Laporan Kasus
ABSTRAK
Morfea disebut juga skleroderma lokalisata, merupakan gangguan fibrosis pada kulit dan jaringan di
bawahnya yang jarang terjadi. Keterlibatan morfea terbatas pada jaringan yang berasal dari mesoderm. Saat
ini, dasar patogenesis morfea masih belum sepenuhnya dipahami, namun kemungkinan besar akibat
ketidakseimbangan produksi dan destruksi kolagen. Diagnosis didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisis,
laboratorium, gambaran histopatologis, tes ANA, antibodi SCL dan faktor rematoid. Pengobatan ditujukan
pada komponen inflamasi, pelepasan, dan aktivasi sitokin serta deposisi kolagen.
Dilaporkan 2 kasus morfea pada wanita. Kasus pertama, wanita berusia 22 tahun dengan bercak
hipopigmentasi, kulit kencang dan mengkilap di leher dan dada, diobati dengan alpha hidroxy acid 8%
secara topikal yang diaplikasikan dua kali sehari. Kasus kedua, wanita berusia 31 tahun dengan bercak
hipopigmentasi yang dikelilingi tepi violaseus dan hiperpigmentasi pada bahu, dan bercak hipopigmentasi
pada lengan kanan, diobati dengan metilprednisolon oral dan mometason topikal. Pengobatan pada kedua
pasien menunjukkan perbaikan lesi dengan modalitas terapi yang berbeda. (MDVI 2013; 40/s: 36s - 41s)
Kata kunci: Asam alfa hidroksi 8% - kortikosteroid - skleroderma lokalisata
ABSTRACT
Morphea, also known as localized scleroderma, is a rare fibrosing disorder of the skin and underlying
tissues. Involvement of morphea is almost uniformly limitted to those tissues derived from the mesoderm. The
underlying pathogenesis of morphea is still incompletely understood at this time, but ultimately result in an
imbalance of collagen production and destruction. Diagnose based on history taking, physical, laboratory,
histopathological finding, ANA test, antibody Scl and rheumatoid factor. Treatment is directed at the
inflammatory component, cytokine release and activation, and collagen deposition.
Reported 2 cases of morphea in women. First case, a 22-year-old female with hypopigmented patch,
tight and shiny skin on neck and chest, treated with topical Alpha Hidroxy Acid 8% applied twice daily.
Second case, a 31-year-old female with athropic, violaceous and hyperpigmented ring surrounding
hypopigmented patch on shoulder, and hipopigmented patch on the right upper arm, treated with oral
methylprednisolone and topical momethasone furoate. The both patient have good improvement with different
modality of therapy. (MDVI 2013; 40/s: 36s - 41s)
Key words: Alpha Hidroxy Acid 8% - corticosteroid - localized scleroderma
Korespodensi :
Jl.Perintis Kemerdekaan Km.11
Tamalanrea, Makassar
Tel/Fax: 0411-582353
Email: farida_tabri@yahoo.com,
smungky@yahoo.com
36 S
F Tabri
PENDAHULUAN
Morfea adalah penyakit autoimun kronis yang ditandai
oleh sklerosis pada kulit.1 Morfea, dikenal juga sebagai
skleroderma lokalisata, merupakan kondisi fibrosis yang
terbatas pada kulit, jaringan subkutan, tulang di bawahnya
dan jika mengenai bagian wajah dan kepala, sistem saraf
pusat jarang terkena. Skleroderma merupakan istilah yang
luas digunakan dan terkadang membingungkan untuk
menggambarkan tipe gangguan fibrosis. Klasifikasi skleroderma digunakan untuk menentukan tipe penyakit.2
Secara umum, skleroderma dibagi dalam dua kelompok besar: skleroderma lokalisata/morfea dan skleroderma
sistemik/sklerosis sistemik (SS).3 Morfea biasanya hanya
terbatas pada kelainan kulit dan jarang melibatkan sistemik.
Sebaliknya, sklerosis sistemik melibatkan berbagai sistem
organ selain di kulit, dan dapat menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang cukup besar. Morfea dibedakan dari
skleroderma sistemik berdasarkan temuan sklerodaktili,
fenomena Raynaud, perubahan kapiler di lipatan kuku dan
keterlibatan organ-organ dalam. Pasien morfea biasanya
menunjukkan gejala sistemik yaitu malaise, sakit kepala,
artralgia, mialgia serta pemeriksaan serologi autoantibodi
yang positif.2
Klasifikasi morfea didasarkan atas gambaran klinis.
