Anda di halaman 1dari 52

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi dan Klasifikasi Nyeri
Menurut IASP, nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional
yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun
potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut, definisi
ini mengakui berbagai faktor yang dapat menyebabkan nyeri baik itu faktor
objektif, subjektif, fisiologis, ataupun emosional, sehingga menyebabkan
ambang nyeri dapat berbeda-beda pada setiap individu. 1, 2, 6
Istilah nosiseptif digunakan untuk mendeskripsikan response neural
terhadap suatu trauma atau stimuli noxious. Semua nosiseptif menyebabkan
nyeri, akan tetapi tidak semua nyeri disebabkan oleh nosiseptif, akan tetapi
pasien juga dapat merasakan nyeri dikarenakan absenya stimuli nosiseptif.
Oleh karena itu klasifikasi nyeri dapat terbagi menjadi dua, yaitu nyeri akut
dimana dominanya disebabkan oleh nosiseptif, dan nyeri kronis yang
mungkin disebabkan oleh nosiseptif, akan tetapi faktor psikologis dan
perilaku berperan lebih besar. 1
Nyeri juga dapat diklasifikasi berdasarkan patofisiologinya (nosiseptif
atau neuropatik) etiologi (post operatif, kanker), atau lokasi (cephalgia dan
LBP). Pada nosiseptif nyeri disebabkan oleh aktifnya reseptor yang
mentranduksi stimuli noxious, sedangkan neuropatik disebabkan adanya
kelainan pada ujung saraf perifer atau sistem saraf pusat. 1
Klasifikasi Nyeri : 1
1. Nyeri Akut
Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh
stimulus noxious yang disebabkan oleh trauma, proses penyakit, atau
kelainan fungsi dari suatu otot atau viseranya. Nyeri ini biasanya bersifat
nosiseptif, dan nyeri ini berfungsi untuk mendeteksi, melokalisasi, dan
membatasi kerusakan jaringan. Terdapat empat proses fisiologi yang
mendasari nyeri ini, yaitu tranduksi, tranmisi, modulasi, dan persepsi.
Nyeri tipe ini biasanya berhubungan dengan stres neuroendokrin, dan
contoh yang paling sering ditemukan adalah nyeri post traumatik, post
2

operatif, nyeri obstetri, dan nyeri yang berhubungan dengan penyakit


akut seperti infark myocardial, atau pankreatitis. Sebagian nyeri akut
hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari atau minggu. Apabila
nyeri tidak hilang baik itu karena kelainan proses penyembuhan, atau
pengobatan yang tidak adekuat, nyeri tersebut berubah menjadi nyeri
kronik. Nyeri akut terbagi menjadi dua yaitu nyeri somatik dan nyeri
viseral yang dibedakan berdasarkan asal nyeri dan beberapa kelainan
lainya.
a. Nyeri Somatis
Nyeri somatis dapat diklasifikasikan lebih lanjut menjadi dua
yaitu, nyeri somatis superfisial, dan nyeri somatis dalam. Nyeri
somatis superfisial adalah nyeri yang disebabkan oleh aktifnya
reseptor nosiseptif

pada kulit, jaringan subkutan, dan membran

mukus. Nyeri ini sering dideskripsikan sebagai nyeri yang tajam atau
sensasi terbarak. Nyeri somatis dalam datang dari otot, tendon, sendi
atau tulang. Sensasi nyeri yang diberikan adalah tumpul, dan sedikit
sulit untuk dilokalisir.
b. Nyeri Viseral
Nyeri viseral adalah salah satu bentuk dari nyeri akut yang
disebabkan oleh suatu proses penyakit, atau fungsi abnormal dari
suatu organ atau pelapisnya. Terdapat empat subtipe dari nyeri viseral
yaitu (1) true localized visceral pain, (2) localized parietal pain, (3)
referred visceral pain, (4) referred parietal pain. True localized
visceral pain biasanya berupa sensasi nyeri yang tumpul dan diffuse
yang biasanya di daerah midline, yang biasanya berhubungan dengan
gangguan pada saraf simpatis atau parasimpatis yang menyebabkan
sensasi mual, muntah, berkeringat, perubahan tekanan darah, dan
denyut jantung. Nyeri parietal biasanya berupa sensasi nyeri yang
tajam yang dapat dilokalisasi atau juga dapat berupa nyeri alih.

Lokasi
Diafragma pusat
Paru-paru

Dermatom
C4
T2-T6
3

Jantung
Aorta
Esophagus
Pankreas dan limfa
Perut, hati dan empedu
Adrenal
Usus Kecil
Kolon
Ginjal, Ovarium, dan testis
Ureter
Uterus
Kantung kemih dan prostat
Urethra dan Rektum

T1-T4
T1-L2
T3-T8
T5-T10
T6-T9
T8-L1
T9-T11
T10-L1
T10-L1
T10-T12
T11-L2
S2-S4
S2-S4
Tabel 2.1. Pola dari Nyeri Alih

2. Nyeri Kronis
Nyeri kronis didefinisikan sebagai nyeri yang bertahan melewati
batas dari nyeri akut, atau proses fisiologis penyembuhan. Nyeri kronik
dapat berupa nosiseptif, neuropatik, ataupun campuran. Faktor psikologis
dan lingkungan sangat berperan terhadap nyeri kronis. Pasien yang
menderita nyeri kronis biasanya memiliki gangguan dalam tidur dan juga
gangguan afektif. Nyeri neuropatik biasanya dideskripsikan sebagai nyeri
yang muncul secara tiba-tiba, menjalar seperti tersetrum dan dapat
disertai dengan gangguan sensori. Contoh dari nyeri akut adalah nyeri
yang dialami oleh pasien yang menderita rheumatoid arthritis, ataupun
penyakit kanker lainya.
Nyeri nosiseptif adalah nyeri visceral atau somatik, biasanya
berasal dari stimulasi reseptor nyeri. Mungkin timbul dari peradangan
jaringan, deformasi mekanik, cedera, atau kerusakan yang sedang
berlangsung. Sedangkan nyeri neuropatik adalah nyeri yang melibatkan
sistem saraf perifer atau sentral.3
2.2. Anatomi, Fisiologi, dan Patofisiologi Nyeri
2.2.1. Nyeri 1
Supaya lebih mudah dimengerti, sensasi nyeri dikonduksi oleh
tiga jalur neuron yang meneruskan stimuli dari perifer ke korteks
serebral aferen primer dapat ditemukan pada bagian dorsal akar

ganglion, tepatnya pada foramen vetebral pada setiap level tulang


belakang. Setiap neuron memiliki satu axon yang bercabang, satu
mengirmkan sinyal ke jaringan perifer, dan satu lagi ke bagian dorsal
horn dari tulang belakang. Pada dorsal horn, neuron aferen primer
bersinaps

dengan

neuron

second-order

dimana

axonya

menyebrangi daerah midline dan naik ke arah kontralateral dari jalur


spinothalamik untuk mencapai thalamus. Second order neuron
bersinaps di nuclei thalamic dengan neuron third-order dan secara
bergantian mengirimkan projeksi melewati kapsula interna dan
korona radiata menuju girus post-sentral dari korteks serebral.1

Gambar 2.1. Pain Pathway


1. First-Order Neurons
Mayoritas dari neuron First-Order mengirimkan ujung
proximal dari aksonnya menuju tulang belakang melalui spinal root
dorsal pada setiap level dari bagian servikal, thorakal, lumbal dan

sakral. Beberapa dari saraf aferen tidak bermyelin (C) telah


ditunjukkan memasuki spinal cord melalui akar saraf ventral
(motorik), sehingga menyebabkan beberapa pasien tetap merasakan
nyeri walaupun setelah transeksi dari akar saraf dorsal (rhizotomy).
Ketika mencapai dorsal horn, sebagai tambahan bersinapsis dengan
neuron second-order, neuron first order juga dapat bersinapsis
dengan interneurons, neuron simpatis, dan neuron motorik ventral
horn.1
Serabut nyeri berasal dari kepala dibawa oleh saraf trigeminal
(V), facial (VII), glossofaringeal (IX), dan vagal (X). Ganglion
gasserian menyimpan badan sel dari serat sensori pada saraf
trigeminal divisi opthalmic, maksilar, dan mandibular.1
2. Second-Order Neurons
Pada saat serat aferen memasuki korda spinal, mereka
terpisahkan berdasarkan ukuran, dimana serat besar dan bermielin
menjadi medial dan serat kecil tidak bermielin menjadi lateral. Serat
nyeri dapat naik atau turun satu hingga tiga segmen dari korda
spinal, pada jalur lissauers sebelum bersinapsis dengan neuron
second order pada daerah gray matter ipsilateral dari dorsal horn.1
Korda spinal dari gray matter dibagi oleh Rexed menjadi 10
lamina Enam lamina pertama yang membentuk dorsal horn,
menerima semua aktifitas neural aferen, dan memrepresentasikan
daerah pusat dari nyeri dengan menaikkan dan menurunkan jalur
neural. Neuron second order antara lain spesifik terhadap nosiseptif
atau neuron wide dynamic range (WDR). Neuron spesifik nosiseptif
bekerja hanya sebagai stimuli noxious tapi neuron WDR juga
menerima sensasi nonnoxious dari serat A, A, dan C. Neuron
spesifik nosiseptif tersusun secara somato topikal di lamina I dan
memiliki medan reseptif somatik yang diskret, biasanya neuron ini
dalam keadaan nonaktif dan hanya akan merespon terhadap stimuli
noxius ambang tinggi. Neuron WDR adalah tipe sel yang paling

prevalent pada dorsal horn. Neuron WDR banyak ditemukan pada


lamina V. Pada saat ada stimulus yang berulang, neuron WDR akan
meningkatkan tingkat kecepatan pengiriman secara bertahap,
walaupun dengan intensitas stimulus yang sama. 1
Sebagian besar serat nosiseptif C mengirimkan sinyal
menghentikan sinyal secara kolateral menuju neuron second-order di
lamina I dan V, dan dalam jumlah sedikit ke lamina X. Lamina I
merespon terhadap stimuli noxious dari kutaneus dan jaringan
somatis dalam, lamina II menerima impuls dari nosiseptif kutaneus.
Serat viseral aferen berhenti secara primer pada lamina V dan pada
jarang kasus lamina I. Lamina V merespon kepada kedua sensori
noxious, nonnoxious, viceral dan somatik. 1

