Anda di halaman 1dari 6

Punya DEA- PPT Parasit (dari slide 20-37)

Pencegahan Malaria Serebral


Kelambu celup insektisida

Pengobatan pencegahan malaria pada ibu hamil

Indoor Residual Spraying (IRS)

Toxoplasma gondii

Siklus Hidup

Dalam sel epitel usus halus kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan
daur seksual (gametogoni, sporogoni) yang menghasilkan ookista yang dikeluarkan
bersama tinja. Ookista bentuknya lonjong dengan ukuran 12,5 mikron menghasilkan 2
sporokista yang masing-masing mengandung 4 sporozoit. Bila ookista tertelan oleh
mamalia lain atau burung (hospes perantara), maka berbagai jaringan hospes perantara ini
dibentuk kelompok trofozoit yang membelah secara aktif dan disebut takizoit. Kecepatan
takizoit Toxoplasma membelah berkurang secara berangsur dan terbentuklah kista yang
mengandung bradizoit (bentuk yang membelah perlahan); masa ini adalah masa infeksi
klinis menahun yang biasanya merupakan infeksi laten. Pada hospes perantara tidak
dibentuk stadium seksual, tetapi dibentuk stadium istirahat, yaitu kista jaringan.

Patogenesis dari infeksi ini diawali dari infeksi T. gondii fase kronik. Pada fase ini, akan
terjadi beberapa periode inaktivasi akibat adanya imunitas selular. Imunitas selular ini
terdiri dari:

Imunitas selular dimediasi oleh sel T, makrofag, dan aktivitas sitokin tipe 1 ( IL -12
dan IFN-): untuk mempertahankan infeksi kronis T. gondii

APC (sel dendritik dan makrofag) IL-12 merangsang produksi IFN-


(melindungi hospes terhadap patogen intraseluler).

Produksi IL-12 dan IFN- dirangsang oleh CD154 (juga dikenal sebagai ligan CD40)

CD154 (diekspresikan terutama pada sel T CD4 yang teraktivasi) dengan memicu sel
dendritik dan makrofag untuk mengeluarkan IL-12, yang meningkatkan produksi
IFN- oleh sel T.

TNF- merupakan sitokin lain penting untuk infeksi kronis T. gondii.

Ketika seseorang mengalami infeksi HIV, maka tubuhnya akan lebih rentan untuk
mengalami infeksi oportunistik (seperti toksoplasmosis). Mengapa demikian? Karena,
pada pasien HIV, terjadi deplesi Sel T CD-4, kerusakan pada produksi IL-2, IL-12, dan
IFN-gamma, serta terganggunya aktivitas sitotoksik limfosit T. Berbagai defisiensi ini
berperan dalam toksoplasmosis terkait infeksi HIV. Jika kemudian terjadi reaktivasi kista,
maka akan terjadi pelepasan takizoit ke dalam darah (infeksi akut).
Toksoplasmosis akut pada pasien dengan imunodefisiensi ini bisa karena dua hal, yaitu
karena infeksi baru ataupun karena reaktivasi.Prevalensinya 10-50% pada pasien dengan
infeksi HIV. Pada pasien ini, akan didapatkan hasil seropositif terhadap antibodi T.
gondii, serta jumlah CD4 juga didapatkan akan kurang dari 100 sel/mL. Kalau sudah
berada di bawah 50 sel/mL, pasien akan memasuki kategori risiko tertinggi.Pada
ensefalitis toksoplasmosis ini, area yang sering terkena adalah ganglia basalis, walaupun
dapat pula mengenai area serebelum dan batang otak.

Manifestasi Klinis

Tergantung pada lokasi lesi:

Terdapat karakteristik khusus untuk ensefalitis toksoplasmik, yaitu onset yang


subakut disertai dengan abnormalitas neurologis fokal (biasanya kelemahan otot dan
gangguan bicara). Onset ini disertai dengan sakit kepala, perubahan status mental, dan
demam.
Bila batang otak terkena, dapat terjadi lesi kranial dan banyak pula pasien yang
menunjukkan disfungsi serebral (disorientasi, perubahan status mental, letargi, dan
koma).
Beberapa pasien lainnya menunjukkan gejala neuropsikiatrik seperti psikosis
paranoid, demensia, kecemasan, dan agitasi.
Bila korda spinalis terkena, maka dapat terjadi gangguan motorik ataupun sensorik
pada ekstremitas, disfungsi kandung kemih ataupun usus, atau dapat pula terjadi
keduanya. Beberapa ada juga yang disertai dengan nyeri lokal.
Kejang, tanda serebelar, gangguan gerak. Jarang ditemukan tanda meningeal.

