Anda di halaman 1dari 21

BB

Anatomi Kemiskinan
Oleh : Parwoto

BAB I
PEMAHANAN KEMISKINAN
01. Latar

Belakang

Kemiskinan pada dasarnya bukan hanya permasalahan ekonomi tetapi lebih


bersifat multidimensional dengan akar permasalahan terletak pada sistem ekonomi
dan politik bangsa yang bersangkutan. Dimana masyarakat menjadi miskin oleh
sebab adanya kebijakan ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan mereka,
sehingga mereka tidak memiliki akses yang memadaikan ke sumber daya-sumber
daya kunci yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan hidup mereka secara layak.
Akibatnya mereka terpaksa hidup di bawah standar yang tidak dapat lagi dinilai
manusiawi, baik dari aspek ekonomi, aspek pemenuhan kebutuhan fisik, aspek
sosial, dan secara politikpun mereka tidak memiliki sarana untuk ikut dalam
pengambilan keputusan penting yang menyangkut hidup mereka. Proses ini
berlangsung timbal balik saling terkait dan saling mengunci dan akhirnya secara
akumulatif memperlemah masyarakat miskin.
Situasi ini bila tidak segera ditanggulangi akan memperparah kondisi masyarakat
miskin yang ditandai dengan lemahnya etos kerja, rendahnya daya perlawanan
terhadap berbagai persoalan hidup yang dihadapi, kebiasaan-kebiasaan buruk yang
terpaksa mereka lakukan dalam rangka jalan pintas mempertahankan hidup mereka
yang bila berlarut akan melahirkan budaya kemiskinan yang sulit diberantas.
Di sisi lain upaya-upaya penanggulangan kemiskinan lebih banyak diarahkan hanya
untuk meningkatkan penghasilan masyarakat miskin melalui berbagai program
ekonomi, seperti peningkatan penghasilan, pemberian kredit lunak, dsb. Semua ini
tidak dapat disangkal akan meningkatkan penghasilan masyarakat miskin tetapi
tidak serta merta menyelesaikan persoalan kemiskinan. Kesalahan mendasar yang
saat ini terjadi adalah melihat kemiskinan sebagai ketidak-mampuan seseorang
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yang disebabkan oleh rendahnya
penghasilan (ekonomi) mereka, sehingga pemecahan yang logis adalah dengan
meningkatkan penghasilan. Peningkatan penghasilan disini seolah-olah menjadi
obat mujarab terhadap semua persoalan kemiskinan. Padahal akar kemiskinan
justeru bukan pada penghasilan. Tinggi rendahnya penghasilan seseorang erat
kaitannya dengan berbagai peluang yang dapat diraihnya. Jadi lebih merupakan
akibat dari suatu situasi yang terjadi oleh sebab kebijakan politik yang tidak adil
yang diterapkan sehingga menyebabkan sebagian masyarakat tersingkir dari
sumberdaya kunci yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan hidup mereka secara
layak.

BB
02. PENGERTIAN KEMISKINAN
Deepa Narayan, dkk dalam bukunya Voices of the Poor menulis bahwa yang
menyulitkan atau membuat kemiskinan itu sulit ditangani adalah sifatnya yang tidak
saja multidimensional tetapi juga saling mengunci; dinamik, kompleks, sarat dengan
sistem institusi (konsensus sosial), gender dan peristiwa yang khas per lokasi. Pola
kemiskinan sangat berbeda antar kelompok sosial, umur, budaya, lokasi dan negara
juga dalam konteks ekonomi yang berbeda.
Lebih lanjut mereka juga memberikan 4 dimensi utama dari definisi kemiskinan yang
dirumuskan oleh masyarakat miskin sendiri, sebagai berikut di bawah ini.
a) Dimensi 1 : Dimensi material kekurangan pangan, lapangan kerja dengan
muaranya adalah kelaparan atau kekurangan makan.
b) Dimensi 2 : Dimensi psikologi, seperti antara lain ketidakberdayaan
(powerlessness), tidak mampu berpendapat (voicelessness), ketergantungan
(dependency), rasa malu (shame), rasa hina (humiliation)
c) Dimensi 3 : Dimensi akses ke pelayanan prasarana yang praktis tidak dimiliki
d) Dimensi 4 : Dimensi aset/milik, praktis tidak memiliki aset sebagai modal untuk
menyelenggarakan hidup mereka secara layak seperti antara lain :

kapital fisik (physical capital), antara lain mencakup tanah, ternak, peralatan
kerja, hunian, perhiasan, dsb

kapital manusia (human capital), antara lain menyangkut kesehatan,


pendidikan dan pekerjaan. Kesehatan yang buruk sering menghalangan
orang untuk bekerja apalagi bila pekerjaannya menuntut tenaga fisik yang
sering ditemukan pada masyarakat yang berada pada tingkat survival, begitu
juga rendahnya pendidikan sangat menghambat kemajuan seseorang.

aset sosial (social capital), atau sering diartikan dalam hal ini sebagai sistem
kekerabatan yang mendukung kaum miskin untuk tetap bertahan hidup
sebab pada umumnya kaum miskin tidak masuk jaringan formal
pengamanan sosial seperti asuransi yang mampu melindungi mereka dari
berbagai krisis seperti musibah, keuangan, dll

aset lingkungan (environmental asset), antara lain mencakup iklim dan


musim yang sangat berpengaruh pada petani, nelayan dan sebagai pekerja
lapangan.

Secara rinci ke empat aset tersebut dapat diuraikan sebagai berikut ini.
Aset fisik (physical capital),
a) Pada dasarnya masyarakat miskin memang praktis tidak memiliki benda-benda
fisik yang diperlukan sebagai modal hidup mereka seperti antara lain tanah yang
memadai, rumah/tempat tinggal yang layak, perabotan rumah tangga,
kendaraan, peralatan kerja dan benda-benda fisik lainnya

