Anda di halaman 1dari 21

A.

Definisi

Laparatomi merupakan suatu proses insisi bedah ke dalam rongga


abdomen yang dilakukan dengan berbagai indikasi seperti trauma abdomen,
penanganan obstetric (Sectio Saesaria) infeksi pada rongga abdomen,
perdarahan saluran cerna, sumbatan pada usus halus dan usus besar serta masa
pada abdomen tindakan laparatomi dapat menimbulkan berbagai komplikasi
pasca bedah antara lain gangguan perfusi jaringan, infeksi pada luka yang
menyebabkan buruknya integritas kulit serta terjadinya burst abdomen (Afzal,
2009).

Burst abdomen juga dikenal sebagai abdominal wound dehiscence atau


luka operasi terbuka, didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai
terbukanya sebagian atau seluruh luka operasi yang disertai protusi atau
keluarnya isi rongga abdomen. Keadaan ini sebagai akibat kegagalan proses
penyembuhan luka operasi. Wound dehiscence merupakan komplikasi
pertama dari pembedahan abdominal. Insidensinya sekitar 0,2% sampai
dengan 0,6% dengan angka mortalitas cukup tinggi, mencapai 10% sampai
dengan 40%, disebabkan penyembuhan luka operasi yang inadekuat (Baxter,
2003).

Terjadinya wound dehiscence dengan berbagai kondisi seperti anemia,


hipoalbumin, malnutrisi, keganasan, obesitas dan diabetes, usia lanjut,
prosedur pembedahan spesifik seperti pembedahan spesifik seperti
pembedahan pada kolon atau laparatomi emergency. Wound dehiscence dapat
juga terjadi karena perawatan luka yang tidak adekuat serta faktor mekanik
seperti batuk batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan hematom serta
tekhnik operasi yang kurang baik (Afzal, 2008).

Burst abdomen atau abdominal wound dehiscence adalah terbukanya


tepi-tepi luka sehingga menyebabkan evirasi atau pengeluaran isi organ-organ
dalam seperti usus, hal ini merupakan salah satu komplikasi post operasi dari
penutupan luka di dalam perut. (Saktya, 2011).
Burst abdomen atau abdominal wound dehiscence adalah terbukanya
tepi-tepi luka sehingga menyebabkan evirasi atau pengeluaran isi organ-organ
dalam seperti usus, hal ini merupakan salah satu komplikasi post operasi dari
penutupan luka di dalam perut.

B. Klasifikasi

Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi


menjadi dua :

a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari paska operasi yang
biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang
tidak baik.
b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai
12 hari paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan
usia, adanya infeksi, status gizi dan faktor lainnya (Sjamsudidajat R,
2005).

C. Etiologi
Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme
terjadinya dibedakan atas tiga yaitu:
a. Faktor mekanik : adanya makanan dapat menyebabkan akibat jahitan
jaringan semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi.
Faktor mekanik tersebut antara lain batuk batuk yang berlebihan, ileus
obstruktif dan hematom serta tekhnik operasi yang kurang.
b. Faktor metabolic : hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia, gangguan
keseimbangan elektrolit serta defesiensi vitamin dapat mempengaruhi
proses penyembuhan luka.
c. Faktor infeksi : semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka
operasi akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara klinis
biasanya terjadi pada hari ke 6 sampai dengan 9 pasca operasi dengan gejala
suhu badan yang meningkat disertai tanda peradangan disertai luka.
Menurut National Nosocomial Infection Survelance System, luka operasi
dibedakan menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi, terkontaminasi dan
kotor. Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai dengan peningkatan
temperature dan terjadinya selulitis dalam waktu 48 jam setelah penjahitan.
Dehisensi luka operasi akan segera terjadi jika infeksi tidak diatasi. Infeksi
dini seringkali disebabkan oleh streptococcus B haemolyticus. Sedangkan
pada infeksi lanjut seringkali tidak disertai peningkatan temperatur dan
pembentukan pus, dan terutama disebabkan oleh Stafilococcus aureus
(Afzal, 2008).
Terjadinya burst abdomen dipengaruhi oleh banyak faktor.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan faktor resiko akan
dibedakan menjadi tiga bagian yaitu faktor pre-operative, operative, dan post-
operative (British Medical Journal: 1966).
a. Pre operasi
Faktor pre-operative ini biasanya berhubungan dengan keadaan
pasien sebelum operasi dan karakteristik pasien.
Faktor pre-operative ini biasanya berhubungan dengan keadaan
pasien sebelum operasi dan karakteristik pasien.
1. Jenis kelamin
Kejadian pada pria dan wanita didapatkan perbedaan yang
sedikit meningkat pada pria yang mana berbanding 3:1. Hal ini dapat
dipicu karena faktor merokok, pada pria sering mengalami batuk
persisten sehingga dapat meningkatkan tekanan intraabdomen dan
lebih beresiko terjadi burst abdomen.
2. Umur
Kejadian burst abdomen meningkat dengan bertambahnya
umur. Burst abdomen pada pasien yang berumur <45 tahun sebesar
1,3%, sedangkan pada pasien >45 tahun sebesar 5,4%. (Schwartz et al,
Principles Of Surgery)
Burst abdomen sering terjadi pada usia >60 tahun. Hal ini
dikarenakan sejalan dengan bertambahnya umur, organ dan jaringan
tubuh mengalami proses degenerasi dan otot dinding rongga perut
melemah. (Lotfy, 2009)
Hal ini mungkin dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
a) Faktor penentu sebelum terjadinya burst abdomen yang sering
ditemukan yaitu batuk kronis, konstipasi kronis dan dysuria.
b) Adanya anemia, hypoproteinaemia, dan beberapa kekurangan
vitamin dalam kelompok usia ini.
c) Komplikasi pasca operasi seperti mengejan, batuk, dan muntah
berulang.
3. Anemia
Hemoglobin menyumbang oksigen untuk regenerasi jaringan
granulasi dan penurunan tingkat hemoglobin mempengaruhi
penyembuhan luka. (Lotfy, 2009). Pada beberapa studi dikemukakan
bahwa rendahnya kadar hemoglobin (<10mg mg/dl) merupakan salah
satu faktor resiko terjadinya burst abdomen.
4. Hipoproteinemia
Hypoproteinemia adalah salah satu faktor yang penting dalam
penundaan penyembuhan, seseorang yang memiliki tingkat protein
serum di bawah 6 g / dl memiliki resiko burst abdomen. (Saktya, 2011)
5. Defisiensi vitamin C
VitaminC sangat penting untuk memperoleh kekuatan dalam
penyembuhan luka. Kekurangan vitamin C dapat mengganggu
penyembuhan dan merupakan predisposisi kegagalan luka.
Kekurangan vitamin C terkait dengan delapan kali lipat peningkatan
dalam insiden wound dehiscence.
6. Kortikosteroid
Steroid memiliki peranan dalam menghambat proses inflamasi,
fungsi makrofag, proliferasi kapiler, dan fibroblast. Selain itu juga
kortikosteroid dapat menurunkan sistem imun sehingga jika terjadi
suatu infeksi, proses penyembuhan luka terhambat.
7. Merokok
Kebiasaan merokok sejak muda menyebabkan batuk-batuk
yang persisten, batuk yang kuat dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intra abdomen.
8. Hypoalbuminaemia (serum albumin < 3 mg%)
Keadaan hipoalbuminemia ini akan mengurangi sintesa
komponen sulfas mukopolisarida dan kolagen yang merupakan bahan
dasar penyembuhan luka. Defisiensi tersebut akan mempengaruhi
proses fibroblasi dan kolagenisasi yang merupakan proses awal
penyembuhan luka. Hal ini akan memperlambat proses penyembuhan
luka.
Hypo-albuminaemia dapat digunakan sebagai penanda
malnutrisi. Hypoproteinemia merupakan salah satu faktor terpenting
dalam proses penyembuhan. Untuk perbaikan jaringan, sejumlah besar
asam amino diperlukan. Asam amino membantu dalam pembentukan
RNA dan DNA. Kekurangan ini mengarah ke jaringan selular miskin,
yang menyebabkan kekuatan luka hilang.
9. Operasi yang bersifat emergensi
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan dengan
terjadinya burst abdomen. Hal ini mungkin lebih disebabkan karena
keadaan hemodinamik pasien yang tidak stabil dibandingkan dengan
persiapan operasi yang terencana (elektif).
10. Diabetes (GDP > 140 mg/dl atau GDA> 200 mg/dl)
Pada orang dengan diabetes, proses penyembuhan luka
berlangsung lama. (Lotfy, 2009). DM berkaitan dengan gangguan
metabolisme pada jaringan ikat hal tersebut tentu saja amat sangat
berpengaruh terhadap daya tahan tubuh sehingga akan mengganggu
proses penyembuhan luka operasi. Sehingga pengendalian DM yang
baik dibutuhkan untuk menghindari DM sebagai faktor resiko.
b. Operasi
1. Tipe insisi

