Anggota :
1. Anggun Andreyani (120160204002)
2. Annisa Deasy Ratnasari (120160204003)
3. Asih Tri Marini (120160204004)
4. Indah Purnama Sari Sugianto (120160204012)
5. Mirza Laharsya Suarga (120160204015)
6. Siti Koiromah (120160204021)
BOGOR
FEBRUARI 2017
BAB I
PENDAHULUAN
Energi listrik saat ini merupakan kebutuhan primer yang vital untuk pembangunan
ekonomi dan pembangunan sosial. Ketersediaan tenaga listrik yang mencukupi, aman, handal
dengan harga yang terjangkau, dan dapat memperhitungkan dampak lingkungan merupakan
faktor penting dalam rangka menggerakkan perekonomian yang dapat meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakat. Salah satu pembangkit yang dipilih adalah PLTU dengan
bahan bakar batubara, dikarenakan faktor sumber daya alam berupa batubara tersedia cukup
besar di Indonesia sehingga masih dapat mencukupi kebutuhan nasional. Pembangkit listrik
tenaga uap saat ini merupakan pilihan pemerintah dalam menanggulangi masalah krisis listrik.
Kegiatan eksplorasi batubara di Indonesia semakin meningkat, diakibatkan karena
semakin meningkatnya kebutuhan batubara dimana kebutuhan manusia di sektor tenaga listrik
akan mengalami kenaikan sesuai dengan peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan
perekonomian. Saat ini terdapat puluhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara
yang tersebar dan beroperasi di Indonesia yang melepaskan jutaan ton polusi setiap tahunnya.
Permasalahan utama dalam pemanfaatan batubara adalah gas buang hasil pembakaran yang
menghasilkan polutan seperti SO2, NO2, dan abu terbang (fly ash).
Pembakaran batubara adalah sumber terbesar emisi gas GHG (green house gas), yang
memicu terjadinya perubahan iklim. Batubara yang dibakar di Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) menghasilkan sejumlah polutan, seperti NOx dan SO 3, dan polutan tersebut menjadi
kontributor utama dalam pembentukan hujan asam dan polusi. Di sisi lain, polutan tersebut
juga berdampak dan sangat membahayakan kesehatan akibat partikel halus dari emisi udara
tersebut, karena PLTU Batubara menghasilkan bahan kimia berbahaya dan mematikan, seperti
merkuri dan arsen.
Buruknya pengelolaan kekayaan alam yang dikonversi menjadi energi di Indonesia
telah memberikan banyak sekali dampak buruk daripada efek positifnya. Bahkan, desain
untuk PLTU pun umumnya belum dirancang secara maksimal untuk mencegah radiasi
lingkungan dan manajemen PLTU juga belum dirancang untuk mengelola masalah limbah.
Oleh karena itu, perlu adanya analisa mengenai dampak dari PLTU batubara terhadap
lingkungan, yang ditinajau dengan pendekatan eksplisit dan implisit, beserta solusi yang dapat
dilakukan untuk menanggulangi dampak tersebut.
BAB II
RUANG LINGKUP BAHASAN
2.1 Proses Kerja PLTU
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) merupakan pembangkit listrik tenaga thermal
yang mengkonversi energi kimia dalam bahan bakar menjadi energi listrik. PLTU banyak
digunakan karena efisiensinya tinggi sehingga menghasilkan energi listrik yang ekonomis.
Saat ini 60% kebutuhan listrik dunia bergantung pada PLTU batubara. Secara sederhana, uap
yang dihasilkan oleh pembakaran batubara memutar mesin turbin untuk menghasilkan listrik.
Kegiatan hulu sampai hilir sektor batubara telah banyak menghasilkan emisi dan limbah
dalam proses produksi dan pemanfaatannya, yang ditunjukkan pada Gambar 1. berikut :
Batu bara yang dipakai secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yaitu batu bara
berkualitas tinggi dan batu bara berkualitas rendah. Bila batu bara yang dipakai kualitasnya
baik maka akan sedikit sekali menghasilkan unsur berbahaya, sehingga tidak begitu
mencemari lingkungan. Sedang bila batu bara yang dipakai mutunya rendah maka akan
banyak menghasilkan unsur berbahaya seperti Sulfur, Nitrogen dan Sodium.
1. Energi kimia dalam bahan bakar diubah menjadi energi panas dalam bentuk uap
bertekanan dan temperatur tinggi.
