Anda di halaman 1dari 16

Parameter Kualitas Batubara

Total Moisture
Total Sulfur
Calorific Value
HGI
Ultimate Analysis
Ash Fusion Temperature
Ash Analysis
Proximate

TOTAL MOISTURE
Tinggi Rendahnya Total Moisture akan
tergantung pada :
Peringkat Batubara
Size Distribusi
Kondisi Pada saat Sampling
Peringkat Batubara:
Semakin tinggi peringkat suatu batubara semakin kecil porositas batubara
tersebut atau semakin padat batubara tersebut. Dengan demikian akan semakin
kecil juga moisture yang dapat diserap atau ditampung dalam pori batubara
tersebut. Hal ini menyebabkan semakin kecil kandungan moisturenya
khususnya inherent moisturenya.
Size Distribusi :
Semakin besar ukuran size batubara, semakin besar luas permukaanya. Hal ini
menyebabkan akan semakin tinggi surface moisturenya. Pada nilai inherent
moisture tetap, maka T M-nya akan naik yang dikarenakan naiknya surface
moisture.
Kondisi Sampling :
Total Moisture dapat dipengaruhi oleh kondisi pada saat batubara tersebut di
Sampling. Yang termasuk dalam kondisi sampling adalah :
Kondisi batubara pada saat disampling

Size distribusi sample batubara yang diambil terlalu besar atau terlalu
kecil.
Cuaca pada saat pengambilan sample.
PROXIMATE ANALYSIS:
Air dried moisture
Ash Content
Volatile Matter
Fixed carbon
AIR DRIED MOISTURE: Moisture In the analysis samples Inherent Moisture
Adalah moisture yang terkandung dalam batubara setelah batubara tersebut
dikering udarakan
Sifat-Sifat ADM:
Besar kecilnya nilai ADM dipengaruhi oleh peringkat batubara. Semakin
tinggi peringkat batubara, semakin rendah kandungan ADM nya.
Nilainya tergantung pada humuditas dan temperature ruangan dimana
moisture tersebut dianalisa.
Nilainya tergantung juga pada preparasi sample sebelum ADM dianalisa
(Standar preparasi)
ASH CONTENT:
Batubara sebenarnya tidak mengandung abu, melainkan mengandung
mineral matter. Namun sebagian mineral matter dianalisa dan dinyatakan
sebagai kadar Abu atau Ash Content.
Mineral Matter atau ash dalam batubara terdiri dari inherent dan
extarneous.
Inherent Ash ada dalam batubara sejak pada masa pembentukan batubara
dan keberadaan dalam batubara terikat secara kimia dalam struktur
molekul batubara
Sedangkan Extraneous Ash, berasal dari dilusi atau sumber abu lainnya
yang berasal dari luar batubara.
Sifat Sifat kadar Abu:
Kadar abu dalam batubara tergantung pada banyaknya dan jenis mineral
matter yang dikandung oleh batubara baik yang berasal dari inherent atau
dari extraneous.

Kadar abu relatif lebih stabil pada batubara yang sama. Oleh karena itu
Ash sering dijadikan parameter penentu dalam beberpa kalibrasi alat
preparasi maupun alat sampling.
Semakin tinggi kadar abu pada jenis batubara yang sama, semakin rendah
nilai kalorinya.
Kadar abu juga sering mempengaruhi nilai HGI batubara.
VOLATILE MATTER:
Volatile matter/ zat terbang, adalah bagian organik batubara yang
menguap ketika dipanaskan pada temperature tertentu.
Volatile matter biasanya berasal dari gugus hidrokarbon dengan rantai
alifatik atau rantai lurus. Yang mudah putus dengan pemanasan tanpa
udara menjadi hidrokarbon yang lebih sederhana seperti methana atau
ethana.
Sifat-Sifat Volatile Matter:
Kadar Volatile Matter dalam batubara ditentukan oleh peringkat batubara.
Semakin tinggi peringkat suatu batubara akan semakin rendah kadar
volatile matternya.
Volatile matter memiliki korelasi dengan vitrinite reflectance, semakin
rendah volatile matter, semakin tinggi vitrinite reflectancenya
Kegunaan Volatile Matter:
Volatile Matter digunakan sebagai parameter penentu dalam penentuan
peringkat batubara.
Volatile matter dalam batubara dapat dijadikan sebagai indikasi reaktifitas
batubara pada saat dibakar.
Semakin tinggi peringkat suatu batubara akan semakin rendah kadar
volatile matternya.
SULFUR:

