Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-keduanya. Hiperglikemik kronik pada diabetes behubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disufungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, saraf jantung dan pembuluh darah. World Health Organization (WHO)
sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat
dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat
dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomic dan kimiawi akibat dari
sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolute ata relative dan gangguan
fungsi insulin.1
Diantara penyakit degenaratif, diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidak
menular yang akan meningkat jumlahnya di masa datang. Diabetes sudah merupakan
salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. Perserikatan
Bangsa-Bangsa (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap
diabetes di atas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25
tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta
orang.1
Masalah diabetes mellitus di negara-negara berkembang tidak pernah mendapat
perhatian para ahli diabetes di negara-negara barat sampai dengan Kongres
International Diabetes Federation (IDF) ke IX tahun 1973 di Brussel. Baru pada
tahun 1976, ketika kongres IDF di New Delhi India, diadakn acara khusus yang
membahas diabetes mellitus di daerah tropis. Setelah itu banak sekali penelitian yang
dilakukan di negara berkembng dan data terakhir dari WHO menunjukkan justru
peningkatan tertinggi jumlah pasien diabetes malah di negara Asia Tenggara termasuk
Indonesia.1

1
Meningkatnya prevalansi diabetes mellitus di beberapa negara berkembang, akibat
peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhir akhir ini banyak disoroti.
Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota
besar, menyebabkan peningkatan prevalansi penyakit degenerative, seperti penyakit
jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain. Data
epidemiologis di negara berkembang memang masih belum banyak. Oleh karena itu
angka prevalansi yang dapat ditelusuri terutama berasal dari negara maju.1

2
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn . M
Umur : 25 tahun
Tanggal Lahir : 31 Desember 1990
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : Jl. AP Petaranni 2 lr.15/2 Makassar
Agama : Islam
No. RM : 11-85-89
Tanggal Masuk : 30 November 2016
Tanggal Keluar : 5 Desember 2016
Nama RS : RS Islam Faisal
Rg Perawatan : Ar-Rahman, kamar 504

ANAMNESIS
Autoanamnesis
Keluhan Utama : Lemas
Anamnesis Terpimpin:
Pasien masuk dengan keluhan lemas dialami sejak satu hari yang lalu. Pasien
juga merasa sering haus dan terbangun pada malam hari untuk Buang air kecil,
sering lapar dan pola makan tidak teratur. Pasien juga mengaku berat badannya
cenderung menurun dan telah didiagnosis DM tipe 1 sekitar 1 tahun yang lalu dan
pasien mendapatkan terapi insulin. Tetapi pasien merasa berat badannya
cenderung sudah naik sehingga pasien mengentikan insulin dan mengkonsumsi
metformin atas inisiatif sendiri . Riwayat keluarga dengan DM (+) , Riwayat
merokok (-), Riwayat HT (-)
Demam (-) menggigil (-), keringat malam (-), nyeri kepala (-), pusing (-), nafsu
makan menurun (-), nyeri ulu hati (-), mual (-), muntah (-), BAK sering dan BAB
baik.
II. STATUS PRESENT

3
Sakit Sedang / Gizi Kurang / Composmentis
BB : 50 kg
TB : 165 cm
IMT : 18,3 kg/m2 (underweight)
Tanda vital :
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,8C

III. PEMERIKSAAN FISIS


Kepala
Ekspresi : Biasa
Simetris muka : Simetris kiri = kanan
Deformitas : (-)
Rambut : Hitam lurus, alopesia (-)
Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus : (-/-)
Gerakan : Ke segala arah

Kelopak Mata : Edema (-/-)


Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterus (-/-)
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat isokor
Telinga
Pendengaran : Keduanya dalam batas normal
Nyeri tekan di prosesus mastoideus : (-/-)

4
Hidung
Perdarahan : (-/-)
Sekret : (-/-)
Kongesti : (-/-)
Mulut
Bibir : Pucat (-), kering (-)
Lidah : Kotor (-), tremor (-), hiperemis (-)
Tonsil : T1 T1, hiperemis (-)
Faring : Hiperemis (-)
Gigi geligi : Dalam batas normal
Gusi : Dalam batas normal
Leher
DVS : R+1 cm H2O
Kelenjar getah bening : Tidak terdapat pembesaran
Kelenjar gondok : Tidak terdapat pembesaran
Pembuluh darah : Tidak terdapat kelainan
Kaku kuduk : (-)
Tumor : (-)
Thorax
Inspeksi :
Bentuk : Normochest, simetris kiri = kanan
Pembuluh darah : Tidak ada kelainan
Buah dada : Dalam batas normal
Sela iga : Dalam batas normal

