Anda di halaman 1dari 6

MDVI

Vol. 40 No. Suplemen Tahun 2013: 36s 41s

Laporan Kasus

SKLERODERMA LOKALISATA: LAPORAN DUA KASUS


Farida Tabri
Bagian Ilmu kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Hasanuddin/RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

ABSTRAK
Morfea disebut juga skleroderma lokalisata, merupakan gangguan fibrosis pada kulit dan jaringan di
bawahnya yang jarang terjadi. Keterlibatan morfea terbatas pada jaringan yang berasal dari mesoderm. Saat
ini, dasar patogenesis morfea masih belum sepenuhnya dipahami, namun kemungkinan besar akibat
ketidakseimbangan produksi dan destruksi kolagen. Diagnosis didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisis,
laboratorium, gambaran histopatologis, tes ANA, antibodi SCL dan faktor rematoid. Pengobatan ditujukan
pada komponen inflamasi, pelepasan, dan aktivasi sitokin serta deposisi kolagen.
Dilaporkan 2 kasus morfea pada wanita. Kasus pertama, wanita berusia 22 tahun dengan bercak
hipopigmentasi, kulit kencang dan mengkilap di leher dan dada, diobati dengan alpha hidroxy acid 8%
secara topikal yang diaplikasikan dua kali sehari. Kasus kedua, wanita berusia 31 tahun dengan bercak
hipopigmentasi yang dikelilingi tepi violaseus dan hiperpigmentasi pada bahu, dan bercak hipopigmentasi
pada lengan kanan, diobati dengan metilprednisolon oral dan mometason topikal. Pengobatan pada kedua
pasien menunjukkan perbaikan lesi dengan modalitas terapi yang berbeda. (MDVI 2013; 40/s: 36s - 41s)
Kata kunci: Asam alfa hidroksi 8% - kortikosteroid - skleroderma lokalisata

ABSTRACT
Morphea, also known as localized scleroderma, is a rare fibrosing disorder of the skin and underlying
tissues. Involvement of morphea is almost uniformly limitted to those tissues derived from the mesoderm. The
underlying pathogenesis of morphea is still incompletely understood at this time, but ultimately result in an
imbalance of collagen production and destruction. Diagnose based on history taking, physical, laboratory,
histopathological finding, ANA test, antibody Scl and rheumatoid factor. Treatment is directed at the
inflammatory component, cytokine release and activation, and collagen deposition.
Reported 2 cases of morphea in women. First case, a 22-year-old female with hypopigmented patch,
tight and shiny skin on neck and chest, treated with topical Alpha Hidroxy Acid 8% applied twice daily.
Second case, a 31-year-old female with athropic, violaceous and hyperpigmented ring surrounding
hypopigmented patch on shoulder, and hipopigmented patch on the right upper arm, treated with oral
methylprednisolone and topical momethasone furoate. The both patient have good improvement with different
modality of therapy. (MDVI 2013; 40/s: 36s - 41s)
Key words: Alpha Hidroxy Acid 8% - corticosteroid - localized scleroderma

Korespodensi :
Jl.Perintis Kemerdekaan Km.11
Tamalanrea, Makassar
Tel/Fax: 0411-582353
Email: farida_tabri@yahoo.com,
smungky@yahoo.com

