Anda di halaman 1dari 45

Bab I

Pendahuluan
1.1.

Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO) dari 70% penderita hipertensi yang
diketahui hanya 25% yang mendapat pengobatan, dan hanya 12,5% yang diobati
dengan baik diperkirakan sampai tahun 2025 tingkat terjadinya tekanan darah tinggi
akan bertambah 60%, dan akan mempengaruhi 1,56 milyar penduduk di seluruh
dunia.
Depkes RI pada tahun 2013 menyatakan bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia
yang didapat melalui pengukuran pada umur > 18 tahun di provinsi Jawa Tengah
adalah sebesar 26,4%. Sedangkan menurut Riskesdas 2013, prevalensi hipertensi di
Indonesia berdasarkan hasil pengukuran pada umur 18 tahun sebesar 25,8 persen
dimana didapatkan daerah tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan
Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%).1
Penelitian yang dilakukan di Sukoharjo pada tahun 2015 menyatakan bahwa dari 85
responden yang diteliti didapatkan sebanyak 27 orang memiliki kualitas tidur yang
baik (31,8%), namun sebagian besar yaitu sebanyak 58 orang (68,2%) mempunyai
kualitas tidur yang buruk.
Penelitian di Magelang menyatakan terdapat hubungan antara kualitas tidur dengan
tekanan darah pada lansia. Begitu pula pada tahun 2015, menunjukkan bahwa ada
hubungan antara kualitas tidur lansia dengan tingkat kekambuhan pada pasien
hipertensi.2
Ditemukan bahwa orang yang mempunyai riwayat keluarga hipertensi mempunyai
risiko dua kali lebih besar terjadi hipertensi dibandingkan pada keluarga yang tidak
mempunyai riwayat hipertensi. Selain itu juga kejadian hipertensi meningkat seiring
dengan bertambahnya usia. Hal yang sama juga dikemukan pada penelitian yang lain
dimana hipertensi merupakan salah satu penyakit yang mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan Lanjut Usia. Indonesia termasuk dalam lima besar negara dengan
jumlah Lanjut Usia terbanyak di dunia. Berdasarkan sensus penduduk pada tahun
2010, jumlah Lanjut Usia di Indonesia yaitu 18,1 juta jiwa (7,6% dari total
penduduk). Pada tahun 2014, jumlah penduduk Lanjut Usia di Indonesia menjadi
18,781 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2025, jumlahnya akan mencapai 36 juta
1

jiwa. Pria dan wanita memiliki prevalensi terjadinya hipertensi yang sama dan juga
terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan hipertensi pada
lansia.3
Penelitian yang lain mengatakan bahwa orang yang mempunyai kulit hitam lebih
banyak mengalami tekanan darah tinggi dibandingkan pada orang yang berkulit
putih.
Penelitian yang dilakukan di Cikarang ditemukan terdapat hubungan antara
pendidikan dengan tekanan darah. Sedangkan menurut penelitian yang lain, tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan kejadian
hipertensi pada Lanjut Usia.4
Penelitian lain juga mengemukakan terdapat hubungan yang bermakna antara
pekerjaan dengan tekanan darah. Akan tetapi menurut penelitian yang lain, tidak ada
hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan hipertensi.
Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Sidakalang pada tahun 2014 menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara aktifitas fisik dengan kejadian
hipertensi pada Lanjut Usia. Begitu pula penelitian yang lainnya menyatakan
seseorang yang tidak teratur berolahraga terbukti memiliki hubungan yang bermakna
dengan kejadian hipertensi.3
Penelitian yang lain mengatakan terdapat hubungan antara obesitas dengan
tekanan darah seseorang.
Menurut penelitian yang dilakukan di Kudus dikatakan bahwa responden yang
mempunyai kebiasaan asupan garam kategori cukup sebagian besar tidak mengalami
hipertensi yakni sebesar 75%, dan responden yang mempunyai kebiasaan asupan
garam kategori sering sebagian besar mengalami hipertensi yakni sebesar 70%. 1
Begitu pula menurut penelitian yang dilakukan di cikarang menemukan adanya
hubungan yang signifikan antara asupan natrium dengan tekanan darah .4
Menurut penelitian yang dilakukan ditunjukkan bahwa merokok berhubungan dengan
kejadian hipertensi. Namun menurut penelitian yang lain tidak ada hubungan antara
kebiasaan merokok dengan hipertensi.2
Untuk itu, penelitian ini dilakukan karena belum adanya data dan penelitian yang
dilakukan mengenai Hubungan Antara Kualitas Tidur dan Faktor-Faktor Lainnya
Dengan Tekanan Darah Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia.

Masalah:
1.1.1. Menurut World Health Organization (WHO), tingkat terjadinya tekanan
darah tinggi akan bertambah terus menerus, dan diperkirakan sampai
tahun 2025 akan mempengaruhi 1,56 milyar penduduk di seluruh dunia.
1.1.2. Menurut data Riskesdas tahun 2013, hipertensi merupakan masalah
kesehatan di indonesia dengan prevalensi yang tinggi yaitu sebesar
25,8%. Prevalensi hipertensi cenderung lebih tinggi pada kelompok
pendidikan lebih rendah dan kelompok tidak bekerja, kemungkinan
akibat ketidaktahuan tentang pola makan yang baik.
1.1.3. Menurut penelitian yang dilakukan, didapatkan sekitar 68,2 %
responden mempunyai kualitas tidur yang buruk, dan didapatkan
hubungan bermakna antara kualitas tidur dengan tingkat kekambuhan
pasien hipertensi.
1.1.4. Menurut penelitian yang dilakukan di Pekan Baru Riau, didapatkan
orang yang mempunyai riwayat keluarga hipertensi mempunyai risiko
dua kali lebih besar terjadi hipertensi dibandingkan dengan keluarga
yang tidak mempunyai riwayat hipertensi, serta terdapat hubungan yang
bermakna antara usia dan jenis kelamin seseorang dengan kejadian
hipertensi.
1.1.5. Menurut penelitian yang dilakukan di Desa Belang Malum Kecamatan
Sidikalang Kabupaten Dairi, terdapat hubungan yang bermakna antara
pendidikan, dan aktivitas fisik seseorang dengan tekanan darah.
1.1.6. Menurut penelitian yang dilakukan di Puskesmas Telaga Murni,
Cikarang Barat ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara
obesitas dengan tekanan darah seseorang.

Tujuan Umum:
Diketahuinya hubungan antara kualitas tidur dan faktor-faktor lainnya dengan tekanan
darah pada Lanjut Usia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia.

Tujuan Khusus:
3

1.

Diketahuinya sebaran tekanan darah pada individu yang berusia diatas 60 tahun

2.

di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia.


Diketahuinya sebaran usia pada individu yang berusia diatas 60 tahun di Panti

3.

Sosial Tresna Werdha Budi Mulia.


Diketahuinya sebaran kualitas tidur, jenis kelamin, pendidikan, dan obesitas pada

4.

individu yang berusia diatas 60 tahun di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia.
Diketahuinya hubungan kualitas tidur dengan tekanan darah di Panti Sosial

5.

Tresna Werdha Budi Mulia.


Diketahuinya hubungan usia, jenis kelamin, pendidikan, dan obesitas dengan
tekanan darah di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia.

Manfaat Penelitian :
Bagi Peneliti
1. Menerapkan ilmu yang telah didapat di bangku kuliah untuk merumuskan dan
2.

memecahkan masalah yang ada di masyarakat.


Sebagai pengalaman baru dalam melakukan penelitian berkait tentang hubungan
antara kualitas tidur dan faktor-faktor lainnya dengan tekanan darah pada Lanjut

3.

Usia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia.


Diharapkan penelitian ini akan memberikan wawasan dan pengetahuan baru

4.

tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah..


Meningkatkan kemampuan komunikasi dengan masyarakat pada umumnya dan

5.

pemuka masyarakat pada khususnya.


Meningkatkan kemampuan berpikir

analitis

dan

sistematis

dalam

mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah kesehatan


Bagi Perguruan Tinggi
1. Merupakan salah satu perwujudan dalam melaksanakan fungsi atau tugas
perguruan tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan,
2.

penelitian, dan pengertian bagi masyarakat.


Sebagai masukan dan acuan untuk penelitian-penelitian berikutnya dan
diharapkan dapat menjadi data dasar atau pembanding serta masukan bagi
peneliti yang lain berkaitan dengan hubungan antara kualitas tidur dan faktorfaktor lainnya dengan tekanan darah pada Lanjut Usia di Panti Jompo Tresna
Werdha Budi Mulia.

Bagi Panti Sosial


1. Sebagai salah satu masukkan sebagai bahan informasi bagi petugas Panti Sosial.
2. Adanya dukungan pendidikan dan pelatihan sehingga dapat meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat khususnya di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia.

Bagi Masyarakat
1. Sebagai bahan pengetahuan masyarakat untuk mencegah hipertensi.
2. Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan masyarakat
mengenai hubungan antara kualitas tidur yang dapat meningkatkan kejadian
hipertensi.

Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1.

Tekanan Darah
2.1.1. Definisi Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan yang dihasilkan oleh pompa
jantung untuk menggerakkan darah ke seluruh tubuh. Darah membawa
nutrisi dan oksigen ke seluruh bagian tubuh. Tekanan darah tinggi, atau

hipertensi, mengacu pada kondisi dimana darah dipompa keseluruh


tubuh pada tekanan tinggi.
Terdapat dua pengukuran penting dalam Tekanan darah, yaitu
Tekanan Sistolik dan Tekanan Diastolik. Tekanan sistolik (systolic
pressure) adalah
memompakan

tekanan
darah.

darah

Sedangkan

saat

jantung

tekanan

berdetak

diastolik

dan

(diastolic

pressure) adalah tekanan darah dimana ketika jantung tidak sedang


berkontraksi atau bekerja lebih atau dengan kata lain sedang
beristirahat.5
2.1.2. Teknik Pengukuran Tekanan Darah
Teknik pemeriksaan tekanan darah dapat dilakukan secara
langsung atau tidak langsung. Pada metode langsung, kateter arteri
dimasukkan ke dalam arteri, dan hasilnya sangat tepat, akan tetapi
metode pengukuran ini sangat berbahaya dan dapat menimbulkan
masalah kesehatan lain. Sedangkan metode tidak langsung, dilakukan
dengan

menggunakan

sphygmomanometer dan

stetoskop.