2. Energi panas (uap) diubah menjadi energi mekanik dalam bentuk putaran.
3. Energi mekanik diubah menjadi energi listrik.
Gambar 2. Prinsip Kerja PLTU Batubara
Proses kerja PLTU batubara dalam mengkonversi energi secara sederhana, yaitu sebagai
berikut :
1. Proses menghasilkan uap
Tangki boiler diisi dengan air atau cairan lainnya. Kemudian dilakukan proses pemanasan
dengan energi primer yang dipilih, yaitu batubara. Pemanasan dilakukan untuk
menghasilkan uap yang diinginkan.
2. Proses konversi energi panas menjadi energi mekanik
Uap hasil dari proses produksi uap, dengan tekanan dan temperatur tertentu dialirkan ke
turbin. Uap terus dialirkan sehingga mampu menggerakkan turbin. Disinilah terjadi proses
konversi menjadi energi mekanik.
3. Proses konversi mekanik menjadi energi listrik
As turbin dihubungkan langsung dengan as generator berputar. Di dalam generator,
perputaran medan magnet dalam kumparan dapat menghasilkan listrik yang kemudian
dialirkan ke terminal output generator.
4. Proses kondensasi
Uap bekas penggerak turbin masuk ke pendingin atau kondensor untuk menghasilkan air
yang disebut air kondensat. Pendinginan dapat menggunakan air dingin yang didapat dari
air laut, air danau, atau waduk. Dibutuhkan air dalam jumlah besar agar proses
pendinginan dapat terjadi secara efektif. Air kondesat ini kemudian digunakan lagi untuk
mengisi boiler. Setelah proses ke-4 selesai, maka proses nya kembali lagi ke tahap 1.
Begitulah siklus PLTU yang terus terjadi secara berulang.
BAB III
1 Hujan Asam
Hujan asam terutama terjadi diakibatkan karena tingginya gas sulphur oksida dan
nitrogen oksida. Gas SOx dan NOx akan bereaksi dengan uap air yang terdapat dalam
atmosfer dan mengalami oksidasi. Oksidasi gas SOx akan menghasilkan H 2S, HSO3-
dan H2SO4 yang bersifat asam kuat, sedangkan oksidasi gas NOx akan menghasilkan
asam nitrat (HNO3). Pengaruh hujan asam adalah asidifikasi (pengasaman) yang
mengakibatkan : Terganggunya kesetimbangan ion pada banyak organisme akuatik,
sehingga akan menyebabkan kematian organisme akuatik; Meningkatkan kadar logam,
karena pengasaman akan melarutkan banyak logam di perairan, misalnya merkuri dan
aluminium; Menjadikan terganggunya siklus nutrient ; Mengganggu proses
dekomposisi, karena akan mengubah komposisi mikroba ; Mengakibatkan penurunan
alga yang hidup di perairan; merusak bangunan karena mengakibatkan pengkaratan,
dan lain-lain.
3 Pencemaran Udara
Batubara yang dibakar di PLTU memancarkan sejumlah polutan seperti NOxdan
SO3yang merupakan kontributor utama dalam pembentukan hujan asam dan polusi
PM 2.5 (partikulat debu melayang) yang sangat mudah masuk ke tubuh manusia
melalui udara yang dihirup. Ini menyebabkan risiko kanker lebih tinggi. Penggunaan
batubara menyebabkan 60 ribu orang Indonesia meninggal tiap tahunnya karena polusi
batubara menyebabkan kanker paru, stroke, penyakit pernafasan dan persoalan lain
terkait pencemaran udara.
PLTU menghasilkan berbagai limbah partikulat dan debu,seperti fly ash, debu silikat,
oksida besi, dan lain sebagainya. Limbah tersebut dapat menyebabkan gangguan dan
penyakit infeksi saluran pernafasan (ISPA), contohnya adalah Pneumoconiosis, atau
penyakit pengerasan paru-paru, sehingga tidak dapat mengembang dan mengempis
secara normal, dan dalam jangka panjang jika udara tersebut terus dihirup akan
menyebabkan kanker, dan kemungkinan bayi lahir cacat. Selain itu, limbah radioaktif
dari PLTU juga dapat mengganggu organ tubuh manusia, karena umumnya bersifat
karsinogen.
4 Pencemaran Laut
Logam-logam berat seperti Pb, Hg, Ar, Ni, Se juga dihasilkan oleh PLTU. Logam
berat ini apabila terakumulasi di perairan dapat menyebabkan kematian organisma,
terutama bila logam tersebut tersuspensi dalam air limbah yang dibuang oleh PLTU
dan kemudian menuju laut, maka akan mencemari biota di laut lebih luas lagi.
