Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Rabies juga disebut penyakit anjing gila merupakan penyakit infeksi akut pada
susunan saraf pusat (otak) disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini merupakan
kelompok penyakit zoonosis yaitu penyakit infeksi yang ditularkan oleh hewan ke
manusia melalui pajanan atau Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) yaitu anjing, kera,
musang, anjing liar, kucing.1
Sebagian besar sumber penularan rabies ke manusia di Indonesia disebabkan oleh
gigitan anjing yang terinfeksi rabies (98%), dan lainnya oleh kera dan kucing. Infeksi
rabies baik pada hewan maupun pada manusia yang telah menunjukkan gejala dan tanda
klinis rabies pada otak (Encephalomyelitis) berakhir dengan kematian. Hanya terdapat 1
(satu) penderita yang hidup di dunia.1
Sekitar 150 negara di dunia telah terjangkit rabies, dan sekitar 55.000 orang
meninggal karena rabies setiap tahun. Lebih dari 15 juta orang yang terpajan/digigit
hewan penular rabies di dunia, yang terindikasi mendapatkan profilaksis Vaksin Anti
Rabies (VAR) untuk mencegah timbulnya rabies. Sekitar 40% dari orang yang digigit
hewan penular rabies adalah anak-anak dibawah usia 15 tahun.1
Sampai saat ini belum terdapat obat yang efektif untuk menyembuhkan rabies.
Akan tetapi rabies dapat dicegah dengan pengenalan dini gigitan hewan penular rabies
dan pengelolaan/penatalaksanaan kasus gigitan/pajanan sedini mungkin.1
Rabies murapakan masalah kesehatan masyarakat di dunia, termasuk Indonesia
dimana 24 provinsi endemis rabies dari 34 propinsi dan 10 provinsi bebas rabies. Jumlah
kasus rabies pada manusia rata-rata per tahun di beberapa negara Asia antara lain India
20.000 kasus, Cina 2.500 kasus, Filipina 20.000 kasus, Vietnam 9.000 kasus dan
Indonesia 168 kasus.1
Sepuluh negara yang tergabung dalam ASEAN (termasuk Indonesia) pada
pertemuan Menteri Pertanian dan Kehutanan ke 34 (The Thirty Fourth Meeting of The
ASEAN Ministers on Agriculture and Forestry) pada tanggal 27 September tahun 2012 di
Vientiane, Lao PDR telah bersepakat dan mendeklarasikan untuk bebas rabies pada tahun
2020. Selama kasus rabies pada hewan penular rabies terutama anjing masih ada, maka
terdapat resiko adanya kasus rabies/lyssa pada manusia.1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1. Definisi
Rabies pada manusia merupakan penyakit radang susunan saraf pusat yang fatal.
Penyakit ini sebenarnya merupakan penyakit hewan yang disebabkan oleh rhabdovirus,
tetapi kadang kadang ditularkan pada manusia melalui gigitan hewan yang menderita
rabies. Rabies atau anjing gila merupakan penyakit zoonosis yang terpenting di
Indonesia2.

2.2. Epidemiologi
Rabies tersebar luas di seluruh dunia, diperkirakan lebih dari 55.000 orang
meninggal tiap tahunnya akibat rabies, sekitar 99% kematian terjadi di negara
berkembang, terutama di benua Asia dan Afrika3,4. Menurut data WHO lebih dari 30.000
orang di Asia meninggal dunia setiap tahun karena rabies, sekitar 15% terjadi pada anak-
anak di bawah umur 15 tahun. Kejadian rabies di Indonesia sudah dikenal sejak tahun
1889; meskipun sudah lebih dari satu abad, rabies di Indonesia masih sulit dihilangkan,
penyakit ini makin menyebar luas dan meningkat kejadiannya dari tahun ke tahun,
bahkan sekarang telah bersifat endemis di beberapa wilayah di Indonesia, seperti
Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores (Depkes,2007). Kasus pertama
rabies di Bali dilaporkan pada bulan November 2008, lokasi kejadian di daerah Bali
Selatan dengan sumber penularan anjing, hewan peliharaan yang sangat erat
hubungannya dengan manusia5.
Kejadian Luar Biasa Rabies yang terjadi pada tahun 2012 di Pulau Babar,
Kabupaten Maluku Barat Daya-Provinsi Maluku yang dimulai pada oktober 2011 sampai
dengan januari 2012 menyebabkan 32 orang tergigit anjing penular rabies yang
menyebabkan 2 orang meninggal. Kejadian Luar Biasa Rabies yang terjadi pada tahun
2012 lainnya terjadi di Kecamatan Morotai Utara, Kabupaten Pulau Morotai-Provinsi
Maluku Utara yang dimulai pada januari 2011 sampai dengan Februari menyebabkan 56
orang tergigit anjing penular rabies yang menyebabkan 1 orang meninggal6.

Gambar 2.1: Diagram Perkembangan Rabies Pada Manusia

3
(Sumber : Kementerian Kesehatan)
Gambar 2.2: Peta Daerah Endemis Rabies Pada Hewan
(Sumber : Kementerian Pertanian)

2.3. Etiologi
Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies yang termasuk grup V negative-stranded
Ribonucleic Acid (RNA) genome, ordo Mon0negalovirales, famili Rhabdoviridae, genus
Lyssavirus, spesies rabies virus. Virus rabies berbentuk seperti peluru dengan diameter
75 nm X 180 nm, dapat dibagi menjadi unit struktural dan unit fungsional. Selubung
virus dan intinya terbentuk dari ribonucleocapside. Lima gen monosistronik
berhubungan dengan lima protein virus, yaitu (1) kode gen N, (2) gen P, (3) gen M, (4)
gen G, dan (5) gen L.7
Pada umumnya rhabdoviridae terdiri dari dua komponen dasar, yaitu
ribonucleoprotein (RNP) di bagian tengah dan diselubungi envelope pada bagian luar.
RNP dibentuk oleh nukleoprotein dan dihubungkan dengan fosfoprotein dan polimerase
(L-protein), sedangkan glikoprotein membentuk gelombang spike (paku) di daerah per-
mukaan luar (envelope / membrane) virus dengan panjang 10 nm. Envelope dan RNP
dihubungkan dengan matriks protein (M). Nukleoprotein (N) virus memainkan peranan
penting dalam replikasi dan transkripsi. Transkripsi virus dan replikasi virus akan
berkurang jika nukleoprotein tidak terfosforilasi.7,8

2.4. Patogenesis
Rabies adalah penyakit zoonosis dimana manusia terinfeksi melalui jilatan atau
gigitan hewan yang terjangkit rabies seperti anjing, kucing, kera, musang, serigala,
raccoon, kelelawar. Virus masuk melalui kulit yang terluka atau melalui mukosa utuh
seperti konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia eksterna, atau transplantasi kornea.

4
Infeksi melalui inhalasi virus sangat jarang ditemukan. Setelah virus rabies masuk
melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan
didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa
menunjukkan perubahanperubahan fungsinya9.
Masa inkubasi virus rabies sangat bervariasi, mulai dari 7 hari sampai lebih dari 1
tahun, rata-rata 1-2 bulan, tergantung jumlah virus yang masuk, berat dan luasnya
kerusakan jaringan tempat gigitan, jauh dekatnya lokasi gigitan ke sistem saraf pusat,
persarafan daerah luka gigitan dan sistem kekebalan tubuh. Pada gigitan di kepala, muka
dan leher 30 hari,gigitan di lengan, tangan, jari tangan 40 hari, gigitan di tungkai, kaki,
jari kaki 60 hari, gigitan di badan rata-rata 45 hari. Asumsi lain menyatakan bahwa masa
inkubasi tidak ditentukan dari jarak saraf yang ditempuh , melainkan tergantung dari
luasnya persarafan pada tiap bagian tubuh, contohnya gigitan pada jari dan alat kelamin
akan mempunyai masa inkubasi yang lebih cepat9.

Gambar 2.3. Patogenesis rabies (Sumber: www.nicd.ac.za/rabies)


Virus rabies adalah virus neurotropik yang menyebar di sepanjang jalur saraf
dan menyerang SSP, menyebabkan infeksi akut. Mekanisme penularan paling umum

5
adalah melalui inokulasi perifer virus setelah gigitan hewan yang terinfeksi rabies.
Selanjutnya, terjadi replikasi di jaringan perifer, sehingga virus tersebar di sepanjang
saraf perifer dan medula spinalis menuju ke otak, kemudian terjadi diseminasi dalam
SSP dan virus menyebar secara sentrifugal dari SSP menuju ke berbagai organ, termasuk
kelenjar ludah10.
Perantara Masuknya Reseptor ke Saraf Perifer
Reseptor nikotinik asetilkolin (nAChR) adalah reseptor pertama yang
mengidentifikasi adanya virus rabies. Antigen virus rabies telah terdeteksi di lokasi
inokulasi bertepatan dengan reseptor nAChR di myotube embrio ayam yang terinfeksi,
juga tak lama setelah studi perendaman diafragma tikus dalam suspensi virus rabies. Dari
studi tersebut terbukti bahwa distribusi antigen virus terdeteksi oleh pewarnaan antibodi
di lokasi NMJ yang berhubungan dengan penyebaran reseptor nAChR10.
Perjalanan Virus Rabies di SSP
Apabila virus rabies telah mencapai SSP, penyebaran virus akan sangat cepat
sesuai jalur neuroanatomi. Sama halnya dengan di saraf tepi, virus menyebar dengan
jalan fast axonal transport, kemudian memperbanyak diri secara masif pada membran
sel saraf. Studi dengan kultur ganglia basalis tikus menunjukkan terjadinya
anterograde fast axonal transport dengan kecepatan 100 400 mm/hari. Penyebaran
dari neuron ke neuron lain terjadi secara transinaptik. Tampaknya komponen
glikoprotein virus memegang peran penting dalam penyebaran antar neuron10,11.
Virus rabies memiliki daerah predileksi, terutama pada sel-sel sistem limbik,
hipotalamus, dan batang otak. Proses infeksi juga terjadi di serebelum, medula spinalis,
dan korteks serebri. Tanda patognomonik adanya virus rabies berupa negri body,
terutama di sel purkinje serebelum, juga ditemukan di sel piramidal, hipokampus
(Ammons horn), basal ganglia, dan nuklei nervi kraniales. Meskipun perubahan
patologis akibat infeksi virus rabies sangat minimal, namun infeksi virus ini telah
menimbulkan disfungsi sistem saraf yang berat. Disfungsi sistem saraf terjadi akibat
abnormalitas fungsi neurotransmiter serotonin, opiat, gamma amino butyric acid
(GABA), dan asetilkolin. Studi lain menunjukkan adanya keterlibatan N-Methil-D-
Aspartate (NMDA) dalam proses kerusakan saraf. NMDA merupakan suatu asam amino
eksitatorik yang bersifat neuro- toksik10,11.
Perjalanan Virus Rabies Secara Sentripetal Menuju ke SSP

6
Replikasi virus secara lokal terjadi pada sel- sel otot di sekitar lokasi gigitan,
sehingga terjadi peningkatan jumlah virus. Virus memasuki saraf tepi melalui NMJ
dengan berikatan pada reseptor asetilkolin nikotinik. Ikatan ini menyebabkan konsentrasi
virus tinggi di daerah post-sinaptik, sehingga memudahkan virus masuk ke saraf tepi.
Kemudian virus menyebar ke SSP secara sentripetal melalui akson-akson saraf dengan
cara retrograde fast axonal transport dengan kecepatan 50 100 mm/hari10,11.
Penyebaran Virus Rabies Secara Sentrifugal dari SSP
Penyebaran virus rabies dari SSP ke perifer terjadi secara sentrifugal melalui
serabut saraf aferen volunter ataupun saraf otonom. Infeksi kelenjar ludah sangat penting
dalam penyebaran infeksi melalui air liur oleh Horseradish Peroxidase (HRP).
Kelenjar ludah mendapatkan persarafan parasimpatis nervus fasialis melalui ganglion
sub- mandibular dan nervus glosofaringeal melalui ganglion optikum, sedangkan
persarafan simpatisnya melalui ganglion servikal superior. Antigen virus rabies di-
temukan pada bagian apeks sel muskulus asinar dengan konsentrasi titer virus di
kelenjar ludah lebih tinggi dari di SSP10.
Di samping penyebaran ke kelenjar ludah, infeksi terjadi pada lapisan ganglion
retina dan epitel kornea yang dipersarafi oleh saraf sensoris nervus trigeminalis. Deteksi
antigen virus rabies dengan apusan kornea telah digunakan sebagai tes diagnostik
penderita rabies, dan transmisi virus rabies dari manusia ke manusia dapat terjadi melalui
transplantasi kornea. Pada biopsi kulit juga ditemukan adanya infeksi pada ujung
akhir saraf sensoris rambut, dan ini merupakan salah satu metode diagnostik yang
baik untuk tes konfirmasi rabies antemortem pada manusia10.
Penyebaran virus secara sentripetal menyerang saraf yang melibatkan organ
ekstraneural, seperti kelenjar adrenal, ganglia kardiak, dan pleksus pada saluran cerna,
kelenjar saliva, hati, dan pankreas. Infeksi virus juga melibatkan sel yang bukan saraf,
seperti sel asini kelenjar ludah, epitel lidah, otot jantung, otot skeletal, dan folikel rambut.
Beberapa laporan kasus menemukan adanya miokarditis pada penderita rabies10,11.
Reseptor Virus Rabies
Reseptor virus rabies memiliki peran dalam fungsi sel normal dan reseptor ini
yang dirusak oleh virus untuk dapat masuk ke sel. Ada tiga reseptor virus rabies, yaitu:12
1. Reseptor nikotinat asetilkolin (NAChR)
NAChR adalah reseptor virus rabies pertama yang diidentifikasi, dan reseptor ini
dianggap penting untuk dapat akses ke SSP sepanjang saraf perifer bagi penyebaran