Sphygmomanometer tersusun atas manset yang dapat dikembangkan


dan alat pengukur tekanan yang berhubungan dalam manset.
Alat-alat yang diperlukan dalam mengukur tekanan darah
meliputi meja periksa / tempat tidur, stopwatch / arloji (jam),
sphygmomanometer (tensimeter), manometer air raksa + klep
pembuka penutup, manset, selang karet, dan pompa udara dari karet.6

Langkah-langkah dalam melakukan pengukuran tekanan darah


adalah sebagai berikut :
1. Tentukan tempat pengukuran
Tempat pengukuran tekanan darah dapat meliputi lengan,
kaki, paha, dan lengan bawah.
2. Persiapkan pasien
Pasien diminta untuk menghindari latihan dan merokok
selama 30 menit sebelum pengukuran.
3. Pengukuran tekanan darah

a. Siapkan alat didekat pasien dan memberitahu pasien


tentang prosedur pemeriksaan.
b. Cuci tangan dan keringkan untuk pencegahan
infeksi sebelum melaksanakan tindakan.
c. Letakkan lengan atas sejajar dengan jantung, dengan
cara diganjal/ oleh bantal atau buku. Telapak tangan
menghadap keatas.
d. Pastikan lengan atas bebas dari pakaian (untuk
mencegah

konstriksi

dan memudahkan

untuk

memasang manset).
e. Palpasi arteri brachial, letakkan manset 3 cm
diatas arteri tersebut dan pasang manset melingkari
lengan atas tersebut dan kaitkan ujungnya.
f. Letakkan manometer sejajar dengan

mata

pemeriksa.
g. Letakkan bel atau diapragma dari stetoskop diatas
arteri Brachial
h. Tutup katup dan kunci sampai rapat lalu pompa bola
manometer sambil mempalpasi arteri radialis,
sampai denyut pada arteri radialis hilang (tekanan
distolik), kemudian pompa bola manometer sampai
30 mmhg diatas tekanan sistolik.
i. Buka katup secara perlahan lahan, dan keluarkan
udara dari manset secara berangsur angsur dan
perhatikan angka pada manometer saat terdengar
bunyi (dup) pertama dan perhatikan suara keras
yang terakhir. Kemudian keluarkan seluruh udara
dari manset dengan cepat
Suara pertama yang terdengar merupakan tekanan
systolik dan bunyi terakhir menunjukkan tekanan
diastolic.
j. Buka manset dari lengan pasien, kemudian catat
hasil pemeriksaan pada buku catatan.
k. Cuci tangan dan keringkan
2.1.3. Jenis-Jenis Tensimeter yang Dapat Digunakan
Ada dua jenis tensimeter yang biasa digunakan yaitu :
1. Tensimeter air raksa
7

Tensimeter raksa adalah alat pengukur tekanan darah yang


berbahan dasar raksa sebagai indikator pengukuran. Tensimeter
jenis ini memiliki keunggulan pada tingkat akurasi yang sangat
bagus.
Merupakan tensimeter konvensional. Tensimeter air raksa sedikit
berbahaya apabila alat pecah dan sampai terpapar kulit. Tingkat
keakuratan manual jauh lebih tinggi dari yang digital.
2. Tensimeter digital
Tensimeter digital merupakan alat kesehatan yang berfungsi untuk
mengukur tekanan darah yang bekerja secara digital (otomatis).
Tensimeter digital itu akurat, berbeda dengan tensimeter air raksa
yang memerlukan stetoskop untuk mendengarkan suara sebagai
pertanda tekanan sistolik dan diastolik. Tensimeter digital memiliki
beberapa keunggulan dan kelemahan, sebagai berikut :
Keunggulan yaitu:6
a. Aman, karena tidak menggunakan air raksa yang berisiko
radiasi logam berat.
b. Praktis, hasil pengukuran langsung ditampilkan pada layar
digital.
c. Multifitur, alat ini biasanya dilengkapi juga dengan beberapa
fitur lain yang bermanfaat. Seperti grafik tekanan darah
(apakah darah normal atau tidak) dan fitur irreguler heart beat.
d. Tidak perlu pelatihan khusus untuk menggunakannya karena
cara penggunaanya tidak jauh beda dengan tensimeter air raksa.
Kelemahan yaitu :
a. Tingkat akurasi pengukuran lebih rendah.
b. Akurasi pengukuran pada tensimeter digital dipengaruhi oleh
banyak faktor yaitu kondisi baterai (daya), usia pemakaian
(semakin

lama

pemakaian

semakin

menurun

tingkat

akurasi) dan teknologi produk.


2.1.4. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Mengukur Tekanan
Darah
Berikut adalah beberapa keadaan yang dapat mempengaruhi
tekanan darah, yaitu:4-6

1. Tentukan anatomi terbaik untuk pengukuran tekanan darah. Hindari


penempatan manset saat kateter infuse berada di fosa antekubital dan
cairan sedang diteteskan.
2. Jangan menepatkan manset ke ekstremitas dimana terpasang shunt
arteri vena, visual atau cangkokan (graft).
3. Hindari lengan disisi dimana telah dilakukan operasi payudara atau
ketiak dan pengangkatan jaringan limfe.
4. Hindari lengan atau tangan yang mengalami trauma, penyakit atau bila
lengan bawah telah diamputasi atau tertutup gips atau balutan yang
keras.
5. Pengukuran tekanan darah boleh dilaksanakan pada posisi duduk
ataupun berbaring. namun yang penting, lengan tangan harus dapat
diletakkan dengan santai.
6. Pengukuran tekanan darah dalam posisi duduk, akan memberikan
angka yang agak lebih tinggi dibandingkan dengan posisi berbaring,
meskipun selisihnya relatif kecil.
7. Tekanan darah juga dipengaruhi kondisi saat pengukuran.
Pada orang yang baru bangun tidur akan didapatkan tekanan darah
paling rendah, yang dinamakan tekanan darah basal. Sedangkan
tekanan darah yang diukur setelah berjalan kaki atau aktifitas fisik lain
akan memberi angka yang lebih tinggi dan disebut tekanan darh
kasual. Oleh karena itu, sebelum pengukuran tekanan darah, orang
sebaiknya beristirahat duduk santai minimal sepuluh menit. Tekanan
darah sistolik akan berubah-ubah sesuai dengan kegiatan yang
dikerjakan, sedangkan tekanan darah diastolik relatif ttidak berubah.
8. Ukuran manset (cuff) harus sesuai dengan lingkar lengan, bagian yang
mengembang harus melingkari 80 % lengan dan mencakup dua pertiga
dari panjang lengan atas. untuk itu, sebaiknya digunakan ukuran
manset yang berbeda untuk anak, dewasa dan orang gemuk.
2.1.5. Klasifikasi Tekanan Darah
WHO menyatakan bahwa batas normal tekanan darah sistolik
adalah 120140 mmHg dan tekanan diastolik adalah 8090 mmHg.
Sedangkan hipertensi terjadi pada seseorang apabila tekanan
darahnya > 140/90 mmHg. Menurut JNC VII 2003 (The seventh
report of the joint National on Prevention, detection, evaluation, and
treatment of high blood pressure), tekanan darah pada orang dewasa

dengan usia di atas 18 tahun apabila tekanan sistoliknya 140159


mmHg dan tekanan diastoliknya 90 99 mmHg maka dinyatakan
menderita hipertensi stadium I. Apabila tekanan sistoliknya lebih dari
160 mmHg dan diastoliknya lebih dari 100 mmHg maka dinyatakan
menderita

hipertensi

stadium

II.

Sedangkan

apabila

tekanan

sistoliknya lebih dari 180 mmHg dan tekanan diastoliknya lebih dari
116 mmHg maka dinyatakan hipertensi stadium III dan apabila
tekanan darah tinggi tidak terkontrol dengan baik, maka dapat terjadi
serangkaian komplikasi serius dan penyakit kardiovaskuler, seperti
serangan jantung, dan stroke ringan, gagal jantung, kerusakan ginjal
dan masalah mata.7
Klasifikasi tekanan darah untuk usia 18 tahun atau lebih
berdasarkan JNC 7 dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah untuk usia > 18 tahun berdasarkan JNC 7

Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa prehipertensi


bukan merupakan kategori patologis. Istilah ini digunakan untuk
pasien dengan faktor risiko tinggi kolesterol sehingga baik pasien atau
dokter menjadi waspada akan risiko ini dan dapat melakukan
pencegahan. Pemberian obat-obatan anti hipertensi pada kasus

1
0

prehipertensi tidak dibenarkan kecuali pada pasien yang menderita


diabetes melitus atau kelainan ginjal dan gagal menurunkan tekanan
darahnya sampai pada < 130 mmHg dengan modifikasi gaya hidup
(Bawazier, 2008).7
Pada tahun 2013 Joint National Committee telah mengeluarkan
guideline terbaru mengenai tatalaksana hipertensi atau tekanan darah
tinggi, yaitu JNC 8. Mengingat bahwa hipertensi merupakan suatu
penyakit kronis yang memerlukan terapi jangka panjang dengan
banyak komplikasi yang mengancam nyawa seperti infark miokard,
stroke, gagal ginjal, hingga kematian jika tidak dideteksi dini dan
diterapi dengan tepat, dirasakan perlu untuk terus menggali strategi
tatalaksana yang efektif dan efisien. Dengan begitu, terapi yang
dijalankan diharapkan dapat memberikan dampak maksimal. Secara
umum, JNC 8 ini memberikan 9 rekomendasi terbaru terkait dengan
target

tekanan

darah

dan

golongan

obat

hipertensi

yang

direkomendasikan. Kekuatan rekomendasi sesuai dengan tabel antara


lain:8

Grade A/Rekomendasi A Strong recommendation. Terdapat

tingkat keyakinan yang tinggi berbasis bukti bahwa hal yang


direkomendasikan tersebut memberikan manfaat atau keuntungan
yang substansial.

Grade B/Rekomendasi B Moderate recommendation.

Terdapat keyakinan tingkat mengenah berbasis bukti bahwa


rekomendasi yang diberikan dapat memberikan manfaat secara
moderate.

Grade C/Rekomendasi C Weak recommendation. Terdapat

setidaknya keyakinan tingkat moderate berbasis bukti bahwa hal


yang direkomendasikan memberikan manfaat meskipun hanya
sedikit.

Grade D/Rekomendasi D Recommendation against.

Terdapat setidaknya keyakinan tingkat moderate bahwa tidak ada


manfaat atau bahkan terdapat risiko atau bahaya yang lebih tinggi
dibandingkan manfaat yang bisa didapat.

1
1

Grade E/Rekomendasi E Expert opinion. Bukti-bukti belum

dianggap cukup atau masih belum jelas atau terdapat konflik (misal
karena berbagai perbedaan hasil), tetapi direkomendasikan oleh
komite karena dirasakan penting untuk dimasukan dalam guideline.

Grade N/Rekomendasi N no recommendation for or against.