36 S

F Tabri

PENDAHULUAN
Morfea adalah penyakit autoimun kronis yang ditandai
oleh sklerosis pada kulit.1 Morfea, dikenal juga sebagai
skleroderma lokalisata, merupakan kondisi fibrosis yang
terbatas pada kulit, jaringan subkutan, tulang di bawahnya
dan jika mengenai bagian wajah dan kepala, sistem saraf
pusat jarang terkena. Skleroderma merupakan istilah yang
luas digunakan dan terkadang membingungkan untuk
menggambarkan tipe gangguan fibrosis. Klasifikasi skleroderma digunakan untuk menentukan tipe penyakit.2
Secara umum, skleroderma dibagi dalam dua kelompok besar: skleroderma lokalisata/morfea dan skleroderma
sistemik/sklerosis sistemik (SS).3 Morfea biasanya hanya
terbatas pada kelainan kulit dan jarang melibatkan sistemik.
Sebaliknya, sklerosis sistemik melibatkan berbagai sistem
organ selain di kulit, dan dapat menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang cukup besar. Morfea dibedakan dari
skleroderma sistemik berdasarkan temuan sklerodaktili,
fenomena Raynaud, perubahan kapiler di lipatan kuku dan
keterlibatan organ-organ dalam. Pasien morfea biasanya
menunjukkan gejala sistemik yaitu malaise, sakit kepala,
artralgia, mialgia serta pemeriksaan serologi autoantibodi
yang positif.2
Klasifikasi morfea didasarkan atas gambaran klinis.
Peterson dkk. (1995) Peterson dkk. merekomendasikan 5
subklasifikasi morfea: plak (antara lain: morphea en
plaque, gutata, atropoderma of Pasini dan Pierini, keloidal
dan lichen sclerosis et atrophicus); generalisata (melibatkan lebih dari dua area tubuh); bulosa, linear (antara lain:
ekstremitas, en coup de sabre, dan hemiatrofi fasial
progresif); dan dalam (antara lain; morfea profunda, fasitis
eosinofilik dan morfea pansklerotik).2
Studi epidemologi melaporkan insidens morfea 0,42,7/100.000 orang. Semua varian dapat terjadi pada semua
usia. Skleroderma linear lebih sering terjadi pada anak-anak,
dan muncul pada dekade pertama atau kedua, sedangkan
generalisata lebih sering terjadi pada orang dewasa dan
biasanya terjadi pada usia remaja.2-4 Frekuensi relatif varian
morfologi yang berbeda tidak jelas, dan dapat ditemukan
pada tingkat yang berbeda. Pada orang dewasa yang terkena,
35% - 65% jenis morfea plak, 8% - 9% jenis morfea
generelisata, 6% - 46% skleroderma linear, 3,5% en coup de
sabre dan Parry-Romberg syndrome.3
Etiologi skleroderma lokalisata tidak diketahui. Saat
ini patogenesis yang mendasari morfea belum diketahui
secara pasti tetapi diduga akibat ketidakseimbangan antara
produksi dan penghancuran kolagen. Pencetus kejadian
fibrosis yang berlebihan merupakan kombinasi respons imun
abnormal dan kerusakan pembuluh darah serta akibat dari

Skleroderma lokalisata

akumulasi lokal growth factors yang bekerja pada fibroblas


dan stimulasi serta produksi kolagen.2-4
Gambaran klinis lesi awal morfea berupa bercak
eritematosa hingga ungu kehitaman dan plak yang beresolusi
menjadi plak sklerotik, tidak berambut, anhidrosis dengan
sejumlah hiperpigmentasi pasca inflamasi.2
Dalam banyak kasus, lesi skleroderma lokalisata
menjadi tidak aktif secara spontan, namun lebih banyak
kasus parah yang menyebabkan fibrosis ireversibel pada
kulit dan jaringan subkutan. Terapi ditujukan untuk
komponen inflamasi, pelapasan sitokin serta aktivasi dan
deposit kolagen.3

