Anda di halaman 1dari 24

BAB I

Laporan Kasus

I. Identitas Pasien
Nama : An. R
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 22 bulan
Tanggal lahir : 23 juli 2012
Agama : Islam
Alamat : Jl. Saco Gang taman sari II, Ragunan Pasar Minggu
Tanggal masuk rumah sakit : 20 mei 2014
No. rekam medis : RSUS.0000532456

II. Anamnesa
Keluhan utama
Kejang 2 x sejak pagi

Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke poliklinik saraf dengan keluhan kejang 2X sejak pagi.
Kejang pertama terjadi pada saat pasien sedang dilakukan EEG, saat itu pasien
sedang tidur, tiba-tiba kejang selama 5 detik, kejang terjadi pada seluruh badan
pasien, dengan tangan tegak lurus ke bawah, lalu kejang berhenti sendiri. setelah
kejang selesai, pasien kembali sadar dalam 5 menit. Kejang kedua terjadi saat
pasien sedang dibawa ke poliklinik anak, dimana saat itu pasien sedang
digendong oleh ayahnya. Bentuk kejang yang dialami pasien sama seperti kejang
yang pertama, berlangsung selama 10 detik, dan kembali sadar dalam 10 menit.
Demam disangkal.
Sebelumnya pasien sudah sering mengalami kejang, di mana awalnya
pasien mengalami kejang pertama kali pada usia 20 bulan (2 bulan lalu) sebanyak
2 kali, yang terjadi saat pasien demam. Kejang berikutnya terjadi pada 1 minggu
yang lalu, dimana pasien mengalami kejang demam sebanyak 5x dalam sehari,
kemudian saat di rawat di RSMC pasien kejang lagi 1x. setelah keluar dari RS,
pasien mengalami kejang di rumah selama 4 hari, serangan kejang terjadi 2-3x
dalam sehari, demam disangkal, kejang sering terjadi saat pasien bangun tidur,
lalu pasien terdiam selama 5 menit, kemudian terjadi kejang. Saat kejang di

Page 1
rumah, ibu pasien tidak memberikan obat, karena setiap kali kejang hanya
berlangsung 5-10 detik, dan berhenti dengan sendirinya. Dari setiap kejang yang
terjadi, pasien dapat kembali sadar dan berespon dalam waktu < 5 menit.
Riwayat trauma kepala, mual dan muntah disangkal.

Riwayat penyakit dahulu


Pasien dirawat di RSMC 1 minggu yang lalu karena kejang demam kompleks,
sebelumnya pasien juga pernah mengalami kejang demam pada usia 20 bulan dan
dirawat juga di RSMC. Riwayat alergi, asma, kelainan jantung, disangkal.
Pasien sering sakit-sakitan sejak lahir, tidak pernah menderita penyakit lain selain
batuk pilek dan diare.

Riwayat penyakit keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat epilepsi. Kakak kedua pasien
pernah mengalami kejang demam sebanyak 2x saat usia 3 tahun. Riwayat darah
tinggi, diabetes, ataupun asma disangkal.

Riwayat sosial, ekonomi, dan lingkungan


Pasien merupakan anak ke 3 dari 3 bersaudara. Ayah pasien bekerja sebagai
karyawan di kantor, sedangkan ibu pasien tidak bekerja. Kondisi ekonomi
menengah ke bawah.

Riwayat lahir
Pasien dilahirkan cukup bulan secara sesar, karena letak sungsang. Tidak ada
penyulit saat kehamilan. Tidak ada kelainan yang ditemukan saat pasien lahir.

Riwayat tumbuh kembang


Imunisasi lengkap. Duduk saat usia 9 bulan, Jalan saat usia 1 tahun 7 bulan,
pasien saat ini berbicara 2-3 kata.

