LAPORAN KASUS
1.1 Identitas Pasien
Nama
: An. R
Umur
: 7 tahun 2 bulan
Jenis kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Suku bangsa
: Jawa
Alamat
MRS tanggal
: 14 Desember 2016
Tanggal pemeriksaan
: 19 Desember 2016
Nama Ibu
: Ny. N
Umur
: 43 tahun
Umur
: 34 tahun
Pekerjaan
: Swasta
Pekerjaan
Pendidikan
: SMA
Pendidikan : SMA
Agama
: Islam
Agama
Suku bangsa
: Jawa
: Islam
1.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama
: Panas
terutama tiap makan dan waktu malam hari. Muntah 5 hari sesudah panas,
sehari 3x, setiap muntah aqua gelas, isi cairan dan makanan, muntah
tiap makan, mual (-). Nafsu makan menurun, minum air mineral sehari
hanya sedikit (1 botol aqua 600 ml) dan pasien merasa lemas. Mencret 5
hari sesudah panas, mencret 1x, seberapa banyak pasien tidak tahu, cair
ada ampas, warna kuning, darah (-), lendir (-), bau amis (-). BAK sedikit
dan jarang. Keluhan bintik-bintik merah (-), mimisan (-), gusi berdarah
(-), riwayat pergi keluar kota (-), nyeri BAK (-), keluar cairan dari
telinga/nyeri telinga (-), pilek (-), sesak (-), nyeri telan (-), nyeri kepala
(+), nyeri perut kiri bawah (+) saat dibawa ke RS. Sebelum sakit pasien
habis jajan minuman es dipinggir jalan dan mie kering.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Belum pernah mengalami keluhan seperti ini
Riwayat kejang (-)
Riwayat DBD (-), riwayat demam tifoid (-)
Riwayat alergi makanan (-), alergi obat (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama
Riwayat DBD (-), riwayat demam tifoid (-)
Riwayat alergi makanan (-) obat (-)
5. Riwayat Sosial
I. 0 bulan
II. 1 bulan
III. 6 bulan
DPT
I. 2 bulan
II. 4 bulan
III. 6 bulan
Polio
I. 0 bulan
II. 2 bulan
III. 4 bulan
IV. 6
bulan
Campak usia 9 bulan
Imunisasi lain: tifoid (-)
9. Riwayat Tumbuh Kembang
Berbicara usia 1 tahun 2 bulan
Berjalan usia 1 tahun 5 bulan
Perbandingan pertumbuhan dengan saudaranya sesuai
10. Riwayat Kepribadian
Sebelum sakit anak tampak aktif dirumah. Aktif bermain dan
berbicara.
Hubungan dengan saudaranya baik.
1.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Lemah
GCS
: 4-5-6
Kesadaran
: Compos mentis
Vital sign
N
RR
: 36,70 C
Kepala/Leher
A/I/C/D: -/-/-/Bentuk kepala : Normal
Mata
Hidung
Mulut
Telinga
Leher
Thorax
Pulmo: I: normochest, dada simetris, retraksi -/P: gerak dada simetris
P: sonor +/+
A: vesikuler/vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/Cor
Abdomen
I : flat, massa (-)
A : bising usus (+) normal
P : supel, nyeri tekan (-), H/L just palpable, turgor kulit kembali
normal
Ekstremitas
Akral hangat
Edem
Genitalia: dbn
Status Neurologis
Reflek fisiologis
BPR/TPR
: +2/+2
KPR/APR
: +2/+2
15 Desember 2016
HGB 12,4 g/dl
HCT 36,1 %
Hematokrit: 36,1 %
MCV 72,9 fL
MCH 25,1 pg
Chlorida: 94 mmol/L
RDW-SD 36,7 fL
RDW-CV 14,1 %
S. Typhi H (-)
EO 0,0 %
BASO 0,4 %
NEUT 37,7 %
LYMPH 56,8 %
MONO 5,1 %
16 Desember 2016
16 Desember 2016
Bj plasma 1,015
pH 6,0
Nitrit (-)
Protein 25 mg/dl (1+)
Glukosa normal
Keton negatif
Urobilin normal
Bilirubin (-)
Sedimen ery 0-1
Leu 0-1
Cylind (-)
Epithel 0-1
Bact (-)
Cryst (-)
Lain-lain (-)
1.5 Resume
An.R/7 tahun 2 bulan/BB 22kg, dengan status gizi baik, datang dengan
panas 7 hari (t: 38-39C), sudah diberi obat keluhan tidak membaik. Batuk
berdahak 6 hari. 5 hari sesudah panas terdapat keluhan muntah, mencret, nyeri
kepala dan nyeri perut kiri bawah. Tidak ada tanda perdarahan. Pemeriksan fisik
didapatkan palpasi H/L just palpable, perkusi meteorismus (+). Pemeriksaan
penunjang didapatkan leukositosis, limfositosis relatif, aneosinofilia, IgM anti
salmonella positif, CRP kuantitatif meningkat.