KASUS I
Seorang perempuan berusia 22 tahun datang ke
poliklinik Kulit dan Kelamin RS. Wahidin Sudirohusodo
dengan keluhan kulit terasa keras dan kaku di daerah
leher dan dada yang dialami sejak 2 tahun yang lalu.
Awalnya, kulit mengeras di leher dialami sejak 5 tahun
yang lalu, lama kelamaan menyebar ke bagian tubuh yaitu
perut dan punggung. Pasien belum pernah mendapatkan
pengobatan sebelumnya. Riwayat keluarga dengan
penyakit yang sama tidak ada.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan tanda vital dalam
batas normal. Pada inspeksi tampak kulit kencang dan
mengkilat di daerah leher dan dada. Pada leher sebelah
kanan, trunkus anterior, abdomen dan trunkus posterior
tampak lesi hiperpigmentasi.
Berdasarkan anamnesis, gambaran klinis dan
pemeriksaan fisis ditegakkan diagnosis kerja skleroderma
lokalisata dan diberikan terapi krim alpha hidroxy acid
8% (AHA 8%) yang harus dioleskan pagi dan sore hari.
Setelah itu pasien tidak datang lagi. Pada kunjungan
ulang setelah 3 minggu di daerah leher sebelah kanan,
trunkus anterior, abdomen dan trunkus posterior lesi
hipopigmentasi dan hiperpigmentasi sudah menghilang.
Pada pemeriksaan laboratorium, Hb: 14,9 g//dL, laju
endap darah; 12 mm/jam, SGOT: 13 u/L, SGPT: 15 u/L.
Pemeriksaan antinuclear antibody (ANA) secara immunofluorcensi (IF) positif pola: granular nucleoplasm/speckled,
titer 1:100. Pada pemeriksaan profil autoantibodi tidak
didapatkan titer anti SS-A dan anti Scl-70.
Pemeriksaan histopatologi menunjukkan epidermis
hiperkeratosis, dermis atas sampai bawah terdapat
pertambahan jaringan ikat, kolagen yang berwarna merah
terang dengan adanya adneksa di antaranya tampak
terjepit. Dapat disimpulkan bahwa secara histopatologis
sesuai dengan skleroderma.

37 S

MDVI

Vol. 40 No. Suplemen Tahun 2013: 36s 41s

1.b

1.a

1.c

Keterangan:
Gambar 1.a: Pada regio colli dan trunkus anterior tampak kencang, mengkilat, lesi hipopigmentasi dan hiperpigmentasi
Gambar 1.b: Pada regio abdomen tampak lesi hiperpigmentasi
Gambar 1.c: Pada trunkus posterior tampak lesi hiperpigmentasi

2.a

2.b

2.c

Keterangan:
Gambar 2.a-c : daerah regio colli dextra, trunkus anterior, abdomen dan trunkus
posterior yang tampak lesi hipopigmentasi dan hiperpigmentasi sudah menghilang

3.a

3.b

Keterangan: Gambar 3.a-b: menunjukkan epidermis dengan hiperkeratosis, dermis atas sampai bawah terdapat
pertambahan jaringan ikat, kolagen yang berwarna merah terang dengan adneksa di antaranya tampak terjepit

KASUS II
Seorang perempuan, berusia 31 tahun datang ke
poliklinik kulit dan kelamin RS Dr. Wahidin Sudirohusodo
dengan keluhan bercak kehitaman di daerah bahu dan bercak
keputihan di lengan atas kanan dan teraba keras, yang
telah dialami sejak 9 bulan. Pasien belum pernah
mendapatkan pengobatan sebelumnya. Riwayat keluhan
yang sama di keluarga disangkal.

38 S

Pada pemeriksaan fisis didapatkan tanda vital dalam


batas normal. Pada inspeksi tampak plak atrofi berwarna
kuning kecoklatan dikelilingi lingkaran berwarna keunguan
dengan hiperpigmentasi, yang pada perabaan terasa keras
dan kaku. Pada lengan atas kanan terdapat makula
hipopigmentasi.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan tes ANA
positif, titer autoantibodi Scl-70 didapatkan intensitas 4 (klas

F Tabri

Skleroderma lokalisata

o) dan faktor rematoid negatif. Pemeriksaan histopatologi


menunjukkan sediaan jaringan dilapisi epidermis dengan
sedikit hiperkeratosis, seluruh dermis atas sampai bawah,
terisi oleh jaringan ikat kolagen berwarna merah terang
dengan serabut menuju berbagai arah, adneksa di antaranya
terjepit. Gambaran histopatologis menyokong skleroderma.

