Anda di halaman 1dari 17

EKOSISTEM HUTAN PAYAU

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Tengah Semester Matakuliah
HUTAN HUJAN TEROPIS
Yang dibina oleh ibu Ruri Siti Resmisari,M.Si

Oleh:

Arifatul Lutfia: 14620095

Umy..

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
JURUSAN BIOLOGI
Maret, 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun sari pembaca untuk perbaikan dari makalah ini.

Malang, Maret 2017

Penyusun

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
................................................................................................... 1
1.1 Latar
belakang .............................................................................................
........ 1
1.2 Rumusan
masalah ..............................................................................................
. 2
1.3 Tujuan .................................................................................................
................ 2

BAB II PEMBAHASAN
..................................................................................................... 4
2.1 Pengertian Hutan
Payau ......................................................................................4
2.2 Ciri-Ciri Ekosistem Hutan Payau.........5
2.3 Macam macam akar ...6
2.4 Strukur vegetasi Hutan Payau.......7
2.5 Manfaat Ekosistem Payau.9

BAB III PENUTUP


............................................................................................................15
3.1 kesimpulan
.........................................................................................................15
Daftar pustaka.....16
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.

Hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohon dan mempunyai


keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan Hutan terdiri dari kelompok
pohon-pohonan yang cukup luas dan cukup rapat, sehingga dapat menciptakan iklim mikro. Di
Indonesia, terdapat keanekaragaman sumberdaya hutan yang bervariasi seperti hutan hujan
tropik, hutan pantai, hutan mangrove, hutan pegunungan, hutan rawa, dan hutan gambut
(Dariyana, tanpa tahun).

Al-quran telah menyebutkan ayat-ayat yang berhubungan dengan tumbuhan-tumbuhan,


diantaranya adalah dalam surat An-Nahl ayat 11 yang artinya:

Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman, zaitu, korma,
anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan tumbuh-tumbuhan, antara lain
pepohonan. Salah satu pepohonan yaitu pohon mangrove yang mana penciptaan tersebut
ditunjukkan untuk eperluan manusia, hewan dan makhluk lainnya.

Ekosistem mangrove sebagai ekosistem peralihan antara darat dan laut telah diketahui
mempunyai berbagai fungsi, yaitu sebagai penghasil bahan organik, tempat berlindung berbagai
jenis binatang, tempat memijah berbagai jenis ikan dan udang, sebagai pelindung pantai,
mempercepat pembentukan lahan baru, penghasil kayu bangunan, kayu bakar, kayu arang, dan
tanin (Soedjarwo, 1979).
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1. Rr
2. Jj
3. nn
3.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Kk
2. Nn
3. nn
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hutan Mangrove

Istilah mangrove tidak diketahui secara pasti asal usulnya. Ada yang mengatakan bahwa
istilah tersebut kemungkinan merupakan kombinasi dari bahasa Portugis dan Inggris. Bangsa
Portugis menyebut salah satu jenis pohon mangrove sebagai mangue dan istilah Inggris grove,
bila disatukan akan menjadi mangrove atau mangrave. Ada kemungkinan pula berasal dari
bahasa Malay, yang menyebut jenis tanaman ini dengan mangi-mangi atau mangin. Mangrove
adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang
dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan di tempat pertemuan
antara muara sungai dan air laut yang kemudian menjadi pelindung daratan dari gelombang laut
yang besar. Sungai mengalirkan air tawar untuk mangrove dan pada saat pasang, pohon
mangrove dikelilingi oleh air garam atau air payau, (Irwanto, 2006).

Gambar. 1. Penyebaran Mangrove di daerah Tropis, Irwanto, 1999.


Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang ditemui didaerah yang
selalu atau secara periodik tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut, tidak
terpengaruh oleh iklim, terdapat pada tanah lumpur, berpasir dan lumpur berpasir. Mangrove
merupakan vegetasi khas mintakat pantai, flora pada umumnya berhabitus semak hingga pohon
besar dan tingginya bisa mencapai 50-60 meter serta hanya mempunyai satu stratum tajuk,
tumbuh di pantai diantara batas batas permukaan air tertinggi dan sedikit di atas rata-rata
permukaan laut. Pada umumnya mangrove terdapat di daerah tropis yang memiliki pantai
terlindung di muara sungai dan goba (lagoon), dimana air laut dapat masuk, di sepanjang lapisan
pantai berpasir atau berbatu maupun karang yang telah tertutup oleh lapisan pasir dan lumpur
(Istomo, 1992; Hardjosentono, 1978).
Hutan mangrove merupakan suatu tipe ekosistem kompleks dan khas, ruang lingkup
permasalahan yang sangat luas, terdapat di daerah pasang surut tepi pantai di daerah tropis yang
merupakan ekoton antara daratan dan lautan yang terdapat di muara sungai yang
menggambarkan beberapa sifat fisik, kimia dan biologi dari lautan, perairan tawar dan dataran
tinggi; sedangkan pengelolaannnya melibatkan berbagai instansi pemerintah dan berbagai
lembaga masyarakat. Penanganan masalah hutan mangrove memerlukan kerjasama antara
instansiinstansi dan lembaga masyarakat yang berkepentingan (Soemodihardjo, 1979; Reimond
dan Queen, 1974).

2.2 Ciri-Ciri Ekosistem Mangrove


Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan
kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan
habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di bawahnya termasuk tanah
perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan
nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total
nitrogen, dan ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada
bagian arah daratan (Kusmana, 2002).
Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta
mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena
mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala. Dari sudut ekologi, hutan
mangrove merupakan bentuk ekosistem yang unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsur
biologis penting yang fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove ini
memiliki ciri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas tinggi dan biasanya
terdapat sepanjang daerah pasang surut (Dephut, 2004).
Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik
menururt Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia (2008) adalah:
1. Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit.
2. Memiliki akar nafas (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang
pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada
Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.
3. Memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya
pada Rhizophora yang lebih di kenal sebagai propagul.
4. Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.
Berdasarkan tempat hidupnya, hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan
memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah:
1. Tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang pada
saat pasang pertama.
2. Tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.
3. Daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; airnya
berkadar garam (bersalinitas) payau (2 22 /oo) hingga asin.

2.3 Akar

Tumbuhan mangrove memiliki adaptasi khusus untuk tumbuh di tanah yang lembut, asin
dan kekurangan oksigen, dimana kebanyakan tumbuhan tidak mampu melakukannya. Suplai
oksigen ke akar sangat penting bagi pertumbuhan dan penyerapan nutrien. Karena tanah
mangrove seringkali anaerob, maka beberapa tumbuhan mangrove membentuk struktur khusus
pneumatofora (akar napas). Akar di atas tanah ini dipenuhi dengan jaringan parenkim spons
(aerenkim) dan memiliki banyak lubang-lubang kecil di kulit kayu sehingga oksigen dapat
masuk dan diangkut ke sistem akar di bawah tanah. Akar ini juga berfungsi sebagai struktur
penyokong pohon di tanah lumpur yang lembut.

Pneumatofora (akar napas) adalah akar tegak yang dapat merupakan alat tambahan dari
atas batang atau pemanjangan sistem akar di bawah tanah. Akar ini, sebagian atau seluruhnya,
tergenang dan terpapar setiap hari, sesuai dengan pola aliran pasang-surut. Pada saat terpapar,
akar dapat menyerap oksigen. Lumpur mangrove bersifat anaerob (miskin oksigen) dan tidak
stabil. Tumbuhan yang berbeda dapat memiliki bentuk akar yang berbeda pula untuk beradaptasi
dengan kondisi ini. Akar horizontal yang menyebar luas, dimana pneumatofora tumbuh vertikal
ke atas merupakan jangkar untuk mengait pada lumpur yang labil. Sistem perakaran di bawah
tanah dapat lebih besar dibandingkan sistem perakaran di atas tanah.
Terdapat 4 (empat) tipe pneumatofora, yaitu (1) akar penyangga (stilt or prop), (2) akar
pasak (snorkel, peg or pencil), (3) akar lutut (knee or knop), dan (4) akar papan (ribbon or
plank). Tipe akar pasak, akar lutut dan akar papan dapat berkombinasi dengan akar tunjang
(buttres) pada pangkal pohon. Sedangkan akar penyangga akan mengangkat pangkal batang ke
atas tanah.

Akar penyangga (sangga)

Pada Rhizophora akar panjang dan bercabang-cabang muncul dari pangkal batang untuk
menyangga batang. Akar ini dikenal sebagai prop root dan pada akhirnya akan menjadi stilt root
apabila batang yang disangganya terangkat ke atas hingga tidak lagi menyentuh tanah. Akar
penyangga membantu tegaknya pohon karena memiliki pangkal yang luas untuk mendukung di
lumpur yang lembut dan tidak stabil. Juga membantu aerasi ketika terekspos pada saat laut surut.

