Anda di halaman 1dari 7

Kota Untuk Rakyat

Oleh Parwoto

1)

Benarkah kota kota dibangun untuk rakyat ?? Kenyataannya banyak kota kota kita
justeru dibangun oleh rakyat
Pada saat kota kota tumbuh dan makin maju kemudian muncul pertanyaan kota kita
ini milik siapa, untuk siapa kota kita ini. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak
kota kota, suka tidak suka, sadar tidak sadar telah membiarkan proses penyaringan
siapa saja yang boleh tinggal dikota tersebut, yang lebih menyedihkan proses
penyaringan tersebut sering kali dilakukan justeru melalui kebijakan yang tidak adil
dengan dalih bahwa ini wajar mereka tidak mampu tinggal dikota karena kalah
dalam persaingan tanpa tedeng aling aling malah diperjelas bahwa ini hukum pasar.
Sungguh sedih tapi ini kenyataan saat ini.
Lalu apa sebenarnya kota itu ?
Sampai saat ini banyak ahli masih menganggap bahwa kota adalah mesin
pertumbuhan (engine of growth) atau sebagai pusat innovasi atau pusat
perubahan2) dan sebagainya dimana akumulasi innovasi terjadi dan menawarkan
berbagai peluang. Hal ini menunjukkan bahwa kota menjanjikan banyak peluang
bagi siapa saja yang mau maju dan berkembang. Sayangnya tawaran peluang
tersebut sering terhambat oleh berbagai kebijakan yang justeru menyurutkan
semangat masyarakat perdesaan untuk datang ke kota (migrasi) dan menikmati
peluang tersebut. Untunglah proses migrasi desa kota tidak dapat dibendung oleh
sebab berbagai hal yang lebih bersifat faktor pendorong seperti antara lain
lambatnya proses diversifikasi lapangan kerja di desa dan rendahnya nilai tukar
produk pertanian terhadap produk industri sehingga menjadi daya dorong yang kuat
untuk masyarakat perdesaan datang ke kota. Antara tahun 1990 dan 2010
penduduk perkotaan tumbuh lebih dari dua kali yaitu dari 56 juta penduduk menjadi
128 juta penduduk. Antara tahun 2000 sampai dengan 2010 penduduk perkotaan
tumbuh 2.75% per tahun sehingga diproyeksikan pada tahun 2035 penduduk
perkotaan akan mencapai 66,6% dari total penduduk Indonesia.
Pertanyaannya bila kota adalah justeru pusat kemajuan mengapa migrasi justeru
bukan digalakkan tetapi malah di hambat dengan berbagai kebijakan yang seolah
olah adil karena demi kepentingan orang banyak atau penduduk seluruh kota.
Untuk menjawab hal tersebut mari kita kembali dulu untuk apa Negara ini dibentuk.
Undang Undang dasar 1945 dengan tegas menekankan untuk membentuk
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
1) Pengamat Permukiman
2) Willem van Vliet, Cities in globalizing world: from engines of growth to agents of change dalam Environment&Urbanization Vol 14 No 1 April
2002

