Anda di halaman 1dari 53

1. A.

DEFINISI

Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP) tahun 1979, nyeri
didefinisikan sebagai suatu sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan. Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal
nyeri, yaitu:1,2

 Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan, berkaitan dengan
pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with
nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut.

 Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai dengan kerusakan jaringan
yang nyata (pain without nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri kronis.

B. KLASIFIKASI

Nyeri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:3-6

1. Menurut Jenisnya

a. Nyeri nosiseptif

Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik secara langsung
maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel
imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
Gambar 1. Mekanisme nyeri nosiseptif6

b. Nyeri neurogenik

Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf perifer.
Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut
saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti
ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya sara tidak enak pada perabaan.
Nyeri neurogenik dapat menyebakan terjadinyaallodynia. Hal ini mungkin terjadi secara
mekanik atau peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian
menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri
kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian analgetik
konvensional.
Gambar 2. Mekanisme nyeri neurogenik6

c. Nyeri psikogenik

Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan
hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

Gambar 3. Mekanisme nyeri psikogenik6

2. Menurut timbulnya nyeri


a. Nyeri akut

Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera atau intervensi bedah dan memiliki awitan
yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan. Nyeri ini terkadang bisa
hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang
rusak. Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk segera
menghilangkan nyeri. Misalnya nyeri pasca bedah.

b. Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode tertentu,
berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari tiga bulan. Nyeri
ini disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau
karena gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri
kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. Klien yang mengalami nyeri kronik
akan mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan)
dan eksaserbasi (keparahan meningkat). Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon terhadap
pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama
ketidakmampunan fisik dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat
klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis. Individu yang
mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan yang tidak aman, karena ia tidak pernah tahu apa
yang akan dirasakannya dari hari ke hari. Misalnya nyeri post-herpetic, nyeri phantom atau
nyeri karena kanker.

Tabel 1. Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik


Nyeri akut Nyeri kronik
- Lamanya dalam hitungan menit - Lamannya sampai > 3 bulan
- Sensasi tajam menusuk - Sensasi terbakar, tumpul, pegal
- Dibawa oleh serat A-delta - Dibawa oleh serat C
- Ditandai peningkatan BP, nadi, dan- Fungsi fisiologi bersifat normal
respirasi
- Kausanya spesifik, dapat diidentifikasi- Kausanya mungkin jelas mungkin tidak
secara biologis - Tidak ada keluhan nyeri, depresi dan
- Respon pasien : Fokus pada nyeri, kelelahan
menangis dan mengerang, cemas
- Tingkah laku menggosok bagian yang- Tidak ada aktifitas fisik sebagai respon
nyeri terhadap nyeri
- Respon terhadap analgesik :- Respon terhadap analgesik : sering
meredakan nyeri secara efektif kurang meredakan nyeri

3. Menurut penyebabnya

a. Nyeri kanker

Nyeri kronis maligna merupakan kombinasi dari beberapa komponen nyeri akut, intermiten dan
kronis. Nyeri kanker dapat muncul pada tempat/situs primer kanker sebagai akibat ekspansi
tumor, penekanan/kompresi saraf, atau infiltrasi oleh tumor, obstruksi maligna, atau infeksi
pada ulkus maligna. Nyeri juga dapat muncul pada tempat metastase yang jauh. Selain itu,
terapi kanker dengan tindakan bedah, kemoterapi, dan radiasi juga dapat menimbulkan
mukositis, gastroenteritis, iritasi kulit, dan nyeri lain yang berakitan.

b. Nyeri non kanker

Nyeri kronis non-kanker dapat dibedakan menjadi 2 subtipe utama yaitu nyeri neuropati dan nyeri
muskuloskeletal. Nyeri neuropati dapat bersifat idiopatik atau dapat juga muncul dari lokasi
tertentu atau umum pada jejas saraf. Awitannya dapat terjadi seketika setelah jejas atau setelah
jeda waktu tertentu. Nyeri neuropati dapat bersifat konstan dan menetap. Selain nyeri yang
terus menerus, juga dapat terjadi nyeri yang tumpang tindih, hilang-muncul (intermitten), nyeri
seperti syok, yang seringkali dicirikan dengan sensasi nyeri yang tajam, seperti tersengat
listrik/elektrik, mengejutkan, seperti disobek/robek, atau kejang Contoh sindroma nyeri
neuropati kronis adalah neuralgia pascaherpes, neuropati diabetik, neuralgia trigeminal, nyeri
pascastroke, dan nyeri phantom (yaitu rasa nyeri pada bagian tubuh yang telah diamputasi).

Nyeri muskuloskeletal muncul dari jaringan otot, tulang, persendian atau jaringan ikat. Nyeri ini
dapat diakibatkan oleh jejas idiopatik atau iatrogenik. Sindroma nyeri muskuloskeletal kronik
yang umum adalah nyeri yang berkaitan dengan penyakit inflamasi otot misalnya polimyositis
(penyakit jaringan ikat yang ditandai dengan edema, inflamasi, dan degenerasi otot) dan
dermatitis dan juga nyeri yang berkaitan dengan penyakit persendian misalnya arthritis.

4. Menurut derajat nyeri

a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang-timbul, terutama saat beraktivitas sehari-hari dan menjelang
tidur.

b. Nyeri sedang nyeri yang berlangsung terus-menerus, aktivitas terganggu yang hanya
hilang bila penderita tidur.

c. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus-menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat
tidur dansering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu tidur.

5. Menurut sumber nyeri

a. Nyeri somatik luar

Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran mukosa. Nyeri biasanya
dirasakan seperti terbakar, tajam dan terlokalisasi.

b. Nyeri somatik dalam

Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan pada otot rangka,
tulang, sendi, jaringan ikat.

c. Nyeri visceral

Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya (pleura parietalis,
perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri
parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.
C. MEKANISME NYERI

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ
tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang
berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut
juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada
juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh


yaitu pada kulit(Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena
letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang
berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang berasal dari daerah
ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus)
terbagi dalam dua komponen yaitu:

1. Serabut A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/detik) yang memungkinkan
timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan. Serabut A-
delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serabut C.

2. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5-5 m/detik) yang terdapat pada
daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.

Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan
nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis, yang secara koolektif disebut sebagai nosiseptif
(nociception). Mekanisme timbulnya nyeri terdiri dari 4 proses, antara lain:6,7

1. Transduksi
Merupakan perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada ujung-ujung
saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien, substans
P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau mensensitisasi
reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat
aferen A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di
dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf aferen A delta dan C adalah serat-
serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke sentral
ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan
terbentuknya impuls nyeri.

2. Transmisi

Merupakan proses perambatan impuls nyeri melalui serabut A-delta dan C yang menyusul proses
tranduksi. Oleh serabut aferen A-delta dan C, impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke
medula spinalis, ke sel neuron di kornu dorsalis. Sel-sel neuron di medula spinalis kornua
dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri
akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh serabut aferen A-delta dan C diteruskan langsung ke
sel-sel neuron yang berada di kornu antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang
berada di kornu anterior medula spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornu antero-lateral akan
menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonom simpatis dengan segala efek yang dapat
ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornu anterior medula spinalis akan
menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala akibatnya.

3. Modulasi

Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT) dengan input nyeri
yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta dan C ke
sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medula spinalis tidak semuanya diteruskan ke
sentral lewat traktus spinotalamikus. Di daerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang
masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen.
Tergantung mana yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita
akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang lebih kuat, maka
penderita tidak akan merasakan sensibel nyeri.

4. Persepsi

Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat kompleks,
termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan sensibel nyeri.