Palpasi :
Vokal Fremitus : normal simetris kanan dan kri
Nyeri tekan : (-)
Perkusi :
Paru kiri : Sonor
Paru kanan : Sonor
Auskultasi :
Bunyi pernapasan : Vesikuler

Bunyi tambahan : Rh -/-, Wh-/-


Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

5
Perkusi : Pekak, batas jantung dalam batas normal (batas jantung
kanan linea parasternalis dextra, batas jantung kiri linea
midclavicularis sinistrra ICS V, batas atas jantung ICS II)
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, bunyi tambahan (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Hepar tidak teraba
Lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal

Alat Kelamin
Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus dan Rektum
Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
Edema -/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


GDP
GDS
,HbA1C
Ureum , Kreatinin
Urinalisa

V. RESUME
Pasien An. M, laki-laki, 25 tahun masuk ke RS Islam Faisal dengan keluhan
lemas disertai 3 gejala klasik (polifagi, polidipsi dan poliuri) .Riwayat diagnosis
DM tipe 1 sejak 1 tahun yang lalu riwayat pengobatan insulin dan metformin
tetapi tidak teratur. GDS pada saat masuk 295 mg/dl .

VI. ASSESSMENT
- DM Tipe 1

VII. PLANNING

6
- Diet DM 1700 kkal
- IVFD NaCL 0,9 % 28 tpm
- Levemir 0-0-10
- Novorapid 6-6-6

FOLLOW UP
TGL PERJALANAN PENYAKIT INSTRUKSI DOKTER
1/12/ T : 120/70 mmHg S: P:
2016 N : 80 x/mnt Lemas (+), Riwayat DM (+) - Diet DM 1700 kkal
P : 20 x/mnt O: - IVFD NaCL 0,9 %
S : 36,5C SS / GK / CM
28 tpm
Anemis -/-, ikterus -/-, - Levemir 0-0-10
DVS R+1 cm H2O - Novorapid 6-6-6
BP : Vesikuler - Cek GDP /3 Hari
BT : Rh -/-, Wh -/-
BJ : SI/SII murni reguler
Peristaltik (+), kesan N,
Hepatomegali (-)
Splenomegali (-)
Ext : Edema -/-

Laboratorium (30/11/2016)
Ureum : 17 (10-50 mg/dl)
Kreatinin : 0,5 ( 0,6-1,1 mg/dl)
HbA1C : 14,0 ( 6,5 %)
Laboratorium (1/12/16)
Keton : + 10 mg/dl
A:
DM tipe 1

TANGGAL 30 November 2016


Laboratorium
HASIL PEMERIKSAAN
PEMERIKSAAN HASIL NILAI SATUAN KETERANGAN

7
RUJUKAN
*Diluar nilai rujukan
FAAL GINJAL
Ureum 17 10-50 mg/dl m/dl
Kreatinin 0,5 Lk 0,6 1,1 / Pr m/dl
0,5 0,9 mg/dl

METABOLISME KARBOHIDRAT

PEMERIKSAAN HASIL NILAI Satuan


RUJUKAN

Hb A1C 14,0* 6,5 % %

2/12/ T : 120/80 mmHg S: P:


16 N : 72x/mnt Lemas (+), Riw. DM (+) Diet DM 1700 kkal
P : 20 x/mnt O: Aff infus
S : 36.5C SS / GK / CM Levemir 0-0-10 iu/cs
Anemis -/-, ikterus -/-, Novorapid 6-6-6 iu/sc
DVS R+1 cm H2O
BP : vesikuler
BT : Rh -/-, Wh -/-
BJ : SI/SII murni reguler
Peristaltik (+), kesan N,
Hepatomegali (-)
Splenomegali (-)
A:
DM tipe 1
3/12/ T : 120/70 mmHg S: P:
16 N : 80x/mnt Lemas (+), Riw. DM (+) Diet DM 1700 kkal
P : 20 x/mnt O: Levemir 0-0-12 iu/sc
S : 36.5C SS / GK / CM Novorapid 6-6-6 iu/sc
Anemis -/-, ikterus -/-,
DVS R+1 cm H2O
BP : vesikuler
BT : Rh -/-, Wh -/-
BJ : SI/SII murni reguler

