Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

LAPORAN KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama

: An. R

Umur

: 7 tahun 2 bulan

Jenis kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Suku bangsa

: Jawa

Alamat

: Kedung Thomas, Surabaya

MRS tanggal

: 14 Desember 2016

Tanggal pemeriksaan

: 19 Desember 2016

Identitas Orang Tua


Nama Ayah : Tn. M

Nama Ibu

: Ny. N

Umur

: 43 tahun

Umur

: 34 tahun

Pekerjaan

: Swasta

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Pendidikan

: SMA

Pendidikan : SMA

Agama

: Islam

Agama

Suku bangsa

: Jawa

Suku bangsa : Jawa

: Islam

1.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama

: Panas

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke RS Haji Surabaya tanggal 14 Desember 2016
dengan keluhan panas, sejak 7 hari SMRS. Panas sumer-sumer lalu
meningkat pada malam hari (t: 38-39C) dan menurun saat pagi hari.
Sempat menggigil 1x (t: 39,9C) tanpa ada kejang. Pasien dibawa ke
dokter dan diberi obat penurun panas (paracetamol 3x1), obat anti radang
tenggorokan dan obat sariawan karena pasien mengeluh terdapat
sariawan. Setelah diberi obat penurun panas, panas sempat turun lalu naik
lagi. Batuk berdahak 1 hari sesudah panas, dahak tidak bisa keluar,

terutama tiap makan dan waktu malam hari. Muntah 5 hari sesudah panas,
sehari 3x, setiap muntah aqua gelas, isi cairan dan makanan, muntah
tiap makan, mual (-). Nafsu makan menurun, minum air mineral sehari
hanya sedikit (1 botol aqua 600 ml) dan pasien merasa lemas. Mencret 5
hari sesudah panas, mencret 1x, seberapa banyak pasien tidak tahu, cair
ada ampas, warna kuning, darah (-), lendir (-), bau amis (-). BAK sedikit
dan jarang. Keluhan bintik-bintik merah (-), mimisan (-), gusi berdarah
(-), riwayat pergi keluar kota (-), nyeri BAK (-), keluar cairan dari
telinga/nyeri telinga (-), pilek (-), sesak (-), nyeri telan (-), nyeri kepala
(+), nyeri perut kiri bawah (+) saat dibawa ke RS. Sebelum sakit pasien
habis jajan minuman es dipinggir jalan dan mie kering.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Belum pernah mengalami keluhan seperti ini
Riwayat kejang (-)
Riwayat DBD (-), riwayat demam tifoid (-)
Riwayat alergi makanan (-), alergi obat (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama
Riwayat DBD (-), riwayat demam tifoid (-)
Riwayat alergi makanan (-) obat (-)
5. Riwayat Sosial

Sehari-hari pasien tinggal bersama ayah, ibu, dan saudaranya.


Lingkungan sekitar pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang
sama.
Keadaan rumah bersih, MCK di dalam, sumber air sumur.
Belakang rumah pasien terdapat sungai yang mampet dan banyak
tumpukan sampah.
6. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Antenatal: rutin kontrol ke bidan selama kehamilan setiap 1 bulan
sekali. Riwayat obat-obatan adalah vitamin yang diberikan oleh bidan,
riwayat minum jamu (-). Saat usia kehamilan 7 bulan pasien menderita
hipertensi dan diberi obat anti hipertensi, diminum 1x1 selama 1 bulan.

Natal: Anak kedua, SC, UK 9 bulan, BBL 2500 gram.


Postnatal: Menangis spontan, pucat (-), ikterus (-), sianosis (-), kejang
(-), gangguan minum (-).
7. Riwayat Gizi
Sebelum sakit: makan sehari 3x, nasi porsi centong, tidak suka sayur
hanya wortel, ikan, telur, tahu, tempe, susu tiap hari.
Saat sakit: susah makan, jadwal dan jenis makanan tetap namun hanya
beberapa suap saja.
8. Riwayat Imunisasi (Puskesmas)
BCG usia 1 bulan
Hepatitis B

I. 0 bulan

II. 1 bulan

III. 6 bulan

DPT

I. 2 bulan

II. 4 bulan

III. 6 bulan

Polio

I. 0 bulan

II. 2 bulan

III. 4 bulan

IV. 6

bulan
Campak usia 9 bulan
Imunisasi lain: tifoid (-)
9. Riwayat Tumbuh Kembang
Berbicara usia 1 tahun 2 bulan
Berjalan usia 1 tahun 5 bulan
Perbandingan pertumbuhan dengan saudaranya sesuai
10. Riwayat Kepribadian
Sebelum sakit anak tampak aktif dirumah. Aktif bermain dan
berbicara.
Hubungan dengan saudaranya baik.
1.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Lemah
GCS

: 4-5-6

Kesadaran

: Compos mentis

Vital sign
N

: 100 x/menit, kuat, reguler

RR

: 26 x/menit, spontan, reguler

: 36,70 C

Status Gizi (menggunakan Z-score)


BB = 22 kg
TB = 128 cm
IMT/U = antara -2 SD s/d -1 SD
Status gizi normal
Status Generalis

Kepala/Leher
A/I/C/D: -/-/-/Bentuk kepala : Normal
Mata

: Pupil bulat isokor +/+, reflek cahaya +/+, mata


cowong -/-

Hidung

: Pernapasan cuping hidung (-), deviasi septum (-),


rinore (-)

Mulut

: bibir kering (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-),


faring hiperemis (-)

Telinga

: Nyeri tarik aurikula (-), otore -/-

Leher

: Deviasi trachea: (-), pembesaran kelenjar getah


bening (-), kaku kuduk (-)

Thorax
Pulmo: I: normochest, dada simetris, retraksi -/P: gerak dada simetris
P: sonor +/+
A: vesikuler/vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/Cor

I: ictus cordis tidak tampak


P: ictus cordis tidak kuat angkat, thrill (-)
P: batas jantung kesan normal
A: S1S2 tunggal, reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen
I : flat, massa (-)
A : bising usus (+) normal
P : supel, nyeri tekan (-), H/L just palpable, turgor kulit kembali
normal

P : meteorismus (+), shifting dullness (-)

Ekstremitas
Akral hangat

Edem

CRT < 2 detik

Genitalia: dbn

Status Neurologis

Meningeal sign (-)

Reflek fisiologis

BPR/TPR

: +2/+2

KPR/APR

: +2/+2

Reflek patologis Ch -/-, Bb -/-

Sensorik: dalam batas normal

Motorik: dalam batas normal

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium:
14 Desember 2016
Hb: 12,4 g/dl

15 Desember 2016
HGB 12,4 g/dl

Leukosit: 15.060 /mm

RBC 4,95 10^6/uL

Trombosit: 299.000 /mm3

HCT 36,1 %

Hematokrit: 36,1 %

MCV 72,9 fL

Kalium: 3,9 mmol/L

MCH 25,1 pg

Natrium: 130 mmol/L

MCHC 34,3 g/dL

Chlorida: 94 mmol/L

RDW-SD 36,7 fL

Widal: S. Typhi O (-)

RDW-CV 14,1 %

S. Typhi H (-)

WBC 15.06 10^3/uL

S. Paratyphi A-H (-)

EO 0,0 %

S. Paratyphi B-H (-)

BASO 0,4 %
NEUT 37,7 %
LYMPH 56,8 %
MONO 5,1 %

16 Desember 2016

16 Desember 2016

Bj plasma 1,015

IgM Anti Salmonella positif

pH 6,0

CRP kuantitatif 148,5 mg/L

Nitrit (-)
Protein 25 mg/dl (1+)
Glukosa normal
Keton negatif
Urobilin normal
Bilirubin (-)
Sedimen ery 0-1
Leu 0-1
Cylind (-)
Epithel 0-1
Bact (-)
Cryst (-)
Lain-lain (-)
1.5 Resume
An.R/7 tahun 2 bulan/BB 22kg, dengan status gizi baik, datang dengan
panas 7 hari (t: 38-39C), sudah diberi obat keluhan tidak membaik. Batuk
berdahak 6 hari. 5 hari sesudah panas terdapat keluhan muntah, mencret, nyeri
kepala dan nyeri perut kiri bawah. Tidak ada tanda perdarahan. Pemeriksan fisik
didapatkan palpasi H/L just palpable, perkusi meteorismus (+). Pemeriksaan
penunjang didapatkan leukositosis, limfositosis relatif, aneosinofilia, IgM anti
salmonella positif, CRP kuantitatif meningkat.
1.6 Problem List
- Febris > 7 hari

- Intake kurang

- Batuk berdahak

- H/L just palpable, meteorismus (+)

- muntah

- Leukositosis, aneosinofilia

- Mencret 1x

- IgM anti salmonella positif

- nyeri kepala

- CRP kuantitatif meningkat

- nyeri perut
1.7 Assesment

Diagnosis kerja : Demam tifoid + suspect sepsis


1.8 Planning
a. Diagnosis: kultur darah, feses lengkap
b. Terapi: - Tirah baring
- D5 NS: (10 x 100cc) + (10 x 50cc) + (2 x 20cc)= 1540 cc/24
jam
Tetesan infus: 1540 cc/24 jam= 21 tpm
- Paracetamol syrup: 10 - 15 mg/kg bb/x , syrup 120mg/5ml
22 kg x 10 mg= 220 mg, 22 kg x 15 mg= 330 mg
220 mg 330 mg
3 x II cth
- Ambroxol syrup: 1,2 1,6 mg/kgBB/hari, syrup 15 mg/5 ml
22 kg x 1,2= 26,4 mg, 22 kg x 1,6 mg= 35,2 mg
26,4 mg 35,2 mg
3 x cth
- Seftriaxone 80 mg/kgBB/hari, 1 gr/vial
22 kg x 80 mg = 1.750 mg/hari
1 vial diencerkan dalam 100 ml PZ kemudian di drip
1 x 1.750 mg
- Diet rendah serat
TKTP: 6 9 tahun = 80 90 kkal/kgBB
22 kg x 80 mg = 1.750 kkal/hari
c. Monitoring: - Keluhan pasien
- Vital sign
- Efek terapi obat
d. Edukasi:

-Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa pasien menderita


penyakit demam tifoid, penyakit ini disebabkan oleh karena
infeksi bakteri.
- Menjelaskan pemeriksaan penunjang yang dilakukan, terapi
yang diberikan.
- Menjelasakan bahwa prognosis pada penyakit ini baik jika
tidak terdapat komplikasi. Kemungkinan komplikasi seperti

perforasi usus atau perdarahan saluran cerna, defance


muscular positif, tifoid ensefalopati, pneumonia, syok septik.
1.9 Prognosis

Ad vitam

Ad functionam : dubia ad bonam

Ad sanatonam : dubia ad bonam

: dubia ad bonam

SOAP

20-12-2016
21-12-2016
S:
S:
- Batuk (+) jarang
- Batuk (+) jarang
- Muntah (-)
- Muntah (-)
- Pusing (-)
- Pusing (-)
- Nyeri perut (+)
- Nyeri perut (+)
- BAB (-), BAK normal
- BAB (+) normal, BAK normal
- Semalam suhu 38,7C
- Semalam suhu 38,0C
- Nafsu makan mulai membaik: - Nafsu makan membaik: nasi,
nasi, sayur, lauk, susu
sayur, lauk, susu
- Minum air putih banyak
- Minum air putih banyak
O
- KU: cukup
- GCS: 4-5-6
- Vital sign:
N: 120x/menit
RR: 40x/menit
t: 37,5C
K / L: a/i/c/d -/-/-/Bentuk kepala: normal, UUB
datar
Mata: PBI +/+, reflek cahaya +/+,
mata cowong -/Hidung: Pernapasan cuping
hidung (-), deviasi septum (-),
rinore (-)
Mulut: bibir kering (-), lidah kotor
(-), gusi berdarah (-), faring
hiperemis (-)
Telinga: nyeri tarik aurikula (-),
serumen -/-, otore -/Leher: Deviasi trachea: (-),
pembesaran KGB: (-), kaku kuduk
(-)
Pemeriksaan Thoraks:
Pulmo:
I: normochest, dada simetris,
retraksi -/P: gerak dada simetris, fremitus
taktil simetris
P: sonor +/+
A: ves/ves, rh -/-, wh -/Cor:
I: ictus cordis tidak tampak,
voussure cardiac (-)
P: ictus cordis tidak kuat angkat,
thrill (-)

O
- KU: cukup
- GCS: 4-5-6
- Vital sign:
N: 120x/menit
RR: 40x/menit
t: 37,3C
K / L: a/i/c/d -/-/-/Bentuk kepala: normal, UUB datar
Mata: PBI +/+, reflek cahaya +/+,
mata cowong -/Hidung: Pernapasan cuping hidung
(-), deviasi septum (-), rinore (-)
Mulut: bibir kering (-), lidah kotor
(-), gusi berdarah (-), faring
hiperemis (-)
Telinga: nyeri tarik aurikula (-),
serumen -/-, otore -/Leher: Deviasi trachea: (-),
pembesaran KGB: (-), kaku kuduk
(-)
Pemeriksaan Thoraks:
Pulmo:
I: normochest, dada simetris,
retraksi -/P: gerak dada simetris, fremitus
taktil simetris
P: sonor +/+
A: ves/ves, rh -/-, wh -/Cor:
I: ictus cordis tidak tampak,
voussure cardiac (-)
P: ictus cordis tidak kuat angkat,
thrill (-)
P: batas jantung kesan normal
A: S1S2 tunggal, reguler, gallop

P: batas jantung kesan normal


A: S1S2 tunggal, reguler, gallop
(-), murmur (-)
Abdomen
I: Cembung
A : bising usus (+) normal
P : supel, nyeri tekan (-), H/L
tidak teraba
P : meteorismus (+)
Ekstremitas
Akral hangat +/+
Edema
-/CRT < 2 detik
Genitalia
Hiperemis (-), sekret (-), phimosis
(-)

(-), murmur (-)


Abdomen
I: Cembung
A : bising usus (+) normal
P : supel, nyeri tekan (-), H/L tidak
teraba
P : meteorismus (-)
Ekstremitas
Akral hangat +/+
Edema
-/CRT < 2 detik
Genitalia
Hiperemis (-), sekret (-), phimosis
(-)

A: Demam Tifoid + suspect sepsis

P:
Dx: Tx: - Dilanjutkan
Mx:
Keluhan pasien
Tanda vital
Efek terapi dan efek samping
terapi

P:
Dx: Tx: - Dilanjutkan
Mx:
Keluhan pasien
Tanda vital
Efek terapi dan efek samping
terapi

A: Demam Tifoid + suspect sepsis

22-12-2016

10

S:
- Batuk (-)
- Muntah (-)
- Pusing (-)
- Nyeri perut (-)
- BAB (-), BAK normal
- Semalam suhu 36,8C
- Nafsu makan mulai membaik:
nasi, sayur, lauk, susu
- Minum air putih > 600 ml
O
- KU: cukup
- GCS: 4-5-6
- Vital sign:
N: 120x/menit
RR: 40x/menit
t: 36,8C
K / L: a/i/c/d -/-/-/Bentuk kepala: normal, UUB
datar
Mata: PBI +/+, reflek cahaya +/+,
mata cowong -/Hidung: Pernapasan cuping
hidung (-), deviasi septum (-),
rinore (-)
Mulut: bibir kering (-), lidah kotor
(-), gusi berdarah (-), faring
hiperemis (-)
Telinga: nyeri tarik aurikula (-),
serumen -/-, otore -/Leher: Deviasi trachea: (-),
pembesaran KGB: (-), kaku kuduk
(-)
Pemeriksaan Thoraks:
Pulmo:
I: normochest, dada simetris,
retraksi -/P: gerak dada simetris, fremitus
taktil simetris
P: sonor +/+
A: ves/ves, rh -/-, wh -/Cor:
I: ictus cordis tidak tampak,
voussure cardiac (-)
P: ictus cordis tidak kuat angkat,
thrill (-)
P: batas jantung kesan normal