Pencemaran air laut yang diakibatkan penambangan batubara juga terjadi pada saat
aktivitas bongkar muat dan tongkang angkut batubara. Selain itu, pencemaran juga
dapat mengganggu kehidupan hutan mangrove dan biota yang ada di sekitar laut
tersebut.
5 Pencemaran Air
Penambangan batubara secara langsung menyebabkan pencemaran air, yaitu dari
limbah pencucian batubara tersebut dalam hal memisahkan batubara dengan sulfur.
Limbah pencucian tersebut mencemari air sungai sehingga warna air sungai menjadi
keruh, asam, dan menyebabkan pendangkalan sungai akibat endapan pencucian
batubara tersebut. Limbah pencucian batubara setelah diteliti mengandung zat-zat
yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia jika airnya dikonsumsi. Limbah
tersebut mengandung belerang (b), merkuri (Hg), asam slarida (HCn), mangan (Mn),
asam sulfat (H2SO4), dan timbal (Pb). Hg dan Pb merupakan logam berat yang dapat
menyebabkan penyakit kulit pada manusia seperti kanker kulit. Permukaan batubara
yang mengandung pirit (besi sulfide) jika berinteraksi dengan air menghasilkan Asam
sulfat yang tinggi sehingga terbunuhnya ikan-ikan di sungai, tumbuhan, dan biota air
yang sensitive terhadap perubahan pH yang drastis.
6 Pencemaran Tanah
Tidak hanya air yang tercemar, tanah juga mengalami pencemaran akibat
pertambangan batubara ini, yaitu terdapatnya lubang-lubang besar yang tidak mungkin
ditutup kembali yang menyebabkan terjadinya kubangan air dengan kandungan asam
yang sangat tinggi. Air kubangan tersebut mengadung zat kimia seperti Fe, Mn, SO4,
Hg dan Pb. Fe dan Mn dalam jumlah banyak bersifat racun bagi tanaman yang
mengakibatkan tanaman tidak dapat berkembang dengan baik. SO4 berpengaruh pada
tingkat kesuburan tanah dan PH tanah, akibat pencemaran tanah tersebut maka
tumbuhan yang ada diatasnya akan mati.
7 Pencemaran Hutan
Penambangan batubara dapat menghancurkan sumber-sumber kehidupan rakyat
karena lahan pertanian yaitu hutan dan lahan-lahan sudah dibebaskan oleh perusahaan.
Hal ini disebabkan adanya perluasan tambang sehingga mempersempit lahan usaha
masyarakat, akibat perluasan ini juga bisa menyebabkan terjadinya banjir karena hutan
di wilayah hulu yang semestinya menjadi daerah resapan aitr telah dibabat habis. Hal
ini diperparah oleh buruknya tata drainase dan rusaknya kawan hilir seperti hutan
rawa.
BAB IV
Sejak tahun 1966 sampai 1987, eksplorasi dan produksi batubara mengalami
peningkatan pesat. Pada tahun 1966, produksi batubara sekitar 319.829 ton dan pada tahun
1987 melonjak menjadi 2.813.533 ton. Periode 1999-2008 merupakan masa lonjakan
penambangan skala kecil (terutama di Kalimantan), ketika undang-undang otonomi
daerah diberlakukan. Penerbitan ijin menjadi bagian dari kewenangan pemerintah daerah
propinsi dan kabupaten dan royalti dari penambangan langsung menjadi penerimaan
daerah propinsi dan kabupaten. Sebagi pembanding, menurut angka resmi dari badan PBB
untuk Pangan dan Pertanian (FAO), Indonesia kehilangan 1,87 juta ha hutan per tahun
antara tahun 2000 dan 2005.
Berdasarkan analisis mengunakan data tutupan hutan Departemen Kehutanan,
total ancaman dari konsesi pertambangan adalah 0,18 juta ha dari konsesi aktif dan 0,81
juta dari konsesi yang direncanakan (0,08 juta status tidak tercatat), dengan total 1,1 juta
ha. Diantaranya, 0,94 juta ha terletak di Kalimantan dan 0,13 juta di Sumatra. Potret udara
di Kalimantan secara jelas menunjukkan seberapa banyak hutan yang telah hilang.
Penebangan hutan berskala besar telah menghancurkan hutan Kalimantan bertahun-tahun
lalu.
Samarinda, merupakan satu contoh tentang seberapa besar daya rusak
pertambangan merusak kehidupan masyarakat. Bencana banjir sebagian besar diakibatkan
oleh deforestasi sejak pertambangan batubara melonjak di sana tiga tahun terakhir. Hujan
yang turun lebih dari dua jam, bisa dipastikan akan merubah beberapa titik di pusat kota
Samarinda menjadi kolam raksasa. Banjir hampir tidak pernah terjadi sebelum industri
batubara mengubah kota ini.
