Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN
Pos

layanan

terpadu

atau

disingkat

posyandu

merupakan

lembaga

kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang melalui prinsip dari, oleh dan untuk
masyarakat diharapkan sebagai wadah yang mampu memberikan pelayanan kesehatan
sosial dasar masyarakat. Dalam pergerakannya, posyandu di motori oleh kader terpilih
dan terampil untuk melaksanakan kegiatan rutin di posyandu. Kader merupakan
anggota masyarakat yang menjadi tenaga sukarela dalam penyelenggaraan kegiatan
posyandu. Kader dalam pelaksanaan posyandu merupakan titik sentral kegiatan
posyandu, keikutsertaan dan keaktifannya diharapkan mampu mengerakkan
partisipasi masyarakat (Nusi, 2013).
Tugas kader adalah melakukan pendaftaran, penimbangan, mencatat
pelayanan ibu dan anak dalam buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), serta
memberikan informasi kesehatan saat posyandu berlangsung. Peran kader kesehatan
sangat penting dalam kegiatan posyandu, kader merupakan ujung tombak dalam
deteksi dini masalah kesehatan masyarakat serta sumber referensi rujukan masyarakat
yang dipercaya oleh masyarakat dan memiliki hubungan yang dekat dengan
masyarakat, karena kader sendiri merupakan bagian dari masyarakat (Pradana, 2012).
Untuk memberikan pelayanan optimal di setiap posyandu, diperlukan
penyesuaian pengetahuan dan keterampilan kader dengan kebijakan teknis dan
pengembangan ilmu teknologi terkini. Salah satu permasalahan posyandu yang paling
mendasar adalah rendahnya tingkat pengetahuan kader baik dari sisi akademis
maupun teknis.

Kader sangat erat kaitannya dengan permasalahan gizi pada anak dan balita.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, secara nasional, prevalensi
berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6 persen, terdiri dari 5,7 persen gizi buruk
dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional
tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat. Prevalensi gizi
buruk provinsi NTB tahun 2012 sebesar 3,53%. Kondisi ini lebih baik jika
dibandingkan dengan prevalensi gizi buruk tahun untuk gizi buruk dan kurang adalah
24,8%. Namun prevalensi gizi kurang di Provinsi NTB tahun 2012 tidak jauh berbeda
dengan prevalensi gizi kurang tahun 2011.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilaksanakan di wilayah kerja
Puskesmas Narmada pada tahun 2015 didapatkan perbandingan berat badan dan umur
(BB/U), gizi buruk 7,1% pada anak balita usia 2-3 tahun, 7,7% pada usia 3-4 tahun
dan 1,9% pada usia 4-5 tahun. Berdasarkan perbandingan tinggi badan dan umur
(TB/U), sangat pendek (severely stunted) didapatkan 3,6% pada anak balita usia 2-3
tahun, 7,7% pada usia 3-4 tahun dan 7,5% pada usia 4-5 tahun. Berdasarkan
perbandingan berat badan dan tinggi badan (BB/TB), sangat kurus (severely wasted)
didapatkan 3,6% pada anak balita usia 2-3 tahun, nihil pada usia 3-4 tahun dan 1,9%
pada usia 4-5 tahun. Sedangkan menurut tingkat asupan makanan balita usia 24-59
bulan yang tidak naik berat badannya adalah akibat dari tingkat konsumsi energi
mayoritas berada dalam kategori defisit berat (53%) serta tingkat asupan nutrisi zat
gizi makro berupa karbohidrat dan lemak mayoritas berada dalam kategori defisit
berat yaitu masing-masing 75% dan 46% (Nurbaiti dkk, 2015).
Pemantauan pertumbuhan anak yang belum optimal disebabkan pemahaman
kader tentang tugasnya masih kurang. Kondisi gizi anak yang memburuk sangat erat
kaitannya dengan pemantauan status gizi yang masih belum berjalan baik, hal ini

terlihat dari partisipasi masyarakat yang masih rendah dan keterampilan kader yang
kurang baik (Lubis & Syahri, 2015). Banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan
kader dalam menjalankan tugasnya, diantaranya adalah pengetahuan kader tentang
posyandu, pekerjaan, pendidikan dan sebagainya. Perilaku yang didasari pengetahuan
akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoadmojo,
2003). Apabila seorang kader tidak mengetahui dengan baik tentang status gizi pada
balita tersebut, maka kader tidak akan mampu melaksanakan perannya dalam
penilaian status gizi anak dan melakukan deteksi dini pada pertumbuhan balita.
KMS atau Kartu Menuju Sehat merupakan kartu yang memuat grafik
pertumbuhan serta indikator perkembangan yang bermanfaat untuk mencatat dan
memantau tumbuh kembang balita setiap bulan dari sejak lahir sampai berusia 5 tahun
(Depkes RI, 2006). Peranan Kader Posyandu sendiri sangat erat dengan keberadaan
KMS terkait pelaksanaan kegiatan 5 meja Posyandu. Mulai kegiatan pendaftaran,
penimbangan dan pencatatan hasil pada KMS, hingga penjelasan terkait data kenaikan
Berat Badan yang digambarkan grafik KMS kepada ibu, dan kemudian memberikan
nasehat kepada setiap ibu dengan mengacu pada data KMS serta melakukan rujukan
ke Puskesmas pada bayi/ anak yang BGM (Dinas Kesehatan Jawa Timur, 2006).
Seorang kader diharapkan dapat jeli menemukan masalah dan melakukan penilaian
terhadap masalah tersebut. Apabila pengetahuan dan kemampuan Kader Posyandu
dalam menafsirkan KMS kurang, dapat terjadi kesalahan penafsiran pertumbuhan.
Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya under diagnosis maupun over diagnosis,
pada akhirnya terjadilah keterlambatan dalam intervensi dan penatalaksanaanya
(Lenocoly,S, 2008). Sebaliknya jika kader mampu mengisi dan manafsirkan KMS
dengan baik maka keadaan kurang gizi akan cepat terdeteksi dan cepat tertangani
sehingga status gizi balita menjadi baik.

Dari beberapa gambaran di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan


penelitian mengenai korelasi tingkat pengetahuan kader mengenai cara pengisian
KMS dengan kelengkapan pengisian KMS khususnya di wilayah kerja Puskesmas
Narmada, Lombok Barat.

1.2 Rumusan Masalah


- Apakah terdapat korelasi antara tingkat pengetahuan kader tentang pengisian KMS
dengan kelengkapan pengisian KMS di wilayah kerja Puskesmas Narmada
1.3 Tujuan Penelitian
- Untuk mengetahui korelasi antara tingkat pengetahuan kader tentang pengisian KMS
dengan kelengkapan pengisian KMS di wilayah kerja Puskesmas Narmada

1.4

Manfaat Penelitian
- Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini sebagai informasi dan masukan dalam pemantauan tumbuh
kembang balita melalui kelengkapan pengisian KMS. Sehingga dapat dipakai
-

untuk mengembangkan penelitian selanjutnya.


Manfaat praktis
Sebagai masukan kepada Puskesmas untuk bahan pertimbangan dalam
pembinaan pada pelaksanaan program posyandu dengan pentingnya pemantauan
status gizi balita menggunakan KMS. Sebagai health education (mendidik) dan
sebagai motivator (memotivasi) kader dalam meningkatkan kemampuan dalam
memantau status gizi balita. Dan sebagai masukan untuk meningkatkan
pelayanan di Posyandu, khususnya di wilayah kerja Puskesmas Narmada.

Anda mungkin juga menyukai