Midline incision memiliki insiden terjadinya burst abdomen


lebih besar dari pada transverse incision. Midline incision tidak
anatomis karena incisi ini memotong serabut aponeurotik, sedangkan
pada transverse incision memotong diantara serabut. Kontraksi pada
dinding abdomen akan memberikan tekanan untuk membantu
penutupan luka. Pada midline incision, kontraksi ini dapat
menyebabkan adanya luka baru pada lateral jahitan, sedangkan pada
transverse incision, jahitan akan merapat. Midline incision banyak
digunakan karena dengan teknik ini lapangan pandang saat operasi
menjadi lebih luas untuk melakukan explorasi.

Tipe insisi midline

Tipe insisi transversal


2. Jahitan luka
Berdasarkan hasil penelitian teknik continuous Z memiliki
faktor resiko terjadinya burst abdomen lebih besar yaitu sebesar
14,8% sedangkan pada teknik interrupted X hanya sebesar 2,17%.

c. Post operasi
1. Peningkatan tekanan intra-abdominal
Peningkatan tekanan ini dapat disebabkan oleh batuk, muntah,
ileus, dan retensi urine. Setelah beberapa operasi intra abdomen,
kejadian ileus tidak dapat dielakkan. Tekanan intra abdomen yang
tinggi mungkin disebabkan pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronik yang biasanya mereka menggunakan otot-otot
abdomen sebagai otot tambahan untuk respirasi. Sebagai tambahan,
batuk yang terjadi mendadak dapat meningkatkan tekanan intra
abdomen. Beberapa factor yang berperan dalam peningkatan tekanan
abdomen seperti obstruksi usus post opersi, obesitas, dan cirrhosis
dengan adanya ascites. Tekanan intraabdominal yang tinggi akan
menekan otot-otot dinding abdomen sehingga akan teregang.
Regangan otot dinding abdomen inilah yang akan menyebabkan
berkurangnya kekuatan jahitan bahkan pada kasus yang berat akan
menyebabkan putusnya benang pada jahitan luka operasi dan
keluarnya jaringan dalam rongga abdomen.
Hal yang menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen
diantaranya:
a) Mengangkat beban berat
b) Batuk dan bersin yang kuat
c) Mengejan akibat konstipasi
2. Infeksi pada luka
Produk infeksi yang dihasilkan dapat menghambat proses
penyembuhan luka. Gagalnya penyatuan fasia karena adanya nekrosis
dipercaya dapat menyebabkan burst abdomen. Selain itu terjadinya
burst abdomen atau wound dehiscence dapat disebabkan oleh
beberapa factor sistemik dan local yang berpengaruh terhadap
timbulnya luka komplikasi ini.
a. Faktor Sistemik.
Burst abdomen jarang diderita pada pasien dibawah usia 30
tahun tetapi pada pasien diatas usia 60 tahun dengan operasi
laparotomi hanya didapatkan sebanyak 5 %. Burst abdomen banyak
dijumpai pada pasien dengan Diabetes mellitus, uremia,
immunosuppresion, jaundice, sepsis, hipoalbuminemia, pasien dengan
obesitas, riwayat keganasan, maupun pasien dengan penggunaan obat-
obatan kortikosteroid.
b. Faktor Lokal.
Ketiga factor local yang penting untuk terjadinya burst
abdomen diantaranya adalah: penutupan luka yang tidak adekuat,
peningkatan tekanan intraabdomen, dan gangguan pada proses
penyembuhan luka. Burst abdomen lebih sering terjadi karena
kombinasi ketiga factor tersebut dibandingkan bila hanya muncul salah
satu saja. Jenis incise pada saat operasi seperti incise transversal
maupun longitudinal sampai saat ini tidak berpengaruh terhadap
insiden dari burst abdomen.
3. Penutupan jahitan dari Luka Operasi
Penutupan yang adekuat dari luka operasi merupakan salah
factor yang penting dalam hal penyembuhan luka operasi. Lapisan
fasial memberikan kekuatan pada saat penutupandan ketika fascia
terbuka atau rusak (disrupts) luka akan terbuka dan menjadi rusak.
Keakuratan penutupan pada lapisan anatomi sangat penting untuk
penutupan luka yang adekuat. Banyak luka-luka menjadi rusak
(burst/dehiscence) disebabkan karena terputusnya jahitan sampai
kedalam fascia.
Untuk pencegahan masalah ini meliputi bentuk irisan operasi
yang bagus dan bersih, devitalisasi dari fascia yang sangat
diperhatikan selama operasi, penempatan dan penautan jahitan yang
tepat, dan pemilihan material jahitan yang sesuai. Jahitan ditempatkan
2-3 cm dari tepi luka dan kira-kira sepanjang 1 cm.
Luka dehiscence sering disebabkan karena jahitan bekas
operasi yang terlalu melekat dan rapat pada tepi fascia. Pada pasien
dengan factor resiko terjadinya luka dehiscence, para ahli bedah harus
melakukan penutupan yang kedua pada operasi pertama, dan
melakukan perawatan ekstra untuk mencegah terjadinya luka
dehiscence.
Bahan untuk jahitan sintetik yang modern seperti asam
polyglycolic, polypropylene, dan yang lain, digunakan untuk
penjahitan pada penutupan fascia yang superior. Pada luka yang
mengalami infeksi, benang dari bahan polypropylene lebih resisten
terhadap degradasi dari pada benang asam polyglycolic serta rata-rata
yang rendah terhadap terjadinya luka yang rusak. Komplikasi luka
menurun dengan adanya obliterasi pada daerah dead space.
Ostomies dan drain setelah operasi ditempatkan diluar dari incise
operasi untuk menurunkan kejadian luka infeksi dan terbuka.
4. Gangguan pada Penyembuhan Luka
Infeksi merupakan factor yang berhubungan pada separuh
lebih terjadinya luka karena rusak. Adanya drain, seroma, dan luka
hematom juga sebagai tanda adanya penyembuhan luka yang
terlambat. Normalnya, healing ridge ( penebalan kira-kira 0,5 cm
dari masing-masing sisi jahitan) tampak pada akhir dari minggu
pertama setelah operasi. Jika muncul jenis luka seperti ini maka
secara klinis penyembuhan luka berjalan dengan baik dan adekuat,
dan ini biasanya tidak muncul pada luka yang rusak.
Tabel Faktor Penyebab Luka dehiscence Post operative
Jahitan dipasang kurang tepat Terlalu berdekatan
Ditarik dan diikat terlalu kencang
Tehnik operasi kurang baik Tidak mencapai lapisan fascia
Jaringan nonvital ditinggalkan
Tekanan intra abdomen meninggi Dilatasi usus/ileus paralitik
Asites
Batuk
Muntah
Banyak mengejan
Hematoma di luka dengan atau
tanpa infeksi
Infeksi luka
Penyakit Metabolic
Hipoalbuminemia dan atau gizi buruk
Sirosis hepatis
Karsinomatosis
Uremia
Diabetes mellitus