Tidak ada manfaat yang jelas terbukti. Keseimbangan antara


manfaat dan bahaya tidak dapat ditentukan karena tidak ada buktibukti yang jelas tersebut.
Rekomendasi 1. Rekomendasi pertama yang dipublikasikan
melalui JNC 8 ini terkait dengan target tekanan darah pada populasi
umum usia 60 tahun atau lebih. Berbeda dengan sebelumnya, target
tekanan darah pada populasi tersebut lebih tinggi yaitu tekanan darah
sistolik kurang dari 150 mmHg serta tekanan darahdiastolik kurang
dari 90 mmHg. Rekomendasi A menjadi label dari rekomendasi nomor
1 ini.
Apabila ternyata pasien sudah mencapai tekanan darah yang
lebih rendah, seperti misalnya tekanan darah sistolik <140 mmHg
(mengikuti JNC 7), selama tidak ada efek samping pada kesehatan
pasien atau kualitas hidup , terapi tidak perlu diubah.
Rekomendasi ini didasarkan bahwa pada beberapa RCT
didapatkan bahwa dengan melakukan terapi dengan tekanan darah
sistolik <150/90 mmHg sudah terjadi penurunan kejadian stroke, gagal
jantung, dan penyakit jantung koroner. Ditambah dengan penemuan
bahwa dengan menerapkan target tekanan darah <140 mmHg pada usia
tersebut tidak didapatkan manfaat tambahan dibandingkan dengan
kelompok dengan target tekanan darah sistolik yang lebih tinggi.
Namun, terdapat beberapa anggota komite JNC yang tepat
menyarankan untuk menggunakan target JNC 7 (<140 mmHg)
berdasarkan expert opinion terutama pada pasien dengan factor risiko
multipel, pasien dengan penyakit kardiovaskular termasuk stroke serta
orang kulit hitam.

1
2

Rekomendasi 2. Rekomendasi kedua dari JNC 8 adalah pada


populasi umum yang lebih muda dari 60 tahun, terapi farmakologi
dimulai untuk menurunkan tekanan darah diastolik <90 mmHg.
Secara umum, target tekanan darah diastolik pada populasi ini
tidak berbeda dengan populasi yang lebih tua. Untuk golongan usia 3059 tahun, terdapat rekomendasi A, sementara untuk usia 18-29 tahun,
terdapat

expert

opinion. Terdapat

bukti-bukti

yang

dianggap

berkualitas dan kuat dari 5 percobaan tentang tekanan darah diastolic


yang dilakukan oleh HDFP, Hypertension-Stroke Cooperative, MRC,
ANBP, dan VA Cooperative. Dengan tekanan darah <90 mmHg,
didapatkan penurunan kejadian serebrovaskular, gagal jantung, serta
angka kematian secara umum. Juga, didapatkan bukti bahwa
menatalaksana dengan target 80 mmHg atau lebih rendah tidak
memberikan manfaat yang lebih dibandingkan target 90 mmHg.
Pada populasi lebih muda dari 30 tahun, belum ada RCT yang
memadai. Namun, disimpulkan bahwa target untuk populasi tersebut
mestinya sama dengan usia 30-59 tahun.
Rekomendasi 3. Rekomendasi ketiga dari JNC adalah pada
populasi umum yang lebih muda dari 60 tahun, terapi farmakologi
dimulai untuk menurunkan tekanan darah sistolik <140 mmHg.
Rekomendasi ini berdasarkan pada expert opinion. RCT terbaru
mengenai populasi ini serta target tekanan darahnya dianggap masih
kurang memadai. Oleh karena itu, panelist tetap merekomendasikan
standar yang sudah dipakai sebelumnya pada JNC 7. Selain itu, tidak
ada alasan yang dirasakan membuat standar tersebut perlu diganti.
Alasan berikutnya terkait dengan penelitian tentang tekanan
darah diastolic yang digunakan pada rekomendasi 2 yang mana
didapatkan bahwa pasien yang mendapatkan tekanan darah kurang dari
90 mmHg juga mengalami penurunan tekanan darah sistolik kurang
dari 140 mmHg. Sulit untuk menentukan bahwa benefit yang terjadi
pada penelitian tersebut disebabkan oleh penurunan tekanan darah
sistolik, diastolic atau keduanya. Tentunya dengan mengkombinasikan
rekomendasi 2 dan 3, manfaat yang didapatkan seperti pada penelitian
tersebut juga diharapkan mampu digapai.
1
3

Rekomendasi 4. Rekomendasi 4 dikhususkan untuk populasi


penderita tekanan darah tinggi dengan chronic kidney disease (CKD).
Populasi usia 18 tahun atau lebih dengan CKD perlu diinisiasi terapi
hipertensi untuk mendapatkan target tekanan darah sistolik kurang dari
140 mmHg serta diastolik kurang dari 90 mmHg. Rekomendasi ini
merupakan expert opinion.
RCT yang digunakan untuk mendukung rekomendasi ini
melibatkan populasi usia kurang dari 70 tahun dengan eGFR atau
measured GFR kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 dan pada orang
dengan albuminuria (lebih dari 30 mg albumin/g kreatinin) pada
berbagai level GFR maupun usia.
Perlu diperhatikan bahwa setelah kita mengetahui data usia
pasien, pada pasien lebih dari 60 tahun kita perlu menentukan status
fungsi ginjal. Jika tidak ada CKD, target tekanan darah sistolik yang
digunakan adalah 150/90 mmHg sementara jika ada CKD, targetnya
lebih rendah, yaitu 140/90 mmHg.
Rekomendasi 5. Pada pasien usia 18 tahun atau lebih dengan
diabetes, inisiasi terapi dimulai untuk menurunkan tekanan darah
sistolik kurang dari 140 mmHg dan diastolic kurang dari 90 mmHg.
Rekomendasi ini merupakan expert opinion. Target tekanan darah ini
lebih tinggi dari guideline sebelumnya, yaitu tekanan darah sistolik
<130 mmHg serta diastolic <85 mmHg.
Rekomendasi 6. Pada populasi umum non kulit hitam (negro),
termasuk pasien dengan diabetes, terapi antihipertensi inisial sebaiknya
menyertakan diuretic thiazid, Calcium channel blocker (CCB),
Angiotensin-converting Enzyme Inhibitor (ACEI) atau Angiotensin
Receptor Blocker (ARB). Rekomendasi ini merupakan rekomendasi B.
Masing-masing kelas obat tersebut direkomendasikan karena
memberikan efek yang dapat dibandingkan terkait angka kematian
secara umum, fungsi kardiovaskular, serebrovaskular dan outcome
ginjal, kecuali gagal jantung. Terapi inisiasi dengan diuretic thiazid
lebih efektif dibandingkan CCB atau ACEI, dan ACEI lebih efektif
dibandingkan CCB dalam meningkatkan outcome pada gagal jantung.
Jadi pada kasus selain gagal jantung kita dapat memilih salah satu dari
1
4

golongan obat tersebut, tetapi pada gagal jantung sebaiknya thiazid


yang dipilih.7,8
Beta blocker tidak direkomendasikan untuk terapi inisial
hipertensi karena penggunaan beta blocker memberikan kejadian yang
lebih tinggi pada kematian akibat penyakit kardiovaskular, infark
miokard, atau stroke dibandingkan dengan ARB. Sementara itu, alpha
blocker tidak direkomendasikan karena justru golongan obat tersebut
memberikan kejadian cerebrovaskular, gagal jantung dan outcome
kardiovaskular yang lebih jelek dibandingkan dengan penggunaan
diuretic sebagai terapi inisiasi.
Rekomendasi 7. Pada populasi kulit hitam, termasuk mereka
dengan diabetes, terapi inisial hipertensi sebaiknya menggunakan
diuretic tipe thiazide atau CCB. Pada populasi ini, ARB dan ACEI
tidak direkomendasikan. Rekomendasi untuk populasi kulit hitam
adalah rekomendasi B sedangkan populasi kulit hitam dengan diabetes
adalah rekomendasi C.
Pada studi yang digunakan, didapatkan bahwa penggunaan
diuretic thiazide memberikan perbaikan yang lebih tinggi pada
kejadian cerebrovaskular, gagal jantung dan outcome kardiovaskular
yang dikombinasi dibandingkan ACEI. Sementara itu, meski CCB
lebih kurang dibandingkan diuretic dalam mencegah gagal jantung,
tetapi outcome lain tidak terlalu berbeda dibandingkan dengan diuretik
thiazide.
CCB juga lebih direkomendasikan dibandingkan ACEI karena
ternyata didapatkan hasil bahwa pada pasien kulit hitam memiliki 51%
kejadian lebih tinggi mengalami stroke pada penggunaan ACEI sebagai
terapi inisial dibandingkan dengan penggunaan CCB. Selain itu, pada
populasi kulit hitam, ACEI juga memberikan efek penurunan tekanan
darah yang kurang efektif dibandingkan CCB.
Rekomendasi 8. Pada populasi berusia 18 tahun atau lebih
dengan CKD dan hipertensi, ACEI atau ARB sebaiknya digunakan
dalam terapi inisial atau terapi tambahan untuk meningkatkan outcome
pada ginjal. Hal ini berlaku pada semua pasien CKD dalam semua ras
maupun status diabetes.
1
5

Pasien CKD, dengan atau tanpa proteinuria mendapatkan


outcome ginjal yang lebih baik dengan penggunaan ACEI atau ARB.
Sementara itu, pada pasien kulit hitam dengan CKD, terutama yang
mengalami proteinuria, ACEI atau ARB tetap direkomendasikan
karena adanya kemungkinan untuk progresif menjadi ESRD (end stage
renal disease). Sementara jika tidak ada proteinuria, pilihan terapi
inisial masih belum jelas antara thiazide, ARB, ACEI atau CCB. Jadi,
bisa dipilih salah satunya. Jika ACEI atau ARB tidak digunakan dalam
terapi inisial, obat tersebut juga bisa digunakan sebagai terapi
tambahan atau terapi kombinasi.
Penggunaan ACEI dan ARB secara umum dapat meningkatkan
kadar kreatinin serum dan mungkin menghasilkan efek metabolic
seperti hiperkalemia, terutama pada mereka dengan fungsi ginjal yang
sudah menurun. Peningkatan kadar kreatinin dan potassium tidak
selalu membutuhkan penyesuaian terapi. Namun, kita perlu memantau
kadar elektrolit dan kreatinin yang mana pada beberapa kasus perlu
mendapatkan penurunan dosis atau penghentian obat.
Rekomendasi 9. Rekomendasi 9 ini termasuk dalam
rekomendasi E atau expert opinion. Rekomendasi 9 dari JNC 8
mengarahkan kita untuk melakukan penyesuaian apabila terapi inisial
yang diberikan belum memberikan target tekanan darah yang
diharapkan. Jangka waktu yang menjadi patokan awal adalah satu
bulan, Jika dalam satu bulan target tekanan darah belum tercapai, kita
dapat memilih antara meningkatkan dosis obat pertama atau
menambahkan obat lain sebagai terapi kombinasi. Obat yang
digunakan sesuai dengan rekomendasi yaitu thiazide, ACEI, ARB atau
CCB. Namun, ARB dan ACEI sebaiknya tidak dikombinasikan. Jika
dengan dua obat belum berhasil, kita dapat memberikan obat ketiga
secara titrasi. Pada masing-masing tahap kita perlu terus memantai
perkembangan tekanan darahnya serta bagaimana terapi dijalankan,
termasuk kepatuhan pasien. Jika perlu lebih dari tiga obat atau obat
yang direkomendasikan tersebut tidak dapat diberikan, kita bisa
menggunakan antihipertensi golongan lain. Untuk lebih jelas, dapat
dilihat pada gambar 1 di bawah ini.
1
6

Gambar 1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 8.