ORGANIC SULFUR,

PYRITIC SULFUR,

SULFAT SULFUR

Sifat-Sifat SULFUR:
Kandungan sulfur dalam batubara sangat bervariasi dan pada umumnya
bersifat heterogen sekalipun dalam satu seam batubara yang sama. Baik
heterogen secara vertikal maupun secara lateral.
Namun demikian ditemukan juga beberapa seam yang sama memiliki
kandungan sulfur yang relatif homogen.

Kegunaan SULFUR :
Sulfur dalam batubara thermal maupun metalurgi tidak diinginkan, karena
Sulfur dapat mempengaruhi sifat-sifat pembakaran yang dapat
menyebabkan slagging maupun mempengaruhi kualitas product dari besi
baja. Selain itu dapat berpengaruh terhadap lingkungan karena emisi
sulfur dapat menyebabkan hujan asam. Oleh karena itu dalam komersial,
Sulfur dijadikan batasan garansi kualitas, bahkan dijadikan sebagai
rejection limit.
Namun demikian dalam beberapa utilisasi batubara, Sulfur tidak
menyebabkan masalah bahkan sulfur membantu performance dari utilisasi
tersebut. Utilisasi tersebut misalnya pada proses pengolahan Nikel seperti
di PT. INCO. Dan juga pada proses Coal Liquefaction (Pencairan Batubara).
Calorific Value
Specific Energy
Higher heating Value
Adalah nilai energi yang dapat dihasilkan dari pembakaran batubara.
Nilai kalori batubara dapat dinyatakan dalam satuan: MJ/Kg , Kcal/kg,
BTU/lb
Nilai kalori tersebut dapat dinyatakan dalam Gross dan Net.
Nilai Kalori dapat dinyatakan dalam satuan yang berbeda :
Calorific Value (CV)(kcal/kg)
Specific Energy (SE) .(Mj/kg)
Higher Heating Value (HHV) = Gross CV
Lower Heating Value (LHV)= Net CV
British Thermal Unit = Btu/lb
Sifat-Sifat Nilai kalori Batubara:
Nilai Kalori batubara bergantung pada peringkat batubara. Semakin tinggi
peringkat batubara, semakin tinggi nilai kalorinya.
Pada batubara yang sama Nilai kalori dapat dipengaruhi oleh moisture dan
juga Abu. Semakin tinggi moisture atau abu, semakin kecil nilai kalorinya.
HARDGROVE GRINDABILITY INDEX:
HGI, adalah salah satu sifat fisik dari batubara yang menyatakan
kemudahan batubara untuk di pulverise sampai ukuran 200 mesh atau 75
micron.

HGI sangat penting bagi pengguna batubara di power plant yang


menggunakan pulverized coal.
HGI tidak dapat dijadikan indikasi atau simulasi performance dari suatu
pulverizer atau milling secara langsung, karena performance milling masih
dipengaruhi oleh kondisi operasional Milling itu sendiri, seperti Mill tention,
Temperature primary air, setting classifier dan lain-lain. Namun demikian,
HGI dapat dijadikan pembanding untuk batubara yang satu dengan
lainnya mengenai kemudahannya untuk dimilling.
Sifaat-Sifat HGI:
Nilai HGI dari suatu batubara, ditentukan oleh organik batubara seperti
jenis maceral dan lain-lain.
Secara umum semakin tinggi peringkat batubara, maka semakin rendah
HGI nya. Namun hal ini tidak terjadi pada bituminous yang memiliki sifat
cooking. Dimana untuk jenis batubara ini HGInya tinggi sekali, bahkan bisa
mencapai lebih dari 100.
Nilai HGI juga dapat dipengaruhi oleh dilusi abu dari penambangan.
Secara umum penambahan abu dilusi dapat menaikan nilai HGI.
Nilai HGI juga dapat dipengaruhi oleh kandungan moisture.
Pengujian HGI:
HGI ditest dengan menggunakan mesin hardgrove. Sample yang sudah
digerus pada ukuran partikel tertentu kemudian dimasukan kedalam
mesin hardgrove. Selanjutnya digerus dengan menggunakan bola baja
pada putaran (revolusi) tertentu.
Batubara hasil gerusan kemudian discreen pada ukuran 200 mesh. Jumlah
yang lolos pada screen ukuran 200 mesh dijadikan data dan dikalkulasi
dengan menggunakan hasil kalibrasi alat tersebut.
ULTIMATE ANALYSIS:

CARBON
HYDROGEN
OXYGEN
SULFUR
NITROGEN

Carbon, Hydrogen, dan Oxygen merupakan unsur dasar organik


pembentuk batubara.

Sifat dari unsur-unsur tersebut mengikuti peringkat batubara. Semakin


tinggi peringkatnya, semakin tinggi Carbonnya, semakin rendah hydrogen
dan oxygennya.

Sedangkan Nitrogen merupakan unsur yang bersifat bervariasi tergantung


dari material pembentuk batubara. Sifatnya hampir sama dengan Sulfur.

Dalam batubara peringkat tinggi, nitrogen terdapat dalam bentuk


senyawa pyridine yang berasosiasi dengan struktur aromatik, sedangkan
dalam batubara peringkat rendah, nitrogen ditemukan dalam bentuk
senyawa amina dan terikat padu ikatan hidrokarbon alifatik.

Nitrogen dalam batubara berasal dari tumbuhan pembentuk batubara


tersebut atau sebagai hasil dari aktifitas bakteri pada saat pembentukan
peat.

Kegunaan :
Dalam Geology Batubara, Ultimate digunakan sebagai parameter penentu
peringkat dan evaluasi-evaluasi lainnya.
Sedangkan pada utilisasi batubara, kandungan ultimate digunakan
sebagai dasar perhitungan stoiciometri udara yang diperlukan untuk
membakar batubara secara sempurna.
Udara Yang diperlukan dalam Liter(1 atm, 20 oC) / kg Batubara adalah:
35.8 ( 2.67 C+8.00 H+2.29 N+S-O)
ASH FUSION TEMPERATURE :
Ash Fusion Temperature adalah titik leleh abu batubara yang dinyatakan
dalam temperature dalam berbagai kondisi pelelehan yaitu: Deformasi,
Spherical, hemispherical, dan flow.
Berdasarkan kondisi atmosphere pada pengujiannya AFT dibagi menjadi
dua atmosphere, yaitu Reduksi dan Oksidasi.
Sifat-Sifat AFT:
Ash Fusion dalam batubara sangat bervariasi, ada yang homogen dalam
satu seam, ada juga yang sangat heterogen baik secara vertikal seam
maupun secara lateral.
Nilai AFT tergantung pada mineral matter yang dikandung oleh batubara.
Pada batubara produksi, nilai AFT dapat dipengaruhi oleh dilusi atau
material yang terbawa pada saat penambangan.
AFT tidak selalu dapat dikorelasikan dengan ash analysis, karena
sebenarnya abu yang di gunakan pada saat pengujian bentuknya bukan
oksida semuanya. Melainkan masih dalam bentuk mineral.

Kegunaan nilai AFT:


Ash Fusion Temperature dalam utilisasi dijadikan indikasi karakteristik ash
dalam pembakaran.
Nilai AFT rendah tidak diinginkan dalam utilisasinya karena dianggap
dapat menyebabkan slagging atau fouling pada pipa-pipa boiler.
AFT juga digunakan dalam membuat rumus empiris untuk memprediksi
kecenderungan terjadinya slagging dalam boiler.
Suhu Leleh Abu. Pengujian titik leleh abu meliputi suhu deformasi awal
(Initial Deformation = ID), suhu pelunakan/sferis (softening = ST), suhu
setengah bulat /hemisfer (Hemispherical = HT), dan suhu pelelehan/flow
(Fluid = FT) dari abu batubara yang diukur di bawah kondisi baik oksidasi
maupun reduksi (oxidizing and reducing conditions) dengan memanaskan
suatu contoh abu yang dicetak menjadi kerucut (cone) standar sambil
mengamati perubahan profil kerucut tersebut sehingga dapat
menguraikan pada suhu berapa terjadinya karakteristik pelunakan dan
pelelehan abu (ID, ST, HT, dan FT). Suhu leleh abu batubara sangat
penting dalam desain maupun pengoperasian boiler. Suhu awal (ID) dan
ST dikaitkan dengan perpindahan panas dan suhu gas buang karena itu
harus ada batasan terhadap suhu gas buang yang memasuki bagian
superheater yaitu harus lebih lebih rendah dari suhu ID untuk menghindari
pembentukan endapan (deposit) pada pipa superheater.
http://timorhauniarain.blogspot.co.id/2013/02/kualitas-batu-bara.html
Slagging Coal dan Non Slagging Coal
Berdasarkan jenis abunya yang dapat melebur, batubara dibagi menjadi
dua yaitu Slagging coal dan Non Slagging coal.

Slagging coal adalah batubara yang memiliki abu yang meleleh saat
dilakukan pemanasan pada suhu 1600 0C. dengan kata lain abunya akan
mengalir saat dilakukan proses pembakaran di dalam burner PLTU.

Non Slagging coal adalah batubara yang memiliki abu yang tidak meleleh
saat dilakukan pemanasan pada suhu 1600 oC. dengan kata lain abunya
tidak mengalir saat dilakukan proses pembakaran didalam burner PLTU.

untuk menentukan batubara tersebut slagging coal atau bukan dilakukan


analisa uji abu.

1. Ash Content, uji abu yang bertujuan untuk menentukan unsur apa saja
yang terdapat pada abu batubara

2. AFT (Ash Fushion Temperature), uji abu yang bertujuan untuk


mengetahui titik lebur abu batubara. Jika abu batubara tersebut memiliki
AFT dibawah 1600 oC maka batubara tersebut tergolong Slagging Coal,
Jika batubara tersebut memiliki AFT diatas 1600 oC maka batubara
tersebut termasuk golongan Non Slaging Coal.
pada saat pemanasan pada suhu 1600 oC abu batubara akan membentuk
tiga bentuk yaitu:
- Spherieil
- Hemisphere
- Cair

3. Ash Analisis, uji batubara yang bertujuan untuk mengetahui jumlah


kandungan masing-masing unsur pada batubara.
beberapa unsur yang terdapat pada batubara yaitu: Si, Al, Fe, Ti, Mn, Ca,
Mg, Na, K, P, S
http://tentangbatubara.blogspot.co.id/2011/10/slagging-coal-dan-nonslagging-coal.html

Slagging dan Fouling*


Posted by imambudiraharjo on June 19, 2009

Slagging dan fouling adalah fenomena menempel dan menumpuknya abu batu bara yang melebur pada pipa
penghantar panas (heat exchanger tube) ataupun dinding boiler. Kedua hal ini sangat serius karena dapat
memberikan dampak yang besar pada operasional boiler, seperti masalah penghantaran panas, penurunan
efisiensi boiler, tersumbatnya pipa, serta kerusakan pipa akibat terlepasnya clinker. Keseluruhan masalah
yang timbul tadi sering pula disebut dengan clinker trouble.

Fenomena menempelnya abu ini terutama dipengaruhi oleh suhu melebur abu (ash fusion temperature, AFT)
dan unsur unsur dalam abu. Selain kedua faktor tadi, evaluasi terhadap masalah ini juga dapat diketahui
melalui perhitungan rasio terhadap beberapa unsur tertentu dalam abu.

Penilaian terhadap slagging & fauling ini perlu dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan berbagai
faktor, karena terkadang hasilnya tidak akurat apabila hanya mendasarkan diri pada satu aspek saja. Karena

terdapat banyak faktor yang terlibat dalam penilaian tersebut, maka disini hanya akan dijelaskan metode
evaluasi yang umum dilakukan.

Slagging

Slagging adalah fenomena menempelnya partikel abu batubara baik yang berbentuk padat maupun leburan,
pada permukaan dinding penghantar panas yang terletak di zona gas pembakaran suhu tinggi (high
temperature combustion gas zone), sebagai akibat dari proses pembakaran batubara. Terkait hal ini, persoalan
penting yang perlu mendapat perhatian terutama adalah dinding penghantar panas konveksi pada
bagian outlet dari tungku (furnace), bila suhu gasnya melebihi temperatur melunak abu (ash softening
temperature).

Gambar 1. Penampang Boiler

Meskipun mekanisme menempel dan menumpuknya abu pada dinding penghantar panas boiler adalah rumit
dan belum sepenuhnya dapat diterangkan, tapi secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:

Campuran mineral anorganik yang terdapat dalam abu batubara yang terdiri dari lempung
(clay), pyrite, calcite, dolomite, serta kuarsa (quarts), menerima panas radiasi yang kuat di dalam tungku
sampai akhirnya melebur. Saat abu yang melebur (molten ash) tadi bersentuhan dengan permukaan pipa yang
suhunya relatif lebih rendah, abu akan mengalami pendinginan sehingga akhirnya menempel dan mengeras.

Ketebalan lapisan abu yang menempel ini biasanya tidak sampai pada tingkat yang mengganggu performa
dinding penghantar panas. Lagi pula, abu tadi dapat dihilangkan dengan penempatan soot blower di dalam
tungku secara tepat. Tetapi bila sebagian batubara yang dibakar tersebut memiliki suhu lebur abu (AFT) relatif
rendah dan berkadar lempung tinggi, maka abu yang menempel akan membentuk lapisan dan lama

kelamaan akan berkembang. Jika hal ini berlangsung terus, maka dapat menyebabkan turunnya kapasitas
keluaran boiler akibat beberapa masalah yang muncul, diantaranya adalah menurunnya penyerapan panas oleh
tungku dan tersumbatnya lubang (orifice) pada tungku.

Untuk slagging ini, karakteristiknya dapat dinilai dari suhu lebur abu (AFT) dan kondisi abu itu sendiri. Suhu
lebur abu yang rendah akan memudahkan terjadinya slagging. Kemudian, diketahui pula bahwa bila rasio
unsur alkali (Fe2O3, CaO, MgO, Na2O, K2O) terhadap unsur asam (SiO2, Al2O3, TiO2) meninggi, potensi timbulnya
slagging juga meningkat.

Berikut ini akan dijelaskan beberapa cara penilaian terhadap slagging.

a. Metode evaluasi representatif.

Metode ini dikembangkan oleh perusahaan Babcock & Wilcox (B & W) yang merupakan
fabrikan boiler terkemuka dari Amerika.

Pada metode ini, penilaiannya akan berbeda sesuai dengan komposisi unsur pembentuk abu sebagaimana
ditampilkan di bawah ini.

Abu tipe bituminus CaO + MgO < Fe2O3.

Abu tipe lignit

CaO + MgO > Fe2O3.

Abu tipe bituminus

Pada tipe ini, karakteristik slagging ditentukan berdasarkan perhitungan rasio unsur alkali terhadap unsur
asam, dengan kadar sulfur.

Rs (Slagging index) = {(Fe2O3 + CaO + MgO + Na2O+ K2O) / SiO2 + Al2O3 + TiO2} X

S adalah Total Sulfur (%) dalam DB.

Standar nilai

Potensi slagging

Rs

Low

0.6<

Medium

0.6 ~ 2.0

High

2.0 ~ 2.6

Severe

>2.6

Abu tipe lignit

Pada slagging, yang banyak berpengaruh adalah CaO yang merupakan unsur yang mudah menempel di
dinding penghantar panas, dan Na2O yang merupakan unsur yang menentukan kekuatan ikatan abu yang
menempel. Tipe lignit banyak mengandung kedua unsur tersebut. Dan parameter untuk penilaian slagging
pada tipe ini adalah suhu melebur abu saja.

