Oleh:
Asih Tri Marini / 120160204004
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dari sisi suplai, ada beragam pilihan energi untuk memenuhinya. Batubara sejauh
ini merupakan energi yang ongkosnya murah, Rp 400-Rp 500 per kilowatt jam (kWh).
Akan tetapi, emisi gas buangnya 1.000 gram per kWh. Energi panas bumi dan tenaga
surya beremisi rendah, tetapi ongkosnya masih tinggi, yakni Rp 2.000 per kWh untuk
tenaga surya dan Rp 1.100-Rp 1.200 per kWh untuk panas bumi. Adapun gas alam
menghasilkan emisi 600 gram per Kwh, ongkosnya Rp 600-Rp 700 per kWh. Cadangan
minyak Indonesia yang sekitar 3,7 miliar barrel cukup untuk 11-12 tahun ke depan.
Perhitungan ini dengan asumsi produksi 700.000-800.000 barrel per hari. Konsumsi
minyak Indonesia saat ini sekitar 1,5 juta barrel per hari. Dengan asumsi pertumbuhan
konsumsi minyak 6 persen per tahun, pada 2025 kebutuhan minyak menjadi 2,7 juta
barrel per hari. Pertumbuhan konsumsi dipengaruhi pertumbuhan ekonomi dan
pertambahan populasi atau jumlah penduduk di Indonesia.
Dengan potensi yang demikian besar seharusnya nuklir turut berkontriusi dalam
upaya pemenuhan kebutuhan listrik di Indonesia. Saat ini telah undang-undang yang
mengatur tentang ketenaganuliran yaitu UU No 10 tahun 1997. Dalam bidang
ketenaganukliran, Undang Undang yang mengatur adalah Undang Undang No. 10 Tahun
1997 tentang Ketenaganukliran (Lembaran Negara RI Tahun 1997 No. 23) dan
Tambahan Lembaran Negara RI No. 3676 untuk menggantikan Undang undang No. 31
tahun 1964 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Tenaga Atom. UU ini dimaksudkan
agar dapat mengikuti perkembangan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia diberbagai
bidang sehingga dalam pemanfaatannya dapat menjamin keselamatan pekerja,
masyarakat maupun lingkungan hidup. Namun hingga 20 tahun sejak UU tenaga nuklir
disahkan belum ada RUU yang memperbaharui, justru keluar PP No 79 tahun 2014 yang
menyatakan bahwa Nuklir adalah alternatif terakhir. Hal ini perlu dianalisis apa yang
menjadi permasalah an pembangunan PLTN di Indoneisa sebenarnya.
` Tujuan
Dari makalah ini diharapkan dapat memberikah hasil berupa kajian serta analisis
terkait terhambatnya pembangunan PLTN di Indonesia kemudian juga diharapkan
memberikan rekomendasi yang dapat diimplementasikan.
BAB II
PEMBAHASAN
Saat ini Indonesia memiliki target baran energi sebesar 23% EBT di tahun 2025.
Seain itu indonesi juga tekah sepakat untuk menurunkan GRK sebesar 26% ditahun 2030.
Tentu dua keputusan politik tersebut memerlukan upaya tindak lanjut agar dapat tercapai.
Dari dua keputusan politik tersebut tentunya memerlukan upaya yang tidak mudah, oleh
karena itu beberapa pakar energi menyarankan untuk pembangunan PLTN. Permasalah
nuklir di Indonesia sudah menjadi permasalahan yang hampir diabaikan. Karena hingga
saat ini belum ada keputusan mengenai rencana pembangunan PLTN dan pengelolaan
tenaga atom di Indonesia, padahal undang-undang tentang ketenaga nukliran telah ada
sejak 20 tahun silam, selain itu telah ada Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) yang
bertugas sebagai pelaksana kagiatan nuklir dan Bappeten sebagai lembaga pengawas juga
telah dibuat bertahun-tahun silam. Lantas sebenarnya apakah yang menyebabkan
pembangunan PLTN di Indonesia terhambat dan seperti apakah analisis berdasarkan teori
trias politika? Apakah setiap lembaga telah menjalankan tgas dan fungsinya masing-
masing terkait permasalahan nuklir akan dibahas lebih lanjut. Ada banyak ependapat
terkait pembangunan PLTN di Indonesia a.l:
Kontra Nuklir
a. Wapres JK menyatakan dalam seminar diversivikasi energi bahwa nuklir tidak cocok
dibangun di Indonesia karena faktor kondisi geografis Indonesia yang rawan bencana
tidak membuat nuklir aman dibangun. Selain itu wapres juga menyatakan bahwa dampak
terhadap lingkungan akibat nuklir masih jauh lebih tinggi dibandingkan pembangkit
lainnya yang semua memiliki resiko masing-masing. Oelh karena itu penerimaan
masyarakat terhadap PLTN juga masih rendah. Beliau juga masih optimis dengan sumber
energi terbarukan lan yang miliki Indonesia masih cukup memenuhi kebutuhan energi
nasional sehingga Indonesia masih dianggap belum memerlukan PLTN.
