Anda di halaman 1dari 48

MAKALAH

KEPERAWATAN MUSKULOSKELETAL
ASUHAN KEPERAWATAN
FRAKTUR TERTUTUP DAN FRAKTUR TERBUKA

disusun oleh :
Mohammad Hayat Sadan 131411123011
Fadillah Ramadhani 131411123028
Buyung Tegar Aribowo 131411123041
Sri Ulis 131411123057
Tutik Malichah 131411123061
Wahyu Nofitasari 131411123073
Yanuar Aga Nugraha 131411123077

Kelompok 6 / Kelas B17 A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2015

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fraktur didefinisikan sebagai terpatahnya kontinuitas tulang yang
diakibatkan oleh trauma langsung atau tidak langsung. Fraktur terjadi jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2002).
Ketika patah tulang, akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum
tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut adalah terjadi perdarahan,
kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Adapun permasalahan yang timbul dari
kondisi seperti ini adalah adanya nyeri, terjadinya bengkak, keterbatasan gerak,
dan adanya gangguan kemampuan fungsional seperti berdiri dan berjalan.
Angka kejadian fraktur di Indonesia sebesar 1,3 juta setiap tahunya
dengan jumlah penduduk 238 juta jiwa, merupakan terbesar di Asia Tenggara
(Wrongdiagnosis, 2011). Kejadian fraktur di Indonesia yang dilaporkan Depkes
RI (2007) menunjukkan bahwa sekitar delapan juta orang mengalami fraktur
dengan jenis fraktur yang berbeda. Hasil tim survey Depkes RI (2007) didapatkan
25% penderita fraktur mengalami kematian. 45% mengalami cacat fisik. 15%
mengalami stres psikologis dan bahkan depresi, serta 10% mengalami
kesembuhan dengan baik.
Modalitas yang digunakan diantaranya breathing exercise, passive
exercise, active exercise, static contraction, streching dengan hold rileks.
Modalitas tersebut diharapkan dapat mengurangi permasalahan kapasitas fisik
yang ditimbulkan serta dapat meningkatkan kemampuan fungsional. Hasil dari
penatalaksanaan ini adalah 1) berkurangnya permasalahan kapasitas fisik dan
meningkatnya kemampuan fungsional, 2) berkurangnya nyeri, 3) berkurangnya
bengkak, 4) meningkatnya kekuatan otot, 5) peningkatan lingkup gerak sendi.
Berdasarkan masalah di atas, peran perawat dalam menangani pasien
dengan kasus fraktur femur adalah mencegah cedera tulang/jaringan lebih lanjut,
menghilangkan nyeri, mencegah komplikasi, memberikan informasi tentang
kondisi atau prognosis dan kebutuhan pengobatan.

1.2 Rumusan Masalah

1
Bagaimanakah konsep asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur
tertutup dan fraktur terbuka?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Menjelaskan konsep asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur
tertutup dan fraktur terbuka
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi konsep dasar fraktur
2. Mengidentifikasi konsep dasar asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur
yang meliputi anamnesa, diagnosa keperawatan, dan intervensi keperawatan

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Menambah wawasan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang
keperawatan medikal bedah khususnya fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
1.4.2 Manfaat Praktis
Bagi profesi keperawatan untuk lebih optimal dalam melaksanakan
asuhan keperawatan kepada klien dengan fraktur terbuka maupun fraktur tertutup.

BAB 2

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Fraktur merupakan diskontinuitas dari jaringan tulang (patah tulang)


yang biasanya disebabkan oleh adanya kekerasan yang timbul secara mendadak
(Bloch, 1978). Fraktur adalah terputusnya integritas tulang dan tulang rawan yang
hidup, yang meliputi kerusakan sumsum tulang, periosteum dan jaringan lunak
disekitarnya, yang umumnya disebabkan trauma langsung maupun tidak langsung
(Cross & Swiontkowski, 2008).
2.2 Etiologi

Beberapa penyebab dari fraktur antara lain (Oswari E, 1993) :


1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang
paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan
penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan
2.3 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis pada fraktur antara lain :


1. Nyeri terus menerus dan bertambahnya beratnya sampai fragmen tulang
diimoilisasi. Spasme otot yang dirancang untuk meminimalkan gerakan
antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alami (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid
seperti normalnya. Pergeresan fragmen pada fraktur lengan atau tungkai

3
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa
diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas
tak dapat berfungsi dengn baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melengketnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5cm (1-2inci).
4. Saat ektremitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya (uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat).
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
2.4 Klasifikasi Klinis

Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang


praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
1. Berdasarkan sifat fraktur (Reksoprodjo, 1995)
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.
2. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur (Ignatavicius, 1995)
a. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang.
b. Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
1) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
2) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.

4
3) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma (Oswari, 1993)
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
4. Berdasarkan jumlah garis patah (Black J. M., 1995)
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
5. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang (Apley, 1993)
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a. Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping).
b. Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c. Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
c. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.

5
d. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang.

Gambar 2.1 Klasifikasi


Klinis Fraktur

2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur


1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan
untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas,
kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang (Ignatavicius, Donna D,
1995)
2.6 Stadium penyembuhan tulang

6
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh
aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1 Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar
daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi
tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan
fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 48 jam dan perdarahan
berhenti sama sekali.
2 Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel
menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum, endosteum,dan
bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami
proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan
disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis.
Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan
kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam
setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3 Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik
dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi
oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan
mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan
tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
(anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat
fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.

4 Stadium Empat-Konsolidasi

7
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman
tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan
memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis
fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang
tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses
yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat
untuk membawa beban yang normal.
5 Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang
padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini
dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang
terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat
yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki
dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur
yang mirip dengan normalnya. (Black, J.M, et al, 1993 dan Apley,
A.Graham,1993)

Gambar 2.2 Stadium penyembuhan tulang

2.7 Komplikasi Fraktur

8
2.7.1 Komplikasi Awal
1. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan
dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
2. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan
parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot,
saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips
dan pembebatan yang terlalu kuat.
3. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang
sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
4. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkmans Ischemia.

6. Shock

9
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
2.7.2 Komplikasi Dalam Waktu Lama
1. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan
karena penurunan supai darah ke tulang.
2. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan.
Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi
fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga
disebabkan karena aliran darah yang kurang.
3. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
(Black, J.M, et al, 1993)

2.8 Patofisiologi
Fraktur pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau gangguan
gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolic, patologik.
Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun tertutup.
Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka volume darah
menurun. COP menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan
mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edem lokal maka penumpukan di
dalam tubuh.
Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat
menimbulkan ganggguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan
dapat terjadi revral vaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas
fisik terganggau. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak

10
yang kemungkinan dapat terjadi infeksi dan kerusakan jaringan lunak akan
mengakibatkan kerusakan integritas kulit. Selain itu dapat mengenai tulang
sehingga akan terjadi neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri gerak sehingga
mobilitas fisik terganggu, disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan
lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar
(Price, 2003).