8
Peristaltik (+), kesan N,
Hepatomegali (-)
Splenomegali (-)
Penunjang :
GDS = 295 mg/dl
GDP = 226 mg/dl

A:
DM TIPE 1
4/12/ T : 120/80 mmHg S: P:
16 N : 80x/mnt Lemas (-), Riw. DM (+) Diet DM 1700 kkal
P : 20 x/mnt O: Levemir 0-0-12 iu/sc
S : 36.5C SS / GK / CM Novorapid 6-6-6 iu/sc
Anemis -/-, ikterus -/-,
DVS R-1 cm H2O
BP : vesikuler.
BT : Rh -/-, Wh -/-
BJ : SI/SII murni reguler
Peristaltik (+), kesan N,
Hepatomegali (-)
Splenomegali (-)
A:
DM Tipe 1
T : 120/80 mmHg P:
5/12/
N : 80x/mnt
16 S: Diet DM 1700 kkal
P : 20 x/mnt Lemas (-), Riw. DM (+)
S : 36.5C Levemir 0-0-14 iu/sc
O: Novorapid 6-6-6 iu/sc
SS / GK / CM Rawat Jalan
Anemis -/-, ikterus -/-,
DVS R-1 cm H2O
BP : vesikuler.
BT : Rh -/-, Wh -/-
BJ : SI/SII murni reguler
Peristaltik (+), kesan N,
Hepatomegali (-)
Splenomegali (-)
Penunjang :
GDP : 227 mg /dl
A:

9
DM Tipe 1

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DIABETES MELITUS TIPE 1


3.1.1 Definisi
Diabetes Mellitus tipe 1 adalah penyakit kronik ditandai ketidakmampuan
tubuh memproduksi insulin karena kerusakan autoimun sel pankreas. Onset paling
sering pada masa kanak-kanak, tetapi juga dapat terjadi pada dewasa terutama usia 30
dan awal 40.1
3.1.2 Etiologi
DM tipe 1 merupakan penyakit autoimun dengan etiologi multifaktor, yang
merupakan kombinasi faktor lingkungan dan kelainan genetik. Meskipun bukti yang
kuat untuk hubungan dengan faktor genetik, tingkat kesesuaian untuk DM tipe 1
adalah rendah pada kembar identik. Kembar identik (monozigot) pasien DM 1A
mempunyai resiko menderita DM 1A sebesar 50%. Konsisten dengan
heterogenitasnya, resiko tersebut sangat bervariasi. Usia awal (onset) timbulnya
penyakit menentukan resiko kembarannya. Bila kembarannya menderita DM sebelum

10
usia 5 tahun, resiko saudara kembarnya menjadi diabetes melampaui 50%.
Sebaliknya bila saudara kembarnya menderita diabetes sesudah usia 25 tahun, resiko
kembarannya < 10%.2,3
Kembar dizigot memiliki tingkat kesesuaian 5-6% untuk DM tipe 1. Resiko
saudara kandung pasien DM 1A menderita DM 1A sekitar 1/20. Ketika kedua orang
tua penderita diabetes, risiko meningkat hampir 30%. Kontribusi genetik terhadap
DM tipe 1 juga tercermin dalam frekuensi penyakit yang bervariasi di antara etnis
yang berbeda.2

Faktor genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu. Saat ini ada lebih dari 40
lokus gen dikaitkan dengan resiko DM tipe 1. Dua daerah kerentanan utama adalah
IDDM1, yakni major histocompatibility complex (MHC) pada kromosom 6p21 dan
IDDM2, wilayah gen insulin pada kromosom 11p15. MHC adalah lokasi beberapa
kerentanan lokus, yaitu human leucocyte antigen (HLA) kelas II haplotip DR dan
DQ. DRB1*0405-DQB1*0401 (DR4) dan DRB1*0901-DQB1*0303 (DR9)
meningkat pada DM 1A klasik dan DM tipe 1 fulminan. Pada DM tipe 1 progresif
lambat hanya DR9 yang meningkat. Frekuensi DR9 lebih sering pada DM tipe 1
fulminan dibandingkan DM 1A klasik. Frekuensi DR4 meningkat dengan
meningkatnya usia onset. Haplotip DRB1*0802-DQB1*0302 (DR8) hanya terlibat
pada DM 1A klasik. Haplotip DR2, DR5, DRB1*1502-DQB1*0601 dan
DRB1*1501-DQB1*0602 berperan protektif. Lokus IDDM2 menyumbang sekitar
10% dari kerentanan terhadap DM tipe 1. Gen yang telah dilaporkan terlibat dalam
mekanisme DM tipe 1 di antaranya VTNR, CTLA4, PTPN22, dan IL2RA.
UBASH3A (STS2) mungkin terlibat dalam peningkatan resiko tidak hanya DM tipe 1
tetapi juga penyakit autoimun lain.4,5