1.6 Problem List
- Febris > 7 hari
- Intake kurang
- Batuk berdahak
- muntah
- Leukositosis, aneosinofilia
- Mencret 1x
- nyeri kepala
- nyeri perut
1.7 Assesment
Ad vitam
: dubia ad bonam
SOAP
20-12-2016
21-12-2016
S:
S:
- Batuk (+) jarang
- Batuk (+) jarang
- Muntah (-)
- Muntah (-)
- Pusing (-)
- Pusing (-)
- Nyeri perut (+)
- Nyeri perut (+)
- BAB (-), BAK normal
- BAB (+) normal, BAK normal
- Semalam suhu 38,7C
- Semalam suhu 38,0C
- Nafsu makan mulai membaik: - Nafsu makan membaik: nasi,
nasi, sayur, lauk, susu
sayur, lauk, susu
- Minum air putih banyak
- Minum air putih banyak
O
- KU: cukup
- GCS: 4-5-6
- Vital sign:
N: 120x/menit
RR: 40x/menit
t: 37,5C
K / L: a/i/c/d -/-/-/Bentuk kepala: normal, UUB
datar
Mata: PBI +/+, reflek cahaya +/+,
mata cowong -/Hidung: Pernapasan cuping
hidung (-), deviasi septum (-),
rinore (-)
Mulut: bibir kering (-), lidah kotor
(-), gusi berdarah (-), faring
hiperemis (-)
Telinga: nyeri tarik aurikula (-),
serumen -/-, otore -/Leher: Deviasi trachea: (-),
pembesaran KGB: (-), kaku kuduk
(-)
Pemeriksaan Thoraks:
Pulmo:
I: normochest, dada simetris,
retraksi -/P: gerak dada simetris, fremitus
taktil simetris
P: sonor +/+
A: ves/ves, rh -/-, wh -/Cor:
I: ictus cordis tidak tampak,
voussure cardiac (-)
P: ictus cordis tidak kuat angkat,
thrill (-)
O
- KU: cukup
- GCS: 4-5-6
- Vital sign:
N: 120x/menit
RR: 40x/menit
t: 37,3C
K / L: a/i/c/d -/-/-/Bentuk kepala: normal, UUB datar
Mata: PBI +/+, reflek cahaya +/+,
mata cowong -/Hidung: Pernapasan cuping hidung
(-), deviasi septum (-), rinore (-)
Mulut: bibir kering (-), lidah kotor
(-), gusi berdarah (-), faring
hiperemis (-)
Telinga: nyeri tarik aurikula (-),
serumen -/-, otore -/Leher: Deviasi trachea: (-),
pembesaran KGB: (-), kaku kuduk
(-)
Pemeriksaan Thoraks:
Pulmo:
I: normochest, dada simetris,
retraksi -/P: gerak dada simetris, fremitus
taktil simetris
P: sonor +/+
A: ves/ves, rh -/-, wh -/Cor:
I: ictus cordis tidak tampak,
voussure cardiac (-)
P: ictus cordis tidak kuat angkat,
thrill (-)
P: batas jantung kesan normal
A: S1S2 tunggal, reguler, gallop
P:
Dx: Tx: - Dilanjutkan
Mx:
Keluhan pasien
Tanda vital
Efek terapi dan efek samping
terapi
P:
Dx: Tx: - Dilanjutkan
Mx:
Keluhan pasien
Tanda vital
Efek terapi dan efek samping
terapi
22-12-2016
10
S:
- Batuk (-)
- Muntah (-)
- Pusing (-)
- Nyeri perut (-)
- BAB (-), BAK normal
- Semalam suhu 36,8C
- Nafsu makan mulai membaik:
nasi, sayur, lauk, susu
- Minum air putih > 600 ml
O
- KU: cukup
- GCS: 4-5-6
- Vital sign:
N: 120x/menit
RR: 40x/menit
t: 36,8C
K / L: a/i/c/d -/-/-/Bentuk kepala: normal, UUB
datar
Mata: PBI +/+, reflek cahaya +/+,
mata cowong -/Hidung: Pernapasan cuping
hidung (-), deviasi septum (-),
rinore (-)
Mulut: bibir kering (-), lidah kotor
(-), gusi berdarah (-), faring
hiperemis (-)
Telinga: nyeri tarik aurikula (-),
serumen -/-, otore -/Leher: Deviasi trachea: (-),
pembesaran KGB: (-), kaku kuduk
(-)
Pemeriksaan Thoraks:
Pulmo:
I: normochest, dada simetris,
retraksi -/P: gerak dada simetris, fremitus
taktil simetris
P: sonor +/+
A: ves/ves, rh -/-, wh -/Cor:
I: ictus cordis tidak tampak,
voussure cardiac (-)
P: ictus cordis tidak kuat angkat,
thrill (-)
P: batas jantung kesan normal
11
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
12
oleh
Salmonella
typhi.