7
virus dari NMJ di perifer. Pengikatan virus rabies pada NAChR dalam otak dapat
menyebabkan disfungsi saraf.
2. Reseptor molekul adhesi sel neural
Semua sel yang rentan terhadap infeksi virus rabies tampaknya mengandung
reseptor molekul adhesi sel neural (NCAM), yang merupakan glikoprotein sel
adhesi dari superfamili imunoglobulin pada permukaan sel. Infeksi virus rabies
akan terhambat jika reseptor NCAM diblokir dengan heparin sulfat, yang
merupakan ikatan fisiologis alami, dan antibodi poliklonal atau monoklonal
diarahkan terhadap reseptor NCAM. Selanjutnya, NCAM akan menetralkan infeksi
virus rabies. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan reseptor pada partikel virus
dalam mengikat reseptor virus rabies pada sel target dapat dicegah.
3. Reseptor neurotropin P75 low-affinity
Reseptor neurotropin (NTR) P75 adalah reseptor untuk virus rabies pada
tingkat lanjut. NTR P75 tidak ditemukan pada NMJ, namun ditemukan terutama
pada kornu dorsalis medula spinalis, hal ini menunjukkan bahwa reseptor tersebut
bisa terlibat dalam jalur sensorik virus rabies.
Peranan Neurotransmiter
Lebih dari 50 substansi kimia telah dibukti- kan atau dinyatakan berfungsi sebagai
transmiter sinaptik, di antaranya asetilkolin, norepinerfin, dopamin, serotonin, histamin,
GABA, glisin, glutamat, aspartat, nitrat oksida (NO). Molekul kecil, yaitu transmiter
bekerja cepat, merupakan salah satu neurotransmiter yang menyebabkan respons cepat
sistem saraf, seperti penjalaran sinyal sensorik ke otak dan sinyal motorik kembali ke
otot. Sebaliknya, neuropeptida biasanya bekerja lebih lambat, seperti perubahan jangka
panjang jumlah reseptor, pembukaan atau penutupan jangka panjang saluran ion
tertentu, dan bahkan mungkin perubahan jangka panjang jumlah sinaps atau ukuran
sinaps. Pada sebagian besar kasus, transmiter jenis molekul kecil disintesis dalam sitosol
di ujung presinaptik, kemudian diabsorbsi melalui transpor aktif ke transmiter di ujung
sinaps. Selanjutnya, transmiter tersebut akan masuk ke dalam celah sinaptik dalam
waktu kurang dari beberapa milidetik. Efek yang paling sering berupa aktivasi reseptor
protein yang meningkatkan atau menurunkan hantaran melalui saluran ion.13
Beberapa neurotransmiter yang mem- pengaruhi terjadinya disfungsi saraf pada
penyakit rabies di antaranya asetilkolin, serotonin, dan GABA. Asetilkolin disekresi dari
neuron-neuron yang terdapat di sebagian besar daerah otak, khususnya oleh sel sel

8
piramid di korteks motorik, beberapa neuron dalam ganglia basalis, neuron motorik
yang menginervasi otot rangka, neuron preganglion sistem saraf otonom, neuron
postganglion sistem saraf parasimpatik, dan oleh beberapa neuron postganglion
sistem saraf simpatik. Asetilkolin mempunyai efek eksitasi, namun telah diketahui
pula mempunyai efek inhibisi pada beberapa ujung saraf parasimpatis perifer,
misalnya inhibisi jantung oleh nervus vagus. Serotonin disekresi oleh nukleus yang
berasal dari nukleus raphe di medial batang otak dan berproyeksi di sebagian besar
daerah otak, khususnya yang menuju radiks dorsalis medula spinalis dan menuju
hipotalamus. Serotonin bekerja sebagai penghambat jaras nyeri dalam medula spinalis,
dan bekerja pada sistem saraf yang tingkatnya lebih tinggi, diduga untuk membantu
pengaturan kehendak bahkan mungkin juga berperan dalam siklus tidur. GABA
disekresikan oleh ujung saraf dalam medula spinalis, serebelum, ganglia basalis, dan
sebagian besar korteks. GABA dianggap dapat menyebabkan inhibisi13.
Infeksi neuron yang disebabkan virus rabies, menyebabkan abnormalitas
fungsi neurotransmiterneurotransmiter tersebut di atas.
1. Asetilkolin
Sebuah hipotesis mengatakan bahwa penurunan neurotransmisi kolinergik
mungkin menjadi dasar disfungsi neuronal pada rabies. Hal ini diselidiki melalui
pengikatan spesifik reseptor kolinergik terhadap reseptor asetilkolin muskarinik pada
challenge virus standard (CVS) strain perifer dari otak tikus yang terinfeksi. Antagonis
3H berlabel Quinuclidinyl Benzylate (QNB) digunakan untuk mengetahui defek
neurotransmisi itu. Pengikatan 3H label QNB terhadap AChRs menurun secara
bermakna setelah 120 jam, 1020 jam sebelum kematian terjadi. Penurunan ikatan AchRs
terhadap QNB ini terbesar ditemukan di hipokampus, serta ditemukan dalam jumlah
kecil di korteks dan nukleus kaudatus.
Sebaliknya, aktivitas enzimatik kolin asetat transferase dan asetilkolin esterase
serupa antara mencit yang terinfeksi CVS strain dengan kontrol pada daerah korteks
serebri dan hipokampus, pengikatan QNB pada reseptor asetilkolin muskarinik
daerah korteks serebri atau hipokampus tak berbeda signifikan pada tikus yang terinfeksi
maupun pada kontrol. Penemuan ini meragukan hipotesis adanya pengikatan virus rabies
pada reseptor asetilkolin di otak. Hal ini mungkin karena adanya perbedaan spesies dan