2.9 Fraktur Terbuka

2.9.1 Definisi

Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan


dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri
sehingga timbul komplikasi berupa infeksi (Cross & Swiontkowski 2008). Fraktur
terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang
terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. Selain mencegah infeksi juga
diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak.
Beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur
terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debridement
yang berulang-ulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang
dini serta pemberian antibiotic yang adekuat (Cross & Swiontkowski 2008,
Peitzman 2008, Nayagam 2008).

Gambar 2.3 Fraktur Terbuka

11
2.9.2 Etiologi

Etiologi fraktur terbuka adalah trauma langsung, benturan langsung pada


tulang dan mengakibatkan fraktur pada tempat itu, dan trauma tidak langsung
bilamana titik tumpul berbenturan dengan terjadinya fraktur berjauhan (Cross &
Swiontkowski 2008).
Sedangkan hubungan dengan dunia luar dapat terjadi karena rudapaksa
merusak kulit, jaringan lunak dan tulang, atau fragmen tulang merusak jaringan
lunak dan menembus kulit (Buteera, & Byiamana 2009, Cross & Swiontkowski
2008, Peitzman 2008, nayagam 2010).
2.9.3 Klasifikasi

Klasifikasi yang sampai saat ini masih dianut adalah menurut Gustilo,
Merkow dan Templeman (1990) kulit (Buteera, & Byimana 2009, Cross &
Swiontkowski 2008, Peitzman 2008, Nayagam 2010).
1. Tipe I
Luka kecil kurang dari 1 cm panjangnya, biasanya karena tusukan dari
fragmen tulang yang menembus kulit. Terdapat sedikit kerusakan
jaringan dan tidak terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan
lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat simple, transversal, oblik
pendek atau sedikit komunitif.
2. Tipe II
Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak ada kerusakan jaringan yang
hebat atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dari jaringan
dengan sedikit kontaminasi fraktur.
3. Tipe III
Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak termasuk otot, kulit
dan struktur neurovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Tipe ini
biasanya disebabkan oleh karena trauma dengan kecepatan tinggi.
Tipe III dibagi dalam 3 subtipe :
a. Tipe III A

12
Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah walaupun
terdapat laserasi yang hebat ataupun adanya flap. Fraktur bersifat
segmental atau komunitif yang hebat.
b. Tipe III B
Fraktur disertai dengan trauma yang hebat dengan kerusakan dan
kehilangan jaringan, terdapat pendorongan periosteum, tulang
terbuka, dan memerlukan tindakan tambahan untuk melakukan
penutupan seperti flap, kontaminasi yang hebat serta fraktur
komunitif yang hebat.
c. Tipe III C
Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan arteri yang
memerlukan perbaikan tanpa memperhatikan tingkat kerusakan
jaringan lunak.

Gambar 2.4 Tipe Fraktur

13
2.9.4 Penatalaksanaan
Menurut Nayagam (2010), Secara umum ada 2 tahap penanganan pasien
dengan fraktur terbuka :
1. Penanganan pra rumah sakit
Penanganan pra rumah sakit sangat memegang peranan penting
dalam penanganan pasien dengan trauma yang bukan hanya menderita
fraktur terbuka, tetapi juga dapat disertai dengan trauma lainnya pada
berbagai bagian tubuh. Termasuk dalam kegiatan ini adalah organisasi,
triase, penilaian dan penanganan awal, immobilisasi dan transportasi
(Nayagam, 2010). Pembidaian atau splinting adalah salah satu cara
pertolongan pertama pada cedera/trauma pada system musculoskeletal.
Pembidaian bertujuan untuk mengimmobilisasi ekstremitas yang
mengalami cidera, mengurangi rasa nyeri, dan mencegah kerusakan
jaringan lebih lanjut. Pengetahuan tentang cara pemasangan bidai sangat
penting diketahui oleh perawat untuk dapat memberikan tindakan
pertama pada cedera musculoskeletal sambil menunggu tindakan yang
definitif.
Pada dasarnya terdapat 4 tujuan utama tindakan pembidaian:

a. Mengurangi rasa nyeri


Periosteum sebagai pembungkus tulang merupakan jaringan
dengan ambang nyeri sangat rendah. Sehingga penderita patah
tulang akan merasakan nyeri yang sangat jika kedua fragmen
tulangnya saling bergerak dan bergesekan. Tindakan pembidaian
akan mencegah pergerakan fragmen tulang sehingga akan
mengurangi rasa nyeri.
b. Mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut
Ujung fragmen patah tulang terkadang membentuk bagian runcing
dan tajam. Hal ini akan meningkatkan resiko terjadinya kerusakan
jaringan lunak disekitar patah tulang, terutama jika mencederai
struktur pembuluh darah dan saraf.

14
c. Mencegah pergesekan lebih lanjut.
Fragmen tulang yang mengalami patah tulang akan bergerak
dengan beberapa mekanisme; tarikan gravitasi,
benturan/mekanisme trauma yang terjadi dan tarikan dari otot-otot
yang cedera disekitar lokasi patah tulang. Pasangan bidai dengan
kaidah yang benar akan memberikan fiksasi yang baik terhadap
pergeseran lebih lanjut.

d. Mencegah perdarahan lebih lanjut


Saat terjadi patah tulang secara langsung akan terjadi robekan pada
pembuluh darah pada tulang dan jaringan sekitar. Hal ini akan
mengakibatkan perdarahan di sekitar fragmen tulang. Dengan
mekanisme pembekuan darah akan menghentikan perdarahan yang
terjadi. Namun jika fragmen tetap bergerak akan menyebabkan
thrombus pada ujung pembuluh darah akan lepas dan terjadi
perdarahan lagi.
Saat ini terdapat beberapa bidai yang sering digunakan untuk
mengimmobilisasi ekstremitas yang mengalami cedera.

1. Bidai Kaku (Rigid Splint)


Bidai kaku yang banyak digunakan adalah bidai yang terbuat dari kayu
(wood spint). Ukuran panjang dan lebar lembaran kayu disesuaikan
dengan ukuran ekstremitas yang akan di immobilisasi. Lembaran kayu
sebelumnya dilapisi dengn busa atau kapas sehingga bagian kayu yang
lembut tidak menimbulkan kerusakan pada ekstremitas. Bidai dipasang
diseuaikan dengan kesegarisan tulang dan difiksasi menggunakan
ikatan kain, kassa gulung, atau perban elastis. Bidai kaku lainnya dapat
berupa aluminium, kawat dan plastic.

2. Bidai tarikan (traction splingt)

Bidai tarikan merupakan alat immobilisasi yang biasa digunakan untuk


immobilisasi fraktur femur. Jenis bidai tarikan yang biasa digunakan
adalah Thomas Splint. Teknik immobilisasi jenis ini lebih stabil

15
digunakan terutama untuk pasien yang harus menjalani transportasi
jauh.

3. Bidai melingkar (circumferential splint)


Bidai melingkar merupakan bidai udara yang membungkus ekstremitas
secara melingkar. Dengan tekanan udara yang ada dapat
mengimmobilisasi tulang yang mengalami fraktur. Kelebihan dari
penggunaan bidai udara ini adalah sangat gampang diaplikasikan dan
dapat sekaligus mencegah terjadinya pembengkakan. Pemantauan
tekanan udara yang diberikan sangatlah penting, karena tekanan yang
berlebihan dapat mengakibatkan terganggunaya aliran darah di
tungkai. Jenis bidai seperti ini juga tidak dapat digunakan dalam
jangka waktu yang lama.
Penggunaan bidai sebagai immobilisasi ekstremitas yang mengalami
cedera akan efektif jika dipenuhi kaidah kaidah pemasangan bidai yang
baik. Penggunaan bidai yang tidak baik tidak hanya menyebabkan tujuan
immobilisasi tidak tercapai, bahkan bias menimbulkan komplikasi yang
merugikan. Prinsip prinsip yang perlu diterapkan pada pembidaian:
a. Melakukan proteksi diri untuk mencegah terjadinya penularan
penyakit tertentu.

b. Jika telah terpasang alat stabilisasi lain, jangan dilepaskan sebelum


kita benar-benar melakukan pembidaian yang sempurna.

c. Jika patah tulang terbuka jika memungkinkan lalukan pencucian


luka sebelum dilakukan pembidaian.

d. Jika terdapat fraktur terbuka dengan tulang yang keluar dari luka
jangan lakukan penekanan untuk memasukan tulang. Cukup
lakukan pencucian dan tutup dengan kassa lembab.

e. Jika terdapat luka dengan pendarahan aktif lakukan balut tekan


untuk menghentikan perdarahan.

16
f. Jika terdapat dislokasi sendi jangan lakukan reposisi. Lakukan
pemasangan bidai pada posisi ditemukan.

g. Lepaskan semua pakaian yang menutupi ekstremitas yang akan


dibidai.

h. Lepaskan semua perhiasan atau jam tangan pasien sebelum dibidai.

i. Lakukan pemasangan bantalan (padding) pada tulang yang


menonjol untuk mencegah terjadinya ulcus decubitus karena
penekanan bidai.

j. Bidai harus disesuaikan dengan ukuran ekstremitas yang akan


diimmobilisasi. Saat immobilisasi bidaiharus melewati dua sendi
distal dan proksimal tulang fraktur.

k. Bila yang mengalami adalah persendian, lakukan immobilisasi


pada tulang distal dan proksimal sendi.

l. Selalu mengevaluasi dengan baik kondisi neurovaskuler distal


tulang yang diimobilisasi, dan tetap dievaluasi setiap 15 menit.
m. Evaluasi ekstremitas yang dibidai lebih sedikit tinggi dari pada
jantung untuk mencegah pembengkakan.
2. Penanganan di rumah sakit
Setelah primary survey, dapat dilanjutkan dengan secondary survey,
dan luka yang ditemukan dilihat secara hati-hati. Golden period
dalam tatalaksana fraktur terbuka adalah 6 sampai 7 jam.
Penanganan yang di lakukan ;
a. Evaluasi ABC
b. Pemberian cairan IV
Resusitasi cairan sangat dibutuhkan menginat sering terjadi
hipovolemi. Pemberian normal saline dengan kecepatan 1,5
L/jam dan targetnya adalah produksi urine 200-300mL/jam.
Pemberian cairan yang mengandung potassium dan laktat
sebaiknya dihindari karena akan memperburuk hiperkalemi dan

17
asidosis. Investigasi mendalam terhadap trauma dan memonitor
keadaan pasien

c. Bersihkan luka
Dengan menggunakan larutan aquades steril atau isotonik salin
(NaCl 0,9 %) untuk membersihkan luka dari benda-benda asing
yang mungkin terkontaminasi dengan luka. Tekniknya
dilakukan dengan cara menyemprotkan larutan pada luka
(pulsating irrigation). Hal ini lebih baik dilakukan daripada
memberikan larutan antiseptik yang bisa menyebabkan
kerusakan jaringan.
d. Antibacterial
Pembeian antibakteri dilakukan sebelum, selama dan sesudah
treatment dari fraktur terbuka. Bagaimanapun pemberian
antibakteri tidak akan menjamin kemampuannya untuk
melawan kuman pada fraktur terbuka, disebabkan oleh
ketidakmampuan dari antibakteri untuk mencapai tempat
infeksi karena jaringan kehilangan blood supplynya dan
banyaknya antibakteri yang dewasa ini mengalami resistensi.
Untuk itu diperlukan debridement yang adekuat dan perawatan
luka yang maksimal atau dilakukan kultur.
e. Antitetanus
Semua pasien fraktur terbuka memerlukan pencegahan
terhadap tetanus. Jika pasien sebelumnya telah diimunisasi
tetanus toxoid, dapat dilakukan booster toxoid terhadap pasien.
Jika tidak ada, atau tidak ada informasi yang adekuat maka
imunitas pasif dapat diberikan dengan menggunakan 250 units
human tetanus immune globulin.
f. Debridement
Adalah membuang jaringan devitalized (jaringan mati) dari
tempat fraktur baik itu kulit, subkutis, lemak, fascia, otot, dan
ujung tulang. Karena jaringan yang kehilangan supplay

18
darahnya akan mencegah terjadinya penyembuhan luka dan
menjadi fokus infeksi. Ada baiknya di kamar operasi juga
dilakukan kultur terhadap luka.
g. Tatalaksana untuk tulang yang fraktur
Jika luka pada fraktur kecil seperti pada fraktur terbuka grade I
maka dapat dilakukan tatalaksana secara tertutup (reposisi dan
pemasangan gips ) dengan syarat luka sudah dibersihkan dan
didebridement terlebih dahulu. Jika terjadi kerusakan jaringan
lunak yang luas dan posisi dari tulang yang tidak stabil atau
disertai dengan trauma vaskular dapat dipertimbangkan untuk
ORIF (open reduction internal fixation). Sedangkan pada
kerusakan jaringan lunak yang luas disertai dengan fraktur
yang komunitif (lebih dari 3 fragmen) dapat dipertimbangkan
eksternal fiksasi.
2.9.5 Prognosis Fraktur Terbuka
Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat. Dengan
terbukanya barrier jaringan lunak, maka patah tulang tersebut terancam untuk
terjadinya infeksi. Seperti kita ketahui bahwa periode 6 jam sejak patah tulang
terbuka, luka yang terjadi masih dalam stadium kontaminasi (golden period) dan
setelah waktu tersebut, luka berubah menjadi luka infeksi (Cross & Swiontkowski
2008, Griffin, et al 2012, Nayagam 2010).