Penyakit
ini
ditandai
oleh
panas
reservoir).
Manusia
yang
terinfeksi
Salmonella
typhi
dapat
mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka
waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia
dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam air, es, debu, atau
kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat
hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan
klorinasi dan pasteurisasi (temp 63C).1
Terjadinya penularan Salmonella
typhi
sebagian
besar
melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau
pembawa kuman, biasanya keluar bersama sama dengan tinja (melalui rute oral
fekal = jalurr oro-fekal).1
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi orofekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada
bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.1
13
2.1.3 Etiologi
Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid disebabkan S.
typhi, sisanya disebabkan oleh S.paratyphi.4 Salmonella typhi sama dengan
Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak
berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen
somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari
protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari
dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh
plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1
14
15
16
c.
Pemeriksaan Penunjang5
Sampai saat ini, baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan
biakan empedu walaupun hanya 40%-60% kasus biakan positif, terutama pada
17
awal perjalanan penyakit. Biakan spesimen tinja dan urin menjadi positif setelah
akhir minggu pertama infeksi, namun sensitivitasnya lebih rendah. Di negara
berkembang, ketersediaan dan penggunaan antibiotik secara luas, menyebabkan
sensitivitas biakan darah menjadi rendah. Biakan sumsum tulang lebih sensitif,
namun sulit dilakukan dalam praktek, invasif, dan kurang digunakan untuk
kesehatan masyarakat.
1. Pemeriksaan hematologi
Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung
leukosit yang rendah sering berhubungan dengan demam dan toksisitas
penyakit, namun kisaran jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak yang lebih
muda leukositosis bisa mencapai 20.000-25.000/mm3. Trombositopenia
dapat merupakan marker penyakit berat dan disertai dengan koagulasi
intravaskular diseminata. Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah, namun
gangguan hati yang bermakna jarang ditemukan. Dapat juga ditemukan
leukopenia dan aneosinofilia.6
2. Pemeriksaan widal
Pemeriksaan widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H S.
typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan widal
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dan penggunaannya
sebagai satu-satunya pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat
mengakibatkan overdiagnosis. Kadar aglutinin tersebut diukur dengan
menggunakan pengenceran serum berulang. Pada umumnya antibodi O
meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal
penyakit.
Interpretasi pemeriksaan widal harus dilakukan secara hati-hati karena
beberapa faktor mempengaruhi hasilnya, antara lain stadium penyakit,
pemberian antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas penyakit tifoid,
gambaran imunologi masyarakat setempat, dan riwayat imunisasi demam
tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah tergantung kualitas antigen
yang digunakan bahkan dapat memberikan hasil negatif pada 30% sampel
biakan positif demam tifoid.
Pemeriksaan widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%, dan
18
nilai prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat
terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella,
enterobacteriaceae, pemeriksaan dilakukan di daerah endemis infeksi
dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan preparat antigen
komersial yang bervariasi serta standarisasi yang kurang baik.
Pemeriksaan widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga
kenaikan 4 kali, terutama aglutinin O memiliki nilai diagnostik yang
penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat berbeda
dari >1/806 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung endemisitas
demam tifoid di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan terakhir
tidak mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid.