2.2.

Kualitas Tidur
2.2.1. Definisi Kualitas Tidur
Tidur adalah suatu keadaan berulang-ulang, perubahan status
kesadaran yang terjadi selama periode tertentu. Tidur yang cukup
dapat memulihkan tenaga. Tidur dapat memberikan waktu untuk
perbaikan dan penyembuhan sistem tubuh untuk periode keterjagaan
berikutnya (Potter & Perry, 2005).
Sedangkan kualitas tidur adalah suatu keadaan di mana tidur
yang dijalani seorang individu menghasilkan kesegaran dan
kebugaran di saat terbangun.

Kualitas tidur yang mencakup aspek

kuantitatif dari tidur, seperti durasi tidur, latensi tidur serta aspek
subjektif, seperti tidur dalam dan istirahat (Khasanah, 2012).

Sebagian besar lansia beresiko tinggi mengalami gangguan


tidur yang diakibatkan oleh karena faktor usia dan ditunjang oleh
1
7

faktor-faktor penyebab lainnya seperti adanya penyakit. Selama


proses penuaan, terjadi perubahan fisik dan mental yang diikuti
dengan perubahan pola tidur yang khas yang membedakan dari orang
yang lebih muda.
Menurunnya kualitas tidur lansia akan berdampak buruk
terhadap kesehatan, karena dapat menyebabkan kerentanan terhadap
penyakit, stres, konfusi, disorientasi, gangguan mood, kurang fresh,
menurunnya kemampuan berkonsentrasi, kemampuan
keputusan (Potter

membuat

& Perry, 2005). Dampak lebih lanjut dari

penurunan kualitas ini menyebabkan menurunnya kemandirian lansia


dalam melakukan aktivitas sehari-hari yang nantinya akan berujung
pada penurunan kualitas hidup pada lansia.9
Di bawah ini adalah tabel 2 yang memperlihatkan jumlah
kebutuhan tidur manusia berdasarkan umur.

Tabel 2. Kebutuhan Tidur Manusia


Usia

Tingkat Perkembangan

0 1 bulan
1 bulan - 18 bulan

Bayi baru lahir


Masa Bayi

14 18 jam/hari
12 14 jam/hari

18 bulan - 3 tahun

Masa Anak

11 12 jam/hari

3 tahun - 6 tahun

Masa Prasekolah

11 jam/hari

6 tahun - 12 tahun

Masa Sekolah

10 jam/hari

12 tahun - 18 tahun

Masa Remaja

8,5 jam/hari

18 tahun - 40 tahun

Masa Dewasa

7 8 jam/hari

40 tahun - 60 tahun

Masa Muda Paruh Baya

7 jam/hari

60 tahun ke atas

Masa Dewasa Tua

6 jam/hari

2.2.2. Kebutuhan Tidur pada Usia Lanjut

1
8

Jumlah kebutuhan

Sebagian besar lansia berisiko tinggi mengalami gangguan tidur


akibat beberapa faktor. Selama penuaan, terjadi perubahan fisik dan
mental yang diikuti dengan perubahan pola tidur yang khas yang
membedakan dari orang yang lebih muda. Perubahan-perubahan itu
mencakup kelatenan tidur, terbangun pada dini hari, dan peningkatan
jumlah tidur siang. Kurang tidur berkepanjangan dan sering terjadi
dapat mengganggu kesehatan fisik maupun psikis. Kebutuhan tidur
setiap orang berbeda-beda, usia lanjut membutuhkan waktu tidur 6-7
jam perhari walaupun mereka menghabiskan lebih banyak waktu di
tempat tidur, tetapi usia lanjut sering mengeluh terbangun pada malam
hari, memiliki waktu tidur kurang total, mengambil lebih lama tidur,
dan mengambil tidur siang lebih banyak (Hidayat, 2008).
Menurut Perry dan Potter, kecenderungan tidur siang meningkat
secara progresif dengan bertambahnya usia. Peningkatan waktu siang
hari yang dipakai untuk tidur dapat terjadi karena seringnya terbangun
pada malam hari. Dibandingkan dengan jumlah waktu yang
dihabiskan ditempat tidur menurun sejam atau lebih. Namun jumlah
waktu tidur total tidak berubah sesuai dengan pertambahan usia. Akan
tetapi, kualitas tidur kelihatan menjadi berubah pada kebanyakan
usia lanjut. Episode tidur REM cenderung memendek. Terdapat
penurunan yang progresif pada tahap tidur NREM 3 dan 4. Beberapa
usia lanjut tidak memiliki tahap 4 atau tidur dalam. Seorang usia
lanjut

yang

terbangun lebih sering

pada

malam hari, dan

membutuhkan banyak waktu untuk jatuh tidur. Tetapi pada lansia yang
berhasil beradaptasi terhadap perubahan fisiologis dan psikologis
dalam penuaan lebih mudah mempertahankan tidur REM.9,10
2.2.3. Tanda Tanda Berkurangnya Kualitas Tidur
Menurut Hidayat (2008), kualitas tidur seseorang dikatakan
baik apabila tidak menunjukkan tanda-tanda kekurangan tidur dan
tidak mengalami masalah dalam tidurnya. Tanda-tanda kekurangan
tidur dapat dibagi menjadi tanda fisik dan tanda psikologis. Di bawah
ini akan dijelaskan apa saja tanda fisik dan psikologis yang dialami
antara lain:
1. Tanda fisik
1
9

Ekspresi wajah (area gelap di sekitar mata, bengkak di kelopak


mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung), ngantuk
yang

berlebihan

(sering

menguap),

tidak

mampu

untuk

berkonsentrasi (kurang perhatian), terlihat tanda-tanda keletihan


seperti penglihatan kabur, mual dan pusing.
2. Tanda psikologis
Menarik diri, apatis dan respons menurun, merasa tidak enak
badan, malas berbicara, daya ingat berkurang, bingung, timbul
halusinasi, dan ilusi penglihatan atau pendengaran, kemampuan
memberikan pertimbangan atau keputusan menurun.
2.2.4. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Tidur
Menurut Perry and Potter (2005) penyebab gangguan atau
susah tidur antara lain adalah sebagai berikut:5,9
1. Faktor psikologi (Stres dan Depresi)
Stres yang berkepanjangan sering menjadi penyebab dari
insomnia jenis kronis, sedangkan berita-berita buruk gagal
rencana dapat menjadi penyebab insomnia transient. Depresi
paling sering ditemukan. Bangun lebih pagi dari biasanya yang
tidak diinginkan adalah gejala paling umum dari awal depresi,
cemas, neorosa dan gangguan psikologi lainnya sering menjadi
penyebab dari gangguan tidur.
2. Sakit fisik
Sesak nafas pada orang yang terserang asma, hipertensi, penyakit
jantung koroner sering dikarakteristikkan dengan episode nyeri
dada yang tiba-tiba dan denyut jantung yang tidak teratur,
sehingga seringkali mengalami frekuensi terbangun yang sering,
nokturia atau berkemih pada malam hari, dan lansia yang
mempunyai sindrom kaki tak berdaya yang terjadi pada saat
sebelum tidur mereka mengalami berulang kali kambuh gerakan
berirama pada kaki dan tungkai.
3. Faktor lingkungan
Lingkungan yang bising seperti lingkungan lintasan pesawat jet,
lintasan kereta api, pabrik atau TV tetangga dapat menjadi faktor
penyebab susah tidur.
4. Gaya hidup
Alkohol, rokok, kopi, obat penurun berat badan, jam kerja
yang tidak teratur, juga dapat menjadi faktor penyebab sulit tidur.
2
0

5. Usia
Usia merupakan jumlah lamanya kehidupan yang dihitung
berdasarkan tahun kelahiran sampai ulang tahun terakhir. Usia
mempengaruhi psikologi seseorang. Semakin bertambah usia
seseorang, semakin siap pula dalam menerima cobaan dan
berbagai masalah.
6. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan status gender dari seseorang yaitu lakilaki

dan

perempuan. Wanita

secara

psikologis memiliki

mekanisme koping yang lebih rendah dibandingkan dengan lakilaki dalam mengatasi suatu masalah. Dengan adanya gangguan
secara fisik maupun secara psikologis tersebut maka wanita akan
mengalami suatu kecemasan, jika kecemasan itu berlanjut maka
akan mengakibatkan seseorang lansia lebih sering mengalami
kejadian insomnia dibandingkan dengan laki-laki.
2.2.5. Pengukuran Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah kemampuan individu untuk tetap tertidur
dan untuk mendapatkan jumlah tidur yang tepat. Kualitas tidur yang
baik akan ditandai dengan tidur yang tenang, merasa segar pada
pagi hari dan merasa semangat untuk melakukan aktivitas.
Pengukuran kualitas tidur dapat menggunakan The Pittsburgh Sleep
Quality Index (PSQI). PSQI membedakan antara tidur yang baik
dan tidur yang buruk dengan pemeriksaan 7 komponen: latensi
tidur, durasi tidur, kualitas tidur, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan
tidur, penggunaan obat tidur dan gangguan fungsi tubuh di siang
hari.2
2.2.6. Pengaruh Kualitas Tidur terhadap Tekanan Darah
Penelitian yang dilakukan oleh menunjukkan bahwa ada
hubungan antara kualitas tidur lansia dengan tingkat kekambuhan
pada pasien hipertensi. Haisl penelitian ini mendukung penelitian
dari Utami dan Priyanto pada tahun 2013 bahwa ada hubungan
kualitas tidur dengan tekanan darah pada lansia. 9
Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Anggraini, dkk pada tahun 2009 dikatakan bahwa hipertensi

2
1

dapat terjadi akibat beberapa faktor resiko yaitu riwayat keluarga,


kebiasan hidup yang kurang baik, pola diit yang kurang baik dan
durasi atau kualitas tidur.
Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh LloydJones, dkk pada tahun 2010 menyatakan bahwa hipertensi dapat
terjadi akibat beberapa factor resiko yaitu riwayat keluarga,
kebiasaan hidup yang kurang baik, pola diit yang kurang baik dan
durasi atau kualitas tidur. Durasi dan kualitas tidur yang kurang baik
akan lebih banyak memicu aktivitas system saraf simpatik dan
menimbulkan stressor fisik dan psikologis.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Asmarita pada tahun
2014, dikatakan bahwa terjadinya gangguan tidur atau kualitas tidur
yang buruk dalam persentase yang besar terutama pada lansia jika
tidak diidentifikasi dan diobati dengan baik, maka gangguan tidur
dapat menyebabkan atau memperburuk gangguan medis dan
psikiatri seperti hipertensi, penyakit pembuluh darah koroner atau
otak, obesitas, dan depresi. Hal ini sesuai dengan penelitain yang
dilakukan oleh Umami dan Priyanto bahwa lansia yang belum bisa
menerima perubahan fisiologisnya khususnya perubahan dalam pola
tidur, sehingga hal ini menyebabkan lansia menjadi cemas atau stres
yang berakibat pada peningkatan hormon angiotensin dan akan
menyebabkan peningkatan tekanan darah (hipertensi). 9,10
2.3.