19
Aktivitas yang melibatkan tulang yang
berulang-ulang

Tendon mengalami tekanan (rudapaksa)


2.10 WOC Fraktur

trauma Struktur tulang menurun dan Patologik (kelemahan pada


melemah tulang)
Pemukulan, penghancuran, kompresi, Tumor tulang, tulang
penarikan rapuh
Ketidakmampuan tulang menahan stres

Terputusnya kontinuitas
tulang
Tekanan dari patahan tulang ke Pergeseran
Cedera jaringan lunak
jaringan tulang
Deformitas
Perlukaan jaringan di Kerusakan pembuluh MK :
sekitar area fraktur Pengeluaran darah
darah Ekstremitas
MK : Resiko Penggumpalan gangguan
MK darah/hematom
: berlebihan pada tidak MK :
Tulang menembus
Infeksi mobilitas
gangguan fraktur terbuka MK : Resiko
Perdarahan berfungsi
Konstipasi
kulit pada fraktur immobilisa
Kontak dunia integritas tertutup Jatuh
si
luar
Volume darah
Eksudasi plasma
menurun PK : Syok
Cardiac Output Hipovolemik
Proliferasi
menurun
menjadi oedema
lokal
Hb menurun

Menekan ujung saraf

Perfusi
20 jaringan
menurun
Nosiseptor (reseptor
MK : Nyeri
nyeri) berespon
Akut
MK :
gangguan
Pengeluaran zat kimia
perfusi
Respon (histamine, bradikinin,
jaringan
Nyeri serotonin,
prostaglandin)

Korteks otak Korda spinalis


sensorik
somatic

21
2.11Fraktur Tertutup

2.11.1 Definisi

Menurut Mansjoer (2002) Fraktur tertutup (closed), dikatakan tertutup


bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut
dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.

Gambar 2.5 Fraktur tertutup

2.11.2 Klasifikasi Fraktur Tertutup

Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan


keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
2. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.

22
3. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
4. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan
ancaman sindroma kompartement.

2.11.3 Penatalaksanaan Fraktur Tertutup

Segera setelah cidera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak


menyadari adanya fraktur, dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah.
Maka dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh
segera sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cidera harus
dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas
harus disangga di atas dan di bawah tempat patah untuk mencegah gerakan
rotasi maupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan
nyeri, kerusakan jaringan lunak, dan perdarahan lebih lanjut. Nyeri sehubungan
dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindari gerakan
fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur.
1) Balutan pada estremitas
Prinsip dasar penggunaan balutan adalah suatu tindakan membatasi gerakan
tungkai menggunakan bahan yang terbuat dari kain. Balutan akan
memberikan efek immobilisasi parsial pada tungkai. Balutan juga berfungi
sebagai alat untuk mengurangi atau menegah pembengkakan pada tungkai
cedera, menghentikan perdarahan, dan untuk memegang alat untuk
mengimmobilisai tungai seperti bidai.
Pada aplikasinya terdapat beberapa macam balutan, antara lain:
a. kassa gulung (gauze roller bandage)
b. verban elastic (stretchable toller bandage)
c. verban segtiga (triangulat bandage)

d. tie shape bandage


Terdapat lima tujuan pembalutan pada cedera musculoskeletal:
a. Untuk mengkompres atau menyokong bagian tubuh yang cedera.
b. Untuk mengurangi dan mencegah terjadinya edema pada tungkai
cedera
c. Untuk melindungi luka dari kontaminasi

23
d. Untuk memegang kassa dan bidai

e. Untuk membantu mempertemukan pinggir luka


Prinsip prinsip yang haru diperhatikan dalam mengaplikasikan balutan
antara lain:
a. Pilih ukuran balutan yang tepat
b. Jika memungkitkan selalu gunakan bahan balutan yang baru, karena
setelah satu kali penggunakan elastisitas bahan akan berkurang.
c. Pastikan pederita bersih dan kering.
d. Tutup luka sebelum melakukan balutan
e. Pemeriksa neurovaskuler distal
f. Berikan bantalan pada daerah yang berbahaya
g. Jika memungkinkan adanya asisten untuk memposisikan tungkai pada
posisi yang benar.
h. Belum dimulali dari bagian distal tungkai.
i. Pertahanan ketegangan balutan untuk memberikan tekanan yang
diinginkan
j. Pastikan tidak ada kerutan setiap putaran balutan
k. Pastikan memasangbalutan sampai daerah distal dan proksimal lokasi
cedera, namun membiarkan ujung jari tetap terbuka untuk
mengevaluasi status neurovaskuler.
l. Pastikan ujung balutan terfiksasi dengan baik.
Terdapat beberapa aplikasi balutan pada ekstremitas
a. Circular turn
Melakukan tindakan pembalutan pada ekstremitas yang cedera dengan
overlapping penuh pada setiap putaran balutan. Teknik ini biasanya
digunakan untuk memegang kassa pada luka.
b. Spiral turn
Teknik ini melakukan pembalutan dengan cara overlapping setengah
lebar balutan pada setiap putaran putaran, yang dipasang secara
asending dari distal ke proksimal ektremitas. Teknik ini biasanya
digunakan pada tungkai yang berbentuk silinder, seperti pada
pergelangan tangan, jari, dan badan.

c. Spiral reverse turn


Spiral reserve turn merupakan teknik pembalutan spiral turn yang
selalu dibalikkan arah putarannya balutan pada setiap putaran. Teknik
ini biasanya digunakan pada ekstremitas yang berentuk, tonus, seperti
paha, tungkai bawah, dan lengkah bawah.

24
d. Sica turn (figure of eight)
Teknik spica turn adalah teknik balutan ascending dan descending pada
setiap putaran ascending dan descending selalu overlapping dan
menyilang dari proksimal ke distal sehigga membentuk sudut. Teknik
ini biasanya digunkan pada cedera bahu, panggul, pergelangan kaki.
2) Pembidaian
Pembidaian atau splinting adalah salah satu cara pertolongan pertama
pada cedera/trauma pada system musculoskeletal. Pembidaian bertujuan
untuk mengimmobilisasi ekstremitas yang mengalami cidera, mengurangi
rasa nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut. Pengetahuan
tentang cara pemasangan bidai sangat penting diketahui oleh perawat untuk
dapat memberikan tindakan pertama pada cedera musculoskeletal sambil
menunggu tindakan yang definitif.
Pada dasarnya terdapat 4 tujuan utama tindakan pembidaian:
a. Mengurangi rasa nyeri
Periosteum sebagai pembungkus tulang merupakan jaringan dengan
ambang nyeri sangat rendah. Sehingga penderita patah tulang akan
merasakan nyeri yang sangat jika kedua fragmen tulangnya saling
bergerak dan bergesekan. Tindakan pembidaian akan mencegah
pergerakan fragmen tulang sehingga akan mengurangi rasa nyeri.
b. Mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut
Ujung fragmen patah tulang terkadang membentuk bagian runcing dan
tajam. Hal ini akan meningkatkan resiko terjadinya kerusakan jaringan
lunak disekitar patah tulang, terutama jika mencederai struktur pembuluh
darah dan saraf.
c. Mencegah pergesekan lebih lanjut.
Fragmen tulang yang mengalami patah tulang akan bergerak dengan
beberapa mekanisme; tarikan gravitasi, benturan/mekanisme trauma yang
terjadi dan tarikan dari otot-otot yang cedera disekitar lokasi patah tulang.
Pasangan bidai dengan kaidah yang benar akan memberikan fiksasi yang
baik terhadap pergeseran lebih lanjut.