Hampir semua lignit termasuk sebagian besar batubara sub-bituminus dievaluasi berdasarkan perhitungan di
bawah ini.

Rs (Slagging index) = {HT (Hemisphere Temp.) + 4 X IDT (Initial Deformation Temp.)} / 5

Meskipun suhu lebur abu dapat diukur dalam lingkungan oksidasi maupun reduksi., tetapi suhu pada kondisi
reduksi pada umumnya menunjukkan angka yang lebih rendah dibandingkan pada kondisi oksidasi (50 ~
2000C). Hal ini terkadang dapat mempengaruhi hasil penilaian.

Standar nilai

Potensi slagging

Rs (0C)

Low

>1340

Medium

1340 ~ 1230

High

1230 ~ 1150

Severe

1150<

b. Rasio alkali dalam abu (base/acid ratio)

Rasio alkali dalam abu ditampilkan dalam persamaan berikut ini:

Rasio alkali dalam abu = unsur alkali / unsur asam = (Fe2O3 + CaO + MgO + Na2O+ K2O) / (SiO2 + Al2O3 +
TiO2 )

Persamaan di atas menunjukkan rasio tingkat kemungkinan pembentukan low molten-salt oleh unsur unsur
logam dalam abu (kecuali Si yang non logam) pada saat pembakaran batubara.

Bila rasio ini tinggi, maka oksida dengan titik lebur rendah dan senyawa alkali akan mudah terbentuk,
menyebabkan kecenderungan slagging juga meninggi. Untuk rentang nilainya, meskipun sedikit banyak
tergantung pula dari unsur unsur yang lain (persentase dari Fe2O3 , CaO, SiO2, Al2O3, dan lain lain), tapi

hampir semua abu menunjukkan kecenderungan suhu lebur abu yang rendah dan potensi slagging yang tinggi
pada rasio 0.4 ~ 07.

Terkait hal ini, fabrikan boiler biasanya menentukan nilai rasio yang lebih rendah dari 0.4 ~ 0.5.

Standar nilai

Potensi slagging

Rasio basa/asam

Low

0.4<

Medium

atau >0.7

High
0.4 ~ 0.7
Severe

c. Total alkali (Na2O + K2O)

Na2O dan K2O akan membentuk senyawa dengan titik lebur rendah bila berikatan dengan unsur yang lain.
Meningkatnya kecenderungan slagging juga akan diikuti oleh meningkatnya kecenderungan fouling, sesuai
dengan kadar alkali dalam abu. Oleh karena itu, pembuat boiler biasanya menentukan nilai total alkali kurang
dari 5%, dengan angka ideal kurang dari 3%.

Yang perlu diperhatikan bahwa total alkali yang dimaksud disini bukan berarti jumlah dari seluruh unsur alkali
dalam abu. Meskipun salah kaprah, tapi penyebutan ini sudah menjadi kelaziman. Hal ini karena istilah
tersebut merujuk ke unsur alkali, terutama Na2O dan K2O yang mudah membentuk senyawa dengan titik lebur
rendah. Mungkin istilah yang lebih tepat adalah total oksida logam alkali.

d. Unsur lainnya.

Selain cara cara di atas, terdapat pula unsur unsur lain yang juga mempengaruhi kecenderungan slagging.
Diantaranya adalah

Rasio besi / kalsium (Fe2O3 / CaO)

Secara umum diketahui bahwa rasio antara 0.2 ~ 10 akan berpengaruh pada penurunan suhu lebur abu,
dengan

rasio 0.3 ~ 3 menunjukkan gejala yang paling mencolok. Jadi, kecenderungan slagging akan

meninggi pada rentang nilai ini.

Besi oksida (Fe2O3)

Bila kalsium oksida (CaO) ditambahkan pada besi okssida (Fe2O3) maka suhu lebur akan turun dan
kecenderungan slagging akan meningkat. Untuk itu, maka kadar Fe2O3 diharapkan tidak lebih dari 15%. Untuk
desain boiler, nilai maksimalnya adalah 20%.

