Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya hidup sehat bagi
setiap penduduk agar dapat terwujudnya derajat kesehatan yang optimal.
Untuk itu diselenggarakan upaya kesehatan yang menyeluruh, merata,
terpadu serta dapat dijangkau oleh masyarakat. Salah satu institusi pelayanan
kesehatan adalah rumah sakit yang berperan dalam upaya kuratif, rehabilitatif
dan promotif tanpa mengenyampingkan pula upaya preventif (Depkes :
2007).
Rumah sakit juga berfungsi sebagai tempat pelayanan medik,
keperawatan, rujukan, riset dan penelitian serta pendidikan kesehatan. Klien
atau customer datang ke rumah sakit bukan hanya orang sakit yang
memerlukan perawatan dan pengobatan akan tetapi orang-orang sehatpun
memerlukan fasilitas rumah sakit. Adapun klien yang sakit datang ke rumah
sakit ada yang hanya berobat jalan ( out patient ) dan ada juga yang
memerlukan perawatan inap ( in patient ), diantara yang memerlukan
perawatan inap tersebut adalah klien-klien yang akan dilakukan tindakan
operasi atau pembedahan ( Long : 1996).
Tindakan bedah adalah upaya dokter yang mempunyai kewenangan
untuk membantu seseorang memecahkan masalah kesehatannya melalui

tindakan pembedahan atau tindakan invasif dalam rangka menegakkan


diagnosa (diagnostic), pengobatan (curative) , memperbaiki deformitas atau
kelainan ( restorative ) dan untuk mengurangi gejala ( paliatif ) serta
memperbaiki bagian tubuh ( kosmetik ) ( Hancock : 1999).
Salah satu tindakan pembedahan yang sering dilakukan adalah operasi
laparatomi. Laporan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES
RI) laparatomi meningkat dari 162 pada tahun 2005 menjadi 983 kasus pada
tahun 2006 dan 1.281 kasus pada tahun 2007.

Sedangkan berdasarkan

catatan medical record RSUD Waled, data pasien yang dilakukan


pembedahan laparatomi di RSUD Waled dalam empat bulan terakhir adalah
sebanyak 471 kasus.

Tabel 1.1

Data Operasi Laparatomi di RSUD Waled


Periode Juni September 2011

No.

Bulan

Jumlah

Prosentase

1.

Juni

106

(%)
22,5

2.

Juli

95

20

3.

Agustus

131

28

4.

September

139

29,5

Jumlah

471

100

Operasi laparatomi yang banyak dilakukan dalam empat bulan


terakhir adalah operasi sectio caesaria sebanyak 58% dari seluruh kasus
laparatomi. Data tersebut bisa dilihat pada tabel 1.2 di bawah ini.

Tabel 1.2 Data Operasi Laparatomi Periode Bulan Juni - September 2011
Berdasarkan Diagnosa Medis di RSUD Waled

No.

Jenis Operasi Laparatomi

Jumlah

Prosentase

1.

Herniotomi

105

(%)
22,3

2.

Apendiktomi

18

3,8

3.

Sectio caesaria

273

58

4.

Sectio alta

21

4,4

5.

Explorasi Laparatomi

22

4,7

6.

Prostatektomi

32

6,8

Jumlah

471

100

Pada kasus-kasus pembedahan timbul suatu permasalahan, dimana


pasien-pasien pasca operasi biasanya takut untuk melakukan mobilisasi
karena cemas dengan keadaan luka operasinya dan takut akan terasa nyeri
yang hebat ( Kusmawan : 2008).
Pasien pasca operasi laparatomi merasa cemas kalau tubuh digerakkan
akan mempengaruhi luka operasi yang masih belum sembuh atau baru
beberapa saat pasca operasi. Padahal tidak sepenuhnya masalah ini perlu

dikhawatirkan, bahkan justru hampir

semua jenis operasi membutuhkan

mobilisasi atau pergerakan badan sedini mungkin ( Kusmawan : 2008).


Berdasarkan

pengalaman

peneliti

selama

memberikan

asuhan

keperawatan pada pasien pasca operasi laparatomi dan juga hasil dari studi
pendahuluan yang dilakukan pada pasien pasca operasi laparatomi di Ruang
Bougenvil RSUD Waled pada tanggal 1-7 Oktober 2011 didapatkan suatu
data yang menyebutkan bahwa dari 10 orang pasien pasca operasi laparatomi
yang sebelumnya telah diberikan penyuluhan tentang cara melakukan
mobilisasi dini dan manfaat mobilisasi dini, 6 orang (60%) tidak mau dan
tidak mampu melakukan mobilisasi dini karena merasa khawatir akan terjadi
nyeri yang hebat dan luka jahitannya akan lepas.
Mobilisasi merupakan kegiatan yang menonjol dalam mempercepat
pemulihan pasca bedah dan berguna mencegah komplikasi lebih lanjut
(Sumantri : 2010). Mobilisasi adalah upaya untuk melatih hampir semua otot
tubuh dan meningkatkan fleksibilitas sendi ( Brunner & Sudarth : 2002).
Dengan bergerak atau mobilisasi, hal ini akan mencegah kekakuan otot
dan sendi sehingga mengurangi nyeri, menjamin kelancaran peredaran darah,
memperbaiki pengaturan metabolisme tubuh, mengembalikan kerja fisiologis
organ-organ vital yang pada akhirnya justru akan mempercepat penyembuhan
luka. Menggerakkan badan atau melatih kembali otot-otot dan sendi pasca
operasi di sisi lain akan memperbugar pikiran dan mengurangi dampak
negatif dari beban psikologis yang tentu saja berpengaruh baik juga terhadap