9
jalur inokulasi (perifer/intraserebral) antara mencit dan tikus, sehingga didapatkan
perbedaan hasil antara dua penelitian tersebut.
Penurunan pengikatan terbesar ditemukan dalam hipokampus, dan diamati di
korteks serebral dan di nukleus kaudatus. Pada anjing yang terinfeksi virus rabies, secara
alami pengikatan spesifik 3H-QNB berkurang pada hipokampus sebanyak 35% dan pada
batang otak sebanyak 27%, tetapi tidak ditemukan penurunan pada daerah otak lainnya
di- bandingkan dengan anjing kontrol yang tidak terinfeksi. Hasilnya sama pada bentuk
rabies paralitik dan rabies galak12.
2. Serotonin
Kerusakan neurotransmiter melibatkan neurotransmiter lain yang mungkin
berperan penting dalam patogenesis rabies, sehingga peran serotonin dalam infeksi
rabies turut diperiksa. Serotonin memiliki distribusi yang luas di otak dan penting dalam
pengendalian siklus bangun tidur, persepsi nyeri, memori, dan berbagai perilaku.
Perubahan tahap tidur telah diamati dalam penyakit rabies dengan percobaan pada tikus.
Rantai yang mengikat reseptor serotonin, yaitu 5- hydroxytrytamine receptor (5-HT )
dipelajari dalam CVS strain otak tikus; pengikatan reseptor 5-HT1 (sub tipe dari 5-
HT ) menggunakan [3H] 5-HT tidak terpengaruh dalam hipokampus, tetapi ada
penurunan tajam B-max dalam korteks serebral selama 5 hari setelah inokulasi CVS
strain ke dalam otot maseter. Dengan adanya obat yang masuk 5-HT1A, 5-HT1B, dan
reseptor 5-HT, pengikatan [3H] 5-HT terhadap reseptor berkurang 50% di korteks
serebral selama 3 hari setelah inokulasi, sedangkan ikatan rantai spesifik untuk 5
-HT1A dan reseptor 5-HT1B tidak terpengaruh. Hasil ini menunjukkan bahwa infeksi
virus rabies mempengaruhi reseptor 5-HT lainnya di korteks serebral. Selanjutnya,
berkurangnya ikatan ditunjukkan sebelum antigen virus rabies terdeteksi di korteks
serebral, hal tersebut menunjukkan efek virus rabies pada pengikatan reseptor tidak
mungkin karena salah satu efek langsung atau tidak langsung replikasi virus dalam
neuron kortikal. Ada proyeksi serotonergik yang penting dari nukleus raphe dorsalis di
batang otak ke korteks serebral dan telah diketahui adanya infeksi awal nukleus raphe di
mesensefalon pada penelitian rabies pada tupai. Berkurangnya pengikatan pada
reseptor serotonin 5-HT mungkin adalah efek tidak langsung infeksi di daerah non-
kortikal dengan mekanisme yang tidak diketahui atau bagian dari respons fisiologis

10
terhadap stres oleh infeksi. Dari penelitian di atas, diduga gangguan serotonin
memainkan peranan penting disfungsi saraf dalam rabies12.
3. Asam -Amino-butirat
Penurunan pembentukan dan pengikatan GABA ditemukan pada SSP tikus yang
terinfeksi virus rabies, terutama pada neuron kortikal primer, penurunan terjadi sekitar
45% yang ditemukan 3 hari setelah infeksi, bertepatan dengan waktu pertumbuhan
virus. Didapatkan peningkatan pengikatan GABA pada 98 tikus yang terinfeksi virus
rabies dibandingkan dengan kontrol. Akan tetapi, kelainan penyerapan dan pelepasan
GABA dalam patogenesis rabies in vivo belum ditentukan12.
Perubahan Elektrofisiologi
Gambaran elektroensefalografi (EEG) pada tikus yang terinfeksi virus rabies
menunjuk- kan bahwa terdapat perubahan pada awal tahapan tidur, berupa hilangnya
fase rapid- eye-movement (REM) dan berkembangnya pseudoperiodic myoclonus yang
selanjutnya terjadi perlambatan secara umum pada EEG (2-4 siklus per detik) dan
berakibat fatal berupa hilangnya aktivitas di daerah hipokampus dengan aktivitas di
daerah kortikal. Pada rabies, aktivitas listrik otak berhenti sekitar 30 menit sebelum
serangan jantung, menunjukkan bahwa dalam penelitian rabies, kematian otak terjadi
sebelum terjadi kegagalan fungsi vegetatif. Tikus yang terinfeksi virus rabies
menunjukkan hilangnya semua tahapan tidur seiring bertambahnya durasi tahapan
bangun (menunjukkan insomnia) dan perubahan ini terjadi sebelum berkembangnya
tanda- tanda klinis rabies. Kelainan EEG pada tikus yang terinfeksi virus rabies
berlangsung pada fase preagonal penyakit, di mana terjadi perubahan patologis
yang ditandai oleh ditemukannya neuron yang terinfeksi virus rabies di sepanjang proses
infeksi virus rabies, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan bahwa gangguan
fungsional neuron otak sangat penting dalam perjalanan infeksi virus rabies7,12.
Kanal Ion
Kerusakan neurotransmisi bukanlah satu- satunya penjelasan potensial gangguan
fungsional neuron pada rabies. Infeksi virus juga memiliki efek penting pada kanal
ion neuron.7 Infeksi mengurangi ekspresi fungsional tegangan kanal natrium dan kalium;
terjadi penurunan potensial membran sel saat istirahat yang mencerminkan depolarisasi
membran. Tidak ada perubahan kanal kalium menunjukkan tidak terjadi disfungsi non-
selektif kanal ion. Penurunan jumlah kanal natrium dan kalium dapat mencegah neuron

11
terinfeksi untuk melepaskan potensial aksi dan menghasilkan potensial sinaptik,
sehingga terjadi gangguan fungsional10.

Apoptosis
Apoptosis adalah mekanisme kematian sel terprogram yang terjadi ketika
sebuah sel mengaktifkan program bunuh-diri internal yang diatur ketat. Fungsi
apoptosis adalah untuk menghilangkan secara selektif sel tidak dikehendaki, dengan
seminimal mungkin mengganggu sel di sekitar dan dalam tubuh hospes. Membran
plasma sel tetap utuh tetapi strukturnya berubah, sehingga sel yang mengalami
apoptosis tersebut menjadi sasaran fagositosis. Sel yang mati dengan cepat
dibersihkan sebelum isinya merembes keluar, sehingga kematian sel lewat lintasan ini
tidak akan memicu reaksi inflamasi dalam tubuh hospes. Jadi, apoptosis secara
fundamental berbeda dengan nekrosis, yang ditandai oleh hilangnya integritas membran,
pencernaan enzimatik sel, dan kerap kali oleh reaksi hospes14.
Apoptosis sendiri berkaitan dengan endonuklease yang berperan dalam proses
pembelahan kromatin Deoxyribonucleic Acid (DNA). Apoptosis sel mungkin
memainkan peran penting dalam patogenesis berbagai infeksi virus, termasuk proses
apoptosis RNA dan DNA virus yang terjadi pada SSP manusia dan hewan coba yang
terinfeksi virus rabies. Kematian sel melalui proses apoptosis ditemukan pada kultur sel
dan neuron tikus yang terinfeksi strain virus rabies. Penelitian in vitro juga menunjukkan
bahwa Evelyn Rokitnicki Abelseth (ERA) strain virus rabies tetap bereplikasi dan
menginduksi proses apoptosis pada limfosit tikus dan sel T-limfosit pada manusia di
mana terjadi proses kematian sel yang bersamaan dengan ekspresi glikoprotein virus10,13.
Guigoni dan Coulon (2002) mengamati bahwa CVS strain yang menginfeksi
sel motor neuron medula spinalis tikus tidak menyebabkan apoptosis selama 7 hari,
sementara neuron hipokampal yang ter- infeksi virus rabies menunjukkan apoptosis pada
lebih dari 90% neuron dalam 3 hari. Hal ini menunjukkan bahwa jenis sel saraf berbeda
memberikan respons yang berbeda terhadap infeksi virus rabies10,11,12.
Apoptosis ditimbulkan lewat serangkaian kejadian molekuler yang berawal
dengan cara berbeda, tetapi pada akhirnya berpuncak pada aktivasi enzim kaspase.
Proses apoptosis terdiri dari fase inisiasi (kaspase menjadi aktif ) dan fase eksekusi.
Inisiasi apoptosis terjadi melalui dua jalur yang berbeda, tetapi nantinya akan menyatu