Gambar 3. Akar penyangga pada Rhizophora

Akar pasak

Pada Avicennia dan Sonneratia, pneumatofora merupakan cabang tegak dari akar
horizontal yang tumbuh di bawah tanah. Pada Avicennia bentuknya seperti pensil atau pasak dan
umumnya hanya tumbuh setinggi 30 cm, sedangkan pada Sonneratia tumbuh lebih lambat
namun dapat membentuk massa kayu setinggi 3 m, kebanyakan setinggi 50 cm. Pada ekosistem
alami mangrove di teluk Botany, Sidney masih dapat dijumpai pohon Avicennia marina yang
memiliki pneumatofora setinggi lebih dari 28 m, meskipun kebanyakan tingginya hanya sekitar 4
m.

Gambar 4. Akar pasak pada Avicennia

Akar lutut

Pada Bruguiera dan Ceriops akar horizontal tumbuh sedikit di bawah permukaan tanah,
dan secara teratur tumbuh vertikal ke atas kemudian kembali tumbuh ke bawah, sehingga
berbentuk seperti lutut yang ditekuk. Setiap akar horizontal dapat membentuk rangkaian lutut
dengan jarak teratur ecara berulang-ulang. Bagian di atas tanah (lutut) membantu aerasi dan
karena tersebar sangat luas dapat menjadi tempat bertahan di lumpur yang tidak stabil.
Lumnitzera membentuk akar lutut kecil yang bentuknya merupakan kombinasi antar akar lutut
dan akar pasak.

Gambar 5. Akar lutut pada Bruguiera

Akar papan
Pada Xylocarpus granatum akar horizontal tumbuh melebar secara vertikal ke atas,
sehingga akar berbentuk pipih menyerupai papan. Struktur ini terbentuk mulai dari pangkal
batang. Akar ini juga melekuk-lekuk seperti ular yang sedang bergerak dan bergelombang.
Terpaparnya bagian vertikal me-mudahkan aerasi dan tersebarnya akar secara luas membantu
berpijak di lumpur yang tidak stabil.

Gambar 6. Akar papan pada Xylocarpus granatum

Pada dasarnya sistem perakaran tumbuhan mangrove terdiri dari tiga komponen,
yaitu (a) komponen aerasi, yaitu bagian akar yang mencuat ke bagian atas dari sistem perakaran
dan berfungsi sebagai pertukaran gas, (b) komponen penyerapan dan penjangkaran, befungsi
untuk membentuk basis penjangkaran pada seluruh sistem dan untuk melakukan penyerapan zat
hara, dan (c) komponen jaringan, yaitu bagian horizontal yang meluas dan berfungsi menyatu
dengan penyerapan dan penjangkaran dari sistem perakaran (Tomlinson, 1986).
Gambar 7.Skema dari berbagai tipe akar yang khas dari tumbuhan mangrove. Semuanya
berkembang dari kiri ke kanan. Garis putus-putus merupakan permukaan substrat.

Akar merupakan organ yang kontak secara langsung dengan lingkungan salin, oleh
karena itu akar merupakan suatu struktur dan berfungsi mengatur pengambilan dan
transpor ion. Akar merupakan barrier utama terhadap pergerakan larutan ke dalam
tumbuhan dan sebagai hasilnya konsentrasi ion yang diantarkan ke tunas sangat berbeda dari
konsentrasi ion pada medium eksternal (Shannon et al., 1994).
Lawton et al. (1985) dalam Shannon et al. (1994) membandingkan anatomi akar dari
jenis Avicennia marina yang mempunyai kelenjar garam (salt gland) pada daunnya sebagai
kelompok salt-excrete dan jenis Bruguiera gymnorrhiza yang tidak mempunyai kelenjar
garam pada daunnya sebagai kelompok nonsecreter (salt-excluder). Perbedaan terlihat pada
panjang dan tebalnya pembuluh akar, perkembangan dan posisi dari lapisan kaspari
(casparian strip), dan diferensiasi jaringan vaskuler. Sub-erisasi sel endodermal dan
hipodermal dari salt-excluder dimulai dan diakhiri di belakang ujung akar.
Gambar 8. Rhizophora mangle. Pada bagian bawah dari sistem akar yang berkembang dari
jangkar akar aerial; lentisel pada kolom di atas permukaan substrat (garis putus-
putus) (Gill dan Tomlinson, 1977 dalam Tomlinson, 1986).
Selain bentuk akar yang khas dan adanya lentisel di berbagai organ tumbuhan
mangrove, kekurangan oksigen juga dapat diatasi dengan adanya lubang-lubang dalam
tanah yang dibuat oleh hewan-hewan, misalnya kepiting. Lubang-lubang ini membawa
oksigen ke bagian akar tumbuhan mangrove (Ewusie, 1980). Kondisi ini terjadi saat air
laut surut, sehingga lantai hutan mangrove saat air laut surut tersebut tidak tergenang air
secara keseluruhan.
Hampir semua jenis mangrove, daun-daunnya mempunyai sejumlah kenampakan
anatomi yang membatasi hilangnya uap air. Hal ini mencakup kutikula yang tebal, lapisan
lilin, dan stomata yang tersembunyi, yang semuanya terdapat hanya pada permukaan abaksial
dari beberapa jenis, seperti Sonneratia spp., Osbornia spp., Lumnitzera spp., dan
Laguncularia spp., (Macnae, 1986 dalam Sukardjo, 1996). Anatomi daun mangrove
demikian merupakan adaptasi.