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia


berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial 3)
Jadi jelaslah bahwa Negara ini justeru dibentuk untuk melindungi seluruh rakyat,
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pertanyaannya bagaimana hal tersebut akan dilakukan dalam kondisi rakyat
Indonesia yang tersebar. Apakah kita akan mengkotakan (urbanize) desa desa kita
yang berjumlah 80.714 desa pada tahun 2013 ini atau kita justeru akan
memanfaatkan kota kota kita yang pada tahun yang sama hanya 98 kota sebagai
pusat pengembangan masyarakat. Bila pilihan kedua diterapkan maka
konsekwensinya adalah justeru menggalakkan migrasi penduduk desa kota, tetapi
bukan hanya sekedar menggalakan migrasi desa-kota melainkan juga dipersiapkan
agar menjadi penduduk kota yang baik (good citizen) melalui berbagai proses
pemberdayaan dan pengembangan kapasitas agar mereka jadi lebih sejahtera dan
lebih maju.
Faktanya justeru migrasi di persulit dengan berbagai alasan antara lain para migran
dianggap menjadi beban kota, memicu tumbuh berkembangnya permukiman
kumuh dan pedagang kaki lima, dsb yang dianggap membuat kota menjadi
semrawut.
Mengapa terjadi demikian ?Apa sebenarnya hambatannya
Paling tidak ada dua hambatan besar yang menyebabkan kota tidak nyaman untuk
rakyat jelata,
Hambatan paradigm yang mempengaruhi persepsi atau pandangan para pelaku
pembangunan terhadap sesuatu
Konflik antara hukum positif dan hukum adat yang dimanifestasikan dalam
bentuk formal dan informal
Hambatan Paradigma 4
Pandangan terhadap rakyat atau masyarakat misalnya. Pandangan kebanyakan
para pejabat dan kebanyakan kaum elit perkotaan terhadap rakyat masih kental
diwarnai dengan semangat kolonial yang melihat rakyat atau masyarakat umum
sangat rendah, tidak perlu mendapat prioritas dalam pembangunan kota (invisible
target group), malah sering kali dianggap sebagai sumber persoalan.
Contoh contoh nyata dapat dilihat dalam misalnya peristilahan dulu Sekolah Dasar
disebut Sekolah Rakyat. Alih alih menunjukkan jenjang pendidikan malah
menunjukan kelompok sasaran yaitu rakyat jelata hanya untuk mmbedakan bahwa
yang dapat sekolah waktu itu adalah hanya kaum elit kota. Intinya bukan soal siapa
yang sekolah tetapi peristilahan tersebut memberikon konotasi miskin, jelata/rakyat
kecil/wong cilik, tertinggal dan sebagainya. Stikma stikma ini masih terus terbawa
sampai sekarang dan muncul disana sini dengan konotasi yang sama misalnya
perumahan rakyat, pasar rakyat dan sebagainya.
3) Preambule Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
4) Parwoto, Paradigma Pembangunan, bahan pelatihan fasilitator PNPM Mandiri Perkotaan

Hal ini bukan hanya sekedar istilah tetapi lebih bersifat pola pikir atau pandangan
yang tentunya berdampak sangat luas dalam kebijakan dan penentapan prioritas
pembangunan. Semua urusan terkait dengan rakyat jelata atau rakyat banyak
selalu menjadi prioritas akhir dan kalau perlu, tidak usah ada karena toh hanya
untuk kelas yang rendah, misalnya: Pejalan kaki yang di negara lain mendapat
prioritas utama dalam urutan lalu lintas disini menjadi yang terakhir. Betapa tidak
amannya jalan kaki karena jalan kaki itu hanya untuk rakyat kecil yang dianggap
statusnya sangat rendah dibanding dengan naik mobil jadi dalam perebutan sumber
daya pembangunan harus kalah. Alokasi anggaran pembangunan akan lebih
diarahkan untuk jalan mobil katimbang trotoir/kaki lima untuk para pejalan kaki.
Kalau toh ada ini dilakukan lebih untuk kosmetik kota katimbang untuk melayani
pelajan kaki agar dapat berjalan kaki dengan nyaman dan aman, sehingga tidak
heran bila pilihan lantai untuk kaki lima yang licin pun tidak perlu dipersoalkan
sejauh coraknya indah dan enak dipandang mata oleh pengendara mobil. Jadi
orientasinya memang bukan untuk sikecil yang lemah (si pecundang) tetapi untuk
yang kaya yang kuat (si pemenang)
Rencana tata ruangpun tidak pernah mengalokasikan ruang terbuka yang strategis
untuk pedagang kaki lima (PKL). Pola dagang pun diberi jenjang status; pola dagang
kaki lima adalah jenjang yang paling rendah, naik sedikit dagang di pasar rakyat,
naik lagi dagang di ruko dan akhirnya dagang di Mall. Pola dagang ini seharusnya
dilihat sekedar sebagai pola dagang (mode of trade) yang setara tanpa perbedaan
status semua harus hidup berdampingan. Jenjang status ini kemudian berdampak
juga dalam alokasi sumberdaya pembangunan, bukan saja anggaran atau uang
melainkan juga ruang hidup tidak disediakan dan malah ada pimpinan kota yang
bangga dapat menertibkan (baca menggusur/mengusir) pedagang kaki lima
Hal serupa juga terjadi dalam perumahan untuk masyarakat penghasilan rendah
atau sering disebut sebagai perumahan rakyat. Oleh sebab anggapan bahwa rakyat
kecil itu rendah, beban kota dan tidak diperlukan maka lokasi untuk perumahan
merekapun tidak pernah dibangun dilokasi yang strategis di tengah kota tetapi jauh
diluar kota, dengan alasan klasik nilai tanah dilokasi tersebut sangat tinggi tidak
sesuai untuk rakyat kecil malah sering ditambahi ini hukum pasar lho, tanpa
menyadari bahwa Pemerintah dibentuk justeru untuk mengatur pasar bukan tunduk
pada pasar. Kalau yang diberlakukan adalah hukum pasar maka sebenarnya ini
adalah hukum rimba dimana yang kuat yang menang.
Akibatnya semua kepentingan rakyat kecil justeru ditinggalkan hanya untuk
kepentingan kota yang lebih banyak dinikmati oleh masyarakat menengah keatas.
Kalau ini yang terjadi bagaimana menjelaskan hal tersebut dibawah ini ?
Kisah Manto yang ingin maju
Suatu hari keluarga Topo dan Tini memanggil anaknya Manto: Nak pergilah kekota
dan belajarlah berdagang disana. Ini kami sdh mengumpulkan sedikit modal dan
sudah kami belikan 2 lusin sarung, 2 lusin baju, 2 lusin celana panjang dan 1 lusin
celana pendek serta 2 lusin kaos oblong. Sudah beberapa kali Manto minta ijin
kedua orang tuanya untuk hijrah ke kota yang pada dasarnya disetujui kedua orang
tuanya tapi mereka berpikir mungkin lebih baik kalau ada modal sedikit. Keluarga
ini mulai mengumpulkan dikit demidikit dana dan juga pinjam dari handai taulan,

sebab ingin sekali anaknya tumbuh berkembang menjadi anak yang modern dan
maju di kota. Tini juga segera menyurati sepupunya yang sdh lebih dulu kekota dan
menceritakan maksud mereka serta minta untuk sementara menampung Manto
dirumahnya.
Pertanyaannya :
Dimanakah Manto harus dagang ?
Dipasar tidak ada tempat dan kalau ada harus membayar uang sewa yang
cukup mahal.
Beli ruko/toko dia jelas tidak mampu
Akhirnya jadi PKL (pedagang kaki lima) dengan risiko dikejar-kejar Satpol PP
tetapi tetap ini yang paling memungkinkan
Bila pertanyaan pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab maka sudah jelas bawa
kota kota kita bukan untuk rakyat jelata apa lagi yang miskin.
Konflik antara hukum positif dan hukum adat,
Hukum positif merupakan hukum yang berlaku saat ini berupa kumpulan aturan dan
norma norma hukum tertulis yang harus dipatuhan segenap warga negara
sedangkan hukum adat yang dikenal dalam kehidupan social dengan peraturan
peraturan hukumnya tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahan
sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat jadi memiliki kemampuan
menyesuaikan diri. Hukum ada ini sangat kental dengan nuansa informalitas.
Contoh dibawah ini akan memberikan gambaran konflik antara hukum positif dan
hukum adat
Kisah pak Kromo yang lugu
Keluarga Kromo sedang mengadakan pesta syukuran untuk puteranya yang baru
lahir dengan mengundang para tetangga termasuk pak RT dan pak RW.Waktu
pamitan pulang pak RT mengingatkan pak Kromo dan isterinya bu Ninik untuk
segera mengurus akte kelahiran puteranyanya. Pak Kromo bertanya akte kelahiran
itu untuk apa ?Pak RT menjelaskan bahwa akte kelarihan itu adalah tanda bukti
bahwa anak bapak memang lahir pada tanggal tersebut dan benar anak bapak dan
ibu Ninik. Pak Kromo segera menjawab: Lho kan hari ini saya mengadakan
syukuran, disamping memang untuk bersyukur juga memaklumkan bahwa anak ini
adalah saya. Jadi tidak mungkin ada orang akan mengaku puteraku. Pak RT
tersenyum dan mengatakan besok saja saya akan jelaskan.
Dialog diatas juga terjadi di kantong kantong kumuh di perkotaan dimana banyak
migran dari desa membangun rumah mereka hanya dengan ijin pak RT diatas tanah
yang dianggapnya tidak ada yang punya karena tanah tersebut memang tanah
Negara. Setelah tinggal lebih 20 tahun dan beranak pinak tiba tiba datang petugas
akan menggusur mereka dan dinyatakan sebagai penghunian liar. Padahal
Pemerintah Kota dapat saja memanggil semua penghuni ke balai kota dan
menjelaskan bahwa bapak ibu sebenarnya sdh layak atau memenuhi syarat untuk
mengajukan hak atas tanah tetapi dengan persyaratan tertentu.
Kedua hambatan utama tersebutlah yang menyebabkan kota tidak lagi nyaman
bagi rakyat jelata dan fungsi kota sebagai pusat innovasi, pusat kemajuan tidak

