Anda di halaman 1dari 44

RESPONSI KASUS INTERNA

CKD STAGE V EC NEFROPATI DIABETIK + ANEMIA SEDANG


NORMOSITIK NORMOKROMIK + EFUSI PLEURA BILATERAL

Oleh :
Hanan Afifah
(H1A 012 019)

Pembimbing :
dr. I G N Ommy Agustriadi, Sp.PD

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

SMF INTERNA RSUP NTB

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

TAHUN 2017
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah


suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan
penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal
ginjal. Insiden dan prevalensinya semakin meningkat dan sudah merupakan
1
masalah kesehatan global.
Di negara-negara barat CKD merupakan sebuah epidemi dengan angka
pertumbuhan dialisis pertahun 6-8%. Di Amerika Serikat dalam dua dekade
terakhir terjadi peningkatan prevalensi gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal
terminal yang memerlukan terapi pengganti ginjal Tidak hanya itu, prevalensi
CKD stadium awal juga turut mengalami peningkatatan. Diperkirakan satu dari
sembilan orang Amerika Serikat mengidap CKD dan sebagian besar tidak
2
menyadari hal ini.
Tiga strategi yang dapat membantu untuk memperlambat progresifitas
CKD meliputi: identifikasi dini penderita, modifikasi faktor risiko dan
manajemen secara paripurna. Beberapa faktor risiko untuk terjadinya CKD
adalah umur diatas 60 tahun, diabetes melitus, hipertensi atau penyakit
kardiovaskular, adanya riwayat keluarga yang menderita sakit ginjal, infeksi
saluran kemih yang berulang, penggunaan obat nefrotoksik berulang (NSAID,
2
antibiotik, zat kontras) dan kontak dengan bahan kimia yang berulang.
Pada stadium dini CKD dapat didiagnosis dengan melakukan
pemeriksaan penunjang dan terbukti dengan pengobatan dini dapat mencegah
terjadinya gagal ginjal, penyakit kardiovaskular dan dapat mencegah kematian
2
sebelum waktunya. CKD merupakan penyakit yang kronis, sehingga
diperlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga dan lingkungan dalam
pengelolaan penyakit ini. Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang
penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat membantu
memperbaiki hasil pengobatan, serta diharapkan dapat membantu memperbaiki
2
kualitas hidup penderita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Ginjal
Makroskopis
Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium
(retroperitoneal), didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus
abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor) di bawah hati dan limpa. Di bagian
atas (superior) ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Kedua
ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada orang dewasa berukuran
panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, kira-kira sebesar kepalan tangan
manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau kurang
lebih beratnya antara 120-150 gram.
Ginjal kanan biasanya terletak sedikit
ke bawah dibandingkan ginjal kiri untuk
memberi tempat lobus hepatis dextra yang
besar. Kedua ginjal dibungkus oleh dua
lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak
pararenal) yang membantu meredam
guncangan.
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput
tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat
cortex renalis di bagian luar, yang berwarna
coklat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih terang
dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk
kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak
kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari
lubang-lubang kecil disebut papilla renalis.
Hilus adalah pinggir medial ginjal
berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya
pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan
nervus. Terdapat Pelvis Renalis berbentuk corong
yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Pelvis
Renalis terbagi menjadi dua atau tiga kaliks renalis majores yang masing-masing akan
bercabang menjadi dua atau tiga kaliks renalis minores. Kaliks renalis masing-masing
bertugas mengalirkan urin dari setiap Medulla. Medulla terbagi menjadi bagian segitiga
yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan
tersusun dari segmen-segmen tubulus dan Duktus Kolektivus nefron. Papila atau apeks
dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan
bagian terminal dari banyak duktus kolektivus.1,2
Mikroskopis
Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah
pada tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri dari Kapsula
Bowman, Tubulus Kontortus Proksimal, Lengkung Henle dan Tubulus Kontortus Distal,
yang berakhir pada Duktus Kolektivus.

Vaskularisasi Ginjal
Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra
lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kavainferior yang terletak
disebelah kanan garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut
bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya
membentuk arteri arkuata kemudian membentuk arteriola interlobularis yang tersusun
paralel dalam korteks. Arteri interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen
pada glomerulus.
Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang kemudian bercabang
membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan disebut kapiler
peritubular. Darah yang mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam
jalinan vena selanjutnya menuju vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris,
dan vena renalis untuk akhirnya mencapai vena cava inferior.1

Proses Pembentukan Urin


Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi cairan dalam jumlah banyak dari
kapiler glomerulus ke kapsula bowman. Seperti kapiler pada umumnya, kapiler
glomerulus tidak permeable terhadap protein dan sel-sel sehingga hasil filtrasi biasanya
bebas protein dan sel darah.
Kapiler glomerulus disusun oleh tiga lapisan yaitu endotel, membrane basalis,
dan lapisan epithelial. Pada endotel kapiler terdapat banyak rongga-rongga yang disebut
fenestrae. Membran basalis yang terdiri dari kolagen dan fibril proteoglikan yang
memiliki rongga yang cukup besar untuk dilalui air dan molekul kecil. Lapisan terakhir
dari glomerulus adalah lapisan epitelium. Pada lapisan ini terdapat sel yang disebut
podositsel yang berbentuk seperti gurita dengan kaki-kakinya menempel pada
permukaan kapiler glomerulus. Kaki-kaki podosit akan membentuk slit pores yang akan
dilalui oleh hasil filtrasi glomerulus serta mencegah ikut keluarnya protein plasma.
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) ditentukan oleh (1) penjumlahan tekanan
hidrostatik dan osmotic koloid yang akan menghasilkan tekanan filtrasi akhir. (2)
Koefisien LGF (Kf) Sehingga, secara matematis dapat dinyatakan
sebagai
LFG = Kf x tekanan filtrasi akhir (net filtration pressure)
Sedangkan tekanan filtrasi akhir mempunyai perhitungan sbb ;
NFR = Tek hidrostatik glomerulus tek kapsula bowman tek
onkotik glomerulus
(10 mmHg) (60 mmHg) (18 mmHg) (32 mmHg)
Tekanan hidrostatik kapiler dalam keadaan normal diperkirakan sekitar 60
mmHg. Perubahan dari tekanan hidrostatik kapiler merupakan faktor terbesar dari
perubahan LFG. Tekanan hidrostatik kapiler glomerulus dipengaruhi oleh 3 hal berikut
yaitu : (1) tekanan arteri, (2) resistensi arteriolar afferent dan (3) resistensi arteriolar
efferent. Kenaikan tekanan dari arteri cenderung untuk menaikkan LFG namun jika
terdapat vasokonstriksi dari arteriola afferent, akan menimbulkan penurunan LFG.
Aretriola efferent memiliki efek yang bifasik terhadap LFG tergantung seberapa berat
resistensi yang terjadi. Jika terjadi vasokonstriksi sedang, maka akan terjadi sedikit
peninggian dari LFG, namun saat terjadi vasokonstriksi yang berat, akan terjadi
penurunan pada LFG.2
Berikut hal-hal yang dapat mempengaruhi LFG