Peterson dkk. (1995) Peterson dkk. merekomendasikan 5
subklasifikasi morfea: plak (antara lain: morphea en
plaque, gutata, atropoderma of Pasini dan Pierini, keloidal
dan lichen sclerosis et atrophicus); generalisata (melibatkan lebih dari dua area tubuh); bulosa, linear (antara lain:
ekstremitas, en coup de sabre, dan hemiatrofi fasial
progresif); dan dalam (antara lain; morfea profunda, fasitis
eosinofilik dan morfea pansklerotik).2
Studi epidemologi melaporkan insidens morfea 0,42,7/100.000 orang. Semua varian dapat terjadi pada semua
usia. Skleroderma linear lebih sering terjadi pada anak-anak,
dan muncul pada dekade pertama atau kedua, sedangkan
generalisata lebih sering terjadi pada orang dewasa dan
biasanya terjadi pada usia remaja.2-4 Frekuensi relatif varian
morfologi yang berbeda tidak jelas, dan dapat ditemukan
pada tingkat yang berbeda. Pada orang dewasa yang terkena,
35% - 65% jenis morfea plak, 8% - 9% jenis morfea
generelisata, 6% - 46% skleroderma linear, 3,5% en coup de
sabre dan Parry-Romberg syndrome.3
Etiologi skleroderma lokalisata tidak diketahui. Saat
ini patogenesis yang mendasari morfea belum diketahui
secara pasti tetapi diduga akibat ketidakseimbangan antara
produksi dan penghancuran kolagen. Pencetus kejadian
fibrosis yang berlebihan merupakan kombinasi respons imun
abnormal dan kerusakan pembuluh darah serta akibat dari
Skleroderma lokalisata
KASUS I
Seorang perempuan berusia 22 tahun datang ke
poliklinik Kulit dan Kelamin RS. Wahidin Sudirohusodo
dengan keluhan kulit terasa keras dan kaku di daerah
leher dan dada yang dialami sejak 2 tahun yang lalu.
Awalnya, kulit mengeras di leher dialami sejak 5 tahun
yang lalu, lama kelamaan menyebar ke bagian tubuh yaitu
perut dan punggung. Pasien belum pernah mendapatkan
pengobatan sebelumnya. Riwayat keluarga dengan
penyakit yang sama tidak ada.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan tanda vital dalam
batas normal. Pada inspeksi tampak kulit kencang dan
mengkilat di daerah leher dan dada. Pada leher sebelah
kanan, trunkus anterior, abdomen dan trunkus posterior
tampak lesi hiperpigmentasi.
Berdasarkan anamnesis, gambaran klinis dan
pemeriksaan fisis ditegakkan diagnosis kerja skleroderma
lokalisata dan diberikan terapi krim alpha hidroxy acid
8% (AHA 8%) yang harus dioleskan pagi dan sore hari.
Setelah itu pasien tidak datang lagi. Pada kunjungan
ulang setelah 3 minggu di daerah leher sebelah kanan,
trunkus anterior, abdomen dan trunkus posterior lesi
hipopigmentasi dan hiperpigmentasi sudah menghilang.
Pada pemeriksaan laboratorium, Hb: 14,9 g//dL, laju
endap darah; 12 mm/jam, SGOT: 13 u/L, SGPT: 15 u/L.
Pemeriksaan antinuclear antibody (ANA) secara immunofluorcensi (IF) positif pola: granular nucleoplasm/speckled,
titer 1:100. Pada pemeriksaan profil autoantibodi tidak
didapatkan titer anti SS-A dan anti Scl-70.
Pemeriksaan histopatologi menunjukkan epidermis
hiperkeratosis, dermis atas sampai bawah terdapat
pertambahan jaringan ikat, kolagen yang berwarna merah
terang dengan adanya adneksa di antaranya tampak
terjepit. Dapat disimpulkan bahwa secara histopatologis
sesuai dengan skleroderma.
37 S
MDVI
1.b
1.a
1.c
Keterangan:
Gambar 1.a: Pada regio colli dan trunkus anterior tampak kencang, mengkilat, lesi hipopigmentasi dan hiperpigmentasi
Gambar 1.b: Pada regio abdomen tampak lesi hiperpigmentasi
Gambar 1.c: Pada trunkus posterior tampak lesi hiperpigmentasi
2.a
2.b
2.c
Keterangan:
Gambar 2.a-c : daerah regio colli dextra, trunkus anterior, abdomen dan trunkus
posterior yang tampak lesi hipopigmentasi dan hiperpigmentasi sudah menghilang
3.a
3.b
Keterangan: Gambar 3.a-b: menunjukkan epidermis dengan hiperkeratosis, dermis atas sampai bawah terdapat
pertambahan jaringan ikat, kolagen yang berwarna merah terang dengan adneksa di antaranya tampak terjepit
KASUS II
Seorang perempuan, berusia 31 tahun datang ke
poliklinik kulit dan kelamin RS Dr. Wahidin Sudirohusodo
dengan keluhan bercak kehitaman di daerah bahu dan bercak
keputihan di lengan atas kanan dan teraba keras, yang
telah dialami sejak 9 bulan. Pasien belum pernah
mendapatkan pengobatan sebelumnya. Riwayat keluhan
yang sama di keluarga disangkal.