b. Pembangunan PLTN merupakan salah satu opsi untuk memenuhi kebutuhan energi
nasional. Memang, pembangunan PLTN di Indonesia beresiko tinggi. Oleh karena itu,
sebelum keputusan diambil pemerintah perlu mempertimbangkan semua aspek secara
komprehensif, bukan hanya aspek teknis tetapi juga aspek sosial ekonomi keamanan
masyarakat, lingkungan strategis dan potensi ancaman teroris serta sabotase.
c. Menurut juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Indonesia rentan
terhadap gempa-bumi. Yang kami khawatirkan adalah gempa sekecil apapun dan geliat
gunung berapi dapat mengakibatkan bencana nuklir. Dampaknya adalah kebocoran
radioaktif dapat menjadi malapetaka bagi Pulau Jawa dan sekitar 100 juta penduduknya.
Sebelum uranium bisa dipakai sebagai bahan bakar nuklir, dia perlu melewati beberapa
proses dulu. Untuk pembangkit listrik sipil standar, kandungan uranium harus ditambah
dari 0,7% agar mencapai 3% sampai 5% U-235. Proses ini disebutkan pengayaan
uranium. Kalau Indonesia memakai PLTN, uraniumnya perlu diimpor dari Australia
untuk selanjutnya diperkaya dulu di Jepang atau Russia sebelum bisa dipakai di sini.
Pemancaran radiasi tinggi sangat membahayakan untuk manusia dan lingkungan, bukan
hanya sekarang, tetapi tetap berdampak sampai ratusan ribu tahun mendatang. Teknologi
nulkir sudah aman? Menurut nya kalaupun misalkan teknologi tidak gagal dan para
operator tidak melakukan kesalahan, bencana alam tak boleh diabaikan dan masih
merupakan resiko yang berarti. Terlebih lagi sebagian besar limbah nuklir akan tetap
berbahaya sampai ratusan ribu tahun, meninggalkan warisan yang mematikan bagi
generasi yang akan datang. Biaya pembangunan reaktor nuklir, yang sangat mahal
dibandingkan dengan pembangkit listrik yang lain, secara konsisten selalu pada
kenyataannya dua sampai tiga kali lebih mahal dari yang diperkirakan oleh industri
nuklir.
Pro Nuklir
a. Anggota Komisi Teknis Energi Dewan Riset Nasional Arnold Soetrisnanto menyatakan,
Indonesia memerlukan teknologi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) untuk
memenuhi kebutuhan energi di seluruh wilayah. Untuk memenuhi kebutuhan listrik satu
tahun bila memanfaatkan energi dari batu bara maka harus ada sekitar 200 juta ton batu
bara per tahun yang harus disuplai ke PLTU (pembangkit listrik tenaga uap). Menurutnya
Nuklir secara ekonomis lebih terjangkau karena biaya pembangkitannya hanya sekitar 10
sen/kwh sedangkan PLTS 25 sen/KWH. Dari sisi lingkungan, tidak seperti penggunaan
batu bara, penggunaan energi nuklir pun tidak menyumbang emisi karbondioksida (CO2),
yang merupakan musuh utama bagi negara kepulauan seperti Indonesia, yang harus
mencegah dampak dari pemanasan global.
b. Menurut Bos S. Efendi Indonesia memang saatnya membuat pembangkit tenaga nuliir
dari sisi penerimaan masyarakat bob telah melakukan survey bahwa penerimaan
masyarakat terhadap PLTN telah meningkat hingga sebesar >70%. Teknologi nya pun
telah aman ditinjau dari pembukuan terhadap cara kerja PLTN jauh lebih terperinci
disbanding pembangkit lainnya hal ini membuat mitigasi terhadap resiko PLTN telah
dipersiapkan dengan matang. NPP generasi terbaru juga tekah memiliki tingkat
keamanan yag sangat tinggi, bahkan telah dilakukan statistic death by tera watt of energy
kecelakaan akibat nulir jauh lebih sedikit dibandung pembangkit lainya karena hanya
sedikit menyebabkan korban jiwa. ehingga menurutnya tidak ada alasan bagi Indonesia
untuk tidak membangun PLTN. Ia bahkan menambahkan bahwa bahan bakar nuklir yang
dapat digunakan adalah Thorium yang memilki densitas energi terpadat sehingga 1 ton
Thorium yang hanya sebesar bola basket dapat menjadi bahan bakar pembangkit listrik
berdaya 1000 MW selama 1 tahun. Bandingkan dengan uranium yang membutuhkan 200
ton atau batubara yang membutuhkan 3,5 juta ton. Dan hasil penlitian menunjukan bahwa
indonesia memilki Cadangan Thorium untuk 1000 tahun. Maka hal ini sangat menjadi
peluang besar bagi Indonesia untuk mencapai ketahaan energi. Menurutnya Pemerintah
mempertanyakan keselamatan dan keamanan PLTN sesungguhnya salah fokus dan tidak
melihat fakta yang benar tetapi lebih di dorong oleh isu dan tekanan masyarakat yang
kurang pengetahuan tentang PLTN.