11

A: S1S2 tunggal, reguler, gallop


(-), murmur (-)
Abdomen
I: Cembung
A : bising usus (+) normal
P : supel, nyeri tekan (-), H/L
tidak teraba
P : meteorismus (-)
Ekstremitas
Akral hangat +/+
Edema
-/CRT < 2 detik
Genitalia
Hiperemis (-), sekret (-), phimosis
(-)
A: Demam Tifoid + suspect sepsis
P:
Dx: Tx: - Acc KRS
- Paracetamol sirup 3 x 240
mg p.r.n

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

12

2.1 Demam Tifoid


2.1.1 Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang
disebabkan

oleh

Salmonella

typhi.

Penyakit

ini

ditandai

oleh

panas

berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur


endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel
fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyers patch.1
2.1.2 Epidemiologi
Data WHO (World Health Organisation) memperkirakan angka insidensi
di seluruh dunia terdapat sekitar 17 juta per tahun dengan 600.000 orang
meninggal karena demam tifoid dan 70% kematiannya terjadi di Asia. Di
Indonesia sendiri, penyakit ini bersifat endemik. Menurut WHO 2008, penderita
dengan demam tifoid di Indonesia tercatat 81,7 per 100.000. 2 Berdasarkan Profil
Kesehatan Indonesia tahun 2010 penderita demam tifoid dan paratifoid yang
dirawat inap di Rumah Sakit sebanyak 41.081 kasus dan 279 diantaranya
meninggal dunia (Depkes RI, 2010).3
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai
natural

reservoir).

Manusia

yang

terinfeksi

Salmonella

typhi

dapat

mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka
waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia
dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam air, es, debu, atau
kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat
hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan
klorinasi dan pasteurisasi (temp 63C).1
Terjadinya penularan Salmonella

typhi

sebagian

besar

melalui

minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau
pembawa kuman, biasanya keluar bersama sama dengan tinja (melalui rute oral
fekal = jalurr oro-fekal).1
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi orofekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada
bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.1

13

2.1.3 Etiologi
Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid disebabkan S.
typhi, sisanya disebabkan oleh S.paratyphi.4 Salmonella typhi sama dengan
Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak
berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen
somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari
protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari
dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh
plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1

Gambar 2.1 Mikroskopik Salmonella Typhi


2.1.4 Patogenesis1
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti
ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2)
bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus
limfatikus mesenterika, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial
3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas
membran usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal.
a. Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh
Bakteri salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk kedalam
tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH <

14

2) banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria,


gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor
pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis
infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus,
bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan
menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan yeyunum. Sel-sel M, sel epitel
khusus yang melapisi peyers patch, merupakan tempat internalisasi
salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran
ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik
sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami
multiplikasi didalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar
limfe mesenterika, hati dan limfe.
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya
ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka
salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus
masuk kedalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai
organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh salmonella typhi adalah
hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan peyers patch dari ileum
terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah
atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat
menginvasi uang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.
b. Peran Endotoksin
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita
melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi
menstimulasi makrofag didalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan
kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain.
Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem
vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada
darah dan juga menstimulasi sistem imunologik.
c. Respons Imunologik
pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun selular baik

15

ditingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana


mekasime imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi
tehadap salmonella typhi tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa
imunitas selular lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada
pasien sakit berat dengan demam tifoid. Kerier memperlihatkan gangguan
reaktivitas selular terhadap antigen salmonella ser.typhi pada uji hambatan
migrasi lekosit. Pada karier, sejumlah besar basil virulen melewati usus tiap
harinya dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa memasuki epitel pejamu.
2.1.5 Manifestasi Klinis1
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan ratarata antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala
klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat
sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur salmonela,
status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya.
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal
penyakit. Pada era pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan
demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder
temperatur chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian naik
secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu
pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam
turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti
kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua
pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam
hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada
kasus demam tifoid dapat disertai gejala saraf pusat, seperti kesadaran berkabut
atau delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai
koma.
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri
kepala, malaise, anoreksisa, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan.
Pada kasus yang berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak
toksisk/sakit berat. Bahkan dapat juga dijumpai penderita demam tifoid yang
datang dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan

16

makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi.


Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul periode
diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi
dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai meteorismus, berbeda dengan buku
bacaan berat pada anak Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali
dibandingkan splenomegali.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1-5 mm, seringkali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas
dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada
anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.
Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid sehingga buku ajar lama bahkan
menganggap sebagai bagian dari penyakit demam tifoid. Bradikardi relatif jarang
dijumpai pada anak.
2.1.6 Diagnosis
a. Anamnesis4
- Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir
minggu pertama, minggu kedua damam terus menerus tinggi
- Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala,
nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung
- Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan
ikterus
b. Pemeriksaan Fisik4
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu
dibagian tengah kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali
lebih sering dijumpai daripada splenomegali. Kadang-kadang terdengar ronki
pada pemerikaan paru.

c.