d. Mencegah perdarahan lebih lanjut

25
Saat terjadi patah tulang secara langsung akan terjadi robekan pada
pembuluh darah pada tulang dan jaringan sekitar. Hal ini akan
mengakibatkan perdarahan di sekitar fragmen tulang. Dengan mekanisme
pembekuan darah akan menghentikan perdarahan yang terjadi. Namun jika
fragmen tetap bergerak akan menyebabkan thrombus pada ujung
pembuluh darah akan lepas dan terjadi perdarahan lagi.
Saat ini terdapat beberapa bidai yang sering digunakan untuk
mengimmobilisasi ekstremitas yang mengalami cedera.

a. Bidai Kaku (Rigid Splint)


Bidai kaku yang banyak digunakan adalah bidai yang terbuat dari kayu
(wood spint). Ukuran panjang dan lebar lembaran kayu disesuaikan
dengan ukuran ekstremitas yang akan di immobilisasi. Lembaran kayu
sebelumnya dilapisi dengn busa atau kapas sehingga bagian kayu yang
lembut tidak menimbulkan kerusakan pada ekstremitas. Bidai dipasang
diseuaikan dengan kesegarisan tulang dan difiksasi menggunakan ikatan
kain, kassa gulung, atau perban elastis. Bidai kaku lainnya dapat berupa
aluminium, kawat dan plastic.

b. Bidai tarikan (traction splingt)

Bidai tarikan merupakan alat immobilisasi yang biasa digunakan untuk


immobilisasi fraktur femur. Jenis bidai tarikan yang biasa digunakan
adalah Thomas Splint. Teknik immobilisasi jenis ini lebih stabil
digunakan terutama untuk pasien yang harus menjalani transportasi jauh.

c. Bidai melingkar (circumferential splint)


Bidai melingkar merupakan bidai udara yang membungkus ekstremitas
secara melingkar. Dengan tekanan udara yang ada dapat mengimmobilisasi
tulang yang mengalami fraktur. Kelebihan dari penggunaan bidai udara ini
adalah sangat gampang diaplikasikan dan dapat sekaligus mencegah
terjadinya pembengkakan. Pemantauan tekanan udara yang diberikan
sangatlah penting, karena tekanan yang berlebihan dapat mengakibatkan

26
terganggunaya aliran darah di tungkai. Jenis bidai seperti ini juga tidak
dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama.
Penggunaan bidai sebagai immobilisasi ekstremitas yang mengalami
cedera akan efektif jika dipenuhi kaidah kaidah pemasangan bidai yang baik.
Penggunaan bidai yang tidak baik tidak hanya menyebabkan tujuan
immobilisasi tidak tercapai, bahkan bisa menimbulkan komplikasi yang
merugikan. Prinsip prinsip yang perlu diterapkan pada pembidaian:
a. Melakukan proteksi diri untuk mencegah terjadinya penularan
penyakit tertentu.

b. Jika telah terpasang alat stabilisasi lain, jangan dilepaskan sebelum kita
benar-benar melakukan pembidaian yang sempurna.

c. Jika patah tulang terbuka jika memungkinkan lalukan pencucian luka


sebelum dilakukan pembidaian.

d. Jika terdapat fraktur terbuka dengan tulang yang keluar dari luka
jangan lakukan penekanan untuk memasukan tulang. Cukup lakukan
pencucian dan tutup dengan kassa lembab.

e. Jika terdapat luka dengan pendarahan aktif lakukan balut tekan untuk
menghentikan perdarahan.

f. Jika terdapat dislokasi sendi jangan lakukan reposisi. Lakukan


pemasangan bidai pada posisi ditemukan.

g. Lepaskan semua pakaian yang menutupi ekstremitas yang akan


dibidai.

h. Lepaskan semua perhiasan atau jam tangan pasien sebelum dibidai.

i. Lakukan pemasangan bantalan (padding) pada tulang yang menonjol


untuk mencegah terjadinya ulcus decubitus karena penekanan bidai.

27
j. Bidai harus disesuaikan dengan ukuran ekstremitas yang akan
diimmobilisasi. Saat immobilisasi bidaiharus melewati dua sendi distal
dan proksimal tulang fraktur.

k. Bila yang mengalami adalah persendian, lakukan immobilisasi pada


tulang distal dan proksimal sendi.

l. Selalu mengevaluasi dengan baik kondisi neurovaskuler distal tulang


yang diimobilisasi, dan tetap dievaluasi setiap 15 menit.

m. Evaluasi ekstremitas yang dibidai lebih sedikit tinggi dari pada jantung
untuk mencegah pembengkakan.
3) Reposisi

Disini sangat diperlukan anesthesia. Tergantung apakah persiapan


penderita cukup dan fasilitas tersedia, maka anesthesia dapat diberikan secara
umum, maupun regional (block brachialis atau block terhadap satu syaraf), local
ataupun anesthesia pada sirkulasi perifer. Kedudukan fragmen distal
dikembalikan pada alignment dan disambungkan pula dengan fragmen proximal
dengan menggunakan traksi dan traksi lawan (counter traction) pada sumbu
panjang tulang. Tindakan ini untuk mencegah dan memperbaiki angulasi
maupun pemendekan tulang.
Traksi berupa suatu penarikan yang dikerjakan dengan pelan-pelan dan
hati-hati. Dislokasi kearah lateral maupun yang bersifat rotatif dapat dibetulkan
dengan memberikan tekanan langsung pada fragmen-fragmen tulang tersebut.
Pada beberapa fraktur terntentu tidaklah cukup hanya dengan traksi dengan
menggunakan tangan, sehingga diperlukan traksi kulit (skin traction) yang
berupa penarikan secara konstan dengan memakai plester yang diletakkan
disepanjang anggota badan mulai dari tempat terjadinya fraktur.
a. Fiksasi

Sendi-sendi diatas dan dibawah garis fraktur biasanya di imobilisasi.