12
(konvergen), yaitu jalur ekstrinsik atau yang dimulai dari reseptor dan jalur intrinsik atau
jalur mitokondria14.
Faktor apoptosis dari molekul proapoptotik yang ditunjukkan pada infeksi
akan diregulasi dan ditranslokasi dari sitoplasma ke nukleolus, tempat terjadi
pengikatan DNA dan menyebabkan terprovokasinya kondensasi kromatin, menunjukkan
aktivasi jalur independen. Pada tikus dewasa yang terinfeksi CVS intraserebral,
perubahan morfologis yang terkait dengan apoptosis diamati pada neuron, terutama
pada neuron piramidal di hipokampus, korteks serebri, dan pada pewarnaan terminal
deoxynucleotidyl transferase-mediated dUTP Nick End Labeling ( TUNEL) positif di
daerah yang sama. Penelitian lain menunjukkan bahwa neuron yang terinfeksi benar-
benar mengalami apoptosis. Namun, tidak semua neuron yang terinfeksi,misalnya sel
purkinje, menunjukkan gambaran morfologi apoptosis atau pewarnaan TUNEL
positif 10,11,12.
Peran respons imun adaptif dalam apoptosis neuronal dengan inokulasi
intraserebral dievaluasi dengan membandingkan infeksi pada tikus dewasa (defisit Sel
T ) dengan recombination activating gen 1 (RAG 1) pada tikus yang direkayasa genetik,
sehingga terjadi imunodefisiensi (defisit sel T dan sel B). Kedua strain tikus
imunodefisiensi menunjukkan manifestasi klinis sangat mirip dan temuan neuropatologi
berupa proses apoptosis neuronal menunjukkan bahwa respons imun adaptif tidak
mungkin ber- peran dalam apoptosis neuronal10,11,12.

RNA Seluler dan Sintesis Protein


Penelitian in vitro menunjukkan bahwa virus rabies memiliki sedikit atau tidak
memiliki efek penghambatan pada RNA seluler dan sintesis protein. Namun, suatu
penelitian in vivo menggunakan tikus terinfeksi virus rabies menunjukkan ada
pengurangan progresivitas ekspresi gen pada tikus tidak diinduksi yang mengkodekan
dehidrogenase gliseraldehida-3-fosfat dan gen yang mengkodekan respons
proenkephalin, hal ini terjadi mungkin karena penekanan sintesis protein seluler
secara luas yang terkait dengan sintesis mRNA virus rabies. Dalam hubungannya
dengan induksi gen secara langsung pada awal respons growth response gene-1 (Erg-1),
JunB, dan C-los di hipokampus dan korteks serebral, ada penempatan ulang ekspresi
gen dengan ekspresi mRNA virus. Dalam penelitian lain, infeksi CVS-N2C
mengakibatkan penurunan regulasi, sekitar 90% gen otak normal lebih rendah empat

13
kali lipat pada tikus yang menjalani hibridisasi. Hanya sekitar 1,4% gen diregulasi,
termasuk gen yang terlibat dalam regulasi metabolisme sel, sintesis protein,
pertumbuhan, dan diferensiasi. Tidak diketahui apakah penyakit rabies mengalami atau
ditandai dengan penurunan regulasi RNA seluler dan sintesis protein yang akan
menjelaskan disfungsi saraf tanpa perubahan morfologi utama10,11.

2.5. Gejala Klinis


Gejala prodomal biasanya non spesifik berlangsung 1-4 hari dan ditandai dengan
demam, sakit kepala, malaise, mialgia, gejala gangguan saluran pernafasan, dan gejala
gastrointestinal. Gejala prodomal yang sugestif rabies adalah keluhan parestesia, nyeri,
gatal, dan atau fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus yang kemudian akan
meluas ke ekstremitas yang terkena tersebut. Sensasi ini berkaitan dengan multiplikasi
virus pada ganglia dorsalis saraf sensorik yang mempersarafi area gigitan dan dilaporkan
pada 50-80% penderita9.
Setelah timbul gejala prodromal, gambaran klinis rabies akan berkembang
menjadi salah satu dari 2 bentuk, yaitu ensefalitik (furious) atau paralitik (dumb). Bentuk
ensefalitik ditandai aktivitas motorik berlebih, eksitasi, agitasi, bingung, halusinasi,
spasme muskular, meningismus, postur epistotonik, kejang dan dapat timbul paralisis
fokal. Gejala patognomonik, yaitu hidrofobia dan aerofobia, tampak saat penderita
diminta untuk mencoba minum dan meniupkan udara ke wajah penderita9.
Keinginan untuk menelan cairan dan rasa ketakutan berakibat spasme otot faring
dan laring yang bisa menyebabkan aspirasi cairan ke dalam trakea. Hidrofobia timbul
akibat adanya spasme otot inspirasi yang disebabkan oleh kerusakan batang otak saraf
penghambat nucleus ambigus yang mengendalikan inspirasi. Abnormalitas pada sistem
saraf otonom mencakup pupil dilatasi ireguler, meningkatnya lakrimasi, salivasi,
keringat, dan hipotensi postural.
Gejala kemudian berkembang berupa manifestasi disfungsi batang otak. Keterlibatan
saraf kranial menyebabkan diplopia, kelumpuhan saraf fasial, neuritis optik, dan kesulitan
menelan yang khas. Kombinasi salivasi berlebihan dan kesulitan dalam menelan
menyebabkan gambaran klasik, yaitu mulut berbusa. Disfungsi batang otak yang muncul
pada awal penyakit membedakan rabies dari ensefalitis virus lainnya. Bentuk paralitik
lebih jarang dijumpai. Pada bentuk ini tidak ditemukan hidrofobia, aerofobia,
hiperaktivitas, dan kejang. Gejala awalnya berupa ascending paralysis atau kuadriparesis.

14
Kelemahan lebih berat pada ekstremitas tempat masuknya virus. Gejala meningeal (sakit
kepala, kaku kuduk) dapat menonjol walaupun kesadaran normal. Pada kedua bentuk,
pasien akhirnya akan berkembang menjadi paralisis komplit, kemudian menjadi koma,
dan akhirnya meninggal yang umumnya karena kegagalan pernafasan. Tanpa terapi
intensif, umumnya kematian akan terjadi dalam 7 hari setelah onset penyakit15.
Manifestasi klinis pada hewan dimulai dengan gejala prodromal tidak spesifik
seperti lemah dan malas. Rabies dapat berkembang menjadi rabies yang ganas atau rabies
yang tenang. Kematiannya umumnya disebabkan kelumpuhan pernafasan dan akan
timbul dalam waktu 7-10 hari setelah gejala prodromal. Pada rabies yang tenang, anjing
tampak senang bersembunyi di tempat yang gelap dan dingin, serta tampak letargi. Dapat
ditemukan kelumpuhan otot tenggorokan yang tampak dari banyaknya air liur yang
keluar karena sulit menelan. Bisa juga ditemukan kejang-kejang singkat. Pada rabies
yang ganas, terdapat perubahan sifat dan perilaku hewan. Hewan yang awalnya jinak
menjadi ganas, tidak menuruti perintah pemiliknya lagi, dapat menyerang manusia
terutama adanya rangsang cahaya dan suara, suka menggigit apa saja yang dijumpai.
Suara akan menjadi parau, mudah terkejut, gugup, air liur banyak keluar, ekor
dilengkungkan ke bawah perut di antara kedua paha. Anjing kejang-kejang, kemudian
menjadi lumpuh, dan akhirnya mati15.