Pemeriksaan Penunjang5
Sampai saat ini, baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan

biakan empedu walaupun hanya 40%-60% kasus biakan positif, terutama pada

17

awal perjalanan penyakit. Biakan spesimen tinja dan urin menjadi positif setelah
akhir minggu pertama infeksi, namun sensitivitasnya lebih rendah. Di negara
berkembang, ketersediaan dan penggunaan antibiotik secara luas, menyebabkan
sensitivitas biakan darah menjadi rendah. Biakan sumsum tulang lebih sensitif,
namun sulit dilakukan dalam praktek, invasif, dan kurang digunakan untuk
kesehatan masyarakat.
1. Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung
leukosit yang rendah sering berhubungan dengan demam dan toksisitas
penyakit, namun kisaran jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak yang lebih
muda leukositosis bisa mencapai 20.000-25.000/mm3. Trombositopenia
dapat merupakan marker penyakit berat dan disertai dengan koagulasi
intravaskular diseminata. Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah, namun
gangguan hati yang bermakna jarang ditemukan. Dapat juga ditemukan
leukopenia dan aneosinofilia.6
2. Pemeriksaan widal
Pemeriksaan widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H S.
typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan widal
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dan penggunaannya
sebagai satu-satunya pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat
mengakibatkan overdiagnosis. Kadar aglutinin tersebut diukur dengan
menggunakan pengenceran serum berulang. Pada umumnya antibodi O
meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal
penyakit.
Interpretasi pemeriksaan widal harus dilakukan secara hati-hati karena
beberapa faktor mempengaruhi hasilnya, antara lain stadium penyakit,
pemberian antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas penyakit tifoid,
gambaran imunologi masyarakat setempat, dan riwayat imunisasi demam
tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah tergantung kualitas antigen
yang digunakan bahkan dapat memberikan hasil negatif pada 30% sampel
biakan positif demam tifoid.
Pemeriksaan widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%, dan

18

nilai prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat
terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella,
enterobacteriaceae, pemeriksaan dilakukan di daerah endemis infeksi
dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan preparat antigen
komersial yang bervariasi serta standarisasi yang kurang baik.
Pemeriksaan widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga
kenaikan 4 kali, terutama aglutinin O memiliki nilai diagnostik yang
penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat berbeda
dari >1/806 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung endemisitas
demam tifoid di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan terakhir
tidak mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid.
Pemeriksaan widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti
penting dan sebaiknya dihindari oleh karena beberapa alasan, yaitu
variabilitas alat pemeriksaan, kesulitan memperoleh titer dasar dengan
kondisi stabil, paparan berulang S.typhi di daerah endemis, reaksi silang
terhadap

non-Salmonella

lain,

dan

kurangnya

kemampuan

reprodusibilitas hasil pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan serologi untuk


aglutinin Salmonella seperti pemeriksaan widal bahkan tidak dianjurkan.
3. Pemeriksaan serologi terhadap spesimen darah
Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot atau Tubex
yang mendeteksi antibodi IgM antigen spesifik O9 lipopolisakarida S.
typhi. Dalam dua dekade ini, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik
terhadap antigen S. typhi berdasarkan enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA) berkembang.
Antigen dipisahkan dari berbagai struktur subselular organisme antara
lain: liposakarida (LPS), outer membrane protein (OMP), flagella (d-H),
dan kapsul (virulence [Vi] antigen). Telah banyak penelitian yang
membuktikan

bahwa

pemeriksaan

ini

memiliki

sensitivitas

dan

spesifisitas hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan biakan darah
positif S. typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadap antigen O9
lipopolisakarida S.typhi (Tubex)R dan IgM terhadap S.typhi (Typhidot)R
memiliki sensitivitas dan spesifitas berkisar 70% dan 80%.

19

Pemeriksaan serologi tersebut dapat dibaca secara visual dalam waktu 10


menit dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna
dan nilai > 6 dianggap sebagai positif kuat. Namun interpretasi hasil
serologi yang positif harus dilakukan secara hati-hati pada kasus
tersangka demam tifoid di daerah endemis karena IgM dapat bertahan
sampai 3 bulan, sedangkan IgG sampai 6 bulan.
Tabel 2.1 Perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid5

4. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi hanya
membutuhkan waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang
tinggi sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa
yang membutuhkan waktu 5-7 hari In-flagelin PCR terhadap S. typhi
memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%. Pemeriksaan nested
polymerase chain reaction (PCR) menggunakan primer H1-d dapat
digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah pasien

20

dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang menjanjikan.


Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari S. typhi dapat
dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari spesimen darah
20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68.1%).
5. Pemeriksaan serologi dari spesimen urin
Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik antigen 9 grup
D Salmonella dari spesimen urin pada satu kali pemeriksaan memiliki
sensitivitas 65%, namun pemeriksaan urin secara serial menunjukkan
sensitivitas 95%. Pemeriksaan ELISA menggunakan antibodi monoklonal
terhadap antigen 9 somatik (O9),antigen d flagella (d-H), dan antigen
virulensi kapsul (Vi) pada spesimen urin memiliki sensitivitas tertinggi
pada akhir minggu pertama, yaitu terhadap ketiga antigen Vi terdeteksi
pada 9 kasus (100%), O9 pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4kasus (44%).
Spesifisitas untuk Vi lebih dari 90% sehingga deteksi antigen Vi pada urin
menjanjkan untuk menunjang diagnosis demam tifoid, terutama dalam
minggu pertama sejak timbulnya demam.
6. Pemeriksaan antibodi IgA dari spesimen saliva
Pemeriksaan

diagnostik

yang

mendeteksi

antibodi

IgA

dari

lipopolisakarida S. typhi dari spesimen saliva memberikan hasil positif


pada 33/37 (89,2%) kasus demam tifoid. Pemeriksaan ELISA ini
menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%, 100%, 9,1% dan 0% pada
minggu pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima perjalanan penyakit
demam tifoid.
2.1.7 Diagnosis Banding1
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang
secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis,
bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme intraselular seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik,
bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam
tifoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat sebagai
diagnosis banding.
2.1.8 Penatalaksanaan