c. Menurut Bob S. Efendi lagi adalah mengenai penurunan emisi gas rumah kaca dengan
penggunaan renewable energy selain nuklir bersifat intermitten dimana membuat biaya
yang tinggi namun hasilnya tidak signifikan. Ia juga menyampaikan bahwa banyak orang
yang tidak paham langsung berpikir bahwa tambah banyak renewable maka bertambah
kurang emisi C02. Hal itu hanya benar bila renewable dapat bekerja dengan kapasitas
diatas 60% tetapi kenyataan tidak bisa (karenatidak menentu /intermitten) sehingga harus
di backup juga dengan fossil sehingga emisi CO2 pun menjadi tinggi. Menurutnya PLTN
adalah pembangkit Listrik TERAMAN di banding jenis pembangkit lainnya. Bahwa
PLTN menghasilkan Listrik lebih murah dari renewable tanpa emisi CO2. Bahwa untuk
mengurangi emisi CO2 yang paling efektif adalah dengan meningkatkan bauran hydro
dan Nuklir bukan renewable (anginn dan surya). Meningkatkan bauran energi renewable
(angin dan surya) hanya membuat tariif Listrik menjadi mahal. Untuk mencapai
Ketahanan Energi dapat di capai dengan Hydro + Nuklir.
d. Menurut pemaparan LIPI Secara obyektif, PLTN merupakan suatu industri energi yang
relatif paling aman dibandingkan dengan industri energi yang lain. Namun oleh kalangan
masyarakat anti-nuklir PLTN dianggap sebagai industri energi yang paling berbahaya.
Sikap hati-hati tersebut misalnya dengan tidak berlaku gegabah dengan menggangap
bahwa seluruh PLTN itu aman sebagimana 426 Unit PLTN yang sekarang beroperasi di
dunia. Jadi setiap PLTN yang akan dibangun harus selalu diteliti dan diawasi kendalanya
mulai dari sejak tahap persiapan, pengembangan dan pengoperasian.
Pro dan kontra tersebut disampaikan oleh tokoh-tokoh yang cukup berpengaruh terhadap
kebijakan yang dibuat terkait tenaga nuklir. Keduanya memiliki pertimbangan yang beralasan
dan layak untuk dipertimbangkan. Terjadi penyimpangan dalam pembuatan PP 79 tahun 2014
yaitu disebutkan bahwa Nuklir menjadi opsi terakhir yang akan dikembangkan. Hal ini jelas
menyimpang karena dalam PRJPN (UU No 17 tahun 2007) diputuskan pembangunan PLTN
sebelum tahun 2019 serta di UU No 30 tahun 2007 tentang Energi semua jenis energi adalah
setara. Hal ini perlu dikaji ulang sehingga tidak menyebabkan inkonsistensi kebijakan terkait
nuklir.
REKOMENDASI
a. Perlu adanya kesamaan visi misi dalam menanggapi permasalahan krisis energi dan
pembangunan PLTN, karena menurut pendapat saya masalah utama adalah ada pada
Government will itu sendiri.
b. Permaslaahan yang menyangkit hajat hidup orang banyak tidak semestinya dipolitisasi
untuk kepentingan beberapa pihak.
c. Lembaga Yudikatif harus kritis dan kuat sehingga dapat memberikan putusan yang tidak
merugikan negara.
Bibliography
anonim. (2015, Oktober 01). Teori Pembagian Kekuasaan Menurut Trias Politika, John Locke,
Montesquieu. Retrieved Juni 2017, from www.landasanteori.com:
http://www.landasanteori.com/2015/09/teori-pembagian-kekuasaan-menurut-trias.html
Jannah, K. M. (2016, November 18). Rasio Elektrifikasi Indonesia Baru 89,5% kalah dari Vietnam dan
Thailand. Retrieved Juni 20, 2017, from Okezone.com:
http://economy.okezone.com/read/2016/11/18/320/1544739/rasio-elektrifikasi-indonesia-
baru-89-5-kalah-dari-vietnam-dan-thailand
Ramani. (1992). Rural electnecation and rural development, Rural electrification guide book for Asia &
Pacific. Bangkok.