INDONESIA
DI RANGKUM OLEH :
Nama
NIM
PRODI
KELAS
JUDUL BUKU
PENULIS
PENERBIT
Penduduk ialah orang yang bertempat tinggal pada wilayah suatu negara. Penduduk
dibedakan antara warga negara dan warga negara asing. Bangsa ialah sekelompok orang yang
memiliki perasaan senasib akan keberadaan suatu negara. Sedangkan Masyarakat ialah
sekelompok orang yang tinggal bersama di suatu daerah tertentu dan terikat pada nilai-nilai
tertentu yang diterima secara bersama.
Pengertian kedaulatan rakyat berhubungan erat dengan pengertian perjanjian
masyarakat dalam pembentukan asal mula negara. Negara terbentuk karena adanya perjanjian
masyarakat. Perjanjian masyarakat disebut juga dengan istilah kontrak sosial. Ada beberapa
ahli yang telah mempelajari kontrak sosial, antara lain Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean
Jaques Rousseau.
Kedaulatan rakyat berarti juga, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Pemerintahan dari rakyat berarti mereka yang duduk sebagai penyelenggara pemerintahan
terdiri atas rakyat itu sendiri dan memperoleh dukungan rakyat. Pemerintahan oleh rakyat
mengandung pengertian, bahwa pemerintahan yang ada diselenggarakan dan dilakukan oleh
rakyat sendiri baik melalui demokrasi langsung maupun demokrasi perwakilan. Pemerintahan
untuk rakyat artinya pemerintahan yang dilaksanakan sesuai dengan kehendak rakyat.
UUD 1945 menentukan, bahwa rakyat secara langsung dapat melaksanakan kedaulatan
yang dimilikinya. Keterlibatan rakyat sebagai pelaksana kedaulatan dalam UUD 1945
ditentukan dalam hal:
a. Mengisi keanggotaan MPR, karena anggota MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota
DPD dipilih melalui pemilihan umum (Pasal 2 (1)).
b. Mengisi keanggotaan DPR melalui pemilihan umum (Pasal 19 (1)).
c. Mengisi keanggotaan DPD (Pasal 22 C (1)).
d. Memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam satu pasangan secara langsung (Pasal 6 A (1)).
Penjelasan tentang lembaga-lembaga Negara pelaksanaan kedaulatan rakyat
berdasarkan Undang- Undang Dasar 1945 dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Pasal 2 (1) UUD 1945 menyatakan, bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota
DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undangundang.
Pemilihan umum anggota DPR dan anggota DPD diatur melalui UU No. 12 Tahun 2003.
Sedangkan ketentuan tentang susunan dan kedudukan MPR diatur dengan UU No. 22 Tahun
2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai
lembaga negara. Dengan kedudukannya sebagai lembaga negara, MPR bukan lagi sebagai
lembaga tertinggi negara. Tugas dan wewenang MPR diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, bahwa
MPR :
(1)
berwenang mengubah dan menetapkan UUD,
(2)
melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan
(3) hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
menurut UUD.
2. Presiden
Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan
undang-undang (Pasal 6 (2) UUD 1945). Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan
selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya
untuk satu kali masa jabatan (Pasal 7 UUD 1945). UUD 1945 mengatur, bahwa calon
Presiden dan calon Wakil Presiden harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain
karena kehendaknya sendiri (Pasal 6 (1) UUD 1945);
b. tidak pernah mengkhianati negara (Pasal 6 (1) UUD 1945);
c. mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden
dan Wakil Presiden (Pasal 6 (1) UUD 1945);
d. dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (Pasal 6 A (1) UUD 1945);
e. diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum (Pasal 6 A (2) UUD 1945).
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD, yang
dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden (Pasal 4
UUD 1945). Kekuasaan Presiden yang diatur dalam UUD 1945 adalah:
a. mengajukan rancangan undang-undang dan membahasnya bersama DPR (Pasal 5 (1) dan Pasal
20 (2) UUD 1945);
b. menetapkan Peraturan Pemerintah (Pasal 5 (2) UUD 1945);
c. memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara
(Pasal 10 UUD 1945);
d. menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan
persetujuan DPR (Pasal 11 (1) UUD 1945);
e. menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12 UUD 1945);
f. mengangkat dan menerima duta dan konsul dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal
13 UUD 1945);
g. memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA (Pasal 14 (1) UUD
1945);
h. memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 14 (2) UUD
1945);
i. memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan (Pasal 15 UUD 1945);
j. membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan
kepada Presiden (Pasal 16 UUD 1945);
k. mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara (Pasal 17 (2) UUD 1945);
l. mengajukan rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara (Pasal 23 (2)
UUD 1945).
3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum (Pasal 19 (1) UUD 1945). Sedangkan
susunan keanggotaan DPR diatur melalui undang-undang (Pasal 19 (2) UUD 1945). Dalam
UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilian Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD ditentukan
jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang yang berasal dari anggota partai politik peserta
pemilihan umum (Pasal 7 dan Pasal 21 UU No. 10 Tahun 2008). Fungsi DPR ditegaskan
dalam Pasal 20A (1) UUD 1945, bahwa DPR memiliki :
a. fungsi legislasi, antara lain diwujudkan dalam pembentukan undang-undang bersama
Presiden.
b. fungsi anggaran, berupa penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diajukan
Presiden.
c. fungsi pengawasan, dapat meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang,
pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, dan pengawasan
terhadap kebijakan pemerintah sesuai dengan jiwa UUD 1945.
4. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
BPK merupakan lembaga negara yang bebas dan mandiri dengan tugas khusus untuk
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara (Pasal 23 E (1) UUD 1945).
Dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang meminta keterangan yang wajib diberikan
oleh setiap orang, badan/instansi pemerintah, atau badan swasta sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang.
5. Mahkamah Agung (MA)
MA merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan kehakiman di samping
Mahkamah Konstitusi di Indonesia (Pasal 24 (2) UUD 1945). Dalam melaksanakan
kekuasaan kehakiman, MA membawahi beberapa macam lingkungan peradilan, yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara
(Pasal 24 (2) UUD 1945).
6. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi beranggotakan sembilan hakim konstitusi, di mana tiga anggota
diajukan oleh MA, tiga anggota diajukan oleh DPR, dan tiga anggota diajukan oleh Presiden
(Pasal 24 C (3) UUD 1945). Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
merangkap sebagai pejabat Negara (Pasal 24 C (5) UUD 1945). UUD 1945 menyebutkan
adanya Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk:
(1)
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji undang-undang terhadap
UUD,
(2)
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD,
(3)
memutus pembubaran partai politik, dan
(4)
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (Pasal 24 C (1)), serta
(5)
wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD (Pasal 24 C (2) UUD 1945).
7. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
DPD merupakan bagian dari keanggotaan MPR yang dipilih melalui pemilihan umum
dari setiap propinsi (Pasal 2 (1) dan Pasal 22 C (1) UUD 1945). DPD merupakan wakil-wakil
propinsi (Pasal 32 UU No. 22 Tahun 2003). Oleh karena itu, anggota DPD berdomisili di
daerah pemilihannya, dan selama bersidang bertempat tinggal di ibukota negara RI (Pasal 33
(4) UU No. 22 Tahun 2003).
8. Pemerintah Daerah
Pemerintah Derah merupakan penyelenggara pemerintahan daerah. Keberadaan
pemerintahan daerah dilandasi oleh ketentuan UUD 1945 Pasal 18 (1) yang menyatakan,
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang.
Pemerintahan daerah dibedakan antara pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan
daerah kabupaten/ kota (Pasal 3 UU No. 32 Tahun 2004). Pemerintahan daerah provinsi
terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi. Sedangkan pemerintahan daerah
kabupaten/kota terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.
Dalam Pasal 24 UU No. 32 Tahun 2004 dibedakan sebutan kepala daerah provinsi,
kabupaten, dan kota. Pemerintah daerah provinsi dipimpin oleh Gubernur sebagai kepala
daerah provinsi. Pemerintah daerah kabupaten dipimpin oleh Bupati sebagai kepala daerah
kabupaten. Pemerintah daerah kota dipimpin oleh Walikota sebagai kepala daerah kota.
9. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
DPRD dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD dinyatakan, bahwa DPRD terdiri atas DPRD Propinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota. DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan
sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah (Pasal 40 UU No. 32 Tahun 2004).
DPRD Propinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan
sebagai lembaga daerah propinsi (Pasal 60 UU No. 22 Tahun 2003). Sedangkan DPRD
Sistem distrik disebut juga dengan single-member constituency, satu daerah pemilihan
memilih satu wakil, di mana negara dibagi dalam sejumlah distrik dan anggota lembaga
legislatif ditentukan oleh jumlah distrik tersebut.
b. Sistem Perwakilan Berimbang (Sistem Proporsional).
Sistem perwakilan berimbang disebut juga Proportional Representation bersifat multimember constituency, satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil dengan gagasan pokok
jumlah kursi di lembaga legislatif yang diperoleh oleh partai politik adalah sesuai dengan
jumlah suara yang diperolehnya.
Pemilihan umum adalah proses substansial dalam penyegaran suatu pemerintahan. Andrew
Reynolds menyatakan bahwa Pemilihan Umum adalah metode yang di dalamnya suara-suara
yang diperoleh dalam pemilihan diterjemahkan menjadi kursi-kursi yang dimenangkan dalam
parlemen oleh partai-partai dan para kandidat. Pemilihan umum merupakan sarana penting
untuk memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar akan bekerja mewakili mereka dalam
proses pembuatan kebijakan negara.
Pemilihan umum diikuti oleh partai-partai politik. Partai-partai politik mewakili kepentingan
spesifik warganegara. Kepentingan-kepentingan seperti nilai-nilai agama, keadilan,
kesejahteraan, nasionalisme, antikorupsi, dan sejenisnya kerap dibawakan partai politik
tatkala mereka berkampanye. Sebab itu, sistem pemilihan umum yang baik adalah sistem
yang mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang berbeda di tingkat masyarakat,
agar terwakili dalam proses pembuatan kebijakan negara di parlemen. Potret Indonesia
Definisi Sistem Pemilihan Umum
Sebelum dilakukan kajian lebih jauh seputar sistem pemilihan umum, ada baiknya kita
telusuri definisi dari sistem pemilihan umum dari sejumlah ahli. Definisi-definisi tersebut
akan mengantar kita kepada definisi operasional sistem pemilihan umum yang digunakan
dalam tulisan ini.
Dieter Nohlen mendefinisikan sistem pemilihan umum dalam 2 pengertian, dalam arti luas
dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, sistem pemilihan umum adalah . segala proses
yang berhubungan dengan hak pilih, administrasi pemilihan dan perilaku pemilih." Lebih
lanjut Nohlen menyebutkan pengertian sempit sistem pemilihan umum adalah cara
dengan mana pemilih dapat mengekspresikan pilihan politiknya melalui pemberian suara, di
mana suara tersebut ditransformasikan menjadi kursi di parlemen atau pejabat publik."
Definisi lain diberikan oleh Matias Iaryczower and Andrea Mattozzi dari California Institute
of Technology. Menurut mereka, yang dimaksud dengan sistem pemilihan umum adalah
menerjemahkan suara yang diberikan saat Pemilu menjadi sejumlah kursi yang dimenangkan
oleh setiap partai di dewan legislatif nasional. Dengan memastikan bagaimana pilihan
pemilih terpetakan secara baik dalam tiap kebijakan yang dihasilkan, menjadikan sistem
pemilihan umum sebagai lembaga penting dalam demokrasi perwakilan."
Melalui dua definisi sistem pemilihan umum yang ada, dapat ditarik konsep-konsep dasar
sistem pemilihan umum seperti:
Transformasi suara menjadi kursi parlemen atau pejabat publik, memetakan kepentingan
masyarakat, dan keberadaan partai politik. Sistem pemilihan umum yang baik harus
mempertimbangkan konsep-konsep dasar tersebut.
Mayoritas/Pluralitas
Mayoritas/Pluralitas berarti penekanan pada suara terbanyak (Mayoritas) dan mayoritas
tersebut berasal dari aneka kekuatan (Pluralitas). Ragam dari Mayoritas/Pluralitas adalah
First Past The Post, Two Round System, Alternative Vote, Block Vote, dan Party Block Vote.
First Past The Post - Sistem ini ditujukan demi mendekatkan hubungan antara calon
legislatif dengan pemilih. Kedekatan ini akibat daerah pemilihan yang relatif kecil (distrik).
Sebab itu, First Past The Post kerap disebut sistem pemilu distrik. Wilayah distrik kira-kira
sama dengan satu kota (misalnya: Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Bogor, dan sejenisnya).
Kecilnya wilayah yang diwakili, membuat warga kota mengenal siapa calon legislatifnya.
Jika sang calon legislatif menang pemilu, maka warga kota mudah melihat kinerjanya.
Mayoritas/Pluralitas menghendaki sistem kepartaian yang relatif kecil, misalnya 2 partai.
Dengan sistem 2 partai, masing-masing distrik diwakili oleh 2 calon yang berbeda partai di
mana mereka berkompetisi. Distrik tersebut nantinya hanya diwakili oleh 1 wakil. Proses
penghitungan suara pun mudah: Partai terbanyak otomatis memenangkan pemilu.
Kekurangannya, suara pihak yang kalah terbuang begitu saja. Negara dengan sistem
multipartai menolak pemberlakuan sistem ini oleh sebab suara yang kalah terbuang tersebut.
Kelemahan lain sistem ini, membuat suara kelompok atau partai kecil menjadi tidak berarti.
Kelebihan First Past The Post adalah dapat mengkonsolidasi dan membatasi jumlah partai,
cenderung menghasilkan pemerintahan kuat dari satu partai, mendorong munculnya oposisi,
memungkinkan hadirnya kandidat independen, dan sistem ini cukup sederhana serta mudah
dimengeri pemilih. Kelemahan First Past The Post adalah banyak suara terbuang,
menghalangi perkembangan multipartai yang plural, dan mendorong tumbuhnya partai
etnis/kesukuan.
Block Vote Sistem ini adalah penerapan pluralitas suara dalam distrik dengan lebih dari 1
wakil. Pemilih punya banyak suara sebanding dengan kursi yang harus dipenuhi di distriknya,
juga mereka bebas memilih calon terlepas dari afiliasi partai politiknya. Mereka boleh
menggunakan banyak pilihan atau sedikit pilihan, sesuai kemauan pemilih sendiri.
BV biasa digunakan di negara dengan partai politik yang lemah atau tidak ada. Tahun 2004,
Kepulauan Cayman, Kepulauan Falkland, Guernsey, Kuwait, Laos, Libanon, Maldives,
Palestina, Suriah, Tonga, dan Tuvalu menggunakan sistem pemilu ini. Sistem ini juga pernah
digunakan di Yordania (1989) Mongolia (1992), dan Filipina serta Thailand hingga tahun
1997.