Sistem HLA berperan sebagai suatu susceptibility gene atau faktor kerentanan.
Diperlukan suatu faktor yang berasal dari lingkungan untuk memicu gejala-gejala
klinis DM tipe 1 pada seseorang yang rentan. Pemicu kerusakan imunologi sel beta
termasuk virus (misalnya, enterovirus, gondok, rubella, dan coxsackie virus B4),

11
bahan kimia beracun, paparan susu sapi pada bayi, dan sitotoksin. Sistem imun pada
orang dengan kecenderungan genetik tertentu menyerang molekul sel pankreas
yang menyerupai protein virus sehingga terjadi destruksi sel dan defisiensi
insulin.6,7

Selain akibat autoimun, sebagaian kecil DM tipe 1 terjadi akibat proses yang
idiopatik, tidak ditemukan antibodi sel . DM tipe 1 yang bersifat idiopatik ini sering
terjadi akibat faktor keturunan. Pada DM tipe 1, seorang anak memiliki kemungkinan
1:7 untuk menderita DM bila salah satu orang tua anak tersebut menderita DM pada
usia < 40 tahun dan 1:13 bila salah satu orang tua anak tersebut menderita DM pada
usia 40 tahun. Namun bila kedua orang tuanya menderita DM tipe 1, maka
kemungkinan menderita DM tipe 1 adalah 1:2.3

3.1.4 Patogenesis

Proses autoimun dimulai dengan aktivasi makrofag, limfosit T sitotoksik dan


supresor, dan limfosit B menyusup ke pankreas menimbulkan insulitis destrukstif
yang sangat selektif terhadap sel . Interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor
(TNF-), dua sitokin terutama diproduksi oleh makrofag maupun interferon ,
menyebabkan perubahan struktural sel pankreas dan menekan kapasitas sel
pankreas untuk melepaskan insulin. Mekanisme dari proses kematian sel belum
diketahui dengan pasti, namun proses ini dipengaruhi oleh pembentukkan metabolit
nitric oxide (NO), apoptosis, dan sitotoksisitas dari sel T CD8+. Setelah semua sel
rusak, proses inflamasi mereda, dan sel pankreas menjadi atrofi dan marker
imunologi akan menghilang2,6

12
Gambar 2. Perjalanan penyakit DM tipe 1

Pada tahun 1974 ditemukan antibodi terhadap sel pankreas pada serum
penyandang DM tipe 1 yang menyokong hipotesis proses autoimun sebagai penyebab
kerusakan sel yang mengakibatkan defisiensi insulin. Pemeriksaan histopatologi
pankreas menunjukkan adanya infiltrasi leukosit dan destruksi sel langerhans.3

Penanda autoimunitas terhadap sel pankreas yaitu islet cell autoantibody


(ICA) dan antibodi terhadap empat dari autoantigen utama sel pankreas: insulin
autoantibodies (IAA), asam glutamat dekarboksilase 65 (GAD65), insulinoma-
associated antigens-2 (IA-2/ICA512), dan seng transporter 8 (ZnT8). Autoantibodi
dapat hadir dalam serum individu prediabetik bertahun-tahun sebelum diagnosis
klinis. Berkurangnya C-peptida yang merupakan komponen pro-insulin
menggambarkan penurunan jumlah insulin endogen akibat destruksi sel yang dapat
dilihat dari kadar antibodi terhadap sel . Keberadaan autoantibodi tunggal hanya
dikaitkan dengan peningkatan resiko progresif menjadi DM 1A sekitar 20%. Bila
didapatkan 2 atau lebih autoantibodi maka progresi menjadi diabetes sangat tinggi,
dan bila diikuti selama 10 tahun mencapai >75%. Diabetes tidak timbul pada individu
yang mempunyai molekul HLA protektif walaupun titer autoantibodi tinggi.4,7,8

