Anda di halaman 1dari 12

JURNAL READING

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi salah satu syarat dalam menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Penyakit Dalam

di Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo

Disusun oleh :

Deviana Mutiara Auliarahma

H2A012017

Pembimbing :

dr. Prahastya, M.Sc, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

SEMARANG

2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Deviana Mutiara A


NIM : H2A012017
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Universitas Muhammadiyah Semarang
Bidang Pendidikan : Ilmu Penyakit Dalam
Pembimbing : dr. Prahastya, M.Sc, Sp.PD

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal 2017

Pembimbing

dr. Prahastya, M.Sc, Sp.PD

Hipertensi Dan Penyakit Ginjal Kronis

2
ABSTRAK
Penyakit ginjal kronis - yang timbul dari gangguan ginjal bawaan atau didapat -
adalah salah satu penyebab paling umum dari hipertensi sekunder. Renal parenchymatous
hypertension yang disertai penyakit ginjal bilateral atau unilateral lebih menonjol daripada
hipertensi renovaskular. Prevalensi dan keparahan hipertensi dipengaruhi oleh usia, berat
badan, jenis kerusakan ginjal, dan kedalaman disfungsi ginjal. Dalam patogenesis
multifaktorial, retensi natrium dan ketidakseimbangan efek dari zat vasoaktif yang berbeda
memerankan peran penting; namun, sulit dibedakan antara hipertensi jenis volume dan jenis
renin. Pengobatan hipertensi ginjal meliputi perubahan gaya hidup yang sesuai,
farmakoterapi, metode hemoelimination dan prosedur radiologi atau urologis invasif. Pada
penyakit ginjal kronis dengan peningkatan albuminuria atau proteinuria, ACE inhibitor dan
AT1-blocker lebih dipilih. Kombinasi dari beberapa antihipertensi sering diperlukan untuk
mencapai target tekanan darah. Peningkatan tekanan darah tidak hanya manifestasi dari
penyakit ginjal kronis tetapi juga merupakan faktor penting berkenaan dengan risiko ginjal
dan kardiovaskular.

1. Pendahuluan
Hubungan antara peningkatan tekanan darah (BP) dan ginjal adalah banyak arah.
Ginjal berpartisipasi dalam perkembangan dan pengabadian/pemeliharan hipertensi esensial.
Penyakit ginjal kronis (CKDs) adalah salah satu penyebab paling umum dari hipertensi
sekunder. Di sisi lain, hipertensi dari etiologi apapun dapat menyebabkan gangguan ginjal
(nefrosklerosis jinak atau ganas) dan peningkatan BP yang disertai dengan proteinuria
merupakan suatu faktor penting yang berhubungan dengan perkembangan CKD.
Menurut perkiraan awal, setiap 10 orang dewasa menderita CKD di seluruh dunia.
Namun, prevalensi CKD di AS meningkat dari 10% (1988-1994) menjadi 13% (1999-2004)
dari populasi orang dewasa. Data serupa mengenai tingkat CKD yang tinggi dikumpulkan di
benua-benua lainnya - di Cina (13%) dan Australia (16%). Pasien dengan penyakit diabetes
mellitus, hipertensi arteri dan kardiovaskular (CV) telah meningkatkan risiko perkembangan
CKD. Stadium CKD awal sering masih tidak dikenali. Meningkatnya jumlah pasien CKD
saat ini mewakili suatu masalah kesehatan, ekonomi dan sosial yang penting secara global.

3
Pedoman internasional baru telah dipublikasikan dalam dua tahun terakhir, baik
perihal hipertensi ginjal maupun CKD.

2. Definisi dan klasifikasi penyakit ginjal kronis


CKD didefinisikan oleh adanya setidaknya satu penanda kerusakan ginjal selama
lebih dari tiga bulan (temuan patologis dalam urin dan sedimen urin, perubahan pada
konsentrasi serum dari kreatinin atau elektrolit, kelainan histologis atau struktural ditemukan
dengan biopsi ginjal atau pencitraan) dan/atau laju filtrasi glomerulus <1 ml/s/1,73 m2 - lihat
Tabel 1. Klasifikasi CKD baru dibuat setelah 10 tahun, yang mencerminkan penyebab
penyakit, perkiraan dari laju filtrasi glomerulus tetapi juga kuantifikasi albuminuria. Bukan
hanya lima yang orisinil, hal itu mencakup enam stadium keparahan - lihat Tabel 2 dan 3.
Stadium 3 CKD orisinil sekarang dibagi menjadi 3a dan 3b untuk memungkinkan stratifikasi
risiko yang lebih baik.
Tabel 1 Klasifikasi CKD orisinil (diadaptasi dari [7,8])
Stadium GFR (ml/s/1,73 GFR (ml/menit/1,73
CKD m3) m3)
Kerusakan ginjal dengan GFR
(1). 1,5 90
normal atau meningkat
Kerusakan ginjal dengan penurunan
(2). 1,00-1,49 60-89
GFR ringan
(3). Insufisiensi ginjal kronik ringan 0,50-0,99 30-59
(4). Insufisiensi ginjal kronik berat 0,25-0,59 15-29
(5). Gagal ginjal kronik <0,25 atau dialisis < 15 atau dialisis
GFR = glomerular filtration rate

Tabel 2 Klasifikasi CKD baru (6)


Stadium GFR (ml/s/1,73 GFR (ml/menit/1,73
CKD m3) m3)
(1). GFR normal atau tinggi 1,5 90
(2). GFR menurun sedikit 1,00-1,49 60-89
(3.a) GFR menurun sedikit hingga sedang 0,75-0,99 45-59
(3.b) GFR menurun sedang hingga berat 0,50-0,74 30-44
(3). GFR menurun berat 0,25-0,49 15-29
(4). Gagal ginjal <0,25 atau dialisis < 15 atau dialisis

Tabel 3 Kategori albuminuria pada CKD (diadaptasi dari [6])


Kategori AU (mg/24h) A/Cr (mg/mmol)
4
A1 Normal hingga agak tinggi < 30 <3
A2 Tinggi sedang 30-300 3-30
A3 Tinggi sekali >300 >30
AU = albuminuria, A/Cr = albumin/creatinin ratio

3. Hipertensi pada penyakit ginjal kronis


Prevalensi hipertensi ginjal adalah 5-6%. Peningkatan tekanan darah menyertai kedua
CKD bawaan dan didapat, bilateral atau unilateral. Keberadaan dan tingkat keparahan
hipertensi dipengaruhi oleh usia, berat badan, jenis dan durasi kerusakan ginjal, dan
kedalaman disfungsi ginjal. Hipertensi ginjal bertanggung jawab untuk 60-80% kasus dari
hipertensi sekunder pada anak-anak dan remaja. Hipertensi hadir pada 80-85% pasien
dewasa dengan CKD. Sedangkan prevalensi hipertensi pada orang tanpa disfungsi ginjal
adalah 60%, prevalensinya dapat setinggi 90% pada pasien dengan gagal ginjal kronis.

4. Patogenesis hipertensi pada penyakit ginjal kronis


CKD bilateral ditandai dengan retensi natrium dan air, yang menyebabkan
peningkatan volume plasma dan cardiac output. Hipertensi yang berlangsung terus-menerus
disebabkan oleh ketidakseimbangan efek dari berbagai zat vasoaktif - aktivasi/tidak cukup
supresi/penekanan dari sistem vasokonstriksi (renin-angiotensin aldosteron, sistem simpatis)
dan penurunan produksi agen vasodilatasi (NO, prostaglandin). Hiperparatiroidisme
sekunder, disertai dengan peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler, dapat menyebabkan
vasokonstriksi dan hipertensi. Pada CKD unilateral, aktivasi sistem renin-angiotensin
memainkan peran penting. Paling sering, hal itu disebabkan oleh iskemia, yang dapat
berhubungan dengan pembentukan jaringan parut pada penyakit inflamasi, tekanan massa
(tumor, kista soliter) atau dilatasi kaliks pada hidronefrosis. Perbedaan tegas antara
hipertensi tipe volume dan tipe renin adalah sulit karena ada interaksi dari kedua mekanisme
pada kebanyakan kasus. Karena fungsi filtrasi ginjal memburuk, insufisiensi ginjal dan gagal
ginjal berkembang dan kontribusi retensi natrium dan air terhadap
kelangsungan/pemeliharan tekanan darah yang tinggi meningkat secara substansial.
Hipertensi (atau kelonggaran dari kontrolnya) juga dapat diperburuk oleh terapi anemia
ginjal dengan eritropoietin manusia rekombinan. Pada hipertensi sistolik, peran utama
dimainkan oleh kalsifikasi, penurunan elastisitas arteri besar, dan juga oleh kehadiran dari

5
sirkulasi hiperkinetik yang disebabkan oleh anemia dan anastomosis arteriovenous yang
diciptakan untuk membuat hemodialisis memungkinkan.

5. Penyakit ginjal kronis dan hipertensi


Kerusakan primer jaringan ginjal yang menyebabkan hipertensi parenkim lebih
umum terjadi sehingga merngganggu arteri ginjal menyebabkan hipertensi renovaskular.
Pada CKD bilateral, hipertensi adalah yang paling umum terjadi pada penyakit glomerulus;
untuk penyakit nonglomerular, hipertensi adalah yang paling lazim terjadi pada penyakit
ginjal polikistik autosomal dominan. Hipertensi juga menyertai berbagai proses ginjal
unilateral bawaan dan didapat, inflamasi atau onkologi.
5.1 Glomerulonefritis
Hipertensi menyertai kedua penyakit glomerulus primer dan sekunder. Prevalensinya
pada glomerulonefritis kronis sebesar 30-90%. Hipertensi mengenai hingga 50% dari
pasien dengan glomerulonefritis primer yang paling sering secara global - nefropati IgA
(penyakit Berger) dan 70-80% pasien dengan glomerulonefritis membranoproliferatif
atau glomerulosklerosis segmental fokal. Glomerulopati sekunder yang paling sering
terjadi adalah glomerulosklerosis diabetes, dengan hipertensi muncul sejak tahap
mikroalbuminuria dan prevalensi meningkat seiring dengan perkembangan proteinuria
yang nyata (hingga 80% dari pasien dengan diabetes tipe 2).
5.2 Penyakit ginjal polikistik autosomal dominan
Hipertensi terjadi pada 50-70% pasien pada stadium fungsi ginjal utuh dan hingga 100%
dari mereka dengan insufisiensi ginjal.
5.3 Nefritis tubulointerstitial kronis
Hipertensi jarang terjadi pada tahap awal (mengenai sekitar 30% dari pasien) karena
penurunan kapasitas konsentrasi, khas dari kerusakan medulla ginjal, menyebabkan
peningkatan kehilangan natrium urin dan membatasi peningkatan volume plasma.
Prevalensi hipertensi meningkat seiring dengan perkembangan penyakit lebih lanjut dan
penurunan fungsi filtrasi ginjal.

5.4 Penyakit ginjal unilateral

6
Hipertensi paling sering terjadi pada kasus-kasus penyusutan ginjal unilateral yang
disebabkan oleh pielonefritis kronis dan nefropati refluks. Hipertensi dapat juga
menyertai hidronefrosis, trauma ginjal, nefritis radiasi, infeksi tuberkulosis atau suatu
kista ginjal soliter yang besar. Hipertensi jelas terlihat pada 100% kasus dari suatu tumor
langka yang timbul dari sel-sel juxtaglomerular - hemangiopericytoma (reninoma), pada
50% dari anak-anak dengan nefroblastoma (tumor Wilms), dan pada 30% dari pasien
dewasa dengan karsinoma ginjal.
5.5 Hipertensi renovaskular
Ditemukan pada 1-2% dari semua pasien hipertensi. Penyebab paling umum dari
stenosis arteri ginjal yang signifikan secara hemodinamik adalah aterosklerosis (80%)
dan displasia fibromuskular pembuluh darah (20%).

6. Target tekanan darah pada penyakit ginjal kronis


Tujuan mengontrol hipertensi pada penderita CKD adalah untuk mengurangi risiko
ginjal dan CV. Tidak semua pasien CKD saat ini memiliki target BP yang sama sejak
pernyataan ahli ginjal yang sudah lama bahwa BP 130/80 mmHg lebih bermanfaat bagi
pasien CKD dengan albuminuria normal daripada BP 140/90 mmHg tidak berlaku lagi.
Baru-baru ini target BP yang direkomendasikan 140/90 mmHg didukung oleh suatu meta-
analisis dari 3 uji coba yang terdiri dari 2.272 pasien. Bukti yang kurang kuat mengenai sub
kelompok pasien ini menyatakan bahwa target BP yang lebih rendah 130/80 mmHg dapat
bermanfaat bagi pasien dengan albuminuria >30 mg/24 jam. Konsep pengobatan individual
dengan stratifikasi BP tidak hanya mencerminkan usia dan tingkat keparahan albuminuria
tetapi juga adanya komorbiditas CV, misalnya gagal jantung. Sejauh ini, tidak ada cukup
bukti untuk merekomendasikan stratifikasi target BP sesuai dengan stadium CKD. Kategori
albuminuria dan proteinuria diringkas dalam Tabel 4 (diadaptasi dari 5).

7. Pengobatan hipertensi pada penyakit ginjal kronis - aturan umum


Pengobatan non-farmakologis (perubahan gaya hidup) dan farmakologis kombinasi
keduanya diperlukan untuk mencapai target BP. Semua jenis antihipertensi efektif terhadap
CKD berkaitan dengan penurunan BP. Namun ketika memilih obat antihipertensi, kami lebih
memilih penghambat sistem renin-angiotensin karena mereka mencegah perkembangan

7
albuminuria. Terapi dengan ACE inhibitor atau AT1-blocker dapat dimulai pada semua
stadium CKD dengan albuminuria >30 mg/24 jam, baik pada penderita diabetes dan non-
diabetes (Tabel 5). ACE inhibitor dan AT1-blocker menurunkan tekanan sistemik dan
glomerulus dan mereka menekan albuminuria lebih efektif daripada antihipertensi lainnya.
ACE inhibitor dengan eliminasi ganda (fosinopril, spirapril dan trandolapril) dianggap lebih
aman. Rasio eliminasi ginjal:hati baik terutama pada trandolapril (33%:66%), di mana
penyesuaian dosis diperlukan hanya pada laju filtrasi glomerulus <30 ml/menit.
Tabel 4 Kategori albuminuria dan proteinuria (diadaptasi dari [5])
Normal hingga agak tinggi Tinggi sedang Tinggi sekali
AU (mg/24 h) < 30 30-300 >300
PU (mg/24 h) < 150 150-500 >500
A/Cr (mg/mmol) <3 3-30 >30
A/Cr (mg/g) < 30 30-300 >300
P/Cr (mg/mmol) < 15 15-50 >50
P/Cr (mg/g) < 150 150-500 >500
AU = albuminuria, PU = proteinuria, A/Cr = albumin urin/creatinine ratio, P/Cr = protein
urin/creatinin ratio

Tabel 5 Rekomendasi mengenai farmakoterapi pasien dewasa dengan CKD


diabetes dan non-diabetes (diadaptasi dari [17])
Target tekanan darah
Albuminuria (mg/24 h) Saran antihipertensi
(mmHg)
<30 140/90 Tidak ada
30-300 130/80 ACE inhibitor/ AT1-blocker
>300 130/80 ACE inhibitor/ AT1-blocker

8. Algoritma pengobatan antihipertensi pada penyakit ginjal kronis dengan proteinuria


Antihipertensi pilihan adalah ACE inhibitor atau AT1-blocker. Terapi kombinasi
sering diperlukan, antihipertensi pilihan kedua dan ketiga adalah non-dihydropyridine
calcium channel blockers atau diuretik. Ada atau tidak adanya hiperhidrasi ditentukan saat
menjawab pertanyaan yang seharusnya digunakan secara khusus. Diuretik yang
dikombinasikan dengan antihipertensi yang memblokir sistem renin-angiotensin lebih dipilih
pada CKD dengan edema yang jelas/nyata. Diuretik thiazide kehilangan efektivitasnya pada
GFR <0.5 ml/s dan digantikan oleh diuretik loop (furosemid). Ketika edema bertahan, tiazid

8
harus ditambahkan ke diuretik loop. Efek chlorthalidone lebih kuat dan berlangsung lebih
lama daripada hydrochlorothiazide. Diuretik, serta pembatasan asupan garam,
mempotensiasi kedua efek antihipertensi dan efek anti-proteinurik dari ACE inhibitor dan
AT1-blocker. Dosis diuretik harus dititrasi secara perlahan untuk mencegah kemungkinan
hipotensi. Bila tidak muncul hiperhidrasi, kami lebih memilih non-dihydropyridine calcium
channel blockers - terutama verapamil, di mana efek anti-proteinurik terbukti. Kombinasi
ACE inhibitor dengan AT1-blocker dapat digunakan pada pasien diabetes dan non-diabetes
dengan CKD pada persistensi proteinuria >1 g/24 jam meskipun target tekanan darah
tercapai dengan dosis tinggi ACE inhibitor atau AT1-blocker. Hal yang penting adalah
pemantauan hati-hati kemungkinan efek samping (penurunan GFR, hiperkalemia).

9. Algoritma pengobatan antihipertensi pada penyakit ginjal kronis tanpa proteinuria


Ketika edema muncul, antihipertensi pilihan adalah diuretik, antihipertensi pilihan
kedua adalah ACE inhibitor/AT1-blockers atau dihydropyridine calcium channel blockers.
Pada tidak adanya edema, terapi dengan inhibitor ACE atau AT1-blockers dapat dimulai;
dihydropyridine calcium channel blockers dan diuretik dapat ditambahkan di kemudian hari.
Pada kasus CKD dengan hipertensi resisten (yaitu pada kasus di mana target BP tidak
tercapai menggunakan tiga antihipertensi dari jenis yang berbeda pada dosis maksimal yang
direkomendasikan, termasuk diuretik), aldosteron antagonis spironolactone memberikan
efek anti-proteinurik disamping efek antihipertensi - merupakan pilihan keempat.
Antihipertensi tambahan lainnya dapat berisi agen aktif secara sentral, beta-blocker atau
alpha-blocker perifer.
Pasien dengan CKD sering menampakkan yang disebut fenomena non-dipping, yaitu
tidak adanya penurunan tekanan BP fisiologis oleh setidaknya 10% selama tidur
dibandingkan dengan nilai-nilai BP selama siang hari (terjaga). Fenomena ini dapat
ditunjukkan dengan menggunakan pemantauan ambulatory BP 24-jam dan dapat dibalik
dengan mengkonsumsi setidaknya satu antihipertensi di malam hari bukan pagi hari.
Fenomena non-dipping, serta hipertensi nokturnal, disertai dengan peningkatan risiko CV.

10. Terapi hipertensi pada pasien dewasa dengan penyakit ginjal kronis yang diobati
dengan dialisis

9
Terapi yang sukses terutama tergantung pada perencanaan pengobatan
hemoelimination yang tepat sehingga cairan ekstraseluler berlebihan dihilangkan tanpa
episode hipotensi. Ketika gagal memenuhi target BP optimal, yang ditetapkan secara
individual sesuai dengan usia, penyakit penyerta dan status CV/neurologis, farmakoterapi
diperlukan. Semua antihipertensi selain diuretik (dengan pengecualian pada pasien dialisis
yang mempertahankan diuresis residual) adalah efektif. Calcium channel blockers, ACE
inhibitor atau AT1-blocker digunakan paling sering. Pada kebanyakan kasus, ini harus
dikombinasikan dengan jenis antihipertensi lainnya (beta atau alpha-blocker). Beberapa
antihipertensi (inhibitor ACE dan beta-blocker tertentu) dieliminasi oleh dialisis, yang berarti
bahwa pilihan agen antihipertensi individu dan waktu penerapannya harus disesuaikan
dengan fakta ini. Kontrol hipertensi yang efektif dengan ACE inhibitor, AT1-blocker, beta-
blocker atau calcium channel blockers menurunkan risiko kejadian CV dan kedua mortalitas
umum dan CV. Konferensi KDIGO sehubungan dengan BP pada pasien yang dialisis (CKD
5) sampai pada kesimpulan pada tahun 2009 bahwa banyak pertanyaan yang masih belum
terselesaikan dalam topik ini - pengukuran BP yang benar pada pasien yang dihemodialisa,
hubungan antara BP dan risiko CV atau pengetahuan tentang interaksi faktor-faktor yang
mempengaruhi BP sistolik dan diastolik.

11. Pengobatan hipertensi renovaskular


Pengobatan hipertensi renovaskular meliputi farmakoterapi dan revaskularisasi.
Farmakoterapi jangka panjang diindikasikan pada pasien dengan stenosis unilateral dan
pertahanan fungsi ginjal atau disfungsi ginjal ringan dan pada kasus di mana revaskularisasi
tidak berhasil atau tidak dapat dilakukan (karena risiko periprosedural yang tinggi atau tidak
adanya persetujuan pasien). Kombinasi dari beberapa antihipertensi - ACE inhibitor atau
AT1-blockers, calcium channel blockers, diuretik dan agen yang bekerja secara sentral-
diperlukan. Farmakoterapi mengambil bagian dalam kontrol hipertensi dan memperlambat
progresivitas perubahan struktural dalam ginjal tetapi tidak menghilangkan hipoperfusi, yang
- jika berlangsung lama - pada akhirnya dapat menyebabkan atrofi ginjal. Saat ini, kontrol
yang tidak memadai dari hipertensi adalah jarang alasannya untuk intervensi mengenai arteri
ginjal sejak antihipertensi yang efektif tersedia.

10
Tujuan terapi revaskularisasi (angioplasti transluminal perkutan dengan implantasi
stent), menghasilkan kontrol BP yang efektif hanya pada pasien yang lebih muda dengan
displasia fibromuskular (dan jarang pada stenosis aterosklerosis pada pasien yang lebih tua),
adalah untuk mencegah cedera ginjal. Indikasi saat ini dari pengobatan ini meliputi: stenosis
arteri ginjal yang menyuplai secara anatomis atau ginjal soliter secara fungsional, hipertensi
yang resisten farmakoterapi berat/parah, episode berulamg dari edema paru atau
perkembangan insufisiensi ginjal meskipun kontrol BP yang baik.

12. Perkembangan penyakit ginjal kronis dan pilihan tentang pengobatannya


CKD, terutama yang disertai dengan albuminuria atau proteinuria, adalah bersifat progresif.
Fungsi filtrasi ginjal memburuk sekitar 2-8 ml/menit setiap tahun, tergantung pada etiologi
gangguan ginjal. Perkembangan CKD dikaitkan dengan peningkatan risiko CV dan memiliki
efek yang besar pada morbiditas dan mortalitas pasien.
Faktor risiko untuk perkembangan CKD yang sudah ada meliputi: (a) faktor-
faktor yang tidak dapat diubah - Jenis CKD (nefropati diabetik, glomerulonefritis, ginjal
polikistik), penurunan jumlah nefron dan adanya penyakit kardiovaskular; (b) Faktor-faktor
yang dapat diubah dengan pengobatan - proteinuria, hipertensi, obesitas, asupan protein
tinggi, anemia, dislipidemia, merokok, hyperuricemia dan hipoproteinemia.
Tingkat dan keparahan dari perkembangan diklasifikasikan sehubungan dengan
tingkat kreatinin serum, kuantifikasi penurunan laju filtrasi glomerulus dan mencapai
penyakit ginjal stadium akhir yang memerlukan dialisis atau transplantasi.
Diagnosis CKD awal termasuk etiologinya memungkinkan - terutama pada kasus-
kasus dengan keterlibatan glomerulus - untuk memulai terapi khusus yang bertujuan untuk
menghentikan atau (idealnya) mengembalikan perkembangan CKD. Pada CKD yang
didiagnosis pada stadium-stadium lanjut di mana sejumlah besar nefron telah hilang/rusak
dan tidak ada efek yang jelas dari terapi spesifik dapat diharapkan, perkembangan penyakit
ini dapat dihentikan dengan kontrol BP yang efektif dan dengan mengurangi
albuminuria/proteinuria menggunakan blokade farmakologis dari sistem renin-angiotensin-
aldosteron.
Pencegahan perkembangan CKD pada pasien yang menderita diabetes mellitus tipe 2
dapat dibagi menjadi:

11
(1).Primer: Pada uji coba BENEDICT, ACE inhibitor trandolapril mengurangi risiko
mikroalbuminuria sekitar 53% pada pasien normoalbuminurik dibandingkan dengan
plasebo; bila dikombinasikan dengan non-dihydropyridine calcium channel blocker, itu
menurunkan risiko ini lebih jauh sekitar 61%. Outcome yang menguntungkan ini
dijelaskan oleh adanya interaksi antara trandolapril dan vas efferens dan dengan efek
proporsional non-dihydropyridine calcium channel blocker pada kedua glomerulus vas
efferens dan afferens ketika pemberian kombinasi digunakan;
(2).Sekunder: Pada uji coba IRMA 2, AT1-blocker irbesartan mengurangi tingkat
perkembangan dari mikroalbuminuria hingga proteinuria yang nyata/jelas sebesar 70%
dibandingkan dengan plasebo;
(3).Tersier: Dibandingkan dengan plasebo, AT1-blocker losartan (uji coba RENAAL) dan
irbesartan (uji coba IDNT) memperlambat perkembangan insufisiensi ginjal kronis
sekitar masing-masing 18% dan 20%.

13. Kesimpulan
CKD merupakan penyebab utama hipertensi sekunder. Pedoman internasional baru
menekankan pendekatan individual untuk mendefinisikan tekanan darah target sehubungan
dengan usia, tingkat keparahan albuminuria dan adanya komorbiditas CV. Algoritma
pengobatan antihipertensi tergantung pada ada atau tidak adanya proteinuria. Agen yang
memblokade sistem renin-angiotensin digunakan baik pada penderita diabetes dan non-
diabetes yang menderita CKD. Kontrol hipertensi dan pengobatan dari faktor-faktor risiko
yang dapat diubah lainnya merupakan bagian penting dari langkah-langkah pencegahan yang
efektif memperlambat perkembangan CKD.

12

Anda mungkin juga menyukai