Pain Nosisptif Dan Neuropati
Pain Nosisptif Dan Neuropati
PENDAHULUAN
Nyeri dikatakan sebagai salah satu tanda alami dari suatu penyakit yang
paling pertama muncul dan menjadi gejala yang paling dominan diantara
pengalaman sensorik lain yang dinilai oleh manusia pada suatu penyakit. Nyeri
sendiri dapat diartikan sebagai suatu pengalaman sensorik yang tidak
mengenakkan yang berhubungan dengan suatu kerusakan jaringan atau hanya
berupa potensi kerusakan jaringan.
Walaupun ketidaknyamanan dari suatu nyeri, nyeri dapat diterima oleh
seorang penderitanya sebagai suatu mekanisme untuk menghindari keadaan yang
berbahaya, mencegah kerusakan lebih jauh, dan untuk mendorong proses suatu
penyembuhan. Nyeri membuat kita menjauhkan diri dari hal berbahaya yang
dapat menyebabkan stimulus noksius yaitu akar dari suatu nyeri.
Nyeri sendiri menurut patofisiologinya dapat dibagi atas 4, yaitu :
a. Nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi, yaitu nyeri yang timbul akibat
adanya stimulus mekanis terhadap nosiseptor
b. Nyeri neuropatik, yaitu nyeri yang timbul akibat disfungsi primer pada
system saraf.
c. Nyeri idiopatik, nyeri dimana kelainan patologik tidak dapat ditemukan
d. Nyeri psikologik, bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak
disadari (3)
Pada makalah ini kami akan membahas tentang nyeri neuropatik dan neuro
nosiseptif yang akan dibahas selanjutnya.
1
BAB II NYERI
2
menunjukkan dualitas nyeri, nyeri merupakan sensasi atau emosi. Jika akut nyeri
secara karakteristik berhubungan dengan perubahan tingkah laku dan respons
stress yang terdiri dari: meningkatnya tekanan darah, denyut nadi, diameter pupil
dan kadar kortisol plasma. Selain itu, kontraksi otolokal ( misalnya fleksi anggota
badan, kekakuan dinding abdomen) seringkali terlihat dan dapat menyebabkan
nyeri sekunder.
Neyeri somatik
Nyeri nosiseptif
Nyeri viseral
Nyeri
Nyeri neuropatik
Nyeri non-nosiseptif
Nyeri psikogenik
3
Nyeri somatik adalah nyeri yang timbul pada organ non viseral, misal
nyeri pasca bedah, nyeri metatastik, nyeri tulang, dan nyeri artritik.
Nyeri viseral adalah nyeri berasal dari organ viseral, biasanya akibat
distensi organ yang berongga, misalnya usus, kantung empedu, pankreas
jantung. Nyeri juga sering diikuti referred pain dan sensasi otonom, seperti
mual dan muntah.
Nyeri neuropatik, timbul akibat iritasi atau trauma pada saraf. Seringkali
persiten, walaupun penyebabnya sudah tidak ada. Biasanya paien
merasakan rasa seperti terbakar, seperti tersengat listrik atau alodinia dan
disestesia.
Nyeri pisogenik yaitu nyeri yang tidak memenuhi kriteria nyeri somatik
dan nyeri neuropatik, dan memenuhi kriteria untuk depresi atau kelainan
psikosomatik.
4
umumnya nyeri cepat diperoleh melalui rangsangan jenis mekanis atau suhu,
sedangkan nyeri lambat dapat diperoleh melalui ketiga jenis tersebut.
Beberapa zat yang merangsang jenis nyeri kimiawi adalah bradikinin,
serotin, histamine, ion kalium, asam, asetilkolin dan enzim proteolitik. Selain itu,
prostaglandin I dan substansi P meningkatkan sensitivitas ujung-ujung serabut
nyeri tetapi tidak secara langsung merangsangnya. Substansi kimia terutama
penting untuk perangsangan lambat, jenis rasa nyeri yang menusuk yang terjadi
setelah cedera jaringan.
Berbeda dengan kebanykan reseptor sensoris tubuh lainnya, reseptor nyeri
sedikit sekali beradaptasi dan kadang tidak beradaptasi sama sekali. Ternyata pada
beberapa kindisi, eksitasi serabut rasa nyeri menjadi semakin bertambah secara
progresif terutama pada rasa nyeri mual-menusuk-lambat, karena stimulus rasa
nyeri berlangsung terus-menerus. Keadaan ini akan meningkatkan sensitivitas
reseptor nyeri dan disebut hiperalgesia.
a Jalur Ascendens
Serat saraf C dan A- aferen yang menyalurkan implus nyeri masuk ke
medula spinalis di akar saraf dorsal. Serat-serat memisah sewaktu masuk ke korda
dan kemudian kembali menyatu di kornu dorsalis posterior pada medula spinalis.
Daerah ini menerima, menyalurkan, dan memproses implus sensorik. Kornu
dorsalis medula spinalis dibagi menjadi lapisan-lapisan sel yang disebut lamina.
