Anda di halaman 1dari 21

Evaluation Of Cotrimoxazole Use

As A Preventive Therapy Among


Patients Living With HIV/AIDS In
Gondar University Referal
Hospital Northwestern Ethiopia
Retrospective Cross
Sectional Study
Journal Reading

Disusun Oleh
Inayah
Elsa Restiana
Dwika Hermia
Michael Sitorus
Sekar fatmadyani
Pembimbing
Dr. Ruchanihadi, Sp. Pd

LATAR BELAKANG
Terapi

profilaksis kotrimoksazol merupakan


terapi yang dapat dilakukan dengan mudah,
tidak mahal, dan efek sampingnya kecil pada
penderita PLHA (People Living with HIV/AIDS)
Namun masih banyak klinisi yang kurang
tepat dalam memberikan kotrimoksazol baik
dari segi diagnostik maupun dosis.

LATAR BELAKANG
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi

penggunaan cotrimoksazole sebagai terapi


pada pasien PLHA dengan membandingkan
antara Praktik dalam klinik dengan panduan
CPT (Cotrimoksazole Preventive Therapy)

METODE
Lokasi:Rumah Sakit Rujukan Gondar Etiopia
Populasi : pasien dengan rekam medis PLHA yang

mendapat profilaksis kotrimoksazol dan sedang dalam


pengobaran ARV.
Jumlah Sampel : 385 pasien
Kriteria inklusi : setiap pasien dengan rekam medis
PLHA yang mendapat kotri dan dalam pengobatan ARV
Kriteria eksklusi : rekam medis pasien yang tidak
lengkap
Terdapat 264 rekam medis yang memenuhi kriteria
inklusi

METODE
Variabel Bebas

Variabel Terikat

Umur
Jenis kelamin
Status kehamilan

Indikasi Cotrimoksazol
Dosis

Pendidikan

Frekuensi

Status perkawinan
Tingkat Klinis WHO

Durasi pengobatan
Efek samping

Penyakit komorbid
Profil laboratorium (Hitung

Interaksi obat
Kontra indikasi

CD4)

Penghentian terapi

profilaksis cotrimoksazol

HASIL

HASIL

HASIL

HASIL

HASIL

HASIL

HASIL

PEMBAHASAN
Inisiasi cotrimoksazol pada pasien dimulai

ketika hitung CD4 <350 cell/mm3, atau gejala


yang
mengarah
ke
PCP,
TB,
dan
toxoplasmosis, hal ini sesuai dengan temuan
yang dilaporkan satuan tugas WHO HIV/AIDS
yang dilakukan di 69 negara lainnya.

PEMBAHASAN
Inisiasi cotrimoksazol pada pasien dengan

WHO level I dan CD4>350 cell/mm3 masih


banyak jumlahnya 25%, hal ini tidak sesuai
dengan panduan WHO tentang terapi rasional
kotrimoksazol.

PEMBAHASAN
Terdapat

9%
pasien
yang
masih
menggunakan
cotrimoksazol
meskipun
terdapat kontraindikasi. Jumlah ini lebih tinggi
dibanding studi lainnya yang dilakukan di RS
Boru Meda dan RS Jimma. Hal ini terjadi
karena kurangnya perhatian klinisi terhadap
obat kotrimoksazol atau ketidaktahuan klinisi
terhadap update panduan WHO terbaru.

PEMBAHASAN
6%

pasien
mengalami
gangguan
gastrointestinal seperti ulkus peptikum setelah
mengkonsumsi
kotrimoksazol,
4.9%
mengalami reaksi alergi. Jumlah ini lebih tinggi
dibandingkan dengan studi yang dilakukan di
RS Jimma. Hal tersebut terjadi karena
ketidaktelitian klinisi dalam menilai pasien saat
visit, maupun saat anamnesis berkaitan
dengan riwayat alergi, riwayat maag dan
riwayat penggunaan obat-obatan jangka
panjang tertentu.

PEMBAHASAN
Berdasarkan uji klinis yang telah dilakukan,

didapatkan bahwa penggunaan kotrimoksazol


kurang dari satu bulan berpengaruh secara
signifikan untuk terjadinya efek samping. Hal
ini
sejalan
dengan
studi
multicenter
DutchAIDS yang menyatakan bahwa efek
samping
kotrimoksazol
yang
perlu
penghentian konsumsi obat terjadi pada
bulang pertama penggunaan.

PEMBAHASAN
Menurut panduan WHO CPT dapat diinisiasi

pada pasien yang telah mengikuti uji


laboratorium, di follow up tiap bulan selama 3
bulan dan kemudian per 3 bulan.
Namun studi ini menunjukkan 94% pasien
tidak rutin kontrol hal ini terjadi karena
kurangnya kepedulian klinisi dalam menilai
kondisi klinis pasien secara rutin.

KESIMPULAN
Terdapat inkonsistensi dalam memonitor efek

samping dalam penggunaan kotrimoksazol


pada pasien PLHA.
Efek samping kotrimoksazol muncul pada
bulan pertama, untuk itu perlu penilaian yang
teliti terhadap pasien agar tidak terjadi
penghentian terapi CPT sebelum bulan
pertama.

Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai