari 60 P3B yang berlaku efektif dengan
negara lain, salah satunya yaitu P3B dengan negara Hongkong. P3B dengan
Hongkong dibuat dan ditandatangani di Jakarta pada tanggal 23 Maret 2010 kemudian
mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2013 di Indonesia dan1 April 2013 di
Hongkong dengan pengaturan sebanyak 29 pasal. P3B antara Indonesia dengan
Hongkong merupakan topik yang cukup lama dibahas oleh kedua negara sebelum
terjadi kesepakatan. Pada awalnya Indonesia ragu untuk menandatangani perjanjian
ini karena P3B dengan negara tax haven merupakan hal yang tidak menguntungkan.
P3B dengan tax haven memiliki potensi yang besar untuk digunakan sebagai
instrumen penghindaran pajak. Namun selain segi negatif yang dapat ditimbulkan dari
P3B tersebut, terdapat juga sisi lain yang dapat menguntungkan Indonesia. Misalnya,
sistem perpajakan Hongkong yang sederhana dan tarif-tarif pajak yang rendah, seperti
tarif pajak perusahaan yang hanya 16,5% dan tidak ada pajak atas penerimaan dividen

membuat negara tersebut menjadi negara yang business friendly dan menarik untuk
mendirikan perusahaan di sana, khususnya perusahaan yang berbentuk holding
company. Adanya P3B antara Indonesia dengan Hongkong akan meningkatkan
efisiensi untuk transaksi antara kedua negara karena memperkecil entry barrier
berupa beban pajak. Oleh karena itu, P3B ini diharapkan dapat meningkatkan daya
tarik Indonesia sebagai tempat investasi bagi investor Hongkong.
Penghasilan dan modal dalam tax treaty dapat dibedakan menjadi 3, yaitu
penghasilan dan modal yang dapat dipajaki di negara sumber, yang dapat dipajaki di
negara sumber dengan batasan tertentu, dan yang tidak dapat dipajaki di negara
sumber. Penghasilan-penghasilan dalam setiap kategori tersebut secara garis besar
sama pada setiap P3B, begitu juga dengan P3B Indonesia Hongkong. Penghasilan
atau modal yang dapat dipajaki tanpa pembatasan di negara sumber antara lain:
1. Penghasilan dan keuntungan dari pengalihan harta tak bergerak yang terletak di
negara sumber.
2. Laba usaha dari BUT, keuntungan dari pengalihan suatu BUT, serta pengalihan
harta milik suatu BUT.
3. Penghasilan dari pekerjaan bebas bila penerima penghasilan memiliki tempat tetap

untuk melaksanakan pekerjaannya atau berada di negara sumber melebihi time


test.
4. Renumerasi yang diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan di negara sumber.
5. Imbalan direktur yang dibayar oleh perusahaan yang merupakan penduduk negara

sumber.
6. Penghasilan artis dan atlet atas kegiatan yang dilakukan di negara sumber.
7. Penerimaan dana pensiun dan penghasilan sehubungan dengan jasa pemerintahan.

Penghasilan atau modal yang dapat dipajaki di negara sumber dengan pembatasan
tertentu antara lain sebagai berikut:
a. Laba yang diperoleh dari pengoperasian pelayaran dalam jalur lalu lintas
internasional yang bila dikenakan pajak, akan terjadi pemotongan tarif sebesar
50%.
b. Pembayaran dividen yang tidak mempunyai hubungan efektif dengan suatu BUT
atau tempat tetap di negara sumber dengan tarif maksimal 5% jika penerima
adalah perseroan yang memiliki saham 25% atau lebih, dan maksimal 10% bila
tidak memenuhi syarat tersebut.
c. Pembayaran bunga yang tidak mempunyai hubungan efektif dengan suatu BUT
atau tempat tetap di negara sumber dengan tarif maksimal sebesar 10% dari
jumlah bruto bunga.