Pada fraktur yang sudah direposisi dan stabil, maka gips berbantal sudah
cukup untuk imobilisasi. Bila reposisi dan imobilisasi tidak mencukupi,
maka ini merupakan indikasi untuk melakukan traksi kulit atau traksi

28
skeletal. Bila suatu fraktur mempengaruhi stabilitas sendi didekatnya, maka
tidak hanya fraktur harus direposisi secara tepat, tetapi penyejajaran
(alignment) yang benar penting dipulihkan kembali terhadap persendian.
Indikasi untuk melakukan reposisi dan imobilisasi yang memuaskan adalah
terbatas sekali. Cara-cara semacam ini membutuhkan pengalaman dan
fasilitas yang memadai. Bagaimanapun metode fixasi yang dipakai, metode
itu dipertahankan hingga fraktur tersambung kuat. Perkecualian di beberapa
region tertentu akan diterangkan kemudian.
b. Pengembalian Fungsi (Restorasi)

Sedapat mungkin pembidaian (splinting) harus dilakukan dalam


posisi fungsional sendi bersangkutan. Kadang-kadang diperlukan flexi
plantar pergelangan kaki, akan tetapi harus diingat bahwa bila posisi
semacam ini dipertahankan terus-menerus secara berlebihan dapat
mengakibatkan cacat yang menetap. Dengan alasan yang sama, jari-jari
tangan harus juga berada dalam posisi fungsionil. Sesudah periode
immobilisasi pada bagian badan manapun selalu akan terjadi kelemahan otot
dan kekakuan sendi. Hal ini dapat diatasi dengan mengadakan aktivitas
secara progresif, dan ini dimudahkan dengan fisioterapi atau dengan
melakukan kerja yang sesuai dengan fungsi sendi tersebut.
Pasien dengan fraktur tertutup (sederhana) harus diusahakan untuk
kembali ke aktivitas bisa sesegera mungkin. Penyembuhan fraktur dan
pengembalian kekuatan penuh dan mobilitas mungkin memerlukan waktu
sampai berbulan-bulan. Pasien diajari bagaimana mengontrol pembengkakan
dan nyeri sehubungan dengan fraktur dan trauma jaringan lunak. Mereka
didorong untuk aktif dalam batas imobilisasi fraktur. Tirah baring
diusahakan seminimal mungkin. Latihan segera dimulai untuk
mempertahankan kesehatan otot yang sehat dan untuk meningkatkan
kekuatan otot yang dibutuhkan untuk pemindahan dan untuk alat bantu (mis.
Tongkat, walker). Pasien diajari mengenai bagaimana menggunakan alat
tersebut dengan aman. Perencanaan dilakukan untuk membantu pasien
menyesuaikan lingkungan rumahnya sesuai kebutuhan dan bantuan
keamanan pribadi, bila perlu. Pengajaran pasien meliputi perawatan-diri,

29
informasi obat-obatan, pemantauan kemungkinan potensial masalah, dan
perlunya melanjutkan supervisi perawatan kesehatan.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
Pengumpulan data subjektif dan objektif pada klien dengan gangguan
sistem persyarafan meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
1 Anamnesis
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2 Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
a Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.

30
3 Riwayat penyakit saat ini
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh
mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
(Meccanism Of Injury) kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain.
4 Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur
dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit pagets yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang
5 Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan
kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
6 Pengkajian psiko-sosial-spiritual
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat.

2 Pemeriksaan fisik
B1 (Breathing)
Pernapasan meningkat, dispneu, pergerakan dada simetris, suara nafas
normal tidak ada suara nafas tambahan seperti stridor dan ronchi.
B2 (Blood)

31
Hipertensi (kadang kadang terlihat sebagai respons terhadap
nyeri/ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah), takikardia (respon stress,
hipovolemia). Penurunan/tak ada nadi pada bagian distal yang cedera;
pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian yang terkena. Pembengkakan
jaringan atau massa hematoma pada sisi cidera.
B3 (Brain)
hilang gerakan / sensasi, spasme otot. Kebas / kesemutan (parestesis),
deformitas local; angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi
berderit), spasme otot, terlihat kelemahan/hilangnya fungsi, angitasi
(mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau trauma lain).
B4 (Bladder)
Urine berwarna seperti the (Crush syndrome), oliguri hingga anuri
B5 (Bowel)
Tidak ada kelainan defekasi
B6 (Bone)
a. Edema, deformitas, krepitasi, kulit terbuka atau utuh, ada/tidak
adanya nadi di sebelah distal patahan, hematoma, kerusakan jaringan
lunak, posisi ekstremitas abnormal
b. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P
yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada
sistem muskuloskeletal adalah:
1 Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
a Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
b Cape au lait spot (birth mark).
c Fistulae.
d Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
e Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal

32
yang tidak biasa (abnormal).
f Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
g Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2 Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Hal yang perlu dicatat adalah:
a Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time Normal 3 5
b Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
c Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak,
dan ukurannya.
3 Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0
(posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan
apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang
dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.

3 Pemeriksaan diagnostik

33
1 Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi.
Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi
kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan
permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
1 Bayangan jaringan lunak.
2 Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
3 Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4 Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Dalam pemeriksaaan radiologi untuk cedera dan fraktur diberlakukan
rule of two yaitu :
a. Dua sudut pandang
Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar-X
tunggal dan sekurang-kurangnya harus dilakukan 2 sudut pandang
(AP & Lateral/Oblique).
b. Dua Sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur
atau angulasi. Tetapi angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau
tulang yang lain juga patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi.
Sendi-sendi diatas dan di bawah fraktur keduanya harus disertakan
dalam foto sinar-X.
c. Dua ekstrimitas
Pada sinar-X anak-anak epifise dapat mengacaukan diagnosis fraktur.
Foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat.
d. Dua Cedera
Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih dari 1

34
tingkat. Karena itu bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur perlu
juga diambil foto sinar-X pada pelvis dan tulang belakang.
e. Dua Waktu
Pemeriksaan dilakukan segera setelah cedera dan setelah
penanganan (pre op dan post op)
2 Skan tulang, tomogram, skan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga
dapat dignakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
a Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur
yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini
ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
c Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
d Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang
yang rusak.
3 Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4 Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multipel). Peningkatan jumlah SDP adalah respons stress
normal setelah trauma.
5 Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
tranfusi multiple, atau sedera hati.

2.10 Diagnosa keperawatan


1. Nyeri akut b/d agen injuri fisik (trauma)
2. Gangguan perfusi jaringan perifer b/d perubahan kerusakan integritas
tulang
3. Gangguan integritas kulit b/d faktor mekanik sekunder akibat trauma

35
4. Gangguan mobilitas fisik b/d gangguan integritas muskulosketetal
5. Resiko jatuh b/d mobilitas terganggu
6. Resiko konstipasi b/d perubahan lingkungan, imobilisasi
7. Resiko infeksi b/d gangguan integritas kulit sekunder akibat fraktur
8. PK : Syok Hipovolemik

36
2.11Intervensi keperawatan (NOC DAN NIC)
No Diagnosa NOC NIC
.
1 Nyeri akut b/d agen 1. Pain control (1-5) Pain management
injuri fisik (trauma) Indikator : a. Gunakan komunikasi terapeutik untuk mengetahui
Karakteristik : a. Mampu mengenali onset ekspresi nyeri dan penyampaian respon nyeri pasien
ekspresi wajah nyeri b. Kaji pengetahuan dan kepercayaan pasien tentang nyeri
meringis, pasien b. Mampu mendeskripsikan c. Kaji pengetahuan pasien tentang faktor yang dapat
melaporkan nyeri, penyebab nyeri meringankan atau memperberat nyeri
berperilaku c. Mampu menggunakan pereda d. Berikan informasi tentang nyeri yang dialami meliputi
protektif, nyeri analgesik sesuai penyebab, kapan akan berakhir, dan prosedur antisipasi
perubahan TTV rekomendasi ketidaknyamanan
d. Mampu melaporkan kontrol e. Kontrol lingkungan dari faktor yang dapat meningkatkan
nyeri ketidaknyamanan
2. Pain level (1-5) f. Ajarkan prinsip dalam pain management
Indikator : g. Ajarkan pasien untuk memonitor nyeri yang dialami
a. Melaporkan nyeri h. Ajarkan teknik non farmakologi (hypnosis, relaksasi,
b. Panjang episode nyeri distraksi, terapi music)
c. Agitasi i. Ajarkan metode farmakologi pereda nyeri
d. Iritabilitas
e. Diaphoresis
2 Gangguan perfusi Tissue perfusion : peripheral (1-5) Circulatory care : venous insufficiency
jaringan perifer b/d a. CRT tangan a. Lakukan pemeriksaan komprehensif pada sirkulasi
perubahan b. CRT kaki perifer (cek nadi perifer, edema, CRT, warna dan
kerusakan integritas c. Temperatur kulit ekstremitas temperatur)
tulang d. Kekuatan nadi karotis b. Lakukan perawatan luka (debridement,terapi
karakteristik kulit kanan/kiri antimikrobial) bila diperlukan
(warna, elastisitas, e. Kekuatan nadi brakialis c. Berikan dressing yang tepat sesuai ukuran dan tipe luka
kelembaban, kanan/kiri d. Monitor derajat ketidaknyamanan atau nyeri
sensasi, f. Kekuatan nadi radialis e. Berikan terapi modalitas kompresi (short-strech atau
temperatur), kanan/kiri long-strech bandages) bila diperlukan
penurunan tekanan g. Kekuatan nadi femoralis f. Elevasikan ekstremitas yang sakit 200 lebih tinggi dari
darah pada kanan/kiri posisi jantung
ekstremitas, h. Tekanan darah sistolik g. Kolaborasikan pemberian antiplatelet atau antikoagulan
penurunan nadi i. Tekanan darah diastolik bila diperlukan
perifer, warna kulit j. Bruit ekstremitas h. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk menurunkan
pucat disertai k. Edema perifer viskositas darah
elevasi anggota l. Nyeri hebat terlokalisir i. Monitor status cairan, termasuk intake dan output
tubuh, edema, m. Kebas
CRT>3 detik, n. Nekrosis
ABI<0.90 o. Pucat
p. Kelemahan otot
q. Rubor
r. Parestesi
s. Kram otot
3 Gangguan Activity tolerance (1-5) Exercise therapy : ambulation
mobilitas fisik b/d a. Saturasi oksigen dengan a. Berikan pasien pakaian yang longgar
gangguan integritas aktivitas b. Bantu pasien dalam berjalan untuk mencegah cedera
muskulosketetal b. Nadi dengan aktivitas c. Kondisikan bed untuk mudah ditinggikan atau dinaikkan,
Karakteristik : c. RR dengan aktivitas sesuai kebutuhan pasien
penurunan gerak d. Mudah dalam bernapas d. Instruksikan kepada pasien bagaimana tahap untuk
otot, penurunan dengan aktivitas berganti posisi sebelum berpindah tempat
rentang gerak, e. Warna kulit e. Sediakan alat bantu seperti kursi roda untuk ambulasi
tremor f. Mudah dalam melakukan f. Konsultasikan dengan fisioterapis mengenai rencana
ADL ambulasi, jika dibutuhkan
g. Mampu berbicara dengan
aktivitas fisik

4 Resiko jatuh b/d Fall Prevention Behavior (1-5) Fall prevention


mobilitas terganggu Indikator : a. Identifikasi kebiasaan dan faktor yang dapat berdampak
a. Menempatkan pelindung pada risiko jatuh
untuk mencegah jatuh b. Identifikasi karakteristik lingkungan yang dapat
b. Menggunakan alas kaki meningkatkan potensial untuk jatuh
tidak licin c. Instruksikan pasien untuk menggunakan alat bantu
c. Menyediakan pencahayaan berjalan sesuai kebutuhan
yang memadai d. Lakukan perawatan pada alat bantu berjalan agar dalam
d. Mengatur ketinggian tempat kondisi layak pakai
tidur sesuai kebutuhan e. Jawab panggilan pasien dengan segera saat dibutuhkan
e. Mengatur ketinggian kursi f. Posisikan tempat tidur pada posisi paling rendah
sesuai kebutuhan g. Sediakan area penyimpanan pasien yang mudah
f. Kontrol kelelahan dijangkau
Positioning
a. Sediakan matras yang lembut
b. Monitor status oksigenasi sebelum dan sesudah
perubahan posisi
c. Tempatkan pasien pada posisi terapeutik
d. Imobilisasi atau support bagian tubuh yang sakit
e. Sediakan support yang sesuai untuk leher
f. Letakkan lampu panggil untuk petugas yang mudah
dijangkau pasien
5 Resiko konstipasi Bowel elimination (1-5) Bowel management
b/d perubahan a. Pola eliminasi a. Catat tanggal terakhir BAB pasien
lingkungan, b. Mampu mengontrol BAB b. Monitor BAB meliputi frekuensi, konsistensi, bentuk,
imobilisasi c. Warna feses jumlah, dan warna
d. Feses lunak berbentuk c. Monitor tanda dan gejala dari konstipasi
e. Mudah untuk mengeluarkan d. Monitor suara peristaltik
feses e. Laporkan jika suara peristaltik berkurang
f. Mengeluarkan feses tanpa f. Ajarkan pasien mengenai makanan dan minuman yang
bantuan dapat membantu agar dapat BAB secara teratur
g. Ajarkan pasien/keluarga untuk mengidentifikasi warna,
jumlah, frekuensi, dan konsistensi BAB
h. Berikan minuman hangat setelah makan
i. Anjurkan pasien untuk mengurangi intake makanan
bergas
j. Instruksikan pasien untuk mengkonsumsi makanan
berserat
k. Evaluasi profil pengobatan pasien terhadap efek samping
gastrointestinal
l. Berikan obat suppositoria bila diperlukan
6 Resiko infeksi b/d Physical Injury Severity (1-5) Infection protection
gangguan integritas a Abrasi kulit a. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal maupun
kulit sekunder b Laserasi sistemik
akibat fraktur c Terbakar b. Periksa riwayat bepergian nasional/internasional
d Fraktur pasien
e Memar c. Monitorhitung granulosit absolut dan WBC
f Cedera gigi d. Batasi pengunjung
g Cedera kepala tertutup e. Inspeksi area kemerahan, dan adanya drainase
h Cedera kepala terbuka f. Berikan perawatan luka dengan teknik steril
i Gangguan mobilitas g. Anjurkan pasein utnuk tirah baring
j Gangguan kognitif h. Monitor perubahan energi atau kelelahan
k Penurunan kesadaran i. Kolaborasikan pemberian antimikrobial
l Kontusio hepar j. Ajarkan pasien dan keluarga untuk mengenali tanda
m Hemoragi dan gejala infeksi dan menganjurkan untuk segera
n Ruptur limpa melapor ke petugas kesehatan jika ditemukan
o Trauma abdominal