4.a

Berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, pemeriksaan


fisis dan pemeriksaan penunjang ditegakkan diagnosis akhir
skleroderma lokalisata, berupa metilprednisolon 4 mg 3 kali
sehari per oral, dan krim mometason furoat. Setelah 2
minggu pengobatan tampak perbaikan lesi. (Gambar 6)

4.b

4.c

Keterangan:
Gambar 4.a: Lesi plak atrofi hipopigmentasi yang mengkilap dikelilingi oleh lingkaran berwarna violet dan hiperpigmentasi,
teraba keras
Gambar 4.b: Lesi yang hipopigmentasi yang mengkilap pada bagian punggung
Gambar 4.c: Lesi hipopigmentasi yang mengkilap pada bagian lengan kanan

Gambar 5. Pemeriksan histopatologi

6.a

6.b

6.c

Keterangan gambar lesi setelah pengobatan dengan metilprednison 3 kali/hari selama 2 minggu
Gambar 6.a: Lesi plak atrofi mulai berkurang kekerasannya, tampak hipopigmentasi kulit yang mulai berkurang
setelah pengobatan
Gambar 6.b: Lesi hipopigmentasi pada punggung tampak berkurang setelah pengobatan
Gambar 6.c: Lesi hipopigmentasi pada lengan sudah tampak berkurang

39 S

MDVI

DISKUSI
Morfea mengenai semua ras, tetapi prevalensinya
meningkat 72,7% - 82% pada kulit putih, meskipun populasi
klinik yang heterogen. Predominasi penyakit ini pada
perempuan dengan rasio 2,4 4,2 : 1 terhadap laki-laki.
Prevalensinya sama pada orang dewasa dan anak-anak.2
Kasus ini terjadi pada perempuan umur 22 dan 31 tahun.
Pada kedua kasus, pasien datang dengan keluhan
berupa lesi hipopigmentasi dan hiperpigmentasi yang terasa
keras pada perabaan. Hiperpigmentasi dan hipopigmentasi
merupakan perubahan warna kulit yang paling sering
dijumpai.5,6 Gejala klinis skleroderma lokalisata pada
stadium inflamasi awal (aktif) berupa bercak atau plak
eritematosa hingga ungu kehitaman. Bagian tengah lesi
kemudian menjadi putih dan sklerotik dengan tepi lesi yang
khas berupa violaceous ring. Setelah stadium aktif mereda,
terjadi kerusakan yang bermanifestasi sebagai plak putih
sklerotik dengan hiperpigmentasi pasca inflamasi.2 Kulit
yang keras berasal dari proliferasi dan deposit kolagen dan
komponen matriks ekstraselular lainnya.7
Autoantibodi serum dilaporkan pada pasien dengan
morfea termasuk ANA, anti-single-stranded DNA, antidouble-stranded DNA, anti-histon, anti-topoisomeraseII, anti-fosfolipid anti-sentromer, anti-Scl70 dan faktor
rematoid (MMP1). ANA terdapat pada 39-80 % pasien
dan lebih sering ditemukan pada pasien dengan penyakit
morfea linear atau generalisata.1 Pemeriksaan serologi
untuk mendeteksi autoantibodi penting dilakukan pada
pasien dengan dugaan penyakit jaringan konektif autoimun.
Pemeriksaan ANA menggunakan teknik imunofluoresensi
indirek dapat mendeteksi antibodi yang berikatan dengan
antigen nuklear. Titer antibodi meningkat pada berbagai
penyakit autoimun.8 Pada kedua kasus didapatkan
pemeriksaan ANA (IF) positif. Selain itu pada pasien ini
dilakukan pemeriksaan profil autoantibodi, tetapi tidak
ditemukan titer anti-SS-A dan anti-Scl-70. Beberapa jenis
autoantibodi penting dalam diagnosis sleroderma. Pemeriksaan autoantibodi terhadap topoisomerase-I (Scl70), sel
endotel, protein sentromer, dan antigen nukleolar bermanfaat
dalam menegakkan diagnosis dan menentukan prognosis
skleroderma sistemik (SS).9 Autoantibodi yang sering
dihubungkan dengan skleroderma adalah anti-sentomer dan
anti DNA-topoisomerase-I (yang dikenal sebagai anti-Scl70).10 Pemeriksaan autoantibodi Scl-70 telah menjadi sarana
dalam diagnosis sklerosis sistemik. Autoantibodi Scl-70
paling banyak ditemukan pada sklerosis Scleroderma
Spectrum Disorder (SSD). Terdapat 37% pasien dengan
SSD dan kurang dari 10% pasien dengan SS terbatas.
Autoantibodi Scl-70 yang meningkat pada awal fenomena
Raynauds meningkatkan risiko sklerosis sistemik.11
Antibodi anti SS-A lebih khas untuk penyakit lupus eritematosus dan sindrom Sjogren. Dengan radial imunodifusi,

40 S

Vol. 40 No. Suplemen Tahun 2013: 36s 41s

antibodi ini terdeteksi pada 50% pasien sindrom Sjogren.


Selain itu, antibodi ini juga berhubungan erat dengan
fotosensitivitas dan tingginya insidens vaskulitis.12
Gambaran histopatologi semua bentuk skleroderma
sama.13 Morfea secara histopatologi berbentuk khas
ditandai oleh tiga temuan yaitu deposisi kolagen pada
dermis dan subkutis, perubahan vaskuaer dan infiltrasi
sel-sel inflamasi, terutama pada lesi awal. Epidermis
dapat tampak normal, atrofi atau sedikit menebal, dermis
menebal dan collagen bundles. yang sklerotik, kolagen ini
juga masuk di antara kelenjar keringat sampai subkutis.
Ditemukan atropi struktur adneksa, terutama kelenjar
pilosebasea, kelenjar ekrin relatif banyak terutama di
dermis akibat deposit kolagen di bawahnya.14 Hasil
pemeriksaan histopatologi pada kedua pasien menyokong
skleroderma.
Pengobatan pada skleroderma lokalisata berhubungan
langsung dengan komponen inflamasi. Beberapa terapi yang
digunakan untuk skleroderma lokalisata berupa: steroid oral
dan topikal, analog vitamin D oral dan topikal, metotreksat,
siklofosfamid, azatioprin, hidroksiklorokuin, interferon
gamma intralesi, dan D-penisilamin. Beberapa penanganan
alami yang menjanjikan pada kasus skleroderma antara lain
para-aminobenzoic acid (PABA), vitamin E, vitamin D,
evening primvose oil, estriol, N-acetylcysteine, bromelain
dan ekstrak alpukat dan kedelai.15 Pada pasien ini diberikan
terapi AHA 8%). Alpha hidroxy acid dapat mengurangi
ketebalan stratum korneum yang hiperkeratotik melalui
mekanisme yang tidak sepenuhnya dipahami. Asam
melarutkan komponen protein dan desmosom atau mengaktifkan enzim hidrolitik endogen melalui perubahan pH
stratum korneum sehinggga terjadi keratolisis. Juga melalui
difusi ke stratum korneum serta berikatan dengan air, asam
dapat berfungsi sebagai humektan yang meningkatkan kadar
air dalam stratum korneum. Hal ini dapat mengurangi
pembentukan skuama yang kering di permukaan kulit dan
memungkinkan sedikit pengelupasan pada kulit ketika
digunakan, sehingga jaringan yang berkeratin dapat
dikeluarkan secara mekanis. Konsentrasi AHA, pH sediaan
dan komposisi basa sangat menentukan aplikasinya pada
umumnya. Semakin anhidrous sediaan semakin kurang
mengiritasi, sehingga semakin tinggi konsentrasi asam yang
dapat ditoleransi.16 Kami memberi terapi pasien kasus
pertama sebelum mendapat hasil pemeriksaan laboratorium
dan histopatologi yang menyokong skleroderma. Pasien
tidak kontrol kembali, sehingga kemungkinan perbaikan
hanya pada stratum korneum saja, tidak pada dermis. Pada
kasus ke-2, pasien mendapatkan terapi berupa metilprednisolon secara oral dan kortikosteroid topikal setelah
didapat hasil laboratorium dan histopatologi. Kortikosteroid
oral 10 sampai 20 mg per hari, dapat digunakan selama fase
inflamasi akut dan fase udem penyakit kulit. Untuk
perawatan kulit dapat digunakan krim pelembab.17

F Tabri

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.
3.

4.

5.
6.
7.

8.

Daniel SS, Jacob HT. Morphea. Dalam: Goldsmith LA,


Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K,
penyunting. Fitzpatrick's dermatology in general
medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012. h.
692-701.
Fetta N, Werth VP. Update on morphea: Part I.
Epidemiology, clinical presentation, and pathogenesis. J
Am Acad Dermatol. 2011; 64: 217-28.
Sator PG, Radakovic S, Schulmeister K, Honigsmann H,
Tanew A. Medium-dose is more effective than low-dose
ultraviolet A1 phototherapy for localized scleroderma as
shown by 20-MHz ultrasound assessment. J Am Acad
Dermatol. 2009; 60: 786-91.
Denton CP, Black CM. Scleroderma (systemic sclerosis).
Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffel DJ, Wolff K, penyunting. Fitzpatricks
Dermatology in General medicine. Edisi ke-7. New York:
Mc Graw Hill Medical; 2008. h. 1553-62.
Gabrielli A, Avvedimento EV, Krieg T. Scleroderma. N
Engl J Med. 2009; 360: 1989-2003.
Chung L, Lin J, Furst DE, Fiorentino D. Systemic and
localized scleroderma. Clindermatol. 2006; 24: 374 92.
Badea I, Taylor M, Rosenberg A, Foldvari M.
Pathogenesis and therapeutic approaches for improved
topical treatment in localized scleroderma and systemic
sclerosis. 2009; 481: 21322.
Habif TP. Clinical Dermatology A Color Guide To
Diagnosis and Therapy. Edisi ke-4. Edinburgh: Mosby;
2004.

Skleroderma lokalisata

9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.

17.

Hamaguchi Y. Autoantibody profiles in systemic


sclerosis: Predictive value for clinical evaluation and
prognosis. J Dermatol. 2010; 37: 4253.
Gabrielli A, Svegliati S, Maroncini G, Avvedimento EV.
Pathogenic autoantibodies in systemic sclerosis. Curr opin
Immunol. 2007; 19: 640-5.
Basu D, Reveille JD. Anti-scl-70. Autoimmunity. 2005;
38: 65-72.
Mustasim DF, Adams BB. A practical guide for serologic
evaluation of autoimmune connective tissue disease. J Am
Acad Dermatol. 2000; 42: 159-74.
James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew's disease of
the skin clinical dermatology. Philadelphia: Saunder
Elseiver; 2006.
Weedon D. Disorder of collagen.
Weedon's skin
pathologi. London: Churchill livingstone; 2010
Gaby AR. Natural Remedies for Scleroderma. Altern Med
Rev. 2006; 11: 188-94.
Burkhat CN, Katz KA. Other topical medications. Dalam:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell
DJ, Wolff K, penyunting. Fitzpatrick's dermatology in
general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill;
2012. h. 2697-07.
Adelmann DC, Casale TB, Corren J. Manual of allergy and
imunology : Diagnosis and therapy. Edisi ke-4.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002.