III. Pemeriksaan Fisik :


Keadaan umum : sakit ringan
Kesadaran : compos mentis (E4 M6 V5)
Tanda vital
o Tekanan darah : 120/80 mmHg
o Nadi : 78 x/menit
o Laju nafas : 12 x/menit
o Suhu : 36,4oC
Status generalis

Page 2
Normosefal, tak tampak ada lesi, rambut hitam tak mudah
Kepala
dicabut.
Sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis, lensa tidak
Mata
keruh.
Bentuk normal, tak tampak ada sekret dari hidung maupun
THT
telinga, tonsil T1/T1, faring tidak hiperemis.
Leher Tidak ditemukan pembesaran KGB, letak trakea ditengah
Toraks Tampak simetris, tidak tampak ada retraksi
Inspeksi: pulsasi iktus kordis tidak tampak di sela iga 4
linea mid clavicula sinistra.
Palpasi: iktus kordis teraba di sela iga 4 linea mid clavicula
sinistra.
Jantung Perkusi: batas jantung kanan pada sela iga 3 parasternal
kanan. Batas jantung kiri di sela iga 4 linea mid clavicula
sinistra. Batas jantung atas di sela iga 3 linea parasternal
sinistra.
Auskultasi: S1S2 regular, murmur (-), gallop (-), aritmia (-)
Inspeksi: simetris, tidak tampak retraksi interkosta.
Palpasi: taktil fremitus simetris.
Paru Perkusi: sonor pada kedua lapang paru.
Auskultasi: suara nafas vesikular, ronki -/-, wheezing -/-,
stridor -/-
Inspeksi: datar, tak tampak lesi.
Palpasi: supel, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tak
Abdomen teraba
Perkusi: timpani pada seluruh lapang abdomen
Auskultasi: bisung usus 12/menit
Akral hangat, edema tidak ada, tidak tampak sianosis, capillary
Ekstremitas
refill time < 2 detik.

SPemeriksaan neurologis
o Tanda rangsang meningeal: (-)
Kaku kuduk : (-)
Lassegue : > 70o / > 70o

Page 3
Kernig : > 135o / > 135o
Brudzinski I : (-)
Brudzinski 2 : (-)

o Pemeriksaan Saraf Kranial


I Tidak dilakukan
Visus: tidak diperiksa
II Lapang pandang: Normal
Warna: tidak diperiksa
Pupil: refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak
III, IV,
langsung +/+,nistagmus tidak ada
VI
Gerak bola mata: baik ke segala arah
Motorik: baik
V Sensorik: V-1, V-2, V-3: +/+
Refleks kornea: +/+
Angkat alis, kerut dahi: tidak dilakukan
Tutup mata : baik, simetris
VII Kembung pipi: tidak dilakukan
Menyeringai: baik
Rasa 2/3 anterior lidah: tidak dilakukan
Suara bisikan: tidak dilakukan
Gesekan jari:tidak dilakukan
Rinne, Webber, Schwabach: tidak dilakukan
VIII
Nistagmus: tidak ada
Berdiri dengan mata terbuka: tidak dilakukan
Berdiri dengan mata tertutup: tidak dilakukan
Arkus faring: simetris
Uvula: terletak di tengah. Simetris
IX, X
Disfonia: tidak ada
Disfagia: tidak ada
Menoleh kanan-kiri: dapat melawan tahanan
XI
Angkat bahu: dapat melawan tahanan
Lidah di dalam mulut: tidak ada deviasi, fasikulasi, atrofi,
XII maupun tremor
Menjulurkan lidah: tidak dilakukan

o Pemeriksaan motorik
Ekstremitas atas
Tidak ditemukan atrofi, fasikulasi
Normotonus dekstra/ Normotonus sinistra
Kekuatan:

Tangan kanan: 5

Page 4
Tangan kiri : 5

Ekstremitas bawah
Tidak ditemukan atrofi, fasikulasi
Normotonus dekstra/ Normotonus sinistra
Kekuatan:
Kaki kanan: 5
Kaki kiri : 5

o Pemeriksaan sensorik : tidak dilakukan


o Refleks fisiologis
Bisep : +/+
Trisep : +/+
Brachioradialis : +/+
Patella : +/+
Achilles : +/+
o Refleks patologis
Babinski : -/-
Chaddok : -/-
Oppenheim : -/-
Gordon : -/-
Schaffer : -/-
Hoffman trommer : -/-
o Koordinasi
Tes tunjuk hidung : Tidak dilakukan
Tes tumit lutut : Tidak dilakukan
o Fungsi otonom
Miksi : normal
Defekasi : normal
Sekresi keringat : normal
IV. Pemeriksaan Penunjang
EEG

Page 5
Kesan : EEG abnormal dengan general seizure.

