Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PBL

MODUL PEMERIKSAAN ORGAN DALAM PADA LUKA


TRAUMA

BLOK FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

KELOMPOK 13

Tutor : dr. Muhammad Wirawan Harahap

110 210 0001 Rizna Ainun Budiman


110 212 0019 Rendra Suryawan
110 212 0047 Nur Intan Yusuf
110 212 0049 Nanik Sofari Alade
110 212 0050 Meitia Dwi Tirtasari
110 212 0052 Irvan Rinaldi
110 212 0110 Siti Hajar Malika
110 212 0122 Muhammad Khaerul Maarif.A
110 212 0132 Nurul Ummah
110 212 0134 Jihan Asma Putri
110 212 0159 Ayudini Oktavia

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2015

MODUL 2

A. SKENARIO 1

1
Seorang wanita 58 tahun ditemukan tewas, dan diduga
disebabkan akibar jatuh dari ketinggian 3m. Hematom
ditemukan pada kedua daerah orbital, dan darah juga ditemukan
pada kedua daerah telinga dan hidungnya. Penyidik dari
kepolisian meminta dilakukannya otopsi untuk mengungkapkan
penyebab kematian dari Korban tersebut.

Gambar modul 2.1.0 Gambar modul 2.1.1

Gambar modul 2.1.2 Gambar modul 2.1.3

Gambar modul 2.1.4


B. KATA SULIT
- Hematom :
pengumpulan
darah yang terlokalisasi, umumnya menggumpal pada
organ, rongga, atau jaringan, akibat pecahnya dinding
pembuluh darah1

2
- Autopsi : pemeriksaan post mortem dari sosok mayat
untuk menentukan penyebab kematian/sifat-sifat
perubahan patologis dari mayat tersebut.2
C. KATA/KALIMAT KUNCI
- Wanita, 58 tahun ditemukan tewas
- Diduga akibat jatuh dari ketinggian 3m
- Hematom ditemukan pada kedua daerah orbital, dan darah
juga ditemukan pada kedua daerah telinga dan hidungnya.
D. PERTANYAAN
1. Bagaimana Analisis gambar berdasarkan skenario ?
2. Bagaimana pendekatan kematian berdasarkan Proximus
Mortis Approach (PMA)
E. JAWABAN
1. Gambaran Hematom Orbita3

Hematoma kacamata pada pasien ini disebabkan


adanya fraktur basis kranii yang menyebabkan pecahnya
arteri oftalmika yang menyebabkan darah masuk kedalam
kedua rongga orbita melalui fisura orbita. Akibatnya darah
tidak dapat menjalar lanjut karena dibatasi septum orbita
kelopak maka terbentuk gambaran hitam kemerahan pada
kelopak seperti seseorang yang memakai kacamata. Karena
pada kedua mata terjadi pembengkakan palpebra superior dan
inferior mata menjadi berat dan susah untuk dibuka (ptosis).
Fraktur basi kranii biasanya berdiri sendiri, hanya kadang

3
kadang saja merupakan lanjutan dari fraktur kalavarium. Pada
umumnya fraktur terjadi paa os petrosum, atap orbita, atau
basis oksiput.

4
Diagnosis berdasarkan anamnesis dan gejala klinis seperti
perdarahan dari hidung atau telinga, dan hematom di sekitar
mastoid atau orbita. Foto roentgen pada waktu akut
tidakdiperlukan karena pada umunya tidak member tambahan
onformasi bahkan dapat memebahayakan nyawa penderita. Saraf
otak juga dapat mengalami cedera. Fraktur yang menyilang
fosa media dapat menimbulkan gangguan pada kelenjar hipofisis
yang menyebabkan diabetes insipidus, robekan duramter dapat
menimbulkan otorrrhea atau rinorrhea. Kebocoran likuor
cerenrospinalis dapat terhenti secara spontan. Biasanya patah
tulang dasar tengkorak tidak emerlukan tindakan bedah,kecuali
likuoreamenetap. Bila dalam waktu dua minggu likuorea tidak
berhenti, diperlukan tindak bedah untuk emenutup duramater.
Konjungtiva palpebra merupakan membrane mukosa yang
transparan dan tipis yang membungkus permuksaan posterior
kelopak mata. System vascular dari konjungtiva palpebra berasal
dari arteri palpebralis yang apabila pada palpebra mengalami
trauma pada mata, pembuluh darah dapat pecah kemudian
terjadi edema konjungtiva (kemosis konjungtiva). Selain itu
arteri palpebralis juga merupakan salah satu cabang arteri
oftalmika, yang apabila terjadi fraktur basis kranii dapat pula
pecah dan menjadi edema konjungtiva (kemosis konjungtiva).
Bila edema ini besar atau banyak menyebabkan mata tidak bisa
tertutup (lagoftalmus) dan konjungtiva dapat terpapar dengan
udara luar yang bisa menimbulkan infeksi.
Gambaran Sianosis4

5
Sianosis merupakan warna kebiruan yang terdapat pada kulit
dan membrane mukosa yang terjadi akibat peningkatan
konsentrasi deoksihemoglobin atau Hb tereduksi (Hb yang
tidak berikatan dengan O2) pada pembuluh darah kecil. Sianosis
terjadi jika kadar deoksihemoglobin sekitar 5 gram per 100 ml
dalam darah. Pada kebanyakan kasus forensic dengan kontriksi
leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada
wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya
berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali
dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah. Sianosis dapat
dengan mudah terlihat pada ujung jari dan bibir

Berdasarkan skenario, dari penjelasan di atas dapat dikatakan


sianosis tersebut terjadi intravital.

Gambar kekeruhan kornea5

6
Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sklera di kiri-
kanan kornea akan berwarna kecoklatan dalam beberapa jam
berbentuk segitiga dengan dasar di tepi kornea (traches noires
sclerotiques). Kekeruhan kornea terjadi lapis demi lapis.
Kekeruhan yang terjadi pada lapis terluar dapat dihilangkan
dengan meneteskan air, tetapi kekeruhan yang telah mencapai
lapisan lebih dalam tidak dapat dihilangkan dengan tetesan air.
Kekeruhan yang menetap ini terjadi sejak kira-kira 6 jam pasca
mati. Baik dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka, kornea
menjadi keruh kira-kira 10 12 jam pasca mati dan dalam

7
beberapa jam saja fundus tidak tampak jelas. Hal ini terjadi
akibat metabolisme yang tidak terjadi setelah kematian sehingga
humor aquous tak lagi diproduksi.
Dari penjelasan di atas pula dapat dikatakan bahwa kekeruhan
kornea ini terjadi postmortem.
Gambar Petequie Konjungtiva bulbi6

. Tardieus spot (Petechial hemorrages)


Gambaran perbendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh
darah konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase
konvulsi akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah
meningkat terutama dalam vena, venula, dan kapiler. Selain itu,
hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapile
yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik bintik
perdarahan yang dinamakan tardius spot. Kapiler yang lebih
mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya
pada konjingtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang
kadang dijumpai pada kulit wajah

Gambar Perdarahan Subarachnoid7

8
Fraktur basis crani dapat menyebabkan perdarahan subaracnoid seperti
pada gambar. Tampak perdarahan di daerah temporal di bawah
duramater dan mengisi sulcus cerebri. Perdarahan yang terjadi
diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak akibat adanya
trauma. Darah yang terakumulasi mengakibatkan peningkatan tekanan
intracranial yang menyebabkan penekanan pada pusat kontrol
pernapasan di medulla oblongata.