dapat diterapkan untuk rakyat jelata. Kalau demikian cita cita Undang Undang
Dasar 1945 tidak dapat dicapai atau sebenarnya masih ada peluang.
Peluang masih tetap ada, bila kedua hambatan besar tersebut dapat disingkirkan
sehingga terjadi hal hal sebagai berikut ini.
a. Paradigma pelaku pembangunan kota harus berubah, para pengelola kota
harus melihat bahwa warga kota sebagai subyek yang berdaulat dan bukan
obyek untuk diatur
Para pengelola kota juga harus malu karena tanpa disadari pandangan
terhadap warga kota sebagai obyek yang harus diatur (baca dikendalikan) ini
sebenarnya adalah warisan penjajah dimana pada waktu itu desa masuk
yurisdiksi regent/bupati dengan otonominya, sedangkan kota dilihat sebagai
wilayah jajahan yang dipimpin oleh seorang burgemeester/walikota jadi
penduduknya juga tidak otonom. Betul kelurahan adalah SKPD tetapi warga
kelurahan adalah subyek yang berdaulat
Bila paradigm yang melihat warga kota sebagai subyek yang berdaulat
tersebut diatas diterapkan maka konsep pemerintah sebagai abdi
masyarakat dengan sendirinya terjadi sehingga pemerintah pasti mengambil
tanggung jawab penuh untuk memastikan ketersediaan; lapangan kerja,
perumahan dan pelayanan dasar lainnya secara adil.
Hilangkan kasta jenjang status dalam :

Pola dagang, sehingga semua diberikan hak hidup yang layak, maka di
tempat tempat strategis disamping dibangun mall juga disediakan
lapangan khusus untuk pedagang kaki lima, lengkap dengan tempat
duduk, tempat meneduh, toilet umum, dsb. Pedagang kaki lima ini sangat
dibutuhkan oleh para karyawan menengah kebawah yang merupakan
mayoritas dari karyawan yg bekerja dipusat pusat kegiatan. Itulah
sebabnya dibalik gemerlapnya kantor kantor dan pertokoan mewah selalu
ada pedagang kaki lima yang menyediakan makanan, minuman dan
barang barang kebutuhan sehari-hari para karyawan. Oleh sebab itu
adillah untuk diberikan ruang hidup yang layak.

