A. DEFINISI
Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP) tahun 1979, nyeri
didefinisikan sebagai suatu sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan. Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi
perihal nyeri, yaitu:1,2
Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan, berkaitan
dengan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with
nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut.
Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai dengan kerusakan
jaringan yang nyata (pain without nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai
nyeri kronis.
B. KLASIFIKASI
Nyeri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:3-6
1. Menurut Jenisnya
a. Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik secara
langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari
jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
3. Menurut penyebabnya
a. Nyeri kanker
Nyeri kronis maligna merupakan kombinasi dari beberapa komponen nyeri akut, intermiten
dan kronis. Nyeri kanker dapat muncul pada tempat/situs primer kanker sebagai akibat
ekspansi tumor, penekanan/kompresi saraf, atau infiltrasi oleh tumor, obstruksi maligna, atau
infeksi pada ulkus maligna. Nyeri juga dapat muncul pada tempat metastase yang jauh. Selain
itu, terapi kanker dengan tindakan bedah, kemoterapi, dan radiasi juga dapat menimbulkan
mukositis, gastroenteritis, iritasi kulit, dan nyeri lain yang berakitan.
b. Nyeri non kanker
Nyeri kronis non-kanker dapat dibedakan menjadi 2 subtipe utama yaitu nyeri neuropati dan
nyeri muskuloskeletal. Nyeri neuropati dapat bersifat idiopatik atau dapat juga muncul dari
lokasi tertentu atau umum pada jejas saraf. Awitannya dapat terjadi seketika setelah jejas atau
setelah jeda waktu tertentu. Nyeri neuropati dapat bersifat konstan dan menetap. Selain nyeri
yang terus menerus, juga dapat terjadi nyeri yang tumpang tindih, hilang-muncul
(intermitten), nyeri seperti syok, yang seringkali dicirikan dengan sensasi nyeri yang tajam,
seperti tersengat listrik/elektrik, mengejutkan, seperti disobek/robek, atau kejang Contoh
sindroma nyeri neuropati kronis adalah neuralgia pascaherpes, neuropati diabetik, neuralgia
trigeminal, nyeri pascastroke, dan nyeri phantom (yaitu rasa nyeri pada bagian tubuh yang
telah diamputasi).
Nyeri muskuloskeletal muncul dari jaringan otot, tulang, persendian atau jaringan ikat. Nyeri
ini dapat diakibatkan oleh jejas idiopatik atau iatrogenik. Sindroma nyeri muskuloskeletal
kronik yang umum adalah nyeri yang berkaitan dengan penyakit inflamasi otot misalnya
polimyositis (penyakit jaringan ikat yang ditandai dengan edema, inflamasi, dan degenerasi
otot) dan dermatitis dan juga nyeri yang berkaitan dengan penyakit persendian misalnya
arthritis.
4. Menurut derajat nyeri
a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang-timbul, terutama saat beraktivitas sehari-hari dan menjelang
tidur.
b. Nyeri sedang nyeri yang berlangsung terus-menerus, aktivitas terganggu yang hanya
hilang bila penderita tidur.
c. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus-menerus sepanjang hari, penderita tidak
dapat tidur dan sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu tidur.
5. Menurut sumber nyeri
a. Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa. Nyeri
biasanya dirasakan seperti terbakar, tajam dan terlokalisasi.
b. Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada otot
rangka, tulang, sendi, jaringan ikat.
c. Nyeri visceral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya (pleura parietalis,
perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri
parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.
C. MEKANISME NYERI
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit
yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri
disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien
dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh
yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena
letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang
berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang berasal dari
daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit
(kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu:
1. Serabut A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/detik) yang memungkinkan
timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri
dihilangkan. Serabut A-delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serabut C.
2. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5-5 m/detik) yang terdapat pada
daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.
Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan
nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis, yang secara koolektif disebut sebagai nosiseptif
(nociception). Mekanisme timbulnya nyeri terdiri dari 4 proses, antara lain:6,7
1. Transduksi
Merupakan perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada ujung-
ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien,
substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau
mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung
bebas serat-serat aferen A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan
kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf aferen A delta
dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri
dari perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor
nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.