BB
b) Aset kemanusiaan (human capital),
Pada dasarnya masyarakat miskin juga tidak memiliki kwalitas sumber daya
manusia yang cukup baik yang dapat menjamin keberhasilan hidup mereka,
mencakup tingkat kesehatan, pendidikan, tenaga kerja, dsb belum lagi kwalitas
manusia yang lain seperti etos kerja yang ulet, jiwa kewirausahaan,
kepemimpinan, dsb
c) Aset sosial (Social capital)
Masyarakat miskin memang selalu tersisih dari pranata sosial yang ada
termasuk sistem asuransi sehingga mereka harus membangun sendiri institusi
mereka agar mendapatkan jaminan sosial (social security) yang dibutuhkan
untuk mempertahankan hidup mereka (survival) melalui kekerabatan antar
mereka, asosiasi penghuni, yang seringkali menjadi sangat kuat oleh sebab rasa
senasib sepenangungan, dsb.
d) Aset lingkungan (environmental asset)
Pada umumnya masyarakat miskin di perkotaan memang kurang atau malah
tidak memiliki sumber-sumber lingkungan sebagai modal hidup mereka seperti
air baku, udara bersih, tanaman, lapangan hijau, pohon-pohon, dsb, sementara
para petani dan nelayan sangat tergantung kepada aset lingkungan dalam
bentuk musim dan iklim.
Lebih lanjut keempat dimensi tersebut sangat dipengaruhi oleh konteks yang lebih
luas yaitu tatanan ekonomi makro dan sistem politik yang berlaku di negara
tersebut.
Beberapa pendapat lain melihat kemiskinan dari sudut pandang yang sangat
berbeda dan menyimpulkan kemiskinan sebagai berikut di bawah ini

Kemiskinan absolut, yaitu bila penghasilan seseorang di bawah garis


kemiskinan absolut, yaitu suatu ukuran tertentu yang telah ditetapkan dimana
kebutuhan minimum masih dapat dipenuhi, dengan kata lain penghasilannya
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum yang ditetapkan dalam garis
kemiskinan tersebut.

Kemiskinan relatif, yaitu suatu kondisi perbandingan


penghasilan dalam masyarakat.

antara kelompok

Dari pola waktunya kemiskinan juga sering dibedakan sebagai berikut :


Kemiskinan menaun (persistent poverty), yaitu kemiskinan yang kronis atau
sudah lama terjadi, turun temurun, misalnya masyarakat di lokasi-lokasi kritis
atau terisolasi
Kemiskinan siklik (cyclical poverty), yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus
ekonomi secara keseluruhan
Kemiskinan musiman (seasonal poverty), yaitu kemiskinan yang terjadi secara
khusus sesuai dengan musim seperti yang sering terjadi pada nelayan atau
petani tanaman pangan
Kemiskinan mendadak (accidental poverty), yaitu kemiskinan yang terjadi oleh
sebab bencana atau dampak oleh suatu kebijakan yang tidak adil.

BB
Meskipun berbagai pihak melihat kemiskinan dari sudut pandangan yang berbeda
dan merumuskan kemiskinan secara berbeda pula tetapi semua pihak sepakat
bahwa pada dasarnya kemiskinan mengandung arti majemuk yang sering kali sulit
untuk dipahami dari satu sudut pandang saja.
Secara umum kemiskinan sering kali diartikan sebagai keterbelakangan,
ketidakberdayaan atau ketidakmampuan seseorang untuk menyelenggarakan
hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap layak/manusiawi.
Dari berbagai pandangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
keterbelakangan/ketidakberdayaan/ketidakmampuan ini mencakup beberapa
dimensi sebagai berikut :
Dimensi politik
Tinjauan dari aspek politik ini, ketidakmampuan seseorang diterjemahkan dalam
bentuk rendahnya tingkat kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam
pengambilan keputusan politik yang penting yang langsung menyangkut hidupnya,
tidak dimilikinya sarana-sarana yang memadai termasuk kelembagaan untuk terlibat
secara langsung dalam proses politik. Akibatnya kaum miskin tidak memiliki akses
ke berbagai sumberdaya kunci yang dibutuhkannya untuk menyelenggarakan
hidupnya secara layak. Termasuk dalam hal ini adalah sumber daya financial dan
sumberdaya alam. Oleh sebab tidak dimilikinya pranata sosial yang menjamin
partisipasi masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan maka sering
kali masyarakat miskin dianggap tidak memiliki kekuatan politik sehingga menduduki
struktur sosial yang paling bawah, malah sering kali masyarakat miskin seringkali
secara juridis tidak diakui sebagai warga negara. Kemiskinan politik sering kali
disebut juga sebagai kemiskinan struktural.
Dimensi ekonomi
Tinjauan kemiskinan dari dimensi ekonomi ini diartikan sebagai ketidak mampuan
seseorang untuk mendapatkan mata pencaharian yang mapan dan memberikan
penghasilan yang layak untuk menunjang hidupnya secara berkesinambungan yang
terlihat dari rendahnya gizi makanan, tingkat kesehatan yang rendah, tingkat
pendidikan yang rendah, pakaian yang tidak layak, dsb.
Pandangan ini banyak digunakan oleh berbagai pihak untuk menetapkan garis
kemiskinan.
Berbagai lembaga memiliki ukuran masing-masing dalam menetapkan kemiskinan
antara lain sebagai berikut :
a). Prof Sayogyo menggambarkan tingkat penghasilan
pengeluaran setara beras per tahun untuk kategori :

dengan

mengukur

BB

miskin di perkotaan 480 kg dan di perdesaan 320 kg

miskin sekali di perkotaan 360 kg dan diperdesaan 240 kg

paling miskin di perkotaan 270 kg dan perdesaan 180 kg

b). BPS menggunakan tingkat pengeluaran per kapita per hari untuk memenuhi
kebutuhan pokok yang dihitung sebagai kebutuhan kalori 2100 kalori per kapita
per hari dan kebutuhan dasar bukan makanan dan menetapkan pada tahun
1999 Rp 93.896/kapita/bulan di perkotaan dan Rp 73.878/kapita/bulan di
perdesaan.
Dimensi Aset
Tinjauan kemiskinan dari dimensi aset ini dirumuskan sebagai ketidakmampuan
seseorang yang diterjemahkan sebagai rendahnya tingkat penguasaan seseorang
terhadap hal-hal yang mampu menjadi modal dasar seseorang dalam memenuhi
kebutuhan pokoknya (basic human needs) seperti kapital manusia (pengetahuan,
pendidikan, kesehatan, dsb), kapital fisik (tanah, perumahan yang layak, peralatan
kerja, sarana produksi, kendaraan, dsb), kapital alam (udara, pohon, hewan, dsb),
kapital sosial (jaringan sosial, tradisi, dsb), kapital dana (tabungan, pinjaman, dsb)
Dimensi budaya dan psikologi
Dari dimensi budaya, kemiskinan diterjemahkan sebagai terinternalisasikannya
budaya kemiskinan baik di tingkat komunitas, keluarga maupun individu.
Di tingkat komunitas dicirikan dengan kurang terintegrasinya penduduk miskin
dalam lembaga-lembaga formal masyarakat, di tingkat keluarga dicirikan dengan
singkatnya masa kanak-kanak, longgarnya ikatan keluarga, dsb, sedangkan di
tingkat individu terlihat seperti antara lain sifat tidak percaya diri, rendah diri, kurang
mau berpikir jangka panjang oleh sebab kegagalan-kegagalan yang sering
dihadapinya, fatalisme, apatis, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi, dsb
Semua dimensi tersebut diatas bagi masyarakat miskin memiliki tingkat kerentanan
yang tinggi karena sifatnya yang tidak mantap, seperti misalnya dimensi ekonomi
bagi masyarakat miskin akan sangat berbeda dengan masyarakat kaya karena
kebanyakan masyarakat miskin dan masyarakat yang sedikit di atas garis
kemiskinan memiliki mata pencaharian yang sangat labil sehingga guncangan
sedikit saja (krisis) akan menyebabkan mereka terpuruk.