Kelebihan sistem ini adalah, memberikan keleluasaan bagi pemilih untuk menentukan
pilihannya. Sistem ini juga menguntungkan partai-partai yang punya basis koherensi anggota
dan organisasi yang kuat. Kekurangannya adalah, sistem ini bisa menunjukkan hasil yang
sulit diprediksi. Misalnya, saat pemilih memberikan semua suara kepada semua calon dari
satu partai yang sama, maka ini membuat kelemahan FPTP tampak: Partai atau kepentingan
selain partai tersebut menjadi terabaikan. Selain itu, oleh sebab setiap partai boleh
mencalonkan lebih dari 1 calon, maka terdapat kompetisi internal partai dari masing-masing
calon untuk memperoleh dukungan pemilih.
Party Block Vote. Esensi Party Block Vote sama dengan FPTP, bedanya setiap distrik partai
punya lebih dari 1 calon. Partai mencantumkan beberapa calon legislatif dalam surat suara.
Pemilih Cuma punya 1 suara. Partai yang punya suara terbanyak di distrik tersebut,
memenangkan pemilihan. Caleg yang tercantum di surat suara otomatis terpilih pula. Sistem
ini digunakan di Kamerun, Chad, Jibouti, dan Singapura.
Kelebihan Party Block Vote adalah : Mudah digunakan, menghendaki partai yang kuat, dan
memungkinkan partai-partai memilih caleg yang merepresentasikan kalangan minoritas.
Kelemahan dari Party Block Vote adalah: Banyak suara yang terbuang dan kemungkinan
adanya sejumlah kelompok minoritas yang sama sekali tidak punyak wakil di parlemen.
Alternate Vote. Alternate Vote (AV) sama dengan First Past The Post (FPTP) sebab dari
setiap distrik dipilih satu orang wakil saja. Bedanya, dalam AV pemilih melakukan ranking
terhadap calon-calon yang ada di surat suara (ballot). Misalnya rangkin 1 bagi favoritnya,
rangking 2 bagi pilihan keduanya, ranking 3 bagi pilihan ketida, dan seterusnya. AV sebab itu
memungkinkan pemilih mengekspresikan pilihan mereka di antara kandidat yang ada,
ketimbang Cuma memilih 1 saja seperti di FPTP.
AV juga berbeda dengan FPTP dalam hal perhitungan suara. Jika FPTP ada 1 calon yang
memperoleh 50% suara plus 1, maka otomatis dia memenangkan pemilu distrik. Dalam AV,
calon dengan jumlah pilihan rangking 1 yang terendah, tersingkir dari perhitungan suara.
Lalu, ia kembali diuji untuk pilihan rangking 2-nya, yang jika kemudian terendah menjadi
tersingkir. Setiap surat suara kemudian diperiksa hingga tinggal calon tersisa yang punya
rankin tinggi dalam surat (ballot) suara. Proses ini terus diulangi hingga tinggal 1 calon yang
punya suara mayoritas absolut, dan ia pun menjadi wakil distrik. AV, sebab itu, merupakan
sistem pemilu mayoritas. Sistem pemilu AV digunakan di Fiji dan Papua Nugini.
Kelebihan AV adalah memungkinkan pilihan atas sejumlah calon berakumulasi, hingga
kepentingan yang berbeda tapi berhubungan dapat dikombinasi guna memperoleh
perwakilan. AV juga memungkinkan pendukung tiap calon yang tipis harapan menangnya
untuk tetap punya pengaruh lewat rankin ke-2 dan seterusnya. Sebab itu, AV menghendaki
tiap kandidat harus bisa menarik simpati pemilih dari luar partainya. Pemilih dari luar
partainya adalah pemilih potensial, yang akan menaruh si calon di ranking ke-2 dan
seterusnya. Kelemahan AV adalah, ia menghendaki tingkat baca-tulis huruf dan angka yang
tinggi di kalangan pemilih, di samping kemampuan pemilih untuk menganalisis para calon.
Two Round System Two Round System (TRS) adalah sistem mayoritas/pluralitas di mana
proses pemilu tahap 2 akan diadakan jika pemilu tahap 1 tidak ada yang memperoleh suara
mayoritas yang ditentukan sebelumnya (50% + 1). TRS menggunakan sistem yang sama
dengan FPTP (satu distrik satu wakil) atau seperti BV/PBV (satu distrik banyak wakil).
Dalam TRS, calon atau partai yang menerima proporsi suara tertentu memenangkan pemilu,
tanpa harus diadakan putaran ke-2. Putaran ke-2 hanya diadakan jika suara yang diperoleh
pemenang tidak mayoritas.
Jika diadakan putaran kedua, maka sistem TRS ini bervariasi. Sistem yang umum adalah,
mereka yang ikut serta adalah calon-calon dengan suara terbanyak pertama dan kedua putaran
pertama. Ini disebut majority run-off, dan akan menghasilkan suara mayoritas bulat (50%+1).
Sistem lainnya diterapkan di Perancis, di mana dalam putaran kedua, calon yang boleh ikut
adalah yang memperoleh lebih dari 12,5% suara di putaran pertama. Siapapun yang
memenangkan suara terbanyak di putaran kedua, ia menang, meskipun tidak 50% + 1
(mayoritas). Negara-negara yang menggunakan Two Round System adalah Perancis,
Republik Afrika Tengah, Kongo, Gabon, Mali, Mauritania, Togo, Mesir, Haiti, Iran, Kiribati,
Vietnam, Belarusia, Kyrgyztan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.
Kelebihan Two Round System adalah: Memungkinkan pemilih punya kesempatan kedua bagi
calon yang dijagokannya sekaligus mengubah pikirannya; Memungkinkan kepentingan yang
beragam berkumpul di kandidat yang masuk ke putaran kedua pemilu. Kekurangannya adalah
: Membuat penyelenggara Pemilu (panitia) bekerja ekstra keras jika ada putaran kedua,
membuat dana pemilu membengkak; TRS juga dicurigai membuat fragmentasi antar partaipartai politik.
Proporsional
Dasar pemikiran Proporsional adalah kesadaran untuk menerjemahkan penyebaran suara
pemilih bagi setiap partai menurut proporsi kursi yang ada di legislatif. Sistem pemilu
Proporsional terbagi 2, yaitu Proporsional Daftar dan Single Transferable Vote (STV). Sistem
Proporsional paling banyak digunakan, yaitu 72 negara (Proporsional Daftar) dan 4 negara
(Single Transferred Vote). Proporsional membutuhkan satu distrik lebih dari satu member.
Proporsional dipilih oleh sebab punya kelebihan:
1. Secara konsisten mengubah setiap suara menjadi kursi yang dimenangkan, dan sebab
itu menghilangkan ketidakadilan seperti sistem Mayoritas/Pluralitas yang
membuang suara kalah.
2. Mewujudkan formasi calon dari partai-partai politik atau yang kelompok yang satu
ide untuk dicantumkan di daftar calon, dan ini mengurangi perbedaan kebijakan,
ideologi, atau kepemimpinan dalam masyarakat.
3. Mampu mengangkat suara yang kalah (bergantung Threshold).
4. Memfasilitasi partai-partai minoritas untuk punya wakil di parlemen.
5. Membuat partai-partai politik berkampanye di luar basis wilayahnya.
6. Memungkinkan tumbuh dan stabilnya kebijakan, oleh sebab Proporsional menuntun
pada kesinambungan pemerintahan, partisipasi pemilih, dan penampilan ekonomi.
7. Memungkinkan partai-partai politik dan kelompok kepentingan saling berbagi
kekuasaan.
Ada kelebihan, tentu ada kekurangan. Kekurangan dari sistem Proporsional adalah sebagai
berikut:
1. Menyebabkan munculnya pemerintahan berdasarkan koalisi, sehingga kadang
kebijakan-kebijakan menjadi tidak koheren.
2. Mampu menyebabkan fragmentasi partai-partai politik, di mana partai minoritas
mampu memainkan peran besar dalam tiap koalisi yang dibuat.
3. Mampu memunculkan partai-partai ekstrim (kiri maupun kanan)
4. Sistem ini cukup rumit (terutama dalam penanggulangan suara sisa)
Beberapa sistem pemilu yang masuk kategori Proporsional adalah:
Proporsional Daftar. Setiap partai memuat daftar calon-calon bagi setiap daerah/distrik
pemilihan. Calon diurut berdasarkan nomor (1, 2, 3, dan seterusnya). Pemilih memilih partai,
dan partai menerima kursi secara proporsional dari total suara yang dihasilkan. Calon yang
nantinya duduk diambil dari yang ada di daftar tersebut. Jika kursi hanya mencukupi untuk 1
calon, maka calon nomor urut 1 saja yang masuk ke parlemen.
Kelebihan dari Proporsional Daftar adalah memungkinkan kelompok/budaya minoritas untuk
terwakili di parlemen. Proporsional Daftar juga memungkinkan calon perempuan untuk
terpililh. Kelemahan Proporsional Daftar adalah lemahnya hubungan antara legislatif terpilih
dengan pemilihnya oleh sebab partai yang memilihkan mereka di dalam daftarnya.
Proporsional Daftar juga membuat kantor pusat partai (DPP) memiliki kekuasaan besar untuk
menentuk siapa anggota partai yang masuk ke dalam daftar. Akhirnya, Proporsional Daftar
sukar dilaksanakan di negara yang tradisi partainya kurang kuat.
Single Transferable Vote. Single Transferable Vote (STV) banyak dinyatakan sebagai sistem
pemilu yang menarik. STV menggunakan satu distrik lebih dari satu wakil, dan pemilih
merangking calon menurut pilihannya di kertas suara seperti pada Alternate Vote. Dalam
memilih, pemilih dibebaskan untuk merangking ataupun cukup memilih satu saja. Sistem ini
dipakai
di
Malta
dan
Republik
Irlandia.
Hasil ditentukan melalui serangkaian perhitungan. Pada perhitungan pertama, total jumlah
suara rangking pertama tiap kandidat didahulukan. Setiap calon yang punya suara rangking
pertama lebih besar atau sama dengan kuota otomatis terpilih. Setelah itu perhitungan
dilanjutkan dengan, suara lebih kandidat terpilih (yang suaranya di atas kuota) didistribusikan
kepada pilihan rangking kedua di surat suara. Demi keadilan, seluruh surat suara masingmasing calon didistribusikan. Contohya, jika seorang calon punya 100 suara, dan
kelebihannya 5 suara, lalu setiap kertas suara diredistribusikan senilai 1/20 kali dari 1 suara.
Setelah perhitungan selesai, jika tidak ada calon yang punya kelebihan suara lebih dari kuota,
calon dengan total suara terandah tersingkir. Suara mereka diredistribusika ke perhitungan
selanjutnya dari para calon yang masih bersaing untuk rangking kedua dan seterusnya.
Perhitungan diteruskan hingga seluruh kursi di distrik ditempati pemenang yang menerima
kuota atau jumlah calon yang tersisa dalam proses perhitungan tinggal satu atau lebih dari
jumlah kursi yang nantinya diduduki.
Kelebihan Single Transferable Vote sama dengan Proporsional secara umum, sebab
memungkinkan pilihan dibuat baik antarpartai maupun antarcalon dalam satu partai.
Kelemahan dari STV adalah rumitnya proses perhitungan serta membutuhkan tingkat kenal
huruf dan angka yang tinggi dari para pemilih. Sistem ini juga memancing fragmentasi di
dalam internal partai poitik oleh sebab calon-calon dari partai yang sama saling bersaing satu
sama lain.
Sistem Campuran/Mixed System
Sistem Campuran bertujuan memadukan ciri-ciri positif yang berasal dari
Mayoritas/Pluralitas ataupun Proporsional. Dalam sistem campuran, terdapat 2 sistem pemilu
yang jalan beriringan, meski masing-masing menggunakan metodenya sendiri. Suara
diberikan oleh pemilih yang sama dan dikontribusikan pada pemilihan wakil rakyat di bawah
kedua sistem tersebut. Satu menggunakan sistem Mayoritas/Pluralitas (atau biasanya sistem
Lainnya/Other), biasanya berupa satu distrik satu wakil, dan lainnya adalah Proporsional
Daftar.
Terdapat 2 bentuk Sistem Campuran yaitu Mixed Member Proportional (MMP) dan Paralel.
Jika hasil dari dua sistem pemilihan dihubungkan, dengan alokasi kursi di sisi sistem
Proporsional bergantung pada apa yang terjadi di sistem Mayoritas/Pluralitas, sistem tersebut
dinamai Mixed Member Proportional (MMP). Jika 2 perangkat sistem pemilihan tiada
berhubungan dan dibedakan, dan satu sama lain tiada saling bergantung, maka sistem tersebut
dinamai Paralel.
Mixed Member Proportional Di bawah sistem MMP, kursi sistem Proporsional
dianugrahkan bagi setiap hasil yang dianggap tidak proporsional. Contohnya, jika satu partai
memenangkan 10% suara secara nasional, tetapi tidak memperoleh kursi di distrik/daerah,
lalu partai itu akan dianugrahkan kursi yang cukup dari daftar Proporsional guna membuat
partai tersebut punya 10% kursi di legislatif. Pemilih mungkin punya 2 pilihan terpisah,
sebagaimana di Jerman dan Selandia Baru. Alternatifnya, pemilih mungkin membuat hanya 1
pilihan, dengan total partai diturunkan dari total calon tiap distrik.
MMP digunakan di Albania, Bolivia, Jerman, Hungaria, Italia, Lesotho, Meksiko, Selandia
Baru, dan Venezuela. Di negara-negara ini, kursi distrik dipilih menggunakan FPTP.
Hungaria menggunakan TRS dan metode Italia lebih rumit lagi: seperempat kursi di majelis
rendah dicadangkan untuk mengkompensasikan suara terbuang di distrik-distrik dengan satu
wakil.
Meskipun MMP didesain untuk hasil yang lebih proporsional, adalah mungkin terjadi
ketidakproporsionalan begitu besar di distrik dengan satu wakil, sehingga kursi yang terdaftar
tidak cukup untuk mengkompensasikannya.
Paralel Sistem Paralel secara berbarengan memakai sistem Proporsional dan
Mayoritas/Puluralitas, tetapi tidak seperti MMP, komponen Proporsional tidak
mengkompensasikan sisa suara bagi distrik yang menggunakan Mayoritas/Pluralitas. Pada
sistem Paralel, seperti juga pada MMP, setiap pemilih mungkin menerima hanya satu surat
suara yang digunakan untuk memilih calon ataupun partai (Korea Selatan) atau surat suara
terpisah, satu untuk kursi Mayoritas/Pluralitas dan satunya untuk kursi Proporsional (Jepang,
Lithuania, dan Thailand).