Gambar 2.2. Redxeds Spinal cord laminae

A. Jalur Spinothalamic
Sebagian besar

axon

dari

neuron

second-order

menyebrangi midline terdekat dari lokasi awal mereka menuju


sisi kontralateral dari korda spinal sebelum membentuk jalur
spinothalamic dan mengirimkan seratnya menuju thalamus,
formasi retikular, magnus raphe nukleus dan peraqueductal
gray. Jalur sphinotalamic yang biasanya dianggap jalur utama
dari nyeri, berada secara anterolateral pada white matter dari
spinal corda (gambar 18-4). Peningkatan jalur ini dapat dibagi
menjadi jalur lateral dan medial. Jalur Sphinothalamic lateral
(neospinothalamic)

memancarkan

teutama

ke

daerah

posterolateral nucleus ventral dari thalamus dan membawa


aspek nyeri seperti lokasi, intensitas dan durasi. Jalur media
sphinothalamic (paleospinothalamic) memancarkan ke medial
thalamus dan bertugas memediasi persepsi autonomik dan
emosi tidak nyaman dari nyeri. Serabut kolateral juga
memancarkan impuls menuju reticular activating system dan
hipotalamus, juga dapat memberikan respon terhadap nyeri.1
B. Jalur Nyeri Alternatif
Bersamaan dengan sensasii epicritik, serabut nyeri naik
secara

difuse,

menyebabkan

ipsilateral
beberapa

dan

pasien

kontralateral
tetap

sehingga

merasakan

nyeri

mengikuti ablasinya dari jalur spinothalamic kontralateral.


Sehingga jalur nyeri yang meningkat tergolong penting. Jalur
spinorecticular, spinomenesenchepalic, juga merupakan jalur
untuk mengaktivasi respons terhadap nyeri dengan berbagai
karateristik masing-masing.1
C. Integrasi dengan sistem simpatik dan motorik
Aferen somatik dan viseral telah terintegrasi secara total
dengan motorik skeletal dan sistem simpatis di korda spinal,
batang otak, dan sistem center tinggi lainya. neuron dorsal
horn aferen bersinaps secara langsung maupun tidak langsung
dengan neuron anterior horn motor. Sinaps inilah yang
8

berperan terhadap refleks otot yang normal ataupun tak normal


terhadap nyeri, vasokonstriksi spasme dari otot polis dan
pelepasan katekolamin baik secara lokal ataupun pada medula
adrenal.
3. Third-Order Neuron
Neuron third-order berada di thalamus dan mengirimkan
serabut ke area somatosensori I dan II pada post central girus dari
korteks parietal dan superior wall dari fissura sylvian. Persepsi dan
lokalisasi dari nyeri terjadi di daerah kortikal.
2.2.2. Fisiologi Nosiseptif
1. Nosiseptif

Nosiseptif memiliki karateristik hanya teraktivasi pada


stimulus ambang tinggi dan mengkode intensitas dari stimulasi
dengan cara meningkat kekuatan arus secara berkala. Apabila
terdapat stimulasi yang berulang, reseptor nosiseptif dapat
menunjukkan

adaptasi

yang

tertunda,

sentisisasi,

dan

afterdischarge.
Sensasi noxious umumnya dapat dipecah menjadi dua
komponen; sensasi yang cepat tajam dan dapat dilokalisasi
dengan baik (first pain), yang dikonduksi oleh serabut A
dengan latensi yang pendek (0,1 detik); dan sensasi yang
tumpul, memiliki onset yang lambat dan tidak dapat dilokalisasi
dengan baik (second pain), yang dikonduksi serabt C.
Sedangkan untuk sensasi protopathic hanya di tranduksioleh
ujung-ujung saraf bebas.
Sebagian besar nosiseptif adalah ujung saraf bebas yang
mendeteksi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh suhu,
mekanikal dan kimiawi. Tipe-tipe dari nosiseptif terdiri dari tiga
yaitu (1) mechanonociceptor, yang merespon terhadap cubitan
dan tusukan pin (2) silent nociceptor, yang merespon terhadap
inflamasi dan (3) Polymodal mechanoheat nociceptors yang

merespon tekanan berlebihan, temperator yang ekstrem dan


alogen.
a. Nosiseptor Kutanius
Nosisetif dapat ditemukan pada jaringan somatik dan
viseral. Neuron aferen primer mencapai jaringan dengan
menjalar bersamaan dengan saraf somatis spinal, simpatik, atau
parasimpatik. Somatik nosiseptor termasuk kepada reseptor
yang dapat ditemukan di kulit (kutan), dan jaringan dalam (otot,
tendon, fascia dan tulang), dimana nociceptor viseral adalah
reseptor yang berada pada organ dalam. Sedangkan kornea dan
pulpa dari gigi berbeda, dimana mereka secara esklusif
mendapatkan inervasi dari nosiseptif A dan serabut C
b. Nosiseptor Somatik Dalam
Nosiseptor somatik dalam kurang sensitif terhadal
stimulus noxious daripada nosiseptor kutanius, akan tetapi lebih
sensitif terhadap inflamasi. Karakteristik nyeri yang dihasilkan
adalah sensasi nyeri yang tumpul, dan tidak dapat dilokalisasi.
Nosiseptor viseral
Organ viseral secara umumnya merupakan jaringan tidak
sensitif yang sebagian besar mengandung nosiseptor silent,
seperti jantung, paru-paru, testis dan kantong empedu. Sebagian
besar organ lain seperti usus mendapatkan inervasi dari
nosiseptor polymodal yang merespon terhadap spasme otot,
iskemia dan inflamasi (alogens). Organ lain seperti otak hampir
tidak memiliki nosiseptor, akan tetapi lapisan meningeal otak
mengandung nosiseptor.
Seperti nosiseptor somatis, nosiseptor yang di viseral
sebagian besar terdiri dari ujung saraf bebas dari neuron aferen
primer yang memiliki badan sel di dorsal horn. Walaupun
tergolong lebih sedikit dibandingkan serabut nyeri somatik,
serabut yang berasal dari neuron aferen viseral primer memasuki

10

korda dan sinaps lebih terdiffuse dengan serabut tunggal, yang


biasanya bersinapsis dengan beberapa level dermatom dan juga
menyebrangi daerah dorsal horn kontralateral.
2. Mediator Kimia dari Nyeri
Beberapa

neuropeptida

dan

amino

acid

eksasitori

berfungsi sebagai neurotransmitter untuk neuron aferen yang


menghantarkan nyeri. (tabel 18-4). Sebagian besar

neurons

mengandung lebih dari satu neurotransmiter. Peptida yang


paling penting dalam proses ini adalah substansi P (sP) dan
calcitonin gene-related peptide (CGRP). Dan glutamat adalah
asam amino eksasitori paling penting .
Substansi P adalah asam amino peptida 11 yang disintesis
dan dilepaskan oleh neuron first-order baik secara perifer dan di
daerah dorsal horn. Substansi P memfasilitasi transmisi terhadap
nyeri memalui jalur aktifasi resptor NK. Di jaringan perifer,
neuron sP mengirimkan kolateral yang berasosiasi secara dekat
dengan pembuluh darah, kelenjar keringat, folikel rambut, dan
sel mast di dermis. Substansi P mensensitasi nosiseptors,
mendegranulasi histamin dari sel mast dan 5-HT dari platelet
yang merupakan vasodilator poten dan

chemoattractant

terhadap leukosit
3. Modulasi Nyeri
Modulasi terhadap nyeri terjadi secara perifer pada
nosiseptor, di korda spinal, atau di struktur supraspinal.
Modulasi ini dapat memfasilitasi ataupun mensupresi nyeri.
Modulasi Perifer
Nosiseptor dan neuronya menunjukkan sentisisasi setelah
stimulasi yang berulang. Sentisisasi dapat bermanifestasi
sebagai response tingkatan terhadap stimulasi noxious atau
respon terhadap stimulasi yang baru, termasuk stimuli
nonnoxious.
A. Hyperalgesia Primer

11

Sentisisasi dari nosiseptor menghasilkan penurunan


dari ambang nyeri, peningkatan respon frekuensi terhadap
stimulus dengan intensitas yang sama, penurunan respon
latensi. Sentisisasi tersebut biasanya terjadi bersamaan
dengan injuri dan pemberian suhu panas. Primer
hyperalgesia dimediasi oleh pelepasan alogen dari jaringan
yang rusak. Histamin dilepaskan oleh sel mast, basofil dan
platelet dan serotoonin. Bradikinin kemudian dilepaskan
oleh jaringan setelah aktifnya faktor XII. Bradikinin
mengaktifasi ujung saraf bebas melalui reseptor spesifik
(B1 dan B2).
Prostalglandin di produksi mengikuti kerusakan
jaringan

melalui

aksi

phospholipase

A2

terhadap

phospholipid yang dilepaskan oleh sel membran untuk


membentuk asam arachidonat. Jalur cyclooxygenase
(COOX) nantinya akan dikonversi menjadi endoperoxides,
dan nantinya secara bergantian akan di transformasi
menjadi prostacyclin dan prostaglandin E2 (PGE2). PGE2
secara langsung mengaktifasi ujung saraf bebas, dimana
prostacyclin mempotensialisasi terjadinya edema dari
bradikinin.