V. Resume
Pasien anak laki-laki usia 22 bulan datang dengan keluhan kejang 2 kali sejak
pagi, dimana kejang pertama merupakan generalized seizure yang terjadi saat pasien
sedang tidur waktu dilakukan EEG yang berlangsung selama 5 detik dan kemudian
berhenti sendiri, lalu pasien kembali sadar dan berespon dalam 5 menit. Kejang kedua
berupa general seizure yang terjadi saat pasien sedang digendong ayahnya, terjadi
selama 10 detik, dan pasien kembali sadar dan berespon dalam 10 menit. Demam
disangkal. Pasien memiliki riwayat kejang demam, dimana pada usia 20 bulan pasien
kejang 2x, dan 1 minggu yang lalu pasien dirawat inap karena kejang sebanyak 6x.
setelah keluar dari RS, pasien mengalami kejang tanpa demam di rumah selama 4 hari,
dimana serangan terjadi 2-3x dalam sehari. Biasanya kejang terjadi saat pasien bangun
tidur dan terdiam selama 5 menit. Demam bersifat general, terjadi 5-10 detik, dan
berhenti sendiri. Setiap kali kejang pasien kembali sadar dan berespon dalam waktu < 5
menit. Riwayat trauma kepala, mual dan muntah disangkal.
Tidak ada riwayat epilepsy di keluarga pasien. Pasien lahir cukup bulan, tidak
ditemukan kelainan saat pasien lahir.
Dari pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis,
tidak ditemukan adanya kelainan pada pemeriksaan generalis dan pemeriksaan
neurologis.

Page 6
Tidak ditemukan adanya kelainan pada pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
neurologis. Pada EEG saat pasien kejang ditemukan kesan EEG abnormal dengan
general seizure.

Page 7
VI. Follow Up
21/5/2014 22/5/2014 23/5/2014
S : pasien tidak kejang lagi, S : keluhan (-) S: pasien kejang 5x kemarin, sore 2x
keluhan (-) . dan malam 3x, masing-masing
berdurasi 10 detik. Pagi ini pasien
kejang 1x selama 5 detik.
O: O: O:
KU/KS : SS/CM KU/KS : SS/CM KU/KS : SS/CM
TD: 110/80 mmHg TD: 120/80 mmHg TD: 110/70 mmHg
N: 100x/mnt N: 98x/mnt N: 110x/mnt
RR: 24x/mnt RR: 20x/mnt RR: 24x/mnt
S: 36,2oC S: 36,4oC S: 36,2oC
Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
pemeriksaan neurologis kesan neurologis kesan normal. neurologis kesan normal.
Penunjang:
normal.
Hb: 10,5 gr/dl
Penunjang:
Ht: 33%
Hb: 10 gr/dl
Leukosit: 8.700/ul
Ht: 29%
Trombosit : 413.000/ul
Leukosit: 11.000/ul
GDS: 77 mg/dl
Trombosit : 565.000/ul
Natrium : 136,3 (136-146)mmol/L
GDS: 79 mg/dl
Kalium:3,80 (3,5-5,1)mmol/L
SGOT: 34u/l
Chloride: 98,2(98-106)mmol/L
SGPT:10u/l
A: Epilepsi A: Epilepsi A: epilepsy
P: P: P:
IVFD RL 30 tpm (mikro) IVFD RL 30 tpm (mikro) IVFD RL 30 tpm (mikro)
Inj. Fenitoin 2x30mg Depakene syr 2x2cc Inj. Fenitoin 2x30mg
Depakene syr 2x2cc Stesolid 10 mg (sup extra) k/p Depakene syr 2x3cc
Stesolid 10 mg (sup extra) As.folat 1x1 tab
k/p Stesolid 10 mg (sup extra) k/p

24/5/2014 25/5/2014
S: kejang (-) S: kejang (-)
O: O:
KU/KS : SS/CM KU/KS : SS/CM
TD: 120/80 mmHg TD: 120/80 mmHg
N: 98x/mnt N: 98x/mnt
RR: 20x/mnt RR: 20x/mnt
S: 36,4oC S: 36,4oC
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologis Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologis

Page 8
kesan normal. kesan normal.
A: Epilepsi A: epilepsy
P: P:
IVFD RL 30 tpm (mikro) Fenitoin 2x30mg (PO)
Inj. Fenitoin 2x30mg Depakene syr 2x3cc
Depakene syr 2x3cc As.folat 1x1 tab
As.folat 1x1 tab Stesolid 10 mg (sup extra) k/p
Stesolid 10 mg (sup extra) k/p

VII. Diagnosis
Diagnosis kerja : epilepsy
Diagnosis banding : sindrom lenox gestaut
VIII. Tatalaksana
Non medikamentosa
Penjelasan mengenai penyakit yang diderita pasien kepada orang tua serta
bagaimana pengobatannya
Keluarga diminta untuk lebih memperhatikan pasien, untuk mengetahui tanda-
tanda awal kejang (aura), pencetus, dan mengetahui bentuk dan durasi kejang
Edukasi mengenai tindakan yang benar dan aman jika pasien
kejang
Sigap untuk membawa pasien ke rumah sakit jika kejang tidak berhenti dengan
pemberian diazepam rektal, kejang yang berulang dalam sehari atau kejang yang
tidak berhenti selama 15 menit.
Medikamentosa
IVFD RL 30 tpm (mikro)
Inj. Fenitoin 2x30mg
Depakene syr 2x2cc
Stesolid 10 mg (sup extra) k/p

IX. Saran Pemeriksaan Penunjang


1. DR untuk mengetahui status hematologi pasien dan jika pasien
mengalami infeksi.
2. Kadar Na, K dan Cl untuk melihat apakah adanya imbalans elektrolit
3. Cek SGOT/SGPT untuk melihat fungsi hati dan pemberian obat-
obatan.
4. Cek Ureum, Creatinine untuk melihat fungsi ginjal. Hal ini
dibutuhkan untuk pemilihan obat yang tepat dan dosis yang harus
diperhatikan.

Page 9
5. EEG untuk mengetahui letak epileptik fokus pada pasien. (Pada EEG
pertama, sekitar 29%-38% pasien dengan epilepsi menunjukkan
gelombang abnormal.9 Maka dapat disarankan untuk EEG berulang
atau pada saat pasien sedang kekurangan tidur/lelah.)
6. MRI untuk mengetahui letak dari lesi struktural paska trauma jika
ada. MRI juga dapat melihat jika terdapat AVM (Arterio-Venous
Malformation), displasia kortikal ataupun tumor kecil. (21%-37%
pasien penderita epilepsi menunjukkan adanya lesi struktural9)

X. Saran Tatalaksana
Tatalaksana medikamentosa untuk penderita epilepsi adalah
mengontrol bangkitan kejang agar tidak berulang dengan konsumsi
obat-obatan anti kejang selama 2 tahun. Terapi non-medikamentosa
meliputi edukasi kepada keluarga pasien yang ditujukan untuk
mempersiapkan tindakan yang harus dilakukan jika mendapati pasien
kejang dan mengetahui tanda-tanda jika pasien harus segera ditangani
di rumah sakit.
Medikamentosa 1
o Obat anti kejang
Carbamazepine: dosis 325mg/hari (PO). Dicoba
dengan obat tunggal anti-kejang. Evaluasi --.
Asam Valproat: dosis
Non-medikamentosa
o Edukasi mengenai tindakan yang benar dan aman jika
pasien kejang
o Perubahan pola hidup agar pasien factor pencetus kejang
seperti kelelahan dapat dihindari
o Sigap untuk membawa pasien ke rumah sakit jika kejang
tidak berhenti dengan pemberian diazepam rektal, kejang
yang berulang dalam sehari atau kejang yang tidak
berhenti selama 15 menit.