2. Proximus Mortis Approach (PMA) pada skenario8

9
Mcod (multiple cause of death) pada korban dengan
menggunakan pendekatan proximus mortis adalah gagal nafas.
Dari kasus diatas, terjadinya kematian korban disebabkan
terjadinya gagal pernafasan akibat penekanan pusat pernafasan
pada batang otang. Hal ini disebabkan karena adanya cidera
kepala akibat benda tumpul yang mengakibatkan perdarahan
subarachnoid. Perdarahan ini menyebabkan oedema dan
meningkatkan tekanan intracranial sehingga terjadi herniasi
batang otak yang kemudian menyebabkan asfiksia dan apabila
ditangani menyebabkan kematian. Dari kasus diatas adanya
hematom okuli, perdarahan pada hidung dan telinga
diakibatkan karena trauma pada basis cranii fossa anterior dan
media.
Mcod
Ia. Gagal pernafasan
Ib. penekanan/herniasi batang otak
Ic. Perdarahan subarachnoid
Id. Trauma tumpul pada kepala.

INFORMASI TAMBAHAN

Perspektif Islam mengenai autopsi10

Untuk mengetahui status hokum terhadap tindakan otopsi mayat yang digunakan
sebagai pebuktian hokum dipengadilan dapat diterapkan kaidah-kaidah berikut:

a. Kaidah pertama

10
Kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan
yang bersifat umum.
Berdasarkan kaidah diatas, kemudaratan yang bersifat khusus boleh
dilaksanaan demi menolak kemudaratan yang bersifat umum. Sebuah
tindakan pembunuhan misalnya, adalah tergolong tindak pidana yang
mengancam kepentingan publik atau mendatangkan mudarat. Untuk
menyelamatkan masyarakat dari rangkaian tindak pembunuhan maka
terhadap pelakunya harus diadili dan dihukum sesuai ketentuan hukum yang
berlaku. Bukti-bukti atas tindakan pembunuhan yang dilakukannya harus
diperkuat agar ia dapat dihukum dan jangan sampai bebas dalam proses
pengadilan, sungguh pun untuk pembuktikan itu harus dengan melakukan
otopsi atau membedah mayat korban.Didalam hukum islam. Suatu tindakan
yang dilandasi oleh alasan untuk menjamin keamanan dan keselamatan diri
orang yang hidup harus lebih diutamakan daripada orang yang sudah mati.
b. Kaidah kedua
Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang
Dari kaidah kedua dapat dipahami bahwa persoalan darurat itu membolehkan
sesuatu yang semula diharamkan. Berangkat dari fenomena diatas, maka
otopsi forensik sangat penting kedudukannya sebagai metode bantu
pengungkapan kematian yang diduga karena tindak pidana. Dengan
melaksanakan otopsi forensik maka dapat dipecahkan misteri kematian yang
berupa sebab kematian, cara kematian, dan saat kematian korban.

c. Kaidah ketiga
Tiada keharaman dalam kondisi darurat, dan tidak ada makruh dalam
kondisi hajat
Kaidah ketiga ini menyatakan bahwa tiadanya keharaman dalam kondisi
darurat, seperti halnya tidak adanya kemakruhan dalam kondisi hajat. Maka
jika otopsi diatas dipahami sebagai hal yang bersifat darurat, artinya satu-
satunya cara membuktikan, maka otopsi itu sudah menempati level darurat,
dan karena itu status hukumnya dibolehkan.
d. Kaidah keempat
Keperluan dapat menduduki posisi keadaan darurat

11
Kaidah keempat diatas dapat memperkuat argumentasi kaidah sebelumnya.
Maka kaidah ini adalah hajat menempati kedudukan darurat, baik hajat
umum maupun hajat yang bersifat perorangan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anderson, W, douglass. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31.

Jakarta: EGC;2012
2. Anderson, W, douglass. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31.

Jakarta: EGC;2012
3. Sjamsuhidajat, De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta :

Penerbit buku Kedokteran EGC, 2010.


4. Idries, abdul Muim. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997

12
5. Budiyanto, Arif. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian

Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997


6. Idries, abdul Muim. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997


7. Prince, SA, Wilson, LM. Editor. Patofisiologi: Konsep Klinis

Proses-proses Penyakit Edisi 4, Jilid 2. Jakarta: EGC; 1995. h.

1010
8. Idries, abdul Muim. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997


9. A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih Kaidah-kaidah Hukum Islam

dalam Menyelesaikan Masalah yang Praktis. Jakarta : Kencana,

2010

13

Anda mungkin juga menyukai