2.6. Diagnosis
Selama periode awal infeksi rabies, temuan laboratorium tidak spesifik. Seperti
temuan ensefalitis oleh virus lainnya, pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan
pleositosis dengan limfositosis, protein dapat sedikit meningkat, glukosa umumnya
normal. Untuk mendiagnosis rabies antemortem diperlukan beberapa tes, tidak bisa
dengan hanya satu tes. Tes yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi kasus rabies
antara lain deteksi antibodi spesifik virus rabies, isolasi virus, dan deteksi protein virus
atau RNA. Spesimen yang digunakan berupa cairan serebrospinal, serum, saliva, dan
biopsi kulit. Pada pasien yang telah meninggal, digunakan sampel jaringan otak yang
masih segar. Diagnosis pasti postmortem ditegakkan dengan adanya badan Negri pada
jaringan otak pasien, meskipun hasil positif kurang dari 80% kasus. Tidak adanya badan
Negri tidak menyingkirkan kemungkinan rabies. Badan Negri adalah badan inklusi
sitoplasma berbentuk oval atau bulat, yang merupakan gumpalan nukleokapsid virus.

15
Ukuran badan Negri bervariasi, dari 0,25 sampai 27 m, paling sering ditemukan di sel
piramidal Ammons horn dan sel Purkinje serebelum16.
Rabies perlu dipertimbangkan jika terdapat indikator positif seperti adanya gejala
prodromal nonspesifik sebelum onset gejala neurologik,terdapat gejala dan tanda
neurologik ensefalitis atau mielitis seperti disfagia, hidrofobia, paresis dan gejala
neurologi yang progresif disertai hasil tes laboratorium negatif terhadap etiologi
ensefalitis yang lain. Bentuk paralitik rabies didiagnosis banding dengan sindrom
Guillain-Barre. Pada sindrom Guillain-Barre, sistem saraf perifer yang terkena adalah
sensorik dan motorik, dengan kesadaran yang masih baik. Spasme tetanus dapat
menyerupai gejala rabies, namun tetanus dapat dibedakan dengan rabies dengan adanya
trismus dan tidak adanya hidrofobia17.

2.7. Pemeriksaan Penunjang


Penyakit ini sering berjalan dengan cepat dan dalam 10 hari dapat menyebabkan
kematian sejak timbulnya gejala, sehingga pemeriksaan serologis kadang-kadang belum
sempat dilakukan, walaupun secara klinis cukup jelas. Pada kasus dengan perjalanan
yang agak lama, misalnya gejala paralis yang dominan dan mengaburkan diagnosis maka
pemeriksaan laboratorium sangat membantu dalam menegakkan diagnosis18.
Virus rabies dapat diisolasi dari air liur, cairan serebrospinal dan urin penderita.
Walaupun begitu, isolasi virus kadang-kadang tidak berhasil didapatkan dari jaringan
otak dan bahan tersebut setelah 1 4 hari sakit. Hal ini berhubungan dengan adanya
neutralizing antibodies18.
Pemeriksaan Flourescent Antibodies Test (FAT) dapat menunjukkan antigen virus
di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinal, urin, kulit dan hapusan kornea, bahkan
setelah teknik isolasi tidak berhasil. FAT ini juga bisa negatif, bila antibodi telah
terbentuk18.
Serum neutralizing antibody pada kasus yang tidak divaksinasi tidak akan
terbentuk sampai hari ke 10 pengobatan, tetapi setelah itu titer akan meningkat dengan
cepat. Peningkatan titer yang cepat juga nampak pada hari ke 6 10 setelah onset klinis
pada penderita yang diobati dengan anti rabies. Karakteristik responimun ini, pada kasus
yang divaksinasi dapat membantu diagnosis18.
Walaupun secara klinis gejalanya patognomonik namun Negri bodies dengan
pemeriksaan mikroskopis (Seller) dapat negatif pada 10 % - 20 % kasus, terutama pada

16
kasus kasus yang sempat divaksinasi dan penderita yang dapat bertahan hidup setelah
lebih dari 2 minggu18.

2.8. Penatalaksanaan
Terdapat 3 unsur yang penting dalam PEP (Post Exposure Praphylaxis), yaitu: (1)
perawatan luka, (2) serum antirabies (SAR), dan (3) vaksin antirabies (VAR). Tindakan
pertama yang harus dilaksanakan adalah membersihkan luka dari saliva yang
mengandung virus rabies. Luka segera dibersihkan dengan cara disikat dengan sabun dan
air (sebaiknya air mengalir) selama 10-15 menit kemudian dikeringkan dan diberi
antiseptik (merkurokrom, alkohol 70%, povidon-iodine, 1-4% benzalkonium klorida atau
1% centrimonium bromida). Luka sebisa mungkin tidak dijahit. Jika memang perlu
sekali, maka dilakukan jahitan situasi dan diberi SAR yang disuntikkan secara infiltrasi di
sekitar luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikkan secara intramuskuler ditempat
yang jauh dari tempat inokulasi vaksin. Disamping itu, perlu dipertimbangkan pemberian
serum/vaksin antitetanus, antibiotik untuk mencegah infeksi, dan pemberian analgetik9.