Jalur

lipoxygenase

mengubah

asam

arachidonat menjadi kompoun hydroperoxy yang nantinya


akan dikonversi menjadi leukotrienes, dimana dipercaya
dapat memberikan sensasi nyeri yang berbeda. NSAID,
ASA menghasilkan efek analgesia dengan menginhibisi
COX, sedangkan kortikosteroid dengan cara menghambat
produksi prostalgandin dengan cara menghambat aktifasi
phospolipase A2.
B. Hyperalgesia Sekunder
Inflamasi neurogenik, atau sering disebut sebagai
hyperalgesia sekunder juga berperan secara dominan
terhadap sentisisasi perifer terhadap sensasi nyeri. Hal ini

12

bermanifestasi melalui triple response dari red flush di


sekitar situs kerusakan (flare), edema, dan sentisisasi dari
stimuli noxious. Hyperalgesia sekunder secara umum
disebabkan oleh pelepasan antidromic dari sP (dan
mungkin CGRP) dari axon kolateral dari neuron aferen
primer. Substansi P mendegranulasi histamine dan 5-HT,
memvasodilatasi pembuluh darah, menyebabkan edema
jaringan,

dan

menginduksi

produksi

leukotrienes.

Kompoun capsaicin mendegranulasi dan menghabiskan sP.


Jika diberikan secara topikal, capsaicin dapat mengurangi
inflamasi neurogenik dan berguna untuk beberapa pasien
dengan postherpetic neuralgia.
Modulasi Sentral
A. Fasilitasi
Setidaknya ada tiga mekanisme yang berperan
terhadap sentisisasi sentral di korda spinal
(1) Wind-up dan sentisisasi dari neuron second order,
WDR neurons meningkatkan frekuensinya dan
melepaskan stimuli yang repetitif dan menghambat
pelepasan secara berkepanjangan, bahkan setelah
serabut aferen C berhenti.
(2) Ekspansi reseptor field.

Neuron

dorsal

horn

meningkatkan reseptor field mereka sehingga neuron


sekitar menjadi responsive terhadap stimuli (noxious
tidak noxious) dimana sebelumnya mereka tidak
responsive
(3) Hyperexcitability dari refleks fleksi, peningkatan
dari reflex fleksi diperhatikan secara ipsilateral
ataupun kontralateral.
B. Inhibisi
Tranmisi dari input nosiseptif di spinal korda, dapat
diinhibisi oleh aktifitas segmental dari korda itu sendiri.

13

(1) Inhibisi Segmental aktifasi dari serabut aferen


besar

yang

menyalurkan

sensasi

epicritic

menghambat WDR neuron dan aktifitas jalur


spinothalamik. Terlebih lagi, aktifasi dari stimuli
noxious di tempat lain dari tubuh menghambat
neuron WDR di tempat lain.
Glisin dan asam -aminobutyric (GABA)
adalah

asam

amino

yang

berfungsi

sebagai

inhibitory neurotranseminase dan berperan terhadap


inhibisi segmental nyeri di korda spinal.
Adenosin juga memodulasi kegiatan nosiseptif
di dorsal horn. Sementara ini ada dua reseptor uang
diketahui A1, yang menghambat adenycyclase dan A2
yang

menstimulasi

Reseptor

A1

memediasi

antinociceptive,
membalik

kegiatan

dan

efek

antinociceptive.

kegiatan

adenosine

methylxanthines
ini

melalui

dapat
inhibisi

phosphodiesterase.
(2) Inhibisi Supraspinal -- beberapa struktur supraspinal
mengirimkan

serabut

ke

korda

spinal

untuk

menghambat nyeri di dorsal horn. Stimulasi dari


periaqueductal gray area di midbrain memproduksi
analgesia pada manusia. Sistem opiate endogenous
bekerja melalui methionine enkephalin, leucine
enkephalin, dan -endorphin, yang diantagonis oleh
naloxine. Opiod ini bekerja secara presinaps untuk
menghiperpolar

neuron

aferen

primer

dan

menghambat pelepasan substansi P; mereka juga


terbukti menginhibisi stimulus posinaps.
4. Analgesia Preemptive
Signifikasi dari modulasi sentral dan perifer pada
nosiseptif telah mendasari lahirnya konsep preemptive analgesia
pada pasien yang menjalani operasi. Hal ini termasuk
14

melakukan infiltrasi terhadap luka dengan anestesi lokal,


blokade neural central, atau pemberian dosis efektif dari opioid,
NSAID, atau ketamine. Penelitian membuktikan bahwa
preemptive analgesia dapat secara efektif mengganggu
sensitisasi perifer dan sentral terhadap nyeri.
2.2.3. Patofisiologi Dari Nyeri Kronis 1
Nyeri kronis dapat disebabkan oleh kombinasi dari mekanisme
perifer, sentral atau psikologis. Sentisisasi dari nosiseptor berperan
besar terhadap mekanisme nyeri yang berasosiasi dengan mekanisme
perifer, seperti muskuloskeletal kronis dan kelainan viseral.
Nyeri neuropati melibatkan mekanisme neural perifersentral dan sentral yang kompleks dan biasanya berhubungan dengan
lesi parsial atau komplit pada saraf perifer, akar dorsal ganglia, akar
saraf atau struktur sentral. Mekanisme perifer termasuk pelepasan
impuls secara spontan; sentisisasi dari reseptor terhadap stimulus
mekanik, thermal dan kemikal; dan up regulasi dari reseptor
andregenik. Inflamasi neural dapat juga ditemukan pada sebagian
besar kasus. Pemberian anestesi lokal dan antikonvulsan secara
sistemik terbukti menekan pelepasn secara spontan dari neuron yang
tersentisisasi ataupun tertraumatisasi. Mekanisme central meliputi
hilangnya inhibisi segmental, wind-up dari neuron WDR, pelepasan
sinyal secara spontan pada neuron deaferenated, dan reorganisasi
dari koneksi neural.
Sistem saraf simpatetik tampak berperan besar pada pasien
dengan mekanisme periferal-sentral dan sentral. Keefektifan blok
saraf simpatetiks pada beberapa pasien mendukung konsep nyeri
yang berhubungan dengan simpatetik. Penyakit yang merespon
terhadap simpatetik blok antara lain adalah reflek simpatetik distropi,
deafferentation syndrome.
Mekanisme fisiologi atau faktor enviromental jarang
menjadi mekanisme tunggal dari nyeri kronis, akan tetapi hampir

15

selalu berhubungan dengan mekanisme lain. Pasien dengan nyeri


psikogenik biasanya berhubungan dengan ansietas, dan kelainan lain
yang berhubungan dengan ansietas tersebut.
2.2.4. Respon Sistemik Terhadap Nyeri 1
1. Nyeri Akut
Nyeri akut biasanya berhubungan dengan respon stress
neuroendokrin yang bersesuaian dengan intensitas nyeri. Respon
neuroendokrin ini dapat diperlihatkan pada berbagai sistem
dalam tubuh dengan respon yang berbeda-beda pada setiap
sistemnya.
A. Sistem Kardiovaskular
Respon yang diberikan terhadap nyeri oleh sistem
kardiovaskular

biasanya

dalam

bentuk

hipertensi,

takikardi, peningkatan iritabilitas myokardial, peningkatan


resistensi vaskuler sistemik, dan peningkatan output
kardiak.
B. Sistem Respirasi
Dengan adanya sensasi nyeri, terjadi peningkatan total
konsumsi

oksigen

tubuh

sehingga

menyebabkan

meningkatnya produksi dari karbon dioksida sehingga


menyebabkan peningkatan dari jumlah napas permenit.
Pada tahap akhirnya juga dapat menyebabkan usaha napas
tambahan, terutama pada pasien dengan penyakit paru.
C. Sistem Gastrointestinal dan Urinal
Peningkatan saraf simpatetis menyebabkan tonus sphincter
dan menurunkan motilitas intestin dan urinal, sehingga
dapat menyebabkan ileus dan retensi urinal. Selain itu
peningkatan

sekresi

dari

asam

lambung

dapat

menyebabkan ulserasi dan bersamaan dengan kurangnya


motilita maka dapat menyebabkan pasien pneumotitis
aspiratif. Nausea, muntah, dan konstipasi juga sering
ditemukan. Distensi abdominal menunjukkan kehilangan
fungsi paru dan volume paru secara progresif.
D. Sistem Endokrin

16

Respon

hormonal

terhada

stress

menyebabkan

peningkatan hormon katabolik (catecolamin, kortisol, dan


glukagon) dan menurunkan hormon metabolik (insulin dan
testosterone). Pasien dapat mengalami balance negatif
nitrogen, intoleransi karbohidrat dan peningkatan lipolisis.
Peningkatan
meningkatnya

dari
renin,

kortisol

bersamaan

aldosteron,

dengan

angiotensin

dan

antidiuretik hormon menyebabkan retensi dari sodium, air,


dan ekspansi sekunder dari ruang ekstraseluler.
E. Sistem Hematologi
Peningkatan pelengketan dari platelet, menurunya
fibrinolisis, dan hiperkoagulan yang berhubungan dengan
stress telah dilaporkan dalam beberapa jurnal.
F. Sistem Imun
Respon terhadap nyeri pada sistem imun

adalah

peningkatan produksi leukosit dengan limphopenia dan


pada beberapa kasus terjadi penurunan fungsi sistem RES,
yang nantinya mendasari terjadinya proses infeksi pada
pasien.
G. Keadaan umum
Reaksi paling umum terhadap nyeri adalah ansietas,
gangguan tidur, apabila durasi dari nyeri terlewat lama,
maka sering ditemukan juga depresi, dan beberapa pasien
menjadi lebih emosional.
2. Nyeri Kronis
Respon stress neuroendokrin tidak ditemukan pada pasien
dengan nyeri kronis. Respon stress biasanya ditemukan pada
pasien dengan nyeri hebat yang berulang yang disebabkan oleh
mekanisme perifer (nosiseptif), dan pada pasien dengan
dominan mekanisme sentral seperti nyeri yang berhubungan
dengan paraplegia, gangguan tidur dan afektif, dan depresi.
Beberapa pasien mengalami penurunan nafsu makan dan stress
dalam menjalani hubungan sosial.