Dua dari lapisan ini, yang disebut substansia gelatinosa, sangat penting dalam
transmisi dan modulasi nyeri. Dari kornu dorsalis, implus nyeri dikirim ke
neuron-neuron yang menyalurkan informasi ke sisi berlawanan medula spinalis di
komisura anterior dan kemudian menyatu di traktus lateralis, yang naik ke talamus
dan struktur otak lainnya. Dengan demikian, transmisi implus nyeri di medula
spinalis bersifat kontrlateral terhadap sisi tubuh tempat implus tersebut berasal.
Traktus neospinotalamikus adalah suatu sistem langsung yang membawa
informasi diskriminatif sensorik mengenai nyeri cepat atau akut dari nosiseptor A-
ke daerah talamus. Sistem ini barakhir di dalam nukleus posterolateral ventralis
5
hipotalamus. Nyeri disebut juga sensasi talamus mungkin karena dibawa
kesadaran oleh talamus. Sebuah neuron di talamus kemudian memproyeksikan
akso-aksonnya melalui bagian posterior kapsula interna untuk membawa implus
nyeri ke korteks somatosensorik primer dan girus pascacentralis. Dipostulasikan
bahwa pola tersusun ini penting bagi aspek sensorik-diskriminatif nyeri akut yang
dirasakan yaitu, lokasi, sifat, dan intensitas nyeri.
Traktur paleospinotalamikus adalah suatu jalur multisinaps difus yang
membawa implus ke farmasio retikularis batang otak sebelum berakhir di nukleus
parafasikularis dan nukleus intralaminar lain di talamus, hipotalamus, nukleus
sistem limbik, dan korteks otak depan. Karena implus disalurkan lebih lambat dari
implus di traktus neospinotalamikus, maka nyeri yang ditimbulkannya berkaitan
dengan rasa panas, pegal, dan sensasi yang lokalisasinya samar. Besar
kemungkinannya sensasi viseral disalurkan oleh sistem ini. Sistem ini sangat
penting pada nyeri kronik, dan memperantarai respons otonom terkait, perilaku
emosional, dan penurunan ambang sering terjadi. Dengan demikian, jalur
paleospinotalamikus disebut sebagai suatu sistem nosiseptor motivasional.
b Jalur Descendens
Salah satu jalur descendens yang telah diidentifikasi sebagai jalur
penting dalam sistem modulasi nyeri adalah jalur yang mencakup tiga
komponnen berikut
1 Substans grisea periakuaduktus (PAG) dan substansia grisea periventrikel
(PVG) mesensefalon dan pons bagian atas yang mengelilingi akuaduktus
Sylvius.
2 Neuron-neuron dari daerah satu mengirim implus ke nukleus rafe magnus
(NRM) yang terletak dipons dibagian atas dan nukleus retikularis
paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis.
3 Implus di transmisikan dari nukleus di ke kompleks inhibitorik nyeri yang
terletak di kornu dorsalis medula spinalis.
6
2.5. MEKANISME NYERI
Mekanisme Nyeri
TRANSDUKSI
7
2.6. NYERI NOSISEPTIF
Transduksi
8
Pada nyeri nosiseptif, fase pertamanya adalah transduksi, konversi
stimulus yang intens apakah itu stimuli kimiawi seperti pH rendah yang terjadi
pada jaringan yang meradang , stimulus panas diatas 420C, atau kekuatan
mekanis. Disini didapati adanya protein transducer spesifik yang diekspresikan
dalam neuron nosiseptif ini dan mengkonversi stimulus noksious menjadi aliran
yang menembus membran, membuat depolarisasi membran dan mengaktifkan
terminal perifer.
Proses ini tidak melibatkan prostanoid atau produksi prostaglandin oleh
siklo-oksigenase, sehingga nyeri ini, atau proses ini, tidak dipengaruhi oleh
penghambat enzim COX-2. (7)
Neuron transduksi diperankan oleh suatu nosiseptor berupa serabut A-
dan serabut C yang menerima langsung suatu stimulus noksius. (3)
Serabut A- merupakan suatu serabut saraf dengan tebal 1- 3 mm dan
diliputi oleh selaput mielin yang tipis. Kecepatan transimisi impuls pada serabut
A- adalah sekitar 20m/s. Seperti serabut sensorik lainnya, serabut A- merupakan
perpanjangan dari pesudounipolar neuron dimana tubuh selnya berlokasi pada
akar ganglion dorsal. (4)
Sedangkan serabut C merupakan suatu serabut saraf dengan tebal 1 mm
dan tidak memiliki mielin. Karena serabut ini sangat tipis dan karena tidak
memiliki mielin yang mempercepat transmisi saraf, kecepatan konduksi rendah,
dan suatu rangsang berespon dengan kecepatan 1m/s. (4)
Serabut A- dan serabut C tidak hanya berbeda dalam struktur dan
kecepatan transmisinya namun mereka juga mempunyai kemampuan yang
berbeda dalam mendeteksi suatu stimulus. Serabut A- mentransimsisikan nyeri
tajam dan tusukan. dan serabut C menghantarkan sensasi berupa sentuhan,
getaran, suhu, dan tekanan halus. Walaupun dengan adanya perbedaan ini, kedua
tipe serabut ini memiliki jalur yang sama dalam menghantarkan stimulus yang
terdeteksi. Rute dari impuls saraf ini biasanya disebut dengan jalur nyeri. (8, 9)
Selain dari peran serabut A- dan serabut C, disebutkan juga terdapat
peran dari neuroregulator yang merupakan suatu substansi yang memberikan efek
pada transmisi stimulus saraf, biasanya substansi ini ditemukan pada nosiseptor
yaitu akhir saraf dalam kornu dorsalis medulla spinalis dan pada tempat reseptor
9
dalam saluran spinotalamik. Neuroregulator ada dua macam, yaitu
neurotransmitter dan neuromodulator. Neurotransmitter mengirimkan impuls
elektrik melewati celah synaptik antara 2 serabut saraf dan neuromodulator
berfungsi memodifikasi aktivitas saraf dan mengatur transmisi stimulus saraf
tanpa mentransfer secara langsung sinyal saraf melalui synaps (4)
Transmisi
Disini terjadi transfer informasi dari neuron nosiseptif primer ke neuron di
kornu dorsalis, selanjutnya ke neuron proyeksi yang akan meneruskan impuls ke
otak. Transmisi ini melibatkan pelepasan asam amino decarboxilic glutamate, juga
peptida seperti substantia P yang bekerja pada reseptor penting di neuron post-
sinaptic. Selanjutnya ini akan memungkinkan transfer yang cepat dari input
mengenai intensitas, durasi, lokasi, dari stimuli perifer yang berbeda lokasi.
Secara umum, ada dua cara bagaimana sensasi nosiseptif dapat mencapai
susunan saraf pusat, yaitu melalui traktus neospinothalamic untuk nyeri cepat
spontan dan traktus paleospinothalamic untuk nyeri lambat. (9)
Pada traktus neospinothalamik, nyeri secara cepat bertransmisi melalui
serabut A- dan kemudian berujung pada kornu dorsalis di medulla spinalis dan
kemudian bersinapsis dengan dendrit pada neospinothlamaik melalui bantuan
suatu neurotransmitter. Akson dari neuron ini menuju ke otak dan menyebrang ke
sisi lain melalui commisura alba anterior, naik keatas dengan columna
anterolateral yang kontralateral. Serabut ini kemudian berakhir pada kompleks
ventrobasal pada thalamus dan bersinapsis dengan dendrit pada korteks
somatosensorik. Nyeri cepat-spontan ini dirasakan dalam waktu 1/10 detik dari
suatu stimulus nyeri tajam, tusuk, dan gores. (9)
Pada traktus paleospinothalamik, nyeri lambat dihantarkan oleh serabut C
ke lamina II dan III dari cornu dorsalis yang dikenal dengan substantia gelatinosa.
Impuls kemudian dibawa oleh serabut saraf yang berakhir pada lamina V, juga
pada kornu dorsalis, bersinaps dengan neuron yang bergabung dengan serabut dari
jalur cepat, menyebrangi sisi berlawanan via commisura alba anterior dan naik ke
aras melalui jalur anterolateral. Neuron ini kemudian berakhir dalam batang otak,
10
dengan sepersepuluh serabut berhenti di thalamus dan yang lainnya pada medulla,
pons, dan substantia grisea sentralis dari tectum mesencephalon. (9)
Sebenarnya terdapat beragam jalur khusus hantaran sinyal dari kerusakan
jaringan dibawa ke berbagai tujuan, dimana dapat memprovokasi proses
kompleks. Transmisi nosiseptif sentripetal memicu berbagai jalur : spinoreticular,
spinomesencephalic, spinolimbic, spinocervical, dan spinothalamic. (9)
Traktus spinoreticular membawa jalur aferen dari somatosensorik dan
viscerosensorik yang berakhir pada tempat yang berbeda pada batang otak.
Traktus spinomesencephalik mengandung berbagai proyeksi yang berakhir pada
tempat yang berbeda dalam nukleus diencephali. Traktus spinolimbik termasuk
dari bagian spinohipotalamik yang mencapai kedua bagian lateral dan medial dari
hypothalamus dan kemudian traktus spinoamygdala yang memanjang ke nukleus
sentralis dari amygdala. Traktus spinoservikal, seperti spinothalamik membawa
sinyal ke thalamus. (3)
Modulasi
Pada fase modulasi terdapat suatu interaksi dengan system inhibisi dari
transmisi nosisepsi berupa suatu analgesic endogen. Konsep dari system ini yaitu
berdasarkan dari suatu sifat, fisiologik, dan morfologi dari sirkuit yang termasuk
koneksi antara periaqueductal gray matter dan nucleus raphe magnus dan formasi
retikuler sekitar dan menuju ke medulla spinalis
Analgesik endogen meliputi :
- Opiat endogen
- Serotonergik
- Noradrenergik (Norepinephric)
Sistem analgesik endogen ini memiliki kemampuan menekan input nyeri
di kornu posterior dan proses desendern yang dikontrol oleh otak seseorang, kornu
posterior diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup adalah terbuka
dalam menyalurkan input nyeri. Proses modulasi ini dipengaruhi oleh
kepribadian, motivasi, pendidikan, status emosional & kultur seseorang. Secara
skematik proses modulasi dapat dilihat pada skema dibawah ini
11
Persepsi
Fase ini merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri, pada saat
individu menjadi sadar akan adanya suatu nyeri, maka akan terjadi suatu reaksi
yang kompleks. Persepsi ini menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu
sehingga kemudian individu itu dapat bereaksi. (8)
Fase ini dimulai pada saat dimana nosiseptor telah mengirimkan sinyal
pada formatio reticularis dan thalamus, sensasi nyeri memasuki pusat kesadaran
dan afek. Sinyal ini kemudian dilanjutkan ke area limbik. Area ini mengandung
sel sel yang bisa mengatur emosi. Area ini yang akan memproses reaksi emosi
terhadap suatu nyeri. Proses ini berlangsung sangat cepat sehingga suatu stimulus
nyeri dapat segera menghasilkan emosi. (7, 9)
12
Skema proses terjadinya nyeri nosiseptif
13
rangsangan yang mengganggu akan diraskan secara subjektif dari seluruh
dermatom, termasuk bagian yang tumpang tindih.