Sistem paralel kini dipakai 21 negara. Armenia, Conakry, Jepang, Korea Selatan, Pakistan,
Filipina, Russia, Eychelles, Thailand, Timor Leste dan Ukraina menggunakan FPTP satu
distrik satu wakil bersama dengan komponen Proporsional Daftar, sementara Azerbaijan,
Georgia, Kazakhstan, Lithuania, dan Tajikista menggunakan Two Round System untuk distrik
satu wakil untuk sistemnya.
Kelebihan Sistem Paralel adalah, dalam hal ketidakproporsionalan, sistem ini memberikan
hasil antara Mayoritas/Pluralitas murni dan Proporsional murni. Satu keuntungannya adalah,
tatkala cukup kursi Proporsional, partai kecil minoritas yang kurang sukses di pemilihan
Mayoritas/Pluralitas tetap dianugerahi kursi melalui sistem Proporsional atas setiap suara
yang diperoleh. Sebagai tambahan, sistem Paralel secara teoretis, kurang menciptakan
fragmentasi partai ketimbang sistem pemilihan murni Proporsional. Kelemahan sistem
Paralel adalah, sebagaimana terjadi dengan MMP, akan menciptakan dua kategori wakil
rakyat. Juga, sistem ini tidak menjamin keproporsionalan, dan sejumlah partai kemungkinan
akan tetap kehilangan representasi kendatipun memenangkan jumlah suara secara substansial.
Sistem Paralel juga relatif rumit dan membuat pemilih bingung sebagaimanan ini juga
menimpa para panitianya.
Sistem Lainnya/Other System
Sebagai tambahan bagi Mayoritas/Pluralitas, Proporsional, dan Sistem Campuran, adalah
pula terdapat sejumlah sistem lain yang tidak termasuk ke dalam kategori ini. Diantaranya
adalah Single Non Transferable Vote (SNTV), Limited Vote (LV) dan Borda Count (BC).
Sistem-sistem ini masuk kategori Lainnya, dan cenderung menerjemahkan perhitungan suara
menjadi kursi dengan cara yang berkisar pada sistem Proporsional dan Mayoritas/Pluralitas.
Single Non Transferable Vote Di dalam SNTV, setiap pemilih memiliki satu suara bagi
tiap calon, tetapi (tidak seperti FPTP) adalah lebih dari satu kursi yang harus diisi di tiap
distrik pemilihan. Calon-calon dengan total suara tertinggi mengisi posisi.
SNTV menantang partai politik. Contohnya, distrik dengan 4 wakil, kandidat dengan 20%
suara dijamin memenangkan kursi. Sebuah partai dengan 50% suara dapat berharap
memenangkan 2 kursi di distrik dengan 4 wakil. Jika tiap kandidat mengumpulkan 25%
suara, mereka masuk sebagai wakil distrik. Jika, bagaimanapun, satu kandidat
mengumpulkan 40% suara dan kandidat lain 10%, kandidat kedua tersebut kemungkinan
tidak terpilih. Jika partai mencantumkan 3 kandidat, bahaya vote-splitting akan terjadi dan
partai Cuma memperoleh 2 kursi saja.
Kini, SNTV digunakan di untuk pemilihan badan legislatif di Afghanista, Yordania,
Kepulauan Pitcairn dan Vanuatu, untuk pemilihan Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia
dan Thailand, serta 176 dari 225 kursi di Taiwan yang menggunakan sistem Paralel.
Kelebihan SNTV adalah kemampuannya memfasilitasi perwakilan partai minoritas dan calon
independen. Semakin besar jumlah kursi, semakin sistem ini menjadi proporsional. Di
Yordania, SNTV memungkinkan kandidat non partai yang populer untuk terpilih. Sistem ini
menjadikan partai terorganisir dan menyuruh pemilih memberikan suaranya kepada partai
lain yang lebih berpotensi memenangkan suara dan ujungnya, menciptakan satu partai
dominan. Selain itu, SNTV dinyatakan sebagai mudah digunakan.
Kelemahan SNTV adalah, partai kecil yang suaranya tersebar mungkin saja tidak akan
memenangkan kursi, dan partai besar menerima sejumlah kursi bonus yang membuat
pluralitas pemberi suara secara nasional berubah menjadi mayoritas di legislatif. Meskipun
keproporsionalan sistem ini dapat meningkat dengan cara menambah jumlah kursi yang harus
diisi di dalam distrik-distrik lebih dari 1 wakil, ini memperlemah pemilih. Kelemahan lain
adalah, partai perlu mempertimbangkan strategi yang rumit seputar manajemen nominasi
calon dan pemberian suara.
Limited Vote Limited Vote (LV) seperti SNTV, adalah sistem Mayoritas/Pluralitas yang
digunakan untuk distrik-distrik dengan lebih dari satu wakil. Tidak seperti SNTV, pemilih
punya lebih dari satu suara. Perhitungan identik dengan SNTV, dimana kandidat dengan total
suara tertinggi memenangkan kursi.
Sistem ini digunakan bagi pemilihan tingkat lokal yang beragam, tetapi aplikasinya di tingkat
nasional terbatas seperti di Gibraltas dan Spanyol, di mana ia digunakan untuk memilih Senat
Spanyol sejak 1977. Dalam kasus ini, sistem distrik dengan lebih dari satu wakil, setiap
pemilih punya satu suara, kurang dari jumlah wakil rakyat yang nantinya dipilih.
Kelebihan sistem ini, seperti SNTV, LV adalah mudah bagi para pemilih dan relatif mudah
dihitung. Kelemahannya, ia cenderung menghasilkan hasil yang kurang proporsional
ketimbang SNTV. Selain itu, ia juga berakibat pada kompetisi internal partai, klientelisme
dalam politik (sama dengan SNTV).
Borda Count - Borda Count adalah sistem yang digunakan di Nauru (sebuah negara di
Pasifik). Sistem ini adalah sistem pemilihan preferensi dimana pemilih merangking kandidat
seperti pada Altenative Vote. Ia dapat digunakan pada distrik dengan satu atau lebih wakil.
Hanya satu yang dipilih, tidak ada eliminasi. Rangking pertama diberi nilai 1, ranking kedua
diberi nilai , rangkin ketiga diberi nilai 1/3 dan seterusnya. Kandidat dengan total nilai
tertinggi dideklarasikan sebagai pemenang.
------------------------------------------------------------Referensi
1. Andrew Reynolds, Merancang Sistem Pemilihan Umum dalam Juan J. Linz, et.al.,
Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-negara
Lain, (Bandung: Mizan, 2001) p.102.
2. Dieter Nohlen, "Electoral Systems" dalam Lynda Lee Kaid and Christina HoltzBacha, Encyclopedia of political communication, (California: Sage Publications,
2008)
3. Matias Iaryczower and Andrea Mattozzi, Ideology and Competence in Alternative
Electoral Systems, Paper, Division of Humanities and Social Sciences, California
Institute of Technology, Pasadena, California, July 9, 2008.
4. Donald L. Horowitz, Electoral Systems and Their Goals: A Primer for DecisionMakers, Paper on James B. Duke Professor of Law and Political Science, Duke
University, Durham, North California, January 2003.
5. Andrew Reynolds, et.al., Electoral System Design: The New International IDEA
Handbook, (Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral
Assistance, 2005) p.9-14.
tags:
pengertian pemilihan umum pemilu definisi pemilu sistem pemilu proporsional distrik
mayoritas pengertian pemilu
Sistem Pemilu
Sesuai teori demokrasi klasik pemilu adalah sebuah "Transmission of Belt" sehingga
kekuasaan yg berasal dari rakyat bisa bergeser menjadi kekuasaan negara yg kemudian
berubah bentuk menjadi wewenang pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan
memimpin rakyat.
Berikut adalah pendapat beberapa para ahli tentang pemilihan umum:
Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim - Pemilihan umum merupakan sebuah cara untuk
memilih wakil-wakil rakyat. oleh karenanya bagi sebuah negara yang mennganggap dirinya
sebagai negara demokratis, pemilihan umum itu wajib dilaksanakan dalam periode tertentu.
Bagir Manan - Pemilhan umum yang diselenggarakan dalam periode lima 5 tahun sekali
adalah saat ataupun momentum memperlihatkan secara langsung dan nyata pemerintahan
oleh rakyat. Ketika pemilihan umum itulah semua calon yang bermimpi duduk sebagai
penyelenggara negara dan juga pemerintahan bergantung sepenuhnya pada kehendak atau
keinginan rakyatnya.
Sistem Pemilu
Sistem Pemilihan Umum merupakan metode yang mengatur serta memungkinkan warga
negara memilih/mencoblos para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode berhubungan
erat dengan aturan dan prosedur merubah atau mentransformasi suara ke kursi di parlemen.
Mereka sendiri maksudnya adalah yang memilih ataupun yang hendak dipilih juga
merupakan bagian dari sebuah entitas yang sama.
Terdapat bagian-bagian atau komponen-komponen yang merupakan sistem itu sendiri
dalam melaksanakan pemilihan umum diantaranya:
Sistem pemilihan
Sistem pencalonan.
Bidang ilmu politik mengenal beberapa sistem pemilihan umum yang berbeda-beda dan
memiliki cirikhas masing-masing akan tetapi, pada umumnya berpegang pada dua prinsip
pokok, yaitu:
a. Sistem Pemilihan Mekanis
Pada sistem ini, rakyat dianggap sebagai suatu massa individu-individu yang sama. Individuindividu inilah sebagai pengendali hak pilih masing-masing dalam mengeluarkan satu suara
di tiap pemilihan umum untuk satu lembaga perwakilan.
b. Sistem pemilihan Organis
Pada sistem ini, rakyat dianggap sebagai sekelompok individu yang hidup bersama-sama
dalam beraneka ragam persekutuan hidup. Jadi persekuuan-persekutuan inilah yang
diutamakan menjadi pengendali hak pilih.
Sistem Pemilihan Umum di Indonesia
Bangsa Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan umum sejak zaman kemerdekaan.
Semua pemilihan umum itu tidak diselenggarakan dalam kondisi yang vacuum, tetapi
berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum tersebut.
Dari pemilu yang telah diselenggarakan juga dapat diketahui adanya usaha untuk menemukan
sistem pemilihan umum yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia.
1. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Pada masa ini pemilu diselenggarakan oleh kabinet BH-Baharuddin Harahap (tahun 1955).
Pada pemilu ini pemungutan suara dilaksanakan 2 kali yaitu yang pertama untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan September dan yang kedua untuk memilih
anggota Konstituante pada bulan Desember. Sistem yang diterapkan pada pemilu ini adalah
sistem pemilu proporsional. Sistem Pemilu
Pelaksanaan pemilu pertama ini berlangsung dengan demokratis dan khidmat, Tidak ada
pembatasan partai politik dan tidak ada upaya dari pemerintah mengadakan intervensi atau
campur tangan terhadap partai politik dan kampanye berjalan menarik. Pemilu ini diikuti 27
partai dan satu perorangan.
Akan tetapi stabilitas politik yang begitu diharapkan dari pemilu tidak tercapai. Kabinet Ali (I
dan II) yang terdiri atas koalisi tiga besar: NU, PNI dan Masyumi terbukti tidak sejalan dalam
menghadapi beberapa masalah terutama yang berkaitan dengan konsepsi Presiden Soekarno
zaman Demokrasi Parlementer berakhir.
2. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Setelah pencabutan Maklumat Pemerintah pada November 1945 tentang keleluasaan untuk
mendirikan partai politik, Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai politik menjadi 10
parpol. Pada periode Demokrasi Terpimpin tidak diselanggarakan pemilihan umum.
3. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Setelah turunnya era Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter, rakyat berharap bisa
merasakan sebuah sistem politik yang demokratis & stabil. Upaya yang ditempuh untuk
mencapai keinginan tersebut diantaranya melakukan berbagai forum diskusi yang
membicarakan tentang sistem distrik yang terdengan baru di telinga bangsa Indonesia.
Pendapat yang dihasilkan dari forum diskusi ini menyatakan bahwa sistem distrik
dapat menekan jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan tujuan partaipartai kecil akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam upaya meraih kursi dalam
sebuah distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan menciptakan stabilitas
politik dan pemerintah akan lebih kuat dalam melaksanakan program-programnya, terutama
di bidang ekonomi.
Karena gagal menyederhanakan jumlah partai politik lewat sistem pemilihan umum,
Presiden Soeharto melakukan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan kepartaian.
Tindakan pertama yang dijalankan adalah mengadakan fusi atau penggabungan diantara
partai politik, mengelompokkan partai-partai menjadi tiga golongan yakni Golongan Karya
(Golkar), Golongan Nasional (PDI), dan Golongan Spiritual (PPP). Pemilu tahun1977
diadakan dengan menyertakan tiga partai, dan hasilnya perolehan suara terbanyak selalu
diraih Golkar.
4.
Pada masa Reformasi 1998, terjadilah liberasasi di segala aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara. Politik Indonesia merasakan dampak serupa dengan diberikannya ruang bagi
masyarakat untuk merepresentasikan politik mereka dengan memiliki hak mendirikan partai
politik. Banyak sekali parpol yang berdiri di era awal reformasi. Pada pemilu 1999 partai
politik yang lolos verifikasi dan berhak mengikuti pemilu ada 48 partai. Jumlah ini tentu
sangat jauh berbeda dengan era orba.
Pada tahun 2004 peserta pemilu berkurang dari 48 menjadi 24 parpol saja. Ini disebabkan
telah diberlakukannya ambang batas(Electroral Threshold) sesuai UU no 3/1999 tentang
PEMILU yang mengatur bahwa partai politik yang berhak mengikuti pemilu selanjtnya
adalah parpol yang meraih sekurang-kurangnya 2% dari jumlah kursi DPR. Partai politikyang
tidak mencapai ambang batas boleh mengikuti pemilu selanjutnya dengan cara bergabung
dengan partai lainnya dan mendirikan parpol baru.
tuk partai politik baru. Persentase threshold dapat dinaikkan jika dirasa perlu seperti
persentasi Electroral Threshold 2009 menjadi 3% setelah sebelumnya pemilu 2004 hanya 2%.
Begitu juga selanjutnya pemilu 2014 ambang batas bisa juga dinaikan lagi atau diturunkan.
Pentingnya Pemilu
Pemilu dianggap sebagai bentuk paling riil dari demokrasi serta wujud paling konkret
keiktsertaan(partisipasi) rakyat dalam penyelenggaraan negara. Oleh sebab itu, sistem &
penyelenggaraan pemilu hampir selalu menjadi pusat perhatian utama karena melalui
penataan, sistem & kualitas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar
mewujudkan pemerintahan demokratis.
Pemilu sangatlah penting bagi sebuah negara, dikarenakan:
Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Pemilu
merupakan
secara konstitusional.
sarana
untuk
melakukan
penggantian
pemimpin
Asas-asas PEMILU
1. Langsung
Langsung, berarti masyarakat sebagai pemilih memiliki hak untuk memilih secara langsung
dalam pemilihan umum sesuai dengan keinginan diri sendiri tanpa ada perantara. Sistem
Pemilu
2. Umum
Umum, berarti pemilihan umum berlaku untuk seluruh warga negara yg memenuhi
persyaratan, tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, jenis kelamin, golongan, pekerjaan,
kedaerahan, dan status sosial yang lain.
3. Bebas
Bebas, berarti seluruh warga negara yang memenuhi persyaratan sebagai pemilih pada
pemilihan umum, bebas menentukan siapa saja yang akan dicoblos untuk membawa
aspirasinya tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapa pun.
4. Rahasia
Rahasia, berarti dalam menentukan pilihannya, pemilih dijamin kerahasiaan pilihannya.
Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain
kepada siapa pun suaranya diberikan.
5. Jujur
Jujur, berarti semua pihak yang terkait dengan pemilu harus bertindak dan juga bersikap jujur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Adil
Adil, berarti dalam pelaksanaan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilihan umum
mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.
Sistem Distrik dan Proporsional -Kelebihan dan Kekurangan
Berikut penjabaran mengenai kelebihan dan kekurangan sistem distrik dan proporsional yang
keduanya termasuk sistem pemilu mekanis seperti yang dijelaskan di atas.
first past the post : sistem yang menerapkan single memberdistrict dan pemilihan yang
berpusat pada calon, pemenangnya adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak.
the two round system : sistem ini menggunakan putaran kedua sebagai dasar untuk
menentukan pemenang pemilu. ini dijalankan untuk memperoleh pemenang yang
mendapatkan suara mayoritas.
the alternative vote : sama dengan first past the post bedanya adalah para pemilih
diberikan otoritas untuk menentukan preverensinya melalui penentuan ranking
terhadap calon-calon yang ada.
block vote : para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon yang
terdapat dalam daftar calon tanpa melihat afiliasi partai dari calon-calon yang ada.
Sistem ini mendorong terjadinya integrasi antar partai, karena kursi kekuasaan yang
diperebutkan hanya satu.
Perpecahan partai dan pembentukan partai baru dapat dihambat, bahkan dapat
mendorong penyederhanaan partai secara alami.
Distrik merupakan daerah kecil, karena itu wakil terpilih dapat dikenali dengan baik
oleh komunitasnya, dan hubungan dengan pemilihnya menjadi lebih akrab.
Bagi partai besar, lebih mudah untuk mendapatkan kedudukan mayoritas di parlemen.
Ada kesenjangan persentase suara yang diperoleh dengan jumlah kursi di partai, hal
ini menyebabkan partai besar lebih berkuasa.
Partai kecil dan minoritas merugi karena sistem ini membuat banyak suara terbuang.
Sistem Pemilu
Sistem Proposional ( satu dapil memilih beberapa wakil )
Sistem yang melihat pada jumlah penduduk yang merupakan peserta pemilih. Berbeda
dengan sistem distrik, wakil dengan pemilih kurang dekat karena wakil dipilih melalui tanda
gambar kertas suara saja. Sistem proporsional banyak diterapkan oleh negara multipartai,
seperti Italia, Indonesia, Swedia, dan Belanda.
Sistem ini juga dinamakan perwakilan berimbang ataupun multi member constituenty. ada
dua jenis sistem di dalam sistem proporsional, yaitu ;
the single transferable vote : para pemilih di beri otoritas untuk menentukan
preferensinya. pemenangnya didasarkan atas penggunaan kota.
Dipandang lebih mewakili suara rakyat sebab perolehan suara partai sama dengan
persentase kursinya di parlemen.
Setiap suara dihitung & tidak ada yang terbuang, hingga partai kecil & minoritas
memiliki kesempatan untuk mengirimkan wakilnya di parlemen. Hal ini sangat
mewakili masyarakat majemuk(pluralis).
Sistem proporsional tidak begitu mendukung integrasi partai politik. Jumlah partai
yang terus bertambah menghalangi integrasi partai.
Wakil rakyat kurang dekat dengan pemilihnya, tapi lebih dekat dengan partainya. Hal
ini memberikan kedudukan kuat pada pimpinan partai untuk menentukan wakilnya di
parlemen.
Banyaknya partai yang bersaing menyebabkan kesulitan bagi suatu partai untuk
menjadi partai mayoritas.
Perbedaan utama antara sistem proporsional & distrik adalah bahwa cara penghitungan suara
dapat memunculkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masingmasing partai politik.
Pemilihan umum (disebut Pemilu) adalah proses memilih orang untuk mengisi jabatanjabatan politik tertentu.[butuh rujukan] Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari
presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa.[butuh rujukan] Pada
konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti
ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.[butuh
rujukan]
Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak
memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, hubungan publik, komunikasi massa, lobi
dan lain-lain kegiatan.[butuh rujukan] Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi
sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik
propaganda banyak juga dipakaioleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik.
[1]
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah
para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye.
[butuh rujukan]
D'Hondt
Sainte Lagu (asli)
Sainte Lagu
(modifikasi)
Danish
Rumus
suara yang diraih setiap partai dibagi berdasarkan angka serial: 1, 2, 3,
4, 5, 6, dan seterusnya.
suara yang diraih setiap partai dibagi berdasarkan angka serial: 1, 3, 5,
7, 9, dan seterusnya.
suara yang diraih setiap partai dibagi berdasarkan angka serial: 1.4, 3,
5, 7, 9, dan seterusnya
suara yang diraih setiap partai dibagi berdasarkan angka serial: 1, 4, 7,
10, 13, dan seterusnya
Jika jumlah pembagian pada posisi pertama dari partai bawah dengan kedua dari partai atas
maka terambil dari jumlah suara teratas. semua metode hitungan pembulatan bawah.
Rumus
Hare
Droop
Imperiali
Hagenbach-Bischoff
:
:
:
:
Jika jumlah sisa suara yang memiliki sama maka terambil dari jumlah suara teratas. semua
metode hitungan pembulatan bawah.
Metode lainnya
Metode
Hare-Niemeyer
Semua metode hitungan pembulatan atas.
Contoh pemilihan umum sebagai berikut:
Tanpa batas ambang parlemen (Parliamentary Threshold)
Rumus
:
Divisor
Misalnya cukup terbagi 2 yaitu bagian 1 dan 2 saja.
Keterangan:
175
5
5
185
Keterangan:
Jumlah suara sah yang diperoleh batas ambang parlemen adalah 154.
Jumlah suara sah yang diperoleh batas ambang parlemen adalah 122.
x > 50%
x 66,7%
x > 50%
x 50%
dgn posisi 1
x 50%
Status
Mayoritas
multak
Mayoritas biasa
Mayoritas
koalisi
Minoritas
Keterangan: x adalah jumlah kursi DPR yang diraih oleh setiap partai.
Mayoritas multak
Mayoritas mutlak adalah setiap partai politik memenangi sebanyak dua per tiga dari seluruh
jumlah kursi DPR dan dapat mengubah aturan UUD.
#
1
2
3
Partai
Partai C
Partai B
Partai A
Mayoritas biasa
Mayoritas biasa adalah setiap partai politik memenangi antara setengah sampai dengan dua
per tiga dari seluruh jumlah kursi DPR tetapi tidak dapat mengubah aturan UUD.
#
1
2
3
Partai
Partai C
Partai B
Partai A
Mayoritas koalisi
Mayoritas koalisi adalah setiap partai politik memenangi hanya kurang dari setengah dari
seluruh jumlah kursi DPR tetapi berada posisi pertama sehingga harus berkoalisi untuk
mencapai sebanyak minimal setengah dari seluruh jumlah kursi DPR.
Pemenang & koalisi Juara 2 & koalisi
Hak Mayoritas
x > 50%
x < 50%
Pemenang & koalisi (Mayoritas koalisi)
x < 50%
x > 50%
Juara 2 & koalisi (Minoritas koalisi)
Keterangan: x adalah jumlah kursi DPR yang diraih oleh pembentukan koalisi.
Contoh
#
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Partai
partai F
partai N
partai J
partai A
partai C
partai K
partai E
partai M
partai B
partai I
partai O
partai G
partai H
partai L
partai D
Jika jumlah yang diberikan warna biru adalah 51% sedangkan tanpa diberi warna biru adalah
49% maka posisi pemenang&koalisi sebagai mayoritas koalisi.
#
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Partai
partai F
partai N
partai J
partai A
partai C
partai K
partai E
partai M
partai B
partai I
partai O
partai G
partai H
partai L
partai D
Jika jumlah yang diberikan warna biru adalah 49% sedangkan tanpa diberi warna biru adalah
51% maka posisi juara 2&koalisi sebagai minoritas koalisi.
Minoritas
Distrik
Proporsional
lemah
tinggi
kuat
rendah
tinggi
rendah
tinggi
tinggi
sama dengan SD
harus daerah
ya
hanya satu
rugi
desentralisasi (loyal pada
konstituensi)
tidak
tidak
sedikit
banyak
tidak
rendah
rendah
sama dengan SP
tidak harus daerah
tidak
dua atau lebih
untung
sentralisasi (loyal pada
pusat)
tergantung
ya
banyak
sedikit
ya
Pemilu di Indonesia
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pemilihan umum di Indonesia
Kegiatan para anggota, kader, relawan dan simpatisan partai politik Indonesia. Beberapa dari
mereka berusaha melalui pengajaran pengkaderan dan pelatihan untuk keberhasilan
partainya. Partai politik diseleksi untuk mengikutii dan penyelenggaraan Pemilihan Umum,
lalu Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah.
Pengamat asing (Rusia) di sebuah TPS di Jakarta pada hari Pemilu Presiden 2014
Sejak proklamasi kemerdekaan hingga tahun 2004 di Indonesia telah dilaksanakan pemilihan
umum sebanyak sepuluh kali, yaitu dimulai tahun 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009.
Jumlah kontestan partai partai politik dalam pemilihan disetiap tahunya tidak selalu sama,
kecuali pada pemilu tahun 1977 sampai 1997.[butuh rujukan]
Pemilu pada tahun 1955 dilangsungkan pada dua tahap sebagai berikut.[butuh rujukan] Pertama,
pemilu diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR.[butuh
rujukan]
Kedua, pemilu diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota
konstituante.[5]
Sama dengan First Past The Post (FPTP) sebab dari setiap distrik dipilih satu orang
wakil saja. Bedanya, dalam Alternate Vote pemilih melakukan ranking terhadap
calon-calon yang ada di surat suara (ballot). Misalnya rangkin 1 bagi favoritnya,
rangking 2 bagi pilihan keduanya, ranking 3 bagi pilihan ketiga, dan seterusnya.
Alternate Vote sebab itu memungkinkan pemilih mengekspresikan pilihan mereka di
antara kandidat yang ada, ketimbang Cuma memilih 1 saja seperti di FPTP. Alternate
Vote juga berbeda dengan FPTP dalam hal perhitungan suara. Jika FPTP ada 1 calon
yang memperoleh 50% suara plus 1, maka otomatis dia memenangkan pemilu distrik.
Dalam Alternate Vote, calon dengan jumlah pilihan rangking 1 yang terendah,
tersingkir dari perhitungan suara. Lalu, ia kembali diuji untuk pilihan rangking 2-nya,
yang jika kemudian terendah menjadi tersingkir. Setiap surat suara kemudian
diperiksa hingga tinggal calon tersisa yang punya rankin tinggi dalam surat (ballot)
suara. Proses ini terus diulangi hingga tinggal 1 calon yang punya suara mayoritas
absolut, dan ia pun menjadi wakil distrik. Alternate Vote, sebab itu, merupakan sistem
pemilu mayoritas. Sistem pemilu Alternate Vote digunakan di Fiji dan Papua Nugini.
5. Party
Block
Vote.
Esensi Party Block Vote sama dengan FPTP, bedanya setiap distrik partai punya lebih
dari 1 calon. Partai mencantumkan beberapa calon legislatif dalam surat suara.
Pemilih Cuma punya 1 suara. Partai yang punya suara terbanyak di distrik tersebut,
memenangkan pemilihan. Caleg yang tercantum di surat suara otomatis terpilih pula.
Sistem ini digunakan di Kamerun, Chad, Jibouti, dan Singapura.
Pada sistem Paralel, seperti juga pada MMP, setiap pemilih mungkin menerima hanya
satu surat suara yang digunakan untuk memilih calon ataupun partai (Korea Selatan)
atau surat suara terpisah, satu untuk kursi Mayoritas/Pluralitas dan satunya untuk
kursi Proporsional (Jepang, Lithuania, dan Thailand). Sistem paralel kini dipakai 21
negara. Armenia, Conakry, Jepang, Korea Selatan, Pakistan, Filipina, Russia,
Eychelles, Thailand, Timor Leste dan Ukraina menggunakan FPTP satu distrik satu
wakil bersama dengan komponen Proporsional Daftar, sementara Azerbaijan,
Georgia, Kazakhstan, Lithuania, dan Tajikista menggunakan Two Round System
untuk distrik satu wakil untuk sistemnya.
Block
Vote
o Mudah digunakan
o Menghendaki partai yang kuat
o Memungkinkan partai-partai memilih caleg yang merepresentasikan kalangan
minoritas.
Vote
Round
System
tatkala cukup kursi Proporsional, partai kecil minoritas yang kurang sukses di
pemilihan Mayoritas/Pluralitas tetap dianugerahi kursi melalui sistem Proporsional
atas setiap suara yang diperoleh.
2. Sebagai tambahan, sistem Paralel secara teoretis, kurang menciptakan fragmentasi
partai ketimbang sistem pemilihan murni Proporsional.
Kelemahannya adalah:
1. Sebagaimana terjadi dengan Mixed Member Proportional, akan menciptakan dua
kategori wakil rakyat.
2. Sistem ini tidak menjamin keproporsionalan
3. Sejumlah partai kemungkinan akan tetap kehilangan representasi kendatipun
memenangkan jumlah suara secara substansial. Sistem Paralel juga relatif rumit dan
membuat pemilih bingung sebagaimanan ini juga menimpa para panitianya.
CARA PERHITUNGAN SISTEM PEMILU PROPORSIONAL
Hasil ditentukan melalui serangkaian perhitungan. Pada perhitungan pertama, total jumlah
suara rangking pertama tiap kandidat didahulukan. Setiap calon yang punya suara rangking
pertama lebih besar atau sama dengan kuota otomatis terpilih. Setelah itu perhitungan
dilanjutkan dengan, suara lebih kandidat terpilih (yang suaranya di atas kuota) didistribusikan
kepada pilihan rangking kedua di surat suara. Demi keadilan, seluruh surat suara masingmasing calon didistribusikan. Contohya, jika seorang calon punya 100 suara, dan
kelebihannya 5 suara, lalu setiap kertas suara diredistribusikan senilai 1/20 kali dari 1 suara.
Setelah perhitungan selesai, jika tidak ada calon yang punya kelebihan suara lebih dari kuota,
calon dengan total suara terandah tersingkir. Suara mereka diredistribusika ke perhitungan
selanjutnya dari para calon yang masih bersaing untuk rangking kedua dan seterusnya.
Perhitungan diteruskan hingga seluruh kursi di distrik ditempati pemenang yang menerima
kuota atau jumlah calon yang tersisa dalam proses perhitungan tinggal satu atau lebih dari
jumlah kursi yang nantinya diduduki.
CARA PERHITUNGAN SISTEM PEMILU DISTRIK
Contoh hipotesis dalam Buku DASAR DASAR ILMU POLITIK Prof. Miriam Budiarjo
halaman 463. Suatu wilayah dengan 100.000 penduduk, di mana 3 partai bersaing
memperebutkan 10 kursi di parlemen. Wilayah itu terdiri atas 10 distrik. Seandainya dalam
wilayah dipakai system distrik, system distrik berhak atas 1 kursi dari umlah total 10 kursi
yang diperebutkan dengan jumlah total 10 kursi. Misalnya, dalam 1 distrik ada 3 calon. Calon
A ( beserta partainya ) memperoleh 60% suara, calon B memperoleh 30% suara, dan calon C
mendapat 10% suara. Pemenang calon A, memperoleh 1 kursi ( the winner takes
all ),sedangkan 30% jumlah suara dari calon B dan 10 % dari calon C dianggap hilang
(wasted)
PERBEDAAN ANTARA SISTEM PEMILU DI INDONESIA DENGAN NEGARA
LAINNYA
SISTEM PEMILU DI INDONESIA
Pada awalnya pemilu di Indonesia bertujuan hanya untuk memilih badan legislatif DPR,
DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden semula di
lakukan oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Berdasarkan amandemen ke empat
UUD 1945 tahun 2002 pilpres di lakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres dimasukkan
agenda pemilu. Di Indonesia :
1. Di ikuti oleh banyak partai politik
2. Karena partai politik yang ikut pemilu banyak, calon presiden dan wakil presiden juga
banyak
3. Pemilu di laksanakan 2 kali, yaitu untuk memilih partai dan capres/wapres
SISTEM PEMILU DI AMERIKA
Pemilihan Umum (Pemilu) Amerika Serikat diselenggarakan setiap dua tahun sekali pada
bulan November tahun genap. Pemilu selalu jatuh pada hari Selasa yang jatuh setelah Senin
pertama pada bulan tersebut. Di Amerika :
1. Partai hanya 2 yaitu partai demokrat dan partai republik.
2. Karena hanya ada 2 partai maka hanya ada 2 calon presiden.
3. Calon presiden masing-masing partai terlebih dahulu di seleksi melalui konsesi yang
melibatkan kader masing-masing partai.
4. Dalam konsesi hanya masyarakat yang mendaftar dalam partai atau terdaftar yang
boleh ikut menentukan calon presiden.
5. Karena ada 2 partai maka salah satu akan menjadi partai penguasa dan partai yang
lain menjadi partai oposisi.
6. Pemilu dilakukan 2 kali yaitu pemilu untuk pemilih umum atau masyarakat dan
pemilu yang diikuti oleh para senator.
SISTEM PEMILU DI CHINA
Cina adalah negara kepulauan yang berbentuk republik yang pemerintahannya dipimpin oleh
presiden. Cina mempunyai kekuasaan atas 4 cabang (Yuan) yaitu Yuan Eksekutif, Yuan
Perwakilan, Yuan Kehakiman dan Yuan Pengawas. Presiden melantik anggota Yuan Eksekutif
sebagai anggota kabinetnya termasuk Perdana Menteri yang bertanggungjawab terhadap
polisi dan pengendalian ketertiban. Badan utama perwakilan merupakan Dewan Perwakilan
Rakyat dengan 225 kursi dimana 168 darinya diisi oleh anggota hasil pemilu. Sisanya
dibagikan secara proporsional antara keseluruhan yang diterima partai (41 kursi), wilayah
seberang lautan 8 kursi) dan kursi khusus penduduk asli Taiwan (8 kursi). Para anggota
dewan ini memiliki masa jabatan 3 tahun. Pada awalnya Dewan Konstituante Nasional,
sebagai badan konstitusi dan wakil rakyat umumnya, mempunyai sedikit kekuasaan legislatif,
akan tetapi dewan ini telah dihapuskan pada tahun 2005 dan kekuasaan untuk merancang
konstitusi diserahkan kepada Yuan Perwakilan dan pemilih dari kalangan rakyat.Home
Pemilu
Menurut teori demokrasi klasik pemilu merupakan suatu Transmission of Belt
sehingga kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat beralih menjadi kekuasaan negara yang
kemudian menjelma dalam bentuk wewenang pemerintah untuk memerintah dan mengatur
rakyat.
Berikut beberapa pernyataan beberapa para ahli mengenai pemilu:
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim: pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk
memilih wakil-wakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebut dirinya sebagai
negara demokrasi, pemilihan umum itu harus dilaksanakan dalam wakru-waktu tertentu.
Bagir Manan: Pemilhan umum yang diadakan dalam siklus lima (5) tahun sekali merupakan
saat atau momentum memperlihatkan secara nyata dan langsung pemerintahan oleh rakyat.
Pada saat pemilihan umum itulah semua calon yang diingin duduk sebagai penyelenggara
negara dan pemerintahan bergantung sepenuhnya pada keinginan atau kehendak rakyat.
B.
Sistem Pemilu
Sistem Pemilihan Umum adalah metode yang mengatur dan memungkin warga
negara memilih para wakil rakyat diantara mereka sendiri. Metode berhubungan dengan
prosedur dan aturan merubah ( mentransformasi ) suara ke kursi dilembaga perwakilan.
Mereka sendiri maksudnya yang memilih maupun yang hendak dipilih merupakan bagian
dari satu entitas yang sama.
Terdapat komponen-komponen atau bagian-bagian yang merupakan sistem tersendiri
dalam melaksanakan pemilihan umum, antara lain:
a. Sistem pemilihan.
b. Sistem pembagian daerah pemilihan.
c. Sistem hak pilih.
d. Sistem pencalonan.
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum,dengan berbagai
variasinya. Akan tetapi, umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu:
1.
2.
C.
1.
Pada masa ini pemilu dilaksanakan oleh kabinet Baharuddin Harahap pada tahun
1955. Pada pemilu ini pemungutan suara dilakukan dua kali yaitu yang pertama untuk
memilih anggota DPR pada bulan September dan yang kedua untuk memilih anggota
Konstituante pada bulan Desember. Sistem yang digunakan pada masa ini adalah sistem
proporsional.
Dalam pelaksanaannya berlangsung dengan khidmat dan sangat demokratis tidak ada
pembatasan partai-partai dan tidak ada usaha dari pemerintah mengadakan intervensi
terhadap partai kampanye berjalan seru. Pemilu menghasilkan 27 partai dan satu perorangan
berjumlah total kursi 257 buah.
Namun stabilitas politik yang sangat diharapkan dari pemilu tidak terwujud. Kabinet
Ali (I dan II) yang memerintah selama dua tahun dan yang terdiri atas koalisi tiga besar:
Masyumi, PNI, dan NU ternyata tidak kompak dalam menghadapi beberapa persoalan
terutama yang terkait dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi Parlementer
berakhir.
2.
3.
4.
digunakan system proposional dengan daftar terbuka, sehingga pemilih dapat memberikan
suaranya secara langsung kepada calon yang dipilih. Dan pada tahun 2004, untuk pertama
kalinya diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, bukan melalui
MPR lagi.
D.
Manfaat Pemilu
Pemilu dipandang sebagai bentuk paling nyata dari kedaulatan yang berada di tangan
rakyat serta wujud paling konkret partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara. Oleh
karena itu,sistem dan penyelenggaraan pemilu selalu menjadi perhatian utama karena melalui
penataan, sistem dan kualitas penyelenggaraan pemilu diharapkan dapat benar-benar
mewujudkan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat.
Penyelenggaraan Pemilu sangatlah penting bagi suatu negara, hal ini disebabkan karena :
a. Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat.
b. Pemilu merupakan sarana untuk melakukan penggantian pemimpin secara konstitusional.
c. Pemilu merupakan sarana bagi pemimpin politik untuk memperoleh legitimasi.
d. Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam proses politik.
E.
d) Bagi partai besar, lebih mudah untuk mendapatkan kedudukan mayoritas di parlemen.
e) Jumlah partai yang terbatas membuat stabilitas politik mudah diciptakan
2)
Kelemahan Sistem Distrik
Ada kesenjangan persentase suara yang diperoleh dengan jumlah kursi di partai, hal ini
menyebabkan partai besar lebih berkuasa.
b) Partai kecil dan minoritas merugi karena sistem ini membuat banyak suara terbuang.
c) Sistem ini kurang mewakili kepentingan masyarakat heterogen dan pluralis.
d) Wakil rakyat terpilih cenderung memerhatikan kepentingan daerahnya daripada kepentingan
nasional.
a)
list proportional representation : disini partai-partai peserta pemilu menunjukan daftar calon
yang diajukan, para pemilih cukup memilih partai. alokasi kursi partai didasarkan pada daftar
urut yang sudah ada.
b.
the single transferable vote : para pemilih di beri otoritas untuk menentukan preferensinya.
pemenangnya didasarkan atas penggunaan kota.
Sadarilah apabila kita salam memilih pemimpin akan berakibat fatal karena dapat
menyengsarakan rakyatnya. Sebaiknya pemerintah mengadakan sosialisasi pemilu yang
bersih dan bebas money politic kepada masyarakat luas agar tingkat partisipasi masyarakat
dalam demokrasi secara langsung meningkat.
Perlu keseriusan dalam penyuluhan pendidikan politik kepada masyarakat dengan
penanaman nilai yang aman, damai, jujur dan kondusif dalam memilih. Hal tersebut dapat
membantu menyadarkan masyarakat untuk memilih berdasarkan hati nurani tanpa tergiur
dengan praktek money politic yang dapat menghancurkan demokrasi.
G.
Asas
Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari
"Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru.
Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh
diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah
memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya
tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh
pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari
"Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan
sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat
memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk
menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap
peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta
atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun
peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
H.
Jadwal
Posisi
2014
Presiden dan
wakil presiden
Ya
2015
2016
2017
2018
Tidak
2019
Ya
DPD
DPR
Gubernur dan
wakil
gubernur
Lampun
g,
Gorontal
o
Jambi,
Bengkulu,
Kepri,
Kalteng,
Kaltim,
Sulut
Sulteng,
Sulbar,
Papua,
Pabar
Jakart
a
Sumsel,
Bali
Lampung,
Gorontalo,
Jambi
Walikota/Bupa
ti dan wakil
walikota/bupat
i
Tidak
Banda Aceh,
Bandar
Lampung,
Palangkaray
a, Surakarta
Semaran
g, Bogor,
Ciberon,
Padang,
Dumai
Meda
n
Palemban
g, Batam
Surabaya,
Bandung,
Tanggeran
g
2014
Type
Presiden
(Juli&Septemb
er)
DPD&DPR
(April)
2015
2016
Tidak
2017
2018
2019
Presiden
(Septemb
er &
Oktober)
DPR
(April)
DPD
(Juli)
Presiden dan
wakil
presiden
Ya
Tidak
Ya
DPD
DPR
Gubernur
dan wakil
gubernur
Lampung,
Gorontalo
Jambi,
Bengkulu,
Kepri,
Kalteng,
Kaltim,
Sulut
Sulteng,
Sulbar,
Papua,
Pabar
Jakart Sumsel,
a
Bali
Walikota/Bup
ati dan wakil
walikota/bup
ati
Tidak
Banda
Aceh,
Bandar
Lampung,
Palangkara
ya,
Surakarta
Semaran
g,
Bogor,
Cirebon,
Padang,
Dumai
Meda
n
Lampung
,
Gorontalo
, Jambi
Palemban Surabaya,
g, Batam Bandung,
Tanggera
ng
Keterangan:
a.
Tahun 2019 Pemilihan Umum dilakukan serentak untuk semua jenis di seluruh wilayah.
b.
Pilkada pada tahun 2017 serta 2018 dimundurkan dan tahun 2020 serta 2021 dimajukan pada
tahun 2019 serta Setiap Tahun.
Mahkamah Konstitusi memutuskan pemilihan umum untuk semua jenis digelar serentak
pada tahun 2019.
I.
Terbuka/tertutup
Distrik/proporsional/campuran
tertutup
proporsional
terbuka
campuran
1971
1977
1982
1987
1992
1997
1999
2004
2009
2014
J.
Putaran pertama
Minimal 50%
Minimal 30%
DPR
Suara terbanyak
(batas ambang 2,5%)
DPRD
DPD
K.
Putaran kedua
Minimal 50%
n/a
Suara terbanyak
Total
Presiden
Gubernur
64
Walikota/Bupati
1022
DPR
560
DPRD
20 per kabupaten/kota
DPD
4 per provinsi
DPRA
70
kemampuan untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Miriam Budiardjo (1987: 175). Demikian yang
disebut sebagai perwakilkan yang bersifat politik _ Political Representation.
LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU DI INDONESIA DARI MASA KE MASA
Oleh: Anis Ibrahim*
ABSTRAK
Sejak pertama kali dibentuk tahun 1946, lembaga penyelenggara Pemilu di Indonesia
mengalami pasang surut. Dari semula keanggotaannya yang independen kemudian berubah
menjadi partisan dan kembali menjadi independen. Pada dasarnya tingkat
independensi/netralitas lembaga penyelenggara Pemilu ini tergantung pada rezim yang
berkuasa dan aturan hukum yang mendasarinya.
Kata Kunci: Lembaga Penyelenggara Pemilu, Indonesia, Independen.
A.
(2)
pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan
anggota DPRD;
(3) pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap,
dan mandiri.
Berdasar ketentuan Konstitusi tersebut dapat diketengahkan bahwa organisasi
penyelenggara Pemilu di Indonesia adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri. Ini bermakna bahwa Konstitusi Indonesia telah menyatakan
sangat pentingnya eksistensi lembaga penyelenggara Pemilu, dan pada akhirnya
mengharuskan dibentuk KPU yang sifatnya nasional, tetap, dan mandiri, yang kemudian
diberi beban tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan Pemilu yang demokratis. Dengan
demikian, UUD Tahun 1945 telah memberi posisi legal-konstitusional bagi KPU sebagai
lembaga negara yang bertugas menyelenggarakan Pemilu.
B. LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU DI INDONESIA DALAM LINTASAN
SEJARAH
Sejak merdeka Negara Indonesia telah beberapa kali memiliki lembaga penyelenggara
Pemilu yang bertugas menyelenggarakan Pemilu dengan segala romantikanya. Bagaimana
performance penyelenggara Pemilu, tampaknya sangat terkait dengan produk hukum yang
mendasari lahirnya lembaga ini. Oleh karenanya, faktor hukum yang melandasi eksistensi
lembaga penyelenggara Pemilu niscaya dilihat secara bersama-sama dalam sejarah peradaban
penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
1.