Gambar 4. Mekanisme nyeri6

D. SISTEM INHIBISI NYERI


Tidak semua stimulus nyeri akan menghasilkan sensibel nyeri. Hal ini dapat terjadi karena
ada suatu proses modulasi di kornu dorsalis medula spinalis. Ini dimungkinkan karena ada
sistem inhibisi. Inhibisi terjadi melalui beberapa mekanisme, seperti:2

1. Stimulasi serabut aferen yang mempunyai diameter besar

Stimulasi serabut aferen ini dapat menghasilkan suatu efek berupa aktifasi interneuron inhibisi di
kornu dorsalis. Stimulasi halus berulang serabut A betha atau menggunakan alat TENS dapat
menghambat transmisi nyeri.

2. Serabut inhibisi desendens

Ada 3 lintasan dari midbrain ke kornu dorsalis medula spinalis, yaitu:

a. Lintasan I : Berawal dari nukleus raphe magnus.

b. Lintasan II : Berawal dari nukleus lokus seruleus

c. Lintasan III : Berawal dari nucleus Edinger Wesphal

Ketiga lintasan ini turun menuju dan menimbulkan hambatan fungsi respon nyeri neuron nosisepsi
di kornu dorsalis medula spinalis. Bila diaktifkan, ketiga lintasan ini akan melepaskan
serotonin, norepinefrin dan cholecystokinin.

Periaquaductal gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan ini. PAG kaya dengan
reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan, PAG akan mengaktifkan ketiga lintasan ini.
Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh endorphin yang dilepaskan secara endogen dan
opioid yang diberikan secara eksogen. Pelepasan endorphin dapat dipicu oleh nyeri dan stres.

3. Betha endorphin
Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius. Oleh liquor, zat ini dibawa ke
medula spinalis menimbulkan efek depresi konduksi nyeri di substansia gelatinosa.

4. Opioid

PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornu dorsalis medula spinalis juga kaya
dengan reseptor opioid. Opioid bekerja dengan mengaktifkan sistem inhibisi desendens atau
mengaktifkan reseptor opioid di substansia gelatinosa.

E. RESPON TUBUH TERHADAP NYERI

Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan di dalam tubuh. Impuls nyeri oleh
serabut aferen selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula spinalis,
juga akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu anterolateral dan kornu anterior medula
spinalis.1

Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin yang
sesuai dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya nyeri melalui serabut
saraf aferen diteruskan melalui sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula spinalis dan
juga diteruskan melalui sel-sel di kornu anterolateral dan kornu anterior medula spinalis
memberikan respon segmental seperti peningkatan muscle spasm (hipoventilasi dan penurunan
aktivitas), vasospasm (hipertensi), dan menginhibisi fungsi organ visera (distensi abdomen,
gangguan saluran pencernaan, hipoventilasi). Nyeri juga mempengaruhi respon
suprasegmental yang meliputi kompleks hormonal, metabolik dan imunologi yang
menimbulkan stimulasi yang noxious. Nyeri juga berespon terjadap psikologis pasien seperti
interpretasi nyeri, marah dan takut.7,8

Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornu antero-lateral akan mengaktifkan sistem
simpatis. Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh sistem simpatis akan teraktifkan. Nyeri
akut baik yang ringan sampai yang berat akan memberikan efek pada tubuh seperti:
a. Sistem respirasi

Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh reflek segmental, dan hormon
seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen tubuh dan
produksi karbondioksida mengharuskan terjadinya peningkatan ventilasi permenit sehingga
meningkatkan kerja pernafasan. Hal ini menyebabkan peningkatan kerja sistem pernafasan,
khususnya pada pasien dengan penyakit paru. Penurunan gerakan dinding thoraks menurunkan
volume tidal dan kapasitas residu fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya
atelektasis, intrapulmonary shunting, hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi hipoventilasi.

b. Sistem kardiovaskuler

Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi, hipoksia jaringan
akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa peningkatan produksi katekolamin,
angiotensin II, dan anti deuretik hormon (ADH) sehingga mempengaruhi hemodinamik tubuh
seperti hipertensi, takikardi dan peningkatan resistensi pembuluh darah secara sistemik. Pada
orang normal, cardiac output akan meningkat tetapi pada pasien dengan kelainan fungsi
jantung akan mengalami penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk
keadaanya. Karena nyeri menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen myocard, sehingga
nyeri dapat menyebabkan terjadinya iskemia myocardial.

c. Sistem gastrointestinal

Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter dan menurunkan motilitas saluran
cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung akan menyebabkan ulkus dan
bersamaan dengan penurunan motilitas usus, potensial menyebabkan pasien
mengalami pneumonia aspirasi. Mual, muntah, dan konstipasi sering terjadi. Distensi
abdomen memperberat hilangnya volume paru dan pulmonary dysfunction.

d. Sistem urogenital
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran kemih dan menurunkan
motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin.

e. Sistem metabolisme dan endokrin

Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketekolamin. Metabolisme otot jantung
meningkat sehingga kebutuhan oksigen meningkat. Respon hormonal terhadap nyeri
meningkatkan hormon-hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol dan glukagon dan
menyebabkan penurunan hormon anabolik seperti insulin dan testosteron. Peningkatan kadar
katekolamin dalam darah mempunyai pengaruh pada kerja insulin. Efektifitas insulin menurun,
menimbulkan gangguan metabolisme glukosa. Kadar gula darah meningkat. Hal ini
mendorong pelepasan glukagon. Glukagon memicu peningkatan proses
glukoneogenesis. Pasien yang mengalami nyeri akan menimbulkan keseimbangan negative
nitrogen, intoleransi karbohidrat, dan meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol
bersamaan dengan peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan hormon antidiuretik yang
menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari ruangan ekstraseluler.

f. Sistem hematologi

Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis, dan hiperkoagulopati.

g. Sistem imunitas

Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat mendepresi sistem
retikuloendotelial. Yang pada akhirnya menyebabkan pasien beresiko menjadi mudah
terinfeksi.

h. Efek psikologis

Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety), ketakutan, agitasi, dan
dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri berkepanjangan dapat menyebabkan depresi.
i. Homeostasis cairan dan elektrolit

Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon aldosterom berupa retensi
natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan dan penurunan produksi
urine. Hormon katekolamin dan kortisol menyebabkan berkurangnya kalium, magnesium dan
elektrolit lainnya.

Gambar 5. Respon tubuh terhadap nyeri9

F. PENILAIAN INTENSITAS NYERI

Terdapat beberapa metode yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri,
antara lain:1,3,10

Self reported

Self reported berarti pasien memiliki kemampuan verbal dan dapat melaporkan sendiri
rasa sakitnya. Beberapa metode yang digunakan antara lain:
1. Verbal Rating Scale (VRSs)

Metode ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang dirasakan. Pasien
disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang
dirasakan dari word list yang ada. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas
nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa
kategori nyeri yaitu:

 Tidak nyeri (none)

 Nyeri ringan (mild)

 Nyeri sedang (moderate)

 Nyeri berat (severe)

 Nyeri sangat berat (very severe)

2. Numerical Rating Scale (NRSs)

Metode ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari intensitas nyeri.
Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari angka 0-
10. ”0” menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan ”10” menggambarkan nyeri yang hebat.
Gambar 6. Numeric pain intensity scale3

3. Visual Analogue Scale (VASs)

Metode ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metode ini menggunakan
garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat
hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang
dirasakan. Keuntungan menggunakan metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan
intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai
kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun
dan mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.