Nyeri Visera
Nyeri visera mengacu kepada nyeri yang berasla dari organ-organ tubuh.
Reseptor nyeri visera lebih jarang dibandingkan dengan reseptor nyeri somatik
dan terletak di dinding otot polos organ-organ berongga (lambung, kandung
empedu, saluran empedu, ureter, kandung kemih) dan di kapsul organ-organ padat
(hati, pankreas, ginjal). Parenkim visera relatif tidak senseitif terhadap sayatan,
panas, atau cubitan. Mekanisme utama dalam menimbulkan nyeri visera adalah
peregangan atau distensi abnormal dinding atai kapsul organ, iskemia, dan
peradangan. Usus adalah sumber nyeri kram atau perih atau nyeri interiritasi oleh
zat-zat kimia yang dihasilkan oleh peradangan atau apabila teregang.
Visera dipersarafi oleh dua rute : melalui saraf-saraf yang memiliki fungsi
autonom (jalur visera sejati), seperti saraf splanknikus, dan melalui sara spinal
yang mempersarai struktur somatik (jalur parietal). Pleura parietalis,peritoneum,
dan bagian bawah perikardium peka terahadap nyeri tetapi sifersarafi oleh saraf-
saraf spinal dan bukan ssistem saraf otonom (SSO). Nyeri yang disalurkan melalui
jalur visera sejati kurang jelas lokalisasinya dan sering dirujuk ke suatu daerah
14
permukaan kulit (dermatom) yang jauh dari asalnya. Dipihak lain, nyeri yang
disalurkan melalui jalur parietal dirasakan dapat diatas daerah yang nyeri. Semua
neuron yang dirangsang oleh masukan aferen visera juga dibuktikan menerima
masukan somatik. Persarafan fanda ini mungkin merupakan salah satu alasan bagi
kurangnya lokalisasi rangsangan viseral dan adanya fenomena nyeri rujukan.
Nyeri viseral disalurkan melalui serat simpatis dan parasimpatis SSO.
Aferen visera biasanya adalah serat tipe C, dan sensasi nyeri yang diahasilkan
biasanya memiliki kulaitas tumpul atau pegal. Impuls nyeri dari visera torak dan
abdomen hampir secara eksklusif dihantarkan melalui sistem saraf simpatis;
impuls berjalan disaraf simpatis melalui ganglion simpatis tanpa bersinaps, dan
kemudian mencapai saraf spinal melalui ramus komunikans alba dan kemudian ke
ganglion akar dorsal. Namun impuls nyeri dari faring, trakea, dan esofagus
diperantarai oleh aferen vagus, dan nyeri dari struktur-struktur dalam panggul
disalurkan melalui saraf parasimpatis sakrum. Dijalur sentral, impuls nyeri visera,
sera sensasi visera lainnya, berjalan dengan rute yang sama dengan impuls dari
struktur somatik. Faktor ini penting, dalam pengalihan nyeri somatik yang sering
dari visera
15
Nyeri nosisepsi ini sendiri dapat berupa akut maupun kronik. Beberapa
literatur mengemukakan bahwa nyeri nosisepsi yang akut itu berupa kerusakan
soft tissue, atau inflamasi. Hal ini lebih mudah ditangani, yaitu dapat dengan
menghilangkan penyebab nyeri itu sendiri misalnya seperti yang dikemukakan
diatas, yaitu dengan pemberian opioid misalnya morfin, sedangkan yang non-
opioid dapat berupa aspirin yang mekanisme kerjanya menginhibisi sintesis
prostaglandin dan AINS, parasetamol. Selain itu dapat juga diberikan analgesia
regional baik secara sederhana yaitu dengan blok saraf dan anestesi lokal, maupun
dengan teknologi tinggi berupa epidural infussion dan anastetik opioid lokal.
Untuk nyeri nosisepsi kronik, penanganannya berupa terapi farmaka, blok
transmisi saraf, dan alternatif. 12
Terapi farmaka terdiri dari
Terapi analgesik seperti NSAID/ Paracetamol-opiod
Terapi analgesik ajuvan, seperti antidepresan, antikonvulsan
Terapi blok transmisi
Irreversibel, yaitu operasi dan destruksi saraf.
Reversibel, yaitu injeksi anestesi lokal
Terapi alternatif
Stimulator
Akupuntur
Hipnosis
Psikologi
Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri
sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua
metode umum untuk terapi nyeri : farmakologik dan non farmakologik.13
16
penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat. Istilah pukul
dulu, urusan belakang tampak cukup tepat untuk menggambarkan prinsip
tatalaksana nyeri akut. Prinsip pengobatan nyeri akut dan berat (nilai Visual
Analogue Scale = VAS 7-10) yaitu pemberian obat yang efek analgetiknya kuat
dan cepat dengan dosis optimal. Pada nyeri akut, dokter harus memilih dosis
optimum obat dengan mempertimbangkan kondisi pasien dan keparahan nyeri.
Pada nyeri kronik, dokter harus mulai dengan dosis efektif yang serendah
mungkin untuk kemudian ditingkatkan sampai nyeri terkendali. Pemilihan obat
awal pada nyeri kronik ditentukan oleh keparahan nyeri. Protokol ini dikenal
dengan nama WHO analgesic ladder.
17
Obat-obat ini merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pascaoperasi dan nyeri
terkait kanker. Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk
mengobati nyeri berat dan masih menjadi standar pembanding untuk menilai obat
anlgesik lain.
Berbeda dengan OAINS yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek
analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas sejak
penemuan reseptor-reseptor opuioid endogen di sistem limbic, thalamus, PAG,
substansia gelatinosa kornu dorsalis, dan usus. Opioid eksogen seperti morfin
menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid endogen (endorphin-
enkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis (meningkatkan kerja reseptor).
Dengan mengikat reseptor opioid di nucleus modulasi nyeri di batang otak, morfin
menimbulkan efek pada system-sistem desndens yang menghambat nyeri. Di
tingkat kornu dorsalis medulla spinalis, morfin juga dapat menghambat transmisi
impuls nosiseptor yang dating dengan mengikat reseptor opioid di substansia
gelatinosa.
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip,
termasuk depresi pernapasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu,
semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan, dan ketagihan
(adiksi).
18
Adjuvan lain untuk analgesik adalah agonis reseptor adrenergic-alfa
(misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal
bersama dengan opioid atau analgesik local; obat ini juga memiliki efek analgetik
apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respon adrenergic simpatis
yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer.
Pendekatan Nonfarmakologik
Metode non farmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi
menjadi dua kelompok : terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku.
Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit
(pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupungtur,, aplikasi panas atau
dingin, olahraga). Sedangkan, startegi kognitif-prilaku bermanfaat dalam
mengubah persepsi pasien terhadap nyeri, dan member pasien perasaan yang lebih
mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi ini mencakup relaksasi, penciptaan
khayalan (imagery), hypnosis, dan biofeedback.13
19
stimulasi mekanis dan menimbulkan hantaran energy dari neuron ke neuron
lainnya (impuls) tanpa adanya rangsangan. Aferen primer yang rusak juga dapat
menyebabkan sensitivitas terhadap norepineprin yang dilepaskan oleh neuron
pascaganglion simpatik. Hal yang menarik adalah neuron transmisi-nyeri spinal
yang tidak dapat menerima masukan normalnya dapat menjadi aktif secara
spontan. Maka baik perubahan sistem saraf pusat maupun perifer dapat
menyebabkan terjadinya nyeri neuropatik.
Nyeri neuropatik juga disebut sebagai nyeri kronik berbeda dengan nyeri
akut atau nosiseptif dalam hal etiologi, patofisiologi, diagnosis dan terapi. Nyeri
akut adalah nyeri yang sifatnya self-limiting dan dianggap sebagai proteksi
biologik melalui signal nyeri pada proses kerusakan jaringan. Nyeri pada tipe akut
merupakan simptom akibat kerusakan jaringan itu sendiri dan berlokasi disekitar
kerusakan jaringan dan mempunyai efek psikologis sangat minimal dibanding
dengan nyeri kronik. Nyeri ini dipicu oleh keberadaan neurotransmiter sebagai
reaksi stimulasi terhadap reseptor serabut alfa-delta dan C polimodal yang
berlokasi di kulit, tulang, jaringan ikat otot dan organ visera. Stimulus ini bisa
berupa mekhanik, kimia dan termis, demikian juga infeksi dan tumor.
20
Sindrom nyeri regional kompleks (complex regional pain syndrome)
Neuropati jebakan (misalnya, carpal tunnel syndrome)
Neuropati sensoris oleh karena HIV
Neuralgia iatrogenik (misalnya, nyeri post mastektomi atau nyeri post
thorakotomi)
Neuropati sensoris idiopatik
Kompresi atau infiltrasi saraf oleh tumor
Neuropati oleh karena defisiensi nutrisional
Neuropati diabetik
Phnatom limb pain
Neuralgia post herpetik
Pleksopati post radiasi
Radikulopati (servikal, thorakal, atau lumbosakral)
Neuropati oleh karena paparan toksik
Neuralgia trigeminus (Tic Doulorex)
Neuralgia post traumatik
21
berbagai mediator inflamasi, seperti bradikinin, prostaglandin, histamin, dan
sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan
munculnya nyeri spontan, atau membuat nosiseptor lebih sensitif (sensitasi) secara
langsung maupun tidak langsung. Sensitasi nosiseptor menyebabkan munculnya
hiperalgesia. Trauma atau lesi serabut saraf di perifer atau sentral dapat memacu
terjadinya remodelling atau hipereksibilitas membran sel. Di bagian proksimal lesi
yang masih berhubungan dengan badan sel dalam beberapa jam atau hari, tumbuh
tunas-tunas baru (sprouting). Tunas-tunas baru ini, ada yang tumbuh dan
mencapai organ target, sedangkan sebagian lainnya tidak mencapai organ target
dan membentuk semacam pentolan yang disebut neuroma. Pada neuroma terjadi
akumulasi berbagai ion-channel, terutama Na+ channel. Akumulasi Na+ channel
menyebabkan munculnya ectopic pacemaker. Di samping ion channel juga terlihat
adanya molekul-molekul transducer dan reseptor baru yang semuanya dapat
menyebabkan terjadinya ectopic discharge, abnormal mechanosensitivity,
thermosensitivity, dan chemosensitivity (Devor and Seltzer, 1990). Ectopic
discharge dan sensitisasi dari berbagai reseptor (mechanical, termal, chemical)
dapat menyebabkan timbulnya nyeri spontan dan evoked pain.
Lesi jaringan mungkin berlangsung singkat, dan bila lesi sembuh nyeri
akan hilang. Akan tetapi, lesi yang berlanjut menyebabkan neuron-neuron di
kornu dorsalis dibanjiri potensial aksi yang mungkin mengakibatkan terjadinya
sensisitasi neuron-neuron tersebut. Sensitisasi neuron di kornu dorsalis menjadi
penyebab timbulnya alodinia dan hiperalgesia sekunder. Dari keterangan di atas,
secara sederhana dapat disimpulkan bahwa nyeri timbul karena aktivasi dan
sensitisasi sistem nosiseptif baik perifer maupun sentral.
Baik nyeri neuropatik perifer maupun sentral berawal dari sensitisasi
neuron sebagai stimulus noksious melalui jaras nyeri sampai ke sentral. Bagian
dari jaras ini dimulai dari kornu dorsalis, traktus spinotalamikus (struktur somatik)
dan kolum dorsalis (untuk viseral), sampai talamus sensomotorik, limbik, korteks
prefrontal dan korteks insula. Karakteristik sensitisasi neuron bergantung pada:
meningkatnya aktivitas neuron; rendahnya ambang batas stimulus terhadap
aktivitas neuron itu sendiri misalnya terhadap stimulus yang nonnoksious, dan
luasnya penyebaran areal yang mengandung reseptor yang mengakibatkan
22
peningkatan letupan-letupan dari berbagai neuron. Sensitisasi ini pada umumnya
berasosiasi dengan terjadinya denervasi jaringan saraf akibat lesi ditambah dengan
stimulasi yang terus menerus dan inpuls aferen baik yang berasal dari perifer
maupun sentral dan juga bergantung pada aktivasi kanal ion di akson yang
berkaitan dengan reseptor AMPA/kainat dan NMDA. Sejalan dengan
berkembangnya penelitian secara molekuler maka ditemukan beberapa
kebersamaan antara nyeri neuropatik dengan epilepsi dalam hal patologinya
tentang keterlibatan reseptor misalnya NMDA dan AMPA dan plastisitas
disinapsis, immediate early gene changes. Yang berbeda hanyalah dalam hal burst
discharge secara paroksismal pada epilepsi sementara pada neuropatik yang
terjadi adalah ectopic discharge. Nyeri neuropatik muncul akibat proses patologi
yang berlangsung berupa perubahan sensitisasi baik perifer maupun sentral yang
berdampak pada fungsi sistem inhibitorik serta gangguan interaksi antara somatik
dan simpatetik. Keadaan ini memberikan gambaran umum berupa alodinia dan
hiperalgesia. Permasalahan pada nyeri neuropatik adalah menyangkut terapi yang
berkaitan dengan kerusakan neuron dan sifatnya ireversibel. Pada umumnya hal
ini terjadi akibat proses apoptosis yang dipicu baik melalui modulasi intrinsik
kalsium di neuron sendiri maupun akibat proses inflamasi sebagai faktor
ekstrinsik. Kejadian inilah yang mendasari konsep nyeri kronik yang ireversibel
pada sistem saraf. Atas dasar ini jugalah maka nyeri neuropatik harus secepat
mungkin di terapi untuk menghindari proses mengarah ke plastisitas sebagai nyeri
kronik. Neuron sensorik nosiseptif berakhir pada bagian lamina paling superfisial
dari medula spinalis. Sebaliknya, serabut sensorik dengan ambang rendah (raba,
tekanan, vibrasi, dan gerakan sendi) berakhir pada lapisan yang dalam. Penelitian
eksperimental pada tikus menunjukkan adanya perubahan fisik sirkuit ini setelah
cedera pada saraf. Pada beberapa minggu setelah cedera, terjadi pertumbuhan baru
atau sprouting affreen dengan non noksious ke daerah-daerah akhiran nosiseptor.
