Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
Nyeri dikatakan sebagai salah satu tanda alami dari suatu penyakit yang
paling pertama muncul dan menjadi gejala yang paling dominan diantara
pengalaman sensorik lain yang dinilai oleh manusia pada suatu penyakit. Nyeri
sendiri dapat diartikan sebagai suatu pengalaman sensorik yang tidak
mengenakkan yang berhubungan dengan suatu kerusakan jaringan atau hanya
berupa potensi kerusakan jaringan.
Walaupun ketidaknyamanan dari suatu nyeri, nyeri dapat diterima oleh
seorang penderitanya sebagai suatu mekanisme untuk menghindari keadaan yang
berbahaya, mencegah kerusakan lebih jauh, dan untuk mendorong proses suatu
penyembuhan. Nyeri membuat kita menjauhkan diri dari hal berbahaya yang
dapat menyebabkan stimulus noksius yaitu akar dari suatu nyeri.
Nyeri sendiri menurut patofisiologinya dapat dibagi atas 4, yaitu :
a. Nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi, yaitu nyeri yang timbul akibat
adanya stimulus mekanis terhadap nosiseptor
b. Nyeri neuropatik, yaitu nyeri yang timbul akibat disfungsi primer pada
system saraf.
c. Nyeri idiopatik, nyeri dimana kelainan patologik tidak dapat ditemukan
d. Nyeri psikologik, bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak
disadari (3)
Pada makalah ini kami akan membahas tentang nyeri neuropatik dan neuro
nosiseptif yang akan dibahas selanjutnya.

1
BAB II NYERI

2.1. DEFINISI NYERI

Menurut InternationalAssociation for Study of Pain (IASP), nyeri adalah


sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait
dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan.

Persepsi yang disebabkan oleh ransangan yang potensial dapat


menimbulkan kerusakan jaringan disebut nosisepsion. Nosisepsion merupakan
langkah awal proses nyeri. Reseptor neurologik yang dapat membedakan antara
rangsangan nyeri dengan rangsangan lain disebut nosiseptor. Nyeri dapat
mengakibatkan impairment dan disabilitas.Impairment adalah abnormalitas
struktur atau hilangnya fungsi anatomik maupun psikologik. Sedangkan
disabilitas adalah hasil dari impairment yaitu keterbatasan atau gangguan
kemampuan untuk melakukan aktivitas yang normal. Nyeri juga merupakan
alasan tersering yang di berikan oleh pasien apabila mereka ditanyakan kenapa
berobat. Dampak nyeri pada perasaan sejahtera pasien sudah sedemikian luas
diterima sehingga banyak institusi sekarang menyebut nyeri sebagai tanda vital
kelima, dan mengelompokkannya bersama tanda-tanda klasik suhu, nadi,
pernapasan, dan tekanan darah.

Dapat dikatakan pula rasa nyeri merupakan mekanisme perlindungan. Bila


kulit menjadi nyeri akibat iskemia, dalam keadaan bawah sadar, orang yang
merasakan nyeri akan mengubah posisinya. Tetapi, keadaan ini akan
menimbulkan peluruhan dan deskuamasi seluruh kulit pada daerah yang tertekan.

Nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan yang terlokalisasi pada


suatu bagian tubuh. Fungsi sistem sensorik nyeri adalah untuk mendeteksi,
melokalisasi dan mengidentifikasi proses kerusakan jaringan. Nyeri seringkali
dijelaskan dalam istilah proses destruktif jaringan (misalnya: ditusuk-tusuk, panas
terbakar, melilit, sperti dirobek-robek, seperti diremas-remas) dan atau suatu
reaksi badan atau emosi (misalnya perasaan takut, mual, mabuk). Sifat-sifat ini

2
menunjukkan dualitas nyeri, nyeri merupakan sensasi atau emosi. Jika akut nyeri
secara karakteristik berhubungan dengan perubahan tingkah laku dan respons
stress yang terdiri dari: meningkatnya tekanan darah, denyut nadi, diameter pupil
dan kadar kortisol plasma. Selain itu, kontraksi otolokal ( misalnya fleksi anggota
badan, kekakuan dinding abdomen) seringkali terlihat dan dapat menyebabkan
nyeri sekunder.

2.2. KLASIFIKASI NYERI

Neyeri somatik

Nyeri nosiseptif

Nyeri viseral

Nyeri
Nyeri neuropatik

Nyeri non-nosiseptif

Nyeri psikogenik

Gambar 1. Klasifikasi Nyeri


Jenis-jenis nyeri :
Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang timbul sebagai akibat peransangan pada
nosiseptor (serabut A- dan serabut C) oleh ransangan mekanik, terminal
atau termikal.

3
Nyeri somatik adalah nyeri yang timbul pada organ non viseral, misal
nyeri pasca bedah, nyeri metatastik, nyeri tulang, dan nyeri artritik.
Nyeri viseral adalah nyeri berasal dari organ viseral, biasanya akibat
distensi organ yang berongga, misalnya usus, kantung empedu, pankreas
jantung. Nyeri juga sering diikuti referred pain dan sensasi otonom, seperti
mual dan muntah.
Nyeri neuropatik, timbul akibat iritasi atau trauma pada saraf. Seringkali
persiten, walaupun penyebabnya sudah tidak ada. Biasanya paien
merasakan rasa seperti terbakar, seperti tersengat listrik atau alodinia dan
disestesia.
Nyeri pisogenik yaitu nyeri yang tidak memenuhi kriteria nyeri somatik
dan nyeri neuropatik, dan memenuhi kriteria untuk depresi atau kelainan
psikosomatik.

2.3. RESEPTOR NYERI DAN STIMULASINYA

Kapasitas jaringan unutk menimbulkan nyeri apabila jaringan tersebut


mendapat rangsangan yang mengganggu bergantung pada keberadaan nosiseptor.
Nosiseptor adalah saraf eferen primer untuk menerima dan menyalurkan
rangsangan nyeri. Nosiseptor terletak di jaringan subkutis, otot rangka dan sendi.
Reseptor nyeri divesera tidak terdapat di parenkeim organ internal itu sendiri,
tetapi di permukaan periotenum, membrane pleura, dura meter, dan dinding
pembuluh darah. Reseptor yang terdapat di kulit dan jaringan lain semuanya
merupakan ujung saraf bebas. Reseptor ini tersebar luas pada permukaan
superisial kulit dan juga dijaringan dalam tertentu, misalnya periosteum, dinding
arteri, permukaan sendi dan falks serta tentorium tempurung kepala. Sebagian
besar jaringan dlam lainnya hanya sedikit sekali dipersarafi oleh unjung saraf
nyeri; namun, setiap kerusakan jaringan yang luas dapap bergabbung sehingga
pada kebanykan dareah tersebut akan timbul tipe rasa nyeri pegal yang lambat dan
kronik.
Rasa nyeri dapat dirasajan melalui berbagai jenis rangsangan. Semua ini
dikelompokkan sebagai rangsangan nyeri mekanis, suhu, dan kimiawi. Pada

4
umumnya nyeri cepat diperoleh melalui rangsangan jenis mekanis atau suhu,
sedangkan nyeri lambat dapat diperoleh melalui ketiga jenis tersebut.
Beberapa zat yang merangsang jenis nyeri kimiawi adalah bradikinin,
serotin, histamine, ion kalium, asam, asetilkolin dan enzim proteolitik. Selain itu,
prostaglandin I dan substansi P meningkatkan sensitivitas ujung-ujung serabut
nyeri tetapi tidak secara langsung merangsangnya. Substansi kimia terutama
penting untuk perangsangan lambat, jenis rasa nyeri yang menusuk yang terjadi
setelah cedera jaringan.
Berbeda dengan kebanykan reseptor sensoris tubuh lainnya, reseptor nyeri
sedikit sekali beradaptasi dan kadang tidak beradaptasi sama sekali. Ternyata pada
beberapa kindisi, eksitasi serabut rasa nyeri menjadi semakin bertambah secara
progresif terutama pada rasa nyeri mual-menusuk-lambat, karena stimulus rasa
nyeri berlangsung terus-menerus. Keadaan ini akan meningkatkan sensitivitas
reseptor nyeri dan disebut hiperalgesia.