Renal Blood Flow


Pada laki-laki dengan berat rata-rata 70 kg, ginjal mendapatkan pasokan darah
sebanyak 1100/ml per menitnya, atau sekitar 22% dari cardiac output. Aliran darah ke
ginjal yang sangat banyak ini bertujuan untuk mensuplai plasma yang cukup agar bisa
mendapatkan LFG yang tinggi yang dibutuhkan untuk regulasi cairan tubuh dan
konsentrasi cairan yang presisi. Adapun yang mempengaruhi aliran darah ke ginjal
adalah sebagai berikut
(Renal arterial pressure Renal vein pressure)
Total Renal Vascular Resistance
Tekanan arteri renal umumnya hamper sama dengan tekanan arteri sistemik,
sedangkan tekanan vena renal umumnya berada 3-4 mmHg dari tekanan arterinya.
Sedangkan tekanan reisitensi renal total biasanya dipengaruhi oleh arteri interlobularis,
arteriola afferent dan efferent. Resistensi dari pembuluh darah tersebut dipengaruhi oleh
aktivitas simpatis maupun hormonal.2
Autoregulasi LFG dan Renal Blood Flow
Sistem autoregulasi yang dimiliki ginjal ini ditujukan untuk mempertahankan
LFG jika terjadi perubahan tekanan maupun aliran darah ke ginjal. Mekanisme ini
diatur oleh sebuah komplek yang bernama sel juxtaglomerular yang memiliki kumpulan
sel yang dinamakan macula densa.
Saat terjadi penurunan tekanan hidrostatik glomerulus ataupun penurunan
konsentrasi sodium clorida dalam darah, sel macula densa akan merespon secara
otomatis dengan melepaskan Renin dan mengakitfkan Renin Angiotensin System atau
dengan membuat arteriola afferent berdilatasi sehingga didapatkan peningkatan dari
LFG 2
Reabsorpsi
Tidak seperti filtrasi glomerulus yang tidak selektif dalam filtrasinya, pada proses
reabsorpsi merupakan proses yang sangat selektif. Beberapa substansi seperti gukosa dan
asam amino kembali diserap ulang sehingga substansi tersebut hampir tidak ditemukan di
urin. Beberapa produk buangan seperti urea dan kreatinin umumnya hanya sedikit diresorpsi
dan lebih banyak dikeluarkan.
Transpor aktif
Pada sistem ini, reabsorbsi membutuhkan sumber energy yaitu ATP yang akan
dipasangkan secara langsung, seperti pada transport sodium melalui Sodium-Potassium ATP
pump yang dikenal sebagai primary active transport dan secara tidak langsung dengan
substansi yang akan direabsorbsi. Ini dikenal sebagai secondary active transport. Biasanya ini
digunakan untuk reabsorbsi glukosa.
Penyerapan sodium terjadi hampir disepanjang lumen tubulus, namun pada tubulus
contortus proximal terdapat brush border yang melipat gandakan area penyerapan sebanyak
20 kali. Cara penyerapan sodium dari lumen ke pembuluh darah dilakukan melalui tiga
tahapan yaitu
Sodium berdifusi di sepanjang membran lumen ke dalam sel sehingga terbentuk
gradient elektrokemikal oleh sodium-potassium ATP pump pada sisi basolateral sel.
Sodium di transport sepanjang sisi basolateral menggunakan ATP pump
Sodium, air, dan substansi lainnya diserap dari intratubular lumen ke pembuluh darah
peritubular dengan cara ultrafiltrasi yang dipengaruhi perbedaan tekanan hidrostatik
dan osmotic koloid.
Sedangkan pada secondary active transport, yang terjadi adalah substansi akan
berikatan dengan membran protein spesifik (molekul karier) dan ditranspor bersamaan
melewati membran. Misalnya pada transportasi sodium, dalam transpor tersebut akan
melepaskan energi saat melawan gradien elektrokemikal. Energi tersebut akan digunakan
substansi seperti glukosa untuk melawan perbedaan atau gradien elekrtokemikal dalam
membran. Namun, dalam transportasi ini, terdapat batasan atau yang disebut transport
maksimum saat enzim atau protein karier tertentu sudah melampaui batas maksimalnya untuk
membawa suatu substansi. Contohnya adalah pada penyerapan glukosa di tubulus proximal,
dimana tubulus memiliki batas maksimal penyerapan glukosa sebanyak 375mg/menit. Jika
glukosa yang difiltrasi melebihi batas itu, maka glukosa dalam urin juga bisa ditemukan.
Pada setengah awal tubulus proximal, sodium ditransport bersaamaan dengan glukosa,
asam amino dan substansi lainnya. Namun pada setengah akhir tubulus proximal, hanya
sedikit glukosa yang diserap melainkan clorida yang diserap lebih banyak karena
konsentrasinya yang lebih tinggi.
Lengkung Henle (Ansa Henle)

Lengkung henle terbagi tiga bagian yaitu segmen tipis descendent, segment tipis
ascendent, dan segmen tebal ascendent. Pada segmen tipis, seperti namanya, terdapat sedikit
epitel tanpa adanya brush border, sedikit mitokondria dan sedikit aktivitas metabolis yang
terjadi.
Segmen tipis descendent sangat permeabel terhadap air dan cukup permeabel terhadap
zat-zat lainnya, termasuk urea dan sodium. Fungsi dari bagian ini adalah sebagai media difusi
sederhana melalui dindingnya. Sekitar 20% cairan direabsorpsi di lengkung henle dan
sebagian besar terjadi di segmen ini.
Pada segmen ascendent yang tebal maupun tipis, sangat tidak permeabel terhadap air,
sehingga konsentrasi dari urin akan diatur oleh segmen tersebut. Segmen tebal ascendent
memiliki lapisan epitel yang cukup tebal dan memiliki mitokondria yang cukup banyak serta
brush border. Sehingga pada segmen ini masih terjadi penyerapan sodium-chlorida serta
penyerapan ion-ion seperti kalsium, bikarbonat, magnesium, dan kalium.
Sekresi
Bagian yang berfungsi utama dalam hal ini adalah tubulus distal. Bagian paling awal
dari tubulus distal membentuk kompleks jugxtaglomerular yang berfungsi mengatur LFG.
Bagian selanjutnya mempunyai struktur yang mirip dengan segmen tebal ansa henle sehingga
berfungsi juga untuk penyerapan ion-ion namun tidak permeabel terhadap air dan urea.
Bagian akhir atau setengah akhir dari tubulus distal berfungsi untuk mensekresi potasium dan
ion hidrongen serta reabsorpsi bikarbonat. Pada bagian ini, permeabilitasnnya dipengaruhi
oleh hormon ADH, jika terdapat hormon ADH, maka dinding tubulus distal akan sangat
permeabel terhadap air.
Duktus Kolektivus
Pada tempat ini akan terjadi reabsorpsi kembali 10% air dan sodium, dan merupakan
tempat akhir dari proses pembentukan urin. Tempat ini berperan penting dalam penentuan
output air dan substasnsi urin.
Permeabilitan tubulus ini terhadap air juga dipengaruhi oleh hormon ADH, permeabel
terhadap urea dan mampu mensekresi ion hidrogen dalam jumlah besar sehingga berperan
penting dalam keseimbangan asam basa.2

B. Definisi
Menurut KDIGO tahun 2012, penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kelainan
struktur atau fungsional ginjal, yang berlangsung lebih dari 3 bulan dan diklasifikasian
berdasarkan kausa, kategori LFG, dan kategori albuminuria3

C. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, ada meningkatnya insiden dan prevalensi gagal ginjal, dengan
hasil yang buruk dan biaya tinggi. Penyakit ginjal adalah penyebab utama kematian
kesembilan di Amerika Serikat. Nasional Ketiga Kesehatan dan Survey (NHANES III)
memperkirakan bahwa prevalensi penyakit ginjal kronis pada orang dewasa di Amerika
Serikat adalah 11% (19,2 juta): 3,3% (5,9 juta) memiliki tahap 1, 3% (5,3 juta) harus tahap 2,
4,3% (7,6 juta) memiliki stadium 3, 0,2% (400.000) memiliki stadium 4, dan 0,2% (300.000)
memiliki tahap 6
Menurut ketiga Kesehatan Nasional dan Survei Pemeriksaan Gizi, diperkirakan bahwa
6,2 juta orang (yaitu 3% dari total penduduk AS) lebih tua dari 12 tahun memiliki nilai
kreatinin serum di atas 1,5 mg / dL; 8 juta orang memiliki GFR kurang dari 60 mL / menit,
mayoritas dari mereka berada di populasi Medicare senior (5,9 juta orang).
Tingkat kejadian stadium akhir penyakit ginjal (ESRD) telah terus meningkat secara
internasional sejak tahun 1989. Amerika Serikat memiliki tingkat kejadian tertinggi ESRD,
diikuti oleh Jepang. Jepang memiliki prevalensi tertinggi per juta penduduk, dengan Amerika
Serikat menempati posisi kedua.5
D. Etiologi
Berdasarkan etiologi, CKD dapat dibagi menjadi:
Penyakit Tipe Mayor

Penyakit Ginjal Diabetik Diabetes tipe I dan II

Penyakit Ginjal Non Diabetik Penyakit glomerular (autoimun, infeksi, neoplasma)

Penyakit vaskular (hipertensi, mikroangiopati)

Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, nefrolitiasis, obstruksi,


keracunan obat)

Penyakit kistik (polikistik ginjal)