2. Transmisi
Merupakan proses perambatan impuls nyeri melalui serabut A-delta dan C yang menyusul
proses tranduksi. Oleh serabut aferen A-delta dan C, impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu
ke medula spinalis, ke sel neuron di kornu dorsalis. Sel-sel neuron di medula spinalis kornua
dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri
akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serabut aferen A-delta dan C diteruskan langsung
ke sel-sel neuron yang berada di kornu antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang
berada di kornu anterior medula spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornu antero-lateral akan
menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonom simpatis dengan segala efek yang dapat
ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornu anterior medula spinalis akan
menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala akibatnya.
3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT) dengan input
nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta
dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medula spinalis tidak semuanya
diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Di daerah ini akan terjadi interaksi antara
impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem
inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih
dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi
yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.
4. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat kompleks,
termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan sensibel nyeri.
Gambar 4. Mekanisme nyeri6
G. PENATALAKSANAAN NYERI
Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar-besarnya
dengan kemungkinan efek samping yang paling kecil. Terdapat dua metode umum untuk
terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologis dan non farmakologis.
Pendekatan Farmakologis
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic Ladder.
Strategi ini merupakan bagian dari metode manajemen nyeri yang berpusat pada 4 prinsip,
yaitu:12
1. “By Mouth” berarti menggunakan rute oral bilamana memungkinkan, bahkan untuk opiat.
2. “By the Clock” berarti untuk nyeri yang persisten, obat diberikan berdasarkan interval obat
tersebut daripada diberikan hanya ketika dibutuhkan atau “on demand”.
3. “By the Ladder” yaitu tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk pengobatan nyeri,
antara lain:
Langkah 1:
Untuk nyeri ringan sampai sedang sebaiknya dimulai dengan obat analgesik non opioid dan
tingkatkan dosisnya. Jika dibutuhkan dapat ditingkatkan sampai dosis maksimum yang
direkomendasikan.
Dapat digunakan obat adjuvan seperti antidepresan atau antikonvulsi jika dibutuhkan.
Jika pasien dengan nyeri sedang atau berat maka dapat dlewati langkah 1.
Langkah 2:
Apabila masih tetap nyeri, maka dapat naik ke tangga atau langkah kedua, yaitu ditambahkan
obat opioid lemah, misalnya kodein.
Tambahkan atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat.
Langkah 3:
Apabila ternyata masih belum reda atau menetap, maka sebagai langkah terakhir, disarankan
untuk menggunakan opioid kuat yaitu morfin.
Tambahkan atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat.
4. “For the Individual” berarti rencana terapi harus berdasarkan tujuan pasien.
Pada dasarnya, prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri kronik
maupun nyeri akut, yaitu:12
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3.
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1.
1. Analgesik Non-Opioid
Langkah pertama yang sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai sedang
adalah menggunakan analgesik non-opioid, terutama asetaminofen (paracetamol) dan
OAINS. Keduanya memiliki efek antipiretik dan analgesik, tetapi asetaminofen tidak
memiliki efek antiinflamasi seperti OAINS. OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut
derajat ringan, penyakit meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.
OAINS mengganggu mekanisme transduksi di nosiseptor dengan menghambat sintesis
prostaglandin. OAINS berkerja menghasilkan anlgesia melalui inhibisi pembentukan
prostglandin oleh enzim siklooksigenase (COX) dari prekursor asam arakidonat.
Siklooksigenase berada di retikulum endoplasma yang bertanggung jawab membentuk
prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan dari asam arakidonat. OAINS merupakan
inhibitor enzim COX yang reversibel. Enzim COX terdiri ada dua jenis, yaitu:
COX-1
Bersifat konstitutif yang mana selalu ada dan aktif. COX-1 berkontribusi dalam fungsi
fisiologi oragan. Inhibisi pada enzim ini menyebabkan efek yang tidak diinginkan, seperti
cedera mukosa, kerusakan ginjal, perubahan hemodinamik, dan gangguan fungsi uterus.
COX-2
Bersifat induksif oleh proses inflamasi dan memproduksi prostaglandin yang sensitif terhadap
nosiseptor, menimbulkan demam, dan membantu inflamasi dengan menyebabkan vasodilatasi
dan meningkatkan permeabilitas vaskuler. Namun, pada beberapa organ, COX-2 juga bekerja
secara konstitutif (ginjal, endotel vaskuler, uterus dan SSP). Enzim ini diinduksi (up-
regulated) oleh adanya asam arakidonat dan beberapa sitokin dan dihambat oleh
glukokortikoid.14,15
Saat ini, sudah terdapat obat-obatan yang bekerja sebagai inhibitor selektif COX-2 (Coxib).
Keuntungan dari obat-obatan ini yaitu mengurangi kerusakan atau cedera pada mukosa.
Coxib yang saat ini tersedia, yaitu cecoxib (dosis harian 200-400 mg), valdecoxib (10-20 mg)
(tidak lagi tersedia di Amerika) dan prodrugnya yaitu parecoxib (40 mg iv). Kontraindikasi
dari obat ini yaitu gagal jantung kongestif, penyakit hati dan ginjal, inflammatory bowel
diseases, dan astma.15
Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid, maka obat-obatan yang tergolong opioid dibagi
menjadi:17
a. Agonis opiod, yang menyerupai morfin, yaitu yang berkerja sebagai agonis terutama pada
reseptor mu dan mungkin pada reseptor k.
b. Antagonis opioid, yaitu yang berkerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan sebagai
antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain.
c. Opioid dengan kerja campur
Agonis-antagonis opioid, yaitu yang berkerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan
sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor yang lain.
Agonis parsial.
Agonis opioid
Obat agonis adalah obat yang menginsisi efek farmakologik setelah bergabung dengan
reseptor, mempunyai efisiensi dan afinitas yang tinggi terhadap reseptor. Setelah bergabung
dengan reseptor obat ini menyebabkan efek stimulasi atau inhibisi yang menyerupai
agonisnya.
Contoh opioid agonis adalah morfin, morfin 6-glukuronida, meperidin, fentanyl, sufentanil,
alfentanil, remifentanil, kodein, hidromorfon, oksimorfon, oksikodon, hidrokodon, metadon,
propoksifen, tramadol, heroin.
Antagonis opioid
Perubahan kecil pada struktur opioid agonis dapat menjadikannya opioid antagonis pada satu
atau beberapa reseptor opioid. Perubahan yang paling umum adalah substitusi grup alkali
dengan grup metil. Obat antagonis mencegah reseptor agonis termediasi dengan memepati
reseptor agonis. Dapat juga mempunyai afinitas yang sama seperti agonis terhadap reseptor,
namun mempunyai efektifitas yang lemah.
Antagonis dapat menginhibisi efek agonis dengan inhibisi kompetitif atau inhibisi
nonkompetitif. Sebuah obat dengan afinitas yang sesuai atau kurang dari agonis namun
memiliki efek yang kurang disebut agonis parsial. Beberapa obat menghasilkan respon
dibawah batas pengukuran. Obat ini kemudian dinamakan inverse agonis atau
superantagonis. Contoh opioid antagonis pada peseptor mu adalah nalokson, naltreakson,
nalmefen, metilnaltrekson.
Agonis-antagonis reseptor opioid
Termaksud golongan ini adalah pentazosin, nalbufin, buprenorfin, nalorfin, bremasozin dan
desozin. Obat-obat ini berikatan dengan reseptor mu, menghasilkan respon yang terbatas
(agonis parsial) atau tanpa efek (antagonis kompetitif).
Obat golongan ini juga bersifat agonis pada reseptor yang lain, yaitu reseptor k dan delta.
Sifat antagonisnya dapat melemahkan sifat agonisnya. Efek samping dari obat ini menyerupai
efek samping dari opioid antagonis. Sebagai tambahan, obat ini dapat menyebabkan reaksi
disforia. Keuntungan penggunaan obat ini adalah kemampuanya untuk menghasilkan efek
analgesia dengan sedikit efek depresi pernapasan dan kurang berpotensi menyebabkan
ketergantungan.