Proses autoimun ini cukup bervariasi , baik antara pasien dan dalam pankreas
setiap pasien dari waktu ke waktu. Saat presentasi klinis muncul, sekitar 70-90% dari
sel telah hancur atau disfungsional. Jumlah sel yang tersisa saat onset masih
belum diketahui karena kurangnya metode pencitraan noninvasif yang akurat untuk
mengukur fungsional massa sel pada manusia. Pasien memerlukan insulin eksogen
untuk memperbaiki kondisi katabolik, mencegah ketosis, menurunkan
hiperglukagonemia, menormalkan metabolisme lipid dan protein.4,6

3.1.5 Diagnosis

a. Anamnesis

13
Gejala klasik DM tipe 1 adalah poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan. Gejala lain termasuk kelelahan, mual, dan
penglihatan kabur. Timbulnya gejala penyakit dapat tiba-tiba dalam bentuk
ketoasidosis diabetik.7.9

Poliuria disebabkan oleh diuresis osmotik sekunder akibat hiperglikemia.


Haus adalah respon terhadap kondisi dehidrasi. Kelelahan dan kelemahan mungkin
disebabkan oleh atrofi otot akibat hiperkatabolik, hipovolemia, dan hipokalemia.
Kram otot yang disebabkan oleh ketidakseimbangan elektrolit dan neuropati.
Penglihatan kabur akibat hiperosmolar pada lensa dan humor vitreous. Dalam
perjalanannya, berat badan pasien DM tipe 1 akan menurun, meskipun nafsu makan
normal atau meningkat, karena dehidrasi dan hiperkatabolik.2

b. Pemeriksaan fisis

Pemeriksaan fisik diabetes yang berfokus meliputi penilaian terhadap tanda-


tanda vital, pemeriksaan funduskopi, pemeriksaan vaskuler, neurologis, dan
pemeriksaan kaki. Sistem organ lain harus dinilai seperti yang ditunjukkan oleh
situasi klinis pasien.2

c. Pemeriksaan laboratorium

Diagnosis dikonfirmasi dengan glukosa plasma 200 mg/dL atau glukosa


plasma puasa 126 mg/dL. HbA1c memberikan perkiraan kadar glukosa plasma
selama 1-3 bulan sebelumnya. Pada DM tipe 1, pemeriksaan ini dilakukan ketika
tidak ada gejala klasik DM tipe 1 dengan glukosa acak 200 mg/dL. HbA1c 6,5%
merupakan kriteria untuk diagnosis DM. Pemeriksaan tidak dapat digunakan pada
pasien dengan sel darah merah abnormal.2

American Association of Clinical Endocrinology (AACE) merekomendasikan


pemeriksaan C-peptida dan penanda antibodi misalnya GAD. C-peptida terbentuk

14
selama konversi dari proinsulin terhadap insulin. Insulin atau C-peptida < 5 U/mL
(0,6 ng/mL) menunjukkan DM tipe 1. Autoantibodi IA-2, anti-GAD65, dan IAA
dapat ditemukan pada awal DM tipe 1. Pemeriksaan autoantibodi IA-2 dalam waktu 6
bulan setelah diagnosis dapat membantu menegakkan DM tipe 1. Titer ini menurun
setelah 6 bulan. Antibodi anti-GAD65 dapat ditemukan pada diagnosis DM tipe 1 dan
terus-menerus positif dari waktu ke waktu. Pemeriksaan autoantibodi sel pankreas
dapat menggantikan pemeriksaan genetik yang mahal.10,11

Dibandingkan dengan anak-anak, anti-GAD65 dan ICA bertahan lebih lama


setelah diagnosis pada pasien dewasa. IA-2 lebih sering terdeteksi pada DM tipe 1
anak. Borg H et al mendapatkan pada anak-anak < 50% anti-GAD65 tetap positif dan
< 20% ICA positif 7-11 tahun setelah diagnosis. Pada pasien dewasa hampir semua
positif anti-GAD65 dan 50% ICA positif 12 tahun setelah diagnosis, sedangkan IA-2
tetap positif pada 50% pasien anak dan dewasa.12