5. Terapi radiasi
Riwayat pemakaian terapi radiasi mengganggu sintesis protein
normal, mitosis, migrasi dari faktor peradangan, dan pematangan
kolagen.

D. Manifestasi Klinis
Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita
sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar
disertai keluarnya cairan serous berwarna merah muda dari luka operasi (85%
kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi yang terbuka. Terdapat pula
tanda tanda infeksi umum seperti adanya rasa nyeri, edema dan hiperemesis
pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula terjadi pus atau nanah yang keluar
dari luka operasi (Sjamsudidajat, 2005).
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara
klinis terjadi pada hari keempat hingga Sembilan pascaoperasi. Penderita
datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan
jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan disekitar luka
operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan, hangat, pembengkakan,
nyeri, fluktasi dan pus (Afzal, 2008).
Keadaan umum pasien juga menurun ditandai dengan wajah tampak
anemis dan pasien tampak sangat kesakitan. Luka yang terjadi pada dinding
abdomen menjadi jelek dan kelihatan rusak. Dalam satu hari keadaan ini akan
diikuti oleh penonjolan usus dari luka kulit yang menganga pada operasi kulit
(incisional hernia). Gejala intraperitoneal sepsis merupakan salah satu tanda
adanya burst abdomen.
a. Nyeri setelah beberapa hari operasi
b. Keluar cairan merah pada bekas jahitan atau bahkan keluar nanah
c. Luka jahitan menjadi lembek dan merah (hiperemi)
d. Perut distended (membesar dan tegang) yang menandai adanya infeksi
di daerah tersebut
e. Keadaan umum pasien juga menurun ditandai dengan wajah tampak
anemis dan pasien tampak sangat kesakitan