pemulihan fisik. Akibat yang terjadi dari kurangnya mobilisasi pada pasien
pasca operasi sangat komplek antara lain : proses pemulihan luka operasi
yang lama, pemulihan luka operasi yang tidak baik bahkan tidak sedikit yang
mengalami dehiscence ( Kusmawan : 2008).
Pada saat awal, pergerakan fisik bisa dilakukan di atas tempat tidur
dengan menggerakkan tangan dan kaki yang bisa ditekuk atau diluruskan,
mengkontraksikan otot-otot dalam keadaan statis maupun dinamis termasuk
juga menggerakkan badan lainnya, miring ke kiri atau ke kanan. Untuk
pembedahan dengan narkose regional atau spinal baru boleh melakukan
mobilisasi duduk setelah 1 x 24 jam pasca pembedahan ( Kusmawan : 2008).
Di hari kedua pasca operasi, rata-rata untuk pasien yang dirawat di
kamar atau bangsal dan tidak ada hambatan fisik untuk berjalan, semestinya
sudah bisa berdiri dan berjalan di sekitar kamar atau keluar kamar, misalnya
berjalan sendiri ke toilet atau kamar mandi dengan posisi infus yang tetap
terjaga. Bergerak pasca operasi selain dihambat oleh rasa nyeri terutama di
sekitar luka operasi, bisa juga oleh beberapa selang yang berhubungan
dengan tubuh, seperti infus, kateter, pipa nasogastrik (NGT), drainage tube,
kabel monitor dan lain-lain ( Kusmawan : 2008).
Untuk operasi di perut, jika tidak ada alat tambahan yang menyertai
pasca operasi, tidak boleh berbaring terus di tempat tidur. Perlu diperhatikan
waktu diit makanan mulai diberikan, terutama untuk jenis operasi yang
menyentuh saluran pencernaan. Sedangkan operasi yang melibatkan saluran

kemih dengan pemasangan kateter atau pipa drainase dapat memberikan


keleluasaan untuk bergerak sejak dua kali 24 jam pasca operasi ( Kusmawan :
2008).
Akan tetapi tidak semua pasien pasca operasi mau melakukan
mobilisasi dengan segera. Berdasarkan hasil penelitian di RSUP Adam Malik
Sumatera Utara (Yanti : 2006) mengungkapkan bahwa faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan mobilisasi dini pasien pasca operasi adalah
kondisi kesehatan pasien, gaya hidup, ketakutan atau kecemasan klien
terhadap keadaan luka operasi, takut akan merasakan sakit yang hebat,
pengetahuan dari klien itu sendiri tentang manfaat mobilisasi, jenis kelamin
dan juga penyuluhan dari perawat.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian tentang hubungan tingkat kecemasan dengan
pelaksanaan mobilisasi dini pasien pasca operasi laparatomi di Ruang
Bougenvil RSUD Waled Cirebon.

1.2. Rumusan Masalah


Melihat dari latar belakang di atas maka peneliti merumuskan masalah
penelitian yaitu : Adakah hubungan tingkat kecemasan dengan pelaksanaan
mobilisasi dini pasien pasca operasi laparatomi di Ruang Bougenvil Rumah
Sakit Umum Daerah Waled Kabupaten Cirebon?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1.

Tujuan Umum
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan
antara tingkat kecemasan dengan pelaksanaan mobilisasi dini pasien
pasca operasi laparatomi di ruang Bougenvil Rumah Sakit Umum
Daerah Waled Kabupaten Cirebon.
1.3.2. Tujuan Khusus :
1.3.2.1. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pasien pasca operasi
laparatomi di Ruang Bougenvil RSUD Waled Kabupaten
Cirebon.
1.3.2.2. Mengidentifikasi pelaksanaan mobilisasi dini pasien pasca
operasi laparatomi di Ruang Bougenvil RSUD Waled
Kabupaten Cirebon .
1.3.2.3. Mengidentifikasi hubungan tingkat kecemasan dengan
pelaksanaan mobilisasi dini pasien pasca operasi laparatomi
di Ruang Bougenvil RSUD Waled Kabupaten Cirebon.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1.

Bagi Ilmu Keperawatan


Dapat memberikan referensi bagi ilmu keperawatan bahwa tingkat
kecemasan dapat mempengaruhi pelaksanaan mobilisasi dini pasien
pasca operasi laparatomi sehingga dapat memberikan gambaran untuk

menentukan salah satu intervensi yang tepat pada pasien pasca operasi
laparatomi yang tidak dapat melakukan mobilisasi dini dengan baik.
1.4.2.

Bagi Rumah Sakit


Dapat memberikan data-data tentang pengaruh tingkat kecemasan
terhadap pelaksanaan mobilisasi dini pasien pasca operasi laparatomi,
sehingga

pihak

rumah

sakit

dapat

menyusun

pedoman

penatalaksanaan gangguan mobilisasi dini pasien pasca operasi


laparatomi akibat kecemasan.
1.4.3.

Bagi Peneliti lain


Sebagai salah satu rujukan pustaka penelitian tentang hubungan
tingkat kecemasan dengan pelaksanaan mobilisasi dini pada pasien
pasca operasi laparatomi.

Anda mungkin juga menyukai