REFERAT
SINDROM NEFROTIK
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Tugurejo Semarang
Pembimbing:
dr. Rachmi Dewi Sp.PD
Disusun Oleh:
ENDAH SUSANTI
H2A012043
LEMBAR PENGESAHAN
1
REFERAT
INFEKSI SALURAN KEMIH
Disusun Oleh:
Endah Susanti
H2A012043
Tanggal : 2016
2
PENDAHULUAN
3
BAB II
ANATOMI
Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat sepasang
(masing-masing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya
retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm)
dibanding ginjal kiri karena disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah
kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12), sedangkan
kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah
ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista
iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari
batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah
dibandingkan ginjal kiri.
Syntopi ginjal 3,4
Anterior Ginjal kiri Ginjal kanan
Dinding dorsal gaster Lobus kanan hati
Pankreas Duodenum pars
Limpa descendens
Vasa lienalis Fleksura hepatica
Usus halus Usus halus
Fleksura lienalis
4
Posterior Diafragma, m.psoas major, m. quadratus lumborum,
m. transversus abdominis(aponeurosis), n.subcostalis,
n.iliohypogastricus, a.subcostalis, aa.lumbales 1-2(3),
iga 12 (ginjal kanan) dan iga 11-12 (ginjal kiri).
5
Gambar 1.1
6
segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen superior, anterior-superior,
anterior-inferior, inferior serta posterior.
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan
simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major,
n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan
aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.5
Fisiologi ginjal .4,5
Ginjal ikut mengatur keseimbangan biokimia tubuh manusia dengan cara
mengatur keseimbangan air, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur
asam basa darah, pengaturan ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam dan
memproduksi hormon yaitu :
a. Prostaglandin yang berfungsi untuk pengaturan garam dan air serta
mempengaruhi tekanan vaskuler.
b. Eritropoietin yang berfungsi untuk merangsang produksi sel darah merah.
c. 1,25 dihidroksikolekalsiferol yang berfungsi memperkuat absorpsi kalsium dari
usus dan reabsorbsi fosfat oleh tubulus renalis.
d. Renin yang berfungsi bekerja pada jalur angiotensin untuk meningkatkan
tekanan vaskuler dan produksi aldosteron.
7
ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowmans serta tekanan
osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-
tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler.
2) Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit,
elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat
tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi.
3) Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran
darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak
terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara
alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion
hidrogen.
Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat
dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali
carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau
ion kalium kedalam cairan tubular perjalanannya kembali jadi, untuk setiap ion
natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya.
Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan
ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang
pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa
hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat
mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau
mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis
berat dikoreksi secara theurapeutik.
BAB III
SINDROM NEFROTIK
Definisi
8
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit
glomerular yang ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram/24jam/1.73 m 3
disertai hipoalbuminemia, edema anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan
hiperkoagulabilitas.6
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai
oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari),
hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria,
hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer
(idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab
tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Saat ini
gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal
ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan rasio
neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer
pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T.
Epidemiologi
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi
minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat
diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang
dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50
tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3
kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom
nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.
Berdasarkan kelainan histopatologis, SN pada anak yang paling banyak
ditemukan adalah jenis kelainan minimal. International Study Kidney Disease in
Children (ISKDC) melaporkan 76% SN pada anak adalah kelainan minimal.
Apabila penyakit SN ini timbul sebagai bagian dari penyakit sistemik dan
berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut sindroma nefrotik sekunder.
Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan
etiologinya, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan
9
responnya terhadap pengobatan. Angka mortalitas dari SNPM telah menurun dari
50 % menjadi 5 % dengan majunya terapi dan pemberian steroid.
ETIOLOGI
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :7,8
Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan
sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi
akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan
ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer
adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik
yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.
Sindrom nefrotik kongenital
Bayi-bayi yang menunjukan gejala sindrom nefrotik dalam 3 bulan pertama
kehidupannya didiagnosis sebagai sindrom nefrotik kongenital. Penyebab
utama kelainan ini adalah sindrom nefrotik kongenital finnish type, suatu
penyakit yang diturunkan secara autosomal resesif, terbanyak ditemukan pada
populasi skandinavia dengan angka kejadian 1 diantara 8.000 bayi.
Pada sindrom nefrotik kongenital tipe ini telah ditemukan adanya mutasi gen
NPHS1 yang berlokasi pada kromosom 19q13.1 gen ini mengkode protein
nephrin, yaitu komponen protein utama pada slit diaphragma di lapisan epitel
glomerulus yang berpartisipasi dalam pembentukan anion. Lapisan anion ini
berfungsi untuk menolak protein plasma secara elektro kimiawi. Sindrom
nefrotik kongenital sering disertai gambaran klinis lain seperti lahir prematur
dengan berat badan lahir kecil dibandingkan masa gestasinya, plasenta besar,
kelainan bentuk kepala dan wajah, gangguan pernapasan. Perjalanan penyakit
ini berupa edema persisiten, disertai infeksi berulang, dan penurunan fungsi
ginjal progresif, kematian umumnya terjadi sebelum usia lima tahun. Sindrom
nefrotik kongenital dapat juga disebabkan oleh sifilis kongenital,
toksoplasmosis dan infeksi sitomegalovirus.
10
Sindrom nefrotik primer idiopatik, faktor etiologinya tidak diketahui.
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara
primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab
lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak, yaitu meliputi 90% dari
seluruh sindrom nefrotik pada anak. Kelainan histopatologik glomerulus pada
sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC
(International Study of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini
sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan
apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron
dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi
histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi
menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney Diseases in
Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971).
11
tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak. Di
Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan
data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2% tipe kelainan
minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan
Noer di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak
dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.
Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit
sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya
efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
1. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema.
2. Infeksi : hepatitis B, malaria, Schistosomiasis mansoni, Lues, Subacute
Bacterial Endocarditis, Cytomegalic Inclusion Disease, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
3. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), Trimethadion, paramethadion,
probenecid, penisillamin, vaksin polio, tepung sari, racun serangga, bisa
ular.
4. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: Lupus Eritematosus Sistemik,
purpura Henoch-Schonlein, sarkoidosis.
5. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, Leukemia, tumor
gastrointestinal.
6. Penyakit perdarahan : Hemolytic Uremic Syndrome
Patofisiologi7,9,10,11
12
Gambar 1.3
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya
sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif
tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan
akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar
albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan
konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan
edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan
stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi natrium dan air ini
timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan
intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan
pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma
yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu
aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta
13
ADH (anti diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga
produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini
dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan
kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi
ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut.
Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume
plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga
timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal
natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung
pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan
ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi
sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill
ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin
plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena
patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi
rangsangan yang lebih dari satu.7
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh
penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein sebagai
perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara
spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid
kembali normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol,
trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar kolesterol
disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama
pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan
VLDL ( very low density lipoprotein).
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan
sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar
LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme.
Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL
14
menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL
( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme
VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan
onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun
diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol
acyltransferase ) yang berfungsi sebagai katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini
juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk
katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia
yang terjadi pada SN.
15
o Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrana basalis yang dapat
terlihat baik dengan mikroskop cahaya maupun elektron.
Glomerulosklerosis (GS)
Kelainan khas terdapat daerah perpadatan di dalam glomerulus, beberapa
kapiler kolaps, pertambahan matriks mesangial, pertambahan sel mesangial, dan
endapan sejumlah hialin di dalam mesangium atau lumen kapiler.
a. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
16
terbentuk gambaran lobulasi glomerulus, dan juga terjadi duplikasi membrane
basal.
o Proliferatif glomeruler dan atau kerusakan yang terbatas pada segmen
glomerulus individual (segmental) dan mengenai hanya beberapa glomerulus
(fokal).
o Lebih sering ada dengan sindrom nefritik.
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas di kelopak
mata dan muka sesudah tidur sedangkan pada tungkai tampak selama dalam posisi
17
berdiri. Edema pada anak pada awal perjalaan penyakit SN umumnya dinyatakan
sebagai lembek dan pitting. Pada edema ringan dapat dirasakan pada pemakaian
baju dan kaos kaki yang menyempit. Kadang pada edema yang massif terjadi
robakan pada kulit secara spontan dengan keluarnya cairan. Pada keadaan ini,
edema telah mengenai semua jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan
skrotum atau labia, bahkan efusi pleura.
Gangguan Gastrointestinal
Gangguan Pernafasan
Karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pleura maka
saluran pernafasan sering terganggu, bahkan terkadang keadaan menjadi gawat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infuse albumin dan furosemid.
18
Status klinis Sindrom Nefrotik disebabkan oleh injuri glomerulus ditandai
dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang
mengakibatkan kehilangan protein urinaria yang massif proteinuria masif (lebih
dari 50 mg/kgBB/24 jam atau 3,5 g/hari), hipoproteinuria, hipoalbuminemia
(kurang dari 3,5 g/dl), hiperlipidemia, dan tanpa ataupun disertai edema dan
hiperkolesterolemia. Biasanya sedimen urin normal namun bila didapati
hematuria mikroskopik (>20eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (misal
: sklerosis glomerulus fokal).
Gambaran laboratorium6,7
Darah : - Hipoalbuminemia (< 3,5 g/dl)
- Kolesterol meningkat (>200 mg% , TG > 300mg%)
- Kalsium menurun
- Ureum Normal
- Hb menurun, LED meningkat
Urin : - Volumenya : normal sampai kurang
- Berat jenis : normal sampai meningkat
- Proteinuria masif (>29gr / 24 jam)
- Glikosuria akibat disfungsi tubulus proksimal
- Sedimen : silinder hialin, silinder berbutir, silinder lemak,
oval fat bodies, leukosit normal sampai meningkat.
Pemeriksaan urin yang didapatkan 3,11
Penilaian berdasarkan tingkat kekeruhan urin (tes asam sulfosalisilat atau tes
asam acetat) didapatkan hasil kekeruhan urin mencapai +4 yang berarti: urin
sangat keruh dan kekeruhan berkeping-keping besar atau bergumpal-gumpal
atau memadat (> 0,5%).
Penetapan jumlah protein dengan cara Esbach (modifikasi Tsuchiya)
didapatkan hasil proteinuria terutama albumin (85-95%) sebanyak 10-15
gram/hari.
Proteinuria berat, ekskresi lebih dari 3,5 gram/l/24jam.
Pemeriksaan jumlah urin didapatkan produksi urin berkurang, hal ini
berlangsung selama edema masih ada.
19
Berat jenis urin meningkat.
Sedimen urin dapat normal atau berupa torak hialin,granula, lipoid
ditemukan oval fat bodies merupakan patognomonik sindrom nefrotik (dengan
pewarnaan Sudan III).
Terdapat leukosit
Studi pencitraan
Ultrasonografi Ginjal
Rontgen Thorax
20
Uji Mantoux
Biopsi Ginjal
Pada pasien yang usianya lebih tua dari 8 tahun, pengobatan steroid
empiris dapat dipertimbangkan sebelum biopsi ginjal, tetapi ini harus dirawat di
bawah perawatan nephrologis pediatrik berpengalaman dengan sindrom nefrotik.
Beberapa penulis telah merekomendasikan melakukan biopsi ginjal pada pasien
yang lebih tua dari 12 tahun.
21
Peningkatan responsif tingkat kreatinin terhadap koreksi deplesi volume
intravaskular
Sebuah sejarah yang relevan keluarga penyakit ginjal
Dan pada akhirnya, pada pasien yang awalnya atau yang kemudian tidak
responsif terhadap pengobatan steroid, ginjal biopsi harus dilakukan, karena tidak
responsif terhadap pengobatan steroid memiliki korelasi tinggi dengan temuan
histologi yang buruk yang mengarah pada FSGS atau MGN.
Langkah Diagnostik
Urinalisis
Protein urin kuantifikasi (dengan terlebih dahulu pagi-protein urin /
kreatinin atau 24-jam protein urin)
Serum albumin
Lipid panel
22
kronis, ginjal insufisiensi, atau tanda-tanda mengecualikan kemungkinan
MCNS. Oleh karena itu, selain tes di atas, berikut ini harus disertakan dalam hasil
pemeriksaan:
Pemeriksaan lainnya dan prosedur pada pasien yang dipilih dapat mencakup
sebagai berikut:
Genetik studi
Ultrasonografi Ginjal
Rontgen Thorax
Mantoux test
Biopsi ginjal
Umur memainkan peran penting dalam evaluasi diagnostik sindrom
nefrotik. Anak-anak yang mengalami sindrom nefrotik lebih muda dari usia 1
tahun harus dievaluasi untuk kongenital / infantile sindrom nefrotik. Selain tes di
atas, bayi harus memiliki tes berikut:
23
Genetik tes untuk NPHS1,, NPHS2 WT1, dan LAMB2 mutasi sebagai
dipandu oleh temuan biopsi dan presentasi klinis
Tidak ada perawatan bedah rutin diindikasikan untuk kondisi ini.
Diferensial Diagnosis
Anasarca, terutama ketika resisten terhadap terapi rawat jalan dan / atau
disertai dengan kompromi masalah pernapasan, asites masif atau edema
skrotum / perineum atau penis
Signifikan hipertensi
Anuria atau oligouria parah
Peritonitis, sepsis, atau infeksi yang parah
Signifikan infeksi pernapasan
Signifikan azotemia
Sekitar 60% dari pasien responsif steroid mengalami kambuh atau episode
relaps. Beberapa dari pasien ini dapat dikelola dengan dosis rendah steroid , yang
diberikan setiap hari atau pada hari alternatif, tetapi masih banyak yang terdapat
24
episode relaps atau kambuh, terutama jika mereka memiliki . Steroid
menginduksi efek samping berkembang dalam proporsi yang tinggi dari pasien
tersebut. Sekarang tidak ada data pada obat lini kedua yang lebih disukai untuk
drugs of choice, untuk itu masih sering digunakan pengobatan menggunakan
siklofosfamid, klorambusil, ciclosporin, dan levamisol untuk mengurangi risiko
kambuh didukung oleh sistematis review control trials secara acak dan dengan
berbasis bukti recommendations. Agen alkylating telah digunakan sejak 1950-an.
Walaupun anak-anak di kedua sub kelompok dapat mengambil manfaat dari
pengobatan agen alkylating, anak dengan sindrom nefrotik yang sering kambuh
atau mengalami episode (dua episode atau lebih kambuh dalam 6 bulan respon
awal atau empat atau lebih episode relaps pada setiap periode 12-bulan)
dilaporkan mencapai lebih lama remisi dengan agen alkylating daripada anak-
anak dengan pengobatan steroid. Pengobatan dengan siklofosfamid (2.0 -2 5
mg / kg/hari) atau klorambusil (0,2 mg / kg) adalah umumnya diberikan selama 8-
12 minggu. Karena risiko kejang terkait dengan pengobatan klorambusil.
pengobatan bulanan Intravena juga tampaknya efektif, tetapi tidak ada advantage.
Pedoman untuk pengobatan alkylating agen tahap kedua perlu dibentuk.
Meskipun tidak umum dianjurkan, pengobatan tahap kedua yaitu 8-minggu kedua
siklofosfamid dapat diberikan tanpa mencapai dosis ambang kumulatif 200 mg /
kg, di atas dosis tersebut akan dapat semakin berisiko utuk efek toksik gonad.
25
remisi, sebanyak 40% mungkin perlu seiring dosis rendah steroids. lama-lama
pengobatan yang digunakan frekuensinya meningkat namun harus
ditindaklanjuti dengan pemeriksaan penunjang yaitu biopsi ginjal untuk
memeriksa bukti ciclosporin induksi vasculopathy. Levamisol adalah obat
anthelmintik dengan imunostimulan properti. Levamisol (2,5 mg / kg pada hari
alternatif) mengurangi jumlah relaps pada anak-anak dengan sering episodik
relapsnya. Dalam analisis retrospektif, levamisol telah diusulkan untuk menjadi
sama efektifnya dengan siklofosfamid dalam pengobatan relapse sindrom
nefrotik . Namun Obat ini tidak memiliki efek toksik (Misalnya, leukopenia,
kelainan hati), termasuk kasus langka agranulositosis, vaskulitis, dan
ensefalopati. Mizoribine, sebuah sintesis purin-imunosupresif inhibitor
dikembangkan di Jepang, dilaporkan untuk mengurangi jumlah relaps pada anak
berusia di bawah 10 tahun jika diberikan selama 48 minggu, tetapi tidak
mengurangi tingkat kekambuhan untuk kelompok perlakuan secara seluruhnya.
laporan Kasus tanggap terhadap mycophenolate mofetil telah mulai
dipublikasikan, tapi rekomendasi untuk penggunaan obat ini harus menunggu
hasil randomized controlled clinical trials.
Hal ini tidak rutin dilakukan dalam praktek, hanya saja dilakukan dilakukan di
Inggris, dimana biopsi pada ginjal anak yang terkena serangan pertama sindrom
nefrotik yang berada pada usia dibawah 12 tahun atau usia lebih dari 16 tahun,
yang disertai dengan hipertensi yang persisten, hematuria yang terus menerus dan
nyata, kadar C3 dan C4 yang rendah dan tidak beresponnya terapi inisial
kortikosteroid. Tujuan dialkukannya biopsi adalah untuk melihat kelaianan
histologi dari ginjal yang biasanya mengarah pada FSGS atau MCD. Harus
diingat bahwa FSGS adalah suatu gambaran histologi yang buruk sebagai hasil
dari perjalanan penyakit sindrom nefrotik, dan terdapat gambaran suatu bentuk
resistensi terhadap semua tipe pengobatan. Dewasa ini diketahui bahwa mungkin
hal ini terjadi karena diakibatkan oleh suatu mutasi dari gen 1q25-31 yang dimana
gen tersebut mengkode untuk pembentukan membran protein, podokin, dan
26
melokalisasi sel podosit. Terdapat bebearapa data evidens yang mengatakan anak
yang memperlihatkan lesi sindrom nefrotik tipe FSGS sejak awal penyakit sangat
tidak responsif untuk menerima terapi steroid dan pengobatan lainnya
dibandingkan MCD. Yang tpenting perlu diperhatikan bahwa beberapa pasien
dengan tipe MCD pada pemeriksaan hasil biopsi ginjal pertama kali mungkin
akan berubah atau bertransformasi menjadi tipe FSGS pada akhir penyakit,
terutama jika mereka scara persisten resisten akan pengobatan steroid atau mereka
yang tadinya mengalami remisi dengan pengobatan steroid pada awalnya kini
berkembang menjadi resisten akan pengobatan steroid sekunder, hal itu dapat
terjadi. Sejak saat itu hanya penting untuk mengidentifikasi area tunggal dari
hyalinosis fokal pada glomerulus tunggal untuk mendiganosa FSGS, dan
pertanyaannya adalah meskipun FSGS dapat tertampilkan setiap waktu dari hasil
pemeriksaan biopsi ginjal tetapi selalu terlewatkan pada biposi ginjal pertama
dikarenakan sebauah lesi yang representatif tidak masuk atau tidak tertampakan
dalam biposi tersebut atau justru MCD yang sesungguhnya dapat berkembang
menjadi ke tipe FSGS , jawabnnya belum diketemukan. Hal inilah yang sekarang
dipercaya bahawa lesi yang makin hari makin memburuk atau meningkat untuk
tipe FSGS sebanding dengan makin tidak adanya remisi akan protenuria berat .
Jika hal tersebut benar adanya, hal tersebut akan menunjukan bahawa akan terjadi
suatu bentuk resistensi akan pengobatan kortikosteroid pada perkembanagan
FSGS yang tadinya berresponsif akan terapi steroid dan terdapat remisi. Inti dari
dilakukannnya suatu tindakan biposi setelah kegagalan intial pada dalam
merespon terapi steroid ialah untuk menyingkirkan kasus yang sangat langka
lainnya seperti glomerrulonephritis nonploriferatif membran dimana akan
diberikan perlakuan dan pengobatan yang berbeda juga nantinya.
Meskipun pengobatan untuk tipe sindrom nefrotik ini jauh dari hasil yang
memuaskan, namun pengobatan tetap harus diberikan sesuai dengan dengan terapi
immunosupresif yang empiris dengan kombinasi dan variasi obat-obatan yang
digunakan sesuaikan dengan evidence base medicine, sekalipun laporan mengenai
efektivitasnya kurang atau lemah. Karena hal tersebut untuk mencegah
progresifitas dan memberikan remisi akan perjalanan penyakit tersebut sekalipun
27
memang terdapat suatu prognosis yang buruk dimana tipe sindrom nefrotik
resisten steroid akan menuju kepada kegagalan ginjal dengan besar persentase
mencapai 50% dalam kurun waktu 5-10 tahun mendatang.
28
Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap 900 sampai
1200 ml/ hari
Medikamentosa: 7,10
Pemberian albumin i.v. secara bertahap yang disesuaikan dengan kondisi
pasien hingga kadar albumin darah normal kembali dan edema berkurang
seiring meningkatnya kembali tekanan osmotik plasma.
Diuretik: diberikan pada pasien yang tidak ada perbaikan edema pada
pembatasan garam, sebaiknya diberikan tiazid dengan dikombinasi obat
penahan kalsium seperti spirinolakton, atau triamteren tapi jika tidak ada
respon dapat diberikan: furosemid, asam etakrin, atau butematid. Selama
pengobatan pasien harus dipantau untuk deteksi kemungkinan komplikasi
seperti hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravaskuler
berat. Perlu diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus memperhatikan
kadar albumin dalam darah, apabila kadar albumin kurang dari 2 gram/l darah,
maka penggunaan diuretikum tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan
syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta muntahan bila ada harus
dipantau secara berkala.9
Pemberian ACE-inhibitors misalnya enalpril, captopril atau lisinopril untuk
menurunkan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan
konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan
fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar
kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi
ginjal.
Kortikosteroid: prednison 1 - 1.5 mg/kg/hari po 6 - 8 minggu pada dewasa.
Pada pasien yang tidak respon dengan prednisone, mengalami relap dan pasien
yang ketergantungan dengan kortikosteroid, remisi dapat diperpanjang dengan
pemberian cyclophosphamide 2 - 3 mg/kg/hari selama 8-12 minggu atau
chlorambucil 0.15 mg/kg/hari 8 minggu. Obat-obat tersebut harus diperhatikan
selama pemberian karena dapat menekan hormon gonadal (terutama pada
remaja prepubertas), dapat terjadi sistitis hemorrhagik dan menekan produksi
sel sumsum tulang. 6,12.
29
Suatu uji klinik melibatkan 73 pasien dengan minimal change nephritic
syndrome secara acak mendapatkan cyclophosphamide 2 mg/kg/hari selama 8
atau 12 minggu masing masing dalam kombinasi dengan prednisone. Tidak ada
perbedaan antara dua kelompok dalam usia, onset neprosis, rasio jenis kelamin,
lamanya neprosis atau jumlah pasien yang relap pada saat masuk penelitian.
Diperoleh hasil angka bebas dari relap selama 5 tahun pada pasien yang
mendapat terapi selama 8 minggu adalah 25 % serupa dengan yang mendapat
terapi 12 minggu 24 %. Dari uji klinik tersebut dapat disimpulkan
cyclophosphamide tidak perlu digunakan lebih lama dari 8 minggu dengan
dosis 2 mg/kg/hari pada anak anak dalam kombinasi dengan steroid pada
minimal change nephotic syndrome.12
30
Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan
kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran
natrium dan air ke ansa henle tebal.
Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH
urin sesudah pemberian beban asam.
4. Gagal ginjal akut.
Terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi berkurang, tapi karena
edema interstisial dengan akibatnya meningkatnya tekanan tubulus proksimalis
yang menyebabkan penurunan LFG.
5. Anemia
Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten
terhadap pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe
yaitu transferin serum yang menurun akibat proteinuria.
6. Peritonitis
Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk
perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi
streptokokus pneumonia, E.coli.
7. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral
Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin
pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan
laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria.
Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat
menurunkan kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap.
Disamping itu pasien sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi
normal dengan membaiknya proteinuria. Absorbsi kalsium yang menurun di
GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses lebih besar daripada pemasukan.
Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi
kalsium dalam GIT menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme
vitamin D namun penyakit tulang yang nyata pada penderita SN jarang
ditemukan. [3,7]
31
Pengobatan komplikasi sindrom nefrotik ini secara simptomatik.
1. Pengobatan kelainan koagulasi dengan pemberian zat anti koagulan dan
trombosis diberikan trombolitik.
2. Cegah infeksi. Jika terjadi infeksi sekunder maupun peritonitis diberikan
antibiotik terutama yang berspektrum luas .
3. Pemberian furosemid untuk meningkatkan hantaran ke tubulus distal. Selain
itu, furosemid juga diberikan bila edema tidak berkurang dengan pembatasan
garam. Dosis furosemid 1 mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya edema
dan respons pengobatan. Bila refrakter, dapat digunakan hidroklortiazid (25-
50 mg/hari). Selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan
hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravascular berat.
4. Jika terjadi gagal ginjal, hal ini membutuhkan proses dialisis, atau cangkok
ginjal.
5. Kortikosteroid dapat diberikan untuk mengurangi inflamasi infeksi kulit.
Prednison dosis penuh : 60 mg/m2 luas permukaan badan/hari atau 2
mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/kgBB/hari) selama 4 minggu dilanjutkan
pemberian prednison dosis 40 mg/m2 luas permukaan badan/hari atau 2/3
dosis penuh, yang diberikan 3 hari berturut-turut dalam seminngu atau selang
sehari selama 4 minggu, kemudian dihentikan tanpa tapering off. Bila relaps,
berikan prednison dosis penuh seperti terapi awal sampai terjadi remisi,
kemudian dosis diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh. Bila relaps sering atau
resisten steroid, lakukan biopsi ginjal.
6. 1,25mg kalsiferol sehari (50.000 unit) untuk atasi hipokalsemia, tapi masih
dalam tahap percobaan.
Prognosis Sindrom Nefrotik 7,9,10
Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera
dapat mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme
kompensasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit
memberikan respons yang baik terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps.
Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat infeksi, tetapi tidak berdaya
terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
32
Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun
dengan kortikosteroid.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Agraharkar Mahendra, Nefrotik Syndrome. www.emedicine.com Last
Update: september 2, 2004.
2. Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO : Sindrom Nefrotik, Buku
Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2004
4. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. US:
FA Davis Company; 2007
8. Behram, dkk. 2002. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi II. Jakarta: EGC
10. Hull PR. Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review].
2008: vol.336.Website: BMJ. [cited 2012 Nov, 10]
34
35