Gambar 7. Visual analog scale3

4. McGill Pain Questionnare (MPQ)

Metode ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejala nyeri yang dirasakan.
Metode ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik, afektif dan kognitif.
Intensitas nyeri digambarkan dengan merangking dari ”0” sampai ”3”.
Non-self reported

Non-self reported biasanya digunakan untuk pasien yang mengalami limitasi verbal baik
karena usia, kognitif, maupun karena berada dibawah pengaruh obat sedasi dan di dalam mesin
ventilator.3,10,11

1. Wong-Baker Faces Pain Scale

Metode ini digunakan dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai
intensitas nyeri pada anak-anak dengan kesulitan atau keterbatasan verbal.

Gambar 8. Wong Baker Pain Scale3

2. Skala FLACC

Skala ini merupakan skala perilaku yang telah dicoba pada anak usia 3-7 tahun. Setiap kategori
(Faces, Legs,Activity, Cry, dan Consolability) diberi nilai 0-2 dan dijumlahkan untuk
mendapatkan total 0-10.

Tabel 2. FLACC Pain Scale11


SKORING
KATEGORI
0 1 2
Face Tidak ada Kadang meringis atau Sering cemberut
(Wajah) ekspresi mengerutkan kening, konstan, rahang
tertentu atau menarik diri, tidak terkatup, dagu bergetar,
senyum, tertarik, wajah terlihat kerutan yang dalam di
kontak mata cemas, alis diturunkan, dahi, mata tertutup,
dan bunga di mata sebagian tertutup, mulut terbuka, garis
lingkungan pipi terangkat, mulut yang dalam di sekitar
mengerucut hidung/bibir
Leg (Kaki) Posisi normal Tidak nyaman, gelisah, Menendang atau kaki
atau santai tegang, tonus disusun, hipertonisitas
meningkat, kaku, fleksi/ekstensi anggota
fleksi/ekstensi anggota badan secara
badan intermiten berlebihan, tremor

Activity Berbaring Menggeliat, menggeser Melengkung, kaku,


(Aktivitas) dengan tenang, maju mundur, tegang, atau menyentak, posisi
posisi normal, ragu-ragu untuk tetap, goyang, gerakan
bergerak bergerak, menjaga, kepala dari sisi ke sisi,
dengan mudah tekanan pada bagian menggosok bagian
dan bebas tubuh tubuh
Cry Tidak ada Erangan atau rengekan, Terus-menerus
(Menangis) teriakan / sesekali menangis, menangis, menjerit,
erangan mendesah, sesekali isak tangis, mengerang,
(terjaga atau mengeluh menggeram, sering
tertidur) mengeluh
Consolability Tenang, santai, Perlu keyakinan dengan Sulit untuk dibujuk
tidak sesekali menyentuh, atau dibuat nyaman
memerlukan memeluk, atau
hiburan ‘berbicara’. Perhatian
mudah beralih

3. Behavioral Pain Scale

Penggunaan indikator tingkah laku dan fisiologis untuk menilai nyeri pada pasien dewasa yang
tidak responsif, tidak komunikatif telah dikemukakan oleh Payen pada tahun 2001. Payen
membandingkan prospektif 30 pasien yang berada dalam mekanikal ventilator yang mendapat
sedasi dan analgesi. BPS digunakan untuk menilai rasa nyeri yang dialami pasien pada
prosedur yang menyakitkan seperti tracheal suctioning ataupun mobilisasi tubuh. Skala ini
sudah divalidasi. BPS terbagi menjadi 2 jenis, yaitu BPS dengan ventilator dan BPS tanpa
ventilator. Setiap subskala diskoring dari 1 (tidak ada respon) hingga 4 (respon penuh). Karena
itu skor berkisar dari 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri maksimal). Skor BPS sama dengan 6 atau
lebih dipertimbangkan sebagai nyeri yang tidak dapat diterima (unacceptable pain).

Tabel 3. Behavioral pain score (BPS) dengan ventilator11


KATEGORI PENILAIAN SKOR
Ekspresi wajah Tenang/relaks 1
Sebagian diperketat (misalnya penurunan alis) 2
Sepenuhnya diperketat (misalnya penutupan 3
kelopak mata)
Meringis 4
Anggota badan Tidak ada pergerakkan 1
sebelah atas Sebagian ditekuk 2
Sepenuhnya ditekuk dengan fleksi jari-jari 3
Retraksi permanen 4
Kepatuhan Pergerakkan yang dapat ditoleransi 1
dengan ventilasi Batuk dengan pergerakkan 2
Melawan ventilator 3
Tidak dapat mengontrol ventilasi 4

Tabel 4. Behavioral pain score (BPS) tanpa ventilator11


KATEGORI PENILAIAN SKOR
Ekspresi wajahTenang/relaks 1
Sebagian diperketat (misalnya penurunan alis) 2
Sepenuhnya diperketat (misalnya penutupan 3
kelopak mata)
Meringis 4
Anggota badan Tidak ada pergerakkan 1
sebelah atas Sebagian ditekuk 2
Sepenuhnya ditekuk dengan fleksi jari-jari 3
Retraksi permanen 4
Vokalisasi Kurangnya vokalisasi 1
Mendengus kecil, sering, dan tidak 2
memperpanjang
Mendengus sering atau memperpanjang 3
Berteriak atau keluhan lisan 4

4. Colorado Behavioral Numerical Pain Scale (CBNPS)

CBNPS dikembangkan dari skala BPS oleh Salmore tahun 2002 untuk menilai nyeri pada pasien
yang tersedasi yang menjalani pemeriksaan saluran cerna, baik endoskopi maupun
kolonoskopi. Rasa nyeri pasien dinilai dengan skala yang lebih mudah, tanpa harus
menggunakan ekspresi verbal. Skala CBNPS dibentuk berdasarkan keadaan yang dinilai sesuai
dengan penilaian nyeri oleh Agency of Health Care (USA) tahun 1992. CBNPS menilai
tingkah laku yang dideskripsikan dengan skala 0-5, yang berkorelasi dengan peningkatan nyeri.
Pada penelitian, Salmore juga dikemukakan persamaan skor dalam numerik, dengan nilai 0
tidak ada nyeri hingga 5 yaitu nyeri hebat.

Tabel 5. Colorado Behavioral Numerical Pain Scale11

5. Neonatal Infant Pain Scale (NIPS)

Skala ini digunakan untuk menilai nyeri pada bayi usia kurang dari 12 bulan.
Tabel 6. Neonatal Infant Pain Scale11
PENGKAJIAN NYERI
Ekspresi Wajah
0 – Otot-otot relaks Wajah tenang, ekspresi netral
1 – Meringis Otot wajah tegang, alis berkerut, dagu dan rahang tegang
(ekspresi wajah (-) – hidung, mulut dan alis)
Menangis
0 – Tidak menangis Tenang, tidak menangis
1 – Mengerang Merengek ringan, kadang-kadang
2 – Menangis keras Berteriak kencang, menaik, melengking, terus-menerus
(catatan: menangis lirih mungkin dinilai jika bayi
diintubasi yang dibuktikan melalui gerakan mulut dan
wajah yang jelas)
Pola Pernafasan
0 – Bernafas relaks Pola bernafas bayi yang normal
1 – Perubahan pola Tidak teratur, lebih cepat dari biasanya, tersedak, nafas
pernafasan tertahan
Lengan
0 – Relaks/terikat Tidak ada kekakuan otot, gerakan tangan acak sekali-
sekali
1 – Fleksi/ekstensi Tegang, lengan lurus, kaku, dan/atau ekstensi cepat
Ekstensi, fleksi
Kaki
0 – Relaks/terikat Tidak ada kekakuan otot, gerakan kaki acak sekali-sekali
1 – Fleksi/ekstensi Tegang, kaki lurus, kaku, dan/atau ekstensi cepat
Ekstensi, fleksi
Keadaan kesadaran
0 – Tidur/terjaga Tenang, tidur damai atau gerakan kaki acak yang terjaga
1 – Rewel Tejaga, gelisah, dan meronta-ronta

G. PENATALAKSANAAN NYERI

Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar-besarnya


dengan kemungkinan efek samping yang paling kecil. Terdapat dua metode umum untuk terapi
nyeri yaitu pendekatan farmakologis dan non farmakologis.
Pendekatan Farmakologis

Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic Ladder.
Strategi ini merupakan bagian dari metode manajemen nyeri yang berpusat pada 4 prinsip,
yaitu:12

1. “By Mouth” berarti menggunakan rute oral bilamana memungkinkan, bahkan untuk opiat.