Berlalu lintas, sehingga pejalan kaki akan mendapatkan martabatnya


yang layak sebagaimana seharusnya; mendapatkan trotoir (kaki lima)
yang luas, aman dan nyaman tanpa takut ditabrak motor atau mobil
sehingga mobilitas dalam suatu kawasan dapat dilakukan hanya dengan
berjalan kaki sehingga mengurangi polusi dan menghemat biaya
transportasi.

Perumahan, sehingga di lokasi lokasi strategis disamping perumahan


untuk masyarakat penghasilan menengah dan tinggi akan tersedia
perumahan untuk masyarakat penghasilan rendah yang kehadirannya
secara dekat memang dibutuhkan oleh masyarakat penghasilan
menengah dan tinggi. Perumahan masyarakat penghasilan rendah ini juga
sangat dibutuhkan untuk tempat tinggal para pedagang kaki lima,
karyawan, pengemudi, dsb. Saat ini banyak majikan di Jakarta harus

menunggu berjam-jam pengemudinya yang tinggal di luar kota. Ironi tapi


nyata.
b. Pendidikan masyarakat, disamping perubahan paradigm dan hilangnya kasta
atau jenjang dari berbagai kegiatan usaha, berlalu lintas dan perumahan
perlu secara terus menurus dilakukan pendidikan masyarakat agar seluruh
warga kota dapat benar benar berperan sebagai warga kota yang baik (good
citizen) dan maju. Para migrant juga dipersiapkan agar tidak saja mampu
menjadi warga kota yang baik dan mampu menggapai berbagai peluang
yang ditawarkan kota, juga sadar hukum dan sadar akan hak haknya dan
tahu bagaimana mendapatkan legalitas atas tanah Negara yang memang
juga menjadi haknya.
Bila semua ini dilakukan maka kota kota kita akan benar benar menjadi kota kota
yang mampu mengakomodasi heteroginitas dan kemajemukan karena ini
memang ciri dasar suatu kota yang selalu penuh dengan opsi. Unsur unsur kota
yang heterogen dan majemuk tersebut saling menghargai dan bekerjasama
sehingga kota benar benar hidup, bukan bersaing untuk saling meniadakan.
Sama seperti tubuh kita yang terdiri dari berbagai unsur ada yang tampak cantik
ada yang buruk dan ada yang tidak kelihatan tetapi semua unsurnya saling
membutuhkan dan bekerjasama sehingga kita dapat hidup sehat. Bayangkan
kalau usus kita menolak kerja sama dengan mulut kita maka kita akan
mengalami banyak kesulitan apa lagi kalau tiap unsurnya bersaing untuk saling
meniadakan maka dapat dipasti kita akan segera mati begitu juga bila unsure
unsur kota juga saling meniadakan bukan saling membutuhkan dan bekerjasama
maka kota tersebut hanya tinggal menunggu waktu saja untuk menjadi kota
mati. Dalam kondisi dimana semua unsur kota saling membutuhkan dan saling
bekerja sama inilah, kota kota kita akan menjadi pusat pusat perkembangan bagi
semua dan tempat mengejar ketertinggalan bagi yang tertinggal, yang miskin
dan terpinggirkan. Kota menjadi tumpuan harapan bagi semua yang pingin
maju.

Daftar Pustaka
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Parwoto,
Paradigma pembangunan, Bahan Bacaan Pelatihan Fasilitator P2KP/Program
Penangulangan Kemiskinan Perkotaan, 2002
William Peterman,
Neighborhood Planning and Community Based Development, Sage London, 2000
Tjuk Kuswartojo,
Gelar Nalar Prof Hasan Poerbo : Lingkungan Binaan Untuk Rakyat, PPLH ITB dan
Yayasan AKATIGA, 1999
Parsudi Suparlan (penyunting),
Kemiskinan di perkotaan, Yayasan Obor, 1996
Soedjatmoko,
Etika Pembebasan, PT. Pustaka LP3ES, Indonesia 1964
Osborne, David and Ted Gaebler,
Reinventing Government: How Entrepreneurial Spririt is Transforming the Public
Sector, New York, A William Patrick Book, 1992

Anda mungkin juga menyukai