E. Patofisiologi
Burst Abdomen bisa disebabkan oleh faktor pre operasi, operasi dan
post operasi. Pada faktor pre operasi, hal-hal yang berpengaruh dalam factor
pre operasi ini adalah usia,kebiasaan merokok, penyakit diabetes mellitus, dan
malnutrisi. Pada umur tua otot dinding rongga perut melemah. Sejalan dengan
bertambahnya umur, organ dan jaringan tubuh mengalami proses degenerasi.
Kejadian tertinggi burst abdomen sering terjadi pada umur > 50-65 tahun.
Selain itu adanya anemia, hypoproteinaemia, dan beberapa kekurangan
vitamin bisa menyebabkan terjadinya burst abdomen. Hemoglobin
menyumbang oksigen untuk regenerasi jaringan granulasi dan penurunan
tingkat hemoglobin mempengaruhi penyembuhan luka. Kebiasaan merokok
sejak muda menyebabkan batuk-batuk yang persisten, batuk yang kuat dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen
Penyakit-penyakit tersebut tentu saja amat sangat berpengaruh
terhadap daya tahan tubuh sehingga akan mengganggu proses penyembuhan
luka operasi. Hypoproteinemia adalah salah satu faktor yang penting dalam
penundaan penyembuhan, seseorang yang memiliki tingkat protein serum di
bawah 6 g / dl. Untuk perbaikan jaringan, sejumlah besar asam amino
diperlukan. Vitamin C sangat penting untuk memperoleh kekuatan dalam
penyembuhan luka. Kekurangan vitamin C dapat mengganggu penyembuhan
dan merupakan predisposisi kegagalan luka. Kekurangan vitamin C terkait
dengan delapan kali lipat peningkatan dalam insiden wound dehiscence. Seng
adalah co-faktor untuk berbagai proses enzimatik dan mitosis (Saktya, 2011).
Untuk factor operasi, tergantung pada tipe insisi, penutupan sayatan,
penutupan peritoneum, dan jahitan bahan. Kontraksi dari dinding abdomen
menyebabkan tekanan tinggi di daerah lateral pada saat penutupan. Pada insisi
midline, ini memungkinkan menyebabkan bahan jahitan dipotong dengan
pemisahan lemak transversal. Dan sebaliknya, pada insisi transversal, lemak
dilawankan dengan kontraksi. Otot perut rektus segmental memiliki suplai
darah dan saraf. Jika irisan sedikit lebih lateral, medial bagian dari otot perut
rektus mendapat denervated dan akhirnya berhenti tumbuh. Ini menciptakan
titik lemah di dinding dan pecah perut.
Faktor post operasi terdiri dari peningkatan dari intra-abdominal
pressure yang menyebabkan suatu kelemahan mungkin disebabkan dinding
abdominal yang tipis atau tidak cukup kuatnya pada daerah tersebut, dimana
kondisi itu ada sejak atau terjadi dari proses perkembangan yang cukup lama,
pembedahan abdominal dan kegemukan. Dapat dipicu juga jika mengangkat
beban berat, batuk dan bersin yang kuat, mengejan akibat konstipasi. Terapi
radiasi dapat mengganggu sintesis protein normal, mitosis, migrasi dari faktor
peradangan, dan pematangan kolagen. Antineoplastic agents menghambat
penyembuhan luka dan luka penundaan perolehan dalam kekuatan tarik
Pada pasien post operasi abdomen yang memiliki penurunan
kemampuan penyembuhan luka, maka akan beresiko mengalami burst
abdomen. Pasien burst abdomen biasanya akan ditemukan peningkatan
tekanan intra abdomen sehingga dapat mengganggu ekspansi paru dan suplai
oksigen menurun sehingga menyebabkan terjadinya sesak napas. Distensi
abdomen juga sering ditemukan pada pasien burst abdomen sehingga dapat
menyebabkan penurunan nafsu makan dan terjadi anoreksia. Luka insisi pada
pasien burst abdomen dapat menyebabkan diskontinuitas jaringan sehingga
menimbulkan nyeri pada daerah sekitar luka. dan memiliki resiko tinggi
terjadi infeksi (Medical Journal, 2011).

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui resiko yang dapat
memperparah penyakit. Pemeriksaan laboratorium ini meliputi
pemeriksaan darah lengkap dan kimia darah.
2. Sinar X abdomen
Sinar X abdomen menunjukkan abnormalnya tinggi kadar gas dalam usus
atau obstruksi usus.
3. CT scan atau MRI
Untuk mendiagnosa kelainan-kelainan yang terdapat dalam tubuh
manusia, juga sebagai evaluasi terhadap tindakan atau operasi maupun
terapi yang akan dilakukan terhadap pasien.
4. Tes Darah lengkap
Hemoglobin, serum protein, gula darah, serum kreatinin, dan urea. Hitung
darah lengkap dan serum elektrolit dapat menunjukkan hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit), peningkatan sel darah putih, dan
ketidakseimbangan elektrolit.