2.4. JALUR NYERI DI SISTEM SARAF PUSAT

a Jalur Ascendens
Serat saraf C dan A- aferen yang menyalurkan implus nyeri masuk ke
medula spinalis di akar saraf dorsal. Serat-serat memisah sewaktu masuk ke korda
dan kemudian kembali menyatu di kornu dorsalis posterior pada medula spinalis.
Daerah ini menerima, menyalurkan, dan memproses implus sensorik. Kornu
dorsalis medula spinalis dibagi menjadi lapisan-lapisan sel yang disebut lamina.
Dua dari lapisan ini, yang disebut substansia gelatinosa, sangat penting dalam
transmisi dan modulasi nyeri. Dari kornu dorsalis, implus nyeri dikirim ke
neuron-neuron yang menyalurkan informasi ke sisi berlawanan medula spinalis di
komisura anterior dan kemudian menyatu di traktus lateralis, yang naik ke talamus
dan struktur otak lainnya. Dengan demikian, transmisi implus nyeri di medula
spinalis bersifat kontrlateral terhadap sisi tubuh tempat implus tersebut berasal.
Traktus neospinotalamikus adalah suatu sistem langsung yang membawa
informasi diskriminatif sensorik mengenai nyeri cepat atau akut dari nosiseptor A-
ke daerah talamus. Sistem ini barakhir di dalam nukleus posterolateral ventralis

5
hipotalamus. Nyeri disebut juga sensasi talamus mungkin karena dibawa
kesadaran oleh talamus. Sebuah neuron di talamus kemudian memproyeksikan
akso-aksonnya melalui bagian posterior kapsula interna untuk membawa implus
nyeri ke korteks somatosensorik primer dan girus pascacentralis. Dipostulasikan
bahwa pola tersusun ini penting bagi aspek sensorik-diskriminatif nyeri akut yang
dirasakan yaitu, lokasi, sifat, dan intensitas nyeri.
Traktur paleospinotalamikus adalah suatu jalur multisinaps difus yang
membawa implus ke farmasio retikularis batang otak sebelum berakhir di nukleus
parafasikularis dan nukleus intralaminar lain di talamus, hipotalamus, nukleus
sistem limbik, dan korteks otak depan. Karena implus disalurkan lebih lambat dari
implus di traktus neospinotalamikus, maka nyeri yang ditimbulkannya berkaitan
dengan rasa panas, pegal, dan sensasi yang lokalisasinya samar. Besar
kemungkinannya sensasi viseral disalurkan oleh sistem ini. Sistem ini sangat
penting pada nyeri kronik, dan memperantarai respons otonom terkait, perilaku
emosional, dan penurunan ambang sering terjadi. Dengan demikian, jalur
paleospinotalamikus disebut sebagai suatu sistem nosiseptor motivasional.

b Jalur Descendens
Salah satu jalur descendens yang telah diidentifikasi sebagai jalur
penting dalam sistem modulasi nyeri adalah jalur yang mencakup tiga
komponnen berikut
1 Substans grisea periakuaduktus (PAG) dan substansia grisea periventrikel
(PVG) mesensefalon dan pons bagian atas yang mengelilingi akuaduktus
Sylvius.
2 Neuron-neuron dari daerah satu mengirim implus ke nukleus rafe magnus
(NRM) yang terletak dipons dibagian atas dan nukleus retikularis
paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis.
3 Implus di transmisikan dari nukleus di ke kompleks inhibitorik nyeri yang
terletak di kornu dorsalis medula spinalis.

6
2.5. MEKANISME NYERI

Mekanisme Nyeri

PERSEPSI Pengalaman subjektif nyeri yg


bagaimanapun juga dihasilkan oleh aktifitas

a Melibatkan aktifitas saraf setinggi


medula spinalis
b Melibatkan faktor2 kimiawi yg
MODULASI
menimbulkan atau meningkatkan

a Implus nyeri dari dr tempat transduksi


melewati saraf perifer sampai ke
terminal medula spinalis
b Dari jaringan neuron2 yg ada dimedula
TRANSMISI a Terjadi stimulus noxious menyebabkan
stimulasi nociceptor.
b Pada stimulasi nociceptor, stimulus
noxious di ubah menjadi aksi potensial

TRANSDUKSI

7
2.6. NYERI NOSISEPTIF

Definisi Nyeri Nosiseptif


Nyeri nosiseptif merupakan suatu nyeri yang ditimbulkan oleh suatu
rangsangan pada nosiseptor. Nosiseptor ini merupakan suatu ujung saraf bebas
yang berakhir pada kulit untuk mendeteksi suatu nyeri kulit. Nosiseptor juga
terdapat pada tendon dan sendi, untuk mendeteksi nyeri somatik dan pada organ
tubuh untuk mendeteksi nyeri visceral. Reseptor nyeri ini sangat banyak pada
kulit, sehingga suatu stimulus yang menyebabkan nyeri sangat mudah dideteksi
dan dilokalisasi tempat rangsangan tersebut terjadi pada kulit. Input noksius
ditransmisikan ke korda spinalis dari berbagai ujung saraf bebas pada kulit, otot,
sendi, dura, dan viscera.

Komponen Nyeri Nosiseptif


Banyak teori berusaha untuk menjelaskan dasar neurologis dari nyeri
nosiseptif, meskipun tidak ada satu teori yang menjelaskan secara sempurna
bagaimana nyeri tersebut ditransmisikan atau diserap. Untuk memudahkan
memahami fisiologinya, maka nyeri nosiseptif dibagi atas 4 tahapan yaitu :
Transduksi : Stimulus noksius yang kemudian ditransformasikan
menjadi impuls berupa suatu aktifitas elektrik pada ujung bebas saraf
sensorik.
Transmisi : Propagasi atau perambatan dari impuls tersebut pada
sistem saraf sensorik
Modulasi : Proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan
input nyeri yang masuk di kornu posterior medula spinalis
Persepsi: Adanya interaksi antara transduksi, transmisi, dan modulasi
yang kemudian membentuk suatu pengalaman emosional yang
subjektif.

Transduksi

8
Pada nyeri nosiseptif, fase pertamanya adalah transduksi, konversi
stimulus yang intens apakah itu stimuli kimiawi seperti pH rendah yang terjadi
pada jaringan yang meradang , stimulus panas diatas 420C, atau kekuatan
mekanis. Disini didapati adanya protein transducer spesifik yang diekspresikan
dalam neuron nosiseptif ini dan mengkonversi stimulus noksious menjadi aliran
yang menembus membran, membuat depolarisasi membran dan mengaktifkan
terminal perifer.
Proses ini tidak melibatkan prostanoid atau produksi prostaglandin oleh
siklo-oksigenase, sehingga nyeri ini, atau proses ini, tidak dipengaruhi oleh
penghambat enzim COX-2. (7)
Neuron transduksi diperankan oleh suatu nosiseptor berupa serabut A-
dan serabut C yang menerima langsung suatu stimulus noksius. (3)
Serabut A- merupakan suatu serabut saraf dengan tebal 1- 3 mm dan
diliputi oleh selaput mielin yang tipis. Kecepatan transimisi impuls pada serabut
A- adalah sekitar 20m/s. Seperti serabut sensorik lainnya, serabut A- merupakan
perpanjangan dari pesudounipolar neuron dimana tubuh selnya berlokasi pada
akar ganglion dorsal. (4)
Sedangkan serabut C merupakan suatu serabut saraf dengan tebal 1 mm
dan tidak memiliki mielin. Karena serabut ini sangat tipis dan karena tidak
memiliki mielin yang mempercepat transmisi saraf, kecepatan konduksi rendah,
dan suatu rangsang berespon dengan kecepatan 1m/s. (4)
Serabut A- dan serabut C tidak hanya berbeda dalam struktur dan
kecepatan transmisinya namun mereka juga mempunyai kemampuan yang
berbeda dalam mendeteksi suatu stimulus. Serabut A- mentransimsisikan nyeri
tajam dan tusukan. dan serabut C menghantarkan sensasi berupa sentuhan,
getaran, suhu, dan tekanan halus. Walaupun dengan adanya perbedaan ini, kedua
tipe serabut ini memiliki jalur yang sama dalam menghantarkan stimulus yang
terdeteksi. Rute dari impuls saraf ini biasanya disebut dengan jalur nyeri. (8, 9)
Selain dari peran serabut A- dan serabut C, disebutkan juga terdapat
peran dari neuroregulator yang merupakan suatu substansi yang memberikan efek
pada transmisi stimulus saraf, biasanya substansi ini ditemukan pada nosiseptor
yaitu akhir saraf dalam kornu dorsalis medulla spinalis dan pada tempat reseptor

9
dalam saluran spinotalamik. Neuroregulator ada dua macam, yaitu
neurotransmitter dan neuromodulator. Neurotransmitter mengirimkan impuls
elektrik melewati celah synaptik antara 2 serabut saraf dan neuromodulator
berfungsi memodifikasi aktivitas saraf dan mengatur transmisi stimulus saraf
tanpa mentransfer secara langsung sinyal saraf melalui synaps (4)

Transmisi
Disini terjadi transfer informasi dari neuron nosiseptif primer ke neuron di
kornu dorsalis, selanjutnya ke neuron proyeksi yang akan meneruskan impuls ke
otak. Transmisi ini melibatkan pelepasan asam amino decarboxilic glutamate, juga
peptida seperti substantia P yang bekerja pada reseptor penting di neuron post-
sinaptic. Selanjutnya ini akan memungkinkan transfer yang cepat dari input
mengenai intensitas, durasi, lokasi, dari stimuli perifer yang berbeda lokasi.
Secara umum, ada dua cara bagaimana sensasi nosiseptif dapat mencapai
susunan saraf pusat, yaitu melalui traktus neospinothalamic untuk nyeri cepat
spontan dan traktus paleospinothalamic untuk nyeri lambat. (9)
Pada traktus neospinothalamik, nyeri secara cepat bertransmisi melalui
serabut A- dan kemudian berujung pada kornu dorsalis di medulla spinalis dan
kemudian bersinapsis dengan dendrit pada neospinothlamaik melalui bantuan
suatu neurotransmitter. Akson dari neuron ini menuju ke otak dan menyebrang ke
sisi lain melalui commisura alba anterior, naik keatas dengan columna
anterolateral yang kontralateral. Serabut ini kemudian berakhir pada kompleks
ventrobasal pada thalamus dan bersinapsis dengan dendrit pada korteks
somatosensorik. Nyeri cepat-spontan ini dirasakan dalam waktu 1/10 detik dari
suatu stimulus nyeri tajam, tusuk, dan gores. (9)
Pada traktus paleospinothalamik, nyeri lambat dihantarkan oleh serabut C
ke lamina II dan III dari cornu dorsalis yang dikenal dengan substantia gelatinosa.
Impuls kemudian dibawa oleh serabut saraf yang berakhir pada lamina V, juga
pada kornu dorsalis, bersinaps dengan neuron yang bergabung dengan serabut dari
jalur cepat, menyebrangi sisi berlawanan via commisura alba anterior dan naik ke
aras melalui jalur anterolateral. Neuron ini kemudian berakhir dalam batang otak,

10
dengan sepersepuluh serabut berhenti di thalamus dan yang lainnya pada medulla,
pons, dan substantia grisea sentralis dari tectum mesencephalon. (9)
Sebenarnya terdapat beragam jalur khusus hantaran sinyal dari kerusakan
jaringan dibawa ke berbagai tujuan, dimana dapat memprovokasi proses
kompleks. Transmisi nosiseptif sentripetal memicu berbagai jalur : spinoreticular,
spinomesencephalic, spinolimbic, spinocervical, dan spinothalamic. (9)
Traktus spinoreticular membawa jalur aferen dari somatosensorik dan
viscerosensorik yang berakhir pada tempat yang berbeda pada batang otak.
Traktus spinomesencephalik mengandung berbagai proyeksi yang berakhir pada
tempat yang berbeda dalam nukleus diencephali. Traktus spinolimbik termasuk
dari bagian spinohipotalamik yang mencapai kedua bagian lateral dan medial dari
hypothalamus dan kemudian traktus spinoamygdala yang memanjang ke nukleus
sentralis dari amygdala. Traktus spinoservikal, seperti spinothalamik membawa
sinyal ke thalamus. (3)
Modulasi
Pada fase modulasi terdapat suatu interaksi dengan system inhibisi dari
transmisi nosisepsi berupa suatu analgesic endogen. Konsep dari system ini yaitu
berdasarkan dari suatu sifat, fisiologik, dan morfologi dari sirkuit yang termasuk
koneksi antara periaqueductal gray matter dan nucleus raphe magnus dan formasi
retikuler sekitar dan menuju ke medulla spinalis
Analgesik endogen meliputi :
- Opiat endogen
- Serotonergik
- Noradrenergik (Norepinephric)
Sistem analgesik endogen ini memiliki kemampuan menekan input nyeri
di kornu posterior dan proses desendern yang dikontrol oleh otak seseorang, kornu
posterior diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup adalah terbuka
dalam menyalurkan input nyeri. Proses modulasi ini dipengaruhi oleh
kepribadian, motivasi, pendidikan, status emosional & kultur seseorang. Secara
skematik proses modulasi dapat dilihat pada skema dibawah ini

11
Persepsi
Fase ini merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri, pada saat
individu menjadi sadar akan adanya suatu nyeri, maka akan terjadi suatu reaksi
yang kompleks. Persepsi ini menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu
sehingga kemudian individu itu dapat bereaksi. (8)
Fase ini dimulai pada saat dimana nosiseptor telah mengirimkan sinyal
pada formatio reticularis dan thalamus, sensasi nyeri memasuki pusat kesadaran
dan afek. Sinyal ini kemudian dilanjutkan ke area limbik. Area ini mengandung
sel sel yang bisa mengatur emosi. Area ini yang akan memproses reaksi emosi
terhadap suatu nyeri. Proses ini berlangsung sangat cepat sehingga suatu stimulus
nyeri dapat segera menghasilkan emosi. (7, 9)

12
Skema proses terjadinya nyeri nosiseptif

Nyeri Somatik Superfisial (kulit)


Nyeri kulit berasal dari struktur-struktur superfisial kulit dan jaringan
subkutis. Stimulus yang efktif untuk menimbulkan nyeri dikulit dapat berupa
rangsangan mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila hanya kulit yang terlibat,
nyeri yang sering dirasakn sebagai menyengat, tajam, mengiris, atau seperti
terbakar; tetapi apabila pembuluh darah ikut berperan menimbulkan nyeri, sifat
nyeri menjadi berdenyut. Kulit memiliki banyak saraf sensorik sehingga
kerusakan di kulit menimbulkan sensasi yang lokalisasinya lebih akurat dan
presisi yang lebih luas dibandingkan di bagian tubuh lain. Daerah nyeri mungkin
terbatas di sepanjang suatu dermatom tertentu yang dipersarafi oleh satu akar
dorsal (sensorik). Namun, dermatoom-dermatom bukanlah komponen yang
tersendiri atau terpisah. Diantara dua dermatom yang berdekatan banyak terdapat
tumpang-tindih, dan tumpang tindih tersebut meningkat apabila yang terlibat
adalah sensasi nyeri dan suhu dibandingkan dengan sensasi sentuh. Karena itu,
apabila satu saraf spinal kehilangan sama sekali fungsinya, di kulit tidak
ditemukan daerah yang mengalami anestesia total, karena saraf-saraf dari dua
dermatom di dekatnya akan menyerap rangsangan sensoris. Di pihak lain, apabila
akar dorsal dari satu saraf spinal mengalami iritasi, seperti pada herpes zoster,

13
rangsangan yang mengganggu akan diraskan secara subjektif dari seluruh
dermatom, termasuk bagian yang tumpang tindih.

Nyeri Somatik Dalam


Nerisomatik dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari otot, tendon,
ligamentum, tulang, sendi, dan arteri. Struktur-struktur ini memiliki lebih sedikit
reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri sering tidak jelas. Nyeri dirasakn lebih
difus daripada nyeri kulit dan cenderung menyebar ke daerah disekitarnya. Nyeri
dari berbagai struktur dalam berbeda. Nyeri akbat suatu cedera akut pada sendi
memiliki lokalisasi yang jelas dan biasnya dirasakan sebagai rasa kronik sendi
(artritis), yang dirasakan adalah nyeri pegal-tumpul yang dsertai seperti tertusuk
apabila sendi bergerak. Nyeri tulang berasal dai stimulasi reseptor nyeri di
periosteum dan lokalisasinya yang kurang jelas dan dirasakan sebagai rasa pegal
tumpul atu kram. Nyeri otot rangka akan terasa menghebat saat otot berkontraksi
dalam keadaan iskemia.

Nyeri Visera
Nyeri visera mengacu kepada nyeri yang berasla dari organ-organ tubuh.
Reseptor nyeri visera lebih jarang dibandingkan dengan reseptor nyeri somatik
dan terletak di dinding otot polos organ-organ berongga (lambung, kandung
empedu, saluran empedu, ureter, kandung kemih) dan di kapsul organ-organ padat
(hati, pankreas, ginjal). Parenkim visera relatif tidak senseitif terhadap sayatan,
panas, atau cubitan. Mekanisme utama dalam menimbulkan nyeri visera adalah
peregangan atau distensi abnormal dinding atai kapsul organ, iskemia, dan
peradangan. Usus adalah sumber nyeri kram atau perih atau nyeri interiritasi oleh
zat-zat kimia yang dihasilkan oleh peradangan atau apabila teregang.
Visera dipersarafi oleh dua rute : melalui saraf-saraf yang memiliki fungsi
autonom (jalur visera sejati), seperti saraf splanknikus, dan melalui sara spinal
yang mempersarai struktur somatik (jalur parietal). Pleura parietalis,peritoneum,
dan bagian bawah perikardium peka terahadap nyeri tetapi sifersarafi oleh saraf-
saraf spinal dan bukan ssistem saraf otonom (SSO). Nyeri yang disalurkan melalui
jalur visera sejati kurang jelas lokalisasinya dan sering dirujuk ke suatu daerah

14
permukaan kulit (dermatom) yang jauh dari asalnya. Dipihak lain, nyeri yang
disalurkan melalui jalur parietal dirasakan dapat diatas daerah yang nyeri. Semua
neuron yang dirangsang oleh masukan aferen visera juga dibuktikan menerima
masukan somatik. Persarafan fanda ini mungkin merupakan salah satu alasan bagi
kurangnya lokalisasi rangsangan viseral dan adanya fenomena nyeri rujukan.
Nyeri viseral disalurkan melalui serat simpatis dan parasimpatis SSO.
Aferen visera biasanya adalah serat tipe C, dan sensasi nyeri yang diahasilkan
biasanya memiliki kulaitas tumpul atau pegal. Impuls nyeri dari visera torak dan
abdomen hampir secara eksklusif dihantarkan melalui sistem saraf simpatis;
impuls berjalan disaraf simpatis melalui ganglion simpatis tanpa bersinaps, dan
kemudian mencapai saraf spinal melalui ramus komunikans alba dan kemudian ke
ganglion akar dorsal. Namun impuls nyeri dari faring, trakea, dan esofagus
diperantarai oleh aferen vagus, dan nyeri dari struktur-struktur dalam panggul
disalurkan melalui saraf parasimpatis sakrum. Dijalur sentral, impuls nyeri visera,
sera sensasi visera lainnya, berjalan dengan rute yang sama dengan impuls dari
struktur somatik. Faktor ini penting, dalam pengalihan nyeri somatik yang sering
dari visera

Penatalaksanaan Nyeri Nosiseptif


Seperti yang kita ketahui bahwa nyeri klinis umumnya terdiri atas nyeri
inflamasi dan nyeri neuropatik. Keduanya menunjukkan simtom yang sama tetapi
berbeda dalam strategi pengobatan yang disebabkan perbedaan dalam
patofisiologi.
Nyeri nosiseptif timbul akibat stimulasi reseptor nyeri yang berasal dari
organ visceral atau somatik. Stimulus nyeri berkaitan dengan inflamasi jaringan,
deformasi mekanik, injuri yang sedang berlangsung atau destruksi. Oleh karena
itu penting untuk mencari dan mengobati jaringan yang rusak atau yang
mengalami inflamasi sebagai penyebab nyeri. Sebagai contoh, pasien datang
dengan nyeri nosiseptif akibat polymyalgia rheumatic maka diberikan
kortikosteroid sistemik. Akan tetapi, sementara mencari penyebab nyeri, tidak ada
pendapat yang melarang pemberian analgesik untuk mengurangi nyeri. 10,11

15
Nyeri nosisepsi ini sendiri dapat berupa akut maupun kronik. Beberapa
literatur mengemukakan bahwa nyeri nosisepsi yang akut itu berupa kerusakan
soft tissue, atau inflamasi. Hal ini lebih mudah ditangani, yaitu dapat dengan
menghilangkan penyebab nyeri itu sendiri misalnya seperti yang dikemukakan
diatas, yaitu dengan pemberian opioid misalnya morfin, sedangkan yang non-
opioid dapat berupa aspirin yang mekanisme kerjanya menginhibisi sintesis
prostaglandin dan AINS, parasetamol. Selain itu dapat juga diberikan analgesia
regional baik secara sederhana yaitu dengan blok saraf dan anestesi lokal, maupun
dengan teknologi tinggi berupa epidural infussion dan anastetik opioid lokal.
Untuk nyeri nosisepsi kronik, penanganannya berupa terapi farmaka, blok
transmisi saraf, dan alternatif. 12
Terapi farmaka terdiri dari
Terapi analgesik seperti NSAID/ Paracetamol-opiod
Terapi analgesik ajuvan, seperti antidepresan, antikonvulsan
Terapi blok transmisi
Irreversibel, yaitu operasi dan destruksi saraf.
Reversibel, yaitu injeksi anestesi lokal
Terapi alternatif
Stimulator
Akupuntur
Hipnosis
Psikologi
Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri
sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua
metode umum untuk terapi nyeri : farmakologik dan non farmakologik.13

Pendekatan farmakologik 13,14


Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah
OAINS, COX-2 inhibitors(coxib), analgetika opioid , dan analgetika adjuvan.
Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada
penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan
cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Pada

16
penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat. Istilah pukul
dulu, urusan belakang tampak cukup tepat untuk menggambarkan prinsip
tatalaksana nyeri akut. Prinsip pengobatan nyeri akut dan berat (nilai Visual
Analogue Scale = VAS 7-10) yaitu pemberian obat yang efek analgetiknya kuat
dan cepat dengan dosis optimal. Pada nyeri akut, dokter harus memilih dosis
optimum obat dengan mempertimbangkan kondisi pasien dan keparahan nyeri.
Pada nyeri kronik, dokter harus mulai dengan dosis efektif yang serendah
mungkin untuk kemudian ditingkatkan sampai nyeri terkendali. Pemilihan obat
awal pada nyeri kronik ditentukan oleh keparahan nyeri. Protokol ini dikenal
dengan nama WHO analgesic ladder.

Analgesik nonopioid 11,13


Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan
sampai sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama
asetaminofen(Tylenol) dan OAINS. OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri
akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronik seperti arthritis, dan nyeri
akibat-kanker yang ringan. OAINS menghasilkan analgesia dengan bekerja di
tempat cedera melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam
arakidonat. Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme
nosiseptor aferen primer dengan menghambat sintesis prostaglandin. Efek
samping yang sering adalah iritasi GI/ulkus peptikum dan menghambat agregasi
platelet. Inhibitor COX-2 spesifik (seperti celecoxib dan lumiracoxib) mengurangi
resiko efek samping tersebut. Inhibitor COX-2 bersifat selektif karena hanya
menghambat jalur COX-2. Tidak terpengaruhnya jalur COX-1 ini melindungi
produk-produk prostaglandin yang baik yang diperlukan untuk fungsi fisiologis
seperti melindungi mukosa lambung dan filtrasi glomerulus di ginjal.

Analgesik Opioid 11,13,15,16


Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat
seperti opium atau morfin. Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang
tersedia dan digunakan dalam penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat.
Analgesik opioid efektif dalam penanganan nyeri nosiseptif maupun neuropatik.

17
Obat-obat ini merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pascaoperasi dan nyeri
terkait kanker. Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk
mengobati nyeri berat dan masih menjadi standar pembanding untuk menilai obat
anlgesik lain.
Berbeda dengan OAINS yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek
analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas sejak
penemuan reseptor-reseptor opuioid endogen di sistem limbic, thalamus, PAG,
substansia gelatinosa kornu dorsalis, dan usus. Opioid eksogen seperti morfin
menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid endogen (endorphin-
enkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis (meningkatkan kerja reseptor).
Dengan mengikat reseptor opioid di nucleus modulasi nyeri di batang otak, morfin
menimbulkan efek pada system-sistem desndens yang menghambat nyeri. Di
tingkat kornu dorsalis medulla spinalis, morfin juga dapat menghambat transmisi
impuls nosiseptor yang dating dengan mengikat reseptor opioid di substansia
gelatinosa.
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip,
termasuk depresi pernapasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu,
semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan, dan ketagihan
(adiksi).

Adjuvan atau koanalgesik 10,13


Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula dikembangkan
untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memiliki
sifat analgetik atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan
nyeri.
Nyeri tulang tipikal tidak dapat sepenuhnya dikontrol dengan pemberian
narkotik. Oleh karena itu, obat adjuvan ditambahkan pada regimen narkotik.
Terapi adjuvan lini pertama pada nyeri tulang adalah OAINS dan kortikosteroid
seperti prednison (30-60 mg/hari per oral), dexametason (decadron; 16 mg/hari
per oral) dan methlprednisolone (medrol; 120 mg/hari per oral).

18
Adjuvan lain untuk analgesik adalah agonis reseptor adrenergic-alfa
(misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal
bersama dengan opioid atau analgesik local; obat ini juga memiliki efek analgetik
apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respon adrenergic simpatis
yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer.

Pendekatan Nonfarmakologik
Metode non farmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi
menjadi dua kelompok : terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku.
Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit
(pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupungtur,, aplikasi panas atau
dingin, olahraga). Sedangkan, startegi kognitif-prilaku bermanfaat dalam
mengubah persepsi pasien terhadap nyeri, dan member pasien perasaan yang lebih
mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi ini mencakup relaksasi, penciptaan
khayalan (imagery), hypnosis, dan biofeedback.13

2.7. NYERI NEUROPATIK

Definisi Nyeri Neurpatik


Nyeri neuropatik yang didefinisikan sebagai nyeri akibat lesi jaringan saraf
baik perifer maupun sentral bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti
amputasi, toksis (akibat khemoterapi) metabolik (diabetik neuropati) atau juga
infeksi misalnya herpes zoster pada neuralgia pasca herpes dan lain-lain. Nyeri
pada neuropatik bisa muncul spontan (tanpa stimulus) maupun dengan stimulus
atau juga kombinasi. Meskipun jarang, nyeri juga dihasilkan oleh kerusakan SSP,
terutama jaras spinotalamik atau talamus. Nyeri neuropatik secara sering
sedemikian hebat dan tidak teratasi dengan pengobatan nyeri standar.
Nyeri neuropatik secara tipikal mempunyai kualitas seperti terbakar,
kesemutan atau tersengat listrik dan dapat ditimbulkan dengan sentuhan yang
sangat ringan. Gambaran ini jarang ditemukan pada tipe nyeri yang lain. Pada
pemeriksaan, deficit sensorik secara khas dijumpai pada daerah yang nyeri.
Berbagai mekanisme mendukung terjadinya nyeri neuropatik. Aferen
primer yang rusak, termasuk nosiseptor menjadi sangat sensitive terhadap

19
stimulasi mekanis dan menimbulkan hantaran energy dari neuron ke neuron
lainnya (impuls) tanpa adanya rangsangan. Aferen primer yang rusak juga dapat
menyebabkan sensitivitas terhadap norepineprin yang dilepaskan oleh neuron
pascaganglion simpatik. Hal yang menarik adalah neuron transmisi-nyeri spinal
yang tidak dapat menerima masukan normalnya dapat menjadi aktif secara
spontan. Maka baik perubahan sistem saraf pusat maupun perifer dapat
menyebabkan terjadinya nyeri neuropatik.
Nyeri neuropatik juga disebut sebagai nyeri kronik berbeda dengan nyeri
akut atau nosiseptif dalam hal etiologi, patofisiologi, diagnosis dan terapi. Nyeri
akut adalah nyeri yang sifatnya self-limiting dan dianggap sebagai proteksi
biologik melalui signal nyeri pada proses kerusakan jaringan. Nyeri pada tipe akut
merupakan simptom akibat kerusakan jaringan itu sendiri dan berlokasi disekitar
kerusakan jaringan dan mempunyai efek psikologis sangat minimal dibanding
dengan nyeri kronik. Nyeri ini dipicu oleh keberadaan neurotransmiter sebagai
reaksi stimulasi terhadap reseptor serabut alfa-delta dan C polimodal yang
berlokasi di kulit, tulang, jaringan ikat otot dan organ visera. Stimulus ini bisa
berupa mekhanik, kimia dan termis, demikian juga infeksi dan tumor.