17
Rekomendasi WHO mencegah rabies tergantung adanya kontak5:
1. Kategori 1: menyentuh, memberi makan hewan atau jilatan hewan pada kulit yang
intak karena tidak terpapar tidak perlu profilaksis, apabila anamnesis dapat
dipercaya.
2. Kategori 2: termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka,
garukan, atau lecet (erosi ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan, dan kaki.
Untuk luka resiko rendah diberi VAR saja.
3. Kategori 3: jilatan/ luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu
(muka,kepala,leher),luka pada jari tangan/kaki, genitalia, luka yang lebar/dalam
dan luka yang banyak (multiple)/ atau ada kontak dengan kelelawar, maka
gunakan VAR dan SAR.
Vaksin rabies dianjurkan diberikan pada semua orang dengan riwayat kontak
dengan hewan pengidap rabies. Vaksin rabies yang lazim saat ini adalah tissue culture
vaccine, suatu inactivated vaccine yang ditumbuhkan pada kultur sel seperti human
diploid cell vaccine (HDCV), diproduksi sejak tahun 1964, purivied vero cell rabies
18
vaccine (PVRV), diproduksi mulai tahun 1985, purified chick embryo cell vaccine
(PCEC) yang mulai dipasarkan tahun 1985. Vaksin generasi lama seperti suckling mouse
brain vaccine (SMBV), suatu nerve tissue vaccine dan duck embryo vaccine (DEV),
suatu non-nerve tissue vaccine, tidak digunakan lagi karena dapat menimbulkan
komplikasi ensefalomielitis post-vaksinasi dan reaksi anafilaksis. Namun demikian nerve
tissue vaccine masih diproduksi dan dipergunakan di beberapa negara Asia5.
2.7.1 Dosis dan Cara Pemberian Vaksin Anti Rabies9
1 Vaksin PVRV (Purified Vero Rabies Vaccine) terdiri dari vaksin kering dalam
vial dan pelarut sebanyak 0,5ml dalam syringe.
a Dosis dan cara pemberiannya sesudah digigit; cara pemberiannya
adalah disuntikkan secara intramuscular (im) di daerah deltoideus/
lengan atas kanan dan kiri. Dosis untuk anak dan dewasa sama yaitu
0,5 ml dengan 4 kali pemberian yaitu hari ke 0 (dua kali pemberian
sekaligus), hari ke 7 satu kali pemberian dan hari ke 21 satu kali
pemberian.
b Dosis dan cara pemberian VAR bersamaan dengan SAR sesudah
digigit; cara pemberiannya sama di atas. Dosis untuk anak dan dewasa
sama yaitu Dasar 0,5 ml dengan 4 kali pemberian yaitu hari ke 0 (dua
kali pemberian sekaligus), hari ke 7 satu kali pemberian dan hari ke 21
satu kali pemberian. Ulangan 0,5 ml sama pada anak dan dewasa pada
hari ke 90.
Depkes menganjurkan pemberian Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)
dengan regimen 2-1-1. Vaksin disuntikkan secara intramuskular di deltoid atau
di anterolateral paha (pada anak yang lebih kecil). Cara pemberiannya adalah
diberikan 2 dosis sekaligus pada hari ke 0 dan satu dosis diberikan masing-
masing pada hari ke-7 dan 21. Vaksin tidak boleh diberikan di area gluteal
karena buruknya respons antibodi yang didapat.
Jika VAR diberikan bersama dengan SAR, VAR diberikan dengan cara
yang sama dan diulang pada hari ke-90. Pada daerah dengan keterbatasan
vaksin dan biaya, vaksin dapat diberikan secara intradermal. Dengan cara ini,
volume dan biaya vaksin dapat dikurangi 60-80%5.

19
2 Suckling Mice Brain Vaccine (SMBV) mempunyai kemasan yang terdiri dari
dos berisi 7 vial @1 dosis dan 7 ampul pelarut @2 ml dan Dos berisi 5 ampul
@1 dosis intra kutan dan 5 ampul pelarut @0,4 ml.
a Dosis dan cara pemberian sesudah digigit adalah : cara pemberian
untuk vaksinasi dasar disuntikkan secara subcutan (sc) disekitar pusar.
Sedangkan untuk vaksinasi ulang disuntikkan secara intracutan (ic)
dibagikan fleksor lengan bawah. Dosis untuk vaksinasi dasar pada
anak adalah 1 ml, dewasa 2 ml diberikan 7 kali pemberian setiap hari,
untuk ulangan dosis pada anak 0,1 ml dan dewasa 0,25 ml diberikan
pada hari ke 11,15,30 dan hari ke 90.
b Dosis dan cara pemberian bersamaan dengan SAR sesudah digigit ;
cara pemberian sama dengan diatas. Dosis dasar untuk anak 1 ml,
dewasa 2 ml diberikan 7 kali pemberian setiap hari, untuk ulangan
dosis pada anak 0,1 ml dan dewasa 0,25 ml diberikan pada hari ke
11,15,25,35 dan hari ke 90.
2.7.2 Dosis dan Cara Pemberian Serum Anti Rabies (SAR)9
1 Serum heterolog (Kuda),mempunyai kemasan bentuk vial 20 ml (1 ml =
100 IU). Cara pemberian: disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka
sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan intramuskular. Dosis 40 Iu/KgBB
diberikan bersamaan dengan pemberian VAR hari ke 0, dengan melakukan
skin test terlebih dahulu.
2 Serum homolog, mempunyai kemasan bentuk vial 2 ml ( 1 ml = 150 IU).
Cara pemberian : disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka sebanyak
mungkin,sisanya disuntikkan intramuskular. Dosis 20 Iu/ kgBB diberikan
bersamaan dengan pemberian VAR hari ke 0, dengan sebelumnya
dilakukan skin test.
2.7.3 Dosis dan Cara Pemberian VAR untuk Pengebalan Sebelum Digigit
(Pre Exposure Immunization)9
Khusus untuk mereka yang berisiko tinggi mendapat paparan virus rabies,
seperti staf laboratorium, dokter hewan, dan petugas yang menangani hewan liar.
1. Vaksin PVRV (Purified Vero Rabies Vaccine)
a Cara pemberian pertama: disuntikkan secara intramuskular (im) didaerah
deltoideus. Dosisnya: dasar digunakan dua dosis masing-masing 0,5 ml
pemberian pada hari 0, kemudian hari ke 28 dengan dosis 0,5 ml.

20
Diberikan ulangan pada 1 tahun setelah pemberian I dengan dosis 0,5 ml
dan ulangan selanjutnya 0,5 ml tiap tiga tahun.
b Cara pemberian kedua: disuntikkan secara intra kutan (dibagian fleksor
lengan bawah) dengan dosis dasar 0,1ml pemberian hari ke 0, kemudian
hari ke 7 dan hari ke 28 dengan dosis 0,1 ml. Ulangan diberikan tiap 6
bulan satu tahun dengan dosis 0,1 ml.
2. Vaksin SMBV (Suckling Mice Brain Vaccine), terdiri dari dus yang berisi 7
vial @1 dosis dan 7 ampul pelarut @2 ml, dus berisi 5 ampul @1 dosis
intrakutan dan 5 ampul pelarut @0,4 ml. Cara pemberian: disuntikkan secara
intrakutan dibagian fleksor lengan bawah. Dosis dasar 0,1 ml untuk anak dan
0,25 ml untuk dewasa, pemberian hari 0, hari 21 dan hari 42. Untuk ulangan
dosis 0,1 ml untuk anak dan 0,25 untuk dewasa setiap tahun18,19.
2.9. Prognosis
Prognosa dari rabies klinis adalah kematian, akan tetapi pernah dilaporkan 10
kasus yang sembuh sejak 1875 yaitu antara lain 2 kasus di USA tahun 1970 dan 2 kasus
di Argentina tahun 1972. Perlawanan kekebalan akan terlambat bila dalam waktu 10 hari,
sehingga disarankan untuk kombinasi SAR dan VAR20.