Penyakit Pada Transplantasi Transplantasi glomerulonefropati

E. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural
dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang
diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif.
Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan
jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi
sehingga terjadi lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus.
Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan
Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksindan
hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan kontribusiterhadap terjadinya
hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.
Asidosis metabolik
Gagal ginjal ditandai dengan berbagai jenis gangguan biokimia. Salah satu kelainan
konstan yang selalu tampak pada penderita uremia adalah asidosis metabolik. Pada diet
normal, ginjal harus mengeluarkan 40-60 mEq ion Hidrogen setiap harinya untuk mencegah
asidosis. Pada gagal ginjal kurangnya kemampuan mengekskresikan ion hidrogen
mengakibatkan asidosis sistemik disertai penurunan bicarbonat dan Ph plasma. Karena kurang
mengeksresikan ion hidrogen ginjal melakukan kompensasi lain dengan cara mengeksresikan
amonium sehingga ion hidrogen juga dapat dikeluarkan. Namun eskresi amonium ini masih
belum cukup untuk meningkatkan Ph darah karena banyaknya nefron yang telah mengalami
kerusakan sehingga ekskresi total dari amonium inipun menurun.
Ketidakseimbangan Kalium
Kadar kalium darah normalnya 3,5-5,5 mEq/L. Pada awitan awal gagal ginjal dapat
terjadi hipokalemi karena poliuri. Namun, apabila gagal ginjal stadium lanjut terjadi asidosis
sistemik yang menyebabkan perpindahan kalium dari dalam sel ke cairan ekstraseluler
sehingga menimbulkan hiperkalemi. Selain itu juga pada gagal ginjal stadium akhir yang
sudah terjadi kerusakan nefron tidak dapat mengeskresikan kalium yang secara bersamaan
terjadi oligouri.
Ketidakseimbangan Natrium
Pada orang normal ekskresi garam dapat berkisar dari nol sampai lebih dari 20g/hari.
Pada awitan awal gagal ginjal terjadi peningkatan ekskresi natrium yang bersamaan dengan
poliuri. Namun apabila telah terjadi gagal ginjal kronik stadium akhir nefron tidak dapat lagi
mengeksresikan natrium sehingga terjadi retensi natrium
Azotemia
Sama halnya dengan ion natrium dan kalium pada gagal ginjal stadium lanjut sulit
mengeksresikan urea dan kreatinin sehingga terjadi penumpukan urea dan kreatinin.
Penumpukan ini disertai dengan penumpukan zat sisa lain yang tidak dapat di eksresikan
dapat menjadi racun dalam tubuh.
Kelainan Kardiovaskular
Sindrom uremik biasanya berkaitan dengan gagal jantung kongestif dan hipertensi.
Sekitar 90% hipertensi karena berkaitan dengan volume dan retensi air dan natrium. Apabila
hal ini terus berlanjut akan menyebabkan overload cairan pada pembuluh darah sistemik
sehingga akan meningkatkan beban jantung. Apabila beban jantung ini terus-menerus terjadi
akan menyebabkan gagal jantung kongestif.
Perubahan Pernafasan
Pada pasien ini sering terjadi asidosis sehingga tubuh melakukan kompensasi dengan
cara membentuk bicarbonat dari pernafasan sehingga pernafasan akan menjadi kusmaul. Pada
keadaan asidosis pernafasan kusmaul dirasakan oleh penderita seperti gejala dyspneu. Namun
pada pasien juga sering mengeluhkan sesak yang disertai dengan rhonki. Tanda rhonki ini
merupakan gejala dari edema paru yang terjadi akibat dari kelebihan cairan dan retensi
natrium.
Kelainan Hematologi
Anemia normositik dan normokromik yang khas selalu terjadi pada sindrom uremik.
Penyebab utama anemia adalah menurunnya pembentukan eritrosit. Penurunan pembentukan
eritrosit ini karena defisiensi eritropoietin oleh ginjal. Selain itu racun uremik juga dapat
menyerang sumsum tulang. Racun uremik juga meningkatkan hemolisis eritrosit sehingga
masa paruh hidup eritrosit berkurang. Pada pasien dengan gagal ginjal rutin hemodialisa dapat
mengalami kekurangan asam folat karena pada saat dialisa banyak vitamin yang ikut
terbuang.
Ostedistrofi Ginjal
Osteodistrofi ginjal sering terjadi pada penderita gagal ginjal kronik yang terdiri dari
tiga lesi. Osteomalasia merupakan gangguan paling sering ditemukan dan terlihat sekitar 60%
dari semua penderita gagal ginjal kronik. Osteomalasia ini disebabkan karena gangguan
mineralisasi tulang oleh difisiensi 1,25-dihidroksikolekalsiferol atau kalsitriol, bentuk paling
aktif vitamin D yang dimetabolisme oleh ginjal. Defisiensi bentuk aktif vitamin D
menyebabkan terganggunya absorbsi kalsium dari usus. Dalam tulang, osteoblas membentuk
jaringan osteoid (rangka tempat garam kalsium diletakkan untuk membentuk tulang), tetapi
kadar kalsium dan vitamin D yang tak aktif memungkinkan tak dapat terjadi mineralisasi.
Jaringan osteoid akhirnya menggantikan tulang normal, sehingga terjadi osteomalasia pada
orang dewasa dan rakitis pada anak-anak. Osteoid secara struktural lemah dan dapat
mengalami fraktur secara mudah atau perubahan bentuk bila mendapat tekanan.
Osteoitis fibrosa ditemukan pada lebih dari 30 & pasien dan ditandai dengan resorpsi
osteoklastik tulang serta penggantian oleh jaringan fibrosa. Demineralisasi tulang mungkin
bersifat lokal dan seperti lesi kistik atau sebagai penurunan umum densitas tulang pada
radiogram. Osteitis fibrosa disebabkan oleh peningkatan hormon paratiroid pada gagal ginjal
kronik. Hasil radiogram klasik osteitis fibrosa sering tampak pada jari-jari tangan sebagai
resirtosi tulang subperitosteal, dan pada tengkorak berupa bercak-bercak dengan densitas
tulang yang menurun.
Osteoporosis merupakan jenis gangguan tulang ketiga yang jarang ditemukan, sering
bermanifestasi pada vertebra yang tampak berpita atau bergaris pada radiogram.
Osteosklerosis disebabkan oleh selang-seling anatara pengurangan dan peningkatanan
densitas tulang.
F. Diagnosis
Gejala Klinis
Pada gagal ginjal kronik, gejala gejalanya berkembang secara perlahan. Pada
awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dari
pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka lama kelamaan
akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada stadium ini,
penderita menunjukkan gejala gejala fisik yang melibatkan kelainan berbagai organ seperti :
Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor uremik
Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit
Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya konsentrasi
menurun, insomnia, gelisah
Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema
Gangguan kelamin: libido menurun, nokturia, oligouria

Kriteria Diagnosis CKD:


Kategori GFR
Kategori GFR GFR (ml/min/1.73 m2) Kesan

G1 90 Normal atau tinggi

G2 60-89 Sedikit menurun*

G3a 4559 Penurunan sedikit sampai sedang

G3b 3044 Penurunan sedang sampai berat

G4 1529 Penurunan berat

G5 15 Gagal Ginjal
*Relatif pada dewasa muda
Tanpa adanya bukti kerusakan ginjal, G1 dan G2 tidak memenuhi kriteria PGK
Kategori Albuminuria
Kategori AER ACR Kesan
(mg/mm (mg/g)
(mg/24h) ol)

A1 <30 <3 <30 Normal sampai sedikit kenaikan

A2 30-300 3-30 30-300 Kenaikan sedang

A3 >300 >30 >300 Kenaikan berat

Rumus Perhitungan GFR

Metode dengan menggunakan Inulin Clearance


Creatinin Based GFR
Ucr : kreatinin urin Pcr : Plasma Creatinin
V : Volume urin

Prediksi GFR (estimatedGFR)


o Rumus Cockcroft-Gault

Constant : 1.23 untuk laki-laki, 1.04 untuk perempuan


Rumus MDRD (Modification Diet in Renal Disease)

Rumus CKD-EPI

Scr k : 0.7 untuk perempuan dan 0.9 untuk laki-laki


Rumus Mayo Quadratic

Jika SCr < 0.8, gunakan 0.8 untuk SCr

Rumus GFR untuk Pediatri

Pemeriksaan Penunjang
Gambaran Radiologi
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
o Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak
o Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
o Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
o Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
o Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi

Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal


Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan dan bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang sudah
diberikan. Kontraindikasi pada ukuran ginjal yang mengecil, ginjal polikistik, hipertensi
yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan
obesitas
G. Terapi
Penatalaksanaan
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan
LFG. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit
dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG untuk
mngetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Cara untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah :
a. Pembatasan asupan protein
Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam tubuh tetapi di pecah menjadi
urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui ginjal selain itu
makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion
anorganik lainnya juga dieksresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet
tinggi protein pada penderita gagal ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan
substansi nitrogen dan ion anorganik lainnya dan mengakibatkan sindrom uremia.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena
protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama dan untuk mencegah
terjadinya hiperfosfatemia. Berikut ini batasan protein yang dapat diberikan sesuai
dengan tingkat GFR pasien :
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
LGF ml/menit Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6 0,8/kg/hari < 10 g

5-25 0,6 0,8/kg/hari < 10 g

< 60 (sind. Nefrotik) 0,8/kg/hari <9g

b. Terapi farmakologi
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi
(ACE inhibitor) disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskular
juga sangat penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan
mengurangi hipertensi intraglomerular dan hipertrofi glomerulus
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Dengan cara pengendalian DM, pengendalian hipertensi, pengedalian dislipidemia,
pengedalian anemia, pengedalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan
dan gangguan keseimbangan elektrolit.
5. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi
Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin < 10 g% atau hematokrit <
30% meliputi evaluasi terhadap status besi ( kadar besi serum/serum iron, kapasitas
ikat besi total/ total iron binding capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan
morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis,dll. Pemberian eritropoitin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Sasaran hemoglobin adalah 11 12 g/dl.
Osteodistrofi renal
Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui :
Mengatasi hiperfosfatemia
Pembatasan asupan fosfat 600 800 mg/hari
Pemberian pengikat fosfat, seperti garam, kalsium, alluminium hidroksida,
garam magnesium. Diberikan secara oral untuk menghambat absorpsi fosfat
yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah
kalsium karbonat (CaCO3) dan calcium acetate
Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat menghambta reseptor Ca pada
kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida.
Pemberian kalsitriol
Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar
hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal karena dapat meningkatkan absorpsi fosfat
dan kaliun di saluran cerna sehingga mengakibatkan penumpukan garam calcium
carbonate di jaringan yang disebut kalsifikasi metastatik, disamping itu juga dapat
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.
Pembatasan cairan dan elektrolit
Pembatasan asupan cairan untuk mencegah terjadinya edema dan kompikasi
kardiovaskular sangat perlu dilakukan. Maka air yang masuk dianjurkan 500 800 ml
ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asuapannya adalah kalium dan
natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia dapat mengakibatkan
aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat obat yang mengandung
kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi.
Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan
untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan,
disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.
6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15 ml/mnt.
Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

H. Komplikasi
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai berikut :
Hiperkalemia
Asidosis metabolic
Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan CHF )
Kelainan hematologi (anemia)
Osteodistrofi renal
Gangguan neurologi ( neuropati perifer dan ensefalopati)
Tanpa pengobatan akan terjadi koma uremik
I. Prognosis
Umumnya Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka
panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan
sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK itu sendiri. Selain itu,
biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan
gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat. Menurut KDIGO predikisi prognosis
pada CKD bisa dilihat dengan menggunakan GFR dan albuminuria yang terjadi pada pasien
seperti pada tabel di bawah ;
Tabel yang terarsir dengan warna hijau memiliki kemungkinan yang lebih rendah untuk jatuh
menjadi kegagalan ginjal, sedangkan yang berwarna merah memiliki resiko lebih tinggi untuk
menjadi gagal ginjal.3
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama : Ny. Z
Usia : 42 tahun
Jenis kelamin : Wanita
Alamat : Lombok Barat
Suku : Sasak
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
No. RM : 581102
Tanggal MRS : 09-04-2017
Tanggal Periksa : 20-04-2017

II. ANAMNESIS

A. Keluhan Utama : Sesak dan lemas

B. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas dan lemas. Sesak sudah dirasakan
sejak 1 minggu sebelum MRS dan memberat 2 hari sebelum MRS. Sesak dirasakan
terus menerus, memberat saat melakukan aktifitas bahkan saat berbicara dan tidur
dalam posisi terlentang. Sesak dirasakan membaik saat pasien berada dalam posisi
duduk. Pasien mengaku sering terbangun dikarenakan sesak dalam 1 minggu terakhir.
Selain sesak pasien juga merasakan batuk kering, batuk di rasakan sekitar 1 minggu
sebelum MRS, batuk dirasakan memberat saat malam hari, saat batuk pasien
merasakan adanya nyeri di seluruh lapang paru, nyeri ini juga dirasakan saat pasien
menarik nafas panjang.

Selain itu, pasien juga merasakan perutnya membesar, hal ini sudah dialami 3
hari sebelum MRS, pasien tidak merasakan nyeri pada perutnya. Selain pada perut,
sekitar 1 bulan lalu pasien juga mengeluhkan kakinya bengkak, namun bengkak
dirasakan biasa saja tidak terlalu bengkak. Keluhan seperti ini beberapa kali dirasakan
pasien.

Keluhan lemas pasien sudah dirasakan lebih dari satu minggu, lemas awalnya
hanya dirasakan saat beraktifitas, namun lama kelamaan pasien merasa semakin tidak
bertenaga, keluhan lemas disertai dengan pusing berputar yang membaik jika pasien
tidur atau beristirahat. Keluhan mual (+) namun sudah tidak terlalu dirasakan pasien,
muntah (-), demam (-), keluhan BAB/BAK disangkal.

Pasien mengaku telah didiagnosa mengalami gagal ginjal sejak 8 bulan yang
lalu dan semejak itu pasien rutin melakukan HD 2 kali seminggu pada hari selasa dan
jumat di RSUP NTB. Pasien juga mengatakan bahwa sejak 5 tahun yang lalu pasien
menderita hipertensi dengan tensi tertinggi mencapai 200/x namun pasien rutin untuk
mengkonsumsi obat anti hipertensi. Selain hipertensi, pasien juga mempunyai riwayat
diabetes melitus sejak 5 tahun yang lalu namun pasien rutin untuk mengontrolkan diri
ke puskesmas.

C. Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat adanya batu pada saluran kemih disangkal, riwayat batuk lama dan
asma disangkal, riwayat hipertensi (+), DM (+), penyakit jantung disangkal.

D. Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat keluarga dengan keluhan serupa (-). Riwayat keluarga dengan


hipertensi (-), DM (+) yaitu pada ayah dan 3 saudara kandung pasien, asma (-) , dan
penyakit jantung (-).
E. Riwayat Pengobatan:
Pasien rutin HD di RSUP NTB sejak 8 bulan yang lalu 2 kali seminggu. Pasien
rutin untuk memeriksakan gula darah dan tensinya di puskesmas, terlebih saat pasien
merasakan keluhan-keluhan seperti nyeri pada bagian tengkuk, lemas, dan nyeri
kepala. Pasien rutin mengkonsumsi glibenklamide untuk diabetes mellitus dan
amlodipin untuk hipertensi.
F. Riwayat Alergi :
Riwayat alergi terhadap makanan (-). Riwayat alergi terhadap obat-obatan (-).
G. Riwayat Sosial:
Pasien membuka warung di depan rumah, dan sesekali membantu suaminya di
sawah, namun hal ini sangat jarang dilakukan. Aktifitas pasien termasuk aktifitas
ringan-sedang setiap harinya. Riwayat merokok (-), minum alkohol (-), minum jamu
(-), riwayat mengonsumsi minuman bersoda 1-2x/hari dan minum teh 2-3 gelas/hari.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis
Keadaan Umum : sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6
Status Gizi : Kurus
BB = 40 kg TB = 160 cm BMI = 15.62
Tanda Vital
~ Tekanan darah : 170/100 mmHg
~ Frekuensi nadi : 94 x/menit, reguler, kuat angkat.
~ Frekuensi napas : 28 x/menit, reguler, torako-abdominal.
~ Suhu aksila : 37.0 C
Status Lokalis
~ Kepala
Bentuk dan ukuran : normal
Rambut : normal
Edema : (-)
Parese N. VII : (-)
Hiperpigmentasi : (-)
Nyeri tekan kepala : (-)

~ Mata
Simetris
Alis normal
Exopthalmus : (-/-)
Ptosis : (-/-)
Nystagmus : (-/-)
Strabismus : (-/-)
Edema palpebra : (-/-)
Konjungtiva : anemis (+/+), hiperemia (-/-)
Sclera : ikterus (-), hiperemia (-/-), pterygium (-/-)
Pupil : Rp +/+, isokor, bentuk bulat, 3 mm, miosis (-/-),
midriasis (-/-)
Kornea : normal
Lensa : pseudopakia (-/-), keruh (-/-)
Pergerakan bola mata : normal ke segala arah

~ Telinga
Bentuk : normal, simetris antara kiri dan kanan.
Liang telinga (MAE) : normal, sekret (-/-), serumen (-/-).
Nyeri tekan tragus : (-/-)
Peradangan : (-/-)
Pendengaran : kesan normal