2. “By the Clock” berarti untuk nyeri yang persisten, obat diberikan berdasarkan interval obat
tersebut daripada diberikan hanya ketika dibutuhkan atau “on demand”.

3. “By the Ladder” yaitu tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk pengobatan nyeri,
antara lain:

Langkah 1:

 Untuk nyeri ringan sampai sedang sebaiknya dimulai dengan obat analgesik non opioid dan
tingkatkan dosisnya. Jika dibutuhkan dapat ditingkatkan sampai dosis maksimum yang
direkomendasikan.

 Dapat digunakan obat adjuvan seperti antidepresan atau antikonvulsi jika dibutuhkan.

 Jika pasien dengan nyeri sedang atau berat maka dapat dlewati langkah 1.

Langkah 2:

 Apabila masih tetap nyeri, maka dapat naik ke tangga atau langkah kedua, yaitu ditambahkan
obat opioid lemah, misalnya kodein.

 Tambahkan atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat.

Langkah 3:
 Apabila ternyata masih belum reda atau menetap, maka sebagai langkah terakhir, disarankan
untuk menggunakan opioid kuat yaitu morfin.

 Tambahkan atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat.

4. “For the Individual” berarti rencana terapi harus berdasarkan tujuan pasien.

Pada dasarnya, prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri kronik
maupun nyeri akut, yaitu:12

1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3.

2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1.

Gambar 9. Three Step Analgesic Ladder WHO12

Namun, berdasarkan guidlines WHO tahun 2012, WHO Three Step Analgesic Ladder for
Cancer Pain Relieftidak lagi digunakan untuk manajemen nyeri pada anak. Untuk manajemen
nyeri pada anak telah digunakan strategi “two-step approach”. Pada strategi ini, digunakan
opioid kuat dengan dosis rendah untuk nyeri sedang. Hal ini berbeda dengan strategi
sebelumnya yang merekomendasikan penggunaan kodein atau tramadol (opioid lemah) untuk
terapi nyeri sedang. Strategi “two-step approach” ini terdiri dari:13
 Langkah 1: untuk nyeri ringan

Parasetamol dan ibupeofen sebaiknya dipertimbangkan sebagai pilihan pertama pada anak lebih
dari 3 bulan dan yang dapat mengkonsumsi obat secara oral. Parasetamol merupakan satu-
satunya pilihan untuk anak dibawah 3 bulan.

 Langkah 2: untuk nyeri sedang sampai berat

Penggunaan opioid kuat dengan dosis rendah sebaiknya dipertimbangkan pada anak dengan nyeri
sedang sampai berat. Morfin merupakan obat pilihan pada langkah ini.

Tatalaksana nyeri juga dapat diberikan secara terpadu, yaitu memberikan obat-obatan yang
bekerja sesuai dengan proses terjadinya nyeri. Dimana pada proses trasduksi dapat diberikan
OAINS atau obat anti-inflamasi non-steroid maupun anestesi lokal. Proses transmisi dapat
diberikan anestesi lokal. Proses modulasi dapat diberikan anestesi lokal, opioid, maupun alfa-
2 agonis. Sedangkan untuk proses persepsi dapat diberikan opioid, alfa-2 agonis maupun obat
yang bekerja pada respetor NMDA atau N-metil-D-aspartat (misalnya ketamin) yang
menghasilkan efek anestesi disosiatif.14
Gambar 10. Mekanisme kerja obat analgesik14

1. Analgesik Non-Opioid

Langkah pertama yang sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai sedang adalah
menggunakan analgesik non-opioid, terutama asetaminofen (paracetamol) dan OAINS.
Keduanya memiliki efek antipiretik dan analgesik, tetapi asetaminofen tidak memiliki efek
antiinflamasi seperti OAINS. OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan,
penyakit meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.

OAINS mengganggu mekanisme transduksi di nosiseptor dengan menghambat sintesis


prostaglandin. OAINS berkerja menghasilkan anlgesia melalui inhibisi pembentukan
prostglandin oleh enzim siklooksigenase (COX) dari prekursor asam arakidonat.
Siklooksigenase berada di retikulum endoplasma yang bertanggung jawab membentuk
prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan dari asam arakidonat. OAINS merupakan inhibitor
enzim COX yang reversibel. Enzim COX terdiri ada dua jenis, yaitu:
 COX-1

Bersifat konstitutif yang mana selalu ada dan aktif. COX-1 berkontribusi dalam fungsi fisiologi
oragan. Inhibisi pada enzim ini menyebabkan efek yang tidak diinginkan, seperti cedera
mukosa, kerusakan ginjal, perubahan hemodinamik, dan gangguan fungsi uterus.

 COX-2

Bersifat induksif oleh proses inflamasi dan memproduksi prostaglandin yang sensitif terhadap
nosiseptor, menimbulkan demam, dan membantu inflamasi dengan menyebabkan vasodilatasi
dan meningkatkan permeabilitas vaskuler. Namun, pada beberapa organ, COX-2 juga bekerja
secara konstitutif (ginjal, endotel vaskuler, uterus dan SSP). Enzim ini diinduksi (up-regulated)
oleh adanya asam arakidonat dan beberapa sitokin dan dihambat oleh glukokortikoid.14,15

Saat ini, sudah terdapat obat-obatan yang bekerja sebagai inhibitor selektif COX-2 (Coxib).
Keuntungan dari obat-obatan ini yaitu mengurangi kerusakan atau cedera pada mukosa. Coxib
yang saat ini tersedia, yaitucecoxib (dosis harian 200-400 mg), valdecoxib (10-20 mg) (tidak
lagi tersedia di Amerika) dan prodrugnya yaituparecoxib (40 mg iv). Kontraindikasi dari obat
ini yaitu gagal jantung kongestif, penyakit hati dan ginjal,inflammatory bowel diseases, dan
astma.15
Gambar 11. Mekanisme kerja OAINS16
Gambar 11. Konsep tentang COX-1 dan COX-214

Kontraindikasi dari OAINS, antara lain:

 Riwayat tukak peptik

 Riwayat eksaserbasi asma dengan AINS

 Insufisiensi ginjal atau oliguria

 Hiperkalemia

 Transplantasi ginjal

 Antikoagulasi atau koagulopati lain

 Disfungsi hati berat

 Dehidrasi atau hipovolemia

 Terapi dengan frusemide


Gambar 12. Efek samping dari OAINS15

Tabel 7. Beberapa contoh obat analgesik non-opioid


NAMA DOSIS SEDIAAN
OBAT
Paracetamol Tablet  Dewasa : 3-4 x 500 mg sehari, Anak 6- Tablet 500 mg,
12 th : 3-4 x sehari 250-500 mg sirup 120mg/5ml
Sirup  Anak 0-1th: 2,5ml; 1-2th: 5ml; 2-6th: 5-
10ml; 6-9th: 10-15ml; 9-12th: 15-20ml.
Ibuprofen Dewasa & >12 tahun: 3-4x200mg tab Tablet 400mg &
Anak2 6-12 tahun : 3-4x100mg tab 200mg
Sirup 100mg/5ml
Asam Dewasa & anak2 > 14 tahun  Dosis awal: Kaplet 500mg,
Mefenamat 500mg selanjutnya 250 mg tiap 6 jam sesuai Kapsul 250mg,
kebutuhan Sirup 50mg/5ml
Ketorolac Dewasa: 10mg diikuti dgn pe↑ dosis 10-30mg IV: 10 atau
setiap 4-6 jam bila diperlukan (Dosis max 30mg/ml
90mg/ml).