Epidemiologi Nyeri Neuropatik


Menurut Bennet (1978) dan Tollison (1998), di Amerika Serikat terdapat
kira-kira 75-8 juta penderita nyeri kronik, dengan 25 juta diantaranya penderita
artrirtis. Diperkirakan ada 600.000 penderita artritis baru setiap tahunnya. Jumlah
penderita nyeri neuropatik lebih kurang 1% dari total penduduk di luar nyeri
punggung bawah. Untuk nyeri punggung bawah sendiri diperkirakan 15% dari
jumlah penduduk (Fordyce, 1995). Insidensi maupun prevalensi nyeri akut belum
diketahui, tetapi diperkirakan operasi dan trauma penyebab utama nyeri akut
(Loeser and Melzack, 1999; McQuay and Moore, 1999)

Etiologi Nyeri Neuropatik


Penyebab nyeri neuropatik yang paling sering :
Nyeri neuropatik perifer
Poliradikuloneuropati demielinasi inflamasi akut dan kronik
Polineuropati alkoholik
Polineuropati oleh karena kemoterapi

20
Sindrom nyeri regional kompleks (complex regional pain syndrome)
Neuropati jebakan (misalnya, carpal tunnel syndrome)
Neuropati sensoris oleh karena HIV
Neuralgia iatrogenik (misalnya, nyeri post mastektomi atau nyeri post
thorakotomi)
Neuropati sensoris idiopatik
Kompresi atau infiltrasi saraf oleh tumor
Neuropati oleh karena defisiensi nutrisional
Neuropati diabetik
Phnatom limb pain
Neuralgia post herpetik
Pleksopati post radiasi
Radikulopati (servikal, thorakal, atau lumbosakral)
Neuropati oleh karena paparan toksik
Neuralgia trigeminus (Tic Doulorex)
Neuralgia post traumatik

Nyeri neuropatik sentral


Mielopati kompresif dengan stenosis spinalis
Mielopati HIV
Multiple sclerosis
Penyakit Parkinson
Mielopati post iskemik
Mielopati post radiasi
Nyeri post stroke
Nyeri post trauma korda spinalis
Siringomielia

Patofisiologi Nyeri Neuropatik


Mekanisme yang mendasari munculnya nyeri neuropati adalah: sensitisasi
perifer, ectopic discharge, sprouting, sensitisasi sentral, dan disinhibisi. Perubahan
ekspresi dan distribusi saluran ion natrium dan kalium terjadi setelah cedera saraf,
dan meningkatkan eksitabilitas membran, sehingga muncul aktivitas ektopik yang
bertanggung jawab terhadap munculnya nyeri neuropatik spontan (Woolf, 2004).
Kerusakan jaringan dapat berupa rangkaian peristiwa yang terjadi di
nosiseptor disebut nyeri inflamasi akut atau nyeri nosiseptif, atau terjadi di
jaringan saraf, baik serabut saraf pusat maupun perifer disebut nyeri neuropatik.
Trauma atau lesi di jaringan akan direspon oleh nosiseptor dengan mengeluarkan

21
berbagai mediator inflamasi, seperti bradikinin, prostaglandin, histamin, dan
sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan
munculnya nyeri spontan, atau membuat nosiseptor lebih sensitif (sensitasi) secara
langsung maupun tidak langsung. Sensitasi nosiseptor menyebabkan munculnya
hiperalgesia. Trauma atau lesi serabut saraf di perifer atau sentral dapat memacu
terjadinya remodelling atau hipereksibilitas membran sel. Di bagian proksimal lesi
yang masih berhubungan dengan badan sel dalam beberapa jam atau hari, tumbuh
tunas-tunas baru (sprouting). Tunas-tunas baru ini, ada yang tumbuh dan
mencapai organ target, sedangkan sebagian lainnya tidak mencapai organ target
dan membentuk semacam pentolan yang disebut neuroma. Pada neuroma terjadi
akumulasi berbagai ion-channel, terutama Na+ channel. Akumulasi Na+ channel
menyebabkan munculnya ectopic pacemaker. Di samping ion channel juga terlihat
adanya molekul-molekul transducer dan reseptor baru yang semuanya dapat
menyebabkan terjadinya ectopic discharge, abnormal mechanosensitivity,
thermosensitivity, dan chemosensitivity (Devor and Seltzer, 1990). Ectopic
discharge dan sensitisasi dari berbagai reseptor (mechanical, termal, chemical)
dapat menyebabkan timbulnya nyeri spontan dan evoked pain.
Lesi jaringan mungkin berlangsung singkat, dan bila lesi sembuh nyeri
akan hilang. Akan tetapi, lesi yang berlanjut menyebabkan neuron-neuron di
kornu dorsalis dibanjiri potensial aksi yang mungkin mengakibatkan terjadinya
sensisitasi neuron-neuron tersebut. Sensitisasi neuron di kornu dorsalis menjadi
penyebab timbulnya alodinia dan hiperalgesia sekunder. Dari keterangan di atas,
secara sederhana dapat disimpulkan bahwa nyeri timbul karena aktivasi dan
sensitisasi sistem nosiseptif baik perifer maupun sentral.
Baik nyeri neuropatik perifer maupun sentral berawal dari sensitisasi
neuron sebagai stimulus noksious melalui jaras nyeri sampai ke sentral. Bagian
dari jaras ini dimulai dari kornu dorsalis, traktus spinotalamikus (struktur somatik)
dan kolum dorsalis (untuk viseral), sampai talamus sensomotorik, limbik, korteks
prefrontal dan korteks insula. Karakteristik sensitisasi neuron bergantung pada:
meningkatnya aktivitas neuron; rendahnya ambang batas stimulus terhadap
aktivitas neuron itu sendiri misalnya terhadap stimulus yang nonnoksious, dan
luasnya penyebaran areal yang mengandung reseptor yang mengakibatkan

22
peningkatan letupan-letupan dari berbagai neuron. Sensitisasi ini pada umumnya
berasosiasi dengan terjadinya denervasi jaringan saraf akibat lesi ditambah dengan
stimulasi yang terus menerus dan inpuls aferen baik yang berasal dari perifer
maupun sentral dan juga bergantung pada aktivasi kanal ion di akson yang
berkaitan dengan reseptor AMPA/kainat dan NMDA. Sejalan dengan
berkembangnya penelitian secara molekuler maka ditemukan beberapa
kebersamaan antara nyeri neuropatik dengan epilepsi dalam hal patologinya
tentang keterlibatan reseptor misalnya NMDA dan AMPA dan plastisitas
disinapsis, immediate early gene changes. Yang berbeda hanyalah dalam hal burst
discharge secara paroksismal pada epilepsi sementara pada neuropatik yang
terjadi adalah ectopic discharge. Nyeri neuropatik muncul akibat proses patologi
yang berlangsung berupa perubahan sensitisasi baik perifer maupun sentral yang
berdampak pada fungsi sistem inhibitorik serta gangguan interaksi antara somatik
dan simpatetik. Keadaan ini memberikan gambaran umum berupa alodinia dan
hiperalgesia. Permasalahan pada nyeri neuropatik adalah menyangkut terapi yang
berkaitan dengan kerusakan neuron dan sifatnya ireversibel. Pada umumnya hal
ini terjadi akibat proses apoptosis yang dipicu baik melalui modulasi intrinsik
kalsium di neuron sendiri maupun akibat proses inflamasi sebagai faktor
ekstrinsik. Kejadian inilah yang mendasari konsep nyeri kronik yang ireversibel
pada sistem saraf. Atas dasar ini jugalah maka nyeri neuropatik harus secepat
mungkin di terapi untuk menghindari proses mengarah ke plastisitas sebagai nyeri
kronik. Neuron sensorik nosiseptif berakhir pada bagian lamina paling superfisial
dari medula spinalis. Sebaliknya, serabut sensorik dengan ambang rendah (raba,
tekanan, vibrasi, dan gerakan sendi) berakhir pada lapisan yang dalam. Penelitian
eksperimental pada tikus menunjukkan adanya perubahan fisik sirkuit ini setelah
cedera pada saraf. Pada beberapa minggu setelah cedera, terjadi pertumbuhan baru
atau sprouting affreen dengan non noksious ke daerah-daerah akhiran nosiseptor.
Sampai saat ini belum diketahui benar apakah hal yang serupa juga terjadi pada
pasien dengan nyeri neuropati. Hal ini menjelaskan mengapa banyak kasus nyeri
intraktabel terhadap terapi. Rasa nyeri akibat sentuhan ringan pada pasien nyeri
neuropati disebabkan oleh karena respon sentral abnormal serabut sensorik non

23
noksious. Reaksi sentral yang abnormal ini dapat disebabkan oleh faktor
sensitisasi sentral, reorganisasi struktural, dan hilangnya inhibisi (Woolf, 2004).
Nyeri neuropati merupakan nyeri yang dikarenakan adanya lesi pada
sistem saraf perifer maupun pusat. Nyeri ini bersifat kronik dan mengakibatkan
penurunan kualitas hidup penderita. Nyeri neuropati melibatkan gangguan
neuronal fungsional dimana saraf perifer atau sentral terlibat dan menimbulkan
nyeri khas bersifat epikritik (tajam dan menyetrum) yg ditimbulkan oleh serabut
A yg rusak, atau protopatik seperti disestesia, rasa terbakar, parestesia dengan
lokalisasi tak jelas yang disebabkan oleh serabut C yang abnormal. Gejala-gejala
ini biasa disertai dengan defisit neurologik atau gangguan fungsi lokal.
Umumnya, lesi saraf tepi maupun sentral berakibat hilangnya fungsi
seluruh atau sebagian sistim saraf tersebut, ini sering disebut sebagai gejala
negatif. Akan tetapi, pada bagian kecil penderita dengan lesi saraf tepi, seperti
pada penderita stroke, akan menunjukkan gejala positif yang berupa disestesia,
parestesia atau nyeri. Nyeri yang terjadi akibat lesi sistem saraf ini dinamakan
nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang didahuluhi atau disebabkan
oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf.
Iskemia, keracunan zat tonik, infeksi dan gangguan metabolik dapat
menyebabkan lesi serabut saraf aferen. Lesi tersebut dapat mengubah fungsi
neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh
keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang terjadi dapat
berupa gangguan keseimbangan neuron sensorik, melalui perubahan molekular,
sehingga aktivitas serabut saraf aferen menjadi abnormal (mekanisme perifer)
yang selanjutnya menyebabkan gangguan nosiseptik sentral.
Pada nyeri inflamasi maupun nyeri neuropatik sudah jelas keterlibatan
reseptor NMDA dalam proses sensitisasi sentral yang menimbulkan gejala
hiperalgesia terutama sekunder dan alodinia. Akan tetapi di klinik ada perbedaaan
dalam terapi untuk kedua jenis nyeri inflamasi sedangkan untuk nyeri neuropatik
obat tersebut kurang efektif. Banyak teori telah dikembangkan untuk
menerangkan perbedaan tersebut.
Prinsip terjadinya nyeri adalah gangguan keseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi akibat kerusakan jaringan (inflamasi) atau sistem saraf (neuropatik).

24
Eksitasi meningkat pada kedua jenis nyeri tersebut pada neyeri neuropatik dari
beberapa keterangan sebelumnya telah diketahui bahwa inhibisi menurun yang
sering disebut dengan istilah disinhibisi. Disinhibisi dapat disebabkan oleh
penurunan reseptor opioid di neuron kornu dorsalis terutama di presinap serabut
C.

Penatalaksanaan Nyeri Neuropatik


Obat-obatan yang banyak digunakan sebagai terapi nyeri neuropati
adalah anti depresan trisiklik dan anti konvulsan karbamasepin.
Anti depresan
Dari berbagai jenis anti depresan, yang paling sering digunakan untuk
terapi nyeri neuropati adalah golongan trisiklik, seperti amitriptilin, imipramin,
maprotilin, desipramin. Mekanisme kerja anti depresan trisiklik (TCA) terutama
mampu memodulasi transmisi dari serotonin dan norepinefrin (NE). Anti depresan
trisiklik menghambat pengambilan kembali serotonin (5-HT) dan noradrenalin
oleh reseptor presineptik. Disamping itu, anti depresan trisiklik juga menurunkan
jumlah reseptor 5-HT (autoreseptor), sehingga secara keseluruhan mampu
meningkatkan konsentrasi 5-HT dicelah sinaptik. Hambatan reuptake norepinefrin
juga meningkatkan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik. Peningkatan
konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik menyebabkan penurunan jumlah
reseptor adrenalin beta yang akan mengurangi aktivitas adenilsiklasi. Penurunan
aktivitas adenilsiklasi ini akan mengurangi siklik adenosum monofosfat dan
mengurangi pembukaan Si-Na. Penurunan Si-Na yang membuka berarti
depolarisasi menurun dan nyeri berkurang.
Anti konvulsan
Anti konvulsan merupakan gabungan berbagai macam obat yang
dimasukkan kedalam satu golongan yang mempunyai kemampuan untuk menekan
kepekaan abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf sentral. Seperti diketahui
nyeri neuropati timbul karena adanya aktifitas abnormal dari sistem saraf. Nyeri
neuropati dipicu oleh hipereksitabilitas sistem saraf sentral yang dapat
menyebabkan nyeri spontan dan paroksismal. Reseptor NMDA dalam influks
Ca2+ sangat berperan dalam proses kejadian wind-up pada nyeri neuropati.
Prinsip pengobatan nyeri neuropati adalah penghentian proses hiperaktivitas

25
terutama dengan blok Si-Na atau pencegahan sensitisasi sentral dan peningkatan
inhibisi.
Karbamasepin dan Okskarbasepin
Mekanisme kerja utama adalah memblok voltage-sensitive sodium
channels (VSSC). Efek ini mampu mengurangi cetusan dengan frekuensi tinggi
dari neuron. Okskarbasepin merupakan anti konvulsan yang struktur kimianya
mirip karbamasepin maupun amitriptilin. Dari berbagai uji coba klinik,
pengobatan dengan okskarbasepin pada berbagai jenis nyeri neuropati
menunjukkan hasil yang memuaskan, sama, atau sedikit diatas karbamazepin,
hanya saja okskarbasepin mempunyai efek samping yang minimal.
Lamotrigin
Merupakan anti konvulsan baru untuk stabilisasi membran melalui
VSCC, merubah atau mengurangi pelepasan glutamat maupun aspartat dari
neuron presinaptik, meningkatkan konsentrasi GABA di otak. Khusus untuk nyeri
neuropati penderita HIV, digunakan lamotrigin sampai dosis 300 mg perhari.
Hasilnya, efektivitas lamotrigin lebih baik dari plasebo, tetapi 11 dari 20 penderita
dilakukan penghentian obat karena efek samping. Efek samping utama lamotrigin
adalah skin rash, terutama bila dosis ditingkatkan dengan cepat.

Gabapentin
Akhir-akhir ini, penggunaan gabapentin untuk nyeri neuropati cukup
populer mengingat efek yang cukup baik dengan efek samping minimal. Khusus
mengenai gabapentin, telah banyak publikasi mengenai obat ini diantaranya untuk
nyeri neuropati diabetika, nyeri pasca herpes, nyeri neuropati sehubungan dengan
infeksi HIV, nyeri neuropati sehubungan dengan kanker dan nyeri neuropati
deafferentasi. Gabapentin cukup efektif dalam mengurangi intensitas nyeri pada
nyeri neuropati yang disebabkan oleh neuropati diabetik, neuralgia pasca herpes,
sklerosis multipel dan lainnya. Dalochio, Nicholson mengatakan bahwa
gabapentin dapat digunakan sebagai terapi berbagai jenis neuropati sesuai
denngan kemampuan gabapentin yang dapat masuk kedalam sel untuk
berinteraksi dengan reseptor 2 yang merupakan subunit dari Ca2+-channel.

2.8. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON NYERI

26
1) Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon
nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah
patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam
nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang
harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal
jika nyeri diperiksakan.

2) Jenis kelamin

Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan
dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas
kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).

3) Kultur

Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap


nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah
akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak
mengeluh jika ada nyeri.

4) Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan


bagaimana mengatasinya.

5) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat


mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi

27
dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided
imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.

6) Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan


seseorang cemas.

7) Pengalaman masa lalu

Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri
yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah
tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam
mengatasi nyeri.

8) Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan


sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi
nyeri.

9) Support keluarga dan sosial

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga


atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan

2.9. INTENSITAS NYERI

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan


oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan

28
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak
dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).

Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

1) skala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik

3) Skala analog visual

29
4) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan :

0 :Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.

4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat


menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah
dengan baik.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah
tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan
distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.

30
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau
intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri
sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda
bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk
dipastikan.

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang


lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang
tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking
dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan. Perawat
menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas
nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa
paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat
VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan
nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri
dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji
intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan
skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm.

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi.
VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus
dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan
penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran
keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik
pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka.

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan
tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien
dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat.
Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan
nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat

31
menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai
apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan.

BAB III PENUTUP

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang


dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut
International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif
dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan
jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan.

Nyeri nosiseptif merupakan suatu nyeri yang ditimbulkan oleh suatu


rangsangan pada nosiseptor. Nosiseptor ini merupakan suatu ujung saraf bebas
yang berakhir pada kulit untuk mendeteksi suatu nyeri kulit. Nosiseptor juga
terdapat pada tendon dan sendi, untuk mendeteksi nyeri somatik dan pada organ
tubuh untuk mendeteksi nyeri visceral.

Proses nyeri nosiseptif melewati beberapa tahap hingga menimbulkan


persepsi nyeri pada penderita. Proses ini dibagai dala 4 tahapan :

32
Transduksi : Stimulus noksius yang kemudian ditransformasikan
menjadi impuls berupa suatu aktifitas elektrik pada ujung bebas saraf
sensorik.
Transmisi : Propagasi atau perambatan dari impuls tersebut pada
sistem saraf sensorik
Modulasi : Proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan
input nyeri yang masuk di kornu posterior medula spinalis
Persepsi: Adanya interaksi antara transduksi, transmisi, dan modulasi
yang kemudian membentuk suatu pengalaman emosional yang
subjektif.

Nyeri neuropatik yang didefinisikan sebagai nyeri akibat lesi jaringan


saraf baik perifer maupun sentral bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti
amputasi, toksis (akibat khemoterapi) metabolik (diabetik neuropati) atau juga
infeksi misalnya herpes zoster pada neuralgia pasca herpes dan lain-lain. Nyeri
pada neuropatik bisa muncul spontan (tanpa stimulus) maupun dengan stimulus
atau juga kombinasi. Meskipun jarang, nyeri juga dihasilkan oleh kerusakan SSP,
terutama jaras spinotalamik atau talamus. Nyeri neuropatik secara sering
sedemikian hebat dan tidak teratasi dengan pengobatan nyeri standar.

Mekanisme yang mendasari munculnya nyeri neuropati adalah: sensitisasi


perifer, ectopic discharge, sprouting, sensitisasi sentral, dan disinhibisi. Perubahan
ekspresi dan distribusi saluran ion natrium dan kalium terjadi setelah cedera saraf,
dan meningkatkan eksitabilitas membran, sehingga muncul aktivitas ektopik yang
bertanggung jawab terhadap munculnya nyeri neuropatik spontan

33
DAFTAR PUSTAKA

1. IASP Pain Terminolog [on line].2008 [cited 2008 February 8]: available
from:
http://www.iasppain.org/AM/Template.cfm?
Section=General_Resource_Links&Template=/CM/HTMLDisplay.cfm&C
ontentID=3058,
2. Penar,L. Nociception.[on line] .2000 [cited 2008 February 8] : available
from:
http://serendip.brynmawr.edu/exchange/node/1712,
3. Chapman CR. Psychological Aspects of Pain : A Consciousness Studies
Perspective in the THE NEUROLOGICAL BASIS OF PAIN. Editor.
Pappagallo M. McGraw Hill. 2004 p156-9
4. Wikipedia. Pain and Nociception. [on line] 2008 February 6 [cited 2008
february 8] available from :
http://en.wikipedia.org/wiki/Pain_and_nociception

34
5. Kuntoro, HP.Patofisiologi Nyeri Dari Aspek Fisioterapi Dari Aspek Nyeri.
[on line] .2007 [cited 2008 february 6] : Available from :
http://www.fisiosby.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=8&Itemid=7
6. Richeimer,S.Understanding nociceptive and neuropathic pain. [on line]
2006 [cited 2008 february 8] : Available from :
www.helpforpain.com/arch2000dec.htm
7. Anonymous. Pain Outline. [online] 2007 [ cited 2008 February 18] :
Available from :
http://library.med.utah.edu/pain_center/education/outlines/toc.html
8. Surota, Aspek Neurobiologi Nyeri dan Inflamasi dalam Kumpulan
Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II : Nyeri Kepala, Nyeri, dan Vertigo.
Editor. Lex Mono. Erlangga Universities Press. Surabaya. 2006. p51- 66
9. Purwandari,R.Nyeri [online ].2006 December [cited 2008 february 9] :
Available from :
http://www.elearning.unej.ac.id/courses/IKU13236c49/document/NYERI
handout.doc?cidReq=IKU13239dc2
10. Patophysiology of Pain and Pain Assessment. [on line] 2007 august [cited
2008 February 8] : Available from :
http://www.ama-cmeonline.com/pain_mgmt/module01/02intro/index.htm
11. Heong, ST. Pain and Nociception. [online] 2004 [cited 2008 February 8] :
Available from :
www.answers.com/topic/pain-and-nociception
12. Miller KE, Miller MM, Jolley MR. Challenges in Pain Management at the
End of Life. [on line]. 2001 [cited 2008 February 11]: [8 screens].
Available from : URL:http://www.aafp.org/afp/20011001/1227.pdf
13. Goldmann B. Easing the Ouch: Relieving Short-Term Pain. [on line]. 2003
[cited 2008 February 11] : available from :
URL:http://www.stacommunications.com/journals/diagnosis/2003/10_Oct
ober/drgoldmanpain.pdf
14. Meliala L.Terapi farmaka nyeri dalam Terapi rasional
Nyeri.Editor.Meliala L.Aditya media.2004. hal83-7
15. Hartwig MS, Wilson LM. Nyeri. In : Price SA, Wilson LM, eds.
Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th ed. Vol 2. Jakarta:
EGC; 2006. p. 1063 101.

35
16. Meliala L, Pinzon R. Breakthrough in Management of Acute Pain. [serial
on line]. December 2007 [cited 2008 February 11] : Volume 20 Number 4.
Available from :URL:
http://www.dexamedica.com/images/publication_upload07120393771300
1196646105okt-nov2007%20new.pdf
17. Santoso SO, Dewoto HR. Analgesik Opioid dan Antagonis. In :
Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyatuti, Nafrialdi, eds.
Farmakologi dan Terapi. 4th ed. Jakarta: FKUI; 2004. p. 189 97.
18. Sylvia A. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 2.
2006. Jakarta:EGC.

36

Anda mungkin juga menyukai