Faktor- Faktor Lain yang Mempengaruhi Tekanan Darah


Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tekanan darah seseorang,
berikut penjelasan mengenai faktor faktor yang mempengaruhi tekanan
darah.
2.3.1. Faktor genetik
Risiko terjadinya hipertensi dapat disebakan karena adanya
faktor genetik pada keluarga yang mempunyai hipertensi, hal tersebut
dapat terjadi karena adanya hubungan dengan meningkatnya kadar
sodium intraseluler dan rendahnya rasio potasium dengan sodium
individu. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Susi, dkk pada
tahun 2009 dikatakan bahwa orang yang mempunyai riwayat
keluarga hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar terjadi

2
2

hipertensi dibandingkan pada keluarga yang tidak mempunyai riwayat


hipertensi. 70-80% kasus hipertensi esensial terjadi karena adanya
riwayat hipertensi dalam keluarga.3
2.3.2. Usia
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Susi, dkk dikatakan
bahwa kejadian hipertensi meningkat seiring dengan bertambahnya
usia. Sebanyak 50-60%, pasien dengan usia lebih 60 tahun mempunyai
tekanan darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg. Hal ini
merupakan pengaruh karena degenerasi yang terjadi karena proses
bertambahnya usia pada seseorang. Setelah usia 45 tahun, dinding
arteri akan mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan zat
kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan berangsurangsur menyempit dan menjadi kaku. Tekanan darah sistolik
meningkat karena kelenturan pembuluh darah besar yang berkurang
pada penambahan usia sampai dekade ke tujuh sedangkan tekanan
darah diastolik meningkat sampai dekade ke lima dan ke enam
kemudian menetap atau cenderung menurun. Peningkatan usia akan
menyebabkan beberapa perubahan fisiologis, pada usia lanjut terjadi
peningkatan resistensi perifer dan aktivitas simpatik. Pengaturan
tekanan darah yaitu reflek baroreseptor pada usia lanjut sensitivitasnya
sudah berkurang, sedangkan peran ginjal juga sudah berkurang dimana
aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus menurun.3
Hal yang sama juga dikemukan pada penelitian yang dilakukan
oleh Setiawan, dkk pada tahun 2013 dimana hipertensi merupakan salah
satu penyakit yang mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
lansia. Hal ini terjadi akibat perubahan fisiologis yang terjadi seperti
penurunan respons imunitas tubuh, katup jantung menebal dan
menjadi

kaku,

penurunan

kemampuan

kontraktilitas

jantung,

berkurangnya elastisitas pembuluh darah, serta kurangnya efektifitas


pembuluh darah perifer untuk oksigenasi. Perubahan-perubahan
inilah yang menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler sehingga
lansia cenderung lebih rentan mengalami hipertensi.

2
3

Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Herlinah,


dkk pada tahun 2013 dikatakan bahwa seseorang yang tergolong
dalam lansia memiliki risiko menderita penyakit hipertensi.
Berbeda dengan Payung dan Widyaningrum (2014), dikatakan
bahwa tidak terdapat hubungan antara usia dengan tekanan darah
karena dipengaruhi oleh asupan makanan pada Lansia. Konsumsi
natrium yang berlebihan menyebabkan konsentrasi natrium di dalam
cairan

ekstraseluler

meningkat.

Meningkatnya

volume

cairan

ekstraseluler menyebabkan meningkatnya volume darah dalam tubuh


dengan demikian jantung harus memompa dengan lebih giat sehingga
tekanan darah menjadi naik.11,12
2.3.3

Jenis kelamin
Menurut penelitian yang dilakukan oleh

Feby, dkk

dikatakan bahwa pria dan wanita memiliki prevalensi terjadinya


hipertensi yang sama, namun wanita terlindung dari penyakit
kardiovaskuler sebelum menopause. Pada wanita yang belum
menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang berfungsi untuk
meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL).4 Kolesterol
HDL dengan kadar yang tinggi menjadi faktor pelindung untuk
mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Pengaruh perlindungan
estrogen merupakan faktor penjelas adanya kekebalan wanita usia
premenopause. Akhirnya wanita mulai kehilangan hormon estrogen
pada saat premenopause yang biasanya melindungi pembuluh darah
dari kerusakan sedikit demi sedikit. Hal ini terus berlangsung dimana
hormon estrogen secara alami berubah jumlah atau kuantitasnya
sesuai dengan usia wanita, dan pada umumnya hal ini terjadi pada
saat wanita berumur 45-55 tahun.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Susi, dikatakan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan
kejadian hipertensi pada lansia di Desa Belang Malum Kabupaten
Dairi Tahun 2014.3
Akan tetapi hasil yang berbeda didapatkan dari penelitian yang
dilakukan oleh Tri, dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara

2
4

jenis kelamin dengan tekanan darah. Hal ini dapat disebabkan karena
adanya faktor lain yang mempengaruhi tekanan darah seperti tingkat
stress. Menurut penelitian Lewa, dkk (2010) Lansia yang mengalami
stress psikososial akan meningkatkan resiko terjadinya hipertensi
sebesar 2,54 kali lebih besar dibandingkan dengan Lansia yang tidak
mengalami stress psikososial dan secara statistik bermakna (p value =
0,001)12
2.3.4

Etnis
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Feby, dkk dikatakan
bahwa orang yang mempunyai kulit hitam lebih banyak mengalami
tekanan darah tinggi dibandingkan pada orang yang berkulit putih,
akan tetapi sampai saat ini belum diketahui penyebabnya secara pasti,
dimana pada orang kulit hitam ditemukan kadar renin yang lebih
rendah dan sensitifitas terhadap vasopresin lebih besar.4

2.3.5

Tingkat pendidikan
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Febby, bahwa terdapat
Hubungan antara pendidikan dengan tekanan darah. Hal ini juga
sejalan dengan hasil Riskesdas pada tahun 2007 yang menyatakan
bahwa penyakit hipertensi cenderung tinggi pada pendidikan rendah
dan menurun sesuai dengan peningkatan pendidikan. Akan tetapi
menurut penelitian yang dilakukan oleh Susi, bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan kejadian
hipertensi pada Lansia di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun
2014.4

2.3.6

Aktivitas fisik
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Susi, bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara aktifitas fisik dengan kejadian
hipertensi pada lansia.
Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Djauhar, dimana
didapatkan bahwa responden dengan kebiasaan olahraga kategori
kurang baik sebagian besar mengalami hipertensi yaitu sebesar 83,33
%, dan responden dengan kebiasaan olahraga kategori baik sebagian
besar tidak mengalami hipertensi yaitu sebesar 66,67 %.11

2
5

Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Febby, didapatkan


bahwa seseorang yang tidak teratur berolahraga terbukti memiliki
hubungan yang bermakna dengan kejadian hipertensi. Artinya, orang
yang tidak teratur berolah raga memiliki risiko terkena hipertensi yaitu
sebesar 44,1 kali dibandingkan dengan orang yang memiliki kebiasaan
olah raga teratur.4
Aktifitas fisik ini dapat diukur dengan menggunakan kuesioner
Activity Daily Living (ADL) dimana ADL ini mencakup kategori yang
sangat luas dan dibagi-bagi menjadi sub kategori atau domain seperti
berpakaian, makan minum, higieni pribadi, mandi, berpakaian,
transfer, mobilitas, komunikasi, vokasional, rekreasi.
2.3.7

Obesitas
Berat badan menjadi faktor penyebab terjadinya hipertensi
pada mayoritas kelompok etnik di semua tingkatan usia. Menurut
National Institutes for Health USA (1998) menyatakan bahwa
prevalensi tekanan darah tinggi pada orang dengan Indeks Massa
Tubuh (IMT) > 30 (obesitas) untuk pria adalah 38% dan untuk wanita
sebesar 32%, dibandingkan dengan prevalensi untuk pria 18% dan
untuk wanita 17% bagi yang memiliki IMT < 25.
Begitu pula menurut penelitian yang dilakukan oleh Susi,
dkk dikatakan bahwa ada hubungan antara obesitas dengan tekanan
darah seseorang. Hal ini terjadi akibat perubahan fisiologis yaitu
terjadinya resistensi insulin dan hiperinsulinemia, aktivasi saraf
simpatis dan sistem renin-angiotensin, sehingga menyebabkan
perubahan fisik yang terjadi pada ginjal. Bertambahnya konsumsi
energi juga dapat meningkatkan insulin plasma, dimana natriuretik
potensial dapat menyebabkan terjadinya reabsorpsi natrium dan
meningkatkan tekanan darah yang terus menerus.
Hasil yang sama juga dilaporkan oleh febby, dimana ada
76,9% responden hipertensi yang memiliki IMT yang menunjukan
gizi lebih (obesitas) dan 6,1% yang memiliki IMT yang menunjukan
gizi tidak lebih atau normal. Penelitian ini menunjukkan adanya
hubungan antara berat badan dengan hipertensi. Bila berat badan

2
6

meningkat diatas berat badan ideal maka risiko hipertensi juga


meningkat.3,4
2.3.8

Pola asupan garam dalam diet


Rekomendasi dari World Health Organization (WHO) bahwa
pola konsumsi garam yang tepat dapat mengurangi risiko terjadinya
hipertensi yaitu tidak lebih dari 100 mmol atau sekitar 2,4 gram
sodium atau 6 gram garam setiap harinya. Kelebihan konsumsi
natrium dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi natrium di dalam
cairan ekstraseluler, sehingga untuk menormalkan maka harus menarik
cairan intraseluler ke luar agar volume cairan ekstraseluler mengalami
peningkatan.