~ Hidung
Simetris
Deviasi septum : (-/-)
Napas cuping hidung : (-)
Perdarahan : (-/-)
Sekret : (-/-)
Penciuman : kesan normal

~ Mulut
Simetris
Bibir : sianosis (-), pucat (+), stomatitis angularis (-), ulkus (-)
Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-).
Lidah : glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-),
kemerahan di pinggir (-), tremor (-), lidah kotor (-).
Gigi geligi : normal
Mukosa : normal

~ Leher
Simetris
Deviasi trakea : (-)
Kaku kuduk : (-)
Pembesaran KGB : (-)
JVP : normal (5+2) cm
Otot SCM : aktif (+), hipertrofi (-)
Pembesaran tiroid : (-)

~ Thorax

Inspeksi :
1) Bentuk dan ukuran dada asimetris, tampak sisi kanan lebih besar, barrel chest
(-).
2) Ikterik (-)
3) Pergerakan dinding dada asimetris, tampak ketertinggalan gerak sisi kanan.
4) Permukaan dinding dada: scar (-), massa (-), spider naevi (-), ictus cordis tidak
tampak.
5) Penggunaan otot bantu napas : SCM aktif (+), hipertrofi SCM (-), otot bantu
abdomen aktif (-).
6) Tulang iga dan sela iga : pelebaran ICS (+) pada sisi kanan, penyempitan ICS
(-), arah tulang iga normal.
7) Fossa supraklavikula dan infraklavikula cekung simetris, fossa jugularis:
deviasi trakea (-).
8) Tipe pernapasan torako-abdominal dengan frekuensi napas 28 x/menit.

Palpasi :
1) Posisi mediastinum : deviasi trakea (-), ictus cordis teraba di ICS V linea
midclavicular sinistra, thrill (-).
2) Nyeri tekan (-), benjolan (-), krepitasi (-), suhu normal.
3) Pergerakan dinding dada asimetris, ketertinggalan pada sisi kanan.
4) Vocal fremitus
+ +
- +
- +

Perkusi :
1) Sonor pada kedua lapang paru
S S
R R
R R
2) Batas paru-jantung : Dextra ICS II linea parasternalis dekstra
Sinistra ICS V linea midclavicularis sinistra

3) Batas paru-hepar :
- Ekspirasi ICS IV
- Inspirasi ICS VI Ekskursi : 2 ICS
Auskultasi :
1) Cor : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-).
2) Pulmo :
- Vesikuler :
+ +

- Rhonki:
- -
- -
+ +

- Wheezing :
- -
- -
- -

3) Tes percakapan
+ +
+
+

~ Abdomen

Inspeksi :
1) Tampak distensi (+), ascites (+).
2) Umbilikus masuk merata
3) Permukaan kulit: ikterik (-), bercak luka yang mengering (-), scar (+) post
secsio caesar, massa (-), vena kolateral (-), caput medusa (-).

Auskultasi :
1) Bising usus (+) normal
2) Metalic sound (-)
3) Bising aorta (-)

Perkusi :
1) Pekak pada seluruh lapang abdomen
2) Nyeri ketok (-)
3) Shifting dullness (+)

Palpasi :
1) Nyeri tekan
- + -
- - -
- - -
2) Massa (-)
3) Hepar/lien/ren tidak teraba
4) Murphy sign (-)

~ Ekstremitas
Ekstremitas Atas Ekstremitas Bawah
Akral hangat : +/+ Akral hangat : +/+
Ikterik : -/- Ikterik : -/-
Deformitas : -/- Deformitas : -/-
Edema : -/- Edema : -/-
Sianosis : -/- Sianosis : -/-
Petekie : -/- Petekie : -/-
Bercak luka : -/- Bercak luka : -/-
Clubbing finger : -/- Clubbing finger : -/-
Sendi : dbn Sendi : dbn
CRT : < 2 detik
~ Genitourinaria: tidak di evaluasi
IV. RESUME

Pasien datang dengan keluhan sesak nafas dan lemas. Sesak sudah dirasakan
sejak 1 minggu sebelum MRS dan memberat 2 hari sebelum MRS. Sesak dirasakan
terus menerus, memberat saat melakukan aktifitas bahkan saat berbicara dan tidur
dalam posisi terlentang. Sesak dirasakan membaik saat pasien berada dalam posisi
duduk. Pasien mengaku sering terbangun dikarenakan sesak dalam 1 minggu
terakhir. Selain sesak pasien juga merasakan batuk kering, batuk di rasakan sekitar
1 minggu sebelum MRS, batuk dirasakan memberat saat malam hari, saat batuk
pasien merasakan adanya nyeri di seluruh lapang paru, nyeri ini juga dirasakan saat
pasien menarik nafas panjang. Lemas (+) dirasakan memberat disertai pusing
berputar. Mual (+), muntah (-), demam (-), keluhan BAB/BAK disangkal.

Pasien mengaku telah didiagnosa mengalami gagal ginjal sejak 8 bulan yang
dan rutin melakukan HD 2 kali seminggu. Riwayat hipertensi (+) dengan tensi
tertinggi mencapai 200/x namun pasien rutin untuk mengkonsumsi obat anti
hipertensi. Selain hipertensi, pasien juga mempunyai riwayat diabetes melitus sejak
5 tahun yang lalu namun pasien rutin untuk mengontrolkan diri ke puskesmas.

TD : 170/90 mmHg, Nadi : 94 x/menit, RR : 28 x/menit, T : 37C.


Konjungtiva anemis (+/+); pada thorax : asimetris (+), tampak lebih besar pada sisi
kanan (+), sela iga tampak lebih melebar pada sisi kanan (+), pergerakan dinding
dada asimetris, ketertinggalan gerak pada sisi kanan (+), fremitus vocal melemah
dan vesikular menurun pada thorax kanan dan kiri regio medial dan inferior;
abdomen : tampak distensi (+), ascites (+), tes undulasi (+), pekak pada seluruh
lapang abdomen.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Lengkap
09/04/2017 11/04/2017 15/04/2017 19/04/2017 22/04/2017 Parameter
HB 5.3 6.4 12.7 11.2 10.6 14,0 17,5 g/dt
RBC 1.91 2.29 4.44 3.92 3.72 4,55,9 x 106/L
HCT 16.4 20.2 36.7 32.6 31.9 40 - 52 %
MCV 85.9 88.2 82.7 83.2 85.8 74 110 m3
MCH 27.7 27.9 28.6 28.6 28.5 24 33 m3
MCHC 32.3 31.7 34.6 34.4 33.2 28 36 %
WBC 8.60 10.04 3.53 6.63 5.66 4,01,3 x 103/t
PLT 330 311 199 162 162 150 400 x
103/L

2. Kimia Klinik
09/04/2017 11/04/2017 19/04/2017 22/04/2017 Nilai Rujukan
GDP - 84 mg/dl - - 70-106 mg/dl
GDS 506 mg/dl - - - < 160 mg/dl
SGOT 14 U/L - - - 8 -38 U/L
SGPT 10 U/L - - - < 41 U/L
Albumin - 3.1 - - 3,5-5,2 g/dl
Ureum 75 mg/dl 73 mg/dl 6.4 mg/dl 46 mg/dl 10-15 mg/dL
Kreatinin 8.1 mg/dl 5.1 mg/dl 87 mg/dl 4.3 mg/dl 0,6 1,1 mg/dL
Na Serum 123 mmol/L - - - 135-145 mmol/L
K Serum 4.1 mmol/L - - - 3,5 5,3 mmol/L
Cl Serum 92 mmol/L - - - 95 105 mmol/L

VI. ASSESMENT
- CKD stage V ec Nefropati Diabetik + Hipertensi Grade II + Anemia Sedang
Normositik Normokromik + Efusi Pleura Bilateral.