Diagnosis ditegakkan dengan;


Teknik neuroimaging (CT Scan/MRI): Pasien dengan ensefalitis toksoplasmosis akan
menunjukkan abses (tampakan lesi multiple ring-enhancing) dengan efek massa dan
edema di sekelilingnya. Lesi ini dapat ditmukan pada cortico-medullary junction.
Analisis Cairan serebrospinal: menemukan parasit pada cairan serebrospinal.
Selanjutnya, dapat dilakukan inokulasi pada tikus/kultur (hanya pada fase akut) atau
uji PCR; DNA atau mRNA (untuk infeksi akut)
Pemeriksaan Darah: menemukan antibodi spesifik, dengan tes serologi. Pemeriksaan
darah dilakukan untuk menentukan apakah keadaan tersebut bersifat akut/kronik.
Caranya, kita bandingkan IgG sampel dalam interval 2 minggu. Jika terjadi
peningkatan hingga 4 kali lipat, itu berarti fase akut.
Pengobatan

Pada infeksi akut (ditegakkan melalui peningkatan signifikan IgG, parasit, atau
DNA/RNA +), kita mulai dengan terapi inisial selama 6 minggu. Lalu, berikan terapi
supresif selama 6 bulan dengan HAART (Highly Active Anti Retroviral Therapy).
Setelah 6 bulan, kita periksa CD4 nya:
CD4+ > 200 sel/mL terapi supresif dihentikan kalau turun lagi hingga di
bawah 200 sel/mL mulai terapi supresif lagi
CD4+ < 200 sel/mL dikasih terapi supresif terus-menerus, hingga mencapai di
atas 200 sel/mL.
Pada infeksi non akut (ada gejala tetapi tidak ada peningkatan signifikan IgG, no
parasite, atau DNA/RNA -), kita berikan terapi empirik selama 2 minggu, lalu lihat
responnya secara klinis dan radiologis:
Respon membaik lanjutkan terapi empirik hingga 6 minggu dilanjutkan
dengan terapi supresif (lifelong atau intermitttent, bergantung pada cumlah CD4)
Tidak ada respon biopsi otak Jika hasilnya Toxo +, berikan terapi alternatif.
Jika Toxo - , berikan tatalaksana lainnya.

Keterangan Terapi:
Terapi AWAL (INISIAL) (minimal 6 minggu):
pirimetamin + leukovorin (asam folinat) +sulfadiazin.
Sebagai alternatif, berikan pirimetamin + leukovorin + klindamisin.
Adjunctive steroids diberikan jika ada efek massa atau edema yang signifikan.
Terapi MAINTENANCE (SUPRESIF) (seumur hidup jika tidak ada perbaikan
sistem imun:
pirimetamin + leukovorin (asam folinat) + sulfadiazin.
Sebagai alternatif (tingkat relapsnya sekitar 25%), berikan pirimetamin +
leukovorin + klindamisin.
Profilaksis
Tindakan profilaksis primer diberikan pada pasien dengan hasil seropositif terhadap
Toxoplasma dan memiliki jumlah CD4 kurang dari 100 sel/mL, berikan trimetoprim-
sulfametoksazol (TMP-SMX). Tetapi, jika ditemukan respon terhadap HAART dan
jumlah CD4 meningkat hingga di atas 200 sel/mL selama 3 bulan, profilaksis primer
dapat dihentikan. Jika CD4 kembali menurun hingga di bawah 100 sel/mL, kita lanjutkan
lagi profilaksisnya.

Pencegahan
Menggunakan sarung tangan jika berkebun.

Jangan makan daging mentah atau yang dimasak kurang matang.

Mencuci alat perabotan

Mencuci buah-buahan dan sayuran.

Jangan minum susu yang tidak dipasteurisasi.

Taenia solium

Siklus Hidup
Proglotid gravid berisi 30.000-50.000 buah telur. Telurnya keluar melalui celah robekan
proglotid. Telur tersebut bila termakan oleh hospes perantara yang sesuai, maka dindingnya
dicerna dan embrio heksakan keluar dari telur, menembus dinding usus dan masuk ke saluran
getah bening atau darah. Embrio heksakan kemudian ikut aliran darah dan menyangkut di
jaringan otot babi. Embrio heksakan cacing gelembung (sistiserkus) babi, dapat dibedakan
dari cacing gelembung sapi, dengan adanya kait-kait di skoleks yang tunggal. Cacing
gelembung yang disebut sistiserkus selulose biasanya ditemukan pada otot lidah, punggung,
dan pundak babi. Hospes perantara lain kecuali babi, adalah monyet, unta, anjing, babi hutan,
domba, kucing, tikus, dan manusia. Larva tersebut berukuran 0,6-1,8 cm. Bila daging babi
yang mengandung larva sistiserkus dimakan setengah matang atau mentah oleh manusia,
dinding kista dicerna, skoleks mengalami evaginasi untuk kemudian melekat pada dinding
usus halus seperti yeyunum. Dalam waktu 3 bulan cacing tersebut menjadi dewasa dan
melepaskan proglotid dengan telur.

Anda mungkin juga menyukai