Peningkatan

volume

cairan

ekstraseluler

dapat

menyebabkan volume darah mengalami peningkatan, sehingga


mempengaruhi atau berefek pada timbulnya hipertensi, berdasarkan
hal tersebut maka dianjurkan untuk membatasi ataupun mengurangi
konsumsi natrium/sodium. Garam dapur yang sering disebut juga
dengan natrium klorida merupakan sumber natrium/sodium yang
utama, penyedap masakan monosodium glutamate (MSG), dan sodium
karbonat. Setiap hari konsumsi garam dapur yang mengandung
iodium dianjurkan tidak lebih dari 6 gram per hari atau sama dengan
satu sendok teh.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Djauhar dikatakan
bahwa responden yang mempunyai kebiasaan asupan garam kategori
cukup sebagian besar tidak mengalami hipertensi yakni sebesar 75%,
dan responden yang mempunyai kebiasaan asupan garam kategori
sering sebagian besar mengalami hipertensi yakni sebesar 70%.
Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan oleh Febby,
kejadian hipertensi lebih banyak diderita oleh responden yang asupan
natriumnya sering yaitu sebesar 61,3%, daripada responden yang
asupan natriumnya tidak sering yaitu sebesar 9,1%.
Penelitian yang dilakukan oleh Tanjung pada tahun 2009 juga
mendapatkan hasil bahwa responden yang sering mengkonsumsi
makanan tinggi natrium memiliki jumlah kasus hipertensi yang lebih
besar yaitu sebesar 58,3%, dibandingkan responden yang tidak sering
mengkonsumsi makanan tinggi natrium yaitu sebesar 56,1%.
2
7

Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Kamso pada


tahun 2000 menemukan adanya hubungan yang signifikan antara
asupan natrium dengan tekanan darah.9,11
2.3.9

Merokok
Hipertensi juga dapat disebakan karena kegiatan merokok.
Perokok berat dapat dihubungkan dengan peningkatan kejadian
hipertensi maligna dan risiko terjadinya stenosis arteri renal yang
mengalami ateriosklerosis.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bowman pada tahun
2007 dengan model Kohort Prospektif pada 28.236 sampel
yang pada awalnya tidak ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak
merokok, 36% merupakan perokok pemula, 5% subyek merokok 1-14
batang rokok per hari dan 8% subyek yang merokok lebih dari 15
batang per hari. Subyek terus diteliti dalam median waktu selama 9,8
tahun.
Begitu pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Arif,
dkk pada tahun 2013 menunjukkan bahwa merokok berhubungan
dengan kejadian hipertensi.
Penelitian yang juga dilakukan oleh Djauhar mendapatkan
hasil bahwa responden dengan kebiasaan merokok kategori bukan
perokok sebagian besar tidak mengalami hipertensi dan responden
dengan kebiasaan merokok kategori perokok sebagian besar
mengalami hipertensi sebesar 68, 75 %.11
Begitu pula yang dikemukakan oleh Siburain (2004) terdapat
hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan tekanan
darah. Akan tetapi menurut penelitian yang dilakukan oleh Febby
didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok
dengan hipertensi. Sedangkan menurut Susi, terdapat hubungan yang
bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi pada
Lansia di Desa Belang Malum Kabupaten Dairi Tahun 2014.

2.4.

2
8

Kerangka Teori

2.5.

Kerangka Konsep

Kualitas Tidur

Tekanan Darah

Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Obesitas

Bab III
Metodologi Penelitian
3.1.

Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah studi observasional dengan
pendekatan cross sectional mengenai hubungan antara kualitas tidur dan
faktor-faktor lainnya dengan tekanan darah pada lansia di Panti Jompo Tresna
Werdha Budi Mulia.

3.2.

3.3.

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei di Panti Jompo Tresna
Werdha Budi Mulia.
Sumber Data
Sumber data terdiri dari data primer yang diambil dari subyek
penelitian dengan menggunakan kuesioner yang sudah diuji coba dan dari
pemeriksaan tekanan darah pada pasien yang berusia diatas 60 tahun yang

3.4.

2
9

berada di Panti Jompo Tresna Werdha Budi Mulia.


Populasi
3.4.1. Populasi Target

Semua penghuni dengan usia diatas 60 tahun di wilayah Panti Jompo


Tresna Werdha Budi Mulia.
3.4.2. Populasi Terjangkau
Semua penghuni dengan usia diatas 60 tahun yang tinggal di Panti
3.5.

Jompo Tresna Werdha Budi Mulia yang ada pada bulan Mei.
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.5.1. Kriteria Inklusi

Semua penghuni yang berusia diatas 60 tahun yang berada di Panti


Jompo Tresna Werdha Budi Mulia yang berada di tempat pada
bulan Mei dan bersedia menjadi responden,

3.5.2. Kriteria Eksklusi

Penghuni yang memiliki hipertensi dan menggunakan obat

antihipertensi.
Semua penghuni yang tidak tidur pada malam hari minimal 1 hari
dalam 3 hari sebelum diperiksa.

3.6.

Sampel
3.6.1. Besar Sampel
Melalui rumus di bawah ini, didapatkan besar sampel penelitian
sebagai berikut:
n2 = n1 + (10%. n1)
Keterangan:
Jika menggunakan proporsi peminum kopi di Indonesia, didapatkan
hasil perhitungan sebagai berikut:
n1 = Jumlah sampel minimal
n2 = Jumlah sampel ditambah substitusi 10% (substitusi adalah

persen responden penelitian yang mungkin drop out)


z = Nilai konversi pada tabel kurva normal, dengan nilai = 5%,

didapatkan z pada kurva normal = 1,96


p = Proporsi penderita hipertensi di Indonesia, maka p = 25.8% =

0,258
q = 100% p = 100 % 25.8% = 74.2% = 0,742.
L = Derajat kesalahan yang masih diterima adalah 10%
n1 = (1,96)2 x 0,258 x 0,742
0,12
= 73.5
Untuk menjaga kemungkinan adanya responden yang drop out, maka
dihitung:
n2 = n1 + (10%. n1)
= 73.5 + (10%. 73.5)
= 80.85 dibulatkan menjadi 81

3
0

Jadi, jumlah sampel minimal yang dibutuhkan adalah 80.85 dan


dibulatkan menjadi 81 orang.
3.6.2. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian menggunakan metode
simple random sampling pada penghuni lansia di Panti Jompo Tresna
Werdha Budi Mulia.

3.7.

Instrumen Penelitian
Alat dan Bahan yang diperlukan:

3.8.

Kuesioner
Alat tulis
Sphygmomanometer
Stetoskop
Timbangan
Statumeter

Cara Kerja:
Mengumpulkan bahan ilmiah dan merencanakan desain penelitian.
Menentukan jumlah sampel minimum 81 penghuni lansia di Panti
Jompo Tresna Werdha Budi Mulia.

Pemilihan sampel kemudian dilakukan secara simple random


sampling.

Membuat kuesioner sebagai instrumen pengukuran data.


Melakukan uji coba kuesioner di Panti Werdha Hana.
Melakukan koreksi kuesioner.
Menghubungi pihak Fakultas Kedokteran UKRIDA mengenai surat
permohonan ijin melakukan penelitian kepada Panti Jompo Tresna

Werdha Budi Mulia.


Mengantar surat kepada kepala Panti Jompo Tresna Werdha Budi

Mulia untuk meminta ijin untuk melakukan penelitian.


Melakukan pengumpulan data dengan mengukur tekanan darah dan
penimbangan berat badan, serta tingi badan subyek serta meminta
subyek penelitian untuk mengisi instrumen penelitian berupa kuisioner

yang telah diuji coba.


Melakukan pengolahan, analisis, dan interpretasi data dengan program
komputer Statistical Package for the Social Sciences version 16 (SPSS

3
1

16).
Penulisan laporan penelitian.

3.9.

Pelaporan penelitian.

Pengumpulan Data
Data penelitian berupa data primer yang dikumpulkan dengan
memakai bantuan kuesioner dan melakukan pemeriksaan tekanan darah dan
penimbangan berat badan, serta tinggi badan penghuni lansia di Panti Jompo
Tresna Werdha Budi Mulia pada bulan Mei.

3.10.

Identifikasi Variabel
Dalam penelitian ini digunakan variabel terikat (dependent) dan
variabel bebas (independent). Variabel terikat adalah tekanan darah sedangkan
variabel bebas merupakan kualitas tidur, usia, jenis kelamin, pendidikan, dan

3.11.

obesitas.
Definisi Operasional

Variabel Terikat
o Tekanan Darah
Definisi operasional : Tekanan yang dihasilkan oleh pompa jantung
untuk menggerakkan darah ke seluruh tubuh,
yang terdiri dari tekanan sistolik dan tekanan
diatolik yang diukur dengan menggunakan
sphygmomanometer digital bermerk omron
dimana pengukuran dilakukan sebanyak 2 kali
pada lengan kiri dan dalam posisi duduk. Hasil
yang didapatkan adalah rata-rata dari 2 kali
Alat ukur
Cara pengukuran

pengukuran tekanan darah.


: Sphygmomanometer digital
: Pemeriksaan tekanan darah dilakukan dengan
Sphygmomanometer digital, dilakukan sebanyak

Kategori
3
2

Skala ukur

2 kali pengukuran pada lengan yang sama.


: Ordinal

Hasil ukur

Tekanan Darah

Koding

Normal
Prehipertensi
Hipertensi

Sistolik < 120mmHg dan diastolik < 80mmHg


Sistolik 120-139 mmHg atau diastolik 80-89 mmHg
Sistolik 140-159 mmHg atau diastolik 90-99

0
1
2

derajat 1
Hipertensi

Sistolik > 160 mmHg atau diastolik > 100

derajat 2

Variabel Bebas
o Usia
Definisi operasional : Lama waktu hidup seseorang yang terhitung
dari saat lahir (sesuai kartu identitas) sampai
saat penelitian dilakukan, dinyatakan dalam
Alat ukur
Cara pengukuran

tahun.
: Wawancara
: Tanggal-bulan-tahun

penelitian

dikurangi

dengan tanggal-bulan-tahun lahir yang tertera


di kartu identitas, dinyatakan dalam tahun.
Skala ukur

: Numerik

Hasil ukur

: Tahun

o Kualitas Tidur
Definisi operasional : Kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga
seseorang

tersebut

tidak

memperlihatkan

perasaan lelah, mudah gelisah, lesu, apatis, dan


mengantuk

diukur

Alat ukur

kuesioner PSQI.
: Kuesioner

Cara pengukuran

: Menggunakan
menanyakan

teknik
hal-hal

dengan

menggunakan

wawancara
yang

terdapat

dengan
pada

kuesioner serta memberikan skor pada tiap


komponennya dan menjumlahkan semua skor
sehingga didapatkan skor kurang dari 5 adalah
baik dan jika antara 6-21 maka interpretasinya
Skala ukur

buruk.
: Nominal

Hasil ukur

Kualitas tidur

3
3

Koding

Baik
Buruk

0
1

o Jenis Kelamin
Definisi operasional : Tanda fisik perkembangan seks sekunder yang
terindentifikasi pada pasien yang dibawa sejak
lahir yang bisa diketahui dari pengamatan dan
Alat ukur
Cara pengukuran
Skala ukur
Hasil Ukur

pertanyaan.
: Kuesioner
: Menggunakan teknik wawancara
: Nominal
:
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan

o Pendidikan
Definisi operasional : Proses

Koding
0
1
pembelajaran

pengetahuan,

keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang


yang diturunkan dari satu generasi ke generasi
berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau
Alat ukur
Cara pengukuran
Skala ukur

penelitian.
: Kuesioner
: Menggunakan teknik wawancara
: Ordinal

Hasil ukur

:
Pendidikan
Tidak tamat SD/tamat

Koding
0

SD/Tidak tamat SMP/tamat


SMP/tidak tamat SMA
Tamat SMA
Tamat Perguruan Tinggi

1
2

o Kejadian Obesitas
Definisi operasional : Kondisi dimana Indeks Massa Tubuh (IMT)
melebihi nilai normal yang diukur dengan
Alat ukur

3
4

rumus BB (kg)/TB2 (m).