17

2.3. Penilaian Pada Pasien Dengan Nyeri


Klinisi sebaiknya membedakan terlebih dahulu antara nyeri akut dan
kronis. Managemen terhadap nyeri akut lebih mengarah ke terapetik,
sedangkan pada nyeri kronis lebih mengarah ke arah investigatif. Sehingga
pasien yang baru selesai menjalani operasi lebih memerlukan evaluasi
dibandingkan dengan pasien yang telah terdiagnosa LBP lebih dari 5 tahun.
Pada pasien akut diperlukan penilaian terhadap riwayat dan pemeriksaan
fisik, termasuk penilaian secara kuantitatif dan kualitatif terhadap intensitas
nyeri. Pemeriksaan fisik yang dilakukan sebaiknya melibatkan sistem
muskuloskeletal dan neurologikal, pemeriksaan penunjang tambahan
terkadang diperlukan termasuk radiografi, CT, MRI atau scans tulang. 1
1. Pengukuran Intensitas Nyeri
Penilaian terhadap intensitas nyeri dapat dilakukan dengan
berbagai hal antara lain adalah, penilaian menggunakan angka,
penilaian berdasarkan raut muka, visual analog scale (VAS), dan
kuesioner nyeri McGill (MPQ). Dimana pada penilaian menggunakan
angka pasien diharapkan mendeskripsikan nyeri yang dialaminya
dengan menggunakan angka dimana untuk nyeri paling ringan dengan
angka 1 sedangkan nyeri tertinggi dengan angka 10. Sedangkan untuk
raut muka, pasien diharapkan menunjukkan raut muka yang
mendeskripsikan nyeri yang dialaminya dengan referensi senyum
untuk sakit yang paling ringan, dan raut muka yang paling sesuai
untuk nyeri yang paling tinggi. VAS menggunakan gambaran dimana
pasien diharapkan memilih diantara dua bagian yaitu bagian tidak
nyeri sampai nyeri terberat. Sedangkan MPQ merupakan kumpulan
checklist yang ditanyakan kepada pasien untuk menilai tingkatan
nyeri.1
Beberapa metoda yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas
nyeri, antara lain : 4, 5
1. Verbal Rating Scale (VRSs)
Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan
nyeri yang dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau

18

kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan


dari word list yang ada. Metoda ini dapat digunakan untuk
mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul
sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa
kategori nyeri yaitu:
- tidak nyeri (none)
- nyeri ringan (mild)
- nyeri sedang (moderate)
- nyeri berat (severe)
- nyeri sangat berat (very severe)
2. Numerical Rating Scale (NRSs)
Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan
range

dari

intensitas

nyeri.

Umumnya

pasien

akan

menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari angka 010. 0menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan 10
menggambarkan nyeri yang hebat.

Gambar 2.3 Numeric pain intensity scale

3. Visual Analogue Scale (VASs)


Metoda ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas
nyeri. Metoda ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang
menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat
hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan
intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan
metoda ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan

19

intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat


digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah
tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan
mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri
hebat.
4. McGill Pain Questionnaire (MPQ)
Metoda ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan
gejala-gejal nyeri yang dirasakan. Metoda ini menggambarkan
nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik, afektif dan
kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan merangking dari
0 sampai 3.
5. The Faces Pain Scale
Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan
biasanya untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak.

Gambar 2.4 Faces Pain Scale

2. Penilaian Psikologis
Penilaian psikologis sangat berguna apabila penilaian medis
gagal untuk menemukan penyebab yang paling mungkin terhadap
penyebab dari nyeri, atau intensitas dari nyeri. Evaluasi ini membantu
menentukan peran dari bagian psikologis ataupun lingkungan terhadap
sensai nyeri yang dialami. Minnesota Multiphasic Personality

20

Inventory (MMPI) dan Beck Depression Inventory merupakan test


yang paling sering digunakan. 1
MMPI terdiri dari 566 pertanyaan benar salah yang mencoba
untuk menentukan personaliti dari pasien dalam 10 skala klinis. Akan
tetapi tingkat kebiasan dari test ini lumayan tinggi dan beberapa
pertanyaan dari test ini dapat menyinggung pasien. 1
Depresi sangatlah sering ditemukan pada pasien dengan
nyeri kronis. Terkadang sangat lah sulit untuk menentukan kontribusi
depresi terhadap nyeri yang dialami pasien tersebut. Beck Depression
Inventory merupakan test yang sesuai untuk mengidentifikasi pasien
dengan depresi. 1
3. Elektromyography dan Studi Konduksi Saraf
Elektromiografi dan studi konduksi saraf sangatlah berguna
untuk memastikan diagnosis dari entrapment syndrome, sindroma
radikular, trauma neural, dan polyneuropathies. Pemeriksaan ini juga
dapat membedakan nyeri neurogenik dan myogenik. Pola dari
kelainan dapat menglokalisasi apakah ada lesi di korda spinal, akar
saraf, plexus tungkai, atau saraf perifer, selain itu juga pemeriksaan ini
berguna untuk mengekslusi kelainan organik ketika pasien tersebut
dicurigai menderita nyeri psikogenik atau sindroma fungsional. 1
2.4. Diagnosis dan Terapi Blok Neural
A. Blok Somatik 1
1. Blok Nervus Trigeminal
a. Indikasi
Terdapat dua indikasi utama yaitu neuralgia trigeminal dan nyeri
kanker pada wajah. Blok ini dilakukan pada slah satu lokasi utama
(mata. Maxilla, atau mandubula), tergantung pada lokasi nyeri .

21

b. Teknik
- Blok ganglion gasserian
8-10 cm jarum 22 dimasukkan dari 3 cm lateral aproksimal
sehingga

jarum

sejajar

dengan

anterior

di

pertengahan

zigomaticum, jarum harus melewati antara ramus mandibula dan


maxilla dan lateral

pterygodeus memasuki cranium melalui

foramen ovale. Setelah aspirasi negatif pada cairan serebrospinal


dan darah, kemudian suntikkan 2 ml anastetik.

22

Blok pada n. Opthalmica dan percabangannya


Pada prosedur ini, untuk menghindari keratitis maka mata
tidak d blok. Pada banyak kasus hanya ccabang supraoptik yang di
blok. Saraf ini mudah d blok dengan 2 ml anastetik lokal pada
bagian supraoptik diatas pupil. Cabang supraoptik jugan dapat di
blok dengan 1 ml anastetik lokal disudut orbital.

23

Blok pada n. Maxillaris dan percabangannya


Pasien sedikit membuka mulut, 8-10 cm jarum 22
dimasukkan diantara sygomaticum dan mandibula. Sebagian
jarum ditarik sedikit miring ke superior dan anterior masuk ke
fossa pterygopalatine. Anestetik disuntikkan 4-6 ml sampai
menimbulkan parastesi. Kedua saraf maxilla dan ganglia
pterygopalatine yang dibius oleh teknik tersebut. Ganglia
pterygopalatine (n.etimoid anterior) dapat di anastesi dengan
menggunakan anstesi topikal melalui hidung. Beberapa contoh
aplikasi yang diterapkan dengan anastesi lokal (cocain dan
lidocain) dimasukkan sepanjang dinding medial dari hidung
sampai ke area spenopalatine.

24

Fenobarbital bercabang dengan foramen intraorbital dimana


dapat memblok dengan menggunakan 2 ml anastetik. Foramen
proksimal disuntikkan 1 cm dibawah orbit dan seringkali
lokasinya 2 cm pada lateral nasal dan pada superior posterio dan
sedikit lateral.

Blok n. Mandibula dan percabangannya


Prosedur yang dilakukan dengan sedikit membuka mulut
pasien 8-10 cm dengan jarum 22 disuntikkan diantara zygomatica
dan mandibula. Setelah itu

lateral pterygoideus disuntikkan

diparsial dengan ditarik sedikit ke superior dan posterior kearah


telinga. Anastetik (4-6 ml) disuntikkan

untuk menimbulkan

parastesia. Lidah dan inferior mandibula bercabang dari n.


Mandibula yang dimanfaatkan untuk memblok intraoral dengan

25

ukuran 10 cm dengan menngunakan jarum 22. Pasien diminta


untuk membuka mulut maksimal dan coronoid diraba dengan jari
telunjuk tangan yang lain. Jarum digunakan untuk level yang
saman (pada proksimal 1 cm dibawah wajah dan pada molar), jari
tengah memegan pada tepi lateral petygomandibular. Pada
posterior dibuat sepanjang sisi medial dari ramus mandibular yang
kontak dengan tulang . Kedua saraf yang sering memblok
mengikuti suntikkan 2-3 cm anastesi lokal.
Bagian dari terminal portio dari saraf alveolar inferior dapat
di blok karena terletak di foramen mental pertengahan rahang
bawah tepat dibagian sudut mulut. Pada anasteti lokal (2 ml) yang
diinjeksikan

untuk

menimbulkan

parastesia

atau

jarum

dimasukkan kedalam foramen.