Skrining pada individu berisiko rendah asimtomatik tidak dianjurkan. Namun


pada pasien yang berisiko tinggi, misalnya mereka yang memiliki kerabat tingkat
pertama DM tipe 1, mungkin tepat untuk dilakukan skrining tahunan.13

Tabel 1. Subtipe manifestasi klinis diabetes tipe 114


Diabetes tipe 1
1. Diagnosis klinis: umumnya onset muda, cenderung ketosis, mendapatkan insulin
2. Proses autoimun: autoantibodi GAD65 (+)
3. Stadium insulin-dependent:
- C-peptide urin < 20 ug/hari
- C-peptide serum < 0,5 ng/ml (puasa)
- C-peptide serum < 1 ng/ml setelah makan
- C-peptide < 0,5 ng/ml setelah pemberian glukagon intravena
Diabetes tipe 1 progresif lambat
1. ICA dan atau autoantibodi GAD (+)
2. Non insulin-dependent saat onset atau saat diagnosis
3. Periode non insulin > 13 bulan setelah onset atau setelah diagnosis
Diabetes tipe 1 fulminan

15
1. Ketosis/ketoasidosis dalam 1 minggu setelah gejala hiperglikemia
2. C-peptide serum < 0,3 ng/ml (puasa) dan < 0,5 mg/ml (setelah makan atau pemberian
glukagon intravena)
3. A1c < 5,5% pada kunjungan pertama

3.1.6 Tatalaksana DM Tipe 1

Pasien DM tipe 1 membutuhkan terapi insulin seumur hidup. Pengganti


insulin dilakukan dengan memberikan insulin basal dan preprandial (pra-makan)
insulin. Insulin basal adalah baik long-acting (glargine atau detemir) atau
intermediate-acting (NPH). Insulin preprandial adalah baik rapid-acting (lispro,
ASPART, atau glulisine) atau short-acting (reguler). Sebagian besar memerlukan 2
atau lebih suntikan insulin setiap hari, dengan dosis berdasarkan self-monitoring
kadar glukosa darah.13,15

Rekomendasi American Diabetes Association untuk menggunakan usia


pasien sebagai salah satu pertimbangan dalam pencapaian target glikemik, target
HbA1c dewasa kurang dari 7% dengan glukosa darah preprandial 80-130 mg/dL,
namun target harus bersifat individual. Individu dengan episode hipoglikemia berat
berulang, penyakit kardiovaskular, penyalahgunaan zat atau penyakit mental yang
tidak diobati memerlukan target yang lebih tinggi, seperti HbA1c < 8% dan glukosa
preprandial 100-150 mg/dL.13

Insulin sistem pompa dengan sensor otomatis memungkinkan penyesuaian


dosis insulin yang lebih akurat, kontinyu dan terkendali. Ketika sensor mendeteksi
gula darah turun di bawah ambang batas yang telah ditetapkan (60-90 mg/dL), pompa
otomatis berhenti memompa insulin. Teknologi ini menyebabkan kontrol glikemik
yang lebih baik dan lebih banyak pasien mencapai target dibandingkan dengan terapi
injeksi.16,17

16
Transplantasi pankreas untuk pasien dengan DM tipe 1 memungkinkan di
beberapa pusat rujukan. Hal ini sering dilakukan secara simultan dengan transplantasi
ginjal untuk penyakit ginjal stadium akhir.16

Diet harus memperhitungkan kebiasaan makan pasien dan gaya hidup.


Manajemen diet termasuk pendidikan tentang bagaimana mengatur waktu, ukuran,
frekuensi, dan komposisi makanan sehingga dapat menghindari hipoglikemia atau
hiperglikemia postprandial. Diet yang dianjurkan terdiri dari 20% dari kalori setiap
hari untuk sarapan, 30% makan siang, 25% makan malam, dan 2-3 porsi makanan
ringan (10-15%) di antaranya. Kebutuhan protein 1-1,5 g/kg/hari tapi asupan protein
dikurangi jika terjadi nefropati. Asupan lemak harus dibatasi tidak lebih dari 30% dari
total kalori. Pasien harus mengurangi konsumsi gula dan memastikan bahwa mereka
memiliki asupan serat yang cukup. Dalam beberapa kasus, menjelang siang dan
menjelang sore makanan ringan dianjurkan untuk menghindari hipoglikemia.8,10,13