BAB III

KESIMPULAN

1. Rabies adalah penyakit zoonosis ditemukan hamper diseluruh tempat di dunia kecuali
Antartika. Sebagian besar kasus (95%) berasal dari Asia dan Afrika, dan korban
umumnya nak-anak dibawah 15 tahun (30%-60%)/. Di Indonesia ditemukan kejadian
luar biasa (KLB), seperti di Kalimantan Barat, Maluku Utara, dan Maluku pada 2003,
Banten pada 2007 dan Bali pada 2008.Sebagian besar kasus (98%) disebabkan gigitan
anjing, sedangkan sisanya oleh hewan lain seperti kucing dan monyet. Sampai saat ini,
rabies masih tersebar di 24 provinsi. Hanya 9 provinsi yang bebas dari rabies yaitu

21
Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta,Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta,
NTB, Papua Barat dan Papua.
2. Reseptor virus rabies memiliki peran dalam fungsi sel normal dan reseptor ini yang
dirusak oleh virus untuk dapat masuk ke sel. Ada tiga reseptor virus rabies, yaitu reseptor
NAChR yang merupakan reseptor virus rabies pertama yang diidentifikasi dan
dianggap penting untuk mendapat akses ke SSP sepanjang saraf perifer bagi
penyebaran virus dari NMJ di perifer, reseptor NCAM yang merupakan glikoprotein
sel adhesi dari superfamili imunoglobulin pada permukaan sel, dan reseptor NTR P75
yang dapat terlibat dalam jalur sensorik virus rabies.
3. Asetilkolin, serotonin, dan GABA merupakan neurotransmiter yang mempengaruhi
terjadinya disfungsi saraf pada penyakit rabies; asetilkolin mempunyai efek eksitasi,
namun juga telah diketahui mempunyai efek inhibisi pada beberapa ujung saraf
parasimpatis perifer. Serotonin diketahui bekerja sebagai penghambat jaras nyeri dalam
medula spinalis, dan bekerja pada sistem saraf yang lebih tinggi, diduga untuk membantu
pengaturan kehendak bahkan mungkin juga berperan dalam siklus tidur,
sedangkan GABA disekresikan oleh ujung saraf dalam medula spinalis, serebelum,
ganglia basalis, dan sebagian besar korteks. Infeksi neuron yang disebabkan virus
rabies menyebabkan abnormalitas fungsi ketiga neurotransmiter tersebut.
4. Apoptosis sel mungkin memainkan peranan penting dalam patogenesis berbagai infeksi
virus, termasuk proses apoptosis RNA dan DNA virus pada SSP manusia dan hewan
percobaan yang terinfeksi virus rabies, jenis sel saraf yang berbeda ditemukan
memberikan respons yang berbeda terhadap infeksi virus rabies.
5. Masa inkubasi rabies sangat bervariasi, mulai dari 7 hari sampai lebih dari 1 tahun, rata-
rata 1-2 bulan, tergantung jumlah virus yang masuk, berat dan luasnya kerusakan jaringan
akibat gigitan, jauh dekatnya lokasi gigitan ke sistem saraf pusat, persarafan daerah luka
gigitan dan sistem kekebalan tubuh.(Jackson, 2003).
6. Gejala klinik dibagi menjadi 4 stadium: (a) Stadium permulaan: gejalanya lemas, sulit
makan, dan anoreksia, (b) Stadium rangsangan; ditandai panas dan kesemutan pada luka
gigitan serta cemas dan reaksi berlebihan akibat rangsangan sensorik, (c) Stadium ketiga;
terjadi perubahan perilaku berteriak, menjambak rambut, berlari, dan melompat-lompat,
takut air, takut udara, takut cahaya, peningkatan lakrimasi dan salivasi. Rabies harus
dicurigai pada penderita dengan gejala neurologi dan psikiatri akut atau gejala laringo

22
faringeal yang tidak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di daerah endemis atau orang
yang digigit hewan di daerah endemis rabies. Stadium terakhir, lumpuh, dan meninggal.
7. Penyakit rabies dapat dicegah dengan memberikan vaksin pada binatang yang berpotensi
sebagai penyebar virus rabies. Jika tergigit hewan yang dicurigai, luka harus segera
dicuci dengan air sabun agar lemak yang menyelimuti virus rabies larut sehingga virus
mati. Setelah itu, pasien harus diberi vaksin antirabies (VAR), sekaligus serum anti rabies
(SAR). Hal itu untuk mencegah virus yang bergerak cepat menuju pusat saraf, yakni otak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes R1.2014.Situasi dan Analisis Rabies.Jakarta:Pusat Data dan Informasi


Kemenkes RI
2. Soedarmo, Soemarmo.S.P.2008.Buku Ajar Infeksi & Pediatrik Tropik.Jakarta: IDAI
3. Knobel D, Cleaveland S, Coleman P, Fevre E, Meltzer M, Miranda M. Re-evaluating the
burden of rabies in Africa and Asia. Bull WHO 2005;83:360-8.
4. Childs J, Real L. Epidemiology. In: Jackson A., Wunner W, eds. Rabies. 2nd ed. Elsevier
Inc. 2007. p.123-258.
5. World Health Organization. Current WHO guide for rabies pre and post exposure
prophylasis in human. 2009.
6. Komisi Penanggulangan Penyakit Zoonosis.2012.Laporan Tahunan Tahun
2012.Jakarta:Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat

23
7. Hemachudha T, Wacharapluesadee S, Laothamatas J, Wilde H. Rabies and pathogenesis
of rabies. Infect Dis J Pakistan 2007; 69-74.
8. Kienzle T. Deadly disease and epidemics rabies. New York: Chelsea House Publishing;
2007.
9. Tanzil, Kunadi.Penyakit Rabies dan Penatalaksanaannya.E-jurnal Widya Kesehatan dan
Lingkungan Vol.1.2014.p.61-7.
10. Jackson AC. Human Disease. In: Jackson A, Wunner W, eds. Rabies. 2nd ed. Elsevier Inc.
2007. p.309-409.
11. Warell M, Warell D. Rabies and other lyssavirus disease. Lance 2004;363:959-69.
12. Jackson AC. Rabies: Scientific basis of the disease and its management. Elsevier Inc.
British. 3rd ed. 2013. p.326-8.
13. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 1997. p.712-3.
14. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and cotran pathologic basis of disease.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2005. p.26-30.
15. Jackson AC, Johannsen EC. Rabies and other Rhabdovirus infection:Harrisons
Principles of internal medical, 17th ed, Vol. 1. Mc Graw-Hill, New York, 2008.
16. Jawetz E., Melnick JL, Adelberg EA.Medical Microbiology, 25th ed. Mc Graw Hill, New
York, 2010.
17. Merlin MA, Pryor PW. Rabies [serial online]. 2009.
http://emedicine.medscape.com/article/785543-Followup
18. Departemen Kesehatan RI. Petunjuk Perencanaan dan Penatalaksanaan Kasus Gigitan
Hewan Tersangka Rabies di Indonesia. 4th ed. Departemen Kesehatan RI Direktorat
Jendral PPM & PL. Jakarta . 2000.
19. Rupprecht CE. Gibbon RV. Prophylaxis against Rabies. N. Engl.J.Med, 2009.
20. Soedijar, I.L, Dharma, D.M,N.Revies Rabies. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis.
Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH).p.119-128

24

Anda mungkin juga menyukai