c. Komplikasi

26

Komplikasi dari injeksi pemblokan ganglian gasserian, injeksi


subaracnoid, Horners syindrom, blok motorik otot-otot pengunyah.
Komplikasi yang serius menyebabkan perdarahan

besar pada

pemblokan di n.maxilla. Nervus pada wajah mungkin tidak sengaja


memblok divisi mandubula.
2. Blok Nervus Facial
a. Indikasi
Blokade pada nervus facial adalah indikasi dalam meredakan
kontraksi kejang pada otot wajah dan untuk mengibati herpes zoster
dengan mempengaruhi saraf. Prosedur tersebut digunakan selama
operasi mata tertentu.
b. Anatomi
n. facial keluar dari cranium menuju foramen stylomastoid, yang
dimana dapat diblok. Komponen sensory yang kecil memberikan
sensasi pada naterior 2 atau 3 dari lidah dan sensasi general pada
membran timpani. Dan meatus auditory eksternal, dan bagian pada
pharynx.
c. Teknik
Injeksi dilakukan hanya pada prosesus mastoid anterior, diabawah
meatus auditory eksternal, dan dipertengahan ramus mandibula. Pada
nervus aporksimal 1-2 cm di blok dengan 2-3 ml anastesi lokal,
dibawah prosesus stylomastoid.
d. Komplikasi
Jika jarum di masukkan kedalam tulang styloid, glossoparyngeal dan
nervus vagal mungkin juga bisa memblok. Hati-hati dalam aspirasi
karena dekatnya nervus facial dengan arteri coroid dan vena jugularis
internal.
3. Blok Glossopharyngeal
a. Indikasi
N. Glossopharyngeal memblok pasien yang nyeri dengan pembesaran
maligna dilidah, epiglotis, dan tonsil palatina. Hal ini dapat
membedakan nyeri pada n.glossoparyngeal dari trigeminal dan
neuralgia geniculate.
b. Anatomi

27

Nervus keluar dari cranium melalui foremen jugularis, pertengahan


prosesus styloid, dan anteromedial untuk lidah, otot pharyng, dan
mukoas. Aksesoris pada n.vagus dan spinal keluar dari cranium
melalui

foramen

jugular

dan

turun

melalui

sisi

nervus

glossopharyngeal arteri coroid dan struktur vena jugularis internal.


c. Teknik
Memblok dengan memasukkan jarum 22 kedalam 5 cm, dengan 2 ml
anastetik hanya pada segitiga mandibula posterior. Pada nervus
aproksimal jarum 3-4 cm dimasukkan kedalam nervus yang
menstimulator.
d. Komplikasi

Komplika
sinya adalah disfagia dan hasil dari memblok vagal adalah paralisis
dan takikardi. Paralisis ipsilateral di otot trapezius dan lidah akibat
blok pada nervus aksesoris dan nervus hypoglosus.

28

4. Blok Nervus Occipital


a. Indikasi
Blok nervus occipital adalah diagnosis dari terapi pada pasien dengan
nyeri kepala.
b. Anatomi
Nervus occipital adalah lanjutan dari rami dorsal di C2 dan C3 nervus
spinal. Dimana nervus occipital dari serabut rami ventral.
c. Teknik
Nervus occipital yang lebih besar diblok dengan 5 ml anastetik pada 3
cm lateral aproksimal. Sedangkan nervus occipital yang lebih rendah
di blok dengan 2-3 ml anastetik yang diinjeksi pada 2-3 cm leteral
yang lebih jauh.
d. Komplikasi
Jarang, injeksi intravaskular dapat terjadi.

29

5. Blok Nervus Suprascapula


a. Indikasi
Blok ini dilakukan untuk kondisi nyeri yang timbul pada bahu
(arthritis dan bursitis).
b. Anatomi
Nervus suprascapula merupakan nervus sensori utama pada sendi
bahu. Timbul dari pleksus brachial (C4-C6) dan berakhir pada bawah
scapula di suprascapula dan masuk ke fossa suprascapula.
c. Teknik
Nevus di blok dengan 5 ml anastetik di supraspinal, dimana lokasinya
pada daerah lateral dan tengan segitiga garis dari scapula superior
d. Komplikasi
e. Pnemothoraks dapat terjadi bila penyuntikkan di anterior. Dapat
terjadi paralisis pada suprascapula dan otot infraspinatus.

30

6. Blok Nervus Cervical Paravertebra


a. Indikasi
Blok selektive paravertebra di cervical dapat didiagnosis dan di terapi
untuk pasien kanker dengan nyeri dari spine cervikal atau bahu.
b. Anatomi
Nervus spinal cervical di sulcus prosesnya di transfer dengan palpasi
pada pasien. Nervus spinal thorakal dan lumbal, nervus spinal cervikal
keluar melalui vertebra.
c. Teknik
Blok dilakukan pada lateral C2-C7. Pasien diminta untuk menurunkan
kepalanya dan memposisikan pada posisi duduk pada garis prosesus
mastoideus, Chassaignacs tubercle (C6). Injeksi 2 ml dengan
menggunakan jarum 22 salah satu pada kedalaman 5 cm, yang kedua
0,5 cm di garis pertama posterior. Karena proses melintang di C2
biasanya sulit untuk dilakukan, dengan injeksi 1,5 cm di bawah
prosesus mastoid.
d. Komplikasi
Intretechla, subdural, atau epidural anastesi tidak sengaja terjadi
dengan cepat karena paralisis respiratori dan hipotensi. Injeksi dengan
anastesi lokal volume kecil dapat terjadi kedalam artery vertebral.
Komplikasi lainya adalah Horners Syindrome, seperti blokade pada
laryngeal dan nervus phrenic.

31

7. Blok Saraf Thoraks Paravertebral


a. Indikasi
Tidak seperti blok saraf intercostal, anestesi blok saraf thoraks
paravertebral baik di dorsal dan rami ventral saraf tulang belakang.
Karena itu berguna pada pasien dengan nyeri yang berasal dari tulang
belakang, dinding perut, termasuk fraktur kompresi, patah tulang iga
proksimal, danherpes zoster akut. Teknik ini harus digunakan untuk
memblok segmen thoraks atas, karena scapula menggangu intecostal
pada teknik ini.
b. Anatomi
Setiap cabang saraf thoraks keluar dari kanal spinal inferior melewati
segmen tulang belakang.

32

c. Teknik
Blok ini dilakukan pada penderita dengan posisi lateral. Jarum 22, 5-8
cm dengan menggunakan penanda yang isesuaikan. Dengan teknik
klasik, jarum dimasukkan 4-5 cm di garis tengah lateral. Jarum
diarahkan dengan sudut 45 derajat ke anterior dan medial midsagital,
dan dimasukkan sampai penanda yang telah disesuaikan. Kemudian
sebagian jarum ditarik dan diarahkan. Penanda pada jarum digunakan
untuk menandai kedalaman spinosus. Ketika jarum ditarik dan
diarahkan, jarum tersebut tidak boleh melebihi 2 cm diatas penanda.
Biasanya, 5 ml anastesi lokal di suntikkan.
d. Komplikasi
Komplikasi yang paling umum adalah subarachnoid, subdural,
epidural dan injeksi intravaskular. Blok simpatetik dan hipotensi
mungkin terjadi jika segmen di blok atau disuntikkan pada satu
tempat.
8. Blok Saraf Lumbar Paravertebral Somatic
a. Indikasi
Blok paravertebral ini dilakukan untuk evaluasi nyeri

akibat

gangguan pada tulang belakang lumbar atau saraf tulang belakang.


b. Anatomi
Saraf lumar spinal masuk ke kompartemen psoass setelah keluar dari
bawah foramina intervertebral. Kompartement ini dibentuk oleh fascia
psoass anterior, fascia quadratum lumborum posterior, vertebra pada
bagian medial tubuh.
c. Teknik
Sama seperti blok pada thoraks paravertebral. Biasanya, jarum 22
dimasukkan 8 cm. Dengan bantuan radiologi untuk mendiagnosis
blok, 2 ml anastesi lokal dimasukkan. Dan 5 ml anastesi lokal untuk
terapi blok, dan volume lebih besar (25 ml) pada L3 menghasilkan
blok somatic dan simpatetik pada saraf lumbar.
d. Komplikasi
Komplikasi utama adalah subarachnoid, subdural atau epidural
anestesi.

33

9. Blok Cabang Lumbar Media


a. Indikasi
Blok ini dapat digunakan untuk penyakit sendi pada nyeri punggung.
Kortikosteroid biasanya disuntikkan dengan anestesi lokal ketika
intraartikular dipilih.
b. Anatomi
Setiap sendi merupakan cabang utama dari saraf tulang belakang
posterior sendi atas dan bawah. Setiap sendi di dukung oleh dua atau
lebih saraf tulang belakang yang berdekatan. Setiap masing-masing
cabang medial melintasi batas atas antara cabang dan artikular
superior.
c. Teknik
Blok ini harus dilakukan dibawah fluoroscopic pada penderita dengan
posisi yang rawan. Jarum 22 dimasukkan 6-8 cm, 5-6 cm dari
34

spinosus lateral dan diarahkan menuju batas atas dari cabang medial.
1-1,5 ml lokal anestesi disuntikkan untuk memblok cabang medial di
saraf spinal posterior.
d. Komplikasi
blok subarachnoid merupakan hasil injeksi ke dalam dural, sedangkan
injeksi dekat pangkal saraf tulang belakang memblok sensorik dan
motorik karena sendi biasanya mempunya volume 1-2 cn, suntikkan
yang lebih besar menyebabkan kapsul sendi.

10. Blok Saraf Trans-Sacral


a. Indikasi
Teknik ini berguna untuk mendiagnosis dan mengobati nyeri pada
pelvis dan perianal. Blok di S1 spinal dapat membantu dalam
mengobati nyeri punggung.
b. Anatomi
Lima pasang saraf sakral dan satu pasang saraf coccygeal di kanal
sakral membentuk cauda equina. Setiap saraf berjalan melewati

35

foramen intervertebralis. S5 dan saraf coccygeal keluar melalui hiatus


sacral.
c. Teknik
Pada penderita yang rentan, foramina sakral di identikasi dengan
sebuah jarum sepanjang 1,5 cm yang ditarik dari medial sampai ke
spine iliaca posterior superior dan 1,5 cm lateral ke ipsilateral sakral.
Koreksi kembali posisi jarum yang benar masuk ke dalam foramen
sakral posterior dan biasanya menghasilkan parastesis. Saraf S1
biasanya 1,5 cm diatas sepanjang garis spina iliaca posteror superior. 2
ml lokal anestesi di suntikkan untuk blok diagnosis dan 5 ml untuk
blok terapi. S5 dan saraf coccygeal dapat dicapai dengan injeksi pada
hiatus sacral.
d. Komplikasi
Kerusakan saraf dan injeksi intavaskular.