Sawah dan lahan pertanian masyarakat di sekitar kota juga terkena dampak buruk
penambangan batubara. Desa Makroman, Samarinda Ilir dahulu dikenal sebagai lumbung
beras bagi Kota Samarinda, namun predikat lumbung beras tersebut pudar sejak
perusahaan pertambangan mulai beroperasi di sekitar desa tersebut. Belasan hektar lahan
pertanian penduduk mengalami kerusakan parah karena sumber air bagi sawah mereka
tercemar oleh limbah pertambangan batubara yang seenaknya dibuang ke sungai yang
selama ini menjadi sumber air bagi masyarakat setempat.
Berbagai masalah kesehatan juga dialami masyarakat yang menetap di sekitar
lokasi pertambangan. Di kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, pada tahun 2007
tercatat 19.375 orang menderita penyakit yang terkait dengan pernafasan, meningkat
sekitar 9% dari tahun sebelumnya. Data kesehatan dari Puskesmas Kecamatan Bengalon,
Kabupaten Sangatta, lokasi dimana perusahaan tambang terbesar di Asia Tenggara
beroperasi, PT. Kaltim Prima Coal, juga menunjukkan kondisi serupa. Penyakit-penyakit
yang terkait dengan pernapasan yang diduga akibat dampak dari pertambangan batubara,
seperti ISPA, asma, bronchitis dan radang paru-paru akibat debu batubara.
Sejak tahun 1982, masyarakat adat Dayak Paser terus menerus mengalami
penggusuran dan pengusiran paksa dari tanah, termasuk tanah keramat, yang telah
ditempati turun temurun untuk dijadikan areal pertambangan oleh PT. Kideco Jaya Agung.
Sekitar 27.000 hektar lahan mereka digusur untuk lahan pertambangan, mereka bahkan
dilarang melakukan kegiatan apapun diatas tanah keramat mereka sendiri. Nasib yang
sama dialami oleh masyarakat adat Dayak Basap di Kecamatan Bengalon, Sangatta.
Masyarakat adat Dayak Basap yang terbiasa memenuhi kebutuhan hidup mereka dari hasil
berburu dan berladang, kini kehilangan itu semua setelah PT. Kaltim Prima Coal mulai
beroperasi di tanah mereka sejak tahun 1992.
A. EMISI CO2
Ditinjau darl sisi emisi CO2, pembakaran batubara mengemisi CO2 jauh lebih
banyak dibanding minyak dan gas. Badan Energi Internasional (IEA) mengungkapkan
bahan bakar fosil Batubara menyumbang 44% dari total emisi CO2 global. Kenaikan
jumlah gas CO2 di udara akibat pembakaran bahan bakar fosil akan meningkatkan efek
rumah kaca yang dapat menyebabkan pemanasan global, dan akhirnya dapat
mempengaruhi perubahan iklim serta rusaknya ekosistem di bumi.
B. MERKURI
Di Amerika Serikat, PLTU bertenaga batubara diidentikasi sebagai sumber
terbesar emisi merkuri. Merkuri adalah zat yang sangat berbahaya, diperlukan hanya 0,91
gram merkuri yang diakumulasi selama setahun untuk mengkontaminasi danau seluas 10
hektar. Ikan yang ditangkap di danau ini tidak layak dikonsumsi manusia. Rata-rata PLTU
bertenaga batubara berkapasitas 100-MW mengemisi kurang lebih 11,34 kg merkuri tiap
tahunnya.
Merkuri adalah logam yang sangat berbahaya dan tidak memiliki fungsi biokimia
atau nutrisi. Sebagian besar dampak racun zat ini terjadi bila paparannya mencapai sistem
syaraf pusat. Merkuri dapat menyebabkan kerusakan otak berat pada janin serta gejala
tremor ringan kelainan mental, gangguan motorik dan emosi bahkan kematian pada orang
dewasa. Paparan merkuri tergantung pada bentuknya. Uap merkuri dan metil merkuri
merupakan bentuk yang paling memungkinkan mengenai manusia karena dalam bentuk
ini zat tersebut dapat hampir seluruhnya diserap tubuh.
Saat merkuri memasuki air, proses biologis mentransformasinya menjadi metil
merkuri, bentuk merkuri yang lebih beracun dan berbioakumulasi dalam ikan dan hewan
lain yang memakan ikan dan manusia. Saat suatu zat berbioakumulasi, konsentrasinya
meningkat seiring bergeraknya pada rantai makanan.