2.4 Vegetasi Hutan Mangrove


Soerianegara (1987) dalam Noor et al., (1999) memberikan batasan hutan mangrove
sebagai hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang
dipengaruhi pasang surut air laut serta ciri dari hutan ini terdiri dari tegakan pohon Avicennia,
Sonneratia, Aegiceras, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus,
Scyphyphora dan Nypa. Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi.
Telah diketahui lebih dari 20 famili flora mangrove dunia yang terdiri dari 30 genus dan lebih
kurang 80 spesies. Berdasarkan jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove
Indonesia memiliki sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu,
9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.
Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni:
1. Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan
kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara
dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif
khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai
mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora,
Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.
2. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni,
sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contoh :
Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon,
Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.
3. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan
lain-lain.

2.4 Manfaat Hutan Payau


Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dengan berbagai macam fungsi, yaitu:
fungsi fisik, fungsi biologi, fungsi ekonomi atau fungsi produksi (Naamin 1990). Fungsi fisik
dari ekosistem mangrove, yaitu: menjaga garis pantai tetap stabil, melindungi pantai dan tebing
sungai, mencegah terjadinya erosi pantai, serta sebagai zat perangkap bahan pencemar dan
limbah. Fungsi biologi ekosistem mangrove adalah sebagai daerah pasca larva dan yuwana jenis-
jenis ikan tertentu dan menjadi habitat alami berbagai jenis biota. Sedangkan White (1987)
dalam Naamin (1990) menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki produktivitas yang
tinggi.

Gambar 1. Contoh mintakat hutan mangrove di Cilacap, Jawa Tengah (White dkk, 1989)