Pasien dianjurkan berolahraga secara teratur. Pasien yang melakukan latihan


yang ketat selama > 30 menit dapat mengalami hipoglikemia, sehingga dianjurkan
mengurangi injeksi insulin sebelumnya sebesar 10-20% atau makanan tambahan.
Pasien juga harus memastikan untuk mempertahankan status hidrasi mereka selama
latihan.8

3.1.7 Pencegahan
Meskipun identifikasi pasien yang beresiko dapat dilakukan, namun sampai saat ini
belum ada strategi yang terbukti mencegah DM tipe 1. Dalam suatu studi,
nicotinamid yang mencegah diabetes autoimun pada model binatang, tidak dapat
mencegah timbulnya diabetes pada orang dengan riwayat keluarga DM tipe 1.18
3.1.8 Komplikasi

a. Akut

1. Hipoglikemia

17
Akibat kerja insulin yang berlebihan, dapat terjadi hipoglikemia berat dengan
gejala kejang, koma, bahkan kematian. Insidens hipoglikemia dapat dihindari dengan
meningkatkan pemantauan gula darah, keteraturan pengobatan insulin, pengaturan
makan/asupan makanan yang disesuaikan dengan aktivitas atau kegiatan yang
dilakukan.

2. Ketoasidosis Diabetik

Akibat dari defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontraregulator


menyebabkan produksi glukosa hati meningkat, lipolisis dan produksi benda keton.

b. Kronik

1. Infeksi

Infeksi menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup besar dan


kematian. Infeksi dapat memicu gangguan metabolik dan sebaliknya, gangguan
metabolik diabetes dapat memicu infeksi. Pasien dengan diabetes lama cenderung
memiliki mikrovaskuler dan penyakit kardiovaskular dengan perfusi jaringan yang
buruk sehingga meningkatkan resiko infeksi. Kemampuan kulit sebagai pelindung
terhadap infeksi berkurang karena sensasi berkurang akibat neuropati.

2. Komplikasi ophtalmologi

Diabetes dapat mempengaruhi lensa, vitreous, dan retina, menyebabkan


gangguan visual. Retinopati diabetik merupakan komplikasi oftalmologi utama DM.
Retinopati diabetik merupakan penyebab utama kebutaan di Amerika Serikat pada
orang yang lebih muda dari 60 tahun.

3. Nefropati diabetik

Sekitar 20-30% pasien DM tipe 1 mengalami nefropati dan semua pasien


dengan DM harus dianggap memiliki potensi untuk gangguan ginjal kecuali jika

18
terbukti sebaliknya. Tanda awal terjadinya nefropati pada DM tipe 1 adalah
ditemukannya mikroalbuminuria. Evaluasi dilakukan tiap tahun.

4. Neuropati diabetik

4 jenis neuropati diabetik adalah polineuropati perifer distal simetris terutama


sensorik, neuropati otonom dan mononeuropati cranial. Kelainan yang timbul seperti
akumulasi sorbitol dalam selaput myelin di saraf perifer, saraf otonom, dan serabut
saraf di traktus gastrointestinal akan berakibat disfungsi neuronal yang progresif.

5. Komplikasi makrovaskuler

Diabetes memicu aterosklerosis, meningkatkan resiko penyakit jantung iskemik,


iskemia serebral, gangren dan penyakit pembuluh darah perifer. Penyakit jantung
meningkat hingga 10 kali lipat pada pasien DM tipe 1. Risiko stroke pada DM adalah
dua kali lipat dari orang nondiabetes, dan risiko penyakit pembuluh darah perifer
adalah 4 kali dari orang-orang tanpa diabetes.13,16,17

3.1.9 Prognosis

Diabetes melitus tipe 1 berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang


tinggi. Lebih dari 60% pasien DM tipe 1 tidak mengalami komplikasi serius dalam
jangka panjang, tapi sebagian lainnya mengalami kebutaan, penyakit ginjal stadium
akhir dan kematian. Pasien DM tipe 1 yang bertahan hidup 10-20 tahun setelah onset
penyakit tanpa komplikasi fulminan memiliki probabilitas tinggi mempertahankan
status kesehatannya. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil jangka panjang
adalah pendidikan pasien, kesadaran, motivasi, dan tingkat kecerdasan.17

