Oleh
PUSKESMAS GUNUNGSARI
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Gizi buruk pada anak masih menjadi masalah gizi dan kesehatan masyarakat
di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 secara nasional,
prevalensi gizi kurang-buruk secara total adalah sebesar 19,6 persen, terdiri dari 5,7
persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka
prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) terlihat meningkat.
Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen tahun 2007, 4,9
persen pada tahun 2010, dan 5,7 persen tahun 2013. Sedangkan prevalensi gizi
kurang naik sebesar 0,9 persen dari 2007 dan 2013. Diantara 33 provinsi di Indonesia,
18 provinsi memiliki prevalensi gizi buruk-kurang di atas angka prevalensi nasional
yaitu berkisar antara 21,2 persen sampai dengan 33,1 persen, salah satunya adalah
Provinsi Nusa Tenggara Barat yang pada tahun 2013 memiliki prevalensi balita gizi
kurang-buruk sebesar 27 % yang mengalami penurunan dari angka di tahun 2010
sebesar 30%. Namun menurut WHO, angka ini masih terbilang tinggi untuk
dikatakan sebagai penentu keberhasilan dalam menangani masalah gizi buruk di
Indonesia. Terdapat tiga provinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk-kurang paling
tinggi di Indonesia yakni Sulawesi Barat, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Penyebab utama gizi buruk tidak hanya satu. Penyebab utama kasus gizi
buruk di Indonesia tampaknya karena masalah pola asuh dan adanya penyakit
penyerta yang berjalan akut maupun kronis (infeksi, kelainan kongenital, dll).
Kemiskinan pun juga memicu kasus gizi buruk, kemiskinan dan ketidak mampuan
orang tua menyediakan makanan bergizi bagi anaknya menjadi salah satu penyebab
meningkatnya korban gizi buruk di Indonesa selain faktor intrinsik yang menyertai
kondisi gizi buruk pada balita itu sendiri.
Salah satu cara untuk menanggulangi masalah gizi kurang dan gizi buruk
adalah dengan menjadikan tatalaksana gizi buruk sebagai upaya menangani setiap
2
kasus yang ditemukan. Pada saat ini seiring dengan perkembangan ilmu dan
teknologi tatalaksana gizi buruk menunjukkan bahwa kasus ini dapat ditangani
dengan dua pendekatan. Gizi buruk dengan komplikasi (anoreksia, pneumonia berat,
anemia berat, dehidrasi berat, demam tinggi dan penurunan kesadaran) harus dirawat
di rumah sakit, Puskesmas perawatan, Pusat Pemulihan Gizi (PPG) atau Therapeutic
Feeding Center (TFC), sedangkan gizi buruk tanpa komplikasi dapat dilakukan
secara rawat jalan. 2
Dalam hal ini, puskesmas yang merupakan ujung tombak dalam pelayanan
dan kesehatan masyarakat memiliki peranan yang sangat penting demi tercapainya
tujuan tersebut. Oleh karena itu, laporan ini akan membahas tentang penapisan dan
pencegahan gizi buruk di masyarakat umumnya dan di masyarakat di Kecamatan
Gunungsari pada khususnya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Jumlah Pasien
2
0
2014 2015 2016
4
2.2 Konsep Penyakit Gizi Buruk
Gizi buruk merupakan istilah teknis yang biasanya digunakan oleh kalangan gizi,
kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah kondisi seseorang yang nutrisinya di
bawah rata-rata. Hal ini merupakan suatu bentuk terparah dari proses terjadinya
kekurangan gizi menahun. 2
Pengukuran klinis : metode ini penting untuk mengetahui status gizi balita
tersebut gizi buruk atau tidak. Metode ini pada dasarnya didasari oleh
perubahan-perubahan yang terjadi dan dihubungkan dengan kekurangan zat
gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit,rambut,atau mata.
5
Pengukuran antropometrik : pada metode ini dilakukan beberapa macam
pengukuran antara lain pengukuran tinggi badan,berat badan, dan lingkar
lengan atas. Beberapa pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan, lingkar
lengan atas sesuai dengan usia yang paling sering dilakukan dalam survei
gizi.Di dalam ilmu gizi, status gizi tidak hanya diketahui denganmengukur BB
atau TB sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk
indikator yang dapat merupakan kombinasi dari ketiganya.
Berdasarkan Berat Badan menurut Umur (BB/U) diperoleh kategori :
1. Tergolong gizi buruk jika hasil ukur lebih kecil dari -3 SD.
2. Tergolong gizi kurang jika hasil ukur -3 SD sampai dengan < -2 SD.
6
4. Gemuk jika hasil ukur > 2 SD.
Balita dengan gizi buruk akan diperoleh hasil BB/TB sangat kurus, sedangkan balita
dengan gizi baik akan diperoleh hasil normal. 2
2.2.2 Epidemiologi
Saat ini Indonesia menduduki peringkat kelima di dunia dalam kasus gizi
buruk. Kemenkes memprioritaskan penanggulangan gizi buruk di enam provinsi yaitu
Jawa Barat, Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi Barat, NTB dan NTT karena masih
banyaknya kasus gizi buruk yang ditemukan.
Secara nasional sudah terjadi penurunan prevalensi kurang gizi (berat badan
menurut umur) pada balita dari 17,8 persen tahun 2010 menjadi 19,6 persen tahun
2013. Penurunan terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen pada tahun
2007 menjadi 4,9 persen tahun 2010 dan meningkat kembali menjadi 5,9 persen pada
tahun 2013. Tidak terjadi penurunan pada prevalensi gizi kurang, yaitu naik menjadi
13,9 persen. Prevalensi pendek pada balita tahun 2013 adalah 37,2 persen, meningkat
dari 35,6 persen pada tahun 2010. Sedangkan pada tahun 2013 prevalensi sangat
pendek menunjukkan penurunan, dari 18,8 persen tahun 2007 dan 18,5 persen tahun
2010. Prevalensi sangat kurus secara nasional tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu
5,3 persen, terdapat penurunan dibandingkan tahun 2010 (6,0 %) dan tahun 2007 (6,2
%). Demikian pula halnya dengan prevalensi kurus sebesar 6,8 persen juga
menunjukkan adanya penurunan dari 7,3 persen (tahun 2010) dan 7,4 persen (tahun
7
2007). Secara keseluruhan prevalensi anak balita kurus dan sangat kurus menurun
dari 13,6 persen pada tahun 2007 menjadi 12,1 persen pada tahun 2013
Walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi pada
balita, tetapi masih terdapat kesenjangan antar provinsi. Terdapat 18 provinsi yang
memiliki prevalensi gizi kurang dan buruk diatas prevalensi nasional. Masih ada 15
provinsi dimana prevalensi anak pendek di atas angka nasional, dan untuk prevalensi
anak kurus. Untuk prevalensi pendek pada balita masih ada 15 provinsi yang
memiliki prevalensi diatas prevalensi nasional, dan untuk prevalensi anak kurus
teridentifikasi 19 provinsi yang memiliki prevalensi diatas prevalensi nasional. 1,2
8
2.2.3 Gizi Buruk
Marasmus merupakan salah satu bentuk gizi buruk yang paling sering ditemukan
pada balita. Hal ini merupakan hasil akhir dari tingkat keparahan gizi buruk. Gejala
marasmus antara lain anak tampak kurus, rambut tipis dan jarang, kulit keriput yang
disebabkan karena lemak di bawah kulit berkurang, muka seperti orang tua
(berkerut), balita cengeng dan rewel meskipun setelah makan, bokong baggy pant,
dan iga gambang.
2.2.3.2 Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah suatu bentuk malnutrisi protein yang berat disebabkan oleh
asupan karbohidrat yang normal atau tinggi dan asupan protein yang
inadekuat.Seperti marasmus,kwashiorkor juga merupakan hasil akhir dari tingkat
keparahan gizi buruk. Tanda khas kwashiorkor antara lain pertumbuhan terganggu,
perubahan mental,pada sebagian besar penderita ditemukan oedema baik ringan
maupun berat, gejala gastrointestinal, rambut kepala mudah dicabut, kulit penderita
biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih mendalam dan
lebar, sering ditemukan hiperpigmentasi, pembesaran hati, anemia ringan, pada biopsi
hati ditemukan perlemakan.
2.2.3.3 Marasmic-Kwashiorkor
9
2.2.4. Faktor risiko
- Asupan makanan
Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain
tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak cukup atau salah mendapat
makanan bergizi seimbang, dan pola makan yang salah. Kebutuhan nutrisi yang
dibutuhkan balita adalah air, energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral.
Memilih makanan yang tepat untuk balita harus menentukan jumlah kebutuhan dari
setiap nutrien, menentukan jenis bahan makanan yang dipilih, dan menentukan jenis
makanan yang akan diolah sesuai dengan hidangan yang dikehendaki.
Sebagian besar balita dengaan gizi buruk memiliki pola makan yang kurang
beragam. Pola makanan yang kurang beragam memiliki arti bahwa balita tersebut
mengkonsumsi hidangan dengan komposisi yang tidak memenuhi gizi seimbang.
Berdasarkan dari keseragaman susunan hidangan pangan, pola makanan yang
meliputi gizi seimbang adalah jika mengandung unsur zat tenaga yaitu makanan
pokok, zat pembangun dan pemelihara jaringan yaitu lauk pauk dan zat pengatur
yaitu sayur dan buah.
10
dan ketidakmampuan untuk mengatasi berbagai masalah tersebut. Balita dengan gizi
buruk pada umumnya hidup dengan makanan yang kurang bergizi.
- Pendidikan ibu
- Penyakit penyerta
Balita yang berada dalam status gizi buruk, umumnya sangat rentan terhadap
penyakit. Seperti lingkaran setan, penyakit-penyakit tersebut justru menambah
rendahnya status gizi anak. Penyakit-penyakit tersebut adalah:
11
3. HIV AIDS : HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency
Virus. HIV merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan
tubuh manusia dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus
ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-
menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh.
4. Pneumonia :
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari
2500 gram tanpa memandang masa gestasi sedangkan berat lahir adalah berat bayi
yang ditimbang dalam 1 (satu) jam setelah lahir. Pada BBLR zat anti kekebalan
kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit terutama penyakit infeksi.
Penyakit ini menyebabkan balita kurang nafsu makan sehingga asupan makanan yang
masuk kedalam tubuh menjadi berkurang dan dapat menyebabkan gizi buruk.
- Kelengkapan imunisasi
12
Kelompok yang paling penting untuk mendapatkan imunisasi adalah bayi dan
balita karena meraka yang paling peka terhadap penyakit dan sistem kekebalan tubuh
balita masih belum sebaik dengan orang dewasa. Apabila balita tidak melakukan
imunisasi, maka kekebalan tubuh balita akan berkurang dan akan rentan terkena
penyakit. Hal ini mempunyai dampak yang tidak langsung dengan kejadian gizi.
Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan satu kali tetapi dilakukan secara bertahap dan
lengkap terhadap berbagai penyakit untuk mempertahankan agar kekebalan dapat
tetap melindungi terhadap paparan bibit penyakit.
- ASI
Hanya 14% ibu di Indonesia yang memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif
kepada bayinya sampai enam bulan. Rata-rata bayi di Indonesia hanya menerima ASI
eksklusif kurang dari dua bulan.
Selain ASI mengandung gizi yang cukup lengkap, ASI juga mengandung
antibodi atau zat kekebalan yang akan melindungi balita terhadap infeksi. Hal ini
yang menyebabkan balita yang diberi ASI, tidak rentan terhadap penyakit dan dapat
berperan langsung terhadap status gizi balita. Selain itu, ASI disesuaikan dengan
sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu
formula atau makanan tambahan yang diberikan secara dini pada bayi. Susu formula
sangat susah diserap usus bayi. Pada akhirnya, bayi sulit buang air besar. Apabila
pembuatan susu formula tidak steril, bayi akan rawan diare.
Malnutrisi energi protein (MEP) merupakan salah satu dari empat masalah
gizi utama di Indonesia. Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak di bawah umur
lima tahun (balita) serta pada ibu hamil dan menyusui. Berdasarkan Riskesdas 2007,
13% balita menderita gizi kurang dan 5,4% balita menderita gizi buruk. Pada
Risdesdas 2010, 13% balita menderita gizi kurang sedangkan angka gizi buruk turun
menjadi 4,9%.
13
Berdasarkan lama dan beratnya kekurangan energi protein, MEP
diklasifikasikan menjadi MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang) dan MEP derajat
berat (gizi buruk). Gizi kurang belum menunjukkan gejala klinis yang khas, hanya
dijumpai gangguan pertumbuhan dan anak tampak kurus. Pada gizi buruk, di samping
gejala klinis didapatkan kelainan biokimia sesuai dengan bentuk klinis. Pada gizi
buruk didapatkan 3 bentuk klinis yaitu kwashiorkor, marasmus, dan marasmik
kwashiorkor, walaupun demikian penatalaksanaannya sama.
2.2.5 Tatalaksana
MEP berat ditata laksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi dan rehabilitasi)
dengan 10 langkah tindakan seperti tabel di bawah ini :7,8
14
7. Pemberian
Makanan untuk
Tumbuh Kejar (F-
100)
8. Mikronutrien Tanpa Fe Dengan Fe
9. Stimulasi
10. Tindak Lanjut
Tabel 2. Komposisi F-75, F-100, dan F-135 Beserta Nilai Gizi Masing-Masing
Formula
15
% Energi lemak - 36 53 57
Osmolaritas mosm/l 413 419 508
Formula WHO 75
Campurkan gula dan minyak sayur, aduk sampai rata dan tambahkan larutan mineral
mix, kemudian masukkan susu skim sedikit demi sedikit, aduk sampai kalis dan
berbentuk gel. Encerkan dengan air hangat sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai
homogen dan volume menjadi 1000 ml. Larutan ini bisa langsung diminum. Masak
selama 4 menit, bagi anak yang disentri atau diare persisten.
Campurkan gula dan minyak sayur, aduk sampai rata dan tambahkan larutan mineral
mix, kemudian masukkan susu skim sedikit demi sedikit, aduk sampai kalis dan
berbentuk gel. Encerkan dengan air hangat sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai
homogen dan volume menjadi 1000 ml. Larutan ini bisa langsung diminum atau
dimasak dulu selama 4 menit. 3,7,8
2.2.5.2 Medikamentosa
16
Makanan rendah garam.
4. Atasi/cegah dehidrasi.
Penilaian dehidrasi denyut nadi, pernafasan, frekuensi kencing, air mata.
Cairan resomal peroral 5 ml/kgbb.
5. Atasi/cegah hipotermia.
Suhu < 36 hangatkan, berikan makanan tiap 2 jam.
6. Antibiotika sebagai pengobatan pencegahan infeksi:
a. Bila tidak jelas ada infeksi, berikan kotrimoksasol selama 5 hari.
b. Bila infeksi nyata: Ampisilin IV selama 2 hari, dilanjutkan dengan oral
sampai 7 hari, ditambah dengan gentamisin IM selama 7 hari.
7. Mulai pemberian makanan.
Fase awal faali hemostasis kurang jadi harus hati-hati.
Pemberian porsi kecil, sering, rendah laktosa oral nasogastrik.
Kalori 80-100 kal?Kgbb/ hari, cairan 130 ml/hari.
8. Atasi penyakit penyerta yang ada sesuai pedoman.
9. Vitamin A (dosis sesuai usia, yaitu <6 bulan : 50.000 SI, 6-12 bulan : 100.000
SI, >1 tahun : 200.000 SI) pada awal perawatan dan hari ke-15 atau sebelum
pulang.
10. Multivitamin-mineral, khusus asam folat hari pertama 5 mg, selanjutnya 1 mg
per hari.
11. Tindakan kegawatan
a. Syok (renjatan)
Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit
membedakan keduanya secara klinis saja.
Syok karena dehidrasi akan membaik dengan cepat pada pemberian
cairan intravena, sedangkan pada sepsis tanpa dehidrasi tidak akan
membaik dengan cepat. Hati-hati terhadap terjadinya overhidrasi.
Pedoman pemberian cairan:
17
Berikan larutan dextrosa 5% : NaCl 0.9% (1:1) atau larutan ringer
dengan kadar dextrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB dalam satu jam
pertama.
Evaluasi setelah 1 jam:
i. Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan
pernafasan) dan status hidrasi, maka syok disebabkan
dehidrasi. Ulangi pemberian cairan seperti di atas untuk 1 jam
berikutnya, kemudian lanjutkan dengan pemberian
Resomal/penggantil, per oral/nasogastrik, 10 ml/kgBB/jam
selama 10 jam, selanjutnya mulai berikan formula khusus (-
75/pengganti).
ii. Bila tidak ada perbaikan klinis maka anak menderita syok
septik. Dalam hal ini, berikan cairan rumat sebanyak 4
ml/kgBB/jam dan berikan transfusi darah sebanyak 10
ml/kgBB secara perlahan-lahan (dalam 3 jam). Kemudian
mulailah pemberian formula (F-75/pengganti).
b. Anemia berat
Tranfusi darah diperlukan bila:
i. Hb < 4 g/dl
ii. Hb 4-6 g/dl disertai distress pernafasan atau tanda gagal
jantung
Tranfusi darah:
18
Perhatikan adanya reaksi tranfusi (demam, gatal, Hb-uria,
syok). Bila pada anak dengan distres nafas setelah transfusi Hb
tetap < 4 g/dl atau antara 4-6 g/dl, jangan ulangi pemberian
darah.
Terdiri dari:
Setiap 1 liter cairan Resomal ini mengandung 37,5 mEq Na, 40 mEq, dan 1,5 mEq
Mg
*Bubuk WHO-ORS untuk 1 liter mengandung 2,6 g NaCl, 2,9 g trisodium citrat
sesuai formula baru, 1,5 g KCl dan 13,5 gram glukosa.
**Lihat Tabel 4.
19
Tabel 4. Komposisi Larutan Mineral Mix
Kandungan Jumlah
Kalium klorida 89,5 g
Trikalium sitrat 32,4 g
Magnesium klorida (MgCl2.6H2O) 30,5 g
Seng asetat 3,3 g
Tembaga sulfat 0,56 g
Natrium selenate 10 mg
Kalium iodide 5 mg
Air sampai volume mencapai 1000 ml
2.2.5.3 Suportif / Dietetik
1. Oral (enteral): sesuai kebutuhan energi, protein dan cairan sesuai fase-fase tata
laksana gizi buruk.
2. Intravena (parenteral): hanya atas indikasi tepat.
Tabel 5. Kebutuhan Energi, Protein dan Cairan Sesuai Fase Tatalaksana Gizi
Buruk
20
Hal penting yang harus diperhatikan:
Pada anak gizi buruk terjadi perkembangan mental dan perilaku karenanya
harus diberikan:
1. Kasih sayang
2. Lingkungan yang ceria
3. Terapi bermain terstuktur selama 15 30 menit/hari (permainan ci luk ba, dl)
4. Aktifitas fisik segera setelah sembuh
5. Keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dan sebagainya.
2.2.5.5 Kriteria Pemulangan Balita Gizi Buruk dari Ruang Rawat Inap
1. Balita:
a. Selera makan sudah bagus, makanan yang diberikan dapat dihabiskan
b. Ada perbaikan kondisi mental
c. Balita sudah dapat tersenyum, duduk, merangkak, berdiri atau berjalan,
sesuai dengan umurnya
d. Suhu tubuh berkisar antara 36,5 37,5 C
e. Tidak ada muntah atau diare
f. Tidak ada edema
g. Terdapat kenaikan berat badan > 5 g/kgBB/hr selama 3 hari berturut-
turut atau kenaikan sekitar 50 g/kgBB/minggu selama 2 minggu
berturut-turut
h. Sudah berada di kondisi gizi kurang (sudah tidak gizi buruk)
21
2. Ibu / Pengasuh:
a. Sudah dapat membuat makanan yang diperlukan untuk tumbuh kejar
di rumah
b. Ibu sudah mampu merawat serta memberikan makan dengan benar
kepada balita
3. Institusi Lapangan:
Institusi lapangan telah siap untuk menerima rujukan pasca perawatan.
2.2.5.6 Pemantauan
1. Menu dan cara membuat makanan dengan kandungan energi dan zat gizi yang
padat, sesuai dengan umur, berat badan anak.
2. Terapi bermain terstuktur
22
Sarankan:
1. Memberikan makanan dengan porsi kecil dan sering, sesuai dengan umur
anak
2. Membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur:
Bulan I : 1x/minggu
Bulan II : 1x/2 minggu
Bulan III-IV : 1x/bulan
3. Pemberian suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster)
4. Pemberian vitamin A dosis tinggi setiap 6 bulan sekali (dosis sesuai umur)
a. Pola Makan
Penyuluhan pada masyarakat mengenai gizi seimbang (perbandingan jumlah
karbonhidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral berdasarkan umur dan berat
badan)
b. Pemantauan tumbuh kembang dan penentuan status gizi secara berkala
(sebulan sekali pada tahun pertama)
c. Faktor sosial
Mencari kemungkinan adanya pantangan untuk menggunakan bahan makanan
tertentu yang sudah berlangsung secara turun-temurun dan dapat
menyebabkan terjadinya MEP.
d. Faktor ekonomi
23
Dalam World Food Conference di Roma tahun 1974 telah dikemukakan
bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan
bertambahnya persediaan bahan makanan setempat yang memadai merupakan
sebab utama krisis pangan, sedangkan kemiskinan penduduk merupakan
akibat lanjutannya. Ditekankan pula perlunya bahan makanan yang bergizi
baik di samping kuantitasnya.
e. Faktor infeksi
Telah lama diketahui adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi.
Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan status gizi. MEP,
walaupun dalam derajat ringan, menurunkan daya tahan tubuh terhadap
infeksi. 3,7,8,9,10
24
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : An. I
Agama : Islam
25
Alamat Medas Bedugul, Medas Bedugul,
Tamansari Tamansari
Gunungsari Gunungsari
Keluhan Utama :
Keluhan Tambahan :
- Batuk berdahak
- Demam
26
mengalami panas disertai batuk berdahak dan sesak yang kambuh-kambuhan
sejak pasien berusia 2 bulan lebih. Pasien juga memiliki riwayat perut kembung
dan rutin dilakukan pengeluaran feses secara manual dari usia 10 hari hingga
usia 3 bulan, diketahui bahwa pasien mengalami ultra short segmen hirscprung
disease. Riwayat batuk lama terus menerus, kejang demam disangkal.
Riwayat Pengobatan :
Pasien merupakan anak ketiga dari kehamilan ibu yang ketiga. Kehamilan
ibu tidak diketahui segera, karena sehabis pemakain KB pil menstruasi
27
dikatakan tidak teratur. Selama hamil, ibu pasien mengaku rutin
memeriksakan kehamilannya setiap bulan. Ibu pasien mengaku selama hamil
dirinya sering mengalami demam kemudian berobat ke praktik dokter
mandiri, minum obat penurun panas dan antibiotik kemudian sembuh. Ibu
pasien pernah mengalami typhoid fever saat mengandung usia 7 bulan.
Adanya sakit berat seperti tekanan darah tinggi, kejang, perdarahan, ataupun
trauma selama hamil disangkal. Ibu pasien juga tidak pernah meminum obat-
obatan selain yang diberikan oleh dokter ataupun jamu selama hamil, kecuali
vitamin penambah darah yang diberikan di posyandu. Nutrisi ibu selama
hamil cukup, makan 3-4 kali sehari, nasi, sayur, dan lauk pauk.
Pasien lahir secara spontan dibantu oleh bidan di RSUP NTB dengan
riwayat kehamilan lebih bulan (post term) dan induksi persalinan dengan
diberikan perangsang. Menurut ibu saat lahir, pasien langsung menangis dan
warna kulit bayi kemerahan. Berat badan pasien saat lahir adalah 3000 gram,
panjang badan lahir 47 cm, lingkar kepala 33 cm.
Riwayat Imunisasi :
Campak (-)
28
Riwayat Nutrisi :
Pasien saat ini masih diberikan ASI, selang seling dengan susu formula dan
mendapatkan makanan keluarga. Ibu pasien mengatakan nafsu makan dan
minum pasien baik. Makan 3 kali sehari dengan menu bervariasi sayur dan lauk
pauk, tidak ada pantangan makanan, sedangkan minum juga kuat. Ibu pasien
mengaku ASI tidak langsung diberikan sejak lahir dikarenakan ASI belum
keluar, sehingga pasien mendapatkan susu formula selama 1 hari kemudian
baru ASI. Pasien telah mendapatkan makanan pendamping ASI pada usia 5
bulan dikarenakan saat itu pasien sudah mulai minta makanan. Ibu berencana
memberikan ASI hingga usia 2 tahun.
Riwayat Tumbuh Kembang :
Pasien saat ini sudah bisa duduk sendiri, berdiri dengan dibantu orang lain,
namun belum bisa berdiri sendiri dan berjalan. Selain itu, pasien sudah dapat
mengenali dan memegang benda-benda di sekitarnya dengan baik. Pasien dapat
mengucapkan 1 kata tunggal seperti ma, nyusu. Perkembangan sosial
pasien terbatas pada keluarga yang tinggal serumah yaitu bapak, ibu dan
kakaknya. Pasien sulit bersosialisaasi dengan orang lain misalnya sepupu,
paman atau bibinya, serta orang yang baru dikenal.
29
Iktisar Keluarga
Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya dan kakak perempuannya berusia 7
tahun dalam satu rumah. Pasien berasal dari keluarga dengan ekonomi
menengah. Penghasilan rata-rata per bulan Rp 1.000.000,- sampai Rp
2.000.000,-. Lingkungan rumah sedikit padat, dalam satu lingkungan terdapat
empat rumah letaknya berdekatan, rumah yang satu dengan yang lainnya hanya
berjarak 1 m. Berdasarkan letak, rumah menghadap ke arah selatan, di depan
rumah terdapat tebing yang menghubungkan dengan rumah lain sehingga
30
kurang mendapatkan pencahayaan matahari, di dalam rumah gelap. Lantai
rumah terbuat dari keramik, sebagian semen dan dinding terbuat dari tembok
batu bata, terdapat ventilasi kecil dan jendela di bagian depan rumah yang
setiap hari dibuka. Ibu pasien mengaku bahwa ayah pasien sudah tidak
merokok, ibu memasak menggunakan kompor dan jarak pembakaran sampah
jauh dari rumah sehingga risiko pasien medapatkan polusi asap minimal. Diakui
saudara-saudara sepupu pasien yang tinggal berdekatan dengan rumah pasien
dan sering main berkunjung ke rumah pasien juga sering mengalami batuk,
pilek, demam, dan sesak namun membaik setelah berobat. Di depan rumah,
jarak kurang lebih 2 m terdapat kebun tanaman, tidak terdapat terdapat kandang
peternakan. Secara keseluruhan lingkungan rumah masih kurang terjaga
kebersihannya.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present
BBL : 3,0 kg
Panjang badan : 75 cm
31
Status gizi : Berdasarkan Zscore kurva WHO
32
Kurva BB/TB
33
Kurva BB/U
Kesan:
34
Status General
cowong (-)
THT
Telinga : hiperemis (-), edema (-), sekret (-), bagian dalam sde
Hidung : nafas cuping hidung (-), rinore (+) bening
Tenggorokan : hiperemis (-)
Mukosa bibir : Pucat (-), sianosis (-)
Leher
Cor :
35
Auskultasi : Vesikuler +/+, Rhonki +/+ (rhonki basah sedang-
kasar), Wheezing +/+
Abdomen :
36
Keterangan Gambar:
ASSESSMENT
PLANNING
Diagnostik
- Darah Lengkap
Terapi
O2 nasal kanul 1-2 lpm
Infus D5 NS 20 tetesan mikro
Injeksi Ampicilin IV 3x150 mg
Tatalaksana MEP Berat menurut WHO
Monitoring :
- Observasi vital sign (Respirasi, Frekuensi nadi, Suhu tubuh), akral
37
3.4 Hasil Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Lengkap (tanggal 13 Juni 2015)
Kesan:
Pneumonia paru
kanan
38
3.5 Diagnosis Holistik
a. Aspek personal
Pasien dikeluhkan bera badan tidak pernah naik, sesak disertai batuk dan
demam. Hasil pemeriksaan didapatkan napas cepat dan suara ronki paru,
tanpa disertai tanda bahaya.
b. Aspek klinik
Gizi buruk dengan pneumonia
c. Aspek risiko internal
Pasien sering mengalami keluhan serupa berupa infeksi pada saluran
pernapasan sejak kecil. Selain itu, adanya malnutrisi pasien yang disebabkan
oleh kelainan kongenital yang sempat dideritanya sehingga pasien
mengalami kondisi gizi buruk yang dapat menurunkan daya tahan tubuh
pasien dan mudah terkena infeksi persisten.
d. Aspek keluarga
Kurangnya kepekaan keluarga terhadap kebersihan lingkungan rumah serta
kurang memperhatikan gizi pada anak sehingga anak mudah terkena infeksi
berulang.
e. Skala fungsional
Skala fungsional pasien yaitu kelas II karena aktivitas pasien sehari-hari
terganggu dan harus istirahat total.
3.6 KIE
- Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai penyakit infeksi saluran
nafas yang diderita, beserta faktor risiko yang mungkin dapat
menyebabkan keluhan serupa dapat berulang
39
- Menjelaskan keadaan pasien dan agar tatalaksana dapat dilaksankan
dengan baik maka pasien dianjurkan untuk rawat inap.
- Menganjurkan pasien agar tetap menjaga kebersihan dan memperhatikan
gizi pasien untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
40
BAB IV
4.1. Tujuan
4.2. Metodologi
Pasien tinggal di rumah bersama kedua orang tuanya dan satu saudara
kandung perempuannya. Keluarga pasien merupakan keluarga dengan ekonomi
menengah ke bawah. Sumber penghasilan keluarga didapatkan dari ayah pasien
yang bekerja sebagai sopir dan ibu pasien yang berjualan makanan di depan
jalan rumah. Penghasilan keluarga sekitar Rp1.000.000 sampai Rp 2.000.000.
per bulan, dan dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Rumah yang dihuni saat ini merupakan rumah pribadi orangtua pasien
terdiri dari 1 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 ruang serbaguna sebagai tempat
penyimpanan makanan dan benda-benda, 1 kamar mandi dengan sumur di
dekatnya, dan 1 dapur yang berada di dalam rumah. Luas rumah pasien 8x10
meter, dengan teras. Lingkungan rumah sedikit padat, dalam satu lingkungan
terdapat empat rumah letaknya berdekatan. Berdasarkan letak, rumah
41
menghadap ke arah selatan, di depan rumah terdapat tebing yang
menghubungkan dengan rumah lainnya sehingga kurang mendapatkan
pencahayaan matahari, di dalam rumah gelap. Lantai rumah terbuat dari
keramik pada bagian ruang tamu dan kamar tidur, sedangkan ruangan lainnya
masih terbuat dari semen. Semua dinding bagian rumah dibuat tembok dan atap
rumah terbuat dari genteng, belum ditutup flapon. Terdapat ventilasi kecil
hanya pada bagian depan rumah. Terdapat satu jendela pada kamar pasien yang
dikatakan setiap hari dibuka dan satu jendela pada bagian dapur jarang dibuka.
Hal tersebut menyebabkan keadaan rumah pasien menjadi lembab. Di depan
rumah, jarak kurang lebih 2 m terdapat kebun tanaman, tidak terdapat kandang
peternakan. Secara keseluruhan keadaan dalam rumah dan lingkungannya
masih kurang terjaga kebersihan dan kerapihannya.
Ibu pasien mengaku bahwa ayah pasien tidak merokok lagi, dahulunya
saat pasien masih kecil ayah pasien masih sering merokok. Diakui saudara-
saudara sepupu pasien yang tinggal berdekatan dengan rumah pasien dan sering
main berkunjung ke rumah pasien juga sering mengalami batuk, pilek, demam,
dan sesak namun membaik setelah berobat. Adanya faktor internal meliputi
kondisi pasien dan peran orangtua yang sangat berperan terhadap timbulnya
42
penyakit pada pasien, namun faktor eksternal yaitu lingkungan juga mungkin
sangat berpengaruh untuk memudahkan terjadinya penyakit secara berulang.
Denah rumah
.
Kamar
Mandi R. Serbaguna
U
Sumur
Kamar
Tidur
R. Tamu
Dapur
43
Gambaran Keadaan Rumah Pasien
44
Gambar 5. Ruang
tamu yang sudah
berkeramik
45
KERANGKA KONSEP MASALAH PASIEN
BIOLOGIS
MELITUS
Sistem kekebalan tubuh lebih lemah
karena status nutrisi yang buruk
Usia pasien 18 bulan, rentan terhadap
DIABETES
penyakit ISPA
Adanya penyakit penyerta seperti
MELITUS
megakolon kongenital dan anemia
PERILAKU LINGKUNGAN
DIABETES
DIABETES
BAB V
PEMBAHASAN
1. Faktor Biologis
Sistem kekebalan tubuh pasien lebih lemah dibandingkan dengan anak usia
sebayanya karena status nutrisinya yang buruk. Hal ini mengakibatkan pasien
menjadi lebih rentan terhadap penyakit infeksi dan akan menyebabkan
penurunan status gizi yang lebih buruk lagi.
Adanya kelainan kongenital ultra short segmen hirschprung disease juga
mempengaruhi status gizi pasien, karena adanya kelainan kongenital ini juga
mengganggu absorbsi dan eliminasi makanan sehingga mengurangi jumlah
absorbsi status gizi pasien memburuk
2. Faktor Lingkungan
Sosio-ekonomi rendah
Pasien termasuk dalam keluarga dengan sosio-ekonomi yang rendah. Status
sosial ekonomi merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk dikarenakan
rendahnya status sosial ekonomi akan berdampak pada daya beli makanan.
47
Rendahnya kualitas dan kuantitas makanan merupakan penyebab langsung dari
gizi buruk pada balita. Status sosial ekonomi yang kurang sebenarnya dapat
diatasi jika keluarga tersebut mampu menggunakan sumber daya yang terbatas,
seperti kemampuan untuk memilih bahan yang murah tetapi bergizi dan
distribusi makanan yang merata dalam keluarga.
Lingkungan Rumah
Lingungan rumah pasien terbilang beresiko bagi pasien yang memang memiliki
riwayat pneumonia sebelumnya. Jarak 5 meter dari rumah pasien terdapat
lingkungan rumah yang digunakan untuk mengumpulkan barang rongsokan dan
berdebu.Sehingga ini merupakan salah satu faktor resiko dimana pasien mudah
mengalami oneumonia yang berulang..
48
Gangguan gizi dan infeksi sering saling bekerja sama, dan bila bekerja bersama
sama akan memberikan dampak yang lebih buruk dibandingkan bila kedua
faktor tersebut masing-masing bekerja sendiri-sendiri. Infeksi memperburuk
taraf gizi dan sebaliknya, gangguan gizi memperburuk kemampuan anak untuk
mengatasi penyakit.
3. Perilaku
Pola asuh anak
Kualitas pengasuhan balita yang buruk dan rendahnya pendidikan akan
mempengaruhi kualitas dan kuantitas asupan makanan balita yang
menyebabkan balita tersebut mengalami gizi buruk.
ASI eksklusif
Terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian gizi buruk. Pendeknya masa ASI eksklusif merupakan faktor risiko
kejadian gizi buruk. ASI mempengaruhi kejadian gizi buruk dikarenakan ASI
mengandung zat antibodi sehingga balita yang tidak diberikan ASI eksklusif
akan rentan terhadap penyakit dan akan berperan langsung terhadap status gizi
balita.
4. Pelayanan kesehatan
Kurangnya informasi mengenai gizi buruk
Masyarakat perlu diberikan informasi mengenai gizi balita karena seringkali
hal ini diabaikan oleh keluarga pasien. Hal ini tentu berkaitan dengan tingkat
pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki oleh keluarga pasien sehingga akan
mempengaruhi tindakan yang akan diambil terhadap status gizi pasien yang
buruk.
49
BAB V
Kesimpulan
Terjadinya gizi buruk pada anak ini berkaitan dengan empat determinan kesehatan
yaitu faktor biologis, lingkungan perilaku dan faktor pelayanan kesehatan. Namun
faktor yang paling mempengaruhi pada keadaan pasien adalah faktor lingkungan
yang kurang memadai seperti social ekonomi yang kurang dan rendahnya tingkat
pendidikan orang yang mengasuh anak tersebut serta faktor perilaku seperti pola asuh
yang salah dan masa pemberian ASI ekslusif yang singkat.
Saran
Mengingat dampak negatif yang ditimbulkan, maka adanya anak gizi buruk harus
segera ditangani. Pemerintah dan petugas kesehatan mempunyai kewenangan dan
tanggung jawab yang besar sebagai pelaksana langsung program kesehatan termasuk
gizi buruk. Koordinasi antara bagian gizi dengan bagian promosi kesehatan agar lebih
ditingkatkan terutama dalam melakukan sosialisasi berupa penyuluhan yang berkaitan
dengan cara pemberian makan yang benar untuk balita.
50
DAFTAR PUSTAKA
51
9. WHO Indonesia. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan
Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia.
52