OLEH : NADIA OKTIFFANY PUTRI K3LN / 2011 115070201131017 JURUSAN ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015 FRAKTUR RIBS 1. DEFINISI Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya. Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan putir, mendadak bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah (Suddarth, 2001). Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Gejala gejala fraktur tergantung pada sisi, beratnya dan jumlah kerusakan pada struktur lain, biasanya terjadi pada orang dewasa laki-laki yang disebabkan oleh kecelakaan, jatuh, dan perilaku kekerasan. (Doengoes, 1999). 2. KLASIFIKASI Menurut jumlah costa yang mengalami fraktur dapat dibedakan: 1) Fraktur simple 2) Fraktur multiple Menurut jumlah fraktur pada setiap costa dapat dibedakan: 1) Fraktur segmental 2) Fraktur simple 3) Fraktur comminutif Menurut letak fraktur dapat dibedakan : 1) Superior (costa 1-3 ) 2) Median (costa 4-9) 3) Inferior (costa 10-12 ) Menurut posisi dapat dibedakan : 1) Anterior 2) Lateral 3) Posterior Penampilkan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: 1. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan). a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit. 2. Berdasarkan komplit atau tidak komplitnya fraktur. a. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang b. Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti: 1) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut) 2) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya. 3) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang. 3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma. a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung. b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga. c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi. d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain. e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang. 4. Berdasarkan jumlah garis patah. a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan. b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan. c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama. 5. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang. a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh. 6. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas: a. Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping). b. Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut). c. Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh) 7. Berdasarkan posisi frakur Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian : a. 1/3 proksimal b. 1/3 medial c. 1/3 distal 8. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang. 9. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang. 10. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu: a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya. b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan. c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan. d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement 3. ETIOLOGI & FAKTOR RESIKO Adapun penyebab dari fraktur menurut Brunner and Suddart, 2001 adalah sebagai berikut : 1. Trauma langsung merupakan utama yang sering menyebabkan fraktur. Fraktur tersebut terjadi pada saat benturan dengan benda keras. 2. Putaran dengan kekuatan yang berlebihan (hiperfleksi) pada tulang akan dapat mengakibatkan dislokasi atau fraktur. 3. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. 4. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang. 5. Postur Tubuh (obesitas atau kegemukan) dan Body Mekanik yang salah seperti mengangkat benda berat. 4. PATOFISIOLOGI Terlampir 5. MANIFESTASI KLINIS Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.kerusakan meningitis;lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal.shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat .peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama.tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi (Price &Wilson (1995). Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu (Price &Wilson (1995). Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese parsial.gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak terganggu (Aston. J.N, 1998). Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa (Aston. J.N, 1998). 6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Pemeriksaan klinik pada punggung hampir selalu menunjukkan tanda-tanda fraktur yang tak stabil namun fraktur remuk yang disertai paraplegia umunya bersifat stabil. Sifat dan tingkat lesi tulang dapat diperlihatkan dengan sinar-X, sedangkan sifat dan tingkat lesi saraf dengan CT atau MRI. Pemeriksaan neurologik harus dilakukan dengan amat cermat. Tanpa informasi yang rinci, diagnosis dan prognosis yang tepat tidak mungkin ditentukan. Pemeriksaan rektum harus dilakukan. Cedera spinal termasuk kegawatan. Pentingnya memperhatikan kondisi pasien khususnya jaln nafas, pernafasan dan sirkulasi pasien. Vertebra akan terjaga dengan fiksasi sementara samapai diagnosis dapat ditegakkan. 1. Rontgenography: pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat tulang vertebra, untuk melihat adanya fraktur ataupun pergeeseran pada vertebra. 2. Computerized Tomography : pemeriksaan ini sifatnya membuat gambar vertebra 2 dimensi . pemeriksaan vertebra dilakukan dengan melihat irisan-irisan yang dihasilkan CT scan 3. Magnetic Resonance Imaging: pemeriksaan ini menggunakan gelombang frekuensiradio untuk memberikan informasi detail mengenai jaringan lunak di aerah vertebra. Gambaran yang akan dihasilkan adalah gambaran 3 dimensi . MRIsering digunakan untuk mengetahui kerusakan jaringan lunak pada ligament dan discus intervertebralis dan menilai cedera medulla spinalis 7. PENATALAKSANAAN MEDIS Perawatan: a. Faktur stabil (tanpa kelainan neorologis) maka dengan istirahat saja penderita akan sembuh. b. Fraktur dengan kelainan neorologis, Fase Akut (0-6 minggu) 1) Live saving dan kontrol vital sign 2) Perawatan trauma penyerta c. Fraktur/Lesi pada vertebra 1) Konservatif (postural reduction) (reposisi sendiri) Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah dekubitus, terutama simple kompressi. 2) Operatif Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan operatif. Jika dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama dengan cara: 3) Perawatan status urologi Pada status urologis dinilai tipe kerusakan sarafnya apakah supra nuldear (reflek bladder) dan infra nuklear (paralitik bladder) atau campuran. Pada fase akut dipasang keteter dan kemudian secepatnya dilakukan bladder training dengan cara penderita disuruh minum segelas air tiap jam sehingga buli-buli berisi tetapi masih kurang 400 cc. Diharapkan dengan cara ini tidak terjadi pengkerutan buli-buli dan reflek detrusor dapat kembali. 8. KOMPLIKASI 1. Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma. 2. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union). 3. Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai. 4. Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama dari proses penyembuhan fraktur. 5. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur. 6. Emboli lemak Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain. 7. Sindrom Kompartemen Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani segera. DAFTAR PUSTAKA Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott company, Philadelpia. Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta. Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta. Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB Lippincott Company, Philadelphia. Sjamsuhidajat. R (1997), Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta Download of 9