Fungsi ekonomi ekosistem mangrove sangat banyak baik jumlah maupun kualitasnya.
Menurut Saenger 1983 dalam Dahuri 1996, ada 70 macam kegunaan tumbuhan mangrove bagi
kepentingan manusia, baik produk langsung seperti bahan bakar, bahan bangunan, alat perangkap
ikan, pupuk pertanian, bahan baku kertas, makanan, obat-obatan, minuman, dan tekstil, maupun
produk tidak langsung, seperti tempat-tempat rekreasi dan bahan makanan dan produk yang
dihasilkan sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang ketentuan pokok kehutanan,
fungsi hutan dibedakan atas hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Menurut
Kusmana (1993), beberapa fungsi hutan mangrove sebagai berikut:
1. Mencegah abrasi pantai akibat terjangan gelombang dan angin yang kuat
2. Tempat memijah, mencari makan dan tempat berkembang biak bagi organisme laut, yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi, khususnya ikan
3. Sebagai habitat satwa liar seperti burung, primata, ampibi, reptil, mamalia dan lain-lain
4. Hasil kayu (kayu pertukangan, kayu bakar, bahan baku arang) dan hasil hutan ikutan
(tanin, madu, alkohol, makanan, obat-obatan, minuman)
5. Bernilai penting untuk pendidikan, pengkajian ilmu pengetahuan, penelitian dan rekreasi
6. Di Asia Tenggara dan Pasifik, areal mengrove digunakan untuk cadangan bagi tempat
tinggal baru penduduk, industri minyak dan kolam ikan (tambak).
Jenis-jenis mangrove yang banyak dimanfaatkan adalah dari marga Rhizophora,
Bruguiera, Ceriops, Avicennia, Nypah dan Onchosperma (nibung). Empat jenis yang tersebut
pertama menghasilkan kayu bahan bakar, arang, kayu pertukangan dan bahan penyamak. Daun
dimanfaatkan untuk keperluan antara lain atap rumah, tikar, keranjang, pembungkus dan
peralatan rumah tangga lainnya. Tangkai bunga disadap untuk memperoleh niranya yang
dimasak menjadi gula merah dan dapat diolah menjadi sejenis minuman, sedangkan nibung
batangnya dimanfaatkan untuk tiang-tiang rumah (Kartawinata 1978).
Kusmana (dalam Onrizal, 2006) menyatakan bahwa hutan mangrove berfungsi sebagai:
1) penghalang terhadap erosi pantai dan gempuran ombak yang kuat; 2) pengolah limbah
organik; 3) tempat mencari makan, memijah dan bertelur berbagai biota laut; 4) habitat berbagai
jenis margasatwa; 5) penghasil kayu dan non kayu; 6) potensi ekoturisme.
Ishyanto (dalam Onrizal, 2006) Hutan mangrove secara mencolok mengurangi dampak
negatif tsunami di pesisir pantai berbagai Negara di Asia. Hal ini terjadi karena
adanya Rhizophora. Rhizophora memantulkan, meneruskan dan menyerap energi gelombang
tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami ketika menjalar melalui
rumpun Rhizophora (bakau). Hutan mangrove mengurangi dampak tsunami melalui dua cara,
yaitu: kecepatan air berkurang karena pergesekan dengan hutan mangrove yang lebat, dan
volume air dari gelombang tsunami yang sampai ke daratan menjadi sedikit karena air tersebar
ke banyak saluran (kanal) yang terdapat di ekosistem mangrove.

Daftar Pustaka
Ewusie, J.Y. 1980. Specialized ecosystem within the tropical forest and long the sea coast.
Elements of tropical ecology. pp. 155 166.
Irwanto, 2006. Keanekaragaman Fauna pada Habitat Mangrove. Yogyakarta
Onrizal. 2005. Hutan mangrove selamatkan masyarakat Pesisir Utara Nias Sumatra Utara dari
tsunami. Jurnal Manajemen dan Kualitas Lingkungan, Volume 1
Departemen Kehutanan. 2004. Statistik Kehutanan Indonesia, Frorestry Statistics of Indonesia
2003. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Istomo. 1986. Tinjauan Ekologi Mangrove dan Pemanfaatannya di Indonesia. Lab. Ekologi
Hutan. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.
Kartawinata, K., Adisoemarto, S., Soemodihardjo, S., & Tantra, I.G.M., 1979. Status
Pengetahuan Hutan Bakau di Indonesia. Prosiding Seminar Ekosistem Mangrove. LIPI-
MAB: 21-39., Jakarta.
Soemodihardjo, s et al. 1979. Intisari Hasil Seminar Ekosistem Mangrove II. Jakarta 27 Februari-
1 Maret 1978. Jakarta.
Soedjarwo, 1979. Mengoptimalkan fungsi-fungsi hutan mangrove untuk menjaga kelestariannya
demi kesejahteraan manusia. Prosiding Seminar Ekosistem Ekosistem Mangrove : 8-9.
Naamin, N. 1990. Penggunaan Lahan Mangrove untuk Budidaya Tambak, Keuntungan dan
Kerugiannnya. Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove Bandar Lampung.
Kusmana, C., S. Takeda, and H. Watanabe. 1995. Litter Production of Mangrove Forest in East
Sumatera, Indonesia. Prosidings Seminar V: Ekosistem Mangrove, Jember, 3-6 Agustus
1994: 247-265. Kontribusi MAB Indonesia No. 72-LIPI, Jakarta.
Tomlinson, P. B., 1986: The Botany of Mangroves, Cambridge University Press.
Shannon, M.C., C.M. Grieve, dan L.E. Francois. 1994. Whole plant response to salinity. In.
Wilkinson, R.E. (Ed.). Plant environment intgeraction. Marcel Dracker, Inc., New York.
pp. 199 228.
Sukardjo, S. 1996. Fisiologi mangrove suatu catatan pengetahuan. Pelatihan pelestarian dan
pengembangan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan. PSL-PPLH
Unibraw, Malang.
Soerianegara, I dan Indrawan (1982). Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Manajemen Hutan.
Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai