Anda di halaman 1dari 23

Penyakit Anemia yang Terjadi pada Perempuan Usia 25 Tahun

Marry Salavtrix Mekeng

102013065

Email : marisa.salvatrix@gmail.com

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Alamat Korespondensi Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510
Pendahuluan

Anemia merupakan suatu keadaan yang di tandai dengan adanya penurunan atau
berkurangnya kadar hemoglobin atau nilai hematokrit atau bisa juga jumlah dari sel darah
eritrosit di dalam sirkulasi darah. Anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g/dL pada pria
dan di bawah 12 g/dL pada wanita menurut (WHO). Sehingga mengakibatkan kemampuan darah
untuk berfungsi mengangkut oksigen ke jaringan pun berkurang maka dapat terjadinya hipoksia
yang bisa ringan sampai berat.
Anemia dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari tiga mekanisme independen yaitu:
berkurangnya produksi sel darah merah, meningkatnya destruksi sel darah merah dan kehilangan
darah. Selain itu juga karena kadar hemoglobin, hematokrit setiap individu tergantung dari usia,
jenis kelamin, metode pemeriksaan dan domisili atau letak geografis. Pada bayi lebih tinggi
kadar Hb daripada orang dewasa, untuk pria kadar Hb juga lebih tinggi dari wanita dan
penduduk yang ada pada dataran yang tinggi akan lebih tinggi kadar Hbnya dari yang dataran
rendah. Berdasarkan pendekatan morfologi, anemia diklasifi kasikan menjadi anemia makrositik
(mean corpuscular volume / MCV > 100 fL) , anemia mikrositik (MCV < 80 fL) dan anemia
normositik (MCV 80-100 fL). Parameter MCV, RDW (red cell distribution width), hitung
retikulosit dan morfologi hapus darah tepi digunakan sebagai petunjuk diagnosis penyebab
anemia. Untuk penyakit Anemia Hemolitik Autoimun ( AIHA) itu adalah suatu penyakit anemia
yang di sebabkan oleh hemolisis sel-sel darah eritrosit berdasarkan reaksi antigen-antibodi. Yang
berlaku sebagai antigen dalam hal ini yaitu permukaan sel darah merah (SDM), sedangkan
antibodi yang terdapat dalam serum penderita adalah suatu jawaban tubuh terhadap perubahan-
perubahan terhadap antigen tersebut. Dalam keadaan normal, sel darah merah mempunyai waktu
hidup 120 hari. Jika menjadi tua, sel pemakan dalam sumsum tulang, limpa dan hati dapat
mengetahuinya dan merusaknya. Jika suatu penyakit menghancurkan sel darah merah sebelum

1
waktunya (hemolisis), sumsum tulang berusaha menggantinya dengan mempercepat
pembentukan sel darah merah yang baru, sampai 10 kali kecepatan normal. Anemia hemolitik
autoimun sebagian besar penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Pemeriksaan yang baik untuk
mendiagnosis adanya antibodi dalam darah penderita ialah dengan menggunakan tes coombs
yaitu ditemukan antibodi (autoantibodi) dalam darah, yang terikat dan bereaksi terhadap sel
darah merah sendiri. Anemia hemolitik autoimun ( AIHA) dibedakan dalam dua jenis utama,
yaitu anemia hemolitik antibodi hangat (paling sering terjadi) dan anemia hemolitik antibodi
dingin. Selain itu akan di bahasa juga penyakit-penyakit anemia lain dalam makalah ini yaitu
anemia hemolitik karena obat-obatan, anemia pasca perdarahan, anemia defesiensi G6PD
(glukosa 6 difosfat dehidrogenase) dan anemia sel sabit (sickle sel).1

Skenario :

Seorang perempuan berusia 25 tahun , datang dengan keluhan mudah lelah sejak tiga minggu ini,
dan wajahnya terlihat agak pucat.

Pembahasan

A. Anamnesis
Anamnesis yang terarah diperlukan untuk menggali lebih dalam dan luas keluhan
utama pasien. Untuk membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit atau kelainan pada
pasien. Anamnesis dapat kita lakukan secara autoanamnesis atau alloanamnesis tentang
identitas: anama, usia, pekerjaan, alamat tempat tinggal, dll. Keluhan utama: sejak kapan,
sudah melakukan pengobatan atau belum, frekuensi sakitnya bagaimana, dll. Riwayat
penyakit sekarang (RPS): tanyakan adakah keluhan yang lainnya, apakah sedang menderita
penyakit infeksi lain seperti hipertensi, diabetes melitus, hepatitis, gangguan ginjal, alergi,
asma, TBC, penyakit saraf dan gangguan kejiwaan dll, adakah sedang melakukan
pengobatan kemoterapi atau tidak, apakah sedang mendapat tranfusi darah atau tidak,
bagaimana siklus haidnya, sedang mengkonsumsi obat-obat imunosupresan atau tidak.
Riwayat penyakit dahulu (RPD): apakah sudah pernah mengalami sakit yang sama, adakah
sakit yang berat dan pernah di rawat di rumah sakit dalam waktu yang lama, sudah pernah
melakukan kemoterapi atau tidak, sudah pernah melakukan atau mendapat tranfusi darah

2
atau tidak, pernah mengalami perdarahan atau trauma dll. Riwayat penyakit keluarga
(RPK): pada anggota keluarga apakah sedang mendrita sakit juga atau tidak, atau pernah
mengalami sakit yang sama dll. Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi,
pendidikan dan kebiasaan. Perlu ditanyakan pula apakah pasien mengalami kesulitan
dalam kehidupan sehari-hari seperti masalah keuangan, pekerjaan dan sebagainya.2
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat kita lakukan dengan Inspeksi ( melihat): bagaimana
keadaan umum pasien yaitu kesadarannya apakah compos mentis, somnolen, apatis,
delirium dan koma. Melihat keadaan kulit dan kedua sklera berwarna kuning atau tidak.
Kemudian lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital untuk tekan darah, frekuensi nadi dan
pernapasan, suhu dan lain-lainnya dapat di lihat lagi adanya takikardia, dispnea, hipoksia,
hipovolemi. Pucat: sensitivitas dan spesifisitas untuk pucat pada telapak tangan, kuku,
wajah atau konjungtiva sebagai prediktor anemia bervariasi antara 19-70% dan 70-100%.
Ikterus: menunjukkan kemungkinan adanya anemia hemolitik. Ikterus sering sulit dideteksi
di ruangan dengan cahaya lampu artifi sial. Pada penelitian 62 tenaga medis, ikterus
ditemukan pada 58% penderita dengan bilirubin >2,5 mg/dL dan pada 68% penderita
dengan bilirubin 3,1 mg/dL. penonjolan tulang frontoparietal, maksila (facies
rodent/chipmunk) pada talasemia. Lidah licin (atrofi papil) pada anemia defisiensi Fe.
Limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri tulang (terutama di sternum); nyeri tulang dapat
disebabkan oleh adanya ekspansi karena penyakit infi ltratif (seperti pada leukemia
mielositik kronik), lesi litik ( pada mieloma multipel atau metastasis kanker). Petekhie,
ekimosis, itu perdarahan lain.
Palpasi (merabah): Lakukan palpasi pada setiap kuadran abdomen secara
berurutan, awalnya tanpa penekanan yang berlebihan dan dilanjutkan dengan palpasi secara
dalam (jika tidak terdapat area nyeri yang diderita atau diketahui). Kemudian, lakukan
palpasi secara khusus terhadap beberapa organ seperti hati, lien, limpa dan lain-lain.
Perkusi (mengetuk): Perkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan
abdomen secara keseluruhan, menentukan besarnya hati, limpa, ada tidaknya asites, adanya
massa padat atau massa berisi cairan (kista), adanya udara yang meningkat dalam lambung
dan usus, serta adanya udara bebas dalam rongga abdomen. Suara perkusi abdomen yang
normal adalah timpani (organ berongga yang berisi udara), kecuali di daerah hati (redup;
organ yang padat).3
C. Pemeriksaan Penunjang

3
1. Complete blood count (CBC)
CBC terdiri dari pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit, ukuran
eritrosit, dan hitung jumlah leukosit. Pada beberapa laboratorium, pemeriksaan
trombosit, hitung jenis, dan retikulosit harus ditambahkan dalam permintaan
pemeriksaan (tidak rutin diperiksa). Pada banyak automated blood counter, didapatkan
parameter RDW (red cell distribution width) yang menggambarkan variasi ukuran sel.
2. Pemeriksaan morfologi hapusan darah tepi
Hapusan darah tepi harus dievaluasi dengan baik karena beberapa kelainan darah
tidak dapat dideteksi hanya dengan automated blood counter.
3. Sel darah merah berinti (normoblas)
Pada keadaan normal, normoblas tidak ditemukan dalam sirkulasi. Normoblas
dapat ditemukan pada penderita dengan kelainan hematologis (penyakit sickle cell,
talasemia,anemia hemolitik lain)
4. Jumlah leukosit dan hitung jenis
Adanya leukopenia pada penderita anemia dapat disebabkan supresi atau infiltrasi
sum- sum tulang, hipersplenisme atau defisiensi B12 atau asam folat. Adanya
leukositosis dapat menunjukkan adanya infeksi, inflamasi atau keganasan hematologi.
Adanya kelainan tertentu pada hitung jenis dapat memberikan petunjuk ke arah
penyakit tertentu.

5. Hitung retikulosit
Retikulosit adalah sel darah merah imatur. Hitung retikulosit dapat berupa
persentasi dari sel darah merah, hitung retikulosit absolut, hitung retikulosit absolut
terkoreksi, atau reticulocyte production index.
6. Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit ada dua yaitu :
- Direk antiglobulin tes ( direct coombs test): test ini di lakukan dengan cara di cuci
sel eritrosit pasien dari protein-protein yang melekat setelah itu di reaksikan dengan
antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi
kompleme, terutama IgG dan C3d. Dan bila pada permukaan sel terdapat salah satu
atau kedua IgG dan C3d maka akan terjadi aglutinasi.
- Indirek antiglobulin tes ( indirec coombs test): untuk mendeteksi autoantibodi yang
terdapat pada serum. Jadi serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen.
Imunoglobulin yang beredar dalam serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan
dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi.
7. Pemeriksaan sumsum tulang dan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya
autoantibodi pada AIHA, diantaranya adalah Direct Antiglobulin Test (DAT, Direct

4
Coombs Test) dan Indirect Antiglobulin Test (IAT, Indirect Coombs Test). Yang biasa
dikerjakan adalah DAT yang mendeteksi adanya autoantibodi (IgG) yang menyelubungi
eritrosit. Pemeriksaan DAT pada penderita AIHA menunjukkan hasil yang positif,
dimana ditemukan aglutinasi eritrosit.4
D. Diagnosis
1. Penyakit Anemia Hemolitik Autoimun
Penyakit Anemia Hemolitik Autoimun ( AIHA) adalah suatu penyakit anemia
yang di sebabkan oleh hemolisis sel-sel darah eritrosit berdasarkan reaksi antigen-
antibodi. Yang berlaku sebagai antigen dalam hal ini yaitu permukaan sel darah merah
(SDM).
Etiologi
Anemia hemolitik autoimun memiliki banyak penyebab, tetapi sebagian
besar penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) belum jelas. Dikatakan kemungkinan
terjadi karena gangguan sentral toleransi dan gangguan pada proses pembatasan
limfosit autoreaktif residual. Selain itu Sejumlah faktor dapat meningkatkan
penghancuran sel darah merah: Pembesaran limpa (splenomegali), sumbatan dalam
pembuluh darah Antibodi bisa terikat pada sel darah merah dan menyebabkan
sistem kekebalan menghancurkannya dalam suatu reaksi autoimun, kadang sel
darah merah hancur karena adanya kelainan dalam sel itu sendiri (misalnya kelainan
bentuk dan permukaan, kelainan fungsi atau kelainan kandungan hemoglobin),
penyakit tertentu (misalnya lupus eritematosus sistemik dan kanker tertentu,
terutama limfoma) dan obat-obatan (misalnya metildopa, dapson dan golongan
sulfa).4
Patofisiologi
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui
aktivasi sitem komplemen, aktivitas mekanisme seluler, atau kombinasi dari kedua-
duanya.
a. Aktifasi sistem komplemen yaitu: secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen
akan menyebabkan hancurnya membran eritrosit dan terjadilah hemolisis
intravaskuler. Yang akan ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria.
Sistem komplemenakan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun lewat jalur
alternati. Dimana antibodi-antibodi yang akan memiliki kemampuan
mengaktifkan jalur kalsik tersebut adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM dikatakan
sebagai aglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan antigen

5
polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh.
Sedangkan antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena berreaksi dengan antigen
permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.
1) Aktifasi komplemen jalur klasik yaitu. Reaksi diawali dengan aktivasi
C1 suatu protein yang akan dikenal sebagai recognition unit. C1 ini akan
berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktif
serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1
akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b, 2b (dikenal
sebagai C3-convertase). C4b, 2b akan memecah C3 menjadi fragmen
C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan komformational sehingga
mampu berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan
komplemen (sel darah merah yang berlebel antibodi). C3 juga akan
membela menjadi C3d, g, dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan
pada sel darah merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3d akan
membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5 convertase).
C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilaktosis) dan C5b
yang berperan dalam kompleks penghancuran membran. Kompleks
penghancuran membran terdiri dari molekul C5b, C6, C7, C8 dan
beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyusup ke dalam membran
sel sebagai suatu alur transmembran sehingga permeabilitas membran
normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk kedalam sel sehingga
sel membengkak dan ruptur.
2) Aktifasi komplemen jalur alternatif yaitu. Aktifator jalur alternatif akan
mengaktifkan C3 dan C3b yang terjadi akan berikatan dengan sel darah
merah. Faktor B kemudian akan melekat pada C3b, dan oleh D faktor B
dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan
tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah
molekul C3 menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan
oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b yang akan
berperan dam penghancuran membran.
b. Aktifasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskuler yaitu: jika sel darah
disensitasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan

6
dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktifasi komplemen lebih
lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel
retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangatlah penting bagi perusakan
sel eritosit yang diperantarai sel. Immuneadherence, terutama yang diperantarai
IgG-FcR akan menyebabkan fagositosi.5,6
Gejala klinis
Dengan gejala yang dirasakan oleh penderita AIHA adalah gejala umum
anemia (lemah, letih, lesu), seringkali disertai demam dan jaundice (sakit kuning).
Urin berwarna gelap sering ditemukan. Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan
tanda-tanda jaundice, pembesaran limpa, pembesaran hati, dan pembesaran
kelenjar getah bening.
Hemolisis yang berkelanjutan bisa menyebabkan batu empedu yang
berpigmen, dimana batu empedu berwarna gelap yang berasal dari pecahan sel
darah merah. Jika pasien memiliki kelainan seperti SLE atau leukemia limfositik
kronik, dijumpai juga gambaran penyakit penyakit tersebut.1
Pemeriksaan Laboratorium
Gambaran hasil pemeriksaan seperti: DL (darah lengkap) dan hapusan
darah. Dari DL bisa dilihat adanya penurunan Hb (anemia) dan hematokrit.
Penurunan Hb biasanya berat dengan kadar kurang dari 7 g/dl. Kadar trombosit
dan leukosit biasanya masih normal. Bisa juga didapatkan peningkatan jumlah
retikulosit. Pada hapusan darah dapat ditemukan bentukan eritrosit yang
bervariasi (poikilositosis), sferosit, polikromasi dan kadang autoaglutinasi. Pada
pemeriksaan kimia darah didapatkan peningkatan bilirubin indirek dan
peningkatan kadar LDH. Sedangkan pada urinalisis bisa ditemukan
hemoglobinuria. Hasil pemeriksaan tes coombs direk positif bila terdapat sel
eritrosit yang dilapisi oleh IgG, IgG dan komplemen atau IgA. Jarang sekali
disebabkan oleh eritrosit yang dilapisi oleh IgM. Pada beberapa kasus kita dapat
jumpai autoantibodi dari sistem Rhesus (anti c, anti e), antibodi pada permukaan
eritrosit dan antibodi bebas dalam plasma. Pemeriksaan terhadap antibodi ini yang
terbaik dilakukan pada suhu 370C untuk tipe hangat sedangkan tipe dingin pada
suhu 40C.4
Klasifikasi AIHA yaitu :
a) Anemia Hemolitik Autoimun tipe Hangat

7
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, dimana autoantobodi
bereaksi secara optimal pada suhu 370C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe
hangat ini juga akan disertai penyakit lain. Pada anemia hemolitik yang tipe
hangat akan memperlihatkan gejala dan tanda seperti: onset penyakit tersamar,
gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, dan demam. Untuk beberapa
kasus terjadi perjalanan penyakit secara mendadak, disertai nyeri abdomen,
dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuria. Ikterik
terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi 50-60%,
hepatomegali terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien.
Hanya 25% pasien tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi.
Laboratorium dapat terlihat sebagai berikut: hemoglobin (Hb) sering dijumpai
di bawah 7g/dL. Pemeriksaan Coomb direk akan positif. Autoantibodi tipe
hangat ini biasanya ditemukan dalam serum dan dapat dipisahkan dari sel-sel
eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari golongan IgG dan bereaksi dengan
semua sel eritosit normal. Autoantobodi tipe hangat ini dapat bereaksi dengan
antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, yaitu dengan antigen Rh. Dengan
begitu prognosis serta survival dari pasien akan sangat kecil untuk mengalami
penyembuhan secara komplit dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit
yang berlangsung kronik, namun terkendali. Dengan survival 10 tahun
berkisar 70%. Dan selama itu pasien dapat mengalami berbagai penyakit
seperti: anemia, DVT, emboli pulmo, infrak lien, dan penyakit kardiovaskuler
selama penyakit aktif. Mortalitasnya selama 5-10 tahun itu sebesar 15-25%.
Pengobatannya yaitu: kortikosteroid 1-1,5mg/kg BB/hari. Dalam 2 minggu
sebagian besar akan menunjukan respon klinis yang baik. Hematokrit (Ht)
akan meningkat, tes coombs direk positif lemah, indirek akan negatif. Nilai
normal dan stabil akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada
tanda respon terhadap steroid, dosis harus diturunkan tiap minggu sampai
mencapai dosis 10-20mg/hari. Terapi steroid dosis < 30mg/hari dapat
diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan memerlukan terapi
rumatan dengan steroid dosis rendah, namun bila dosis perhari melebihi
15mg/hari untuk mempertahankan kadar Ht, maka perlu segera

8
mempertimbangkan terapi dengan modalitas lain. Dapat dilakukan
splenektomi untuk menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah
merah tersebut. Ban bila dengan steroid tidak adekuat atau tidak bisa di
tapering dosis selama 3 bulan. Dengan menggunakan obat imunosupresi
seperti: azatioporin 50-200mg/hari (80mg/m2) dan siklofosfamid 50-
150mg/hari (60mg/m2). Obat-obat lain yang dapat digunakan yaitu:
mycophenolate mofetil 500mg/hari sampai 1000mg/hari dilaporkan
memberikan hasil yang bagus pada AIHA yang refrakter. Rituximab dan
alemtuzumab juga memberikan respon yang cukup menggembirakan sebagai
salvage therapy. Dosis rituximab 100mg/hari selama 4 minggu. Terapi untuk
dilakukan tranfusi jika pada kondisi yang mengancam jiwa pasien yaitu
dengan Hb yang kurang dari 3g/dL.
b) Anemia Hemolitik Autoimun tipe Dingin
Pada yang tipe dingin terjadi hemolisis yaitu aglutinin dingin dan
antibodi Donath-Lanstainer. Kelainan ini secara karakteristik memiliki
aglutinin dingin IgM monoklonal. Spesifitas aglutinin dingin adalah terhadap
antigen I/i. Sebagian besar IgM yang mempunyai spesifitas terhadap anti-I
memiliki VH4-34. Pada umumnya aglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer
yang sangat rendah dan titer ini akan meningkat pesat pada fase penyembuhan
infeksi. Dimana antigen I/i ini bertugas sebagai reseptor mikoplasma yang
akan menyebabkan perubahan presentasi antigen dan menyebabkan produksi
autoantibodi. Pada limfoma sel B, aglutinin ini dihasilkan oleh sel limfoma.
Aglutinin tipe dingin ini akan berikatan dengan sel dara merah dan terjadi lisis
langsung dan fagositosis. Pasien akan memberikan gejala klinik seperti: sering
terjadi aglutinasi pada suhu dingin. Hemolisis berjalan kronik. Anemia
biasanya ringan saja dengan Hb, 9-12 g/dL. Sering didapatkan akrosianosis
dan plenomegali. Pada laobatoriumnya: anemia ringan, sferositosis,
polikromatosia, tes coobs akan positif. Anti-I, Pr, anti-M atau anti-P. Prognosis
dan survival dikatakan bahwa pasien dengan sindrom kronik akan memiliki
survival yang baik dan cukup stabil. Pengobatannya yaitu: menghindari suhu
dingin yang dapat memicu terjadinya hemolisis sel darah. Prednison dan
splenektomi tidak banyak membantu. Obat chlorambucil 2-4 mg/hari.

9
Plasmafaresis untuk mengurangi IgM secara teorotis bisa mengurangi
hemolisis, namun secara praktek ini susah untuk dilakukan.
c) Paroxymal cold hemoglobinuria ini adalah penyakit anemia hemolitik yang
jarang dijumpai, hemolisis terjadi secara masif dan berulang setelah terpapar
suhu dingin. Katanya penyakit ini dulunya sering ditemukan karena berkaitan
dengan penyakit sifilis. Pada kondisi yang ektrim autoantibodi Donath-
Landsteiner dan protei komplemen berikatan pada sel darah merah. Pada saat
suhu kembali ke 370C terjadilah lisis karena propagasi pada protein-protein
komplemen yang lainnya. Akan memberikan gambaran klinis yaitu: dengan
AIHA 2-5%, hemolisis paroksimal disertai mengigil, panas, mielgia, sakit
kepala, hemoglubinuria berlangsung beberap jam. Sering disertai urtikaria.
Laboratorium seperti: hemoglobinuria, sferositosis, eritrofagositos, tes
coombs positif, antibodi Donath-Landsteiner terdisosiasi dari sel darah merah.
Dengan prognosis dan survivalnya, pengobatan penyakit yang mendasarinya
akan memperbaiki prognosisnya. Pengobatan dengan menghindari faktor
pencetus. Terus dengan obat gunakan glukokortikoid dan plenektomi
dikatakan tidak begitu memberi manfaat.1,4
Epidemiologi
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, dimana autoantobodi
bereaksi secara optimal pada suhu 370C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe
hangat ini juga akan disertai penyakit lain. Pada AIHA idiopatik splenomegali
terjadi 50-60%, hepatomegali terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada
25% pasien. Hanya 25% pasien tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi.
Penatalaksaan
Terapi awal yang digunakan ialah Prednison, 1-2 mg/kgbb/hari dalam
dosis yang terbagi. sebagian besar darah transfusi dapatbertahan sebaik
eritrosit pasien itu sendiri. Meski begitu karena sulitnya melakukan Cross-
match, mungkin darah yang diberikan ternyata tidak cocok, sehingga pasien perlu
di monitor selama transfusi. Keputusan transfuse harus dibuat dengan konsultasi
hematologis. Jika Prednisone tidak efektif atau jika penyakit kambuh saat
penurunan (tapering off) dosis, harus dilakukan splenoktomi. Pasien anemia
hemolitik autoimun yang resisten terhadap prednisone tidak dapat dilakukan
Splenoktomi, bisa diterapu dengan agen imunosupresif, seperti siklofosfamid,

10
azatrioprin atau siklosporin. Danazol dengan dosis 600 800 mg/hari mungkin
efektif, meski tidak seefektif jika digunakan untuk trombositopenia imun.
Imunoglobulin dosis tinggi yaitu 500 Mg/kg/ hari selama 4 - 5 hari.
yang diberikan intravena sangat efektif dalam mengontrol hemolisis.
Namun hal itu hanya berlangsung singkat ( 1-3 minggu) dan obat ini sangat
mahal. Terapi dengan Ig IV hanya diberikan jika prednisone merupakan
kontraindikasi kepada pasien. Prognosis jangka panjang pasien cukup baik,
tindakan splenoktomi sering berhasil mengontrol kelainan ini.
Pencegahannya dapat dilihat berdasarkan klasifikasi penyakit. Kalau
anemia hemolitik autoimun itu dengan memilih pasangan hidup yang baik tidak
mempunyai gen yang homosigot atau heterosigot. Supaya memiliki keturunan
yang sehat. Sedangkan yang untuk tipe hangat dan dingin usahakan untuk tidak
terlalu sering tepapar pada suhu hangat atau dingin. Dan harus minum obat yang
teratur. Itu saja pencegahan yang dapat dilakukan karena penyakit ini bersifat
autoimmun yang sudah ada pada tubuh pasien.
Komplikasi dan prognosis
Hanya sedikit pasien yang bisa sembuh total, sebagian besar memiliki
perjalanan penyakit yang kronis namun terkendali. Survival 70%. Komplikasi
bisa terjadi, seperti emboli paru, infark limpa, dan penyakit kardiovaskuler. Angka
kematian 15-25%.4

2. Penyakit Anemia Sel Sabit (sickle cell anemia)


Banyak sekali nama lain dari penyakit ini yang sering kita dengar yaitu Sickle
cell anemia, atau penyakit hemoglobin S, di sebut juga drepanositik, dan
meniskositosis. Anemia sel sabit adalah sejenis anemia kongenital di mana banyak sel
darah merah berbentuk menyerupai sabit.7

Epidemiologi
Dikatakan bahwa penyakit ini khusus didapat pada orang-orang negro atau
yang berdarah negro. Seseorang yang bernama Iskandar wahidiyat mencatat
sebanyak 16 kasus Hb S yang terjadi di Jakarta (campuran talasemia-HbS dan
trait HbS) ini sangat jarang terjadi. Di Amerika di katakan kasusnya paling
banyak, dimana pembawah sifat diturunkan secara dominan. Insidennya antara
orang Amerika berkulit hitam adalah 8,5%, sedangkan yang statusnya homosigot

11
diturunkan secara resisif berkisar antara 0,3-1,3%. Individu yang memiliki darah
keturunan dari area Afrika tersebut: mencapai sekitar 10% keturunan Afro-
Amerika membawa sifat ini, dan kira-kira satu dari setiap 375 anak Afro-Amerika
lahir dengan penyakit ini.

Etiologi

Disebabkan karena adanya mutasi pada rantai -globin dari hemoglobin,


yang menyebabkan pertukaran asam glutamat (suatu asam amino) dengan asam
amino hidrofobik valin pada posisi rantai ke 6. Gen yang bertanggung jawab
menyebabkan Sickle call anemia merupakan gen autosom yang dapat ditemukan
di kromosom nomor 11. Penggabungan dari dua subunit -globin normal dengan
dua subunit -globin mutan akan membentuk hemoglobin S (HbS). Sehingga
pada kondisi kadar oksigen yang rendah, serta ketidakhadiran asam amino polar
pada posisi ke 6 dari rantai -globin menyebabkan terbentuknya ikatan non-
kovalen di hemoglobin yang menyebabkan perubahan bentuk dari sel darah merah
menjadi bentuk sabit selain itu menurunkan elastisitasnya.1

Patofisiologi

Proses dimana dapat terbentuknya sel sabit ini karena terjadinya tekanan
oksigen yang rendah atau berkurang terutama pada Ph yang rendah. Selain itu sel
sabit ini memiliki sifat kurang melarut pada bentuk deoxygeneted sehingga
viskositas darah akan meningkat dan mengakibatkan statis serta obstruksi aliran
darah dalam sistem kapiler sehingga terjadi oklusi vaskuler dan edema
perivaskuler menyebabkan rasa sakit dan pembengkakan organ yang
bersangkutan. Sel darah merah pada anemia sel sabit ini kehilangan kemampuan
untuk bergerak dengan mudah melewati pembuluh yang sempit dan akibatnya
terperangkap di dalam mikrosirkulasi. Hal ini menyebabkan penyumbatan aliran
darah ke jaringan di bawahnya, akibatnya timbul nyeri karena iskemia jaringan.
Meskipun bentuk sel sabit ini bersifat reversible atau dapat kembali ke bentuk
semula jika saturasi hemoglobin kembali normal, namun sel sabit ini sangat rapuh
dan banyak yang sudah hancur di dalam pembuluh yang sangat kecil, sehingga

12
menyebabkan anemia. Sel-sel yang telah hancur disaring dan dipindahkan dari
sirkulasi ke dalam limpa. Kondisi ini mengakibatkan limpa bekerja lebih berat.
Terbentuk jaringan parut dan kadang-kadang infrak (sel yang sudah mati) dari
berbagai organ, terutama limpa dan tulang, dapat terjadi. Disfungsi multiorgan
sering terjadi setelah beberapa tahun.

Kondisi-kondisi yang dapat menstimulasi sel sabit antara lain hipoksia,


ansietas, demam, dan terpajan dingin.5,6

Gejala klinis

Kebanyakan pada kasus anemia sel sabit ini disertai anemia yang agak
berat. Namun pada umumnya tidak terlalu menjadi masalah karena dikatakan
suplai oksigen ke jaringan masih baik saja. Karena shift ke arah kanan dan adanya
output jantung yang meninggi. Kalau anemia yang sudah berat akan terdapat
ikterus, ada episode artralgia dengan demam, serangan sakit perut dan muntah,
sakit pinggang dan sakit pada sendi-sendi. Trombosis serebral dapat
mengakibatkan hemiplegia, gangguan urat syaraf kranial dan bisa ada kelainan
neurologis lainnya. Pertumbuhan tubuh dapat terganggu biasanya badan pendek
dengan kaki dan tangan yang panjang disertai tengkorak berbentuk menara.7

Pemeriksaan laboratorium
Hemoglobin menurun(6-9 g/dL), jumlah sel eritosit biasanya antara 2-3
juta/ul. Pemeriksaan laboratorium yang patognomonik adalah berupa sickling
pada sedian tetes darah yang tidak di warnai. Pemeriksaan penyaring yang capat
yang tidak memerlukan mikroskop hanya berdasarkan perbedaan daya larut dari
Hb S. Jumlah retikulosit biasanya meninggi (10-40%) dan sering dijumpai sel
normoblas dalam darah tepi. Nilai konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata
(MCHC) dapat meningkat hingga 40g/dL, terutama bila sickling bersifat
ireversibel. Laju endap darah (LED) akan menurun, jumlah leukosit akan
meningkat mencapai 25.000/ul, trombosit juga akan meningkat. Pada sum-sum
tulang akan hiperplastik. Kadar bilirubin dalam serum neninggi (2-4 mg/dL),
sehingga ekskresi urobilinogen melalui feses dan urin meningkat. Kadar besi

13
dalam serum bisa normal atau meningkat juga. LDH semuanya jelas meningkat
dan haptoglobin tidak ada. Hb dalam plasma sedikit meninggi dan survival sel
eritrosit sekitar 10 hari.1
Penatalaksanaan

Orang dewasa dengan anemia sel sabit sebaiknya di imunisasi terhadap


pneumonia karena pneumokok. Tiap infeksi harus di obati dengan antibiotik yang
sesuai. Pengobatan hanya bersifat simtomatik saja. Tranfusi darah hanya
diberikan pada anemia yang berat atau krisis aplastik. Rehidrasi obat-obat
analgetik perlu diberikan juga. Kadar Hb sebaiknya di naikan juga hingga 12-14
g/dL. Jenis obat lain yang dapat diberikan seperti: pirasetam telah digunakan
dengan sukse untuk mengobati kasus-kasus tertentu anemia sel sabit. Dengan
dosis yang diberikan adalah 3x1 g/ hari, secara oral namun akan lebih efektif bila
diberikan secara IM dan IV karena obat ini nontoksik. Selain itu yang penting
juga dengan penyuluhan sebelum memilih pasangan hidup untuk mencegah
keturunan yang homosigot dan mengurangi kemungkinan heterosigot.10

Komplikasi dan Prognosis

Terjadi penurunan faal paru-paru dan ginjal yang berlangsung perogresif.


Kolelitiasis, infrak pada tulang, osteomielitis dan hematuria berat yang dapat
kambuh.

Hanya sedikit saja kasus ini yang dapat mencapai umur 40 tahun. Jadi
prognosisnya buruk.1,7

3. Penyakit defesiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)

Defesiensi G6PD adalah suatu kelainan yang cukup sering ditemui diseluruh
pelosok dunia, dengan menifestasi klinis yang sangat bervariasi, mulai dari yang paling
ringan sampai berat berupa hemolisis intravaskuler yang hebat dan kegagalan ginjal
akut. Penyakit ini termasuk salah satu dari X-linked inherited diseases. Suatu penyakit
turunan yang dibawah oleh kromosom X (X-linked disease). Dimana pertama kali
terkana yaitu pria yang hemizigot yang kromosom X-nya mengandung gen defesiensi

14
G6PD. Namun bisa juga di jumpai pada wanita yang homozigot. Wanita yang
heterozigot biasanya hanya berupa karier, karena pada sel eritrositnya hanya di jumpai
satu sel defesiensi G6PD sedangkan yang satunya sel normal. Maka masih dapat
mengkompensasi kebutuhan enzim G6PD tersebut.

Menurut WHO dibagi atas 5 kelas yaitu: 1. Klas I: varian G6PD yang defisiensi
enzimnya sangat berat (aktivitas enzim kurang dari 10% dari normal) dengan anemia
hemolitik kronis. 2. Klas II: varian G6PD yang defisiensi enzimnya cukup berat
(aktivitas enzim kurang dari 10% dari normal) namun tidak ada anemia hemolitik
kronis. 3. Klas III: varian G6PD dengan aktivitas enzimnya antara 10%-60% dari
normal dan anemi hemolitik terjadi bila terpapar bahan oksidan atau infeksi. 4. Klas IV:
varian G6PD yang tidak memberikan anemia hemolitik atau penurunan aktivitas enzim
G6PD. 5. Klas V: varian G6PD yang aktivitas enzimnya meningkat. Varian klas IV dan
klas V secara biologis, genetik dan antropologis tidak didapat gejala klinik.

Epidemiologi

Menurut WHO scientific Group, diperkirakan lebih kurang 100 juta


penduduk didunia mendrita penyakit ini, dengan angka yang cukup tinggi
diberbagai negara di afrika, misalnya Angola 17-27%, dan Gana 24%. Di India
didapatkan 1,37%, di Irak dan Turki dilaporkan sebesar 12,4% dan 7,6%. Di
Indonesia didapatkan 1,1% oleh Notopuro, dimana 1% di Surabaya dan Nuzirwan
A di Padang 1,4%. Prevalensi penderita defisiensi G6PD cukup tinggi di dunia,
Asia Tenggara maupun di Indonesia. Terutama di daerah endemis malaria,
kelainan ini dapat memberikan keuntungan selektif bagi individu penderita untuk
survive terhadap malaria.

Etiologi

Untuk itu ada 2 faktor yang bisa mengakibatkan seseorang mengalami


defesiensi enzim G6PD (glukosa 6 fosfat dehidrogenase) yaitu: 1. Kekurangan
jumlah molekul enzim G6PD. 2. Kekurangan aktivitas enzim G6PD.

15
Patofisiologi

Energi utama dihasilkan oleh proses glikolisis anaerob. Sebanyak 95%


glukosa dimetabolisme menjadi asam laktat, sisanya 5% melalui siklus fosfat
pentosa akan mereduksi nikotinamid adenin dinukleotida fosfat ( NADP) menjadi
reduced NADP (NADPH). NADPH ini akan berperan dalam mempertahankan
jumlah reduced glutathion yang cukup dan berguna untuk melindungi sel eritrisit
dari zat oksidan. Jadi kalau enzim tersebut berkurang akan menimbulkan
gangguan pada pembentukan NADPH sehingga berkurangnya kadar reduced
glutathion maka sel eritrosit akan sensitif terhadap zat oksidan dan mengalami
hemolisis. Mekanisme terjadinya hemolisis yaitu. Apabila aktivitas enzim G6PD
dibawah nilai kritis, bahkan oksidatif internal atau eksternal akan menimbulkan
berkurangnya produksi NADPH dan GSH. Bersama dengan ini terjadi presipitasi
hemoglobin denaturasi dan pembentukan Heinz body. Produk penghancur
hemoglobin ini akan mengikat membran sel eritrosit, sehingga menjadi lisis.
Namun dikatakan juga bahwa ada pengaruh langsung dari zat oksigen terhadap
membran sel eritrosit sehingga menjadi lisis. Dan keadaan hemolisis biasanya
dapat berhenti sendiri, karena masih ada sel eritrosit mudah yang mempunyai
aktivitas enzim G6PD yang relatif tinggi dibandingkan dengan sel eritrosit yang
tua.

Selain itu ada obat-obatan yang dapat bersifat oksidan sebagai berikut:
golongan antipiretik dan analgetik, asam salisilat, asetalinid. Golongan sulfa,
sulfanilamid, sulfasetamid dan lain-lain. Golongan antimalaria, primakuin,
pimakuin, atebrin, kuinin, pentakuin. Golongan anti bakterial non-sulfonamid,
kloramfenikol, nitrofurason. Golongan lain, probenesid, isoniasid, vitamin K,
kuinidin dan dimetkaptrol. Ahkir-ahkir ini sudah dilaporkan pula bahwa radiasi,
obat-obat anti kanker seperti BCNU dan doksorubisin, keracunan besi, air minum
yang diberi clorine dioxide sebagai desinfektan, hapatitis virus, obat tradisional
Cina, dapat menimbulkan hancurnya sel eritrosit penderita defesiensi G6PD.5,6

16
Gejala klinis

Menifestasi klinis dari defesiensi G6PD ini sangat bervariasi mulai dari
yang paling ringan tanpa gejala klinis sampai yang paling berat berupa hemolitik
kronik dan ikterus neonatus spontan. Keadaan tergantung pada derajat kekurangan
dan aktivitas enzim G6PD tersebut. Karena kurangnya enzim ini, eritrosit jadi
lebih mudah mengalami penghancuran (hemolisis). Terjadinya hemolisis ditandai
dengan demam yang disertai jaundice (kuning) dan pucat di seluruh tubuh dan
mukosa. Urin juga berubah warna menjadi jingga-kecoklatan. Ditemukan tanda
syok (nadi cepat dan lemah, frekuensi pernapasan meningkat), dan tanda
kelelahan umum.

Pemeriksaan laboratorium

Pada sediaan darah tepi akan ditemukan polikromasi poikilositosis,


basophylic stippling, dan heinz bodies.1,4

Penatalaksanaan

Pengobatan untuk penyembuhan penyakit belum ada. Tindakan-tindakan


yang perlu dilakukan untuk mencegah atau menanggulangi penyakit dengan
defesiensi G6PD yaitu: 1. Menghindari pemakaian obat-obatan yang bersifat
aoksidan dan infeksi pada kasus-kasus dnegan defesiensi G6PD. 2. Dengan
mengadakan srreening test pada pasangan-pasangan yang ini menikah terutama
pada daerah yang tinggi prevalensi defesiensi G6PD. Tes penyaringan dan
enzymatic assay, yaitu: briliant cresyl blue linked test, methemoglobine test.
Enzymatic assey dilakukan dengan cara T.P.N linked test, DICP linked assey.10,11

Komplikasi dan Prognosis

Bila terpapar bahan oksidan, infeksi atau makan fava beans mempunyai
potensi terjadinya anemia hemolitik, ikterus neonatorum (neonatal jaundice) yang
sering mengakibatkan kerusakan syaraf permanen dan dapat menyebabkan

17
kematian. Selain itu dapat juga menimbulkan katarak, kelelahan otot dan infeksi
berulang.8

4. Anemia hemolitik imun diinduksi obat

Pada kasus ini ada beberapa cara obat dapat menimbulkan anemia hemolitik
imun. Hapten atau penyerapan obat yang melibatkan antibodi tergantung obat,
pembentukan kompleks, induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit tanpa ada
lagi obat pemicu,serta oksidasi hemoglobin.

Patofisiologi

Penyerapan atau absorpsi protein nonimunologis terkait obat akan


menyebabkan tes coombs positif tanpan terjadi kerusakan pada sel eritrosit. Pada
mekanisme hapten, obat akan melapisi sel eritrosit. Dengan kuat antibodi terhadap
obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan sel eritosit. Sel
eritrosit yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak dilimpa. Antibodi ini
bila dipisahkan dari eritrositnya hanya bereasksi dengan reagen yang mengandung
eritrosit berlapis obat yang sama misalnya obat penisilin. Sedangkan mekanisme
pembentukan kompleks, melibatkan obat atau metabolit obat. Tempat ikat obat
yaitu pada permukaan sel target, antibodi dan aktifasi komplemen. Antibodi akan
melekat pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat
dan sel target itu lemah, dan antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada
obat ataupun membran eritrosit. Beberapa antibodi tersebut memiliki spesifitas
terhadap antigen golongan darah tertentu seperti: Rh, Kell,Kidd atau I/i.
Pemeriksaan coombs biasanya positif. Setelah aktifasi komplemen terjadi
hemolisis intravaskuler, hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Biasanya pada
obat-obat kinin, kuinidin, sulfonamide, dulfonylurea dan tiazide. Selain itu
banyak obat yang dapat menginduksi pembentukan autoantobodi terhadap sel
eritrosit autolog, seperti obat methyldopa. Obat ini bersirkulasi didalam plasma
akan menginduksi autoantibodi spesifik terhadap antigen Rh pada permukaan sel
darah merah. Jadi yang melekat pada permukaan sel darah merah adalah
autoantibodi, obat tidak melekat. Sel darah merah bisa mengalami trauma

18
oksidasif. Oleh karena hemoglobin mengikat oksigen maka bisa mengalami
oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidasi. Eritrosit yang sudah tua
mudah mengalami oksidatif. Tanda hemolisis karena suatu proses oksidatif yaitu:
ditemukan methemoglobin, sulfhemoglobin dan heinz badies, blister cell, bites
cell dan eccentrocytes. Contoh obatnya itu nitrofurantoin, phenazopyridin,
aminosalicylic acid. Pasien dengan terapi sefalosporin biasanya tes coombsnya
akan positif karena absorpsi nonimunologis, immunoglobin, komplemen,
albumin, fibrinogen dan plasma protein lain pada membran sel eritrosit.

Epidemiologi

Menurut Pazt dan Gararaty (1980) 12,4% dari penderita anemia hemolitik
imun dapat disebabkan oleh obat. menurut Worlledge (1960) antara kasus anemia
hemolitik yang ada hubungannya dengan obat, metildopa mengambil peranan
terbesar. Alfa metildopa (aldoment) dan beberapa obat lainnya seperti: kuinidin,
sulfanilamid, isoniazid dan banyak lagi bila diberika bersama sekurang-kurangnya
3 bulan dapat mengakibatkan tes reaksi antiglobulin positif yang dose dependent
pada 15-20% penderita-penderita tersebut. Dan 1% pada penderita akan mendapat
anemia hemolitik.

Gambaran klinis

Apabila riwayat pemakaian obat-obat tertentu positif. Pasien yang timbul


hemolisis melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi
sebagai hemolisis ringan sampai sedang. Bila sudah sampai pada kompleks yang
berperan maka hemolisis akan terjadi secara berat, mendadak, dan disertai gagal
ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut, maka hemolisis sudah
dapat terjadi pada pemapamar dengan dosis tunggal.

Pemeriksaan laboratorium

Terlihat anemia, retikulosis, MCV tinggi, tes coombs positif. Lekopenia,


trombositopenia, hemoglobinemia, hemoglobinuria.