3.

KESIMPULAN

BB
Dari berbagai pandangan tersebut di atas dapat disimpulkan arti kemiskinan
dikaitkan dengan pembangunan masyarakat perkotaan sebagai berikut.
a) Ada kelompok/lapisan masyarakat yang tidak mampu menyelenggarakan
hidupnya secara layak dan tidak berdaya menghadapi tantangan pembangunan
yang terjadi dengan ciri-ciri sebagai berikut :
Rendahnya kepemilikan aset fisik atau praktis tidak memiliki benda-benda
fisik yang diperlukan sebagai modal hidup mereka seperti antara
rumah/tempat tinggal yang layak, perabotan rumah tangga, kendaraan,
peralatan produksi dan harta benda fisik lainnya
Rendahnya kwalitas sumberdaya manusia atau tidak memiliki kwalitas
sumber daya manusia yang cukup baik yang dapat menjamin keberhasilan
hidup mereka, mencakup tingkat kesehatan, pendidikan, kemampuan
memproduksi tenaga kerja (labor power), dsb belum lagi oleh sebab
terinternalisasinya budaya kemiskinan yang menghancurkan kwalitas
manusia secara keseluruhan, seperti antara lain rendahnya etos kerja,
fatalisme, apatis, hancurnya jiwa kewirausahaan dan kepemimpinan, boros,
cari gampang, dsb
Tersingkir dari pranata sosial formal yang ada utamanya pranata sosial yang
mampu memberikan jaminan sosial, sehingga masyarakat miskin harus
membangun sendiri institusi mereka agar mendapatkan jaminan sosial
(security) yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup mereka (survival)
melalui kekerabatan antar mereka, asosiasi penghuni, yang seringkali
menjadi sangat kuat oleh sebab rasa senasib sepenangungan, dsb.
Tersingkir dari sumberdaya alam seperti pada umumnya masyarakat miskin
di perkotaan memang kurang atau malah tidak memiliki akses ke
sumberdaya alam sebagai modal hidup mereka seperti tanah, air baku,
ternak/binatang liar, sumberdaya lingkungan seperti udara bersih, tanaman,
ruang hijau, pohon-pohon, dsb. Termasuk ketergantungan terhadap musim
dan iklim tanpa daya untuk menangulanginya.
Tidak memiliki akses ke pelayanan dasar yang dibutuhkan, seperti air
minum, sanitasi, drainasi, kesehatan, pendidikan, penerangan, energi,
transportasi, jalan akses, dsb
Tidak memiliki akses ke sumberdaya modal seperti kredit dari perbankan.
Tidak memiliki akses ke proses pengambil keputusan penting yang
menyangkut hidup mereka oleh sebab tidak tersedianya pranata yang
memberi peluang masyarakat miskin menyuarakan aspirasinya.
Memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dari segi mata pencaharian sehingga
dengan mudah oleh guncangan sedikit saja (kecelakaan, sakit, krisis,
kemarau panjang, bencana alam, dsb) dapat masuk ke kategori kelompok
yang lebih rendah/lebih miskin.
b) Hal tersebut di atas berarti :
Ada segregasi sosial dalam masyarakat

BB
Ada ketidak adilan dalam distribusi peluang pembangunan dan sumberdaya
pembangunan
Tidak
berjalannya
fungsi
ketataprajaan /governance)

pengendalian

pembangunan

(matinya

Tidak berfungsinya sistem perwakilan dalam proses pengambilan keputusan


dan manajemen pembangunan
c) Akar penyebab kemiskinan
Meskipun kemiskinan banyak dibicarakan dan identifikasi dan dirumuskan tetapi
ternyata hanya terbatas pada gejala-gejalanya saja (rumusan kemiskinan).
Diskusi mengenai akar permasalahan atau penyebab kemiskinan hampir selalu
dihindari atau malah sering ditabukan karena akar utama penyebab kemiskinan
adalah justeru tidak adanya keadilan di masyarakat dan ketidak-adilan ini
jelas adalah akibat dari :

ketidak mampuan para pengambil keputusan untuk menegakkan keadilan

menipisnya kepedulian dan meningkatnya keserakahan di masyarakat

Semuanya ini menunjukkan adanya gejala serius dari lunturnya nilai-nilai luhur
dari para pelaku pembangunan (pengambil keputusan dan masyarakat)
sehingga sebagai manusia kita tak berdaya untuk menjadi pelaku moral
(melemahnya moral capability). Situasi ini tentu saja menjadi tanggung jawab
kita bersama; pemerintah sebagai pengawal dan penegak keadilan dan kita
semua sebagai masyarakat warga yang saling mengasihi. Mampukah
pemerintah menciptakan kebijakan yang adil yang mampu meredistribusi aset
nasional secara adil dan melakukan koreksi terhadap ketimpangan sosial yang
ada ? Sedihnya berbagai upaya penangulangan atau pemberantasan
kemiskinan adalah justeru melestarikan ketidak adilan tersebut dengan
menolong korban-korban ketidak adilan tersebut agar mampu bertahan sebagai
korban dan tidak mencoba menyelesaikan akar persoalannya. Sedih tetapi
nyata.

4.

REFLEKSI
Apakah yang kita lakukan selama ini :
Benarkah kita memerangi kemiskinan atau kita memerangan orang miskin ?
Kemiskian yang kita perangi atau simbol kemiskinan yang kita perangi ?
Contoh-contoh yang terjadi :

Pedagang kaki lima (PKL) harus diberantas.


Apakah yang sebenarnya terjadi

BB
PKL bersih kota tertib, tetapi pedagang kaki lima kehilangan lapangan pekerjaan
dan menjadi makin miskin.
Persoalan siapa yang diselesaikan sebenarnya ?
Apakah persoalan kemiskinan selesai ?

Becak dilarang beroperasi


Jalan-jalan jadi bersih becak, kesemrawutan kendaraan mobil, bis, mikrolet tetap
Tukang becak kehilangan mata pencaharian
Ibu-ibu terpaksa mbonceng ojek dari lingkungan perumahan
Apakah persoalan kemiskinan selesai ??

Lingkungan kumuh harus diberantas


Apakah yang sebenarnya terjadi ?
Lingkungan kumuh menjadi ruko yang indah dan rapi, masyarakat miskin
penghuni lingkungan kumuh tergusur oleh keputusan politik dan tercabut dari
sumber nafkahnya.
Mungkin hal tersebut tidak perlu terjadi karena masyarakat miskin tersebut dapat
tinggal di rumah susun yang sengaja disediakan sebagai bagian dari program
peremajaan tersebut. Yang terjadi tetap saja masyarakat miskin yang dirumahkan
di rumah susun tersebut tergusur lagi oleh tekanan ekonomi dan sosial budaya.
Apakah persoalan kemiskinan selesai ???

Program-program pengentasan kemiskinan


Terperangkap dalam upaya meningkatkan penghasilan, pada hal orang miskin tidak
berbicara penghasilan (income) kegagalan yang terjadi disadari oleh sebab tidak
memiliki aset-aset utama yang dibutuhkan untuk menunjang kehidupannya (fisik,
kwalitas manusia, sosial, lingkungan dan akses). Adakah program pengentasan
kemiskinan yang menjamin masyarakat miskin memiliki aset-aset tersebut.
Akhirnya berbagai fasilitas kredit yang ditawarkan hanya dimanfaatkan oleh elit
kampung/desa
Apakah persoalan kemiskinan selesai ????
Selama tidak ada keadilan maka keserakahan akan tetap merajalela dan
kemiskinan akan tetap terjadi.

BAB II
BEBERAPA INTERVENSI UNTUK MENANGGULANGI KEMISKINAN
Dari uraian terdahulu, jelaslah meskipun ada berbagai pandangan tentang kemiskinan
tetapi semua mengacu pada lunturnya nilai-nilai luhur para pelaku pembangunan yang
berakibat aturan atau tatanan pengelolaan urusan publik dalam hidup berbangsa dan

BB
bernegara yang tidak adil sehingga terjadi akumulasi pemihakan justeru kepada yang tidak
miskin (kaya) yang berakibat fatal terhadap upaya-upaya penangulangan kemiskinan.
Dengan kata lain persoalan kemiskinan pada dasarnya adalah perkara pengelolaan
urusan publik (governance issues) karena lunturnya nilai-nilai luhur universal sehingga
upaya perbaikan yang harus dilakukan adalah mulai dengan membangun kembali
kesadaran kritis dan moral para pelaku pembangunan baik ditataran pengambil keputusan
maupun di tataran rakyat jelata sehingga pada gilirannya mampu menciptakan dan
membangun tatanan pengelolaan urusan publik yang baik (good governance).
Sesuai dengan sifatnya bahwa kemiskinan adalah persoalan multidimesional dan antar
dimensi saling terkait (interrelated) dan saling mengunci (interlocking) maka apapun upaya
yang dilakukan dalam rangka penanggulangan atau pemberantasan kemiskinan haruslah
mencakup berbagai dimensi tersebut secara integratif

BEBERAPA BENTUK INTERVENSI


NO

TATARAN

KEMUNGKINAN INTERVENSI

Pelaku

Membangun kesadaran kritis dan memulihkan kemampuan manusia untuk


menjadi pelaku moral.

Kebijakan

Menetapkan program penangulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan


kerja sebagai prioritas dalam strategi pembangunan kota (city development
strategy)
Pengembangan kebijakan yang memulihkan posisi masyarakat miskin dalam
proses pembangunan dan pengambilan keputusan sebagai pelaku kunci
Pengembangan kebijakan yang menjamin akses bagi masyarakat miskin ke
berbagai sumberdaya kunci dan peluang pembangunan yang dibutuhkan
untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka.
Pengembangan kebijakan usaha yang memadukan dan memberikan
peluang yang adil terhadap sektor formal dan informal

Pengaturan

Pengembangan berbagai peraturan yang menjamin kehidupan dan


penghidupan masyarakat miskin dikota, termasuk jaminan untuk bekerja dan
bermukim
Penyederhanaan sistem perizinan dan penguatan hak-hak masyarakat
miskin atas tanah dan lokasi usaha
Pengembangan peraturan yang secara sistemik menjamin kegiatan usaha
informal termasuk industri rumah tangga

Kelembagaan

Membangun kelembagaan masyarakat warga (civil society organization)


Membangun kelembagaan antara yang mampu menjembatani antara sektor
formal dan informal

Program

Penyediaan pelayanan publik yang lebih akomodatif terhadap kepentingan


masyarakat miskin (kesehatan, pendidikan, transportasi, pelayanan
prasarana, dsb)
Pengembangan program-program perumahan untuk kelompok masyarakat

BB
yang tidak terlayani oleh pasar formal
Pengembangan program-program pemberdayaan yang membangun dan
memulihkan keberdayaan warga, keluarga dan masyarakat untuk mampu
menentukan sejarahnya sendiri
6

Evaluasi

Pemutakhiran pemetaan masyarakat miskin perkotaan


Pengembangan indikator keberhasilan penangulangan kemiskinan
Pengembangan indikator partisipasi masyarakat banyak utamanya yang
miskin dalam proses pengambilan keputusan publik

Daftar Acuan
1) Deepa Narayan, dkk ; The voice of the poor, 2000
2) Mubyarto ; Ekonomi dan Politik Pembangunan Regional, Kasus Propinsi Kalimantan
Barat, 2000
3) Parsudi Suparlan (ed); Kemiskinan di Perkotaan, 1995
4) Badan Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia & Smeru; Paket
Informasi Dasar
5) Manual Proyek Penangulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), 1999

10

BB
Tantangan penanggulangan Kemiskinan : Sikap Mental dan
Paradigma Pelaku Pembangunan
Oleh : Marnia Nes
Mengapa Terjadi Kemiskinan ?
Kemiskinan merupakan permasalahan yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia.
Berbagai program dicanangkan baik oleh pemerintah maupun lembaga lembaga lain
untuk menanggulangi kemiskinan, tetapi hasilnya belum bisa dikatakan cukup berarti,
karena di berbagai tempat jumlah orang miskin tetap banyak. Saat ini berbagai kasus yang
merupakan dampak kemiskinan terjadi di berbagai tempat seperti kekurangan gizi ibu yang
menyebabkan anemia (kekurangan darah), sehingga anak anak yang dilahirkan dari ibu
tersebut juga kurang gizi; busung lapar terjadi di berbagai tempat, dan banyak berbagai
kasus lainnya.
Kondisi seperti di atas menyebabkan orang miskin semakin miskin, karena mereka terjerat
dalam lingkaran kemiskinan. Contohnya : karena miskin seorang ibu tidak bisa makan
makanan yang bergizi, sehingga kesehatannya buruk, kesehatan ibu berpengaruh terhadap
kesehatan anak ditambah dengan asupan makanan setelah lahir juga tidak mencukupi
akibat tidak bisa mengkonsumsi makanan bergizi, ini akan berpengaruh pada tingkat
kecerdasan anak, apalagi kesempatan bersekolah juga sangat kecil karena biaya sekolah
mahal. Kenyataan membuktikan bahwa dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah
ditambah persaingan kerja yang makin tinggi, peluang kerja semakin sulit, akhirnya mereka
makin terjebak dalam kemiskinan.
Mungkin perlu kita renungkan, apa yang menjadi penyebab utama kemiskinan, sehingga
warga miskin makin hari makin bertambah, kenyataan menunjukkan makin banyak anak
putus sekolah, makin banyak yang kekurangan gizi, banyak yang tidak bisa memenuhi
kesehatan dasar dan lainnya. Untuk menemukan sumber masalah kita bisa melakukan
analisa seperti seorang dokter dalam memeriksa pasennya (orang sakit)., maka yang harus
dilakukan adalah menemukan sumber penyakitnya. Seseorang yang sakit panas, kalau
diperiksa lebih lanjut mungkin saja akibat flu atau akibat TBC atau penyakit lainnya. Flu dan
TBC yang menjadi sumber penyakit yang mengakibatkan panas dan pusing disebut
sebagai akarnya (masalah yang sebenarnya) sedangkan panas dan pusing merupakan
gejala penyakit.
Menemukan sumber masalah kemiskinan, pada dasarnya sama dengan mendiagnosa
penyakit. Coba kita telusuri penyebab kemiskinan, dengan salah satu contoh Tanya jawab
seperti berikut ini :
Tanya : Mengapa ada yang miskin ?
Jawab : Karena pendapatan rendah ?
Tanya : Mengapa pendapatan rendah ?
Jawab :

11

Karena tidak punya pekerjaan tetap

Karena nganggur

BB

Karena usaha susah kurang modal

Karena tidak punya lahan

Tanya : Kenapa tidak punya pekerjaan tetap atau nganggur ?


Jawab : karena cari kerja susah
Tanya : mengapa cari kerja susah ?
Jawab :

Karena tidak punya keterampilan

Karena pendidikan rendah

Karena tidak punya uang untuk kasih uang pelicin

Tanya : Mengapa tidak punya keterampilan dan pendidikan rendah ?


Jawab :

Karena biaya sekolah mahal , sehingga sekolah hanya bisa dijangkau oleh orang
orang kaya saja (kebijakan pendidikan tidak berpihak pada orang miskin).

Lebih baik membantu keluarga, bekerja mencari uang daripada sekolah


menghabiskan waktu tetapi akhirnya nganggur juga.

Karena banyak yang malas, sehingga hanya mengandalkan bantuan dari pihak luar

Tanya : mengapa biaya sekolah mahal ?


Jawab :
Karena lembaga pendidikan mencari untung besar, dangan yang menentukan aturan tidak
memahami kesulitan dan kebutuhan orang miskin
Tanya : Mengapa cari kerja harus memakai uang pelicin?
Jawab : Karena oknum oknum penerima tenaga kerja cari untung buat diri sendiri
Tanya : Mengapa oknum oknum bertindak seperti itu ?
Jawab : Karena lunturnya kejujuran dan serakah.
Tanya : Mengapa lembaga pendidikan mengeluarkan aturan yang yang seperti di atas
Jawab :
Karena lunturnya kepedulian dan keadilan.
Coba kita gambarkan hasil Tanya jawab tadi :
Tanya : Mengapa tidak punya modal ?
Jawab : Cari modal susah, banyak syaratnya

12

BB
Miskin

Pendapatan rendah

Tidak punya pekerjaan tetap Nganggur

Usaha susah

Tidak punya keterampilanPendidikan rendah

Biaya pendidikan mahal

Tidak punya modal

Cari modal susah : banyak syaratnya


Tidak punya uang untuk pelicin

Lembaga pendidikan cari untung buat diri sendiri


Pengambil kebijakan tidak paham kesulitan orang miskin

Cari kerja susah

Lembaga keuangan cari untung buat diri sendiri


Pengambil kebijakan tidak paham kesulitan orang miskin

Oknum oknum penerima tenaga kerja cari untung buat diri sendiri

Lunturnya kepedulian
Meningkatnya keserakahan
Lunturnya kejujuran
Lunturnya keadilan

Penyebab tingkat 4, disebut gejala masalah jadi bukan masalah utama


Penyebab tingkat 3, peraturan yang merupakan keputusan sekelompok orang atau keputusan
individu.
Penyebab tingkat 2, lembaga (sekelompok orang yang mengambil keputusan) yang berpengaruh
pada pelayanan masyarakat (publik)
Penyebab tingkat 1, sikap mental dan perilaku sekelompok orang yang mengambil keputusan atau
sikap mental seseorang.

13

BB
Bagan di atas sering disebut Pohon masalah kemiskinan, kalau kita lanjutkan dengan
persoalan lain selain pendidikan, maka akan ditemukan akar masalah yang sama yang
bersumber pada sikap mental (kualitas manusia) baik kualitas manusia yang mengambil
kebijakan ( di luar orang miskin) maupun dari diri si miskinnya sendiri.
Sikap sikap yang tidak peduli, serakah dan mementingkan diri sendiri di atas contoh dari
sikap mental yang dipunyai oleh sebagian pembuat aturan/kebijakan (aturan) , selain faktor
dari luar juga ada pengaruh pengaruh sikap mental dari dalam diri sendiri seperti malas,
besar pasak dari tiang, kurang kerja keras dan sebagainya.
Berdasarkan hal di atas, ternyata penyebab kemiskinan bukan semata mata hanya
kurang modal akan tetapi disesabkan oleh banyak faktor. Di antara berbagai penyebab
kemiskinan penyebab yang utama atau sering disebut akar masalahnya adalah sikap
mental ( sikap dan perilaku) manusia, yang melunturkan kebersamaan di antara kita, atau
merenggangnya solidaritas sosial. Solidaritas sosial dengan landasan nilai nilai keadilan,
kesetaraan dan kejujuran ini sering disebut sebagai modal sosial dalam masyarakat, modal
untuk dapat dipercaya oleh pihak lain, bagi pemimpin juga modal untuk bisa dipercaya
masyarakatnya.
Paradigma Pembangunan
Sikap mental di atas sangat berhubungan dengan pola pikir atau pandangan umum
terhadap tindakan seseorang. Pola pikir atau pandangan umum tersebut disebut

Nilai

Sikap mental

Paradigma

Keputusan

Tindakan
(perilaku)

14

BB
Seseorang bertindak atau berperilaku tertentu sangat ditentukan oleh pola pikir dan sikap
mentalnya. Apabila sikap mentalnya negatif, misal : serakah, maka perilakunya akan
merugikan orang lain. Tindakan seseorang juga sangat dipengaruhi oleh pandangan
pandangan umum (paradigma), apabila paradigma yang berkembang di masyarakat keliru,
maka akan mempengaruhi tindakan yang keliru juga. Mestinya yang menjadi kontrol
terhadap sikap mental dan paradigma seseorang adalah nilai nilai kemanusiaan.
Dalam kenyataannya seringkali orang bertindak dipengaruhi oleh lingkungannya, walaupun
itu keliru, contoh : karena ingin dihargai oleh lingkungan, seseorang berusaha
mengumpulkan kekayaan sebanyak banyaknya walaupun dengan cara yang merugikan
orang lain. Hal ini disebabkan oleh paradigma yang berkembang di masyarakat bahwa
orang yang dianggap sukses adalah orang yang kaya. Artinya orang tersebut bertindak
untuk memuaskan lingkungan (dikontrol oleh lingkungannya). Apabila nilai nilai yang
dijadikan kontrol, dalam hal ini kejujuran, keadilan, menghargai hak orang lain,; maka orang
tersebut tidak akan terjebak memperkaya diri sendiri apalagi merugikan orang lain.
Apabila kita kaitkan paparan di atas dengan pembangunan, maka paradigma dan sikap
mental para pelaku pembangunan akan mempengaruhi proses dan hasil hasil
pembangunan.

15

BB
Jender, Malpraktik Pembangunan, dan Kultur Penghancuran
Kompas (Senin 12 April 2004)

TITIN, sebut saja begitu, memulai pekerjaannya pada pukul lima petang di sebuah panti
pijat di pusat bisnis di bilangan Jakarta Barat. Pulangnya sekitar pukul 22.00. Ibu tiga anak
ini mulai bekerja di tempat itu pada paruh kedua tahun 1997.
"Suami saya di-PHK bulan November 1997. Dulunya ia kerja di pabrik, lalu pabriknya
bangkrut, ujar Titin (28) ketika ditemui di tempat kerjanya beberapa waktu lalu. "Pesangon
enam bulan gaji itu tak cukup ke mana-mana. Biaya hidup makin tinggi. Anak-anak butuh
gizi dan harus tetap sekolah."
Suaminya memang terus berusaha mencari pekerjaan. Namun, itu bukan hal mudah bagi
laki-laki lulusan SLTA. "Pada suatu malam kami berunding. Anak-anak harus makan,
makanya saya harus bekerja," lanjut Titin.
Suatu hari temannya mengajak Titin bekerja di panti pijat. Sang suami yang sudah separuh
putus asa itu mengizinkan. Akan tetapi, setelah itu sang suami malah berhenti mencari
pekerjaan. Pekerjaan utamanya kini adalah mengantar dan menjemput istrinya. "Saya
heran kok dia tenang-tenang saja, padahal pekerjaan saya ini berisiko sekali," ujar Titin.
Ia tidak bisa menolak permintaan tamunya, karena panti pijat seperti itu bukanlah tempat
untuk pijat betulan. "Sulit untuk meminta tamu pakai kondom," kata Titin, yang kini ikut aktif
mempromosikan kesehatan reproduksi.
Cerita Titin memperlihatkan bahwa krisis ekonomi meningkatkan kerentanan pada banyak
kelompok masyarakat. Situasi itu menyebabkan pemiskinan dan membawa akibat yang
berbeda pada perempuan dan laki-laki. Meski tidak bisa menggeneralisasikan situasi,
namun pada banyak kasus, perempuan lah yang kemudian mengambil alih kemudi rumah
tangga, melakukan apa saja, agar anak-anaknya bisa makan tiga kali sehari dan bisa terus
bersekolah.
LAJU penurunan kemiskinan selama 20 tahun terakhir sejak tahun 1976 memperlihatkan
gejala perlambatan, meskipun pertumbuhan ekonomi berkisar antara tujuh sampai delapan
persen dan tingkat kemiskinan absolut masih menurun. Tingkat kemiskinan melonjak lagi
sebagai dampak krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997.
Data terakhir tahun 2003 menunjukkan jumlah penduduk yang menggerombol di antara
batas garis kemiskinan satu dan dua dollar AS per hari mencapai 46 persen, terdiri dari 10
persen di bawah dan 36 persen di atas garis kemiskinan yang berlaku sekitar 1,5 dollar per
hari. Walau tingkat kemiskinan menurun 1,1 juta orang atau 0,8 persen antara tahun 20022003, namun tingkat kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan meningkat. Hal ini