Disamping itu, kadar besi oksida yang banyak juga akan menyebabkan abunya berwarna kemerahan.

Fouling

Fouling adalah fenomena menempel dan menumpuknya abu pada dinding penghantar panas (super
heater maupun re-heater) yang dipasang di lingkungan dimana suhu gas pada bagian belakang furnace lebih
rendah dibandingkan suhu melunak abu (ash softening temperature).

Unsur yang paling berpengaruh pada penempelan abu ini adalah material basa terutama Na, yang dalam hal
ini adalah kadar Na2O.

Bila kadar abu batubara banyak, kemudian unsur basa dalam abu juga banyak, ditambah kadar Na 2O yang
tinggi, maka fouling akan mudah terjadi.

Evaluasi karakteristik fouling sama dengan untuk slagging, yaitu dinilai berdasarkan rasio unsur basa dan
asam, serta kadar Na2O di dalam abu. Jika nilai nilai tadi tinggi, maka secara umum kecenderungan fouling
juga meningkat.

Selanjutnya, kadar sulfur yang tinggi juga cenderung mendorong timbulnya fouling melalui pembentukan
senyawa bersuhu lebur rendah, melalui persenyawaan dengan unsur basa ataupun besi.

Fouling yang berkembang akan dapat menyebabkan bermacam macam masalah seperti penurunan suhu uap
pada keluaran (outlet) super heater dan re-heater, serta menyempit dan tersumbatnya jalur aliran gas. Untuk
menghilangkan abu ini dapat digunakan soot blower, sama seperti penanganan pada slagging.

Berikut ini akan dijelaskan beberapa cara penilaian terhadap fouling.

a. Metode evaluasi representatif.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa faktor utama yang mempengaruhi kondisi menempelnya abu
adalah Na2O. Oleh karena itu, perusahaan B & W menentukan penilaian fouling berdasarkan persamaan di
bawah ini. Untuk pembagian tipe abu juga sama dengan untuk slagging.

Abu tipe bituminus (CaO + MgO < Fe2O3)

Rf (Fouling index) = {(Fe2O3 + CaO + MgO + Na2O+ K2O) / (SiO2 + Al2O3 + TiO2 )} X
Na2O

Standar nilai

Potensi fouling

Rf

Low

0.2<

Medium

0.2 ~ 0.5

High

0.5 ~ 1.0

Severe

>1.0

Abu tipe lignit (CaO + MgO > Fe2O3)

Rf = kadar Na2O (%)

Standar nilai

Potensi fouling

Rf

Low

1.2<

Medium

1.2 ~ 3.0

High

3.0 ~ 6.0

Severe

>6.0

b. Unsur lainnya.

Selain cara cara di atas, terdapat pula unsur unsur lain yang juga mempengaruhi kecenderungan fouling.
Diantaranya adalah

Na2O

Unsur yang paling berpengaruh terhadap kecenderungan fouling adalah unsur alkali, terutama Na. Seperti
dijelaskan di atas bahwa pengaruh Na2O adalah besar. Batubara yang abunya (baik tipe lignit maupun
bituminus) mengandung Na2O dengan kadar lebih dari 1~2% (sebagian fabrikan menunjuk angka lebih dari 2
~ 4%) mengindikasikan memiliki kecenderungan fouling yang tinggi.

Di Jepang, standar kualitas batubara uap untuk Na2O adalah 0.1%~3% untuk pembangkitan listrik, dan
maksimal 1.2% untuk industri semen.

Batas bawah untuk pembangkitan listrik adalah 0.1%, karena bila angkanya kurang dari ini akan menyebabkan
turunnya performa keterambilan debu (untuk proses pengambilan debu dengan Electrostatic Precipitator suhu
rendah yang banyak digunakan di Jepang).

Sedangkan untuk industri semen, standar angka (maksimal 1.2%) tadi bukan dimaksudkan untuk menilai
kecenderungan fouling, tapi untuk fenomena penurunan kualitas beton terpasang yang disebut dengan alkaliaggregate reaction. Bila terdapat banyak Na2O dalam semen, maka akan timbul alkali-aggregate reaction yang
dapat menyebabkan tulang beton menjadi aus atau mengembang, serta betonnya itu sendiri dapat
mengembang dan retak.