Lembaga Penyelenggara Pemilu Tahun 1946[3]
Indonesia pertama kali membentuk lembaga yang bertugas menyelenggarakan Pemilu
adalah pada tahun 1946. Pemilu yang pertama kali sedianya diadakan untuk mengisi
keanggotaan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sebuah badan perwakilan rakyat yang
pertama kali dimiliki Indonesia sejak kemerdekaannya. KNIP semula dibentuk atas dasar
Maklumat X 16 Oktober 1945. Untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan mengisi
lembaga itulah melalui maklumat tersebut pemerintah menyatakan rencananya untuk
menyelenggarakan Pemilu. Pada maklumat 3 Nopember 1945, disebutkan bahwa pemilihan
anggota-anggota badan perwakilan tersebut akan dilangsungkan Januari 1946.
Ternyata rencana tersebut tidak terlaksana. Juli 1946, dengan persetujuan Badan
Pekerja (BP) KNIP disahkan UU No. 12/1946 tentang Pembaharuan Susunan Komite
Nasional Indonesia Pusat. Dalam UU ini disebutkan bahwa badan penyelenggara pemilihan
dari pusat sampai daerah akan dibentuk. Badan ini akan bertugas menyelenggarakan
pemilihan untuk memilih 110 orang anggota KNIP. Di pusat namanya Badan Pembaharuan
Susunan Komite Nasional Pusat (disingkat BPS), di daerah dinamakan Cabang BPS. BPS
dibentuk oleh presiden, berkedudukan di Yogyakarta, dengan tugas pokok melakukan
pembaharuan keanggotaan KNIP. Anggota BPS ada 10 orang (seorang merangkap ketua dan
seorang lagi merangkap wakil ketua) yang merupakan wakil dari partai politik dan wakil dari
daerah. Mereka diangkat presiden, dan presiden pula yang bisa memberhentikan. Mereka
dilantik oleh Wapres Mohammad Hatta pada 16 September 1946.
Untuk menjalankan tugas tersebut, di tingkat pusat, pemerintah membentuk Kantor
Pemilihan melalui Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1946. Tugasnya adalah melaksanakan
administrasi pemilihan, menyeleng-garakan rapat-rapat BPS, menyusun laporan pelaksanaan
pemilihan, mencetak barang-barang keperluan BPS, membuat pengumuman-pengumuman,
dan pengarsipan. Kantor Pemilihan dipimpin oleh seorang Sekretaris, yang diangkat dan
diberhentikan oleh Ketua BPS.
Untuk pelaksanaan pemilihan di daerah, Cabang BPS didirikan di tiap karesidenan,
tempat kedudukan gubernur (untuk Kalimantan dan Maluku), dan di tempat lain yang
ditentukan oleh BPS (untuk Sunda Kecil dan Sulawesi). Waktu itu Cabang BPS yang
dibentuk ada 33. Tugas Cabang BPS adalah memimpin dan mengawasi pemilihan
(pendaftaran) pemilih di wilayahnya dan menyelenggarakan pemilihan anggota KNIP. Jumlah
anggotanya bisa berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain, tetapi strukturnya sama
dengan BPS di pusat, yaitu seorang ketua, seorang wakil ketua, dan beberapa anggota. Ketua
dan wakil ketua juga merangkap anggota. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh presiden
atau gubernur.
Untuk mendukung tugas Cabang BPS, dibentuklah Cabang Kantor Pemilihan yang
tugasnya mirip dengan tugas Kantor Pemilihan di pusat, mengadministrasikan
penyelenggaraan pemilihan di daerah masing-masing. Di bawah Cabang BPS adalah Komisi,
yang tugasnya membantu Cabang BPS, khususnya dalam menetapkan pemilih di wilayah
masing-masing. Wilayah kerja Komisi adalah daerah kawedanaan (untuk di Jawa),
karesidenan (untuk Sumatera), atau propinsi (untuk Kalimantan, Maluku, Sulawesi, dan
Sunda Kecil). Anggotanya merupakan wakil-wakil dari perkumpulan politik, ekonomi, sosial,
dan laskar rakyat.
Pada 1948 BPS beserta semua organ ikutannya, di pusat maupun di daerah,
dibubarkan, melalui Penetapan Presiden No. 28/1948. Pembubaran tersebut merupakan
konsekuensi dari tidak digunakannya lagi UU No. 12/1946 tentang Pembaharuan Susunan
KNIP. Dengan demikian, belum sempat menyelenggarakan Pemilu lembaga penyelenggara
Pemilu ini ternyata dibubarkan lebih dahulu.
2.
Lembaga Penyelenggara Pemilu Tahun 1948[4]
Tahun 1948 diundangkan UU No. 27/1948 tentang Penyusunan Dewan Perwakilan
Rakyat dan Pemilihan Anggota-anggotanya. Dengan terbitnya UU ini, maka UU No. 12/1946
menjadi tidak berlaku. UU No 27/1948 menyebutkan bahwa anggota DPR dipilih melalui
Pemilu dari tingkat pusat sampai daerah. Untuk melaksanakan Pemilu itu di pusat dibentuk
Kantor Pemilihan Pusat (KPP), di tingkat propinsi dibentuk Kantor Pemilihan, di kabupaten
diadakan Cabang Kantor Pemilihan, dan di kecamatan didirikan Kantor Pemungutan Suara.
Semuanya untuk menyelenggarakan Pemilu yang memilih anggota DPR. Sedangkan untuk
memilih anggota DPRD diatur tersendiri yang pelaksanaannya tidak bersamaan dengan
pemilihan anggota DPR.
Waktu itu jumlah anggota KPP ditetapkan sekurang-kurangnya 5 orang anggota dan 3
orang wakil anggota. Dua di antara mereka menjadi ketua merangkap anggota. Semuanya
diangkat oleh presiden untuk masa kerja 5 tahun. Pada akhir tahun 1950, melalui Penetapan
Presiden No. 19 tanggal 9 Desember 1950 keanggotaan KPP diubah. Pada susunan yang baru
ini ketua tidak merangkap anggota. Tugas KPP adalah memimpin pemilihan pemilih dan
memilih anggota DPR. Untuk menopang tugas KPP dibantu Sekretariat KPP yang
personalianya diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman.
Di tingkat provinsi, tugas yang dijalankan oleh KPP dibebankan kepada Kantor
Pemilihan (KP) yang berkedudukan di ibukota provinsi. Anggota KP diangkat dan
diberhentikan oleh presiden. KP inilah yang bertanggung jawab memimpin pemilihan pemilih
dan pemilihan anggota DPR di daerah kerjanya. Selain di provinsi, untuk -daerah tertentu
seperti DI Yogyakarta dan Karesidenan Surakarta, pemerintah menetapkan di daerah-daerah
tersebut juga dibentuk KP. Tiap KP beranggotakan sekurang-kurangnya 5 orang dan 3 wakil
anggota, dengan masa kerja 5 tahun. Gubernur atau Residen secara ex officio adalah Ketua
KP.
Di bawahnya lagi adalah kabupaten. Di tingkat ini dibentuk Cabang Kantor Pemilihan
(Cabang KP). Tugasnya, memimpin pemilihan pemilih dan pemilihan anggota DPR di
daerahnya atas perintah KP. Yang membentuk dan memberhentikan gubernur atau residen
yang secara ex officio merupakan Ketua KP. Dengan UU No. 12/1949 tentang Perubahan UU
No. 27/1948 tentang Susunan DPR dan Pemilihan Anggotanya, untuk Pemilu yang pertama
pembentukan Cabang KP tidak dilakukan.
seharusnya sudah berakhir, mereka diminta tetap meneruskan pekerjaannya sampai ada
keputusan lebih lanjut.
Untuk menjalankan tugasnya, PPI didukung sebuah Sekretariat PPI yang dipimpin
seorang sekretaris. Sedangkan sekretaris dibantu seorang wakil sekretaris. Sekretaris dan
wakilnya diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman. Adapun pegawai Sekretariat
PPI diambilkan dari Kementerian Kehakiman.
Di tingkat provinsi, tugas persiapan dan penyelenggaraan Pemilu untuk anggota
Konstituante dan DPR adalah PP. Meskipun keberadaannya di provinsi, yang membentuk PP
adalah presiden. Pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Menteri Kehakiman
untuk masa kerja 4 tahun. Menurut UU Darurat No. 18/1955 PP beranggoatakan sekurangkurangnya 7 orang, dua di antaranya merangkap ketua dan wakil ketua. PP dibantu
Sekretariat PP yang dipimpin seorang sekretaris. Yang mengangkat dan memberhentikan
Sekretaris PP adalah Ketua PPI.
Di tingkat kabupaten, PP Kabupaten (PP Kab) dibentuk oleh Mendagri. Tugasnya
membantu PP. Anggota PP Kab sekurang-kurangnya adalah 7 orang, dua di antaranya
merangkap ketua dan wakil ketua. Ketua PP Kab adalah bupati setempat. Mereka diangkat
dan diberhentikan oleh gubernur atas nama Mendagri. Masa kerjanya juga ditentukan oleh
Mendagri. Secara administratif dan organisatoris PP Kab termasuk di dalam Kementerian
Dalam Negeri. PPI hanya membawahi mereka dalam hal teknis pelaksanaan Pemilu. Pada
setiap PP Kab diadakan Sekretariat PP Kab yang dipimpin seorang sekretaris. Yang berhak
mengangkat dan memberhentikan PP Kab adalah Ketua PP Kab.
UU No. 7/1953 membagi struktur badan penyelenggara Pemilu menjadi dua, yaitu
permanen dan nonpermanen. Ditinjau dari masa kerjanya, PP Kab merupakan struktur yang
tidak permanen. Semua struktur dari PP Kab ke bawah bersifat nonpermanen. Yang permanen
hanyalah PPI dan PP. Untuk pelaksanaan di tingkat bawahnya, yaitu kecamatan, bupati atas
nama Mendagri membentuk PPS. Tugasnya, membantu PP Kab dalam mempersiapkan
pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR dan menyelenggarakan pemungutan suara.
Jumlah anggotanya sekurang-kurangnya 5 orang, termasuk ketua yang dijabat oleh camat
yang bersangkutan. Selain ketua ada juga wakil ketua, yang juga merangkap anggota. Yang
mengangkat dan memberhentikan mereka adalah bupati atas nama Mendagri. Mendagri pula
yang menentukan masa kerja mereka. Secara administratif dan organisatoris PPS merupakan
bagian dari Kementerian Dalam Negeri. PPI hanya membawahi dalam hal teknis pelaksanaan
Pemilu. Untuk menjalankan pekerjaannya PPS dibantu sebuah Sekretariat PPS. Sekretariat
dipimpin seorang sekretaris yang diangkat dan diberhentikan oleh Ketua PPS.
Di tingkat desa, camat atas nama Mendagri membentuk Panitia Pendaftaran Pemilih
(PPP). Tugasnya, melakukan pendaftaran pemilih, menyusun daftar pemilih, dan membantu
PPS mempersiapkan pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR. Anggotanya
sekurang-kurangnya 3 orang dengan ketuanya adalah kepala desa. Ia merangkap anggota.
Selain ketua ada seorang wakil ketua yang juga merangkap anggota. Wakil ketua dan para
anggota diangkat dan diberhentikan oleh camat atas nama Mendagri. Masa kerjanya juga
tergantung Mendagri.
Tingkat yang paling bawah di dalam struktur lembaga penyelenggara Pemilu 1955
adalah PPS (Penyelenggara Pemungutan Suara). PPS dibentuk oleh camat di tiap tempat
pemungutan suara (TPS). PPS dipimpin seorang ketua (yang merangkap anggota). Sedangkan
anggota lainnya sedapat-dapatnya diambilkan dari bekas anggota PPP. Yang mengangkat dan
memberhentikan anggota PPS adalah camat. Camat pula yang menentukan masa kerja
mereka.
Pada tahun 1959 PPI dan PP berhenti menjalankan tugasnya tetapi sesungguhnya
belum dibubarkan, hanya saja pemerintah tidak mengangkat anggotanya lagi. Ini merupakan
konsekuensi dari keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli tahun itu yang menyatakan berlakunya
kembali UUD 1945, UUDS 1950 dengan sendirinya tak berlaku lagi. Meskipun PPI dan PP
sudah tidak ada, Sekretariat PPI masih berjalan sampai tahun 1969.
Sejarah mencatat bahwa meski keanggotaan PPI diisi oleh orang-orang yang berasal
dari berbagai parpol yang bersaing dalam Pemilu, namun kerja mereka dalam
menyelenggarakan Pemilu dilakukan secara objektif, jujur, dan adil, serta pengambilan
keputusan ditempuh secara egaliter. Terhadap pelaksanaan Pemilu yang demikian itu, Moh.
Mahfud MD menulis: Pengambilan keputusan di semua tingkatan panitia dilakukan secara
demokratis, bukan instruktif yang memberi bobot lebih berat kepada pimpinan.[6]
Herbert Feith pun menggambarkan bahwa Pemilu 1955 sebagai pemilu yang anggun.
Sekalipun Feith menceritakan adanya praktik intimidasi di berbagai pelosok, tetapi Pemilu
1955 relatif bersih dari praktik manipulasi dan represi. Maka hingga sekarang, Pemilu 1955
diingat orang sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
Namun, Sekalipun begitu, Pemilu 1955 tak steril dari sejumlah persoalan. Pengawasan dan
pemantauan pemilu belum dikenal. Maka, kesimpulan Feith bahwa Pemilu 1955 relatif bebas
kecurangan, sebetulnya sulit diverifikasi, tak disokong oleh praktik pemantauan yang
layak.[7]
4.
Lembaga Penyelenggara Pemilu Era Orde Baru (Tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,
1997)
Dari paparan di atas bisa diketahui bahwa setelah Pemilu 1955 selesai praktis PPI dan
PP serta jaringan di bawahnya tidak ada kegiatan. Pemilu berikutnya, yang semula hendak
diadakan tahun 1969, ternyata baru bisa diadakan 1971. Persiapan ke arah itu dilakukan
dengan membuat UU. UU No. 15/1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-anggota Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat menyebutkan bahwa untuk pemilihan tersebut presiden
membentuk Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Presiden melakukan itu lewat Keppres No.
3/1970.
Menurut UU tersebut dan perubahannya yaitu UU No. 4/1975, UU No. 2/1980, dan
UU No. l/1985 LPU merupakan lembaga yang bersifat permanen, yang terdiri atas 3 unsur,
yaitu dewan pimpinan, dewan/anggota-anggota pertimbangan, dan sekretariat. Dewan
Pimpinan ini diisi oleh beberapa menteri dan sifatnya fungsional. Lembaga penyelenggara
Pemilu berikutnya di era Orde Baru pada dasarnya sama dengan LPU pada Pemilu 1972,
dalam arti bahwa susunan organisasi dan tata kerjanya tidak berubah. Yang mengalami
perubahan adalah orang-orangnya meski tidak semua.