XI. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad fungtionam : dubia

Page 10
Ad sanationam : dubia

BAB II
Tinjauan Pustaka
I. Definisi
Epilepsymerupakansuatukeadaanyangditandaiolehadanyabangkitan
(seizure) yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya
gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas
muatan listrik abnormal dan berlebihan pada neuronneuron secara
paroksismalyangdisebabkanolehbeberapaetiologi.
Bangkitanepilepsi (epilepticseizure)merupakanmanifestasiklinikdari
bangkitan serupa (stereotipik) yang berlangsung secara mendadak dan
sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh
hiperaktivitaslistriksekelompokselsarafdiotak,bukandisebabkanoleh
suatupenyakitotakakut(unprovoked).

II. Klasifikasi
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi
diklasifikasikanmenjadi:
1.BangkitanParsial
Bangkitanparsialdiklasifikasikanmenjadi3yakni,

A.ParsialSederhana(kesadarantetapbaik)

1.Dengangejalamotorik

2.Dengangejalasomatosensorikatausensorikkhusus

3.Dengangejalaautonom

4.Dengangejalapsikis

B.ParsialKompleks(kesadaranmenurun)

Page 11
1.Berasalsebagaiparsialsederhanadanberekambangmenjadi
penurunankesadaran

2.Denganpenurunankesadaransejakawaitan

C.Parsialyangmenjadiumumsekunder

1.Parsialsederhanayangmenajdiumumtonikkonik

2.Parsialkompleksmenjadiumumtonikklonik

3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi


umumtonikkonik

2.BangkitanUmum

A.Absence/lena/petitmal

Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak


(absence)dalambeberapadetik(sekitar510detik)dimanamotorik
terhentidanpenderitadiamtanpareaksi.Seraganinibiasanyatimbul
padaanakanakyangberusiaantara4sampai8tahun.Padawaktu
kesadaranhilang,tonusototskeletaltidakhilangsehinggapenderita
tidakjatuh.Saatseranganmatapenderitaakanmemandangjauhke
depanataumataberputarkeatasdantanganmelepaskanbendayang
sedangdipegangnya.Pascaserangan,penderitaakansadarkembali
dan biasanya lupa akan peristiwa yang baru dialaminya. Pada
pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran yang khas yakni
spikewaveyangberfrekuensi3siklusperdetikyangbangkitsecara
menyeluruh.

B.Klonik

Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan

Page 12
pemulaanfokaldanmultifokalyangberpindahpindah.Kejangklonik
fokalberlangsung13detik,terlokalisasi,tidakdisertaigangguan
kesadarandanbiasanyatidakdiikutiolehfasetonik.Bentukkejang
inidapatdisebabkanolehkontusiocerebriakibattraumafokalpada
bayibesardancukupbulanatauolehensepalopatimetabolik.

C.Tonik

Berupapergerakantoniksatuekstrimitasataupergerakantonikumum
denganekstensilengandantungkaiyangmenyerupaideserebrasiatau
ekstensitungkaidanfleksilenganbawahdenganbentukdekortikasi.

D.Tonikklonik/Grandmal

Secara tibatiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan,


pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh.
Setelahitumunculgerakankejangtonikklonik(gerakantonikyag
disertaidenganrelaksaki).Padasaatserangan,penderitatidaksadar,
bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai
mengompol.Pascaserangan,penderitaakansadarsecaraperlahandan
merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur
setelahnya.

E.Mioklonik

Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar


sekelompok otot skelet yang muncul secara tibatiba dan biasanya
hanya berlangsung sejenak. Gambaran klinis yang terlihat adalah
gerakanekstensidanfleksilenganataukeempatanggotagerakyang
berulangdanterjadinyacepat.

F.Atonik

Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan


kekuatanototdanterjatuhsecaratibatiba.

Page 13
III. Etiologi
1. Kelainan yang terjadi selama kehamilan/perkembangan janin
contohnyaibumengkonsumsiobatobatantertentuyangdapatmerusak
otak janin, minumminuman alkhohol atau mendapatkan terapi
penyinaran.

2.Kelainanyangterjadisaatkelahiran(bayibarulahir):

Brainmalvormation

Gangguanoksigenasisebelumlahir(HipoksiaAsfiksia)

Gangguanelektrolit

Gangguanmetabolismejanin

Infeksi

3.Saatusiabayianakanak

demam(kejangdemam)

tumorotak(jarang)

infeksi

4.Saatusiaanakdewasa

Kelainankongenitalsepetisindromdown,neurofibromatosis,dll.

Faktor genetik dimana bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi
idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya epilepsi, sedangkan bila
kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi
menjadi20%30%.

Page 14
Penyakitotakyangberjalansecaraprogresifsepertitumorotak(jarang)

Traumakepala

5.Saatusiatua/lanjut

Stroke

PenyakitAlzeimer

Trauma
IV. Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari
pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening,
dan menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion
di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion
menerobos membran neuron.
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
2+
inaktivasi konduksi Ca secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection),
yang memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan
menyebarkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang
bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang.
Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu
aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut
respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan
potensial aksi secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini
kemudian mengajak neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara
klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah

Page 15
besar neuron abnormal muncul secara bersama- sama, membentuk suatu badai
aktivitas listrik di dalam otak.

Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan
demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan
konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari
Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong

ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya
28
dengan ion kalsium.

Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang
tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
11,29
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin )
kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )

berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.


Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA ( gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang
menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA
dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post
synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis
mengatakan bahwa aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau kurangnya
inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada
otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang
disangka semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu
komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah
11
rangsangan.
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar
atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok
neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara
teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal
( GABA ) sehingga terjadi

pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan


11
neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan.

Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan


keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer,
kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut

Page 16
dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi
neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang
30
memadai.

Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di
hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan
eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya
menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak
penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus
asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan
30
tempat asal epilepsi dapatan.

Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek
traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek
ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada
neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau
lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi,
gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan
epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi,
dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan
petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun

demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme


27
yang sama.

V. Diagnosa
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat
33
serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa
hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan
perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi
gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,
33
malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.
Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:
o Pola / bentuk serangan
o Lama serangan
o Gejala sebelum, selama dan paska serangan
o Frekwensi serangan
o Faktor pencetus

Page 17
o Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
o Usia saat serangan terjadinya pertama
o Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
o Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
o Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada
anak- anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal
gangguan pertumbuhan otak unilateral.34

3. Pemeriksaan penunjang
A. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
4
abnormal.

o Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.
o Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
o Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal.
Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya
spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit
mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd),
epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam /
lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
B. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat
35
diperlukan pada persiapan operasi.

Page 18
C. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka
MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat
untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.

VI. Tatalaksana
Dalam farmakoterapi, terdapat prinsipprinsip penatalaksanaan untuk
epilepsiyakni,

1.Obatantiepilepsi(OAE)mulaidiberikanapabiladiagnosisepilepsi
sudah dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun.
Selainitupasiendankeluarganyaharusterlebihdahuludiberipenjelasan
mengenaitujuanpengobatandanefeksampingdaripengobatantersebut.

2.Terapidimulaidenganmonoterapi

3.Pemberianobatdimulaidaridosisrendahdandinaikansecarabertahap
samapaidengandosisefektiftercapaiatautimbulefeksampingobat.

4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat


mengontrolbangkitan,makaditambahkanOAEkeduadimanabilasudah
mencapaidosisterapi,makaOAEpertamadosisnyaditurunkansecara
perlahan.

5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti


bangkitantidakterkontorldenganpemberianOAEpertamadankedua.

Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat


dihentikan tanpa kekambuhan. Pada anakanak dengan epilepsi,
pengehntiansebaiknyadilakukansecarabertahapsetelah2tahunbebas
dari bangkitan kejang. Sedangkan pada orang dewasa penghentian
membutuhkanwaktulebihlamayaknisekitar5tahun.Ada2syaratyang
pentingdiperhatikaketikahendakmenghentikanOAEyakni,

1.Syaratumumyangmeliputi:

Page 19
Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan
pasien/keluarga dimana penderita sekurangkurangnya 2 tahun bebas
bangkitan.

GambaranEEGnormal

Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula


setiapbulandalamjangkawaktu36bulan.

Bilapenderitamenggunakan1lebihOAEmakapenghentiandimulai
dari1OAEyangbukanutama.

2.KemungkinkankekambuhansetelahpenghentianOAE

Usiasemakintua,semakintinggikemungkinankekambuhannya.

Epilepsisimtomatik

GambaranEEGabnormal

Semakinlamanyabangkitanbelumdapatdikendalikan.

PenggunaanOAElebihdari1

Masihmendaptkansatuataulebihbangkitansetelahmemulaiterapi

Mendapatterapi10tahunataulebih.

Kekambuhanakansemaiknkecilkemungkinanyabilapenderitatelah
bebasbangkitanselama35tahunataulebihdari5tahun.Bilabangkitan
timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir,
kemudianevaluasi.

Page 20
BAB III
Analisa Kasus
Keluhan pasien ketika datang ke poliklinik saraf adalah frekuensi
kejang yang meningkat dalam 4 hari SMRS. Pasien juga mengaku bahwa
kejang tersebut mulai muncul 2 bulan setelah insiden jatuh dan kepala
terbentur. Sebelumnya, pasien tidak pernah mengalami kejang. Hal tersebut
sesuai dengan definisi dari PosIt Traumatic Epilepsy (PTE) , yaitu kejang yang
terjadi setidaknya satu minggu setelah onset cedera kepala, dan kejang
berulang yang didasari oleh kerusakan otak yang akibat trauma fisik pada
kepala .4

Epilepsi paska trauma merupakan 5% dari penyebab semua kasus


4
epilepsi dan lebih dari 20% kasus epilepsi simtomatik. Kejadian epilepsi
paska trauma (EPT) sangat ditentukan oleh tingkat keparahan dan jenis
cedera otak misalnya luka tembus dan yang melibatkan pendarahan dalam
otak dan permulaan dari epilepsi biasanya timbul dalam beberapa minggu
4
sampai bulan setelah kecelakaan. Dalam kasus ini, Nn. N termasuk dalam
penderita epilepsi paska trauma karena kejang berulang yang dialaminya
terjadi 2 bulan setelah insiden trauma dan kejang tersebut menetap dari
tahun 2009 hingga saat ini.

Berdasarkan anamnesis ditemukan kejadian kejang biasanya diawali


dengan Nn. N merasa rasa lemas pada seluruh badannya terdahulu. Pada
saat kejang, keluarganya menyatakan bahwa seluruh tubuhnya kaku selama
5 menit dengan bibir/lidah yang tergigit. Setelah kejang, Nn. N
membutuhkan sekitar 5 menit untuk menyadari apa yang telah terjadi. Hal-
hal tersebut sesuai klasifikasi dari kejang umum klonik yang diawali dengan
aura (perasaan lemas) sebelum masuk kepada fase iktal yaitu kejang tonik
selama 5 menit dan diakhiri oleh fase post-iktal yang menganggu kesadaran
pasien sepintas.