19
Penatalaksanaan

Dengan menghentikan pemakain obat-obat tersebut yang menjadi pemicu,


terjadinya hemolisis pada sel darah merah dapat mengurangi. Obat kortikosteroid
dan tranfusi darah dapat diberikan pada kondisi yang berat.10

5. Anemia pasca perdarahan

Anemia pasca perdarahan dapat disebabkan oleh perdarahan ekternal, misalnya:


ada trauma, perdarahan pasca bedah. Ataupun perdarahan interna, misalnya: perdarahan
pada kehamilan ektopik terganggu, perdarahan rongga abdomen, dan lain-lainnya. Di
katakan pada seorang pria dewasa yang sehat, kehilangan darah melebihi 10% ( sekitar
500mL) baru akan menimbulkan gejala klinis. Bila perdarahan terjadi secara perlahan-
lahan selama beberapa jam atau beberapa minggu, pasien dapat beradaptasi sampai
kehilangan darah mencaiap sekitar 50% dari jumlah total eritrosit. Sebaliknya bila
perdarahan terjadi secara akut, kehilangan darah sebanyak 40-50% akan diikuti dengan
syok berat sampai kematian.

Gejala klinis

Pasien dengan timbul rasa lelah, pusing, haus, berkeringat, sinkop sampai
syok atau bisa juga sampai meninggal dunia. Gejala yang timbul ini biasanya
tergantung dari beberapa faktor yaitu: jumlah darah yang hilang, cepat atau
lambatnya perdarahan yang terjadi, lokasi perdarahan, dan adanya penyakit
sebelum perdarahan. Bila terjadi anemia ringan-sedang, terjadi hipoksia ringan
dan terjadi perangsangan proses hemopoiesis dalam sumsum tulang.9

Patofisiologi

Segera setelah perdarahan, volume darah total akan berkurang tetapi kadar
HB dan nilai Ht belum menurun yaitu sesuai dengan keadaan sebelum terjadi
perdarahan. Dua puluh jam samapi 60 jam setelah perdarahan, terjadi perpindahan
cairan dari ruang ektrasel kedalam ruang intravaskuler (stadium hemodilusi). Pada
20
saat itulah jumlaj eritrosit/uL, kadar Hb dan nilai Ht dapat menurun. Stadium
hemodilusi terjadi selama 1-3 hati setelah perdarahan dan timbul anemia
normositik normokrom. Dengan demikian anemia dengan pasca perdarahan akan
merangsang sumsum tulang melalui eritropoetin (EPO). Peningkatan kadar EPO
plasma terjadi 6 jam setelah perdarahan dan mencapai puncak pada hari ke 2 dan
3. Bila sumsum tulang dalam keadaan noemal, akan terjadi diferensiasi stem sel
menjadi sel-sel yang selanjutnya akan membentuk sel darah merah. Regenerasi
erotrosit terjadi 6-12 jam setelah perdarahan dan akan tampak sebagai polikromasi
dan erotrosit berinti di darah tepi. Jumlah retikulosit akan meningkat.
Peningkatannya dapat mencapai 5-10%, tergantung cadangan besi tibuh.
Peningkatan retikulosit terjadi pada hari ke 2 dan 3, mencapai puncak pada hari ke
4-6 dan akan normal kembali pada hari ke 10-14 pasca perdarahan. Pada sedian
hapus darah tepi akan tampak polikromasi sehingga hasil pemeriksaan volume
eritrosit rata-rata (VER) meningkat. Selain makrositosis dapat di jumpai
pulaleukositosis, neutrofilia dan trombositosis. Bila tidak terjadi perdarahan ulang
dan semua bahan untuk proses eritropoisis cukup, maka semua nilai parameter
hematologi dapat kembali normal dalm 3-6 minggu. Namun beberapa jam setelah
perdarahan, jumlah leukosit akan meningkat, dapat mencapai 20.000/uL darah
seperti batang dan metamiolosit. Terjadi juga trombositosis yang dapat mencapai
500.000-1 juta/uL darah. Pada pemeriksaan sumsum tulang di jumpai yang
hiperseluler dan aktivitas ketiga seri sel darah meningkat. Pada perdarahan yang
internal dapat terjadi peningkatan kadar bilirubin indirek serum. Keadaan ini
terjadi akibat dari reabsorpsi hasil eritrosit kedalam sirkulasi darah.5,6

Penatalaksanaan

Pulihkan volume darah dengan memberikan infus plasma expanders.


Indikasi diberikan tranfusi darah kalau Hbnya kurang dari 7g/dL. Kemudian
pemberian 1 unit (PCR) packed red cell dapat meningkatkan nilai Ht 3% atau
meningkatkan Hg 1g/dL.10

21
Kesimpulan

Dalam diagnosis AIHA ini diperlukan temuan klinis atau laboratorium adanya hemolisis
(pemecahan eritrosit) dan pemeriksaan serologi autoantibodi. Yang perlu diperhatikan, tidak
semua penderita AIHA menunjukkan semua gambaran laboratorium tersebut. Bisa saja tidak
didapatkan peningkatan bilirubin indirek, tidak ditemukan hemoglobinuria, atau malah
pemeriksaan DAT menunjukkan hasil yang negatif. Sehingga penentuan diagnosisnya tetap
melihat dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium yang lain apakah
terdapat tanda-tanda hemolisis, juga menyingkirkan penyebab anemia hemolitik yang lain.

Dengan itu pada kasus 6 masih banyak yang harus dilakukan dalam anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang pada pasien supaya dapat mendiagnosis dengan benar.
Kemungkinan wanita 25 tahun menderita AIHA ( anemia hemolitik autoimun)

22
Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadribata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5
Jilid 3. Jakarta: Interna publishing 2009.
2. Burnside, John W.Diagnosis Fisik. Edisi 17. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
1989. h.172-175, 282-285.
3. Abdurahman N, Daldiyono H, Markum, dkk. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:
Balai penerbit FKUI 2003. h.7-19.
4. Gehrs and Friedberg. AIHA. American Journal of Hematology 69, 4/02 Lee. Wintrobes

Clinical Hematology. 10th Edition Rosse. AIHA. UpToDate 10.1, 2002 Saito. Conns

Current Therapy. 54th Edition, 2002


5. Buku Saku Patofisiologi Corwin Oleh Elizabeth J. Corwin
6. Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC,
Jakarta
7. Wintrobes. Anemia sickle cell .Clinical Hematology 12th Edition; Manual of Clinical
Hematology
8. Sudiono, Herawati, dkk. Anemia pasca perdarahan. Penuntun Patologi Klinik Hematologi.
Cetakan ketiga. Biro Publikasi Fakultas Kedokteran Ukrida, Jakarta: 2009.
9. Trevor AJ, Katzung BG, Mastri SB. Katzung and Trevors Pharmacology Examination
and Board Review 7th Edition. Newyork, Mcgrtaw-hill.2005.
10. Syarif A, Ari E, Arini S, dkk. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Balai penerbit
FKUI 2001. Hal 613-33.

23

Anda mungkin juga menyukai