Sampai saat ini belum diketahui benar apakah hal yang serupa juga terjadi pada
pasien dengan nyeri neuropati. Hal ini menjelaskan mengapa banyak kasus nyeri
intraktabel terhadap terapi. Rasa nyeri akibat sentuhan ringan pada pasien nyeri
neuropati disebabkan oleh karena respon sentral abnormal serabut sensorik non
23
noksious. Reaksi sentral yang abnormal ini dapat disebabkan oleh faktor
sensitisasi sentral, reorganisasi struktural, dan hilangnya inhibisi (Woolf, 2004).
Nyeri neuropati merupakan nyeri yang dikarenakan adanya lesi pada
sistem saraf perifer maupun pusat. Nyeri ini bersifat kronik dan mengakibatkan
penurunan kualitas hidup penderita. Nyeri neuropati melibatkan gangguan
neuronal fungsional dimana saraf perifer atau sentral terlibat dan menimbulkan
nyeri khas bersifat epikritik (tajam dan menyetrum) yg ditimbulkan oleh serabut
A yg rusak, atau protopatik seperti disestesia, rasa terbakar, parestesia dengan
lokalisasi tak jelas yang disebabkan oleh serabut C yang abnormal. Gejala-gejala
ini biasa disertai dengan defisit neurologik atau gangguan fungsi lokal.
Umumnya, lesi saraf tepi maupun sentral berakibat hilangnya fungsi
seluruh atau sebagian sistim saraf tersebut, ini sering disebut sebagai gejala
negatif. Akan tetapi, pada bagian kecil penderita dengan lesi saraf tepi, seperti
pada penderita stroke, akan menunjukkan gejala positif yang berupa disestesia,
parestesia atau nyeri. Nyeri yang terjadi akibat lesi sistem saraf ini dinamakan
nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang didahuluhi atau disebabkan
oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf.
Iskemia, keracunan zat tonik, infeksi dan gangguan metabolik dapat
menyebabkan lesi serabut saraf aferen. Lesi tersebut dapat mengubah fungsi
neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh
keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang terjadi dapat
berupa gangguan keseimbangan neuron sensorik, melalui perubahan molekular,
sehingga aktivitas serabut saraf aferen menjadi abnormal (mekanisme perifer)
yang selanjutnya menyebabkan gangguan nosiseptik sentral.
Pada nyeri inflamasi maupun nyeri neuropatik sudah jelas keterlibatan
reseptor NMDA dalam proses sensitisasi sentral yang menimbulkan gejala
hiperalgesia terutama sekunder dan alodinia. Akan tetapi di klinik ada perbedaaan
dalam terapi untuk kedua jenis nyeri inflamasi sedangkan untuk nyeri neuropatik
obat tersebut kurang efektif. Banyak teori telah dikembangkan untuk
menerangkan perbedaan tersebut.
Prinsip terjadinya nyeri adalah gangguan keseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi akibat kerusakan jaringan (inflamasi) atau sistem saraf (neuropatik).
24
Eksitasi meningkat pada kedua jenis nyeri tersebut pada neyeri neuropatik dari
beberapa keterangan sebelumnya telah diketahui bahwa inhibisi menurun yang
sering disebut dengan istilah disinhibisi. Disinhibisi dapat disebabkan oleh
penurunan reseptor opioid di neuron kornu dorsalis terutama di presinap serabut
C.
25
terutama dengan blok Si-Na atau pencegahan sensitisasi sentral dan peningkatan
inhibisi.
Karbamasepin dan Okskarbasepin
Mekanisme kerja utama adalah memblok voltage-sensitive sodium
channels (VSSC). Efek ini mampu mengurangi cetusan dengan frekuensi tinggi
dari neuron. Okskarbasepin merupakan anti konvulsan yang struktur kimianya
mirip karbamasepin maupun amitriptilin. Dari berbagai uji coba klinik,
pengobatan dengan okskarbasepin pada berbagai jenis nyeri neuropati
menunjukkan hasil yang memuaskan, sama, atau sedikit diatas karbamazepin,
hanya saja okskarbasepin mempunyai efek samping yang minimal.
Lamotrigin
Merupakan anti konvulsan baru untuk stabilisasi membran melalui
VSCC, merubah atau mengurangi pelepasan glutamat maupun aspartat dari
neuron presinaptik, meningkatkan konsentrasi GABA di otak. Khusus untuk nyeri
neuropati penderita HIV, digunakan lamotrigin sampai dosis 300 mg perhari.
Hasilnya, efektivitas lamotrigin lebih baik dari plasebo, tetapi 11 dari 20 penderita
dilakukan penghentian obat karena efek samping. Efek samping utama lamotrigin
adalah skin rash, terutama bila dosis ditingkatkan dengan cepat.
Gabapentin
Akhir-akhir ini, penggunaan gabapentin untuk nyeri neuropati cukup
populer mengingat efek yang cukup baik dengan efek samping minimal. Khusus
mengenai gabapentin, telah banyak publikasi mengenai obat ini diantaranya untuk
nyeri neuropati diabetika, nyeri pasca herpes, nyeri neuropati sehubungan dengan
infeksi HIV, nyeri neuropati sehubungan dengan kanker dan nyeri neuropati
deafferentasi. Gabapentin cukup efektif dalam mengurangi intensitas nyeri pada
nyeri neuropati yang disebabkan oleh neuropati diabetik, neuralgia pasca herpes,
sklerosis multipel dan lainnya. Dalochio, Nicholson mengatakan bahwa
gabapentin dapat digunakan sebagai terapi berbagai jenis neuropati sesuai
denngan kemampuan gabapentin yang dapat masuk kedalam sel untuk
berinteraksi dengan reseptor 2 yang merupakan subunit dari Ca2+-channel.