d. Pembayaran royalti yang tidak mempunyai hubungan efektif dengan suatu BUT
atau tempat tetap di negara sumber dengan tarif maksimal sebesar 5%.
Kategori terakhir, penghasilan atau modal yang tidak dapat dipajaki di negara sumber
berupa penerimaan pensiun dari perusahaan swasta, pembayaran yang diterima pelajar
sehubungan dengan pendidikan atau pelatihan, dan keuntungan dari pengalihan kapal laut
atau pesawat udara yang dioperasikan dalam jalur lalu lintas internasional.
Umumnya tax treaty mengatur mengenai pajak penghasilan dengan menyesuaikan
pajak yang berlaku di negara masing-masing. Oleh karena itu, setiap tahun competent
authority harus memberitahukan perubahan dalam peraturan pajak yang berlaku di negaranya
untuk menghindari terjadinya sengketa pajak antara kedua negara. Taxes covered mencakup
mengenai jenis pajak apa saja yang akan diatur pada perjanjian penghindaran pajak berganda.
Ketentuan mengenai hal ini ditulis dalam pasal 2 P3B Indonesia Hongkong, yang
menjelaskan bahwa persetujuan berlaku untuk pajak-pajak atas penghasilan yang dikenakan
oleh kedua negara yang melakukan perjanjian. Saat ini, yang termasuk pajak penghasilan di
Hongkong ada 3, yaitu pajak atas laba (profits tax), pajak atas gaji (salaries tax), dan pajak
atas harta (property tax). Sedangkan pajak penghasilan di Indonesia adalah seluruh pajak
yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan. P3B juga mengatur mengenai siapa
yang dapat dikategorikan sebagai penduduk dari negara yang melakukan perjanjian dan
berhak memanfaatkan perjanjian
Dalam pasal 4 P3B Indonesia Hongkong, dikatakan bahwa syarat suatu subjek
disebut sebagai penduduk Hongkong yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal tetap di
Hongkong, atau berada di Hongkong selama lebih dari 180 dalam 1 tahun pajak atau 300 hari
dalam 2 tahun pajak berturut-turut, serta badan yang didirikan atau yang secara lazimnya
dikelola di Hongkong. Sedangkan yang termasuk penduduk Indonesia adalah subjek pajak
yang berdasarkan domisilinya, tempat tinggalnya, tempat kedudukan manajemennya, tempat
terdaftarnya, atau atas kriteria lainnya merupakan subjek pajak dalam negeri di Indonesia
yang secara rinci dijelaskan dalam pasal 2 UU PPh (UU No. 36 tahun 2008).
Penerapan Tarif Tax Treaty Indonesia Hongkong dalam Kegiatan Investasi Modal
Investasi, khususnya investasi asing merupakan faktor penting untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi. Masuknya perusahaan asing dalam kegiatan investasi suatu negara
secara langsung ataupun tidak langsung dapat meningkatkan pertumbuhan dunia usaha dalam
negeri yang kemudian juga akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat. Meningkatkan
daya tarik investor asing untuk berinvestasi merupakan salah satu tujuan dari transformasi

undang-undang perpajakan di Indonesia. Dalam perubahan terakhir yang dilakukan pada


tahun 2008, Indonesia melakukan penyederhanaan peraturan dan penurunan tarif, serta
pemberian fasilitas pajak kepada wajib pajak badan dengan kriteria tertentu. Perubahan ini
mengurangi waktu yang diperlukan oleh wajib pajak Indonesia untuk memproses
penghitungan dan pembayaran pajak sebanyak lebih dari 50% sehingga meningkatkan
efisiensi dalam bisnis. Di sisi lain, Hongkong telah terkenal dengan sistem perpajakannya
yang mudah dan tarif yang ringan sebagai tax haven country.
Capital Gain
Pada undang-undang PPh (UU No. 36 Tahun 2008), capital gain sebagai objek pajak
diatur dalam pasal 4 ayat (1) huruf d. Menurut undang-undang, capital gain adalah
keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota.
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau
pengambilalihan usaha.
d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali
yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan
badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.
e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan.
Sedangkan dalam model P3B pemajakan atas capital gain dibedakan dalam beberapa
hal, yaitu capital gain atas harta tak bergerak, capital gain BUT, capital gain terkait dengan
pelayaran dan penerbangan internasional, serta capital gain lainnya. Harta tak bergerak adalah
suatu benda yang karena sifat, tujuan atau karena ditentukan oleh Undang-undang sebagai
benda tak gerak, seperti tanah dan bangunan. Menurut P3B Indonesia Hongkong pasal 6
yang membahas khusus mengenai harta tak bergerak, istilah harta tak bergerak tersebut
termasuk benda-benda yang menyertai harta tidak bergerak, ternak dan peralatan yang
dipergunakan dalam pertanian dan kehutanan, hak-hak di mana ketentuan-ketentuan dalam

perundang-undangan umum yang berkenaan dengan pertanahan berlaku, hak memungut hasil
atas harta tidak bergerak dan hak atas pembayaran-pembayaran tidak tetap atau tetap sebagai
pertimbangan atas pengerjaan, atau hak untuk mengerjakan, kandungan mineral, penggalian,
sumber-sumber dan sumber-sumber daya alam lainnya. Kapal laut dan pesawat udara tidak
dianggap sebagai harta tidak bergerak.
Menurut P3B Indonesia Hongkong, keuntungan yang diperoleh penduduk Pihak
pada Persetujuan (negara domisili) dari pemindahtanganan harta tak bergerak yang berada di
negara pihak lainnya (negara sumber) dapat dikenakan pajak di negara tempat harta tersebut
terletak. Sifat hak pemajakan yang diatur dalam P3B untuk pengalihan harta tidak bergerak
adalah hak pemajakan penuh (exclusively taxing rights). Dengan hak pemajakan penuh,
negara sumber diberikan hak pemajakan sepenuhnya atas suatu penghasilan. Jadi tarif pajak
yang diterapkan sepenuhnya sesuai dengan UU domestik di negara tersebut.
Pada pasal 13 ayat 4 terdapat ketentuan bahwa keuntungan yang diperoleh perusahaan
dari Pihak pada Persetujuan (negara domsiili) dari pemindahtanganan atas saham-saham
perseroan yang lebih dari 50 persen nilai kekayaannya secara langsung atau tidak langsung
berasal dari harta tak bergerak yang berada di Pihak lainnya pada Persetujuan dapat
dikenakan pajak di Pihak lainnya tersebut (negara sumber/ negara tempat harta terletak).
Perlakuan pajak untuk transaksi seperti yang disebutkan di atas sama dengan capital gain
BUT dan capital gain dari harta tak bergerak yang bersifat pemajakan penuh di negara
sumber/ negara tempat keberadaan harta. Dalam hal Indonesia menjadi negara sumber, maka
atas penjualan saham tersebut akan dikenakan pajak final sesuai PPh pasal 4 ayat (2) sebesar
0,1% dari harga jual untuk saham biasa atau 0,5% dari harga jual untuk saham pendiri.
Pada

ayat

terakhir,

disebutkan

bahwa

keuntungan

yang

diperoleh

dari

pemindahtanganan setiap harta selain dari yang disebutkan di atas hanya akan dikenakan
pajak di Pihak pada Persetujuan dimana yang melakukan pemindahtanganan berkedudukan
(negara domisili). Yang menjadi perhatian dalam tulisan ini yaitu mengenai pajak atas
penjualan saham. Transaksi atas penjualan saham selain dari yang disebutkan di atas, yaitu
saham perusahaan yang tidak memperoleh 50% atau lebih kekayaannya dari harta tak gerak
yang terletak di sumber mendapat pembebasan pajak di negara tersebut tanpa melihat
persentase kepemilikannya.
Ketentuan-ketentuan dalam tax treaty merupakan hasil dari perundingan kedua negara
yang kemudian ditandatangani oleh perwakilan dari kedua negara sebagai tanda persetujuan
atas naskah tax treaty yang telah dihasilkan dan merupakan pernyataan untuk mengikatkan
diri sesuai kesepakatan para pihak. Begitupun dengan tarif pemajakan dalam tax treaty. Tarif

pajak yang disepakati merupakan penyatuan tarif pajak kedua negara yang terikat perjanjian.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tarif pajak yang rendah pada tax treaty ini terjadi
karena Hongkong yang merupakan negara tax haven tidak mengenakan pajak atas dividen,
bunga, dan capital gain serta menerapkan tarif yang rendah atas penghasilan royalti. Selain
itu, tarif yang rendah dapat terjadi juga karena keinginan pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan arus investasi dari Hongkong. Berdasarkan data statistik realisasi investasi
penanaman modal asing yang dikumpulkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM), jumlah investasi penanaman modal yang berasal dari Hongkong pada tahun 2009
hingga 2013 terus meningkat. Pada tahun 2010 meningkat sebanyak 244% kali lebih
dibanding 2009 kemudian bertambah lagi sebanyak 68% pada tahun 2011. Pada tahun 2012
jumlah proyek investasi bertambah sebanyak 1% dibanding tahun 2011. Sedangkan pada
tahun 2013 terjadi peningkatan yang cukup besar, yaitu 122% atau sebanyak 128 proyek bila
dibandingkan dengan tahun 2012. Peningkatan proyek terbanyak terjadi pada tahun 2013 di
mana tax treaty mulai di berlakukan.
Di sisi lain, saat ini Indonesia masih merupakan negara yang lebih banyak mengimpor
daripada mengekspor, baik untuk barang, jasa, maupun modal. Keadaan ini berlaku juga pada
hubungan perdagangan dengan Hongkong. Hal ini membuat Indonesia lebih banyak
bertindak sebagai negara sumber pada transaksi dengan negara asing sehingga batasan tarif
yang rendah dalam tax treaty akan mengurangi jumlah pajak yang dapat dipungut dari
transaksi internasional/ Jika terjadi peningkatan yang besar dalam jumlah investasi, tarif yang
rendah tersebut tidak akan merugikan total penerimaan pajak negara tetapi ada potensi
bertambah karena semakin banyaknya jumlah investas. Namun, kekurangan tax treaty
Indonesia Hongkong tersebut tetap harus diperhatikan, terutama mengenai tarif. Tarif yang
terlalu rendah merupakan suatu kerugian karena menghilangkan hak pemajakan bagi
Indonesia. Selain itu, treaty benefit yang lebih pada tax treaty ini dapat menjadi sarana
pelanggaran bagi wajib pajak untuk melakukan treaty shopping.

Anda mungkin juga menyukai