36

11. Blok Saraf Pudendal


a. Indikasi
Digunakan untuk evaluasi kerusakan saraf dan injeksi intravaskular.
b. Anatomi
saraf pudendal muncul dari S2-S4 dan antara ligamen sacrospinous
dan sacrotuberous dan mencapai perineum.
c. Teknik
Blok biasanya dilakukan dengan transperineal dengan posisi litotomi.
Diinjeksi dengan 5-10 ml anestesi lokal dilakukan percutaneus pada
posterior iskiadika di ligamen sacrospinous. Spina iskiadika bisa di
palpasi transrectal atau transvagina. Tetapi biasanya dilakukan dengan
transvagina.
d. Komplikasi
Biasanya blok sciatic dan injeksi intravaskular menjadi komplikasi.

37

B. Blok Simpatetik 1
Blok simpatetik dapat dicapai dengan berbagai macam teknik,
termasuk

blok

subaraknoid,

epidural

dan

termasuk

juga

blok

paravertebral. Akan tetapi cara ini akan memblok kedua serabut somatik
dan simpatetik. Teknik berikut ini secara spesifik memblok serabut
simpatetik dan dapat digunakan untuk menentukan peran saraf simpatetik
dari sensasi nyeri pasien dan mungkin dapat mengurangi sensasi nyeri
yang dialami oleh pasien. Indikasi dari tindakan ini adalah distropi reflek
simpatetik, nyeri viseral, neuralgia herpetik akut, nyeri post herpetik, dan
penyakit vaskular perifer. Tanda dari blok simpatetiks pada suatu regio
adalah hilangnya tonus simpattik yang ditandai ndengan meningkatnya
aliran darah kutaneus, dan peningkatan dari temperatur yang disertai
dengan normalnya sensasi somatik.
1. Blok Cervicothoracic (Stellata)
a. Indikasi
Teknik ini sering digunakan pada pasien dengan nyeri kepala, leher,
lengan dan dada bagian atas. Injeksi anestesi bervolume besar
(>10ml) dapat memblok ganglia T5. Blok stelata juga dapat
digunakan untuk penyakit vasospasik dari ekstremitas atas.
b. Anatomi
Inervasi saraf simpatetik pada kepala, leher dan sebagian besar dari
lengan sebagian besar berasal dari ganglia servikal; dan yang
paling

besar

adalah

ganglion

stelata,

yang

nantinya

mempresentasikan penggabungan antara servikal bawah dengan

38

ganglia thorakalis pertama. Beberapa inervasi dari saraf lengan


(T1) dan juga inervasi dari visera thorakalis berasal dari lima
ganglia thorakalis teratas.
c. Teknik
Teknik paratrakeal merupakan teknik blok stellata yang paling
sering digunakan. Dengan kepala pasien terekstensi jarum 4-5 22
gauge,

dimasukan

pada

tepi

medial

dari

otot

sternokleidomastoideus tepat dibawah dari kartilago krikoid pada


level C6 (Chassaignacs tubercle) atau C7 (3-5 cm diatas
klavikula). Pemasangan jarum yang tepat biasanya diikuti dengan
peningkatan suhu kulit dari tangan ipsilateral dan onsetnya
sindroma horners.
d. Komplikasi
Selain injeksi intravaskular dan subarachnoid, komplikasi lain yang
dapat ditemukan adalah hematoma, pneumothoraks, anestesi
epidural, blok pleksus brakial, suara serak, dan yang paling jarang
osteitis atau mediadinitis.
2. Blok Thoracic Simpatetik chain
Ganglia thorakalis simpatetik berada di sisilateral dari badan
vertebral dan anterior dari akar saraf spinal akan tetapi blok ini tidak
dilakukan karena berisiko untuk menyebabkan pneumothoraks.
3. Blok pleksus celiaka
a. Indikasi
Blok Celiac atau celiaka diindikasikan pada pasien dengan nyeri yang
berasal dari viseral abdomen, terutama tumor abdomen. Teknik ini
biasanya juga saraf simpatetik lumbar.
b. Anatomi
Ganglia celiaka beragam dalam jumlah, bentuk, dan posisi. Mereka
biasanya berkumpul pada level L1, posterior dari daerah vena cava di
sebelah kanan, lateral dari aorta sebelah kiri, dan posterior dari
pankreas.
c. Teknik
Pasien diletakkan secara pronasi, dan jarum 15-22cm digunakan
untuk mengijeksi 15-20ml dari anestesi lokal dari sisi kiri atau
bilateral. Penggunaan fluorokospik atau CT dapat meningkatkan

39

tingkat keberhasilan. Setiap jarum dimasukkan 3-8 cm dari idline dari


tepi inferior dari L1; kemudian masuk kedalam ke arah midline
dengan bantuan radiografis, dan membentuk sudut 40-45 derajat.
Jarum yang melewati dibawah tepi dari rusuk ke dua belas sebaiknya
diposisikan pada bagian anterior tubuh di L1 pada lateral dari sisi
penglihatan menggunakan bantuan radiografis, dan mendekati
midline dari badan vertebral yang sama.
d. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah hipotensi postural
yang disebabkan oleh blokade dari chain simpatetis lumbal.
4. Blok Saraf Splanikus (Splanchnic Nerve Block)
Walaupun menyerupai blok pleksus celiaka. Teknik ini lebih sering
digunakan oleh beberapa klinisi dikarenakan memiliki kemungkinan efek
samping untuk memblok chain simpatetis lumbal yang lebih kecil, dan
memerlukan obat anetesi yang lebih kecil. Tiga group dari saraf splanikus
berasal dari ganglia torakalis simpatetis tujuh terbawah pada setiap sisi
dan turun bersamaan dengan badan vertebral untuk berkomunikasi
dengan ganglia celiaka. Jarum dimasukkan 6-7 cm dari midline pada
bagian bawah dari prosesus spinosus T11, dan terus masuk dengan
bantuan flouroskopis ke arah permukaan anterolateral dari T12. Sepuluh
milimeter dari anestesi lokal dimasukkan pada setiap sisi. Komplikasi
yang dapat ditemukan adalah pneumothoraks, hupotensi dan trauma pada
vena azygos.
5. Blok Lumbar Simpatetik
a. Indikasi
Blok ini dapat diindikasikan pada pasien yang mengalami nyeri hebat
yang melibatkan pelvis dan ekstremitas bawah, terutama pada pasien
dengan penyakit vaskular perifer.
b. Anatomi
Saraf lumbal simpatetik terdiri dari tiga hingga lime ganglia dan
merupakan lanjutan dari saraf thorakalis, saraf ini juga mensuplai
serabut simpatetis ke daerah pleksus pelvikalis dan ganglia pelvikalis.
c. Teknik

40

Teknik dua jarum pada L2 dan L4 merupakan teknik yang paling


sering digunakan, pada pasien dalam posisi pronasi atau dalam posisi
lateral. Jarum dimasukkan pada tepi atas dari prosesus spinosus dan
diarahkan keatas atau lateral dan tranversal ke vertebre.
d. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah injeksi intravaskular,
dan blok saraf somatik dari pleksus lumbalis.

6. Blok Ganglion Impar


a. Indikasi
Blok ini efektif pada pasien dengan nyeri viseral atau nyeri simpatetis
pada daerah perineal.
b. Anatomi

41

Ganglion impar (ganglion walther) adalah bagian paling kaudal dari


trunkus simpatetis. Bagian paling bawah dari ganglia pelvis simpatetis
biasanya bergabung membentuk satu ganglion di midline di bagian
anterior dari cosigis.
c. Teknik
Pasien diposisikan secara lateral dekubitus atau posisi litotomi. Pada
pasien dengan posisi lateral dekubitus jarum 22-gauge 8-10 cm
bengkok diarahkan melewati ligamen anococcygeal kearah atas
menuju daerah anterior dari cosigis. Telunjuk yang dimasukan ke
dalam rektum dapat menjadi penunjuk supaya jarum tetap pada
midline diluar dinding rektum. Sedangkan pada pasien dengan posisi
litotomi, jarum lurus dapat digunakan dikarenakan lekukan dari
cosigis berkurang.
d. Komplikasi
Tidak ada komplikasi yang dilaporkan, akan tetapi injeksi
intravaskular, transiel bowel, dan disfungsi dari kantong kemih
mungkin dapat terjadi.
2.5. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis dalam management nyeri termasuk pemberian
COOX inhibitor, opioids, antidepressants, agen neuroleptik, antikonvulsant,
kortikosteroid, dan administrasi sistemik anestesi lokal. 1
1. Antidepressant
Obat obat antidepressant dapat memberikan efek analgetik jika
diberikan dalam dosis dibawah dosis yang dibutuhkan untuk
mendapatkan efek antidepressant. Kedua hal ini disebabkan oleh
blokade dari reuptake terhadap serotonin, norepinephrine atau
keduanya. Obat antidepressant golongan trisiklik yang lama lebih
efektif sebagai analgesik dibandingkan dengan SSRI, sebaliknya SSRI
lebih efektif sebagai antidepressant. Antidepressan lebih efektif
diberikan pada pasien dengan nyeri neuropatik.1
2. Antikonvulsan