2. Analgesik Opioid

Opiat adalah alkaloid alami yang diambil dari ekstrak bunga poppy (Papaver somniverum), seperrti
morfin, papaverin, heroin dan kodein. Opioid adalah obat-obatan yang memiliki sifat seperti
opiat. Jenisnya lebih banyak dan beragam, juga potensi analgesianya. Baku emas untuk potensi
analgesia adalah morfin. Semua opioid akan dibandingkan dengan morfin untuk menyatakan
kekuatan analgesianya.17

Gambar 13. Mekanisme kerja opioid14

Gambar A menunjukkan jalur nosiseptif yang akan teraktivasi ketika impuls nyeri pada traktus
spinotalamikus mencapai batang otak dan talamus. Dimana Periaquaductal Gray
Matter (PAG) dan nukleus raphe magnus akan mengeluarkan endorfin dan enkefalin untuk
menginhibisi transmisi nyeri di medulla spinalis. Gambar B menunjukkan bahwa sebanyak
70% reseptor endorfin dan enkefalin berada di nosiseptor membran presinaptik sehingga
banyak sinyal nyeri yang berhenti sebelum mencapai kornu dorsalis medulla spinalis. Sinyal
ini lebih lanjut akan dilemahkan oleh aktifitas dinorfin di medulla spinalis. Sedangkan
gambar C menunjukkan bahwa aktivasi dari dinorfin pada reseptor alfa di interneuron
inhibitor dapat menyebabkan pelepasan GABA (gamma amino butirat acid), sehingga akan
terjadi hiperpolarisasi dari sel kornu dorsalis dan selanjutnya akan menginhibisi transmisi
dari sinyal nyeri. Berdasarkan mekanisme inilah sehingga dibuat obat opioid yang mirip
kerjanya dengan opioid endogen (endorfin, enkefalin, dinorfin, dan lain-lain).14
Gambar 14. Efek samping dari opioid15

Klasifikasi reseptor opioid17

Reseptor opioid diklasifikasikan sebagai reseptor mu (µ), delta dan kappa (k), berdasarkan
prpototipe agonisnya, yaitu:

a. Reseptor µ (agonis morfin)

Reseptor mu (µ) yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap morfin. Reseptor mu (µ)
terdistribusi secara luas pada otak dan medulla spinalis termaksud lamina 1 dan 2 serta kornu
dorsalis medulla spinalis, striatum, traktus optikus dan lokus coeruleus, pada batang otak dan
medial thalamus. Reseptor ini bertangguing jawab atas analgesia supra spinal dan spinal.
Subtipenya yaitu: mu (µ) 1 dan mu (µ) 2. Aktifasi reseptor mu (µ) 1 diperkirakan yang
memerantarai analgesia, euphoria dan rasa tenang, reseptor mu (µ) 2 menyebabkan
hipoventilasi, bradikardia, pruritus, pelepasan prolaktin dan ketergantungan fisis. Rerseptor-
reseptor ini disebut juga OP 3 atau MOR (Morphine Opioid Receptor).

Morfin, meperidin, fentanyl, subfentanil, alfentanil adalah termaksud dalam agonis mu (µ)
eksogen. Nalokson merupakan antagonis reseptor mu (µ) yang spesifik melekat pada reseptor
tetapi tidak mengaktivasi reseptor tersebut.

b. Reseptor k (agonis ketocyclazocine)


Reseptor k ditemukan pada sistem limbik dan area di ensefalik lainya, batang otak dan medulla
spinalis. Reseptor ini bertanggung jawab sebagai mediator efek
dari preprodinorphyn dan prepronkephalin terhadap analgesia spinal, sedasi, dyspnea,
ketergantungan, disforia dan depresi napas. Berlokasi pada pasca sinap, mereka juga dikenal
sebagai OP 2 atau KOR (Kappa Opioid Receptors).

c. Reseptor delta (agonis delta-alanin-leusin-enkefalin)

Reseptor delta berlokasi di pasca sinap pada neuron feedback pallidostriatal. Reseptor ini
memodulasi nosisepsi prasinap pada periaquaductal grey matter. Reseptor ini juga berlokasi
pada lapisan luar pleksiform dari bulbus olfaktorius, nukcleus accumbens, beberapa lapis dari
korteks cerebri dan beberapa nukleus dari amigdala. Kemungkinan bertanggung jawab
terhadap sikomimetik dan efek disfori. Disebut juga OP 1 dan DOR (Delta Opioid receptors).

Aktifasi reseptor delta menghasilkan efek analgesia, meskipun lebih lemah dapi pada efek yang
ditimbulkan pada reseptor mu. Banyak agonis delta (meski tidak semua) dapat menimbulkan
kejang pada dosis yang tinggi. Kedua agonis delta golongan peptida dan agonis delta non-
peptida menstimulasi fungsi respirasi dan memblokade efek depresi pernapasan dari agonis
reseptor mu tanpa mempengaruhi efek analgesianya. Dapat disimpulkan opioid agonis delta
pada dosis yang sangat tinggi dapat menghasilkan depresi pernapasan, sedangakan pada dosis
rendah dapat menghasilkan efek yang sebaliknya. Penggunaan secara bersamaan agonis delta
dengan agonis mu membuat pemakaian agonis mu lebih aman.

d. Reseptor sigma (agonis N-allylnormetazocine)

Reseptor sigma adalah reseptor tambahan yang berperan pada aksi antitusif beberapa obat opioid.
Contoh opioid yang berkerja pada reseptor ini adalah allylnormetazocine. Reseptor ini berbeda
struktur dan fungsinya dibandingkan dengan reseptor opiod lainya dan tidak diaktifkan oleh
peptida opioid endogen.

Tabel 8. Klasifikasi reseptor opioid17


Reseptor Analgesia Respirasi Gastrointestinal Endokrin Lain-lain
µ Perifer Memperlambat Gatal, rigiditas
pengosongan otot rangka,
lambung, antidiare retensi urin
µ2 Supraspinal Pelepasan prolaktin Efek
kardiovaskular
µ3 Spinal Depresi Memperlambat
pengosongan
lambung
K Perifer Menurunkan Sedasi
pelepasan
ADH
K1 Spinal
K2 ?
K3 Supraspinal
Delta Perifer Depresi Memperlambat Melepas Retensi urin
pengosongan hormon
lambung pertumbuhan
Delta1 Spinal Antidiare Perubahan
dopamin
Delta2 Supraspinal Supra-
spinal
Jenis tak Miosis,
diketahui mual,muntah

Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid, maka obat-obatan yang tergolong opioid dibagi
menjadi:17

a. Agonis opiod, yang menyerupai morfin, yaitu yang berkerja sebagai agonis terutama pada
reseptor mu dan mungkin pada reseptor k.

b. Antagonis opioid, yaitu yang berkerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan sebagai
antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain.

c. Opioid dengan kerja campur


 Agonis-antagonis opioid, yaitu yang berkerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan
sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor yang lain.

 Agonis parsial.

Agonis opioid

Obat agonis adalah obat yang menginsisi efek farmakologik setelah bergabung dengan reseptor,
mempunyai efisiensi dan afinitas yang tinggi terhadap reseptor. Setelah bergabung dengan
reseptor obat ini menyebabkan efek stimulasi atau inhibisi yang menyerupai agonisnya.