16

BB
mencerminkan adanya kelompok miskin yang memprihatinkan dan ketidakmerataan yang
sistemik.
Kemiskinan (dan pemiskinan) ini bersifat multidimensional, mencakup materi, deprivasi
kapabilitas, dan martabat, yang terkait dengan fenomena ketidakberdayaan dan
ketidakmampuan bersuara.
Namun, angka-angka itu bisa dibaca keliru kalau tidak bisa memahami bahwa dampak
kemiskinan (dan pemiskinan) pada perempuan dan laki-laki berbeda. "Laki-laki dan
perempuan mempunyai pengalaman berbeda dalam menghadapi persoalan kemiskinan,"
ujar Edriana dari Womens Research Centre.
"Oleh karena itu, penanggulangannya harus menyeluruh dan mempertimbangkan
perbedaan tersebut," sambungnya. Ini artinya, program-program sebelumnya yang "netral
jender" tak bisa dilanjutkan bila ingin akar kemiskinan dicabut.
Menurut Edriana, pengetahuan yang dalam tentang dimensi jender dalam kemiskinan
dapat mengubah secara nyata kebijakan dan program yang diprioritaskan dalam Poverty
Reduction Strategy Papers (PRSP). Proses penyusunan PRSP sudah mendekati final,
karena itu pengintegrasian perspektif dan analisis jender ke dalam dokumen PRSP harus
dilakukan secara efektif dengan dua pendekatan sekaligus.
Pendekatan pertama adalah memberi pemahaman tentang pengarusutamaan jender dalam
PRSP kepada stakeholders yang terlibat dalam penyusunan dokumen PRSP, yang
mencakup anggota gugus tugas dan para technical assistant. Pendekatan kedua adalah
memasukkan perspektif jender dan analisis jender ke dalam bahan atau rumusan gugus
tugas untuk dokumen PRSP.
Sebenarnya data Badan Pusat Statistik (BPS) seperti dipaparkan Kepala BPS Sudarti
Surbakti cukup menjelaskan terjadinya perbedaan jender yang signifikan dalam bidang
pendidikan, kesehatan, upah kerja di sektor formal, jam kerja yang sangat panjang di
rumah dengan beban berganda-ganda, lapangan kerja, dan lain-lain.
Asep Suryahadi dari Lembaga Penelitian SMERU melihat tiga hipotesis utama
penyebabnya, yakni pilihan yang bersifat endogen, dipengaruhi lingkungan, sehingga tidak
nyaman bagi perempuan. Misalnya, pengambilan keputusan atau kontrol produksi
didominasi laki-laki, demikian juga aset produksi. Istri membutuhkan izin suami bila ingin
bekerja atau berusaha dan perempuan yang bekerja tetap bertanggung jawab penuh
mengelola urusan rumah tangga.
Penyebab lain adalah kualifikasi yang menyebabkan lebih rendahnya kemungkinan
perempuan untuk memperoleh pekerjaan dan lebih rendahnya partisipasi perempuan untuk
semua tingkat pendidikan di pasar kerja. Ini menyebabkan terjadinya diskriminasi struktural
yang ditunjang oleh diskriminasi kebijakan pemerintah.
Dr Aida Vitayala Hubeis dari Institut Pertanian Bogor menambahkan pentingnya data
terpilah jender per sektor (formal dan nonformal) yang mendukung perlunya
pengintegrasian jender. Dalam sektor pertanian misalnya, 60,7 persen penduduk Indonesia

17

BB
tinggal di desa (BPS, 2000) dan 48 persen mencari nafkah dari sektor pertanian dengan
melibatkan sekitar 50 persen tenaga kerja dan 60 juta keluarga petani.
Di antara mereka, 38,2 persen adalah perempuan dan 16 persen kepala rumah tangga
adalah perempuan. Dari jumlah itu, sekitar 19,7 persennya bekerja di subsektor
perkebunan, 10 persen di tanaman pangan, tujuh persen di peternakan, dan 5,7 persen di
perikanan laut. Sekitar 29,3 perempuan kepala rumah tangga bekerja di hutan tanaman
industri (HTI), 23,3 persen di perkebunan, 16,7 persen di HPH, di subsektor perikanan 11,7
persen, dan 10,4 persen di perusahaan satwa liar dan wisata alam (BPS, 2000).
Fakta ini menunjukkan dengan jelas keterlibatan aktif perempuan dalam sektor pertanian,
namun pembinaan kelompok tani masih berfokus pada bapak tani, dan kalaupun ada untuk
ibu tani lebih pada kebutuhan praktis jender perempuan. Perempuan penyuluh juga masih
sedikit, hanya lima persen.
KETUA Badan Pengurus Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) Nani
Zulminarni memaparkan kenyataan pahit yang ia temui di lapangan. Kelompok perempuan
kepala rumah tangga di Kecamatan Mawasangka, Buton, yang dia temui pada tahun 2001
mengeluh, "Kami membutuhkan air bersih, tetapi musyawarah desa memutuskan
membangun gedung balai desa. Waktu itu kami tidak bisa omong karena tidak diajak bicara
dan juga kami tidak bisa tulis proposal yang baik. Sampai saat ini kami selalu sulit air, harus
jalan jauh untuk mendapatkan air, anak-anak juga harus bantu ambil air."
Perempuan kepala rumah tangga di Kelubagolit, Flores Timur, NTT, memaparkan
bagaimana mereka mengelola dana bantuan. "Sebagian kami kelola untuk modal simpan
pinjam yang dapat digunakan semua anggota untuk menambah modalnya. Sebagian kami
kelola untuk beasiswa anak-anak sekolah, untuk makanan dan pengobatan janda tua yang
hidup sendiri dan bikin tempat air untuk semua warga di sini."
Perempuan kepala rumah tangga di Kecamatan Pacet, Cianjur, Jawa Barat, mengeluhkan
dana bantuan yang potensial digerogoti laki-laki. Mereka mengulang yang mereka katakan
waktu itu. "Kalau Bapak minta bagian dari dana ini, silakan tulis di buku dan tanda tangan
untuk bukti pertanggungan jawab kami. Ini kan dana orang miskin, masak sih Bapak
merasa berhak juga?"
Nani menggarisbawahi pentingnya partisipasi perempuan dalam pengelolaan sumber daya
dalam masyarakat. "Tidak perlu riset bertahun-tahun untuk mengetahui betapa rendahnya
partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan di berbagai tingkatan,"
katanya. Namun, Sita Aripurnami dan Womens Reserch Center mengingatkan, kata
"partisipasi" yang sangat mudah dimanipulasi.
Menurut Nani, asumsi dan mitos tentang ketidakmampuan dan tidak terlatihnya perempuan
dalam pengambilan keputusan menyebabkan pengabaian terhadap keberadaan
perempuan.
Ini didukung oleh nilai sosial budaya yang membatasi ruang gerak perempuan, kesibukan,
dan beban perempuan di dalam rumah tangga, serta berkembangnya elitisme di unit

18

BB
terkecil masyarakat yang mengatasnamakan suara masyarakat, sehingga suara dan
keberadaan mayoritas perempuan miskin terabaikan.
Nalini Visvanathan dan kawan-kawan dalam The Women, Gender and Development
Reader (1997) mengingatkan, perempuan miskin dan dimiskinkan sangat potensial
ditiadakan keberadaannya, dibuang, dan dijajah. Oleh karena itu, memasukkan perspektif
serta analisis jender menjadi sangat penting tak hanya bagi pembebasan perempuan, tapi
juga menghapuskan kategori-kategori patriarkhal yang reduksionis, yang menyebabkan
malpraktik dalam pembangunan. Inilah sumber kekerasan bagi perempuan dan alam di
seluruh dunia.
Akan tetapi, kekerasan tak hanya disebabkan oleh penerapan berbagai kebijakan yang
netral jender. Kekerasan terhadap perempuan berakar pada asumsi patriarkhal mengenai
homogenitas, dominasi serta sentralisasi yang menjadi model dominan dan pemikiran dari
strategi-strategi pembangunan.
Visvanathan menegaskan, perubahan radikal dengan berfokuskan pada perspektif serta
analisis jender adalah pengakuan bahwa malpraktik pembangunan merupakan kultur
penghancuran. Perspektif dan analisis jender akan menjadi kategori yang memosisikan
perempuan sebagai subyek aktif, yang bersama laki-laki, dalam posisi setara, mengelola
dan menciptakan proses-proses dalam kehidupan.
PADA tahun 2002, Komisi Penaggulangan Kemiskinan telah menyusun Interim Poverty
Reduction Strategy Papers (IPRSP), melalui proses yang partisipatif, dengan melibatkan
berbagai unsur dari pemerintah, dunia usaha, dan organisasi nonpemerintah. IPRSP
menggambarkan langkah-langkah dan prinsip-prinisp yang akan dilakukan dalam
penyusunan PRSP. Kantor Menko Kesra kemudian membentuk Tim Koordinasi Penyiapan,
Perumusan, Penyusunan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan (TKP3KPK).
IPRSP mengidentifikasi empat pilar kebijakan utama dalam penaggulangan kemiskinan,
yakni penciptaan kesempatan kerja dan berusaha; pemberdayaan masyarakat;
peningkatan kapasitas dan sumber daya manusia serta peningkatan upaya perlindungan
sosial. Untuk itu dibentuk gugus-gugus tugas yang melakukan pengkajian kondisi dan
permasalahan kemiskinan, mengkaji ulang kebijakan dan program, merumuskan strategi,
kebijakan dan program, serta mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi.
Dalam diskusi regional mengenai IPRSP September 2003 di Siamreap, Kamboja, ada
catatan khusus untuk tim Indonesia. Di antara yang terpenting adalah tidak adanya
pemahaman dan persepsi yang sama tentang pengarusutamaan jender.
Dalam lokakarya pengarusutamaan jender dalam PRSP di Jakarta pekan lalu, tampak
bahwa beberapa anggota gugus tugas tidak memahami dengan baik apa yang
dimaksudkan dengan "jender".
Beberapa anggota membuat kotak-kotak yang tegas antara pengarusutamaan kemiskinan,
pengarusutamaan tata pemerintahan yang baik dan pengarusutamaan jender. Bahkan,
dengan gagah berani seorang anggota gugus tugas menyatakan bahwa jender adalah
konsep Barat; dan ia mengukuhi pembagian kerja perempuan dan laki-laki. Kenyataan ini

19

BB
menyebabkan tanda tanya besar: siapa yang menentukan anggota gugus tugas dan kriteria
seperti apa yang harus dipenuhi?

Seperti dikemukakan Ani Sumantri dari Yayasan Limpad Semarang, yang mendesak
dilakukan adalah membumikan pengarusutamaan jender supaya lebih mudah dipahami oleh
anggota gugus tugas dan memasukkan para fasilitator yang memang sudah terlibat dalam
berbagai pekerjaan yang berkaitan dengan posisi marjinal perempuan di lapangan ke dalam
gugus tugas tersebut. Ani menegaskan, "Yang paling krusial dari perumusan kebijakan untuk
penanggulangan kemiskinan adalah memasukkan jender sebagai roh, bukan secara tambal
sulam seperti selama ini." (MH

Pendidikan, Kesehatan dan Perempuan

Pendidikan dan Perempuan


Di seluruh dunia, 860 juta orang dewasa tidak bisa membaca atau menulis, duapertiganya
adalah perempuan. Perempuan merupakan separuh dari penduduk dunia menyumbangkan
duapertiga dari seluruh jumlah jam kerjanya untuk mengurus hampir keseluruhan anak di
dunia. Namun kesempatan pendidikan bagi mereka lebih buruk dari laki laki. Mendidik
anak perempuan akan membawa kesehatan keluarga yang lebih baik, rendahnya kematian
anak dan perbaikan gizi. Dengan kata lain pendidikan bagi anak perempuan merupakan

20

BB
strategi yang sederhana dan mudah dicapai untuk membantu menanggulangi kemiskinan.
Masalah perempuan dan pendidikan ini tidak cukup ditangani secara parsial. Sebagian dari
anak anak yang terjerumus dalam bentuk bentuk pekerjaan terburuk adalah anak
perempuan, sebagian dari mereka menjadi pekerja seks anak anak. Perlu dorongan
makro dari pemerintah dan dorongan mikro dari masyarakat untuk mengusahakan keadilan
dalam bidang pendidikan.

Perempuan dan Kesehatan


Menurut WHO (2005) di Indonesia, 2 orang ibu meninggal setiap jam karena persalinan
yang buruk dan nifas, terutama ibu ibu dari kalangan keluarga miskin. Data ini belum
ditambah dengan rendahnya tingkat kesehatan perempuan akibat dari kondisi kemiskinan.
Sebagian besar kematian perempuan disebabkan komplikasi karena hamil dan bersalin,
termasuk pendarahan dan infeksi, tekanan darah tinggi, dan persalinan lama. Sebagian
besar dari komplikasi komplikasi tersebut sebenarnya dapat ditangani melalui penerapan
teknologi kesehatan yang ada. Dengan kata lain, sebagian besar kematian ibu sebenarnya
dapat dicegah. Namun demikian banyak faktor baik politis dan teknis yang membuat
teknologi kesehatan kurang dapat diterapkan mulus di tingkat masyarakat. Pada waktu
kesehatan didekatkan ke masyarakat, belum tentu masyarakat memanfaatkannya karena
alasan, termasuk ketidaktahuan dan hambatan ekonomis. Kemiskinan dan rendahnya
status sosial ekonomi perempuan mempunyai andil. Kesempat Terbatasnya kesempatan
untuk memperoleh informasi dan pengetahuan baru, hambatan membuat keputusan,
terbatasnya akses memperoleh pendidikan memadai, dan kelangkaan pelayanan
kesehatan yang peka terhadap kebutuhan perempuan juga turut berperan terhadap situasi
ini ( Safe Motherhood : A Matter of Human Rights and Social Justice,1998).

Keselamatan dan kesejahtraan perempuan dan anak sangat penting tidak saja bagi
pemenuhan hak hidup sehat bagi mereka, tetapi juga dalam mengatasi masalah ekonomi,
sosial dan tantangan pembangunan (Pesan Kunci 2, Hari Kesehatan Dunia 2005). Ketika
ibu dan anak meninggal atau sakit, maka keluarga, masyarakat dan negara mereka akan
ikut merasakan penderitaan. Meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan perempuan
berarti meningkatkan status kesehatan masyarakat dan mengurang kemiskinan.

21

Anda mungkin juga menyukai