42

Antikonvulsan

telah

terbukti

sangat

berperan

terhadap

manajemen nyeri pada pasien yang mengalami nyeri neuropatik. Obat


ini memblok chanel sodium dan dapat mensupresi discharge spontan
yang berperan terhadap nyeri neuropatik. Gabapentin memiliki
kelebihan lain terutama pada pasien yang post-operatif. Obat yang
sering dignakan adalah fenitoin, karbamazepine, asam valproad,
clnazepam dan gabapentin.1
3. Neuroleptik
Beberapa klinisi mendapati neuroleptik berguna pada pasien
dengan nyeri neuropatik refraktorik. Neuroleptics lebih cocok
diberikan pada pasien dengan peningkatan agitasi atau simtom
psikotik lainya. obat yang digunakan adalah fluphenazine, haloperidol,
chlorpromazine dan perphenazine. Efek analgetik yang diberikan obat
ini diduga dikarenakan blokade dari reseptor dopaminergik di daerah
mesolimbik, akan tetapi pemberian obat ini dapat menyebabkan efek
4.

ekstrapiramidal.1
Kortikosteroid
Glukokortikoid
manajemen

nyeri

digunakan
untuk

secara

mengambil

sering
efek

terutama

pada

antiinflamasi

dan

analgetiknya. Tabel 18-6 menjelaskan kortikosteroid yang dapat


digunakan. Penggunaan jangka panjang memiliki efek samping yang
banyak termasuk hipertensi, hiperglikemi, osteoforosis dan yang
paling parah sindroma cushing. 1
Obat

Reuptake

Reuptak

norepinepri

Sedasi

Aktivitas

Hipotens

Wakt

Dosis

antimusk

haria

serotoni

a-rinik

Ortostati

Paruh

Amitriptilin

++

n
++++

Tinggi

Tinggi

k
Menenga

(jam)
30-40

(mg)
25-

Bupropion

Rendah

Rendah

h
Rendah

11-14

300
300-

Citalopram
Clomiprami

0
+++

+++
+++

Rendah
Tinggi

Rendah
Menengah

Rendah
Menenga

35
20-80

450
20-40
75-

ne
Fluoxetine

+++

Rendah

Rendah

h
Rendah

160-

300
20-80

200

43

Nortriptilyne

++

+++

Menenga

Menengah

Rendah

15-90

40-

Setraline

+++

h
Rendah

Rendah

Rendah

26

150
50200

Tabel. 2.2. Antidepresant yang dapat digunakan

5. Anestesi Lokal Sistemik


Anestesi lokal pada saat tertentu dapat diberikan secara sistemik
pada pasien dengan nyeri neuropatik, obat ini akan menghasilkan
sedasi dan analgesia sentral, efek analgesianya biasanya melewati
profile farmakokinetiknya. Lidokain, prokain, dan chloroprokain
adalah obat yang paling sering digunakan. Lidokain diberikan secara
infus 5-30 menit dengan total 1-5mg/kgbb, prokaine 200-400 mg iv
selama 1-2 jam, dan chloroprocaine (solusi 1%) diinfus dengan
kecepatan 1mg/kg/min dengan dosis 10-20mg/kg. Selama pemberian
ini sebaiknya pasien dimonitor EKG, tensi, RR, dan mental status,
peralatan resusitasi sebaiknya juga disiapkan. 1
Antikonvulsan
Karbamazepin
Clonazepam
Gabapentin
Lamotrigine
Phenytoin
Topiramate
Asam valproat

Waktu paruh (jam)


10-20
18-30
5-7
24
22
20-30
6-16

Dosis harian (mg)


200-1200
1-18
900-1800
25-400
200-600
25-200
750-1250

Dosis terapi (nm/mL)


4-12
0,01-0,08
>2
2-20
10-20
Tidak diketahui
50-100

Tabel 2.3. antikonvulsan dalam manajemen nyeri

Kortikosteroid
Hidrokortison
Prednison
Prednisolone
Metilprednisolon
Triamcinolon
Betametason
dexametason

Rute

Aktifitas

Aktifitas

pemberian Glukokortikoid
mineralokortikoid
O,I,T
1
1
O
4
0.8
O,I
4
0.8
O,I,T
5
0,5
O,I,T
5
0
O,I,T
25
0
O,I,T
25
0
Tabel 2.4. kortikosteroid dalam manajemen nyeri

Dosis

Waktu

ekuivalen
20
5
5
4
4
0,75
0,75

paruh
8-12
12-36
12-36
12-36
12-36
36-72
36-72

6. Agonis 2-Andregenik
Efek dari agonis 2-androgenik mengaktifkan jalur inhibisi dari
dorsal tanduk. Pemberian agonis 2-androgenik secara epidural

44

ataupun intratekal sangatlah efektif pada pasien nyeri neuropati dan


toleransi terhadap opioid.1
7. Toksin Botulinum
Injeksi toksin botulinum mulai digunakan secara masif pada
pengobatan nyeri yang berhubungan dengan otot tulang. Toksin
botulinum memblok asetilkolin yang dikeluarkan oleh sinaps pada
ujung saraf bebas motorik tapi tidak pada saraf sensorik.1
8. COX Inhibitor
Obat yang tergolong dalam COOX inhibitor adalah salisilat,
asetaminofen, dan NSAID. Obat ini bekerja dengan cara menghambat
sintesis prostalglandin dan memiliki efek analgetik, antipiretik dan
antiinflamasi yang berbeda-beda. Asetaminofen hampir tidak memiliki
efek antiinflamasi. Nyeri yang disebabkan setelah operasi orthopedi
dan obgyn merespon dengan baik dengan pemberian COX inhibitor.
Ada dua tipe COX inhibitor antara lain adalah COX-1 dapat
ditemukan di seluruh tubuh, sedangkan COX-2 dikeluarkan apabila
adanya inflamasi di dalam tubuh. Celecoxib yang selektif terhadap
COX-2

memiliki

tingkat

toksisitas

yang

rendah

dan

efek

gastrointestinal yang minimal, terutama COX-2 tidak menganggu


agregasi platelet. Asetaminofen memiliki efek samping yang sedikit,
namun efek hepatotoksik yang tinggi pada dosis tinggi. Isoniazin,
zidovudine, dan barbiturat bisa memfasilitasi keracunan asetaminofen.
Aspirin dan NSAID sering menyebabkan sakit perut, heartburn,
nausea dan dispepsia; beberapa kasus justru membentuk ulcer gaster. 1
Analgesik

Waktu paruh

Onset (j)

Dosis (mg)

Interval (j)

(j)

Dosis
maksimum (mg)

Salisilate
Asam Asetilsalisilat

2-3

0.5-1

500-1000

3600-6000

diflunisal

8-12

1-2

500-1000

8-12

1500

Choline magnesium

8-12

1-2

500-1000

12

2000-3000

1-4

0.5

500-1000

1200-4000

trisalisilat

P-Aminophenols
Asetaminophen
Asam propionat

45

Ibuprofen

1.8-2.5

0.5

400

4-6

3200

Napoxen

12-15

250-500

12

1500

Indometasin

0.5

25-50

8-12

150-200

ketorolac

4-6

0.5-1

10

4-6

40

11

100-200

12

400

Indoles

COX-2 Inhibitor

Celecoxib

Tabel 2.5. COX inhibitor dalam pain managemen1

9. Opioid
Opioid sebaiknya digunakan pada pasien yang post operatif baik
itu sesuai kebutuhan (PRN) ataupun dalam jadwal yang terfiksasi.
Secara umum opioid diberikan bersamaan dengan COX inhibitor
sehingga mendapatkan efek analgesia dan menurunkan efek samping.
Obat yang paling sering digunakan adalah kodeine, oxycodone, dan
hydrocodone. Codeine diubah oleh hati menjadi morphine. Tramadol
adalah oral opioid sintetik yang juga menghambat reuptake dari
norepinefrine dan serotnin, dimana efek analgetik yang dicapai
menyerupai kombinasi kodein ditambah asetaminofen, tapi memiliki
efek samping yang lebih banyak. 1
Opioid

Waktu

Onset (j)

paruh (j)
Codeine
Hydrocodon

3
1-3

e
Oxycodone
Tramadol

2-3
6-7

0.25-1.0
0.5-1.0

Durasi

Potensi

Dosis

Interval

(j)

inisial

(j)

3-4
3-6

(mg)
30-60
5-7.5

4
4-6

20
3

0.5
3-6
3
5-10
1-2
3-6
30
50
Tabel 2.6. Opioid dalam manajemen nyeri

6
4-6

2.5.1. Terapi Tambahan


1. Intervensi Psikologis
Teknik ini sangat efektif jika dilakukan oleh
psikolog

ataupun

psikiatris.

Terapi

ini

merupakan

kombinasi dari terapi kognitif, behavioral, biofeedback,

46

teknis relaksasi dan hipnosis. Terapi kognitif dilakukan


dengan asumsi bahwa persepsi pasien terhadap nyeri
mempengaruhi kualitas dari nyeri. Pada nantinya pasien
diajarkan kemampuan untuk beradaptasi terhadap nyeri
baik itu secara individu ataupun kelompok. Untuk terapi
behavioral maka dibutuhkan motivasi positif baik itu dari
dokter, ataupun keluarga terdekat seperti pasangan
ataupun orangtua sehingga bisa mengurangi rasa nyeri
yang diderita pasien. Sedangkan terapi relaksasi, adalah
dengan mengajarkan pasien cara untuk mengurangi atau
menghalangi response nyeri, dengan cara relaksasi dari
otot secara progresif, biofeedback ataupun hipnosis.1
2. Terapi Fisikal
Terapi fisik menggunakan suhu hangat dan dingin
terbukti dapat mengurangi nyeri terutama yang disebabkan
oleh spasme otot, sebagai tambahan suhu hangat dapat
mengurangi kekakuan otot dan meningkatkan aliran darah,
dan suhu dingin menyebabkan vasokonstriksi dan dapat
mengurangi jaringan bengkak. Sensasi hangat baik itu
melalui terapi parafin, hot pack, microwave diatermi
cocok untuk pasien dengan sensasi nyeri yang melibatkan
otot

dan

sendi

bagian

dalam,

sedangkan

terapi

menggunakan suhu dingin baik pada pasien dengan


kerusakan jaringan akut dan edema. Olahraga sebaiknya
menjadi bagian dari program rehabiliasi pada pasien
dengan nyeri kronis, karena dapat mencegah atropi otot
dan kekakuan otot. 1
3. Akupuntur
Akupuntur dapat menjadi terapi tambahan pada
beberapa pasien dengan nyeri kronis, terutama nyeri yang
berhubungan dengan muskuloskeletal dan cephalgia.
Teknik akupuntur adalah sebuah pengobatan dengan