Tramadol
Tramadol merupakan obat sintetik, yang bekerja sebagai analgetik sentral dan digunakan
secara parenteral maupun oral sebagi terapi untuk nyeri sedang sampai berat. Potensiasinya
seperti petidin tetapi untuk nyeri berat, morfin tetap lebih baik. Efek samping berupa depresi
napas dan konstipasi lebih sedikit dengan penggunaan tramadol. Dalam suatu percobaan
klinis, efek samping yang sering terjadi pada penggunaan tramadol adalah mual,
muntah, dizziness, fatigue, mulut kering, dan hipotensi postural. Metabolit utama yaitu O-
desmethyl tramadol (M1) memiliki afinitas yang lemah sebagai agonis reseptor µ dan juga
bekerja sebagai agonis pada reseptor α2. Selain itu, tramadol juga meningkatkan inhibisi
nyeri dengan menghambat re-uptake dari serotonin (5-HT) dan noradrenalin. Sehingga tidak
seperti opioid lain, tramadol hanya diinhibisi sebagian oleh antagonis opioid (naloxone).
Dosis tramadol yaitu 50-100 mg setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400 mg/hari.18
Gambar 15. Efek samping dari Tramadol18
3. Anestesi Lokal15
Anestesi lokal secara reversibel menginhibisi impuls yang dihasilkan pada saraf. Konduksi
impuls aksonal berasal dari pembentukan suatu potensial aksi. Perubahan potensial
melibatkan influks cepat dari Na+ melalui kanal protein membran yang teraktivasi (terbuka).
Anestesi lokal berfungsi untuk menghambat influks cepat dari Na+ serta menghambat inisiasi
dan perambatan dari eksitasi.
Kebanyakan anestesi lokal berada pada bagian dari bentuk ampifilik kationik. Sifat
fisikokemikal ini menyebabkan penyatuan ke dalam membran interfase antara daerah polar
dan apolar. Dapat ditemukan di membran fosfolipid dan juga di kanal protein ion. Beberapa
bukti menunjukkan bahwa blokade kanal Na+ dihasilkan dari ikatan antara anestesi lokal
terhadap kanal protein. Aktifitas anestesi lokal juga ditunjukka oleh substansi tidak bebas,
menunjukkan tempat ikatan pada daerah apolar dari kanal protein atau disekitar membran
lipid.
Anestesi lokal tidak hanya memblokade influks Na+ pada saraf sensorik tetapi juga pada
jaringan eksitasi lainnya, sehingga obat-obatan ini hanya diberi secara lokal. Depresi dari
proses eksitasi pada jantung dapat menyebabkan aritmia jantung sampai cardiac arrest.
Anestesi lokal diberikan lewat berbagai rute, termasuk infiltrasi jaringan (anestesia infiltrasi)
atau diinjeksikan didekat percabangan saraf yang membawa serabut saraf dari daerah yang
akan dianestesi (anestesia konduksi dari saraf, anestesi spinal secara segmental), atau dengan
mengaplikasikannya pada permukaan kulit atau mukosa (anestesia superfisial).
Gambar 14. Mekanisme kerja dan efek samping anestesi lokal15
4. Adjuvan atau Koanalgesik19
Adjuvan berdasarkan WHO berarti obat-obatan yang diberikan untuk menangani efek
samping dari penggunaan opioid atau untuk meningkatkan efek analgetik dari opioid.
Misalnya diberikan obat-obatan pencahar untuk mengatasi konstipasi yang merupakan salah
satu efek samping dari opioid. Obat adjuvan atau koanalgetik merupakan obat yang semula
dikembangkan untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki
sifat analgetik atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian
dari obat ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak
berespon terhadap opioid.
Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah terbukti efektif untuk
mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf. Anti kejang ini efektif
untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini menstabilkan membran sel saraf dan
menekan respon akhir di saraf.
Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah analgetik yang sangat
efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit lain yang menimbulkan nyeri.
Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia pasca herpes, invasi struktur saraf
karena karsinoma, nyeri pasca bedah, dan artritis reumatoid. Pada pengobatan untuk nyeri,
antidepresan trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik yang independen dari aktivitas
antidepresan.
Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah hidroksizin (vistaril),
yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan efek aditif apabila diberikan
bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam (valium), yang digunakan untuk mengobati
kejang otot yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya dexametason, yang telah
digunakan untuk mengendalikan gejala yang berkaitan dengan kompresi medula spinalis atau
metastasis tulang pada pasien kanker.
Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa (misalnya, agonis alfa-2,
klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan opioid atau anestetik
lokal; obat ini juga memiliki efek analgetik apabila diberikan secara sistemis karena
memulihkan respons adrenergik simpatis yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer.
Antagonis alfa-1, prazosin, juga pernah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri yang
disebabkan oleh sistem simpatis. Efek samping utama dari obat-obat ini adalah hipotensi dan
potensial depresi pernafasan yang diinduksi oleh opioid.
Pendekatan Non Farmakologis
Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak pasien dan dokter
kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri yang tidak terkait keganasan.
Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah metode nonfarmakologik untuk mengatasi
nyeri. Untuk itu, berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka ragam dapat
digolongkan sebagai berikut:19
a. Modalitas fisik
Latihan fisik, pijatan, vibrasi, stimulasi kutan (TENS), tusuk jarum, perbaikan posisi,
imobilisasi, dan mengubah pola hidup.
b. Modalitas kognitif-behavioral
Relaksasi, distraksi kognitif, mendidik pasien, dan pendekatan spiritual.
c. Modalitas invasif
Pendekatan radioterapi, pembedahan, dan tindakan blok saraf.
d. Modalitas Psikoterapi
Dilakukan secara terstruktur dan ternecana, khususnya bagi mereka yang mengalami depresi
dan berpikir ke arah bunuh diri.
Analgesia Balans
Analgesia balans merupakan suatu teknik pengelolaan nyeri yang menggunakan
pendekatan multimodal pada proses nosisepsi, dimana proses transduksi ditekan dengan
OAINS, proses transmisi dengan obat anestesi lokal, dan proses modulasi dengan opioid.
Pendekatan ini, memberikan penderita menggunakan beberapa macam obat analgetika yang
mempunyai titik tangkap kerja yang berbeda disebut balans anlgesia atau pendekatan
polifarmasi. Dapat digunakan dua atau lebih jenis obat dengan titik tangkap yang berbeda.
Dengan pendekatan ini, dosis masing-masing individu obat tersebut menjadi jauh lebih kecil,
tetapi akan menghasilkan kualitas analgesia yang lebih adekuat dengan durasi yang lebih
panjang. Dengan demikian efek samping yang dapat ditimbulkan oleh masing-masing obat
dapat dihindari.20
Analgesia Preemptif
Ketika seseorang tertimpa cedera dan yang bersangkutan menderita nyeri (berat) dan
nyeri ini tidak ditanggulangi dengan baik, dapat diikuti oleh perubahan kepekaan reseptor
nyeri dan neuron nosisepsi di medulla spinalis (kornu dorsalis) terhadap stimulus yang
masuk. Ambang rangsang organ-organ tersebut akan turun. Terjadinya plastisitas sistem
saraf. Tindakan mencegah terjadinya plastisitas sistem saraf dengan memberikan obat-obat
analgetika sebelum trauma terjadi disebut tindakan preemptif analgesia. Tindakan anestesia
merupakan salah satu contoh preemptif analgesia ini. Dengan menanggulangi penyebab,
keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pembedahan merupakan saat yang tepat untuk
melakukan teknik analgesia preemtif dimana teknik ini menjadi sangat efektif karena awitan
dari sensari nyeri diketahui.20
PCA (Patient Controlled Analgesia)
Patient Controlled Analgesia (PCA) merupakan metode yang saat ini tengah popular dan
digunakan luas terutama di USA, bila opioid analgesia parenteral harus diberikan lebih dari
24 jam. PCA ini begitu popular disana karena selain menghindarkan dari injeksi
intramuskular, onset yang dihasilkan juga cepat dan bisa dikontrol sendiri oleh pasien. Bisa
menghasilkan manajemen nyeri berkualitas tinggi. PCA memungkinkan pasien
mengendalikan nyerinya sendiri. Perawat tidak diperlukan untuk memberikan analgesia dan
pasien merasakan nyeri mereda lebih cepat. Keberhasilan PCA tergantung pada:20
Kecocokan pasien dan penyuluhan pada pasca operasi.
Pendidikan staf dalam konsep PCA serta penggunaan alat
Pemantauan yang baik terhadap pasien untuk menilai efek terapi dan efek samping.