38 S
F Tabri
Skleroderma lokalisata
4.a
4.b
4.c
Keterangan:
Gambar 4.a: Lesi plak atrofi hipopigmentasi yang mengkilap dikelilingi oleh lingkaran berwarna violet dan hiperpigmentasi,
teraba keras
Gambar 4.b: Lesi yang hipopigmentasi yang mengkilap pada bagian punggung
Gambar 4.c: Lesi hipopigmentasi yang mengkilap pada bagian lengan kanan
6.a
6.b
6.c
Keterangan gambar lesi setelah pengobatan dengan metilprednison 3 kali/hari selama 2 minggu
Gambar 6.a: Lesi plak atrofi mulai berkurang kekerasannya, tampak hipopigmentasi kulit yang mulai berkurang
setelah pengobatan
Gambar 6.b: Lesi hipopigmentasi pada punggung tampak berkurang setelah pengobatan
Gambar 6.c: Lesi hipopigmentasi pada lengan sudah tampak berkurang
39 S
MDVI
DISKUSI
Morfea mengenai semua ras, tetapi prevalensinya
meningkat 72,7% - 82% pada kulit putih, meskipun populasi
klinik yang heterogen. Predominasi penyakit ini pada
perempuan dengan rasio 2,4 4,2 : 1 terhadap laki-laki.
Prevalensinya sama pada orang dewasa dan anak-anak.2
Kasus ini terjadi pada perempuan umur 22 dan 31 tahun.
Pada kedua kasus, pasien datang dengan keluhan
berupa lesi hipopigmentasi dan hiperpigmentasi yang terasa
keras pada perabaan. Hiperpigmentasi dan hipopigmentasi
merupakan perubahan warna kulit yang paling sering
dijumpai.5,6 Gejala klinis skleroderma lokalisata pada
stadium inflamasi awal (aktif) berupa bercak atau plak
eritematosa hingga ungu kehitaman. Bagian tengah lesi
kemudian menjadi putih dan sklerotik dengan tepi lesi yang
khas berupa violaceous ring. Setelah stadium aktif mereda,
terjadi kerusakan yang bermanifestasi sebagai plak putih
sklerotik dengan hiperpigmentasi pasca inflamasi.2 Kulit
yang keras berasal dari proliferasi dan deposit kolagen dan
komponen matriks ekstraselular lainnya.7
Autoantibodi serum dilaporkan pada pasien dengan
morfea termasuk ANA, anti-single-stranded DNA, antidouble-stranded DNA, anti-histon, anti-topoisomeraseII, anti-fosfolipid anti-sentromer, anti-Scl70 dan faktor
rematoid (MMP1). ANA terdapat pada 39-80 % pasien
dan lebih sering ditemukan pada pasien dengan penyakit
morfea linear atau generalisata.1 Pemeriksaan serologi
untuk mendeteksi autoantibodi penting dilakukan pada
pasien dengan dugaan penyakit jaringan konektif autoimun.
Pemeriksaan ANA menggunakan teknik imunofluoresensi
indirek dapat mendeteksi antibodi yang berikatan dengan
antigen nuklear. Titer antibodi meningkat pada berbagai
penyakit autoimun.8 Pada kedua kasus didapatkan
pemeriksaan ANA (IF) positif. Selain itu pada pasien ini
dilakukan pemeriksaan profil autoantibodi, tetapi tidak
ditemukan titer anti-SS-A dan anti-Scl-70. Beberapa jenis
autoantibodi penting dalam diagnosis sleroderma. Pemeriksaan autoantibodi terhadap topoisomerase-I (Scl70), sel
endotel, protein sentromer, dan antigen nukleolar bermanfaat
dalam menegakkan diagnosis dan menentukan prognosis
skleroderma sistemik (SS).9 Autoantibodi yang sering
dihubungkan dengan skleroderma adalah anti-sentomer dan
anti DNA-topoisomerase-I (yang dikenal sebagai anti-Scl70).10 Pemeriksaan autoantibodi Scl-70 telah menjadi sarana
dalam diagnosis sklerosis sistemik. Autoantibodi Scl-70
paling banyak ditemukan pada sklerosis Scleroderma
Spectrum Disorder (SSD). Terdapat 37% pasien dengan
SSD dan kurang dari 10% pasien dengan SS terbatas.
Autoantibodi Scl-70 yang meningkat pada awal fenomena
Raynauds meningkatkan risiko sklerosis sistemik.11
Antibodi anti SS-A lebih khas untuk penyakit lupus eritematosus dan sindrom Sjogren. Dengan radial imunodifusi,
40 S
F Tabri
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Skleroderma lokalisata
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
41 S