Pemeriksaan widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti
penting dan sebaiknya dihindari oleh karena beberapa alasan, yaitu
variabilitas alat pemeriksaan, kesulitan memperoleh titer dasar dengan
kondisi stabil, paparan berulang S.typhi di daerah endemis, reaksi silang
terhadap
non-Salmonella
lain,
dan
kurangnya
kemampuan
bahwa
pemeriksaan
ini
memiliki
sensitivitas
dan
spesifisitas hampir 100% pada pasien demam tifoid dengan biakan darah
positif S. typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadap antigen O9
lipopolisakarida S.typhi (Tubex)R dan IgM terhadap S.typhi (Typhidot)R
memiliki sensitivitas dan spesifitas berkisar 70% dan 80%.
19
4. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi hanya
membutuhkan waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang
tinggi sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa
yang membutuhkan waktu 5-7 hari In-flagelin PCR terhadap S. typhi
memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%. Pemeriksaan nested
polymerase chain reaction (PCR) menggunakan primer H1-d dapat
digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah pasien
20
diagnostik
yang
mendeteksi
antibodi
IgA
dari
21
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah
baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta
pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit
agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan
timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama.1
Indikasi rawat : Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.4
a. Cairan dan kalori
-
Terutama pada demam tinggi, muntah, atau diare, bila perlu asupan
cairan dan kalori diberikan melalui sonde lambung
b. Antipiretik, diberikan apabila demam > 39C, kecuali pada pasien dengan
riwayat kejang demam dapat diberikan lebih awal
c. Diet
-
Antibiotik4
-
22
2.
3.
Bedah4
Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus
Pemantauan4
a. Terapi
-
b. Penyulit
-
Ekstraintestinal:
tifoid
ensefalopati,
hepatitis
tifosa,
meningitis,
23
pada 1-5 % dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris
lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum. Walaupun
karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutaa pada
individu dengan skistosomiasis.
2.1.10 Pencegahan1
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang
mereka konsumsi. Salmonella typhi didalam air akan mati apabila dipanasi
setinggi 57C untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit dan
secara merata juga dapat mematikan kuman salmonella typhi. Penurunan
endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan
sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu
terhadap hygine pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka
kejadian demam tifoid.
-
Teori
24
Pemeriksaan fisik:
- H/L teraba tidak membesar
- Meteorismus (+)
25
Pemeriksaan penunjang:
Leukositosis,
- Hematologi:
aneosinofilia
- Widal: S.Typhi negatif
- Serologi spesimen darah: IgM anti
salmonella positif
Terapi:
D5 NS 1540cc/24 jam
- Paracetamol syr 3 x 240 mg
- Seftriaxone 1 x 1.750 mg
26
pemerikaan paru.4
Pemeriksaan
hematologi
untuk
demam tifoid tidak spesifik. Hitung
leukosit
yang
rendah
sering
berhubungan dengan demam dan
toksisitas penyakit, namun kisaran
jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak
yang lebih muda leukositosis bisa
mencapai
20.000-25.000/mm3.5
Dapat juga ditemukan leukopenia
dan aneosinofilia.6
Pemeriksaan widal mengukur kadar
antibodi terhadap antigen O dan H
S.typhi. Pemeriksaan widal memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang
rendah dan penggunaannya sebagai
satu-satunya pemeriksaan penunjang
di
daerah
endemis
dapat
mengakibatkan
overdiagnosis.
Sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%,
dan nilai prediksi positif 80%. Hasil
pemeriksaan Widal positif palsu
dapat terjadi oleh karena reaksi
silang
dengan
non-typhoidal
Salmonella,
enterobacteriaceae,
pemeriksaan dilakukan di daerah
endemis infeksi dengue dan malaria,
riwayat imunisasi tifoid, dan
preparat antigen komersial yang
bervariasi serta standarisasi yang
kurang baik. Pada umumnya
antibodi O meningkat di hari ke-6-8
dan antibodi H hari ke 10-12 sejak
awal penyakit.5
Pemeriksaan diagnostik baru saat ini
tersedia, seperti Typhidot atau Tubex
yang mendeteksi antibodi IgM
antigen spesifik O9 lipopolisakarida
S. typhi. Telah banyak penelitian
yang
membuktikan
bahwa
pemeriksaan ini memiliki sensitivitas
dan spesifisitas hampir 100% pada
pasien demam tifoid dengan biakan
darah positif S. typhi.5
Sebagian besar pasien demam tifoid
dapat diobati di rumah dengan tirah
baring, isolasi yang memadai,
pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi
Ambroxol syr 3 x 10 mg
Diet rendah serat, TKTP 1.750
kkal/hari
Monitoring:
- Keluhan pasien
- Vital sign
- Efek terapi obat
Prognosis:
Ad vitam: Dubia ad bonam
Ad functionam: Dubia ad bonam
Ad sanatonam: Dubia ad bonam
27
serta
pemberian
antibiotik.
Sedangkan untuk kasus berat harus
dirawat di rumah sakit agar
pemenuhan cairan, elektrolit serta
nutrisi
disamping
observasi
kemungkinan timbul penyulit dapat
dilakukan dengan seksama.1
Cairan dan kalori: terutama pada
demam tinggi, muntah atau diare,
bila perlu asupan cairan dan kalori
diberikan melalui sonde lambung4
Antipiretik:
diberikan
apabila
demam > 39C, kecuali pada pasien
riwayat kejang demam dapat
diberikan lebih awal.4
Diet: makanan tidak diserap dan
mudah dicerna, setelah demam reda,
dapat diberikan makanan lebih padat
dengan kalori cukup.4
Antibiotik: Kloramfenikol (drug
of choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral
atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama
10-14 hari. Second line seftriaxone
80 mg/kgBB/hari IV atau IM, sekali
sehari selama 5 hari.4
Pemantauan terapi: Evaluasi demam
dengan memonitor suhu. Apabila
pada hari ke 4-5 setelah pengobatan
demam tidak reda, maka segera
kembali
dievaluasi
adakah
komplikasi, sumber infeksi lain,
resistensi S.typhi terhadap antibiotik,
atau
kemungkinan
salah
4
menegakkan diagnosis.
Pasien dapat dipulangkan apabila
tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik,
klinis perbaikan, dan tidak dijumpai
komplikasi.
Pengobatan
dapat
dilanjutkan di rumah.4
Prognosis pasien demam tifoid
tergantung ketepatan terapi, usia,
keadaan kesehatan sebelumnya, dan
ada tidaknya komplikasi. Di negara
maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di
negara
berkembang,
angka
mortalitasnya
>10%,
biasanya
BAB 4
KESIMPULAN
An.R/7 tahun 2 bulan/BB 22kg, dengan status gizi baik, datang dengan
keluhan panas, panas 7 hari (t: 38-39C), sudah diberi obat keluhan tidak
28
membaik. Batuk berdahak 6 hari. 5 hari sesudah panas terdapat keluhan muntah,
mencret, nyeri kepala dan nyeri perut kiri bawah. Tidak ada tanda perdarahan.
Sebelum sakit pasien habis jajan minuman es dipinggir jalan dan mie kering.
Belakang rumah pasien terdapat sungai yang mampet dan banyak tumpukan
sampah. Riwayat bepergian keluar kota (-). Pemeriksaan fisik didapatkan palpasi
H/L just palpable, perkusi meteorismus (+). Pemeriksaan penunjang didapatkan
leukositosis, limfositosis relatif, aneosinofilia, IgM anti salmonella positif, CRP
kuantitatif meningkat.
Diagnosis pada pasien ini adalah demam tifoid dan suspect sepsis, karena
dari gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sudah sesuai.
Pasien diterapi antipiretik selama demam dan juga antibiotik. Tetap dimonitoring
keluhan pasien, vital sign, dan efek terapi yang diberikan. Edukasi mengenai
diagnosis, penyebab penyakit, semua tindakan yang dikerjakan. Untuk prognosis
pada pasien ini adalah baik.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Buku ajar infeksi & pediatri
tropis. Edisi 2. Jakarta: IDAI. 2008. Hal. 338-45.
29
2.
3.
Lingkungan
Depkes RI. (2010). Profil Kesehatan Indonesia, Jakarta: Departemen
4.
5.
Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Badan Penernit IDAI. 2009. Hal. 47-50.
Karyanti, Mulya R. Pemeriksaan Diagnostik Terkini untuk Demam Tifoid.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan LXIII Update Management of
Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders. Jakarta: Departemen Ilmu
6.
30