VII. DIFERENSIAL DIAGNOSIS


- CKD stage V e.c. dd: 1. Nefropati Diabetik
2. Hipertensi
- Anemia sedang e.c dd: 1. Penyakit Kronis
2. Perdarahan
- Efusi Pleura Bilateral

VIII. PLANNING
Planning Diagnosis
Laboratorium
- Darah lengkap (DL)
- Kimia darah: Glukosa darah sewaktu (GDS), glukosa darah puasa (GDP), dan
glukosa darah 2 jam post prandial (G2PP), ureum, kreatinin, elektrolit,
albumin.
- Urin Lengkap
- USG abdomen
- Foto Thorax
Planning Terapi
Perbaikan keadaan umum:
- IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
- Inj ranitidine 1 amp/12 jam
- Inj. Ceftriaxon 1gr/24jam
- CaCO3 tab 3x1
- As. Folat tab 3x1
- Furosemid 1 amp/8jam
- Valsartan 1 x 80 mg
- Transfusi 1 kolf/hari
Terapi Lanjutan:
- Pro HD
- Pungsi Ascites
- Pungsi Pleura

Edukasi:
- Mengontrol asupan cairan/air minum perhari, maksimal 600 mililiter atau
setara dengan 1 botol air kemasan sedang.
- Mengurangi konsumsi protein untuk mengurangi sindrom uremik
- Mengontrol DM dan tekanan darah
- Memeriksakan diri ke dokter tiap 3 bulan sekali untuk mengontrol GFR
- Dianjurkan kecukupan energi 35kkal/KgBB/hari
Planning Monitoring
Keluhan
Tanda vital
DL
Kimia klinik (GDS, Ureum, Kreatinin)

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
Follow-up

Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning


09/04/2017 Lemas seluruh Keadaan Umum: sedang CKD stg. V + IVFD RL 15 tpm
badan, mual Kesadaran: CM anemia sedang Inj Ceftriaxone 1 gr/12
(+) sejak 7 TD: 150/80 mmHg normositik jam
hari yang lalu. N: 80 x/mnt regular, kuat normokromik Inj ranitidine 1 amp/12
Sesak (+). angkat jam
RR: 32 x/mnt CaCO3 tab 2x1
T: 36.1C As. Folat tab 2x1
K/L: an -/-; ikt -/- Furosemid 1A/8 jam
Tho: C: S1S2 tunggal
regular m(-) g (-)
P: Ves +/+ wh -/-
rh-/-
Abd: distensi (-); BU (+)
N; NT (+) epiganstrium;
massa (-); H/R/L ttb
Ekst: hangat (+/+)/(+/+),
edem (-/-)

10/04/2017 Lemas seluruh Keadaan Umum: sedang CKD stg. V + IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
badan, mual Kesadaran: CM anemia sedang Inj Ceftriaxone 1 gr/12
(+) sesak (+). TD: 140/80 mmHg normositik jam
N: 80 x/mnt regular, kuat normokromik Inj ranitidine 1 amp/12
angkat jam
RR: 40 x/mnt Inj. CaCO3 3x1
T: 37.2C As. Folat tab 3x1
K/L: an -/-; ikt -/- Cek GD 2J PP
Tho: C: S1S2 tunggal
regular m(-) g (-)
P: Ves +/+ wh -/-
rh-/-
Abd: distensi (-); BU (+)
N; NT (+) epiganstrium;
massa (-); H/R/L ttb
Ekst: hangat (+/+)/(+/+),
edem (-/-)
11/04/2017 Mual (+) Keadaan Umum: sedang CKD stg. V + IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
pusing (+) Kesadaran: CM anemia sedang Inj Ceftriaxone 1 gr/12
Sesak (+), TD: 140/70 mmHg normositik jam
lemas (+) N: 88 x/mnt regular, kuat normokromik Inj ranitidine 1 amp/12
Batuk (+) angkat jam
RR: 20 x/mnt CaCO3 tab 3x1
T: 37,5C As. Folat tab 3x1
K/L: an +/+; ikt -/- Efusi cairan pleura
Tho: C: S1S2 tunggal
regular m(-) g (-)
P: Ves +/+ wh -/-
rh-/-
Abd: distensi (-); BU (+)
N; NT (+) epiganstrium;
massa (-); H/R/L ttb
Ekst: hangat (+/+)/(+/+),
edem (-/-)
12/04/2017 Sesak (+) Keadaan Umum: sedang CKD stg. V + IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
pusing (+) Kesadaran: CM anemia sedang Trf PRC 2 Kolf (1
Nafsu makan TD: 140/90 mmHg normositik kantong/hari)
menurun (+) N: 88 x/mnt regular, kuat normokromik Valsartan 1x160 mg
angkat Amlodipin 1x5 mg
RR: 20 x/mnt Inj Ceftriaxone 1 gr/12
T: 36,6C jam
K/L: an +/+; ikt -/- Inj ranitidine 1 amp/12
Tho: C: S1S2 tunggal jam
regular m(-) g (-) CaCO3 tab 3x1
P: Ves +/+ wh -/- As. Folat tab 3x1
rh-/-
Abd: distensi (-); BU (+)
N; NT (+) epiganstrium;
massa (-); H/R/L ttb
Ekst: hangat (+/+)/(+/+),
edem (-/-)

13/042017 Sesak (+) Keadaan Umum: sedang CKD stg. V + IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
setelah Kesadaran: CM anemia sedang O2 4 lpm
transfusi, TD: 150/90 mmHg normositik Inj Ceftriaxone 1 gr/12
Batuk (+) N: 82 x/mnt regular, kuat normokromik jam
angkat Inj ranitidine 1 amp/12
RR: 26 x/mnt jam
T: 36,6C Inj. Ampisilin 1gr/8 jam
K/L: an +/+; ikt -/- CaCO3 tab 3x1
Tho: C: S1S2 tunggal As. Folat tab 3x1
regular m(-) g (-) PRC 1 kolf/hari
P: Ves +/+ wh -/- Pungsi pleura
rh-/-
Abd: distensi (+); BU (+)
N; NT (+) epiganstrium;
massa (-); H/R/L ttb
Ekst: hangat (+/+)/(+/+),
edem (-/-)
14/04/2017 Sesak (+) Keadaan Umum: sedang CKD stg. V + IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
namun Kesadaran: CM anemia sedang O2 4 lpm
berkurang, TD: 140/90 mmHg normositik Inj Ceftriaxone 1 gr/12
Batuk (+) N: 82 x/mnt regular, kuat normokromik jam
angkat Inj ranitidine 1 amp/12
RR: 24 x/mnt jam
T: 36,6C Inj. Ampisilin 1gr/8 jam
K/L: an +/+; ikt -/- CaCO3 tab 3x1
Tho: C: S1S2 tunggal As. Folat tab 3x1
regular m(-) g (-) PRC 1 kolf/hari
P: Ves +/+ wh -/-
rh-/-
Abd: distensi (+); BU (+)
N; NT (+) epiganstrium;
massa (-).
Ekst: hangat (+/+)/(+/+),
edem (-/-)
15/04/2017 Sesak (+) , Keadaan Umum: sedang CKD stg. V + IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
Batuk (+), Kesadaran: CM anemia sedang Inj ranitidine 1 amp/12
demam (+) TD: 150/90 mmHg normositik jam
mual (+) dan N: 88 x/mnt regular, kuat normokromik Inj. Ampisilin 1gr/8 jam
muntah (+) angkat CaCO3 tab 3x1
RR: 32 x/mnt As. Folat tab 3x1
T: 37,7C
K/L: an +/+; ikt -/-
Tho: C: S1S2 tunggal
regular m(-) g (-)
P: Ves +/+ wh -/- rh-/-
Abd: distensi (-); BU (+)
N; NT (+) epiganstrium;
massa (-); H/R/L ttb
Ekst: hangat (+/+)/(+/+),
edem (-/-)
16/04/2017 sesak (+) Keadaan Umum: sedang CKD stg. V + IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
Kesadaran: CM anemia sedang Inj ranitidine 1 amp/12
TD: 140/90 mmHg normositik jam
N: 84 x/mnt regular, kuat normokromik Inj. Ampisilin 1gr/8 jam
angkat CaCO3 tab 3x1
RR: 24 x/mnt As. Folat tab 3x1
T: 36,2C Transfusi on HD
K/L: an +/+; ikt -/- Diazepam 1gr IV
Tho: C: S1S2 tunggal Lasix 1gr/8jam
regular m(-) g (-)
P: Ves +/+ wh -/-
rh-/-
Abd: distensi (-); BU (+)
N; NT (+) epiganstrium;
massa (-); H/R/L ttb
Ekst: hangat (+/+)/(+/+),
edem (-/-)
17/04/2017 Sesak (+), Keadaan Umum: sedang CKD stg. V + IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
mual (+) Kesadaran: CM anemia sedang Inj ranitidine 1 amp/12
muntah (-) TD: 140/80 mmHg normositik jam
Batuk (+) N: 80 x/mnt regular, kuat normokromik Inj. Ampisilin 1gr/8 jam
angkat CaCO3 tab 3x1
RR: 28 x/mnt As. Folat tab 3x1
T: 36C Lasix 1gr/8jam
K/L: an +/+; ikt -/-
Tho: C: S1S2 tunggal
regular m(-) g (-)
P: Ves +/+ wh -/-
rh-/-
Abd: distensi (-); BU (+)
N; NT (+) epiganstrium;
massa (-); H/R/L ttb
Ekst: hangat (+/+)/(+/+),
edem (-/-)
18/04/2017 Keluhan Keadaan Umum: sedang CKD stg. V + IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
membaik, Kesadaran: CM anemia sedang Inj ranitidine 1 amp/12
sesak (-). TD: 150/70 mmHg normositik jam
N: 80 x/mnt regular, kuat normokromik Inj. Ampisilin 1gr/8jam
angkat CaCO3 tab 3x1
RR: 28 x/mnt As. Folat tab 3x1
T: 36,3C Lasix 1gr/8jam
K/L: an -/-; ikt -/-
Tho: C: S1S2 tunggal
regular m(-) g (-)
P: Ves +/+ wh -/-
rh-/-
Abd: distensi (-); BU (+)
N; NT (+) epiganstrium;
massa (-); H/R/L ttb
Ekst: hangat (+/+)/(+/+),
edem (-/-)
19/04/2017 Keluhan Keadaan Umum: sedang CKD stg. V + IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
membaik, Kesadaran: CM anemia sedang Inj ranitidine 1 amp/12
sesak (-) batuk TD: 140/70 mmHg normositik jam
(+) N: 80 x/mnt regular, kuat normokromik Inj. Ampisilin 1gr/8jam
angkat CaCO3 tab 3x1
RR: 24 x/mnt As. Folat tab 3x1
T: 36,3C Lasix 1gr/8jam
K/L: an -/-; ikt -/-
Tho: C: S1S2 tunggal
regular m(-) g (-)
P: Ves +/+ wh -/-
rh-/-
Abd: distensi (-); BU (+)
N; NT (+) epiganstrium;
massa (-); H/R/L ttb
Ekst: hangat (+/+)/(+/+),
edem (-/-)
20/04/2017 pusing (+), Keadaan Umum: sedang CKD stg. V + IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
mual (-), Kesadaran: CM anemia sedang Inj ranitidine 1 amp/12
muntah (-), TD: 140/70 mmHg normositik jam
sesak ( N: 72 x/mnt regular, kuat normokromik Inj. Ampisilin 1 gr/8jam
+) angkat CaCO3 tab 3x1
RR: 24 x/mnt As. Folat tab 3x1
T: 36,8C Lasix 1gr/8jam
K/L: an +/+; ikt -/-
Tho: C: S1S2 tunggal
regular m(-) g (-)
P: Ves +/+ wh -/-
rh-/-
Abd: distensi (-); BU (+)
N; NT (+) epiganstrium;
massa (-); H/R/L ttb
Ekst: hangat (+/+)/(+/+),
edem (-/-)

21/04/2017 sesak (+), Keadaan Umum: sedang CKD stg. V + IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
mual (-) Kesadaran: CM anemia sedang Inj ranitidine 1 amp/12
muntah (-) TD: 140/70 mmHg normositik jam
N: 80 x/mnt regular, kuat normokromik Inj. Ceftriaxon 1gr/24jam
angkat CaCO3 tab 3x1
RR: 24 x/mnt As. Folat tab 3x1
T: 36,3C Santagesik 1 amp/8jam
K/L: an +/+; ikt -/- Lasik 1 gr/8jam
Tho: C: S1S2 tunggal
regular m(-) g (-)
P: Ves +/+ wh -/-
rh-/-
Abd: distensi (-); BU (+)
N; NT (+) epiganstrium;
massa (-); H/R/L ttb
Ekst: hangat (+/+)/(+/+),
edem (-/-)
22/04/2017 sesak (+) mual Keadaan Umum: sedang CKD stg. V + IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
(-) muntah (-) Kesadaran: CM anemia sedang Inj ranitidine 1 amp/12
TD: 140/80 mmHg normositik jam
N: 72 x/mnt regular, kuat normokromik Inj. Ceftriaxon 1gr/24jam
angkat CaCO3 tab 3x1
RR: 28 x/mnt As. Folat tab 3x1
T: 36,8C Santagesik 1 amp/8jam
K/L: an +/+; ikt -/- Furosemid 1 amp/8jam
Tho: C: S1S2 tunggal Valsartan 1 x 80 mg
regular m(-) g (-)
P: Ves +/+ wh -/-
rh-/-
Abd: distensi (-); BU (+)
N; NT (+) epiganstrium;
massa (-); H/R/L ttb
Ekst: hangat (+/+)/(+/+),
edem (-/-)
BAB IV
PEMBAHASAN

The National Kidney Foundation - Kidney Dialysis Outcome Quality


Iniatiative (NKF-K/DOQI) mendefinisikan CKD sebagai (1) kerusakan ginjal
yang terjadi selama tiga bulan atau lebih, berupa kelainan struktural atau
fungsional ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG),
dengan manifestasi kelainan patologis atau petanda (marker) kerusakan ginjal ,
termasuk kelainan dalam komposisi darah maupun urin, atau kelainan dalam tes
2
pencitraan ; atau (2) LFG < 60 ml/menit/1,73m selama tiga bulan atau
lebih, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Berdasarkan derajat penyakit, yang
ditentukan dari nilai laju filtrasi glomerulus, maka NKF-K/DOQI
merekomendasikan klasifikasi CKD menjadi 5 stadium. Menurut klasifikasi ini,
23
CKD stage V ditegakkan bila nilai LFG < 15 ml/menit/1,73 m .
Gejala klinik yang ditunjukkan oleh penderita CKD meliputi: (1) sesuai
dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius,
batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurisemi, Lupus Eritematosus Sistemik dan
lain sebagainya. (2) gejala-gejala Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi,
anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded),
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
(3) Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,
4
kalium, klorida).
Pada kasus ini, pasien wanita, 47 tahun, mengeluh sesak nafas sejak
beberapa hari SMRS, yang bertambah berat bila pasien berbaring atau
beraktivitas, namun agak membaik dengan perubahan posisi dan beristirahat.
Pasien juga mengalami rasa mual, muncul beberapa saat setelah pasien makan
atau minum sesuatu. Pasien mengeluh kedua kakinya bengkak secara bersamaan
sekitar 1 bulan sebelum MRS, namun saat ini pasien mengeluhkan perutnya
membesar. Semenjak timbulnya keluhan-keluhan diatas, pasien merasa badannya
lemah seperti tidak bertenaga. Lemah dirasakan sepanjang hari, hingga membuat
pasien lebih banyak berbaring di tempat tidur.
Dalam kepustakaan disebutkan bahwa penyebab gagal ginjal yang
menjalani hemodialisis di Indonesia th. 2000 meliputi: Glomerulonefritis
(46,39%), Diabetes melitus (18,65%), Obstruksi dan infeksi (12,85%), Hipertensi
4
(8,46%), Sebab lain (13,65%).
Pada kasus ini, pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang
lalu, dan telah mendapatkan pengobatan captopril 2 x 1 tablet sehari. Selain itu,
pasien juga mengalami diabetes mellitus sejak 5 tahun lalu, yang mneurut pasien
terkontrol dengan rutin minum obat. Riwayat penyakit lain seperti penyakit
jantung serta asma disangkal, demikian pula tidak ada riwayat trauma pada kedua
ginjal.
Gambaran laboratorium CKD meliputi: (1) sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya; (2) penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum serta penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault, adapun kelanian lain belum diperiksa.

Dari hasil pemeriksaan darah lengkap pada kasu ini, dijumpai adanya
anemia sedang normokromik normositer dan penurunan LFG (14,8 ml/menit/1,73
2
m )

Pemeriksaan radiologis pada CKD meliputi foto polos abdomen, pielografi


intravena, ultrasonografi, serta renografi. Pada foto polos abdomen bisa tampak
adanya batu radioopak. Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras
sering tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.
Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
Sedangkan pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
4
indikasi.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, maka
pasien ini didiagnosis dengan CKD Stage V karena secara klinis dijumpai 3
gejala/tanda klasik CKD yaitu edema, anemia, dan riwayat hipertensi, ditambah
penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan LFG < 15 ml/menit/1,73m2.
Adapun penyebab dari gagal ginjal belum diketahui.
Penatalaksanaan CKD meliputi: (1) terapi spesifik terhadap penyakit
dasarnya, (2) pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (faktor komorbid
tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak
terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras
atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya), (3) memperlambat perburukan
fungsi ginjal (restriksi protein dan terapi farmakologis),(4) pencegahan dan terapi
terhadap penyakit kardiovaskular (pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia,
anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit), (5) pencegahan dan terapi terhadap komplikasi (anemia,
osteodistrofi renal, pembatasan cairan dan elektrolit) dan (6) terapi pengganti
4
ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Terapi pengganti ginjal merupakan terapi definitif pada CKD stadium V.
Terapi pengganti ginjal tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis, dan
transplantasi ginjal. Hemodialisis emergensi adalah salah satu pilihan
hemodialisis yang dikerjakan pada pasien-pasien CKD dengan LFG < 5
2
ml/menit/1,73 m dan atau bila ditemukan salah satu dari keadaan berikut: (1)
adanya keadaan umum yang buruk dan kondisi klinis yang nyata, (2) serum
kalium > 6 meq/L, (3) ureum darah > 200 mg/dL,(4) pH darah < 7,1, (5) anuria
4
berkepanjangan (> 5 hari), (6) serta adanya bukti fluid overload.
Pada kasus ini, karena pasien menderita CKD stage V, maka telah terjadi
2
kegagalan fungsi ginjal yang didukung dengan GFR 14,18 mL/min/1,73 m .
Sehingga penatalaksanaan utama pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal
berupa hemodialisis.
Disamping itu pada pasien ini juga diberikan beberapa terapi penunjang
lainnya, yang disesuaikan dengan keadaan klinis pasien, meliputi: IVFD NaCl
0,9% 8 tpm, captopril 3 x 12.5 mg, amlodipine 1 x 10 mg, asam folat 2 x 2 mg,
CaCO3 3x500 mg , transfusi PRC hingga Hb 10 gr/dL, diet tinggi kalori 35
kkal/kgBB/hari, rendah protein 0,8 gr/kgBB/hari, rendah garam 100 mEq/hari.
Adapun dasar pemberian terapi tambahan tersebut akan dijelaskan dalam
pembahasan selanjutnya.
Anemia terjadi pada 80-90% pasien CKD. Mekanisme terjadinya anemia
pada CKD terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin akibat menurunnya
fungsi ginjal. Hal-hal yang lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia
adalah: defisiensi besi, kehilangan darah (misalnya akibat perdarahan saluran
cerna atau hematuria), massa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya
hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik,
proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat
kadar hemoglobin 10 gr % atau HCT 30% yang meliputi evaluasi terhadap
status besi (SI/TIBC/ferritin), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,
4
serta kemungkinan adanya hemolisis.
Koreksi anemia pada penderita CKD dimulai pada kadar Hemoglobin <
10 gr/dL dengan target terapi, tercapainya kadar hemoglobin antara 11-12 gr/dL.
Pemberian tranfusi pada CKD harus dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan
secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh dan
4
hyperkalemia yang kita ketahui menyebabkan perburukan fungsi ginjal.
Pada pasien ini, dilakukan tranfusi Packed Red Cells (PRC) sebanyak 4
kolf. Masing-masing 1 kolf tiap kali menjalani hemodialisis (pasien sudah
menjalani 2x Hemodialisis saat MRS).
Hipertensi merupakan salah satu temuan klinis lain yang juga sering
3
dijumpai pada CKD. Pada kasus ini, pasien didapatkan dengan hipertensi grade
1 dan riwayat pengobatan captopril 2 x 25 mg, namun hipertensinya masih belum
terkontrol.
Kontrol terhadap tekanan darah sangat penting, tidak hanya untuk
menghambat perburukan CKD, tetapi juga untuk mengurangi risiko penyakit
kardiovaskuler. Penatalaksanaan hipertensi pada pasien CKD berupa diet rendah
garam dan pemberian obat antihipertensi golongan ACE inhibitor dan atau
Angiotensin Receptor Blocker (ARB). ACE inhibitor dan ARB merupakan pilihan
obat antihipertensi untuk pasien CKD karena keduanya mengurangi hipertensi
glomerulus melalui 2 mekanisme, yaitu: (1) menurunkan tekanan darah sistemik
dan menyebabkan vasodilatasi arteriol eferen; dan (2) meningkatkan permeabilitas
membran glomerulus dan menurunkan produksi sitokin fibrogenik. ARB
mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ACE inhibitor (seperti
batuk atau hiperkalemia), akan tetapi karena harga ARB lebih mahal, maka
biasanya ARB direkomendasikan bagi pasien yang tidak memberikan respon
3
positif terhadap pengobatan dengan ACE inhibitor.
Adapun target penurunan tekanan darah yang ingin dicapai pada pasien
CKD, tergantung pada kadar protein dalam urin pasien. Pada pasien dengan kadar
protein urin > 1 gr/hari, target tekanan darah yang diinginkan ialah < 125/75
mmHg, sedangkan bila kadar protein dalam urin < 1 gr/hari, target penurunan
3
tekanan darah yang diharapkan ialah < 130/80 mmHg.
Pembatasan asupan air pada pasien CKD sangat perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskuler. Air yang masuk ke
dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar baik melalui urin maupun
insesible water loss (IWL) antara 500 sampai 800 ml/hari (sesuai dengan luas
permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500 sampai 800 ml ditambah
4
jumlah urin per hari.
Pada pasien ini juga dilakukan pengaturan cairan masuk, guna mencegah
volume overload yang akan memperberat edema tungkai yang telah terjadi
sebelumnya.
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Salah satu cara untuk mengurangi keadaan tersebut
adalah dengan pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai
2
dilakukan pada LFG 60 ml/menit/1,73m . Jumlah protein yang dianjurkan ialah
0,6 0,8g/kgBB/hari, yang mana 0,35-0,50 gram diantaranya sebaiknya
merupakan protein dengan nilai biologis tinggi. Jumlah kalori yang diberikan
sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Diet rendah garam (2-3 gr/hari) juga dianjurkan
sebagai upaya untuk mencegah volume overload sekaligus sebagai terapi
3,4
nonfarmakologis untuk mengatasi hipertensi. Pada pasien ini, diberikan diet
tinggi kalori 35 kkal/kgBB/hari dan rendah protein (0,8 gr/kgBB/hari), serta diet
rendah garam (250 mg/hari).
Untuk mengatasi hiperfosfatemia dapat diberikan pengikat fosfat. Agen
yang banyak dipakai ialah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam serta
magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorpsi
fosfat yang berasal dari makanan. Garam kaslium yang banyak dipakai adalah
4
kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat. Pada pasien ini diberikan CaCO3
dengan dosis 3 x 500 mg.

Pemberian asam folat merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya
hiperhomosisteinemia pada pasien CKD, karena asam folat merupakan salah satu
substansi penting yang diperlukan dalam metabolise homosistein Pada kasus ini,
pasien diberikan terapi asam folat 2 x 2 mg.
BAB V
SIMPULAN

Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan


penyakit ginjal yang ditandai adanya kerusakan dari struktur ginjal lebih dari 3 bulan
2
yang dengan atau tanpa penurunan LFG < 60 mL/min/1,73 m , dyang bersifat
progresif dan irreversible. Adapun gejala klasik CKD diantaranya adalah edema,
hipertensi dan anemia. Berdasarkan derajat penyakitnya CKD dibagi menjadi 5 stage
yang dinilai dari LFG. Gejala klinis CKD meliputi gejala penyakit dasar, gejala
sindrom uremikum serta gejala komplikasi CKD. Penatalaksanaan CKD disesuaikan
dengan derajat kerusakan fungsi ginjal.
Pada kasus, pasien didiagnosis dengan CKD stage V, sehingga
penatalaksanaan utama pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal berupa
hemodialisis. Disamping itu pada pasien ini juga diberikan beberapa terapi
penunjang lainnya, yang disesuaikan dengan manifestasi klinis yang muncul.
Penanganan etiologi, gejala dan komplikasi penyakit dengan tepat, serta perubahan
pola diet yang disesuaikan dengan fungsi ginjal diharapkan akan membantu
mencegah perburukan kondisi ginjal sehingga meningkatkan kualitas
Daftar Pustaka

1. Sherwood, Lauralee. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2006. p. 463 503.
2. Arthur C. Guyton, M.D. Textbook of Medical Physiology Eleventh edition. Elsevier
publisher : New York ; 2006. pg. 1368-1375
3. Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney
Disease. KDIGO 2012. January 2013 ; 3:1
4. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. p. 1035 1040
5. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and
stratification, New York National Kidney Foundation, 2002.
6. Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007. p. 110 115.

Anda mungkin juga menyukai