Disamping Na, unsur lain di dalam semen yang juga dapat menyebabkan fenomena ini adalah K (Kalium).
Selain berasal dari abu batubara seperti halnya Na, Kalium juga ada yang terbawa dari bahan baku semen.

Oleh karena itu, penilaiannya ditentukan oleh jumlah Na2O dan K2O di dalam semen, yang nilainya diharapkan
tidak lebih dari 0.6%. Sedangkan yang terdapat dalam abu batubara, standar nilai yang ditetapkan adalah
maksimal 1.2%.

Alasan mengapa angkanya sangat besar yaitu 1.2% adalah karena sedikitnya jumlah yang terbawa dari
batubara untuk proses kalsinasi di kiln (diperlukan 110~120 kg batubara untuk produksi 1 ton semen). Selain
itu, bila abu batubara diganti dengan lempung yang merupakan bahan baku sekunder (diperlukan 280~300 kg
untuk produksi 1 ton semen), kadar Na2O dan K2O dapat diperoleh dalam jumlah yang sangat sedikit sesuai
dengan rasio substitusi yang diperhitungkan.

Bila jumlah Na2O dan K2O dikonversi ke dalam basis Na2O, maka perhitungannya adalah Na2O + 0.658 K2O.
Disini, angka 0.658 adalah hasil bagi antara berat molekul Na2O (61.98) dengan berat molekul K2O (94.20).

CaO.

Batubara dengan kadar CaO dalam abu yang tinggi menunjukkan kecenderungan fouling yang tinggi pula.
Disini, yang perlu mendapat perhatian adalah bila kadar CaO dalam abunya lebih dari 15~20%.

* Terjemahan bebas buku sekitan no kiso chishiki (gijutsu hen), bab 5 sekitan no hinshitsu to sono hyouka,
sub bab 7 omo na hinshitsu hyouka koumoku, sub sub bab 3 suraggingu sei to fauringu sei. Penerbit:
Sekitan shigen kaihatsu Co., Ltd, tanpa tahun.
About these ads

https://imambudiraharjo.wordpress.com/2009/06/19/slagging-dan-fouling/
ASH ANALYSIS:
Sifat Sifat Ash Analysis

Ash Analysis didalam batubara bersifat tidak typical dan bervariasi dari
satu seam ke seam lainnya atau didalam seam itu sendiri.
Kandungan komposisi abu tergantung pada unsur pembentuk batubara,
dan juga dipengaruhi oleh abu yang berasal dari luar seperti dilusi atau
material yang terbawa selama penambangan.
Abu batubara dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu : Abu lignitic dan Abu
Bituminous
Abu Lignitic

= Fe2O3 < CaO + MgO

Abu Bituminous = Fe2O3 > CaO + MgO


Kegunaan Ash Analysis:
Sebagai indikator karakteristik abu didalam pembakaran batubara.
Prediksi sifat-sifat abu berdasarkan ash analysis biasanya dinyatakan
dalam beberapa formula seperti :
Rasio Basa /Asam:
Slagging Factor

: Basa / Asam X S (d)

Fouling Factor

: Basa / Asam x Na2O

Pengujian Ash Analysis:


Ash Analysis sesuai dengan nama paramternya ditentukan dari abu
batubara.
Abu batubara setelah dipreparasi dan dilarutkan, kemudian diatomisasi
dengan cara dibakar pada temperature tinggi, kemudian selama atomisasi
disinari dengan radiasi lampu yang disesuaikan dengan unsur yang
ditentukan
Atom-atom unsur tersebut akan menyerap energi radiasi yang
dipancarkan oleh lampu tersebut. Banyaknya energi yang diserap
berbanding lurus dengan banyaknya atom yang terdapat dalam larutan
tersebut.
Dengan membandingkannya dengan grafik kalibrasi sample standar,
maka kadar unsur dari batubara dapat ditentukan.

Anda mungkin juga menyukai