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan burst abdomen dipengaruhi oleh keadaan umum
pasien dimana dapat dibagi menjadi dua, yaitu terapi non-operatif dan
operatif.
1. Terapi non-operatif
Terapi ini dilakukan bila keadaan umum pasien stabil dan tidak
disertai adanya eviserasi. Perawatan luka yang dilanjutkan dengan
penutupan secara steril perlu dilakukan. Pasien dianjurkan tidak turun dari
tempat tidur dan menutup luka dengan handuk yang dibasahi dengan
cairan steril. Abdominal binder dapat digunakan untuk membantu proses
penutupan luka. Diharapkan luka dapat menutup kembali, atau jika
keadaan pasien sudah membaik, maka dapat direncanakan operasi. Jika
pasien datang dengan burst abdomen dan eviserasi :
a. Inform Consent
b. Puasa dilakukan 4 jam sebelum pembedahan, pemasangan NGT
dekompresi.
c. Pasang infus, bericairan standard N4 dengan tetesan sesuai kebutuhan.
d. Antibiotik pra bedah diberikan secara rutin.
e. Dilakukan rawat luka pada abdomen dengan teknik steril selama dua
hari sekali.
f. Perlu diperhatikan juga tentang nutrisi pasien. Pemberian nutrisi tinggi
protein dan serat pada pasien dengan burst abdomen membantu
penyembuhan dan fungsi saluran cerna pasien.
2. Terapi operatif
Tindakan yang harus segera dilakukan oleh ahli bedah bila
menjumpai adanya burst abdomen adalah dengan memperbaiki kembali
luka operasi yang ditimbulkan segera dengan terlebih dahulu
mengevaluasi struktur di dalamnya. dibilas dengan cairan isotonis ringer
lactate yang mengandung antibiotic dan kemudian dilakukan penutupan
kembali dinding abdomen.
Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi. Tindakan
repair ini harus dilakukan dalam keadaan steril (diatas meja operasi) dan
dengan anastesi general. Lepas dahulu jahitan yang telah dilakukan operasi
pada bagian yang mengalami burst, kemudian explore bagian terdalam
dari luka yang rusak dengan jari yang menggunakan sarung tangan steril
sampai bagian jahitan yang terbuka kemudian evaluasi apa yang terjadi
apakah terdapat sumber infeksi.
Kemudian dilakukan pencucian luka secara mekanik dengan cairan
isotonis yang mengandung antibiotic yang berlimpah, setelah itu
dilakukanperbaikan jahitan dengan memberikan jahitan ekstra untuk
mencegah timbulnya luka dehiscence berulang.
Operasi Pembedahan
Penjahitan dilakukan dengan tehnik yang sesuai dan teliti dengan
menggunakan jarum dan benang yang sesuai (monofilamen nilon atau
poligycolic acid), setelah repair jahitan selesai luka ditutup dengan kassa
basah steril dan diberi antibiotik, kemudian ditutup kembali sehingga tidak
terkontaminasi dengan dunia luar.
1. Operasi pembedahan, dilakukan untuk menutup lubang dan memperkuat
bagian yang lemah, otot perut dirapatkan menutupi lubang yang ada.
2. Kebanyakan untuk pasien akut atau baru saja terjadi luka disarankan untuk
operasi kembali.
3. Kebanyakan teknik yang utama adalah segera menjahit kembali pada
tempat jahitan semula yang mengalami perobekan.
4. Pemberian antibiotic preoperative spektum meluas.
5. Bebaskan lipatan peritonim dan usus untuk jarak yang pendek pada
permukaan yang dalam dari luka pada kedua sisi.
6. Masukkan jahitan luka yang dalam.
7. Kemudian proses akir dari dinding abdomen, yakinlah untuk mengambil
potongan yang dalam dari jari, memakai materi jahitan yang banyak dan
hindari tegangan yang berlebihan pada luka.
8. Tutup kulit dengan agak longgar dan mempertimbangkan pemakaian
pengering luka dangkal. Jika terjadi infesi luka yang buruk , jangan
biarkan luka terbuka dan bungkuslah.