Surgical Recovery (1-5)


a. TD sistole
b. TD diastole
c. Stabilitas hemodinamik
d. Temperatur
e. Kecepatan dan irama nadi
radialis
f. Kedalaman inspirasi
g. Urin output
h. Bising usus
i. Keseimbangan eliminasi
j. Keseimbangan elektrolit
k. Hidrasi
l. Kadar gula darah
m. Integritas kulit
n. Penyembuhan luka
o. Kognisi
p. Konsentrasi
q. Tidur
r. Kemampuan latihan yang
dianjurkan
s. Kemampuan memahami
perawatan luka
7 PK : Syok Shock Severity : Hipovolemic (1-5) Shock Prevention
Hipovolemik a. Penurunan tekanan nadi a.Monitor respon awal kompensasi syok (misal : TD
b. Penurunan MAP normal, nadi lemah, hipotensi ortostatik [15-25 mmHg],
c. Penurunan TD sistole dan keterlambatan CRT, pucat, dingin, basah, takipnea, mual,
diastole muntah, peningkatan haus, atau kelemahan)
d. Keterlambatan CRT b. Monitor tanda awal respon inflamasi sistemik (misal :
e. Peningkatan nadi peningkatan temperatur, takikardi, takipnea, hipokarbia,
f. Aritmia leukositosis, atau leukopenia)
g. Nyeri dada c.Monitor tanda awal reaksi alergi (rhinitis, wheezing,
h. Peningkatan RR stridor, dispneu, gatal, nyeri perut, diare, kelemahan,
i. Crackles bentol-bentol
j. Penurunan oksigen arteri d. Monitor area-area yang memungkinkan pasien
k. Pucat, dingin, basah kehilangan cairan (WSD, NGT, drain, hematemesis,
l. Diaforesis muntah, atau hematoschezia)
m. Konfusi e.Monitor status sirkulasi (TD, warna kulit, temperatur
n. Letargi kulit, suara jantung, irama jantung, tekanan nadi perifer,
o. Pemanjangan waktu CRT)
koagulasi f. Monitor EKG
p. Asidosis metabolik g. Monitor intake dan output
q. Hiperkalemi h. Monitor tanda dan gejala ascites, nyeri perut atau nyeri
r. Haus punggung
s. Pernapasan dangkal i. Kolaborasikan pemberian transfusi PRC, platelet atau
t. BU hipoaktif plasma
u. Penurunan urin output j. Kolaborasikan pemberian cairan IV berdasarkan status
v. Penurunan kesadaran hemodinamik dan urin output pasien
w. Reflek pupil lemah k. Kolaborasikan pemberian oksigen atau ventilasi
mekanik
l. Monitor kadar gula darah
m. Kolaborasikan pemberian agen noninflamasi dan
bronkodilator jika diperlukan
n. Ajarkan pasien dan keluarga untuk mengenali tanda dan
gejala awal syok dan segera melapor jika ditemukan

Oxygen Therapy
a. Bersihkan mulut, hidung, dan trakea dari sekret
b. Jaga kepatenan jalan napas
c. Berikan oksigen, pantau aliran jumlah oksigen
d. Monitor keefektifan terapi oksigen (pulse oximetry,
ABGs)
e. Observasi tanda-tanda hipoventilasi karena oksigen
f. Monitor tanda-tanda toksisitas oksigen dan atelektasis
8. Gangguan Tissue Integrity : Skin and Mucous Bleeding Reduction : Wound
integritas kulit b/d membrane (1-5) a. Berikan penekanan manual pada area yang mengalami
faktor mekanik a. Temperatur kulit perdarahan
sekunder akibat b. Sensasi b. Berikan dressing untuk menekan sumber perdarahan
trauma c. Elastisitas c. Gunakan alat mekanis (misal : C-type clamp) bila
Karakteristik : d. Hidrasi perlu
kerusakan jaringan e. Tekstur d. Monitor TTV
kulit akibat benda f. Perfusi jaringan e. Monitor intake dan output
asing g. Integritas kulit f. Elevasikan ekstremitas yang mengalami perdarahan
h. Pigmentasi abnormal g. Monitor ukuran dan karakter hematom
i. Lesi kulit h. Monitor denyut nadi distal pada are yang mengalami
j. Jaringan parut perdarahan
k. Eritema i. Instruksikan pasien untuk mengurangi aktivitas
l. Nekrosis
m.Pucat
n. Kulit mengelupas

Wound Healing : Primary Intention


a. Formasi jaringan parut
b. Perbaikan kulit
c. Perbaikan tepi luka
d. Drainase purulen
e. Drainase serosa
f. Drainase sanguinosa
g. Drainase sanguinosa dari drain
h. Drainase serosanguinosa dari
drain
i. Eritema di sekeliling luka
j. Memar di sekeliling luka
k. Peningkatan temperatur kulit
l. Bau busuk dari luka
DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. Graham. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta :
Widya Medika
Black, J.M, et al, Luckman and Sorensens. 1995. Medikal Nursing : A Nursing
Process Approach, 4 th Edition. W.B. Saunder Company
Buckley R dkk. General Principle of Fracture Workup. Diakses di
http://emedicine.medscape.com/article/1270717-workup . Diakses tanggal 26
September 2015 jam 17.29
Bulechek, Gloria M. Et al. [ed]. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC).
Sixth Edition. St Louis, Missouri : Elsevier Mosby
Herdman, T. H. & Kamitsuru, S. [eds]. 2014. NANDA Nursing Diagnoses
Definitions and Classification 2015-2017. Tenth Edition. Oxford : Wiley
Blackwell
Ignatavicius, Donna D. 1995. Medical Surgical Nursing : A Nursing Process
Approach. W.B. Saunder Company,
Martin, Susan. 2007. Standar Perawatan Pasien : Perencanaan Kolaboratif Dan
Intervensi Keperawatan. Jakarta : EGC
Moorhead, Sue. Et al. [ed]. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC)
Measurement of Health Outcomes. Fifth Edition. St Louis, Missouri :
Elsevier Mosby
Oswari, E, 1993. Bedah dan Perawatannya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama
Potter, Patricia A. 2011. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses,
dan Praktik. Jakarta : EGC.
Price, Sylvia Anderson. 2003. Clinical Concepts of Disease Processes. Sixth
Edition. St. Louis Missouri : Elsevier Mosby
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedahbrunner &
Suddarth Edisi 8 Volume 3. Jakarta : EGC
Reksoprodjo, Soelarto. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM. Jakarta
: Binarupa Aksara

Anda mungkin juga menyukai