Kontrol glukosa darah, HbA1c, lipid, tekanan darah, dan berat badan secara
signifikan mempengaruhi prognosis. Pasien DM tipe 1 menghadapi tantangan seumur
hidup untuk mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah sedekat mungkin

19
dengan kisaran normal. Dengan kontrol glikemik yang tepat, resiko komplikasi juga
berkurang.16

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo A, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FK UI 2006

2. Wu YL, Ding YP, Gao J, et al. Risk Factors and Primary Prevention Trials for
Type 1 Diabetes. International Journal of Biological Sciences. 2013; 9(7):666-
679.

3. Berwary NJA, Majid FAA, Hamdan S, et al. Type 1 Diabetes Mellitus (T1DM):
Induced by Environmental, Genetic and Immunity Factors. Life Science Journal.
2013; 10(3): 638-644.

20
4. Murao S, Makino H, Kaino Y, et al. Differences in the Contribution of HLA-DR
and -DQ Haplotypes to Susceptibility to Adult and Childhood-Onset Type 1
Diabetes in Japanese Patients. Diabetes. 2004; 53(10): 2684-2690.

5. Van Belle TL, Coppieters KT, Von Herrath MG. Type 1 Diabetes: Etiology,
Immunology, and Therapeutic Strategies. Physiol Rev. 2011; 91: 80-106.

6. Vlad A, Timar R. Pathogenesis of Type 1 Diabetes Mellitus: A Brief Overview.


Romanian Journal of Diabetes Nutrition & Metabolic Diseases. 2012; 19(1): 67-
71.

7. Ozougwu JC, Obima KC, Belonwu CD, Unakalamba CB. The Pathogenesis and
Pathophysiology of Type 1 and Type 2 Diabetes Mellitus. Academic Journals.
2013; 4(4): 46-57.

8. Kyi M, Wentworth JM, Nankervis AJ, et al. Recent Advances in Type 1 Diabetes.
MJA. 2015; 203 (7): 290-293.

9. Kawasaki E, Maruyama T, Imagawa A, et al. Diagnostic Criteria for Acute-Onset


Type 1 Diabetes Mellitus (2012): Report of the Committee of Japan Diabetes
Society on the Research of Fulminant and Acute-onset Type 1 Diabetes Mellitus.
J Diabetes Invest. 2014; 5: 115118.

10. Fowler MJ. Diagnosis, Classification, and Lifestyle - Treatment of Diabetes.


Clinical Diabetes. 2010; 28(2): 79-85.

11. Chiang JL, Kirkman MS, Laffel LM, et al. Type 1 Diabetes Through the Life
Span: A Position Statement of the American Diabetes Association. Diabetes
Journals. 2014; 10: 2034-2051.

12. Small M, Craigie I, Johnston A, et al. Management of Diabetes - A National


Clinical Guideline. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. 2010; 3: 30-37.

21
13. Sabbah E, Savola K, Ebeling T, Knip M. Genetic, Autoimmune and Clinical
Characteristics of Childhood and Adult Onset Type 1 Diabetes. Diabetes Care.
2000; 23:13261332.

14. Borg H, Gottster A, Fernlund P, Sundkvist G. A 12-Year Prospective Study of


the Relationship Between Islet Antibodies and -Cell Function At and After the
Diagnosis in Patients With Adult-Onset Diabetes. Diabetes. 2002; 51(6): 1754-
1762.

15. Miguel AA, Santiago BC, Galarza AC, et al. Clinical Practice Guideline for
Diabetes Mellitus Type 1. Clinical Practice Guidelines in the NHS. 2012; 1: 63-
156.

16. McGibbon A, Richardson C, Hernandez C, et al. Pharmacotherapy in Type 1


Diabetes. Can J Diabetes. 2013; 37: 56-60.

17. Pawlak D, McNaught G, Whittall C. Australian Type1 Diabetes


Research Agenda - Partnering science, government and the
community. The Juvenile Diabetes Research Foundation. 2010;
2: 1-7.

18. McCulloch DK, Cohen A, Constans D, et al. Type 1 Diabetes Treatment


Guideline. Group Health Cooperative. 2015; 6; 1-10.

22

Anda mungkin juga menyukai