a. Penumpukan Jahitan
Ada beberapa teknik penumpukan jahitan, tetapi pada prinsipnya
adalah :
1) Memakai jahitan luka yang padat dan tidak menyerap.
2) Luas potongan paling tidak 3cm dari tepi luka dan interval
stikjahitan 3cm atau kurang.
3) Salah satu dari eksternal (menggabungkan semua lapisan
peritonium melewati kulit) atau (semua lapisan kecuali
kulit) mungkin digunakan.
4) Penumpukan jahitan luka internal dapat menghindari
pembentukan bekas luka yang tidak sedap dipandang akan
tetapi luka itu tidak dapat dipindahkan pada waktu
berikutnya(meningkatkan resiko infeksi)
5) Jangan mengikat terlalu kuat
6) Penumpukan jahitan luka eksternal biasanya dibiarkan
selama paling tidak tiga minggu.
Pada sebagian kecil pasien bisa mendapat
penatalaksanaannya yang tepat.Teknik yang tidak aman atau
terkadang tidak mungkin untuk menutup dinding perut dengan
benar.
Beberapa kondisi yang mungkin bisa menjadi faktor
pencetus pada dinding perut yang tidak dapat menutup, meliputi:
1) Trauma abdomen mayor
2) Sepsis abdomen yang kasar
3) Retro peritoneal hematom.
4) Kehilangan jaringan pada dinding perut.
Penderita setelah operasi biasanya masih mengeluh soal
lain. Setelah operasi ia merasakan bagian yang dioperasi seperti
tertarik dan nyeri. Untuk mengatasi keluhan tadi, kini tersedia jala
sintetis yang dikenal dengan mesh. Penggunaannya
menguntungkan bagi penderita pascaoperasi, karena otot perutnya
tidak lagi ditarik, sehingga penderita tidak akan merasa nyeri.
Usaha untuk menutup dinding perut mungkin dapat
menyebabkan elevasi dari tekanan intra abdominal dan syndrome
ruang abdomen berikutnya. Pada kasus kasus tertetu (exs.jika
penyebabnya memungkinkan untuk diselesaikan dengan cepat)
mungkin bisa menutup abdomen untuk sementara waktu dengan
membungkus luka dan mengambil tindakan lebih lanjut dalam
waktu 24-48 jam. Penutupan mesh pada insisi abdomen
biasanya menunjukan:
1) Kerusakannya adalah penutupan dari satu atau dua lapisan
pada lubang.
2) Lubang adalah jahitan luka pada tempat dari jahitan luka
yang menembus lapisan tebal dinding abdomen.
Perubahan balutan dan granulasi benuk jaringan berikutnya,
akhirnya berpengaruh pada permukaan yang bisa dibungkus
dengan pemindahan robekan kulit (transparansi kulit).

3. Upaya Pencegahan

Faktor resiko burst abdomen masih bisa dikurangi melalui


penanganan pasien secara terpadu sejak sebelum operasi sampai setelah
operasi. Untuk mencegah terjadinya burst abdomen diantaranya adalah:

a. Tehnik penjahitan yang tepat dan benar

Penjahitan yang dilakukan pada luka operasi sebaiknya


menggunakan jarum, benang, dan tehnik jahitan yang benar.
Jahitan yang dibuat jangan terlalu berdekatan dan jangan terlalu
kencang sehingga mengakibatkan luka yang ditimbulkan tidak
sembuh dengan sempurna.

b. Teknik operasi yang baik

Salah satu sebab terjadinya burst abdomen karena tehnik


operasi yang kurang baik diantaranya tehnik operasi yang tidak
mencapai lapisan fascia atau salah satunya dengan meninggalkan
jaringan yang sudah tidak vital dalam rongga abdomen, hal ini
cenderung untuk terjadinya infeksi. Oleh karena itu untuk
mencegah terjadinya burst abdomen sebaiknya operator benar-
benar memahami operasi yang akan dilakukan dan bertindak
sebaik mungkin.

c. Mencegah peningkatan intraabdomen


Peningkatan dari tekanan abdomen menghambat dari
penyembuhan luka bahkan mengakibatkan luka yang terjadi
mengalami kerusakan sehingga dapat terbuka kembali. Adapun
hal-hal yang dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
intraabdomen adalah: batuk, muntah, banyak mengejan, asites, dan
dilatasi usus atau adanya ileus paralitik. Oleh karena itu untuk
mengontrol adanya peningkatan intraabdomen selain
menganjurkan kepada pasien untuk tidak melakukan hal diatas,
maka dengan melakukan follow up setiap hari kepada pasien post
operativ dari bising ususnya dan dengan pemasangan nasogastric
tube untuk dekompresi.