Setiap menjelang Pemilu, Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres yang mengatur
tentang LPU yang intinya sama saja, yakni memuat 4 tugas yang dibebankan kepada LPU,
yaitu (1) membuat perencanaan dan persiapan Pemilu, (2) memimpin dan mengawasi panitiapanitia di pusat dan daerah, (3) mengumpulkan dan mensistematisasi bahan dan data hasil
Pemilu, dan (4) mengerjakan hal-hal lain yang dipandang perlu untuk melaksanakan Pemilu.
Pada LPU dibentuk panitia-panitia dari pusat sampai daerah. Untuk tingkat pusat
dibentuk Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), untuk provinsi atau Dati I dibentuk Panitia
Pemilihan Daerah (PPD) I, untuk Dati II atau kabupaten/kotamadya dibentuk PPD II.
Sedangkan di tingkat kecamatan dibentuk Panitia Pemungutan Suara (PPS), untuk desa atau
kelurahan diadakan Panitia Pendaftaran Pemilih (PPP), dan untuk tiap Tempat Pemungutan
Suara (TPS) dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Untuk
menjalankan Pemilu bagi WNI yang berada di luar negeri, dibentuk Panitia Pemilihan Luar
Negeri yang berkedudukan di Deplu, di Kantor Perwakilan RI di luar negeri didirikan PPS
Luar Negeri, dan untuk tiap TPS di luar negeri diadakan KPPS Luar Negeri. Sampai di sini
banyak kemiripannya dengan struktur badan penyelenggara Pemilu yang ada sebelumnya.
Ketua panitia untuk semua tingkatan diduduki oleh para pejabat pemerintah, yakni
Mendagri untuk Ketua PPI, gubernur untuk Ketua PPD I, bupati/walikota madya untuk PPD
II, camat untuk PPS, dan kepala desa/lurah untuk PPP. Sementara itu untuk keanggotaan LPU
dan semua tingkat kepanitiaan diatur dengan Peraturan Pemerintah yang dapat melibatkan
parpol dan Golkar di dalamnya. Pada dasarnya setiap LPU dapat mengambil keputusan
terhadap semua masalah yang berkaitan dengan Pemilu. Namun, andai dalam lembaga
tersebut terjadi ketidaksinkronan mengenai suatu persoalan, maka presiden menetapkan
keputusan final (Pasal 8 ayat (8) UU No. 15/1969.[8]
Di samping itu, ada Dewan/Anggota-anggota Pertimbangan yang diadakan untuk
memberikan pertimbangan atau masukan kepada Dewan Pimpinan, diminta ataupun atas
prakarsa sendiri. Mereka terdiri atas wakil dari organisasi golongan politik yang diakui dan
golkar, yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan presiden. Pada awal Pemilu era
Orde baru, penetapan anggota dewan ini dicantumkan dalam Keppres 07/1970.
Setelah aktivitas pemungutan dan penghitungan suara selesai, semua organ yang
dibentuk untuk menunjang tugas LPU dibubarkan. Sedangkan LPU-nya sendiri
dipertahankan. Pembubarannya dilakukan secara bertahap menurut penyelesaian tugas
masing-masing. Pantarlih adalah yang paling awal pembubarannya melalui Keputusan
Bupati/Walikota/Ketua PPD II, yaitu selambat-lambatnya 30 hari setelah daftar pemilih
disahkan oleh camat/Ketua PPS.
Setelah Pantarlih, segera menyusul dibubarkan adalah KPPS. Menurut ketentuannya,
lembaga ini harus dibubarkan selambat-lambatnya 20 hari setelah tanggal pemungutan suara.
Pembubarannya dilakukan dengan Keputusan Bupati/Walikota/Ketua PPD II. Yang ketiga
terawal pembubarannya adalah PPS melalui Keputusan Ketua PPD II. Lembaga ini memang
menurut ketentuannya harus dibubarkan paling lambat 3 bulan setelah pelaksanaan
pemungutan suara. Selanjutnya secara berturut-turut PPD II, PPD I, dan PPLN dibubarkan.
Pada praktiknya, banyak keluhan dari kalangan parpol terkait dengan keterlibatannya
dalam LPU yang hanya parsial yakni tidak bisa melaksanakan kontrol menyeluruh dalam
rantai perhitungan pada semua penyelenggaraan Pemilu Orde Baru. Misalnya Yusuf Syakir,
anggota PPI 1992 dari unsur Partai Persatuan, mengatakan, di LPU tidak ada keputusan yang
dirapatkan bersama. Yang ada hanya pelimpahan order, dan fungsi OPP di situ hanya embelembel.[9]
Berdasarkan penyelenggaraan Pemilu di Era Orde Baru tersebut dapat diketengahkan
bahwa memang benar bahwa ada organ penyelenggara Pemilu, namun:
... penyelenggara pemilu adalah pemerintah, terutama Departemen Dalam Negeri. Azas
ketidakberpihakan penye-lenggara pemilu tidak terpenuhi karena pemerintah adalah bagian
dari partai berkuasa dan menjadi salah satu peserta pemilu pula. ... Sehingga syarat kompetitif
yang adil dan bebas tidak terpenuhi. Partai berkuasa memiliki kesempatan untuk bersaing
lebih baik dari pada partai-partai oposisi. Hasilnya pun bisa diduga. Partai berkuasa selalu
menang dengan mayoritas mutlak, rata-rata memperoleh 80 % suara.[10]
Wajarlah pada akhirnya, jika praktek penyelenggaraan pemilu-pemilu Orde Baru
digambarkan oleh seorang Indonesianis, William Liddle, dalam buku Pemilu-pemilu Orde
Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik (Jakarta, 1992) sebagai berikut:
"Pemilu-pemilu Orde Baru bukanlah alat yang memadai untuk mengukur suara rakyat.
Pemilu-pemilu itu dilakukan melalui sebuah proses yang tersentralisasi pada tangan-tangan
birokrasi. Tangan-tangan itu tidak hanya mengatur hampir seluruh proses pemilu, namun juga
berkepentingan untuk merekayasa kemenangan bagi "partai milik pemerintah". [11]
Pemilu tahun 1997 yang diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997 merupakan Pemilu
terakhir di era kekuasaan Orba yang diselenggarakan oleh LPU beserta perangkatnya. Sesuai
dengan sirkulasi kekuasaan lima tahunan, Pemilu harusnya dilaksanakan lima tahun
berikutnya, yakni pada tahun 2002. Namun, dengan tergulingnya penguasa Orba tahun 1998
oleh kekuatan reformasi, maka rencana penyelenggaraan Pemilu tahun 2002 tidak terlaksana.
Yang kemudian terjadi adalah Indonesia memasuki era reformasi dan Pemilu akhirnya
dipercepat dari agenda semula yakni dilaksanakan pada tahun 1999.
5.
Lembaga Penyelenggara Pemilu 1999
Pemilu pertama setelah berakhirnya rezim Orba dilaksanakan setelah sekitar 13 bulan
Presiden BJ Habibie menggantikan Presiden Soeharto, yakni pada tanggal 7 Juni 1999.
Pemilu ini dilaksanakan berdasarkan UU No. 3/1999 tentang Pemilihan Umum.
Penyelenggaraan Pemilu penanggungjawabnya adalah Presiden di awal era reformasi ini
tidak lagi dilakukan oleh LPU dan PPI, namun oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang
bebas dan mandiri, yang terdiri dari atas unsur partai-partai politik peserta Pemilu dan
Pemerintah, yang bertanggung jawab kepada Presiden. KPU tersebut berkedudukan di
Ibukota Negara, dan pembentukannya diresmikan dengan Keputusan Presiden. Keanggotaan
KPU terdiri dari l orang wakil dari masing-masing parpol peserta Pemilu dan 5 orang wakil
Pemerintah.
Sebelum KPU dibentuk, persiapan pelaksanaan Pemilu dilakukan oleh LPU (Pasal 79
UU No.3/1999) dan untuk itu Ketua Umum LPU membentuk Tim-11 yang bertugas membantu
LPU terutama dalam verifikasi parpol peserta Pemilu. KPU pertama (1999-2001) di era
reformasi ini dibentuk dengan Keppres No 16/1999 yang berisikan 53 orang 48 wakil
parpol dan 5 orang wakil pemerintah.
Dalam sejarah Pemilu di Indonesia tercatat bahwa setelah pemerintahan Perdana
Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu
menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan (kurang dari lima bulan).
Jika Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan Pemilu tahun 1955 hanya sebulan
setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, maka BJ Habibie
menyelenggarakan Pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke kekuasaan, meski persoalan yang
dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi,
sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.[12]
Salah satu tugas kewenangan KPU adalah membentuk Panitia Pemilihan Indonesia
(PPI) dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di
Tempat Pemungutan Suara (TPS). PPI yang dibentuk oleh KPU berkedudukan di Ibukota
Negara dan berfungsi sebagai pelaksana KPU yang dalam menyelenggarakan Pemilu berbeda
dengan PPI Orde Baru. Keanggotaan PPI terdiri dari wakil-wakil Parpol peserta Pemilu dan
Pemerintah, dengan susunan seorang Ketua, Wakil-wakil Ketua, Sekretaris, Wakil-wakil
Sekretaris, dan Anggota-anggota. Susunan organisasi PPI tersebut dipilih secara demokratis
oleh anggota KPU dari anggota KPU yang bukan unsur Pimpinan KPU. Susunan dan
keanggotaan PPI ditetapkan dengan keputusan KPU.
Salah satu tugas dan wewenang PPI adalah embentuk serta mengkoordinasikan
kegiatan Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I) di seluruh Indonesia. PD I yang
dibentuk oleh PPI tersebut berkedudukan di Ibukota Provinsi dan berfungsi sebagai
pelaksana PPI dalam menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaan PPD l terdiri dari wakil-wakil
parpol peserta Pemilu dan Pemerintah, dengan susunan Ketua, Wakil-wakil Ketua, Sekretaris,
Wakil-wakil Sekretaris, dan Angota-anggota, yang dipilih secara demokratis dari dan oleh
anggota PPD I. Susunan dan keanggotaan PPD I ditetapkan dengan keputusan PPI.
Salah satu tugas dan kewenangan PPD I yaitu membentuk dan mengkoordinasikan
kegiatan Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II (PPD II) di setiap daerah pemilihan. PPD II
yang dibentuk oleh PPD l tersebut berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kotamadya dan
berfungsi sebagai pelaksana PPD I dalam menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaannya terdiri
atas wakil-wakil parpol peserta Pemilu dan Pemerintah. Ketua, Wakil-wakil Ketua,
Sekretaris, dan Wakil-wakil Sekretaris PPD II dipilih secara demokratis dari dan oleh
Anggota PPD II. Susunan dan keanggotaan PPD II ditetapkan dengan keputusan PPD I.
Sedangkan salah satu tugas dan kewenangan PPD II adalah membentuk dan
mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). PPK yang dibentuk oleh
PPD II tersebut berkedudukan di Kecamatan yang bersangkutan dan berfungsi sebagai
pelaksana PPD II dalam menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaan PPK terdiri dari Wakilwakil Partai Politik Peserta Pemilu dan Pemerintah. Adapun di antara tugas dan kewenangan
PPK adalah membentuk dan mengkoordinasikan kegiatan Panitia Pemungutan Suara (PPS).
PPS yang dibentuk oleh PPK adalah berkedudukan di Desa/Kelurahan/Unit
Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang bersangkutan, dan berfungsi sebagai pelaksana PPK
dalam menyelenggarakan Pemilu. Keanggotaan PPS terdiri dari Wakil-wakil Parpol peserta
Pemilu dan Pemerintah, dengan susunan Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, dan Anggotaanggota, yang dipilih secara demokratis dari dan oleh Anggota PPS. Susunan dan
keanggotaan PPS ditetapkan dengan keputusan PPK. Sedangkan salah satu tugas dan
kewenangan PPS adalah membentuk Kelompok Pelaksana Pemungutan Suara (KPPS) sesuai
dengan jumlah TPS.
Keanggotaan KPPS terdiri atas wakil-wakil Parpol peserta Pemilu dan/atau wakil
masyarakat. Susunan keanggotaan KPPS adalah Seorang Ketua merangkap Anggota, Seorang
Wakil Ketua merangkap Anggota, dan Anggota-anggota yang dipilih dari dan oleh Anggota
KPPS. Susunan dan keanggotaan KPPS ditetapkan dengan keputusan PPS. KPPS dilengkapi
dengan dua orang anggota Pertahanan Sipil sebagai petugas keamanan yang diusulkan oleh
Kepala Desa/Kelurahan dan ditetapkan oleh KPPS.
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, yakni kurang dari 5 bulan, namun
pelaksanaan pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yaitu
tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak
sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang
berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan
pemungutan suaranya terpaksa diundur suara satu pekan. Itu pun karena adanya
keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.
Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan
suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat menghadapi hambatan. Pada tahap
penghitungan suara, anggota KPU dari wakil 27 partai politik menolak menandatangani
berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu belum jurdil. Karena ada penolakan,
dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden.
Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu
(Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang
diajukan wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan
rekomendasi bahwa Pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak menyertakan data
tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa
hasil Pemilu sah. Hasil final pemilu baru diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999.
Setelah disahkan oleh presiden, PPI langsung melakukan pembagian kursi.
Atas kinerja KPU tersebut, Zarkasih Nur memberi catatan:
Dalam praktek penyelenggaraan Pemilu 1999 lalu, ternyata keberfungsian KPU sangat
rendah. Hal ini disebabkan oleh kinerja para anggotanya yang kurang disiplin, kurang
berdedikasi dan cenderung mementingkan kelompok dan pribadinya masing-masing. ... Hal
yang mustahil terjadi bila para anggota KPU memiliki integritas dan kedewasaan politik.
Narnun demikian, hal ini dapat dimaklumi sebagai sebuah uji coba bagi demokrasi di
Indonesia.[13]
Miriam Budiardjo juga memberi catatan bahwa: KPU telah berkembang menjadi
ajang sengketa antara partai-partai yang hanya memperjuangkan kepentingan partai atau
pribadinya. Citra para politisi telah mencapai titik nol, sehingga timbul opini masyarakat
bahwa dalam pemilu yang akan datang sebaiknya KPU terdiri dari anggota yang independen,
bebas dan partai.[14]
Kontroversi tidak hanya berhenti di situ. Sebuah situs internet menulis: Pasca-Pemilu
banyak anggota terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi, sehingga beberapa orang masuk
bui. Tidak tahan dengan situasi, Rudini mengundurkan diri sebagai Ketua KPU dengan
meninggalkan sejumlah konflik kepemimpinan.[15]
Dengan demikian dapat diketengahkan bahwa idealitas pembentukan KPU yang
bebas dan mandiri seperti yang digagas berdasarkan Pasal 8 UU No. 3/1999 menjadi tidak
terimplemetasi dengan baik. KPU menjadi terbelenggu oleh perselisihan dan kepentingan
masing-masing anggotanya yang berasal dari perwakilan parpol. Hal ini bisa jadi dikarenakan
mayortias anggota KPU adalah terdiri dari atas unsur partai-partai politik peserta Pemilu dan
Pemerintah yang barang tentu memiliki agenda sendiri-sendiri, partisan, dan sarat perjuangan
untuk kepentingan kelompok/parpolnya.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 83 UU No. 3/1999, masa kerja KPU untuk Pemilu
tahun 1999 berakhir l tahun sebelum Pemilu tahun 2004. Namun di tengah perjalanan, KPU
ini dibubarkan. Hal ini terkait dengan diterbitkannya UU No. 4/2000 tentang Perubahan Atas
UU No. 3/1999 tentang Pemilu, dan dilantiknya 11 orang anggota KPU yang baru yang
ditetapkan dengan Keppres No 10 Tahun 2001.
6.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu terdiri atas KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota. Masa keanggotaan seluruh KPU tersebut adalah 5 tahun sejak pengucapan
sumpah/janji. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah pelaksana Pemilu di provinsi
dan kabupaten/kota yang merupakan bagian dari KPU. Dalam pelaksanaan Pemilu di luar
negeri, KPU membentuk PPLN dan selanjutnya PPLN membentuk KPPSLN.
Anggota KPU Provinsi sebanyak 5 orang (yang dijaring dengan memperhatikan
aspirasi masyarakat) yang diusulkan oleh gubernur untuk mendapat persetujuan KPU untuk
ditetapkan sebagai anggota KPU provinsi. Anggota KPU Kabupaten/Kota masing-masing
adalah sebanyak 5 orang (yang dijaring dengan memperhatikan aspirasi masyarakat) yang
diusulkan oleh bupati/walikota untuk mendapat persetujuan KPU provinsi untuk ditetapkan
sebagai anggota KPU kabupaten/kota. Di antara tugas dan wewenang KPU kabupaten/kota
adalah membentuk Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS),
dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam wilayah kerjanya.
PPK yang berkedudukan di pusat pemerintahan kecamatan, PPS yang berkedudukan
di desa/kelurahan, dan KPPS di masing-masing tempat pemungutan suara (TPS) adalah
bersifat ad.hoc. Anggota PPK sebanyak 5 orang yang berasal dari tokoh masyarakat diangkat
dan diberhentikan oleh KPU atas usul camat. Anggota PPS sebanyak 3 orang berasal dari
tokoh masyarakat diangkat dan diberhentikan oleh PPK atas usul kepala desa/lurah setempat.
PPS kemudian membentuk KPPS yang anggotanya sebanyak 7 orang dengan tugas
melakukan pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
Dengan terbitnya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka KPU provinsi
dan KPU kabupaten/kota berwenang menyeleng-garakan pemilihan kepala daerah secara
langsung (pilkada). Pasal 57 ayat (1) merumuskan: Pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPRD.
Penjelasan UU ini menyebutkan bahwa dalam menyelenggarakan pilkada tersebut tidak perlu
dibentuk KPUD yang baru. Jadi cukup diselenggarakan oleh KPUD yang telah ada yang
dibentuk melalui UU No. 12/2003.
Di tengah sempitnya waktu, KPU mampu menyelenggarakan Pemilu Legislatif dan
Pemilu Presiden/Wakil Presiden. Setelah Pemilu Legislatif pada tanggal 5 April 2004, KPU
menyelenggarakan Pemilu Presiden /Wakil Presiden dalam dua putaran. Pemilu Presiden
/Wakil Presiden putaran pertama berlangsung 5 Juli 2004. Sedangkan Pemilu Presiden/Wakil
Presiden putaran kedua berlangsung 20 September 2004. KPU mampu menyelenggarakan 3
(tiga) kali Pemilu yang diikuti 150 juta pemilih dengan pengadaan logistik yang sangat
kompleks karena harus didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia.
Masa jabatan anggota KPU akan berakhir pada Maret 2006. Namun pengusulan
keanggotaan KPU yang baru belum dapat dilakukan mengingat DPR pada tahun itu sedang
mempersiapkan RUU Penyelenggara Pemilu yang komprehensif untuk mengganti ketentuan
yang ada terkait dengan penyelenggara Pemilu yang selama ini tercantum dalam berbagai
UU. Oleh karena itulah, masa jabatan KPU harus diperpanjang. Jika tidak, maka akan terjadi
kekosongan anggota KPU.
Kondisi inilah yang memaksa pemerintah mengeluarkan Perppu No.1/2006 tentang
Perubahan Kedua atas UU No.12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan
DPRD. Fraksi Partai Golkar menilai unsur kegentingan yang diperlukan untuk mengesahkan
Perppu menjadi UU sudah tercapai karena terkait dengan kosongnya kursi angota KPU. FPG
juga berharap agar penetapan RUU ini dapat menciptakan KPU yang lebih baik dan
meningkatkan kinerja anggota KPU.[16]
Rapat paripurna DPR menetapkan secara bulat RUU tentang Perppu No.1/2006
tentang Perubahan Kedua atas UU No.12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD dan DPRD menjadi UU. Perubahan kedua atas UU No. 12 Tahun 2003 tersebut meliputi
pasal 144 yang kini berbunyi: Anggota KPU yang diangkat berdasarkan UU No.4/2000
tentang Perubahan UU No.3 Tahun 1999 tentang Pemilu dan yang telah disesuaikan dengan
UU No. 12 Tahun 2003, tetap menyelesaikan tugas sampai dengan terbentuknya
penyelenggara pemilihan umum berdasarkan UU Tentang Penyelenggara Pemilu yang baru.
Di akhir masa jabatannya, di tengah keberhasilan KPU menyelenggarakan Pemilu,
muncul ironi. Situs internet Wawasandigital menulis sebagai berikut:
Pemilu 2004 berjalan sukses. Puja puji diberikan oleh banyak pihak karena KPU telah
melaksanakan pemilu legislatif dan pemilu presiden dengan sukses. Tetapi tak lama berselang
masyarakat dikejutkan oleh kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangkap
basah anggota KPU, mantan aktivis dan seorang kriminolog terkenal Mulyana W Kusuma
yang tengah menyuap pemeriksa dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Skandal korupsi terbongkar yang melibatkan orang-orang KPU lainnya, bahkan ketuanya
seorang doktor politik alumnus Monash University Prof Dr Nazaruddin Syamsudin masuk
penjara karena terbukti menerima komisi. Hamid Awaluddin selamat karena terpilih sebagai
menteri, dan Anas Ubaningrum cepat loncat masuk jajaran elit Partai Demokrat. Di akhir
masa tugasnya anggota KPU tinggal 3 orang.[17]
7.
laporan kegiatan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Provinsi kepada gubernur dan DPRD Provinsi.
Sedang KPU Kabupaten/Kota, dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab
kepada KPU Provinsi. Untuk itu KPU Kabupaten/Kota menyampaikan laporan kinerja dan
penyelenggaraan Pemilu secara periodik kepada KPU Provinsi. Dalam hal Pemilu kepala
daerah, KPU Kabupaten/Kota menyampaikan laporan kegiatan setiap tahapan
penyelenggaraan Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah Kabupaten/Kota kepada
bupati/walikota dan DPRD Kabupaten/Kota.
KPU, KPU Provinsi, dan KPU kabupaten/kota merupakan lembaga penyelenggara
Pemilu yang permanen/tetap dan bersifat hierarkis. Dengan adanya sifat ini, maka UU
merumuskan bahwa KPU yang secara hierarkis lebih tinggi berwenang untuk menonaktifkan
sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif kepada anggota KPU maupun anggota
KPU di bawahnya yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya
tahapan penyelenggaran Pemilu yang sedang berlangsung berdasarkan rekomendasi lembaga
pengawas Pemilu di masing-masing tingkatan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Salah satu contoh bagaimana kewenangan KPU memberhentikan anggota KPU yang
secara hierarkis berada di bawahnya ini terlihat dalam Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur
Provinsi Maluku Utara (Malut). Bermula dari pemberhentian sementara oleh KPU terhadap
Ketua dan anggota KPU Provinsi Malut, Rahmi Husein dan Nurbaya Soleman, karena
dianggap tidak menjalankan proses perhitungan suara Pilkada Gubernur secara benar, Pilkada
Malut menjadi kemelut yang berlarut-larut. Antara anggota yang aktif yang difasilitasi KPU
dan Ketua KPU Provinsi dan anggota non-aktif masing-masing kemudian melaksanakan
perhitungan suara yang hasilnya berbeda. Kasus ini dibawa ke MA yang putusanya justru
menjadikan persoalan Pilkada Malut semakin berkepanjangan.[18]
Dalam proses pelaksanaan pemilihan dan penetapan calon anggota KPU, Presiden
membentuk Tim Seleksi calon anggota KPU yang terdiri dari lima orang yang membantu
Presiden menetapkan calon anggota KPU. Tim Seleksi Calon Anggota KPU pada tanggal 9
Juli 2007 telah menerima 545 orang pendaftar yang berminat menjadi calon anggota KPU.
Dari 545 orang pendaftar, 270 orang lolos seleksi administratif untuk mengikuti tes tertulis.
Dari 270 orang calon yang lolos tes administratif, 45 orang bakal calon anggota KPU lolos
tes tertulis dan rekam jejak yang diumumkan tanggal 31 Juli 2007.
Anggota masyarakat kemudian memberikan masukan dan tanggapan terhadap 45
orang bakal calon anggota KPU secara tertulis disertai dengan identitas yang jelas kepada
Tim Seleksi Calon Anggota KPU. Ke 45 orang tersebut mengikuti seleksi tahap berikutnya
dan Tim Seleksi Calon Anggota KPU memilih 21 (dua puluh satu) nama bakal calon anggota
KPU dan menyampaikannya kepada Presiden RI, selanjutnya Presiden menyampaikan 21
nama bakal calon anggota KPU kepada DPR-RI untuk mengikuti fit and proper test.
Akhirnya Komisi II DPR-RI memilih dan menyusun urutan peringkat 21 (dua puluh satu)
nama calon anggota KPU. DPR melalui voting memilih 7 (tujuh) peringkat teratas dalam
urutan peringkat satu sampai urutan ke 7 (tujuh) sebagai anggota KPU terpilih.
Nama ke 7 peringkat teratas anggota KPU terpilih disahkan dalam Rapat Paripurna
DPR-RI pada tanggal 9 Oktober 2007 dan ditetapkan oleh Presiden berdasarkan Keppres No
101/P/2007 sebagai anggota KPU. Namun hanya 6 orang yang dilantik dan diangkat
sumpahnya oleh Presiden pada tanggal 23 Oktober 2007. Sedangkan Prof. Dr. Ir. Syamsul
Bahri M.S. urung dilantik pada tanggal tersebut karena sedang terlibat persoalan hukum
proyek Pabrik Gula Mini di Kabupaten Malang. Setelah keputusan Pengadilan Negeri
Malang membebaskannya dari dakwaan korupsi,[19] ia kemudian ditetapkan sebagai anggota
KPU berdasarkan Keppres No. 13P/2008 dan dilantik Presiden pada tanggal 27 Maret 2008.
Masa keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota menurut UU No. 12/2003
akan berakhir tahun 2008. Namun dalam hal anggota KPU Provinsi/Kabupatenn/Kota yang
berakhir masa tugasnya pada saat berlangsungnya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah, maka pengisian keanggotaannya yang didasarkan UU tersebut
ditunda. Anggota KPU tersebut tetap menjalankan tugas sampai dengan pengisian
keanggotaan KPU berdasarkan UU No. 22/2007 yang pengisian keanggotaannya paling
lambat 4 (empat) bulan sejak pelantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih.
KPU dalam menjalankan tugas di bidang keuangan bertanggung jawab sesuai dengan
peraturan perundangundangan, dan dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan Pemilu dan
tugas lainnya memberikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Laporan
yang juga ditembuskan kepada Bawaslu tersebut disampaikan secara periodik dalam
setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Pasal
39).
KPU Provinsi dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada KPU. Secara
periodik KPU Provinsi menyampaikan laporan kinerja dan penyelenggaraan Pemilu kepada
KPU. Dalam hal Pemilu kepala daerah, KPU Provinsi menyampaikan laporan kegiatan setiap
tahapan penyelenggaraan Pemilu Kada dan Wakada Provinsi kepada gubernur dan DPRD
Provinsi. KPU Kabupaten/Kota, dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada
KPU Provinsi. Untuk itu KPU Kabupaten/Kota menyampaikan laporan kinerja dan
penyelenggaraan Pemilu secara periodik kepada KPU Provinsi. Untuk Pemilu Kada , KPU
Kabupaten/Kota menyampaikan laporan kegiatan setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu
Kabupaten/Kota kepada bupati/walikota dan DPRD Kabupaten/Kota.
UU No. 22/2007 juga mengatur tentang kedudukan panitia pemilihan yang bersifat
ad.hoc yang meliputi Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS),
Kelompok Penyelenggaran Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Luar Negeri
(PPLN), serta Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN). PPLN
yang jumlah anggotanya minimal 3 orang dan maksimal 7 orang berasal dari wakil
masyarakat Indonesia dibentuk oleh KPU, dan setelah terbentuk kemudian PPLN membentuk
KPPLN untuk menyelenggarakan pemungutan suara di TPS luar negeri.
PPK yang anggotanya berjumlah 5 orang dengan memperhatikan 30% keterwakilan
perempuan dan PPS yang anggotanya berjumlah 3 orang (semuanya berasal dari tokoh
masyarakat) dibentuk oleh masing-masing KPU kabupaten/kota untuk menyelenggarakan
Pemilu di tingkat kecamatan dan di tingkat desa/kelurahan. Selanjutnya PPS membentuk
KPPS, yang anggotanya sebanyak 7 orang berasal dari anggota masyarakat di sekitar TPS,
dalam rangka melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara di TPS. PPK dan PPS
tersebut dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota paling lambat 6 bulan sebelum penyelenggaraan
Pemilu dan dibubarkan paling lambat 2 bulan setelah pemungutan suara.
Berbeda dengan ketentuan UU sebelumnya, UU No. 22/2007 menetapkan bahwa
sekretariat KPU yang berwenang dalam pengadaan logistik Pemilu, yakni pengadaan dan
pendistribusian perlengkapan penyelenggaraan Pemilu berdasarkan norma, standar, prosedur,
dan kebutuhan yang ditetapkan oleh KPU. Hal ini dimaksudkan agar tidak terulang kembali
pengalaman anggota KPU masa lalu yang terperosok dalam kubangan korupsi gara-gara
terlibat urusan logistik Pemilu.
----