: Timbangan dan statumeter

Cara pengukuran

: Menimbang berat badan dan mengukur tinggi


badan dengan mengukur tinggi tinggi lutut
kemudian dimasukkan ke rumus tinggi badan
yaitu (2.02 x tinggi lutut) - (0,04 x umur) +
64.19 untuk pria sedangkan untuk wanita yaitu

Skala ukur
Hasil ukur
Obesitas
Tidak
Ya
3.12.

(1,83 X tinggi lutut) - (0,24 x umur) + 84,88


: Nominal
:
Index Massa Tubuh
< 25
25

Koding
0
1

Manajamen dan Analisis Data


3.12.1. Pengumpulan Data
Data primer dikumpulkan dengan memakai bantuan kuesioner
dan melakukan pemeriksaan tekanan darah dan penimbangan berat
badan penghuni lansia di Panti Jompo Tresna Werdha Budi Mulia pada
bulan Mei.
3.12.2. Pengolahan Data
Terhadap data-data yang telah dikumpulkan akan dilakukan
pengolahan berupa editing, verifikasi, dan coding. Selanjutnya
dimasukkan dan diolah dengan menggunakan program komputer yaitu
program SPSS versi 16.
3.12.3. Penyajian Data
Data yang didapat disajikan dalam bentuk tekstular dan tabular.
3.12.4. Analisa Data
Data yang diperoleh telah dikumpulkan, diolah, disajikan, lalu
dianalisis menggunakan program SPSS versi 16. Data tersebut
dianalisis secara analisis uji statistik.
3.12.5. Intepretasi Data
Data diinterpretasikan secara deskriptif antara variabel-variabel
yang telah ditentukan.
3.12.6. Pelaporan Data
Data disusun dalam bentuk pelaporan penelitian yang
selanjutnya akan dipresentasikan di hadapan staf pengajar Fakultas

3.13.

3
5

Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA).


Etika Penelitian

Pada penelitian ini responden di Panti Jompo Tresna Werdha Budi


Mulia pada bulan Mei diberikan jaminan bahwa data-data yang mereka
berikan terjaga kerahasiaannya dan berhak menolak menjadi respoden.

Bab IV
Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai hubungan antara kualitas
tidur dan faktor-faktor lainnya terhadap tekanan darah pada lansia di panti sosial
tresna werdha budi mulia pada september - oktober 2016, maka diperoleh hasil dari
pengumpulan data pada 88 sampel penelitian.
Tabel 4.1. Sebaran tekanan darah pada individu yang berusia diatas 60 tahun di Panti
Jompo Tresna Werdha Budi Mulia
Variabel
Normal
Prehipertensi
Hipertensi derajat 1
Hipertensi derajat 2

Frekuensi
11
33
27
17

Persentase (%)
12,5
37,5
30,7
19,3

Tabel 4.2. Sebaran usia pada individu yang berusia diatas 60 tahun di Panti Jompo
Tresna Werdha Budi Mulia
Variabel
Usia

Mean

Media

Std.

Minimum

Maximum

Range

72,65

n
72,00

deviation
9,171

60,00

110,00

50,00

Tabel 4.3. Sebaran kualitas tidur, jenis kelamin, pendidikan, dan obesitas pada
individu yang berusia diatas 60 tahun di Panti Jompo Tresna Werdha Budi Mulia

3
6

Variabel
Kualitas tidur
Baik
Buruk
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan

Frekuensi

Persentase (%)

13
75

14,8
85,2

35
53

39,8
60,2

Pendidikan
Tidak tamat SD / tamat SD 71

80,7

/ Tidak tamat SMP / tamat


SMP / tidak tamat SMA
Tamat SMA
Tamat perguruan tinggi
Obesitas
Tidak obesitas
Obesitas

15
2

17,0
2,3

66
22

75,0
25,0

Tabel 4.4. Hubungan kualitas tidur dengan tekanan darah di Panti Jompo Tresna
Werdha Budi Mulia
Variabel
Kualitas tidur

Uji Statistik
Nilai p
Uji statistik Chi- 0,864

Ho
Diterima

Square
Tabel 4.5. Hubungan usia, jenis kelamin, pendidikan, dan obesitas dengan tekanan
darah di Panti Jompo Tresna Werdha Budi Mulia
Variabel
Usia

Uji Statistik
Nilai p
Uji
statistik 0,061

Ho
Diterima

Jenis kelamin

ANOVA
Uji statistik Chi- 0,635

Diterima

Pendidikan

Square
Uji statistik Chi- 0,328

Diterima

Obesitas

Square
Uji statistik Chi- 0,254

Diterima

Square

3
7

Bab V
Pembahasan
5.1.

Sebaran tekanan darah pada individu yang berusia diatas 60 tahun di

Panti Jompo Tresna Werdha Budi Mulia


Pada tabel 4.1, didapatkan sebaran tekanan darah pada lansia yang berumur
lebih dari 60 tahun di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia dengan jumlah subjek
11 orang dengan persentase 12,5% yang tidak menderita hipertensi, sebanyak 33
orang dengan persentase 37,5% yang menderita prehipertensi, sebanyak 27 orang
dengan presentase 30,7% yang menderita hipertensi derajat 1, sebanyak 17 orang
dengan presentase 19,3% yang menderita hipertensi derajat 2.

5.2.

Sebaran usia pada individu yang berusia diatas 60 tahun di Panti Jompo

Tresna Werdha Budi Mulia


Pada tabel 4.2, didapatkan nilai rata-rata usia pada Lanjut Usia yang berumur
lebih dari 60 tahun di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia sebesar 72,65 dengan
nilai minimum 60 dan nilai maksimum 110.
5.3.

Sebaran kualitas tidur, jenis kelamin, pendidikan, dan obesitas pada

individu yang berusia diatas 60 tahun di Panti Jompo Tresna Werdha Budi
Mulia
Pada tabel 4.3 diketahui distribusi kualitas tidur sebanyak 13 orang dengan
kualitas tidur baik dengan persentase 14,8%, dan kualitas tidur buruk sebanyak 75
orang dengan persentase 85,2%.
Distribusi jenis kelamin terbanyak pada responden perempuan dengan jumlah
subjek 53 orang dengan persentase 60,2%, diikuti jenis kelamin laki-laki sebanyak 35
orang dengan persentase 39,8%.
Selain itu diketahui distribusi pendidikan pada responden, dimana 71 orang
(80,7%) dengan pendidikan terakhir tidak tamat SD / tamat SD / tidak tamat SMP /

3
8

tamat SMP / tidak tamat SMA, 15 orang (17%) tamat SMA, dan 2 orang (2,3%) tamat
perguruan tinggi.
Diketahui pula distribusi obesitas pada responden, dimana 66 orang
responden (75%) tidak obesitas, sedangkan 22 orang responden (25%) obesitas.

5.4.

Hubungan kualitas tidur dengan tekanan darah di Panti Jompo Tresna

Werdha Budi Mulia


Hubungan antara kualitas tidur dengan tekanan darah melalui uji statistik ChiSquare didapatkan nilai p = 0,864 karena p > 0,05 maka H 0 diterima. Artinya tidak
terdapat hubungan antara kualitas tidur dengan tekanan darah. Pada penelitian Utami
dan Priyanto didapatkan hasil yang berbeda yaitu terdapat hubungan antara kualitas
tidur dengan tekanan darah pada Lansia. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan
Anggarini, dkk (2009), dan juga penelitian yang dilakukan Lloyd-Jones, dkk (2010)
bahwa hipertensi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu riwayat keluarga,
kebiasaan hidup yang kurang baik, pola diet yang kurang baik, dan durasi atau
kualitas tidur. Durasi atau kualitas tidur yang kurang baik akan lebih banyak memicu
aktifitas sistem saraf simpatis dan menimbulkan stressor fisik dan psikologis. Akan
tetapi pada penelitian ini didapatkan hasil yang berbeda. Hal ini mungkin dapat
disebabkan karena beberapa faktor, seperti adanya pengaruh dari faktor kosumsi
asupan garam, dan faktor aktivitas yang dilakukan responden. Selain itu, kurangnya
pembanding dimana hanya 13 orang yang mempunyai kualitas tidur baik, sedangkan
75 orang mempunyai kualitas tidur buruk.

5.5.

Hubungan usia, jenis kelamin, pendidikan, dan obesitas dengan tekanan

darah di Panti Jompo Tresna Werdha Budi Mulia


Hubungan antara usia dengan tekanan darah melalui uji statistik ANOVA
didapatkan p = 0,061 karena p > 0,05 maka H0 diterima. Artinya tidak terdapat
hubungan antara usia dengan tekanan darah. Hasil ini berbeda dengan hasil yang
didapatkan oleh Susi, dkk dimana dikatakan bahwa kejadian hipertensi meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, dimana didapatkan 50 - 60% pasien dengan usia
lebih 60 tahun mempunyai tekanan darah lebih besar atau sama dengan 140/90
mmHg. Hal yang sama juga diungkapkan pada penelitian yang dilakukan oleh
3
9