C. POLUTAN RADIOAKTIF
Secara alamiah batubara mengandung unsur radioaktif. Pada saat proses
pembakaran langsung terjadi perengkahan termal (cracking) yang menyebabkan unsur
radioaktif alam ikut keluar bersama gas hasil pembakaran. Polutan tersebut adalah
radioaktif alam seperti U-238, Th-232 dan K-40 yang memiliki waktu paruh sampai
ribuan tahun. Jenis polutan yang dihasilkan dari pembakaran batubara beserta waktu
paruhnya dapat dilihat pada table di bawah ini
Tabel 1. Jenis Polutan Radioaktif yang dihasilkan dari Pembakaran Batubara
Polutan zat radioaktif alam yang dihasilkan dari PLTU batubara adalah berbentuk
partikulat, yang terdiri dari partikulat yang ikut terbawa keluar melalui cerobong asap
berupa abu terbang (fly ash) dan partikulat yang mengendap bersama abu (bottom ash atau
slag). Polutan yang diemisikan melalui cerobong suatu pembangkit akan menyebar ke
udara sehingga kemungkinan akan terjadi penurunan kualitas udara. Badan Lingkungan,
Departemen Energi, Amerika melaporkan bahwa pembakaran batubara yang mengandung
radioaktif alam uranium, thorium, radium, dan produk peluruhannya akan menghasilkan
konsentrasi radionuklida.
BAB V
UPAYA PENGEMBANGAN PLTU DI INDONESIA
Di Indonesia sampai saat ini, pengembangan PLTU khususnya menggunakan
bahan bakar batubara masih menjadi salah satu pilihan utama pemerintah dalam
memenuhi kebutuhan pasokan listrik yang masih deficit. Alasannya tentu faktor
ekonomis dan kemampuan daya yang dihasilkan. Namun, seperti halnya semua bahan
bakar fosil, pencemaran lingkungan yang disebabkan limbah PLTU batubara khususnya
pencemaran udara adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari jika PLTU batubara
beroperasi. Saat ini, 52,3% listrik di Indonesia disuplai dari PLTU batubara sebesar
21.087 MW yang menunjukan besarnya kontribusi PLTU batubara terhadap kebutuhan
listrik Indonesia. Untuk mengatasi masalah pencemaran lingkungan yang disebabkan
limbah PLTU batubara, beberapa solusi yang di rencanakan, dimplementasikan, dan yang
dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah antara lain;
BAB IV
Ada beberapa keunggulan dari pembangkit listrik tenaga Uap yang dapat dirangkum
secara garis besar sebagai berikut :
o Efisiensi Tinggi.
o Cocok untuk memenuhi beban dasar.
o Daya yang dihasilkan besar.
o Bisa menggunakan segala jenis bahan bakar (cair, padat, atau gas).
o Biaya perawatan murah (penggantian suku cadang tidak terlalu sering).
o Usia mesin lebih lama.
o Tidak terlalu sering diadakan pemeriksaan bagian bagian turbin
Kekurangan :
BAB VI
ENVIRONTMENT VALUE PLTU BATUBARA
Penggunaan batu bara sebagi bahan bakar pemabangkit listrik memiliki dampak lingkungan
yang berbahaya, seperti hujan asam, green house effect, pencemaran udara, pencemaran laut,
pencemaran air, pencemaran tanah, dan pencemaran hutan. Melihat dampak lingkungan yang
begitu besar ditimbulkan akibat penggunaan batubara, untuk meminimalisirkan maka
diperlukan teknologi seperti Teknologi Desulfurisasi dan de-NOx, adapun proses desulfurisasi
itu sendiri melibatkan proses fisika (Physical Coal Cleaning atau PCC), kimia (Chemical
Coal Cleaning atau CCC) maupun biologi (Biological Coal Cleaning atau BCC). Teknologi
Batu Bara Bersih (Clean Coal Technology) untuk mengurangi SOx, NOx dan partikel halus
yang dilepas saat pembakaran batubara meliputi teknologi benefisiasi batubara, teknologi
pembakaran batubara dan teknologi pengolahan gas buang (flue gas teratment). Teknologi
Integrated Gasification Combined Cycle (IGCC), membangun PLTU Tipe Superkritikal
daripada PLTU Subkritikal PLTU superkritikal akan membutuhkan konsumsi batubara yang
lebih sedikit dibanding PLTU subkritikal, sehingga konsumsi batubara dapat dikurangi dan
polusi dapat ditekan.