Dana : pompa infus PCA mahal.
Terdapat perbedaan yang cukup besar pada kebutuhan akan analgesia, atas dasar itulah
PCA merupakan metode ideal bagi pasien yang membutuhkan lebih banyak ataupun lebih
sedikit daripada standar. Jika kadar plasma berada dibawah ambang analgesik, pasien dapat
mentitrasi sendiri opiod pada kadar analgesia yang mereka butuhkan (selama masih dalam
batasan terapi). Dosis bolus dan waktu stop bisa diubah sesuai dengan kebutuhan
individu. Pasien harus mendapat PCA dari jalur infus khusus atau katup satu arah pada infus
jaga (jika diberikan dengan piggyback). Ini mencegah akumulasi sejumlah besar opioid
dalam infus.20
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE. Pain Management. In: Clinical Anesthesiology. 2nd ed. Stamford: Appleton and
Lange; 1996.
2. Hamill RJ. The Assesment of Pain. In: Handbook of Critical Care Pain Management. New
York: McGraw-Hill Inc; 1994.
3. Benzon, et al. The Assesment of Pain. In: Essential of Pain Medicine and Regional
Anesthesia. 2nd ed.Philadelphia; 2005.
4. Rospond. Pemeriksaan dan Penilaian Nyeri. [Online]. Cited on 2015 March 7. Available
from:
URL: http://lyrawati.files.wordpress.com/2008/07/pemeriksan-dan-penilaian-nyeri.pdf
5. Brunner, Suddarth. Buku Ajar Medikal Bedah. Volume 1. Edisi 8. Jakarta: EGC; 2001.
6. Brenner GJ, Woolf CJ. Mechanisms of chronic pain. In: Longnecker DE, Brown DL,
Newman MF, Zapol WM.Anesthesiology. New York: McGrawl- Hill; 2008.
7. Latief SA. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II. Bag Anestesiologi dan Terapi Intensif
FK UI: Jakarta; 2001.
8. Nicholls AJ, Wilson IH. Manajemen nyeri akut. Dalam: Kedokteran Perioperatif. Farmedia:
Jakarta; 2001.
9. Avidan M. Pain Managemnet. In: Perioperative Care, Anesthesia, Pain Management and
Intensive Care.London; 2003.
10. Silaen EL. Perbandingan Propofol 2 mg/KgBB-Ketamin 0,5 mg/KgBB Intravena dan
Propofol 2 mg/KgBB-Fentanil 1 µg/KgBB Intravena dalam Hal Efek Analgetik pada
Tindakan Kuretase dengan Anestesi Total Intravena. [Online]. 2012 [cited on 2015 March
13]. Available from:
URL: http://repository.usu.ac.id/bitstream/31956/4/Chapter%20II.pdf
11. RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Buku Saku Quality and Safety. Makassar; 2012.
12. World Health Organization. WHO Ladder. [Online]. Cited on 2015 march 7. Available from:
URL: http://www.geriatricpain.org/content/management/interventions/documents/WH
Oladder.pdf
13. World Health Organization. WHO Guidelines on the Pharmacological Treatment of
Persisting Pain in Children with Medical Illness. [Online]. 2012 [cited on 2015 March 7].
Available from:
URL: http://www.who.int/publications/2012/9789241548120_Guidelines.pdf
14. Ikawati Z. Pain Management. [Online]. Cited on 2015 March 7. Available from:
URL: http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/uploads/pain-management.pdf
15. Lullmann H, Mohr K, Hein L, Bieger D. Color Atlas of Pharmacology. 3rd edition. New
york: Thieme; 2005.
16. Michael NJ. Medical Pharmacology at a glance. 4th edition. London: Blackwell Science Ltd;
2002.
17. Soenarto RF, Puspitasari R, Pryambodho. Farmakologi opioid. Dalam: Gunawan SG,
Stiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editor. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2012.
18. Schug SA. Tramadol. [Online]. 2000 October [cited on 2015 March 14]. Available from:
URL: http://www.medsafe.govt.nz/profs/puarticles/tramadol.html
19. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Cetakan 1. Jakarta:
Indeks Jakarta; 2010.
20. Hasanul A. Pengelolaan Nyeri Akut. Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara: Medan; 2002.