Contoh opioid agonis adalah morfin, morfin 6-glukuronida, meperidin, fentanyl, sufentanil,
alfentanil, remifentanil, kodein, hidromorfon, oksimorfon, oksikodon, hidrokodon, metadon,
propoksifen, tramadol, heroin.

Antagonis opioid

Perubahan kecil pada struktur opioid agonis dapat menjadikannya opioid antagonis pada satu atau
beberapa reseptor opioid. Perubahan yang paling umum adalah substitusi grup alkali dengan
grup metil. Obat antagonis mencegah reseptor agonis termediasi dengan memepati reseptor
agonis. Dapat juga mempunyai afinitas yang sama seperti agonis terhadap reseptor, namun
mempunyai efektifitas yang lemah.

Antagonis dapat menginhibisi efek agonis dengan inhibisi kompetitif atau inhibisi nonkompetitif.
Sebuah obat dengan afinitas yang sesuai atau kurang dari agonis namun memiliki efek yang
kurang disebut agonis parsial. Beberapa obat menghasilkan respon dibawah batas pengukuran.
Obat ini kemudian dinamakan inverse agonis atau superantagonis. Contoh opioid antagonis
pada peseptor mu adalah nalokson, naltreakson, nalmefen, metilnaltrekson.

Agonis-antagonis reseptor opioid


Termaksud golongan ini adalah pentazosin, nalbufin, buprenorfin, nalorfin, bremasozin dan
desozin. Obat-obat ini berikatan dengan reseptor mu, menghasilkan respon yang terbatas
(agonis parsial) atau tanpa efek (antagonis kompetitif).

Obat golongan ini juga bersifat agonis pada reseptor yang lain, yaitu reseptor k dan delta. Sifat
antagonisnya dapat melemahkan sifat agonisnya. Efek samping dari obat ini menyerupai efek
samping dari opioid antagonis. Sebagai tambahan, obat ini dapat menyebabkan reaksi disforia.
Keuntungan penggunaan obat ini adalah kemampuanya untuk menghasilkan efek analgesia
dengan sedikit efek depresi pernapasan dan kurang berpotensi menyebabkan ketergantungan.

Tramadol
Tramadol merupakan obat sintetik, yang bekerja sebagai analgetik sentral dan digunakan secara
parenteral maupun oral sebagi terapi untuk nyeri sedang sampai berat. Potensiasinya seperti
petidin tetapi untuk nyeri berat, morfin tetap lebih baik. Efek samping berupa depresi napas
dan konstipasi lebih sedikit dengan penggunaan tramadol. Dalam suatu percobaan klinis, efek
samping yang sering terjadi pada penggunaan tramadol adalah mual,
muntah, dizziness, fatigue, mulut kering, dan hipotensi postural. Metabolit utama yaituO-
desmethyl tramadol (M1) memiliki afinitas yang lemah sebagai agonis reseptor µ dan juga
bekerja sebagai agonis pada reseptor α2. Selain itu, tramadol juga meningkatkan inhibisi nyeri
dengan menghambat re-uptakedari serotonin (5-HT) dan noradrenalin. Sehingga tidak seperti
opioid lain, tramadol hanya diinhibisi sebagian oleh antagonis opioid (naloxone). Dosis
tramadol yaitu 50-100 mg setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal 400 mg/hari.18
Gambar 15. Efek samping dari Tramadol18
3. Anestesi Lokal15
Anestesi lokal secara reversibel menginhibisi impuls yang dihasilkan pada saraf. Konduksi impuls
aksonal berasal dari pembentukan suatu potensial aksi. Perubahan potensial melibatkan influks
cepat dari Na+ melalui kanal protein membran yang teraktivasi (terbuka). Anestesi lokal
berfungsi untuk menghambat influks cepat dari Na+ serta menghambat inisiasi dan perambatan
dari eksitasi.
Kebanyakan anestesi lokal berada pada bagian dari bentuk ampifilik kationik. Sifat fisikokemikal
ini menyebabkan penyatuan ke dalam membran interfase antara daerah polar dan apolar. Dapat
ditemukan di membran fosfolipid dan juga di kanal protein ion. Beberapa bukti menunjukkan
bahwa blokade kanal Na+dihasilkan dari ikatan antara anestesi lokal terhadap kanal protein.
Aktifitas anestesi lokal juga ditunjukka oleh substansi tidak bebas, menunjukkan tempat ikatan
pada daerah apolar dari kanal protein atau disekitar membran lipid.
Anestesi lokal tidak hanya memblokade influks Na+ pada saraf sensorik tetapi juga pada jaringan
eksitasi lainnya, sehingga obat-obatan ini hanya diberi secara lokal. Depresi dari proses eksitasi
pada jantung dapat menyebabkan aritmia jantung sampai cardiac arrest.
Anestesi lokal diberikan lewat berbagai rute, termasuk infiltrasi jaringan (anestesia infiltrasi) atau
diinjeksikan didekat percabangan saraf yang membawa serabut saraf dari daerah yang akan
dianestesi (anestesia konduksi dari saraf, anestesi spinal secara segmental), atau dengan
mengaplikasikannya pada permukaan kulit atau mukosa (anestesia superfisial).