41 S

Anda mungkin juga menyukai

  • Laporan Kasus BRONKITIS AKUT - MIRA
    Laporan Kasus BRONKITIS AKUT - MIRA
    Dokumen20 halaman
    Laporan Kasus BRONKITIS AKUT - MIRA
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Case I Tetanus
    Case I Tetanus
    Dokumen16 halaman
    Case I Tetanus
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen9 halaman
    Bab 1
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Case I Tetanus
    Case I Tetanus
    Dokumen29 halaman
    Case I Tetanus
    Ligar Hervian
    Belum ada peringkat
  • MC
    MC
    Dokumen21 halaman
    MC
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus BRONKITIS AKUT - MIRA
    Laporan Kasus BRONKITIS AKUT - MIRA
    Dokumen24 halaman
    Laporan Kasus BRONKITIS AKUT - MIRA
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Case II Scleroderma
    Case II Scleroderma
    Dokumen24 halaman
    Case II Scleroderma
    Ligar Hervian
    Belum ada peringkat
  • Paru
    Paru
    Dokumen12 halaman
    Paru
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Case II Thypoid Mira
    Case II Thypoid Mira
    Dokumen28 halaman
    Case II Thypoid Mira
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Infeksi Tali Pusat
    Infeksi Tali Pusat
    Dokumen15 halaman
    Infeksi Tali Pusat
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Translate Jurnal
    Translate Jurnal
    Dokumen10 halaman
    Translate Jurnal
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Tugas Referat 2 - 2
    Tugas Referat 2 - 2
    Dokumen25 halaman
    Tugas Referat 2 - 2
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Kasus Ujian Nabila
    Kasus Ujian Nabila
    Dokumen10 halaman
    Kasus Ujian Nabila
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • S. Limfoid.
    S. Limfoid.
    Dokumen32 halaman
    S. Limfoid.
    Olivia Nurudhiya
    Belum ada peringkat
  • Case II Thypoid Mira
    Case II Thypoid Mira
    Dokumen28 halaman
    Case II Thypoid Mira
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Dfu Journal
    Dfu Journal
    Dokumen4 halaman
    Dfu Journal
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Anatomi Sinus Paranasal
    Anatomi Sinus Paranasal
    Dokumen27 halaman
    Anatomi Sinus Paranasal
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Anatomi Dan Fisiologi Hidung
    Anatomi Dan Fisiologi Hidung
    Dokumen22 halaman
    Anatomi Dan Fisiologi Hidung
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Kasus Toa
    Kasus Toa
    Dokumen21 halaman
    Kasus Toa
    Adjeng Retno Bintari II
    Belum ada peringkat
  • Penge Sah An
    Penge Sah An
    Dokumen2 halaman
    Penge Sah An
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Kulit
    Kulit
    Dokumen7 halaman
    Kulit
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • TRSLT Jrnalku
    TRSLT Jrnalku
    Dokumen13 halaman
    TRSLT Jrnalku
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Faktor Yang Terkait Dengan Dengue Shock Syndrome
    Faktor Yang Terkait Dengan Dengue Shock Syndrome
    Dokumen30 halaman
    Faktor Yang Terkait Dengan Dengue Shock Syndrome
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • TF
    TF
    Dokumen16 halaman
    TF
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Dis Tosia
    Dis Tosia
    Dokumen14 halaman
    Dis Tosia
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Seminar Skripsi
    Seminar Skripsi
    Dokumen44 halaman
    Seminar Skripsi
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • J 2
    J 2
    Dokumen14 halaman
    J 2
    RizkaNNatsir
    Belum ada peringkat
  • Referat BPH Mira
    Referat BPH Mira
    Dokumen23 halaman
    Referat BPH Mira
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat
  • Translate Abstrak FIX
    Translate Abstrak FIX
    Dokumen14 halaman
    Translate Abstrak FIX
    Mira C. Karuniawati
    Belum ada peringkat