Page 21
Meskipun hasil EEG memberikan kesan gelombang listrik otak yang
normal dan gambaran MRI tidak dapat diperoleh karena keterbatasan biaya,
anamnesis dari pasien sudah cukup untuk menegakkan diagnosa Nn. N.
Frekuensi kejang yang berulang , tipe dari kejang yaitu kejang umum klonik
yang diderita oleh Nn.N berikut dengan riwayat trauma yang mendahului
riwayat kejang tersebut membuat diagnosa Epilepsi Paska Trauma pada Nn.
N lebih tepat dibandingkan dengan penyakit infeksi ataupun tumor.
Oleh sebab itu, Nn. N perlu mengkonsumsi obat-obatan anti kejang
seperti carbamazepine selama 2 tahun. Jika Ia tidak mengalami bangkitan
kejang dalam waktu tersebut, maka obat tersebut dapat diberhentikan
secara perlahan dengan cara ----.1
Salah satu aspek penting dalam kasus epilepsi pada pasien wanita usia
produktif adalah masalah kesuburan dan kehamilan. Konsumsi obat anti
kejang menginduksi enzim hati yang selanjutnya dapat menurunkan
5
efektivitas kerja dari hormon kontrasepsi. Oleh sebab itu, wanita yang
mengkonsumsi obat-obatan anti epilepsi harus diberikan edukasi mengenai
pencegahan kehamilan dengan metode lain selain dengan pil kontrasepsi.
Jika memungkinkan, pemilihan obat anti-epilepsi juga dapat disesuaikan
sehingga obat tersebut tidak berhubungan dengan peningkatan kerja enzim
di hati yang dapat menganggu kerja pil kontrasepsi. Berikut adalah daftar
6
obat-obat tersebut:

Wanita dengan epilepsi sangat dianjurkan untuk menunda


kehamilannya sampai bangkitan kejang tersebut tidak pernah muncul lagi

Page 22
dalam jangka waktu 2 tahun karena beberapa faktor resiko. Konsumsi obat
anti-epilepsi terbukti terkait dengan malformasi dan gangguan
perkembangan janin, seperti cacat tabung saraf, malformasi orofacial,
7, 8
kelainan jantung bawaan dan hipospadias. Namun, jika pasien tidak
mengkonsumsi obat anti-epilepsi secara teratur, maka kejang pada
kehamilan sendiri dapat menyebabkan hipoksia pada janin dan resiko berat
bayi lahir rendah.
Maka, pada kasus ini saya akan menyarankan kepada Nn. N untuk
menunda kehamilan selama 2 tahun berikut dengan kontrol rutin (1 bulan
sekali) untuk pemantauan efektivitas obat anti-epilepsi yang diberikan.

Page 23
BAB IV
Referensi
1. PERDOSSI. Pedoman Penatalaksanaan Kejang dan Epilepsi.
Perhimpunan Dokter Saraf 2007.
2. S. William, WM. Chelsea, SE Joseph. Adult onset epilepsies, DW
Chadwick. From Cell to Community-A practical guide to epilepsy.
National Society for Epilepsy. 2007. pp 127-132.
3. GJ Tucker. Textbook Of Traumatic Brain Injury: Seizures. American
Psychiatric Publication. 2005. pp. 309321
4. J Mani,E Barry. Posttraumatic epilepsy: The Treatment of Epilepsy:
Principles and Practice. Hagerstown, MD: Lippincott Williams &
Wilkins. 2006. pp. 521524
5. Coulam CB, Annegers JF. Do anticonvulsants reduce the efficacy of
the oral contraceptive? Epilepsia. 1979;20:519-25.
6. Shorvon SD, Tallis RC, Wallace HK. Antiepileptic drugs:
coprescription of proconvulsant drugs and oral contraceptives: a
national study of antiepileptic drug prescribing practice. Journal of
Neurology, Neurosurgery and Psychiatry. 2002;72:114-5.
7. Samren EB, van Duijn CM, Koch S, Hiilesmaa VK, Klepel H, Bardy AH,
et al. Maternal use of antiepileptic drugs and the risk of major
congenital malformations: a joint european prospective study of
human teratogenesis associated with maternal epilepsy. Epilepsia.
1997;38:981-90.
8. Kaneko S, Battino D, Andermann E, Wada K, Kan R, Takeda A, et al.
Congenital malformations due to antiepileptic drugs. Epilepsy
Research. 1999;33:145-58.
9. Scottish Intercollegiates Guidelines Network. Diagnosis and
Management of Epilepsies in Adults. April 2003. Retrieved 18 April
2013.

Page 24

Anda mungkin juga menyukai