21

Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah
baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta
pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit
agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan
timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama.1
Indikasi rawat : Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.4
a. Cairan dan kalori
-

Terutama pada demam tinggi, muntah, atau diare, bila perlu asupan
cairan dan kalori diberikan melalui sonde lambung

Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5


kebutuhan dengan kadar natrium rendah

Penuhi kebuhan volume cairan intravaskular dan jaringan

Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik

Pertahankan oksigenasi jaringan,bila perlu berikan O2

Pelihara keadaan nutrisi

Pengobatan gangguan asam basa

b. Antipiretik, diberikan apabila demam > 39C, kecuali pada pasien dengan
riwayat kejang demam dapat diberikan lebih awal
c. Diet
-

Makanan tidak berserat dan mudah dicerna


Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat
dengan kalori cukup

d. Transfusi darah: kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna


dan perforasi usus
1.

Antibiotik4
-

Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral atau IV, dibagi


dalam 4 dosis selama 10-14 hari

Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau IV, selama 10 hari

Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama 10 hari

Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, IV atau IM, sekali sehari, selama 5 hari

Sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 3 dosis hingga kesadaran


membaik

22

2.

Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran4


Deksametason 1-3 mg/kgbb/hari, IV, dibagi 3 dosis hingga kesadaran
membaik

3.

Bedah4
Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus

Pemantauan4
a. Terapi
-

Evaluasi demam dengan memonitor suhu. Apabila pada hari ke 4-5


setelah pengobatan demam tidak reda, maka segera kembali dievaluasi
adakah komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi S.typhi terhadap
antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan diagnosis

Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa


antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan, dan tidak dijumpai
komplikasi. Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah.

b. Penyulit
-

Intraintestinal: perforasi usus atau perdarahan saluran cerna, suhu


menurun, nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus
menurun sampai hilang, defance mucular positif, dan pekak hati
menghilang

Ekstraintestinal:

tifoid

ensefalopati,

hepatitis

tifosa,

meningitis,

pneumona, syok septik, pielonefritis, endokarditis, osteomielitis dll.


2.1.9 Prognosis1
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia,
keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju,
dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1 %. Di negara
berkembang, angka mortalitasnya > 10 %, biasanya karena keterlambatan
diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi
gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.
typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi
karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi

23

pada 1-5 % dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris
lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum. Walaupun
karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutaa pada
individu dengan skistosomiasis.
2.1.10 Pencegahan1
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang
mereka konsumsi. Salmonella typhi didalam air akan mati apabila dipanasi
setinggi 57C untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan
secara merata juga dapat mematikan kuman salmonella typhi. Penurunan
endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan
sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu
terhadap hygine pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka
kejadian demam tifoid.
-

Vaksin Demam Tifoid


Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu
yang berisi kuman dimatikan yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi
dari salmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman salmonella typhi, S.paratyphi
B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara
pemberian suntikan subkutan; namun vaksin ini hanya memberikan daya
kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan
yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman salmonella typhi hidup yang
dilemahkan (Ty-21a) diberikan peroral tiga kali dengan interval pemberian
selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan
pada anak berumur diatas 2 tahun. Pada penelitian di lapangan didapat hasil
efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit.
Vaksin yang berisi komponen Vi dari salmonella typhi diberikan secara
suntikan intramuskular memberikan perlindugan 60-70% selama 3 tahun.
BAB 3
PEMBAHASAN
Kasus

Teori

24

An.R, usia 7 tahun 2 bulan


Panas sejak 7 hari SMRS meningkat
malam hari
Nyeri kepala
Muntah
Mencret
Nyeri perut
Radang tenggorokan

Pemeriksaan fisik:
- H/L teraba tidak membesar
- Meteorismus (+)

25

Demam tifoid adalah suatu penyakit


sistemik
bersifat
akut
yang
disebabkan oleh Salmonella typhi.
Penyakit ini ditandai oleh panas
berkepanjangan, ditopang dengan
bakteremia
tanpa
keterlibatan
struktur endotelial atau endokardial
dan
invasi
bakteri
sekaligus
multiplikasi ke dalam sel fagosit
mononuklear dari hati, limpa,
kelenjar limfe usus, dan Peyers
patch.1
Penampilan demam pada kasus
demam tifoid mempunyai istilah
khusus yaitu step-ladder temperatur
chart yang ditandai dengan demam
timbul insidius, kemudian naik
secara bertahap tiap harinya dan
mencapai titik tertinggi pada akhir
minggu pertama, setelah itu demam
akan bertahan tinggi.1 Demam naik
secara bertahap tiap hari, mencapai
suhu tertinggi pada akhir minggu
pertama, minggu kedua damam terus
menerus tinggi.4
Gejala sistemik lain yang menyertai
timbulnya demam adalah nyeri
kepala, malaise, anoreksia, nausea,
mialgia, nyeri perut dan radang
tenggorokan. Gejala gastrointestinal
pada kasus demam tifoid sangat
bervariasi. Pasien dapat mengeluh
diare, obstipasi, atau obstipasi
kemudian disusul periode diare.1
Anak sering mengigau (delirium),
malaise, letargi, anoreksia, nyeri
kepala, nyeri perut, diare atau
konstipasi, muntah, perut kembung.4
Gejala klinis bervariasi dari yang
ringan
sampai
berat
dengan
komplikasi. Kesadaran menurun,
delirium, sebagian besar anak
mempunyai lidah tifoid yaitu
dibagian tengah kotor dan bagian
pinggir hiperemis, meteorismus,
hepatomegali lebih sering dijumpai
daripada splenomegali. Kadangkadang terdengar ronki pada

Pemeriksaan penunjang:
Leukositosis,
- Hematologi:
aneosinofilia
- Widal: S.Typhi negatif
- Serologi spesimen darah: IgM anti
salmonella positif

Terapi:
D5 NS 1540cc/24 jam
- Paracetamol syr 3 x 240 mg
- Seftriaxone 1 x 1.750 mg

26

pemerikaan paru.4
Pemeriksaan
hematologi
untuk
demam tifoid tidak spesifik. Hitung
leukosit
yang
rendah
sering
berhubungan dengan demam dan
toksisitas penyakit, namun kisaran
jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak
yang lebih muda leukositosis bisa
mencapai
20.000-25.000/mm3.5
Dapat juga ditemukan leukopenia
dan aneosinofilia.6
Pemeriksaan widal mengukur kadar
antibodi terhadap antigen O dan H
S.typhi. Pemeriksaan widal memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang
rendah dan penggunaannya sebagai
satu-satunya pemeriksaan penunjang
di
daerah
endemis
dapat
mengakibatkan
overdiagnosis.
Sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%,
dan nilai prediksi positif 80%. Hasil
pemeriksaan Widal positif palsu
dapat terjadi oleh karena reaksi
silang
dengan
non-typhoidal
Salmonella,
enterobacteriaceae,
pemeriksaan dilakukan di daerah
endemis infeksi dengue dan malaria,
riwayat imunisasi tifoid, dan
preparat antigen komersial yang
bervariasi serta standarisasi yang
kurang baik. Pada umumnya
antibodi O meningkat di hari ke-6-8
dan antibodi H hari ke 10-12 sejak
awal penyakit.5
Pemeriksaan diagnostik baru saat ini
tersedia, seperti Typhidot atau Tubex
yang mendeteksi antibodi IgM
antigen spesifik O9 lipopolisakarida
S. typhi. Telah banyak penelitian
yang
membuktikan
bahwa
pemeriksaan ini memiliki sensitivitas
dan spesifisitas hampir 100% pada
pasien demam tifoid dengan biakan
darah positif S. typhi.5
Sebagian besar pasien demam tifoid
dapat diobati di rumah dengan tirah
baring, isolasi yang memadai,
pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi

Ambroxol syr 3 x 10 mg
Diet rendah serat, TKTP 1.750
kkal/hari

Monitoring:
- Keluhan pasien
- Vital sign
- Efek terapi obat

Prognosis:
Ad vitam: Dubia ad bonam
Ad functionam: Dubia ad bonam
Ad sanatonam: Dubia ad bonam

27

serta
pemberian
antibiotik.
Sedangkan untuk kasus berat harus
dirawat di rumah sakit agar
pemenuhan cairan, elektrolit serta
nutrisi
disamping
observasi
kemungkinan timbul penyulit dapat
dilakukan dengan seksama.1
Cairan dan kalori: terutama pada
demam tinggi, muntah atau diare,
bila perlu asupan cairan dan kalori
diberikan melalui sonde lambung4
Antipiretik:
diberikan
apabila
demam > 39C, kecuali pada pasien
riwayat kejang demam dapat
diberikan lebih awal.4
Diet: makanan tidak diserap dan
mudah dicerna, setelah demam reda,
dapat diberikan makanan lebih padat
dengan kalori cukup.4
Antibiotik: Kloramfenikol (drug
of choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral
atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama
10-14 hari. Second line seftriaxone
80 mg/kgBB/hari IV atau IM, sekali
sehari selama 5 hari.4
Pemantauan terapi: Evaluasi demam
dengan memonitor suhu. Apabila
pada hari ke 4-5 setelah pengobatan
demam tidak reda, maka segera
kembali
dievaluasi
adakah
komplikasi, sumber infeksi lain,
resistensi S.typhi terhadap antibiotik,
atau
kemungkinan
salah
4
menegakkan diagnosis.
Pasien dapat dipulangkan apabila
tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik,
klinis perbaikan, dan tidak dijumpai
komplikasi.
Pengobatan
dapat
dilanjutkan di rumah.4
Prognosis pasien demam tifoid
tergantung ketepatan terapi, usia,
keadaan kesehatan sebelumnya, dan
ada tidaknya komplikasi. Di negara
maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di
negara
berkembang,
angka
mortalitasnya
>10%,
biasanya

karena keterlambatan diagnosis,


perawatan,
dan
pengobatan.
Munculnya
komplikasi,
seperti
perforasi
gastrointestinal
atau
perdarahan
hebat,
meningitis,
endokarditis,
dan
pneumonia,
mengakibatkan
morbiditas
dan
1
mortalitas yang tinggi.

BAB 4
KESIMPULAN
An.R/7 tahun 2 bulan/BB 22kg, dengan status gizi baik, datang dengan
keluhan panas, panas 7 hari (t: 38-39C), sudah diberi obat keluhan tidak

28

membaik. Batuk berdahak 6 hari. 5 hari sesudah panas terdapat keluhan muntah,
mencret, nyeri kepala dan nyeri perut kiri bawah. Tidak ada tanda perdarahan.
Sebelum sakit pasien habis jajan minuman es dipinggir jalan dan mie kering.
Belakang rumah pasien terdapat sungai yang mampet dan banyak tumpukan
sampah. Riwayat bepergian keluar kota (-). Pemeriksaan fisik didapatkan palpasi
H/L just palpable, perkusi meteorismus (+). Pemeriksaan penunjang didapatkan
leukositosis, limfositosis relatif, aneosinofilia, IgM anti salmonella positif, CRP
kuantitatif meningkat.
Diagnosis pada pasien ini adalah demam tifoid dan suspect sepsis, karena
dari gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sudah sesuai.
Pasien diterapi antipiretik selama demam dan juga antibiotik. Tetap dimonitoring
keluhan pasien, vital sign, dan efek terapi yang diberikan. Edukasi mengenai
diagnosis, penyebab penyakit, semua tindakan yang dikerjakan. Untuk prognosis
pada pasien ini adalah baik.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Buku ajar infeksi & pediatri
tropis. Edisi 2. Jakarta: IDAI. 2008. Hal. 338-45.

29

2.

Depkes RI. ( 2013). Sistematika Pedoman Pengendalian Penyakit Demam


Tifoid. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit & Penyehatan

3.

Lingkungan
Depkes RI. (2010). Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta: Departemen

4.

Kesehatan Republik Indonesia.


Pudjiadi AH., Hegar, Badriul., Handryastuti S., dkk. Demam Tifoid.

5.

Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Badan Penernit IDAI. 2009. Hal. 47-50.
Karyanti, Mulya R. Pemeriksaan Diagnostik Terkini untuk Demam Tifoid.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan LXIII Update Management of
Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders. Jakarta: Departemen Ilmu

6.

Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2012. Hal. 1-8.


Darmowandowo, Widodo.,Kaspan MF. Demam Tifoid. Pedoman Diagnosis
dan Terapi BAG/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Edisi III. Surabaya: FK Unair.
2008. Hal. 98-101.

30

Anda mungkin juga menyukai

  • Morning Report 5 Mei 2017
    Morning Report 5 Mei 2017
    Dokumen14 halaman
    Morning Report 5 Mei 2017
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Pomr KPP 04-04-2017
    Pomr KPP 04-04-2017
    Dokumen4 halaman
    Pomr KPP 04-04-2017
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Resume KPP 04-04-2017
    Resume KPP 04-04-2017
    Dokumen2 halaman
    Resume KPP 04-04-2017
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Tonsilitis Kronis
    Tonsilitis Kronis
    Dokumen25 halaman
    Tonsilitis Kronis
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • DD Tinea Korporis
    DD Tinea Korporis
    Dokumen4 halaman
    DD Tinea Korporis
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Demam Berdarah
    Demam Berdarah
    Dokumen42 halaman
    Demam Berdarah
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen2 halaman
    Bab 2
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen19 halaman
    Bab 1
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen1 halaman
    Bab 1
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Responsi Fatin
    Responsi Fatin
    Dokumen73 halaman
    Responsi Fatin
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Dehidrasi Dan Syok
    Dehidrasi Dan Syok
    Dokumen4 halaman
    Dehidrasi Dan Syok
    Billy Shan LastKagerooboro
    0% (1)
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen5 halaman
    Bab 1
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen20 halaman
    Bab 2
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Glukoma Dan Katarak
    Glukoma Dan Katarak
    Dokumen33 halaman
    Glukoma Dan Katarak
    Azilu Fala
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    Will Dan
    Belum ada peringkat
  • Lembar Pengesahan
    Lembar Pengesahan
    Dokumen1 halaman
    Lembar Pengesahan
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Daftar Obat PDF
    Daftar Obat PDF
    Dokumen1 halaman
    Daftar Obat PDF
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Bab I - III Responsi Katarak Azilu
    Bab I - III Responsi Katarak Azilu
    Dokumen41 halaman
    Bab I - III Responsi Katarak Azilu
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen7 halaman
    Cover
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen4 halaman
    Daftar Isi
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Radiologi
    Laporan Kasus Radiologi
    Dokumen8 halaman
    Laporan Kasus Radiologi
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Tumor Tasya
    Tumor Tasya
    Dokumen11 halaman
    Tumor Tasya
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Mata
    Mata
    Dokumen24 halaman
    Mata
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Referat Spondilitis TB
    Referat Spondilitis TB
    Dokumen28 halaman
    Referat Spondilitis TB
    Idza Fariha Afri
    Belum ada peringkat
  • Saraf Optik Atrofi
    Saraf Optik Atrofi
    Dokumen27 halaman
    Saraf Optik Atrofi
    Ivanlibrian Rubens Husandy
    Belum ada peringkat