Setiawan, dan Herlina dkk, pada tahun 2013 dimana hipertensi merupakan salah satu
penyakit yang mempunyai hubungan sangat erat dengan lansia. Begitu pula yang
diungkapkan oleh Anggarini pada tahun 2015 yang mengatakan bahwa seseorang
yang tergolong lansia memiliki risiko menderita penyakit hipertensi. Namun
penelitian yang dilakukan oleh Payung dan Widyaningrum (2014) mengatakan bahwa
tidak terdapat hubungan antara usia dengan tekanan darah karena dipengaruhi oleh
asupan makanan pada Lansia. Konsumsi natrium yang berlebihan menyebabkan
konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume
cairan ekstraseluler menyebabkan meningkatnya volume darah dalam tubuh dengan
demikian jantung harus memompa dengan lebih giat sehingga tekanan darah menjadi
naik. Adanya perbedaan pada hasil penelitian-penelitian tersebut dengan hasil yang
saya dapatkan, kemungkinan besar dapat disebabkan oleh beberapa faktor lainnya,
diantaranya faktor konsumsi asupan garam, faktor kualitas tidur pasien, aktivitas fisik,
dan faktor-faktor lainnya yang ikut mempengaruhi. Selain itu mungkin dapat
disebabkan pada penelitian-penelitian yang dilakukan terdapat pengelompokkan
umur, sedangkan pada penelitian ini tidak terdapat pengelompokkan umur karena
semua usia responden berusia diatas 60 tahun dan tidak ada yang berusia dibawah 60
tahun sehingga peneliti mendapatkan hasil yang berbeda.
Hubungan antara jenis kelamin dengan tekanan darah melalui uji statistik
Chi-Square didapatkan p = 0,635 karena p > 0,05 maka H 0 diterima. Artinya tidak
terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan tekanan darah. Pada penelitian ini,
hasil analisis univariat menunjukkan bahwa proporsi lansia berjenis kelamin
perempuan lebih banyak dari laki-laki yaitu perempuan sebanyak 53 orang dan lakilaki sebanyak 35 orang. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tri
(2014), dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan
tekanan darah. Hal ini dapat disebabkan karena adanya faktor lain yang
mempengaruhi tekanan darah seperti tingkat stress. Menurut penelitian Lewa, dkk
(2010) Lansia yang mengalami stress psikososial akan meningkatkan resiko
terjadinya hipertensi sebesar 2,54 kali lebih besar dibandingkan dengan Lansia yang
tidak mengalami stress psikososial dan secara statistik bermakna (p value = 0,001).
Hubungan antara pendidikan dengan tekanan darah melalui uji statistik ChiSquare didapatkan p = 0,328 karena p > 0,05 maka H 0 diterima. Artinya, tidak
terdapat hubungan antara pendidikan dengan tekanan darah. Dalam penelitian ini

4
0

sebagian besar Lansia tingkat pendidikannya masih termasuk rendah. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Tri (2014) yang mayoritas respondennya
memiliki pendidikan yang rendah.
Hubungan antara obesitas dengan tekanan darah melalui uji statistik ChiSquare didapatkan p = 0,254 karena p > 0,05 maka H 0 diterima. Artinya, tidak
terdapat hubungan antara obesitas dengan tekanan darah. Hal ini tidak sesuai dengan
penelitian yang dillakukan oleh Susi, dkk dimana penelitian itu mengatakan bahwa
ada hubungan antara obesitas dengan tekanan darah seseorang. Begitu pula penelitian
yang dilakukan oleh Febby, dimana ada 76,9% responden hipertensi yang memiliki
IMT yang menunjukkan gizi lebih (obesitas) dan 6,1% yang memiliki IMT yang
menunjukkan gizi tidak lebih atau normal, dimana penelitian ini disimpukan bahwa
berat badan berhubungan dengan kejadian hipertensi. Hasil ini berbeda dengan
penelitian yang saya lakukan, dimana kemungkinan besar dapat disebabkan oleh
faktor konsumsi asupan garam yang masuk, serta sedikitnya pembanding dimana
hampir 75% responden memiliki IMT yang normal, hanya sekitar 25% responden
yang memiliki IMT yang berlebih.

4
1

Bab VI
Kesimpulan dan Saran

6.1.

Kesimpulan
Dari hasil penelitian mengenai hubungan kualitas tidur dan faktorfaktor lainnya dengan tekanan darah pada Lansia di Panti Sosial

Tresna

Werdha Budi Mulia pada bulan September - Oktober 2016, dari total 88 subjek
penelitian di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia dapat diambil
kesimpulan, yaitu orang dengan kualitas tidur buruk sebanyak 75 orang
(85,2%), dengan kualitas tidur baik sebanyak 13 orang dengan persentase
14,8%. Sebaran subjek dengan tekanan darah normal sebanyak 11 orang
(12,5%), tekanan darah prehipertensi sebanyak 33 orang (37,5%), tekanan
darah hipertensi derajat 1 sebanyak 27 orang (30,7%), dan tekanan darah
hipertensi derajat 2 sebanyak 17 orang (19,3%). nilai rata-rata usia sebesar
72,65 dengan nilai minimum sebesar 60 dan nilai maksimum sebesar 110.
Jenis kelamin responden terbanyak adalah perempuan sebesar 53 orang
(60,2%), tingkat pendidikan paling banyak adalah tidak tamat SD/tamat
SD/tidak tamat SMP/tamat SMP/tidak tamat SMA sebanyak 71 orang (80,7%),
dan status IMT yang terbanyak adalah tidak obesitas yaitu pada 66 orang
(75%)
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa faktor
kualitas tidur, usia, jenis kelamin, pendidikan, dan obesitas tidak berpengaruh
dengan tekanan darah.

6.2.

Saran
Untuk Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia:
1. Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia melakukan penyuluhan tentang
faktor-faktor yang memicu hipertensi dan pemeriksaan penyaring serta
batas normal pada pemeriksaan tersebut.

4
2

2. Melatih staff di wilayah setempat untuk dapat melakukan kegiatan


olahraga secara rutin dan menjadwalkan pola hidup yang sehat, serta
melakukan pemeriksaan penyaring seperti tekanan darah pada
warganya dan memberikan informasi dari hasil pemeriksaan tersebut.

Daftar Pustaka
1. Rahajeng E, Tuminah S. Prevalensi hipertensi dan determinannya di indonesia.
Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian Kesehatan Departemen
2.

Kesehatan RI, Jakarta. 2009;59(12):580-7.


Widyastuti Y. Hubungan antara kualitas tidur lansia dengan tingkat kekambuhan
pada pasien hipertensi di klinik dhanang husada sukoharjo. Stikes Kusuma

3.

Husada Surakarta. 2015.


Susi, Hiswani, Jemadi. Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada
lansia usia pertengahan di desa belang malum kecamatan sidakalang kabupaten

4.

dairi tahun 2014. Fakultas Kesehatan Masyarakat USU. 2014.


Anggara FHD, Prayitno N. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tekanan
darah di puskesmas telaga murni, cikarang barat tahun 2012. Jurnal Ilmiah

5.

Kesehatan. 2013;5(1):20-5.
Umami R, Priyanto S. Hubungan kualitas tidur dengan fungsi kognitif dan
tekanan darah pada lansia di desa pasuruhan kecamatan mertoyudan kabupaten

6.

magelang. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Magelang.2015.


Sugiharto A. Faktor-faktor risiko hipertensi pada masyarakat. Program Studi

7.
8.

Magister Epidemiologi Program Pasca Sarjana Universitas Diponogoro. 2007.


Info Datin. Hipertensi. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.
Bell K, Twiggs J, Olin BR. Hypertension: the silent killer: update jnc-8 guideline

9.

recommendation. Alabama Pharmacy Association. 2015.


Khasanah K, Hidayati W. Kualitas tidur lansia balai rehabilitasi sosial mandiri

semarang. Jurnal Nursing Studies. 2012;1(1):189-96.


10. Prayitno A. Gangguan pola tidur pada kelompok

usia

lanjut

dan

penatalaksanaannya. J Kedokter Trisakti. 2002;21(1):23-0.


11. Arif D, Rusnoto, Hartinah D. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
hipertensi pada lansia di pusling desa klumpit upt puskesmas gribig kabupaten
kudus. STIKES Muhammadiyah Kudus. 2013;4(2):18-34.
12. Novitaningtyas T. Hubungan Karakteristik (Umur, Jenis Kelamin, Tingkat
Pendidikan) Dan Aktivitas Fisik Dengan Tekanan Darah Pada Lansia Di
Kelurahan Makamhaji Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2014.

4
3

Lampiran

4
4

4
5

Anda mungkin juga menyukai

  • Visa Amerika
    Visa Amerika
    Dokumen1 halaman
    Visa Amerika
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Kepada
    Kepada
    Dokumen1 halaman
    Kepada
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Surat Perjanjian Kontrak
    Surat Perjanjian Kontrak
    Dokumen2 halaman
    Surat Perjanjian Kontrak
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Surat Kuasa
    Surat Kuasa
    Dokumen1 halaman
    Surat Kuasa
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Tiket Mexico
    Tiket Mexico
    Dokumen2 halaman
    Tiket Mexico
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Slamet
    Slamet
    Dokumen1 halaman
    Slamet
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Pembatas Jilid Visum
    Pembatas Jilid Visum
    Dokumen36 halaman
    Pembatas Jilid Visum
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Case Tonsilofaringitsis-Alvin
    Case Tonsilofaringitsis-Alvin
    Dokumen21 halaman
    Case Tonsilofaringitsis-Alvin
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Farmakokinetik
    Farmakokinetik
    Dokumen3 halaman
    Farmakokinetik
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Case Tonsilofaringitsis
    Case Tonsilofaringitsis
    Dokumen22 halaman
    Case Tonsilofaringitsis
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Penyuluhan Kejang Demam
    Penyuluhan Kejang Demam
    Dokumen12 halaman
    Penyuluhan Kejang Demam
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Plenosken 1
    Plenosken 1
    Dokumen23 halaman
    Plenosken 1
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Jurding
    Jurding
    Dokumen5 halaman
    Jurding
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Peran Dokter Dalam Kasus Pemeriksaan Teroris
    Peran Dokter Dalam Kasus Pemeriksaan Teroris
    Dokumen37 halaman
    Peran Dokter Dalam Kasus Pemeriksaan Teroris
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • PPT
    PPT
    Dokumen18 halaman
    PPT
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Farmakokinetik
    Farmakokinetik
    Dokumen3 halaman
    Farmakokinetik
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Jur Ding
    Jur Ding
    Dokumen5 halaman
    Jur Ding
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Activity Daily Living
    Activity Daily Living
    Dokumen7 halaman
    Activity Daily Living
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Spss Fix
    Spss Fix
    Dokumen6 halaman
    Spss Fix
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Laporan SL Pleno
    Laporan SL Pleno
    Dokumen7 halaman
    Laporan SL Pleno
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Pptblok 25
    Pptblok 25
    Dokumen20 halaman
    Pptblok 25
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • PPTSL
    PPTSL
    Dokumen24 halaman
    PPTSL
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Kegawatdaruratan ARDS
    Kegawatdaruratan ARDS
    Dokumen22 halaman
    Kegawatdaruratan ARDS
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Rhinitis Alergi
    Rhinitis Alergi
    Dokumen3 halaman
    Rhinitis Alergi
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • PPTPBL
    PPTPBL
    Dokumen18 halaman
    PPTPBL
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Makalah PBL 27
    Makalah PBL 27
    Dokumen12 halaman
    Makalah PBL 27
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Makalah
    Makalah
    Dokumen1 halaman
    Makalah
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • PPTSL
    PPTSL
    Dokumen24 halaman
    PPTSL
    Melisacitra
    Belum ada peringkat
  • Makalah PBL
    Makalah PBL
    Dokumen20 halaman
    Makalah PBL
    Melisacitra
    Belum ada peringkat