Gambar 14. Mekanisme kerja dan efek samping anestesi lokal15


4. Adjuvan atau Koanalgesik19
Adjuvan berdasarkan WHO berarti obat-obatan yang diberikan untuk menangani efek samping
dari penggunaan opioid atau untuk meningkatkan efek analgetik dari opioid. Misalnya
diberikan obat-obatan pencahar untuk mengatasi konstipasi yang merupakan salah satu efek
samping dari opioid. Obat adjuvan atau koanalgetik merupakan obat yang semula
dikembangkan untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki
sifat analgetik atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian
dari obat ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak
berespon terhadap opioid.
Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah terbukti efektif untuk mengatasi
nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf. Anti kejang ini efektif untuk nyeri
neuropatik karena obat golongan ini menstabilkan membran sel saraf dan menekan respon
akhir di saraf.
Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah analgetik yang sangat efektif
untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit lain yang menimbulkan nyeri. Aplikasi-aplikasi
spesifik adalah terapi untuk neuralgia pasca herpes, invasi struktur saraf karena karsinoma,
nyeri pasca bedah, dan artritis reumatoid. Pada pengobatan untuk nyeri, antidepresan trisiklik
tampaknya memiliki efek analgetik yang independen dari aktivitas antidepresan.
Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah hidroksizin (vistaril), yang
memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan efek aditif apabila diberikan bersama
morfin; pelemas otot misalnya diazepam (valium), yang digunakan untuk mengobati kejang
otot yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya dexametason, yang telah digunakan
untuk mengendalikan gejala yang berkaitan dengan kompresi medula spinalis atau metastasis
tulang pada pasien kanker.
Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa (misalnya, agonis alfa-2,
klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan opioid atau anestetik lokal;
obat ini juga memiliki efek analgetik apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan
respons adrenergik simpatis yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer. Antagonis alfa-1,
prazosin, juga pernah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri yang disebabkan oleh sistem
simpatis. Efek samping utama dari obat-obat ini adalah hipotensi dan potensial depresi
pernafasan yang diinduksi oleh opioid.
Pendekatan Non Farmakologis
Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak pasien dan dokter
kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri yang tidak terkait keganasan.
Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah metode nonfarmakologik untuk mengatasi
nyeri. Untuk itu, berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka ragam dapat digolongkan
sebagai berikut:19
a. Modalitas fisik
Latihan fisik, pijatan, vibrasi, stimulasi kutan (TENS), tusuk jarum, perbaikan posisi, imobilisasi,
dan mengubah pola hidup.
b. Modalitas kognitif-behavioral
Relaksasi, distraksi kognitif, mendidik pasien, dan pendekatan spiritual.
c. Modalitas invasif
Pendekatan radioterapi, pembedahan, dan tindakan blok saraf.
d. Modalitas Psikoterapi
Dilakukan secara terstruktur dan ternecana, khususnya bagi mereka yang mengalami depresi dan
berpikir ke arah bunuh diri.
Analgesia Balans
Analgesia balans merupakan suatu teknik pengelolaan nyeri yang menggunakan
pendekatan multimodal pada proses nosisepsi, dimana proses transduksi ditekan dengan
OAINS, proses transmisi dengan obat anestesi lokal, dan proses modulasi dengan opioid.
Pendekatan ini, memberikan penderita menggunakan beberapa macam obat analgetika yang
mempunyai titik tangkap kerja yang berbeda disebut balans anlgesia atau pendekatan
polifarmasi. Dapat digunakan dua atau lebih jenis obat dengan titik tangkap yang berbeda.
Dengan pendekatan ini, dosis masing-masing individu obat tersebut menjadi jauh lebih kecil,
tetapi akan menghasilkan kualitas analgesia yang lebih adekuat dengan durasi yang lebih
panjang. Dengan demikian efek samping yang dapat ditimbulkan oleh masing-masing obat
dapat dihindari.20
Analgesia Preemptif
Ketika seseorang tertimpa cedera dan yang bersangkutan menderita nyeri (berat) dan
nyeri ini tidak ditanggulangi dengan baik, dapat diikuti oleh perubahan kepekaan reseptor nyeri
dan neuron nosisepsi di medulla spinalis (kornu dorsalis) terhadap stimulus yang
masuk. Ambang rangsang organ-organ tersebut akan turun. Terjadinya plastisitas sistem saraf.
Tindakan mencegah terjadinya plastisitas sistem saraf dengan memberikan obat-obat
analgetika sebelum trauma terjadi disebut tindakan preemptif analgesia. Tindakan anestesia
merupakan salah satu contoh preemptif analgesia ini. Dengan menanggulangi penyebab,
keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pembedahan merupakan saat yang tepat untuk
melakukan teknik analgesia preemtif dimana teknik ini menjadi sangat efektif karena awitan
dari sensari nyeri diketahui.20
PCA (Patient Controlled Analgesia)
Patient Controlled Analgesia (PCA) merupakan metode yang saat ini tengah popular dan
digunakan luas terutama di USA, bila opioid analgesia parenteral harus diberikan lebih dari 24
jam. PCA ini begitu popular disana karena selain menghindarkan dari injeksi intramuskular,
onset yang dihasilkan juga cepat dan bisa dikontrol sendiri oleh pasien. Bisa menghasilkan
manajemen nyeri berkualitas tinggi. PCA memungkinkan pasien mengendalikan nyerinya
sendiri. Perawat tidak diperlukan untuk memberikan analgesia dan pasien merasakan nyeri
mereda lebih cepat. Keberhasilan PCA tergantung pada:20
 Kecocokan pasien dan penyuluhan pada pasca operasi.
 Pendidikan staf dalam konsep PCA serta penggunaan alat
 Pemantauan yang baik terhadap pasien untuk menilai efek terapi dan efek samping.
 Dana : pompa infus PCA mahal.
Terdapat perbedaan yang cukup besar pada kebutuhan akan analgesia, atas dasar itulah
PCA merupakan metode ideal bagi pasien yang membutuhkan lebih banyak ataupun lebih
sedikit daripada standar. Jika kadar plasma berada dibawah ambang analgesik, pasien dapat
mentitrasi sendiri opiod pada kadar analgesia yang mereka butuhkan (selama masih dalam
batasan terapi). Dosis bolus dan waktu stop bisa diubah sesuai dengan kebutuhan
individu.Pasien harus mendapat PCA dari jalur infus khusus atau katup satu arah pada infus
jaga (jika diberikan dengan piggyback). Ini mencegah akumulasi sejumlah besar opioid dalam
infus.20

DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE. Pain Management. In: Clinical Anesthesiology. 2nd ed. Stamford: Appleton and
Lange; 1996.
2. Hamill RJ. The Assesment of Pain. In: Handbook of Critical Care Pain Management. New
York: McGraw-Hill Inc; 1994.
3. Benzon, et al. The Assesment of Pain. In: Essential of Pain Medicine and Regional
Anesthesia. 2nd ed.Philadelphia; 2005.
4. Rospond. Pemeriksaan dan Penilaian Nyeri. [Online]. Cited on 2015 March 7. Available from:
URL: http://lyrawati.files.wordpress.com/2008/07/pemeriksan-dan-penilaian-nyeri.pdf
5. Brunner, Suddarth. Buku Ajar Medikal Bedah. Volume 1. Edisi 8. Jakarta: EGC; 2001.
6. Brenner GJ, Woolf CJ. Mechanisms of chronic pain. In: Longnecker DE, Brown DL, Newman
MF, Zapol WM.Anesthesiology. New York: McGrawl- Hill; 2008.
7. Latief SA. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II. Bag Anestesiologi dan Terapi Intensif FK
UI: Jakarta; 2001.
8. Nicholls AJ, Wilson IH. Manajemen nyeri akut. Dalam: Kedokteran Perioperatif. Farmedia:
Jakarta; 2001.
9. Avidan M. Pain Managemnet. In: Perioperative Care, Anesthesia, Pain Management and
Intensive Care.London; 2003.
10. Silaen EL. Perbandingan Propofol 2 mg/KgBB-Ketamin 0,5 mg/KgBB Intravena dan Propofol
2 mg/KgBB-Fentanil 1 µg/KgBB Intravena dalam Hal Efek Analgetik pada Tindakan Kuretase
dengan Anestesi Total Intravena. [Online]. 2012 [cited on 2015 March 13]. Available from:
URL: http://repository.usu.ac.id/bitstream/31956/4/Chapter%20II.pdf
11. RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Buku Saku Quality and Safety. Makassar; 2012.
12. World Health Organization. WHO Ladder. [Online]. Cited on 2015 march 7. Available from:
URL: http://www.geriatricpain.org/content/management/interventions/documents/WHOla
dder.pdf
13. World Health Organization. WHO Guidelines on the Pharmacological Treatment of Persisting
Pain in Children with Medical Illness. [Online]. 2012 [cited on 2015 March 7]. Available from:
URL: http://www.who.int/publications/2012/9789241548120_Guidelines.pdf
14. Ikawati Z. Pain Management. [Online]. Cited on 2015 March 7. Available from:
URL: http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/uploads/pain-management.pdf
15. Lullmann H, Mohr K, Hein L, Bieger D. Color Atlas of Pharmacology. 3rd edition. New york:
Thieme; 2005.
16. Michael NJ. Medical Pharmacology at a glance. 4th edition. London: Blackwell Science Ltd;
2002.
17. Soenarto RF, Puspitasari R, Pryambodho. Farmakologi opioid. Dalam: Gunawan SG, Stiabudy
R, Nafrialdi, Elysabeth, editor. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2012.
18. Schug SA. Tramadol. [Online]. 2000 October [cited on 2015 March 14]. Available from:
URL: http://www.medsafe.govt.nz/profs/puarticles/tramadol.html
19. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Cetakan 1. Jakarta:
Indeks Jakarta; 2010.
20. Hasanul A. Pengelolaan Nyeri Akut. Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara: Medan; 2002.
Diposting 9th April 2016 oleh Frans Irapanussa
Label: KOASS

2
Lihat komentar

1.