47

menyelipkan jarum pada daerah yang anatomis disebut


meridian, sehingga menghasilkan elektrik listrik, efek
selanjutnya masih diperdebatkan oleh para peneliti, akan
tetapi ada beberapa teori mengatakan bahwa akupuntur
dapat

mengeluarkan

dikarenakan

efek

opioid

alami

akupuntur

tubuh,

dapat

hal

ini

diantagonis

menggunakan naloxon.1
4. Stimulasi Listrik
Stimulasi listrik terhadap sistem saraf pusat dapat
menyebabkan analgesia pada pasien dengan nyeri akut
ataupun kronis. Pemberian stimulasi listrik ini dapat
diberikan secara kutaneus, epidural, ataupun melalui
elektroda yang dimasukkan ke dalam sistem saraf pusat.
Stimulasi listrikTranskutaneus (TENS) menghasilkan efek
analgesia dengan cara menstimulasi serabut aferen besar.
Aliran listrik yang digunakan biasanya sekitar 10-30mA
dengan lebar gelombang 50-80 us dan diaplikasikan
dengan frekuensi 80-100Hz. Untuk stimulasi pada spinal
cord, dapat menghasilkan efek analgesia dengan cara
menstimulasi secara langsung serabut A pada kolumna
dorsalis dari korda spinal. Sedangkan pada intracerebral
stimulation,

dilakukan

pemasangan

elektroda

pada

periaqueductal dan periventricular gray area untuk


mengurangi nyeri nosiseptif, sedangkan untuk nyeri
neurogenik elektroda dipasangkan pada daerah thalamic
nuclei.1
2.5.2. Nyeri Post Operasi
Konsep

analgesi

preemptive

menunjukkan

bahwa

manajemen nyeri post operasi sebaiknya dimulai sebelum


operasi. Kontrol nyeri post operasi sebaiknya dilakukan oleh

48

anestesiologis, dikarenakan mereka memiliki teknik anestesi


regional dan pengetahuan farmakologis terhadap analgetik.1
Modalitas manajemen nyeri post operasi termasuk
pemberian obat analgetik oral, parenteral, intraspinal opioid
dan terapi tambahan seperti TENS dan terapi fisikal.1
1. Rawat Jalan
Sebagian besar pasien dengan nyeri ringan sampai
moderat setelah operasi dapat ditangani dengan pemberian
COX inhibitor dan opioid (atau kombinasinya) secara oral.
Apabila pasien tetap merasakan nyeri, sebaiknya pasien di
rawat inap. Penjelasan mengenai COX inhibitor dan
opioid

telah

dijelaskan

pada

bagian

intervensi

farmakologi.1
2. Rawat Inap
Sebagian besar pasien dengan nyeri post-operatif
sedang ke berat memerlukan analgesik parenteral atau
block neural dengan lokal anestesi pada 6 hari pertama
setelah operasi. Setelah pasien tersebut dapat melanjutkan
makan secara oral dan nyeri mulai berkurang, maka
pengobatan baru dialihkan ke pengobatan oral. Parenteral
analgetis termasuk NSAID (ketorolac), opioid, dan
ketamine.

Ketorolac

dapat

diberikan

intramuskular

ataupun IV, dimana opioid dapat diberikan subkutan,


intramuskular, intravenous, ataupun intraspinal. 1
1. Opioid
Efek analgesia dari opioid tercapai pada berbagai
level tergantung dengan intensitas dari nyeri tersebut.
Pada pasien dengan tingkat nyeri yang tinggi maka
pemberian opioid sebaiknya ditingkatkan.

Pemberian

opioid dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain :


1

(1) Injeksi Subkutan dan Intramuskular

49

Rute pemberian opioid ini jarang dilakukan karena


memberikan sensasi nyeri dan kadarnya di dalam
darah tidak dapat diukur dikarenakan tingkat
absorbsi yang tidak jelas.
(2) Intravena
Pemberian intravena menyelesaikan

masalah

absorbsi yang tidak jelas pada opioid namun


terkadang dosis yang diberikan tidak cukup.
Keseimbangan antara analgesia, sedasi dan depresi
respiratori dapat dicapai dengan pemberian secara
sering, dan dosis kecil. Jika sudah didapat
keseimbangan maka level ini dapat dipertahankan
dengan pemberian secara berkelangsungan.
(3) Patient-controlled analgesia
Bersamaan dengan berkembangnya teknologi
komputer, berkembanglah juga teknik patient
controlled analgesia (PCA). Dengan menekan
tombol pasien dapat mengatur sendiri secara tepat
dosis dari opioid. Berdasarkan pencatatan pasien
dengan PCA, Sebagian besar pasien dewasa
memerlukan dosis 2-3mg/jam dalam 1-2 hari post
op, dan 1-2mg/jam pada hari 3-4 post operasi.
2. Blok Saraf Perifer
Blok pada daerah interkostal, interpleural, plexus
brachialis, dan femoral terbukti dapat memberikan efek
analgesia post-operatif yang sangat baik.
3. Blok Neuroaxial Sentral dan Opioid Intraspinal
Pemberian anestesi-opioid lokal secara neuraxial
(epidural) adalah teknik yang baik untuk mengatasi
nyeri post operasi daerah abdominal, pelvis, thorak atau
ortopedik

terhadap

ekstremitas

bawah.

Injeksi

neuroaxial singel shot (subarachnoid atau epidural) atas


anestesi lokal, opioid atau kombinasinya terbukti

50

memberikan preemptive analgesia dan analgesia pada


saat hari operasi.
(1) Anestesi lokal
Larutan anestesi lokal sendiri dapat memberikan
analgesia yang baik namun menghasilkan blok
simpatetik

dan

motorik.

Hal

ini

dapat

menyebabkan hipotensi. Agen yang paling sering


digunakan adalah bupivakain dan ropivacaine
0.125%-0,25%.

Dosis

yang

diberikan

dapat

berkisar 5-10ml/jam
(2) Opioid
Intratekal morpine 0.2-0.4 mg dapat memberikan
analgesia yang baik selama 4-24 jam. Morphine
epidural 3-5mg kurang lebih sama efektif dan lebih
sering digunakan. Baik diberikan secara epidural
atau intrathecally, penetrasi opioid menuju korda
spinal dependen terhadap konsentrasi obat dan
waktu. Opioid terbagi menjadi dua, lipofilik dan
hidrofilik, lipo filik memerlukan dosis yang banyak
untuk memberikan efek analgetik karena kadar nya
di dalam darah sukar untuk meningkat, sedangkan
yang hidrofilik (morphine) dapat memberikan efek
analgesia dengan dosis yang cukup rendah. Contoh
lipofilik yang sering digunakan adalah fentanil
dengan dosis 3-10ug/ml.1
(3) Anestesi lokal dan campuran opioid
Walaupun intraspinal opioid sendiri

dapat

memberikan analgesia yang baik, beberapa pasien


mengalami efek samping yang dependen terhadap
dosisnya, terutama dengan opioid larut lemak.
Bupivacaine

0,125%-0,25%

dikombinasikan

dengan morphine 0.1 mg/ml atau fentanil 5ug/ml


memberikan efek analgesia yang baik dengan dosis

51

yang kecil dan efek samping yang minimal.


Penambahan dari epinefrin (2ug/ml) meningkatkan
dan memperpanjang analgesia epidural dan dapat
mengurangi absorbsi minimal dari opioid lipofilik.1

Kontraindikasi1
Kontraindikasi pemberian antara lain adalah
penolakan pasien, koagulopati, kelainan platelet, dan
adanya tumor atau infark pada tempat injeksi.
Adanya infeksi sistemik merupakan kontraindikasi
relatif kecuali terbukti bakteremia.
Efek samping Intraspinal Opioid1
Efek samping yang paling serius daru opioid
epidural atau intratekal adalah dose-dependent, dan
depresi napas yang tertunda.

Masuknya solusi

opioid kedalam cairan LCS menyebabkan penurunan


CO2 response curve, sehingga menyebabkan depresi
pernapasan

dalam

waktu

1-2

hari.

Depresi

pernapasan dapat ditatalaksana dengan pemberian


naloxine 0,4 mg dan pemberian naloxone secara iv
dan terus menerus sebaiknya dipertimbangkan
karena waktu paru dari naloxone lebih pendek dari
pada opioid. 1
Efek samping yang sering ditemukan lainya
adalah sensasi gatal, nausea, retensi urin, sedasi dan
ileus. Untuk mengatasi pruritus dapat diberikan
naloxine

0,04

mg

atau

dipenhidramine

atau

hydroxyzine juga dapat digunakan. Untuk mengatasi


nausea dan vomitus dapat diberikan metoclopramide
5-10 mg, transdermal scopolamine, droperidol

52

(0,625-1,25 mg) atau ondasetron 4-6mg. Sedangkan


untuk

retensi

urin

dapat

ditangani

dengan

pemasangan kateter. 1
Selain itu agen lain seperti butorphanol
epidural dapat memberikan efek analgesia yang
baik, dengan durasi 2-3 jam, dengan efek samping
pruritus yang lebih minimal, akan tetapi memberikan
efek sedasi yang berlebihan. Clonidine secara
epidural juga dapat memberikan efek analgetik
namun

dapat

menyebabkan

hypotensi

dan

bradikardia. 1

53

Anda mungkin juga menyukai