26
1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon
nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah
patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam
nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang
harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal
jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan
dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas
kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur
4) Makna nyeri
5) Perhatian
27
dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided
imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri
yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah
tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam
mengatasi nyeri.
8) Pola koping
28
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak
dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
29
4) Skala nyeri menurut bourbanis
Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah
tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan
distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
30
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau
intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri
sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda
bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk
dipastikan.
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi.
VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus
dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan
penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran
keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik
pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka.
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan
tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien
dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat.
Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan
nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat
31
menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai
apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan.
32
Transduksi : Stimulus noksius yang kemudian ditransformasikan
menjadi impuls berupa suatu aktifitas elektrik pada ujung bebas saraf
sensorik.
Transmisi : Propagasi atau perambatan dari impuls tersebut pada
sistem saraf sensorik
Modulasi : Proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan
input nyeri yang masuk di kornu posterior medula spinalis
Persepsi: Adanya interaksi antara transduksi, transmisi, dan modulasi
yang kemudian membentuk suatu pengalaman emosional yang
subjektif.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. IASP Pain Terminolog [on line].2008 [cited 2008 February 8]: available
from:
http://www.iasppain.org/AM/Template.cfm?
Section=General_Resource_Links&Template=/CM/HTMLDisplay.cfm&C
ontentID=3058,
2. Penar,L. Nociception.[on line] .2000 [cited 2008 February 8] : available
from:
http://serendip.brynmawr.edu/exchange/node/1712,
3. Chapman CR. Psychological Aspects of Pain : A Consciousness Studies
Perspective in the THE NEUROLOGICAL BASIS OF PAIN. Editor.
Pappagallo M. McGraw Hill. 2004 p156-9
4. Wikipedia. Pain and Nociception. [on line] 2008 February 6 [cited 2008
february 8] available from :
http://en.wikipedia.org/wiki/Pain_and_nociception
34
5. Kuntoro, HP.Patofisiologi Nyeri Dari Aspek Fisioterapi Dari Aspek Nyeri.
[on line] .2007 [cited 2008 february 6] : Available from :
http://www.fisiosby.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=8&Itemid=7
6. Richeimer,S.Understanding nociceptive and neuropathic pain. [on line]
2006 [cited 2008 february 8] : Available from :
www.helpforpain.com/arch2000dec.htm
7. Anonymous. Pain Outline. [online] 2007 [ cited 2008 February 18] :
Available from :
http://library.med.utah.edu/pain_center/education/outlines/toc.html
8. Surota, Aspek Neurobiologi Nyeri dan Inflamasi dalam Kumpulan
Makalah Pertemuan Ilmiah Nasional II : Nyeri Kepala, Nyeri, dan Vertigo.
Editor. Lex Mono. Erlangga Universities Press. Surabaya. 2006. p51- 66
9. Purwandari,R.Nyeri [online ].2006 December [cited 2008 february 9] :
Available from :
http://www.elearning.unej.ac.id/courses/IKU13236c49/document/NYERI
handout.doc?cidReq=IKU13239dc2
10. Patophysiology of Pain and Pain Assessment. [on line] 2007 august [cited
2008 February 8] : Available from :
http://www.ama-cmeonline.com/pain_mgmt/module01/02intro/index.htm
11. Heong, ST. Pain and Nociception. [online] 2004 [cited 2008 February 8] :
Available from :
www.answers.com/topic/pain-and-nociception
12. Miller KE, Miller MM, Jolley MR. Challenges in Pain Management at the
End of Life. [on line]. 2001 [cited 2008 February 11]: [8 screens].
Available from : URL:http://www.aafp.org/afp/20011001/1227.pdf
13. Goldmann B. Easing the Ouch: Relieving Short-Term Pain. [on line]. 2003
[cited 2008 February 11] : available from :
URL:http://www.stacommunications.com/journals/diagnosis/2003/10_Oct
ober/drgoldmanpain.pdf
14. Meliala L.Terapi farmaka nyeri dalam Terapi rasional
Nyeri.Editor.Meliala L.Aditya media.2004. hal83-7
15. Hartwig MS, Wilson LM. Nyeri. In : Price SA, Wilson LM, eds.
Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th ed. Vol 2. Jakarta:
EGC; 2006. p. 1063 101.
35
16. Meliala L, Pinzon R. Breakthrough in Management of Acute Pain. [serial
on line]. December 2007 [cited 2008 February 11] : Volume 20 Number 4.
Available from :URL:
http://www.dexamedica.com/images/publication_upload07120393771300
1196646105okt-nov2007%20new.pdf
17. Santoso SO, Dewoto HR. Analgesik Opioid dan Antagonis. In :
Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyatuti, Nafrialdi, eds.
Farmakologi dan Terapi. 4th ed. Jakarta: FKUI; 2004. p. 189 97.
18. Sylvia A. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 2.
2006. Jakarta:EGC.
36