d. Mencegah terjadinya infeksi

Infeksi sangat banyak penyebabnya oleh karena itu pada


luka post laparotomy harus dilakukan rawat luka se aseptis
mungkin dengan menggunakan peralatan yang steril. Selain itu
juga diikuti dengan pemberian antibiotika profilaksis.

e. Mengobati penyakit penyerta dari pasien

Selain hal-hal seperti diatas terjadinya burst abdomen dapat


dipicu karena penyakit penyerta dari pasien diantaranya:
hipoalbuminemia, malnutrisi, anemia, joundice, penyakit
keganasan, diabetes mellitus, sehingga dapat menghambat proses
penyembuhan luka. Oleh karena itu penyakit penyerta tersebut juga
harus diperhatikan dan diregulasi dengan baik.

H. Prognosis
Menurut Sander (2012), angka mortalitas pasien dengan burst
abdomen rata-rata 18,1%, dengan range 9,4% 43,8%. Apabila
terpisahnya jahitan luka pada abdomen secara partial atau komplit salah
satu atau seluruh lapisan dinding abdomen pada luka post operatif tidak
segera ditangani maka pasien tersebut memiliki kemungkinan mortalitas
30%.

I. Komplikasi

a. Perdarahan
b. Infeksi luka Operasi
Infeksi Luka Operasi ( ILO )/Infeksi Tempat Pembedahan
(ITP)/Surgical Site Infection (SSI) adalah infeksi pada luka operasi
atau organ/ruang yang terjadi dalam 30 hari paska operasi atau dalam
kurun 1 tahun apabila terdapat implant. Sumber bakteri pada ILO
dapat berasal dari pasien, dokter dan tim, lingkungan, dan termasuk
juga instrumentasi.
Menurut The National Nosocomial Surveillence Infection
(NNSI), kriteria jenis-jenis SSI ada tiga sebagai berikut :
1) Superficial Incision SSI ( ITP Superfisial )
Merupakan infeksi yang terjadi pada kurun waktu 30
hari paska operasi dan infeksi tersebut hanya melibatkan kulit
dan jaringan subkutan pada tempat insisi dengan setidaknya
ditemukan salah satu tanda sebagai berikut :
a) Terdapat cairan purulen.
b) Ditemukan kuman dari cairan atau tanda dari
jaringan superfisial.
c) Terdapat minimal satu dari tanda-tanda inflammasi
d) Dinyatakan oleh ahli bedah atau dokter yang
merawat.
2) Deep Insicional SSI ( ITP Dalam )
Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30
hari paska operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam
kurun waktu 1 tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut
memang tampak berhubungan dengan operasi dan melibatkan
jaringan yang lebih dalam ( contoh, jaringan otot atau fasia )
pada tempat insisi dengan setidaknya terdapat salah satu
tanda :
a) Keluar cairan purulen dari tempat insisi.
b) Dehidensi dari fasia atau dibebaskan oleh ahli bedah
karena ada tanda inflammasi.
c) Ditemukannya adanya abses pada reoperasi, PA atau
radiologis.
d) Dinyatakan infeksi oleh ahli bedah atau dokter yang
merawat
3) Organ/ Space SSI ( ITP organ dalam )
Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30
hari paska operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam
kurun waktu 1 tahun jika terdapat implan dan infeksi tersebut
memang tampak berhubungan dengan operasi dan melibatkan
suatu bagian anotomi tertentu (contoh, organ atau ruang)
pada tempat insisi yang dibuka atau dimanipulasi pada saat
operasi dengan setidaknya terdapat salah satu tanda :
a) Keluar cairan purulen dari drain organ dalam
b) Didapat isolasi bakteri dari organ dalam
c) Ditemukan abses
d) Dinyatakan infeksi oleh ahli bedah atau dokter.
c. Peritonitis (infeksi ke seluruh dinding usus)
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh
infeksi pada selaput rongga perut (peritoneum). Peritoneum adalah
selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding
perut sebelah dalam. Cedera pada kandung empedu, ureter, kandung
kemih atau usus selama pembedahan dapat memindahkan bakteri ke
dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama pembedahan untuk
menyambungkan bagian usus.
d. Kelemahan fasia/dinding perut yang progresif
e. Kebocoran usus
f. Trauma abdomen mayor
g. Sepsis abdomen yang kasar
h. Retro peritoneal hematom.
i. Kehilangan jaringan pada dinding perut.

Anda mungkin juga menyukai