Anda di halaman 1dari 5

Konflik Israel-Palestina, bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas, adalah konflik yang berlanjut

antara bangsa Israel dan bangsa Palestina.


Konflik Israel-Palestina ini bukanlah sebuah konflik dua sisi yang sederhana, seolah-olah seluruh bangsa
Israel (atau bahkan seluruh orang Yahudi yang berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang
sama, sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya. Di kedua komunitas
terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran teritorial total dari
komunitas yang lainnya, sebagian menganjurkan solusi dua negara, dan sebagian lagi menganjurkan
solusi dua bangsa dengan satu negara sekular yang mencakup wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza, Tepi
Barat, dan Yerusalem Timur.
Sejak Persetujuan Oslo, Pemerintah Israel dan Otoritas Nasional Palestina secara resmi telah
bertekad untuk akhirnya tiba pada solusi dua negara. Masalah-masalah utama yang tidak
terpecahkan di antara kedua pemerintah ini adalah:

Status dan masa depan Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur yang mencakup
wilayah-wilayah dari Negara Palestina yang diusulkan.

Keamanan Israel.

Keamanan Palestina.

Hakikat masa depan negara Palestina.

Nasib para pengungsi Palestina.

Kebijakan-kebijakan pemukiman pemerintah Israel, dan nasib para penduduk pemukiman


itu.

Kedaulatan terhadap tempat-tempat suci di Yerusalem, termasuk Bukit Bait Suci dan
kompleks Tembok (Ratapan) Barat.

Masalah pengungsi muncul sebagai akibat dari perang Arab-Israel 1948. Masalah Tepi Barat, Jalur Gaza,
dan Yerusalem Timur muncul sebagai akibat dari Perang Enam Hari pada 1967.
Selama ini telah terjadi konflik yang penuh kekerasan, dengan berbagai tingkat intensitasnya dan konflik
gagasan, tujuan, dan prinsip-prinsip yang berada di balik semuanya. Pada kedua belah pihak, pada
berbagai kesempatan, telah muncul kelompok-kelompok yang berbeda pendapat dalam berbagai
tingkatannya tentang penganjuran atau penggunaan taktik-taktik kekerasan, anti kekerasan yang aktif, dll.
Ada pula orang-orang yang bersimpati dengan tujuan-tujuan dari pihak yang satu atau yang lainnya,
walaupun itu tidak berarti mereka merangkul taktik-taktik yang telah digunakan demi tujuan-tujuan itu.
Lebih jauh, ada pula orang-orang yang merangkul sekurang-kurangnya sebagian dari tujuan-tujuan dari
kedua belah pihak. Dan menyebutkan "kedua belah" pihak itu sendiri adalah suatu penyederhanaan: AlFatah dan Hamas saling berbeda pendapat tentang tujuan-tujuan bagi bangsa Palestina. Hal yang sama

dapat digunakan tentang berbagai partai politik Israel, meskipun misalnya pembicaraannya dibatasi pada
partai-partai Yahudi Israel.
Mengingat pembatasan-pembatasan di atas, setiap gambaran ringkas mengenai sifat konflik ini pasti akan
sangat sepihak. Itu berarti, mereka yang menganjurkan perlawanan Palestina dengan kekerasan biasanya
membenarkannya sebagai perlawanan yang sah terhadap pendudukan militer oleh bangsa Israel yang
tidak sah atas Palestina, yang didukung oleh bantuan militer dan diplomatik oleh A.S. Banyak yang
cenderung memandang perlawanan bersenjata Palestina di lingkungan Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai
hak yang diberikan oleh persetujuan Jenewa dan Piagam PBB. Sebagian memperluas pandangan ini untuk
membenarkan serangan-serangan, yang seringkali dilakukan terhadap warga sipil, di wilayah Israel itu
sendiri.

PLO

Al- Hama
Fatah
s

JIP

Lambang-lambang dari
organisasi-organisasi utama
Palestina termasuk peta
wilayah Israel sekarang, Tepi
Barat dan Jalur Gaza.
(Sejumlah besar penduduk
Palestina maupun Israel
sama-sama mengklaim hak
atas seluruh wilayah ini).
Demikian pula, mereka yang bersimpati dengan aksi militer Israel dan langkah-langkah Israel lainnya
dalam menghadapi bangsa Palestina cenderung memandang tindakan-tindakan ini sebagai pembelaan diri
yang sah oleh bangsa Israsel dalam melawan kampanye terorisme yang dilakukan oleh kelompokkelompok Palestina seperti Hamas, Jihad Islami, Al Fatah dan lain-lainnya, dan didukung oleh negaranegara lain di wilayah itu dan oleh kebanyakan bangsa Palestina, sekurang-kurangnya oleh warga
Palestina yang bukan merupakan warga negara Israel. Banyak yang cenderung percaya bahwa Israel
perlu menguasai sebagian atau seluruh wilayah ini demi keamanannya sendiri. Pandangan-pandangan
yang sangat berbeda mengenai keabsahan dari tindakan-tindakan dari masing-masing pihak di dalam
konflik ini telah menjadi penghalang utama bagi pemecahannya.

Sebuah poster gerakan perdamaian: Bendera Israel dan bendera Palestina dan kata-kata Salaam
dalam bahasa Arab dan Shalom dalam bahasa Ibrani. Gambar-gambar serupa telah digunakan oleh
sejumlah kelompok yang menganjurkan solusi dua negara dalam konflik ini.
Sebuah usul perdamaian saat ini adalah peta menuju perdamaian yang diajukan oleh Empat Serangkai Uni
Eropa, Rusia, PBB dan Amerika Serikat pada 17 September 2002. Israel juga telah menerima peta itu
namun dengan 14 "reservasi". Pada saat ini Israel sedang menerapkan sebuah rencana pemisahan diri
yang kontroversial yang diajukan oleh Perdana Menteri Ariel Sharon. Menurut rencana yang diajukan
kepada AS, Israel menyatakan bahwa ia akan menyingkirkan seluruh "kehadiran sipil dan militer... yang
permanen" di Jalur Gaza (yaitu 21 pemukiman Yahudi di sana, dan 4 pemumikan di Tepi Barat), namun
akan "mengawasi dan mengawal kantong-kantong eksternal di darat, akan mempertahankan kontrol
eksklusif di wilayah udara Gaza, dan akan terus melakukan kegiatan militer di wilayah laut dari Jalur Gaza."
Pemerintah Israel berpendapat bahwa "akibatnya, tidak akan ada dasar untuk mengklaim bahwa Jalur
Gaza adalah wilayah pendudukan," sementara yang lainnya berpendapat bahwa, apabila pemisahan diri
itu terjadi, akibat satu-satunya ialah bahwa Israel "akan diizinkan untuk menyelesaikan tembok [artinya,
Penghalang Tepi Barat Israel] dan mempertahankan situasi di Tepi Barat seperti adanya sekarang ini" [1]
[2].
Dengan rencana pemisahan diri sepihak, pemerintah Israel menyatakan bahwa rencananya adalah
mengizinkan bangsa Palestina untuk membangun sebuah tanah air dengan campur tangan Israel yang
minimal, sementara menarik Israel dari situasi yang diyakininya terlalu mahal dan secara strategis tidak
layak dipertahankan dalam jangka panjang. Banyak orang Israel, termasuk sejumlah besar anggota partai
Likud -- hingga beberapa minggu sebelum 2005 berakhir merupakan partai Sharon -- kuatir bahwa
kurangnya kehadiran militer di Jalur Gaza akan mengakibatkan meningkatnya kegiatan penembakan roket
ke kota-kota Israel di sekitar Gaza. Secara khusus muncul keprihatinan terhadap kelompok-kelompok
militan Palestina seperti Hamas, Jihad Islami atau Front Rakyat Pembebasan Palestina akan muncul dari
kevakuman kekuasaan apabila Israel memisahkan diri dari Gaza.
Korban
Korban sipil yang tewas akibat konflik Israel-Palestina, data berasal dari B'tselem dan
Kementerian Luar Negeri Israel antara tahun 1987 hingga 2010[2][3][4][5]
(angka dalam tanda kurung merupakan korban yang berusia di bawah 18 tahun)
Kematian
Tahun
Palestina
Israel
2011
118 (13)
11 (5)
2010
81 (9)
8 (0)
2009
1034 (314)
9 (1)

2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
Total

887 (128)
385 (52)
665 (140)
190 (49)
832 (181)
588 (119)
1032 (160)
469 (80)
282 (86)
9 (0)
28 (3)
21 (5)
74 (11)
45 (5)
152 (24)
180 (41)
138 (23)
104 (27)
145 (25)
305 (83)
310 (50)
22 (5)
7978 (1620)

35 (4)
13 (0)
23 (1)
51 (6)
108 (8)
185 (21)
419 (47)
192 (36)
41 (0)
4 (0)
12 (0)
29 (3)
75 (8)
46 (0)
74 (2)
61 (0)
34 (1)
19 (0)
22 (0)
31 (1)
12 (3)
0 (0)
1503 (142)

Sebenarnya gimana sih awal sejarah Israel membantai Palestina,, nah jika anda membaca artikel berikut
ini anda akan tau jawabannya. kekejaman di Gaza sebenarnya tak lepas dari dosa politik Inggris. Sebab,
negara itulah yang mengizinkan warga Yahudi eksodus ke Palestina dan akhirnya mendirikan negara baru.
Dukungan Inggris atas imigrasi besar-besaran warga Yahudi ke Palestina tertuang dalam Deklarasi Balfour
pada 2 November 1917.
Deklarasi Balfour atau Perjanjian Balfour merupakan sebuah surat yang dikirimkan Menteri Luar Negeri
Inggris Arthur James Balfour, kepada Lord Rothschild, pemimpin komunitas Yahudi Inggris, untuk

disampaikan kepada Federasi Zionis. Surat itu berisi hasil rapat Kabinet Inggris pada 31 Oktober 1917
yang menyatakan mendukung rencana-rencana Zionis mendirikan tanah air bagi Yahudi di Palestina,
dengan syarat bahwa tak ada hal-hal yang boleh dilakukan yang mungkin merugikan hak-hak dari
komunitas-komunitas yang ada di sana. Iya, perjanjian itu menjadi awal mula konflik Israel-Palestina.
Konflik terjadi karena ketidaktegasan penjajah dalam membagi wilayah, ujar pengamat hubungan
internasional Universitas Indonesia (UI) Nurani Chandrawati. Saat itu, mayoritas wilayah Palestina berada
di bawah kekuasaan Khilafah Turki Utsmani dan batas-batas yang akan menjadi Palestina telah dibuat
sebagai bagian dari Persetujuan Sykes-Picot pada 16 Mei 1916 antara Inggris dan Prancis. Sebagai
balasan untuk komitmen dalam deklarasi Balfour, komunitas Yahudi akan berusaha meyakinkan Amerika
Serikat ikut dalam Perang Dunia I. Kata-kata dalam Deklarasi Balfour kemudian digabungkan ke dalam
perjanjian damai Svres dengan Turki Utsmani dan Mandat untuk Palestina.
Berikut isi surat dari Albert James Balfour yang dikirimkan kepada Lord Rothschild: Saya sangat senang
dalam menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintahan Sri Baginda, pernyataan simpati terhadap
aspirasi Zionis Yahudi yang telah diajukan kepada dan disetujui oleh Kabinet. Pemerintahan Sri Baginda
memandang positif pendirian di Palestina tanah air untuk orang Yahudi, dan akan menggunakan usaha
keras terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, karena jelas dipahami bahwa tidak ada
suatupun yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak penduduk dan keagamaan dari komunitaskomunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, ataupun hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi
di negara-negara lainnya. Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk
diketahui oleh Federasi Zionis. Tak lama setelah ada Deklarasi Balfour, eksodus warga Yahudi di berbagai
penjuru dunia ke Palestina mulai terjadi.
Dalam perjalanannya, warga Yahudi ini kemudian mendirikan negara Israel pada tahun 1948. Sebuah
negara yang muncul kembali setelah lebih dari 2.500 tahun menghilang dari muka bumi, karena konflik
internal dan penjajahan. Israel pun lantas terlibat pertikaian perebutan wilayah dengan Palestina dan
Yordania, serta negara-negara Arab lain. Selama Perang Dunia I Inggris mengambil alih Yerusalem (1917)
dan menetapkan kota itu di dalam The Palestine Mandate dari tahun 1922-1948. Pada tahun 1948, Inggris
sebagai pemegang otoritas tanah Palestina tiba-tiba menyatakan tidak bertanggung jawab lagi atas seluruh
Palestina yang dikuasakan kepadanya oleh Liga Bangsa-Bangsa yang telah bubar. Nah sudah jelaskan
sekarang siapa yang salah.. masa kita numpang tiba-tiba mau jadi tuan rumah gak benerkan itu!!

Anda mungkin juga menyukai