Bambang Adi Purnomo1 Juli 2017 06.29

thanks min 👍
Balas

2.

adi's blog8 November 2017 20.17

great work
Balas
2.
APR

4
DAFTAR PUSTAKA VANCOUVER

CONTOH PENULISAN REFERENSI

Dari Buku
1. Falco OB, Plewig G, Wolff HH, Winkelmann RK. Dermatology. Munich: Mosby; 1990.
2. Arnold HL, Odom RB, James WD. Diseases of the skin. 8th ed. Philadelphia: W.B. Saunders
Company; 1990.
3. Habif TP. A color guide diagnosis and therapy clinical dermatology. 4th ed. New York:
Mosby; 2004.
4. Lawrence CM, Cox NH. Physical sign in dermatology. 2nd ed. New York: Mosby; 2002.

Dari Bab dalam Buku


1. Wiryadi Benny E. Prurigo. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit
kulit dan kelamin. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 1999. h. 252-3. (CONTOH SUMBER DARI BUKU INDONESIA)
2. Burton JL, Holden CA. Eczema, lichenification and prurigo. In: Champion RH, Burton JL,
Burns DA, Breathnach SM, editors. Rook/Wilkinson/Ebling textbook of dermatology.
6th ed. London: Blackwell Science; 1998. p. 671-2.
3. Soter NA. Numular eczema and lichen simplex chronicus/prurigo nodularis. In:
Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors. Fitzpatrick’s
dermatology in general medicine. 6th ed. New York: Mc Graw Hill; 2002. p. 1196-
7. (CONTOH SUMBER DARI BUKU ASING)
4. Mobini N, Toussaint S, Kamino H. Noninfectious erythematous papular and squamous
diseases. In: Elder DE, Elenitsas R, Johnson BL, Murphy GF, editors. Lever’s
histopathology of the skin. 9th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p.
183-4.

Dari Jurnal
1. Filho JWA, Nogueira A, Ramos-e-Silva M. Prurigo nodularis of hyde - an update. Journal
of the european academy of dermatology and venerology. 2000; 14(2): 75-82.
2. Stern RS. Exanthematous drug eruption. N Engl J Med. 2012; 366(26): 2492-501.
3. Cahyanur R, Koesnoe S, Nanang S. Sindrom hipersensitivitas obat. J Indon Med Assoc. 2011;
61(4): 179-85.

Dari Internet
1. Hogan, D. Prurigo nodularis. [Online]. 2006 May 2 [cited 2007 Nov 6]; [29 screens].
Available from:
URL: http://www.emedicine.com/dermatology/topic350htm
2. Docrat, M.E. Prurigo nodularis. [Online]. 2005 Jun 6 [cited 2007 Nov 8]; [2 screens].
Available from:
URL: http://www.allergysa.org/journals/2005/june/skin_focus.pdf
3. Janjua SA. Dermatology image prurigo nodularis. DermAtlas Dermatology Image Atlas
with 9861 Dermatology Image [Online]. 2007 Oct 1 [cited 2007 Nov 8]; [1 screen].
Available from :
URL: http://www.dermatlas.med.jhml.edu/derm

Diposting 4th April 2016 oleh Frans Irapanussa


Label: KOASS

0
Tambahkan komentar
3.
APR

PENATALAKSANAAN KASUS GIGITAN HEWAN PENULAR


RABIES (GHPR)

Setiap ada kasus gigitan hewan menular rabies harus ditangani dengan cepat dan
sesegera mungkin. Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang masuk pada
luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air
(sebaiknya air mengalir) dan sabun atau diteregent selama 10-15 menit, kemudian
diberi antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah dan lain-lain). Meskipun
pencucian luka menurut keterangan penderita sudah dilakukan namun di
Puskesmas Pembantu/Puskesmas/Rumah Sakit harus dilakukan kembali seperti di
atas. Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila memang
perlu sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi Serum Anti Rabies
(SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak
mungkin dan sisanya disuntikan secara intra muskuler. Disamping itu harus
dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian serum/vaksin anti tetanus, anti biotik
untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik.
Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) atau Vaksin Anti Rabies (VAR) disertai Serum
Anti Rabies (SAR) harus didasarkan atas tindakan tajam dengan
mempertimbangkan hasil-hasil penemuan dibawah ini.

a. Anamnesis :
- Kontak / jilatan / gigitan
- Kejadian didaerah tertular / terancam / bebas
- Didahului tindakan provokatif / tidak
- Hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies
- Hewan yang menggigit hilang, lari dan tidak dapat di tangkap atau dibunuh dan dibuat.
- Hewan yang menggigit mati, tapi masih diragukan menderita rabies.
- Penderita luka gigitan pernah di VAR dan kapan?
- Hewan yang menggigit pernah di VAR dan kapan?
b. Pemeriksaan Fisik
- Identifikasi luka gigitan (status lokalis).
c. Lain – lain
- Temuan pada waktu observasi hewan
- Hasil pemeriksaan spesimen dari hewan
- Petunjuk WHO

Gambar 6. Diagram Alur Penatalaksanaan Kasus Gigitan Tersangka Rabies


Sumber: Subdit. Pengendalian Zoonosis, Dit. PPBB, Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014

Jadi, VAR dan SAR diberikan sesuai dengan kasus GHPR terindikasi. Perhatikan
diagram alur (Flowchart) penatalaksanaan kasus gigitan hewan tersangka rabies.
Bila ada indikasi pengobatan Pasteur, maka terhadap luka resiko rendah diberi VAR
saja. Yang termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka,
garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan dan kaki.
Terhadap luka resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Yang termasuk luka
berbahaya adalah jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka, kepala,
leher), luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang lebar/dalam dan luka yang
banyak (multipel). Untuk kontak (dengan air liur atau saliva hewan tersangka/hewan
rabies atau penderita rabies), tetapi tidak ada luka, kontak tak langsung, tidak ada
kontak, maka tidak PERLU diberikan pengobatan VAR maupun SAR. Sedangkan
apabila kontak dengan air luir pada kulit luka yang tidak berbahaya, maka diberikan
VAR atau diberikan kombinasi VAR dan SAR apabila kontak dengan air liur pada
luka berbahaya.
Diposting 4th April 2016 oleh Frans Irapanussa
Label: KOASS
0
Tambahkan komentar
4.
APR

UPAYA PENGENDALIAN RABIES DI INDONESIA


Pemerintah mempunyai komitmen dalam pengendalian zoonosis prioritas (Rabies,
Flu Burung, Leptospirosis, Antraks, Pes dan Brusellosis) dtandai dengan
diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2011 tentang pengendalian
zoonosis dan dibentuknya Komnas Pengendalian Zoonosis di Pusat dan di daerah
(Komda Pengendalian Zoonosis Provinsi, Komda Pengendalian Zoonosis
Kabupaten dan Kota). Komnas dan Komda ini merupakan wadah koordinasi lintas
sektor seluruh pemangku kepentingan dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring
dan evaluasi serta perumusan kebijakan pengendalian zoonosis terpadu sesuai
dengan pendekatan “Satu Kesehatan” (One Health) dalam pengendalian zoonosis.
Khusus untuk pengendalian rabies, Pemerintah Indonesia sebagai anggota ASEAN
bersama 9 negara ASEAN lainnya menandatangani deklarasi ASEAN Bebas Rabies
pada tahun 2020, pada Pertemuan Menteri Pertanian dan Kehutanan ASEAN ke-34
pada September 2012 di Vientiene, Lao PDR. Sasran pengendalian rabies menuju
Eliminasi Rabies 2020 pada manusia:
- Cakupan Profilaksis Pra Pajanan pada kelompok resiko tinggi : 100%.
- Cakupan profilaksis Pasca Paparan : 100% kasus gigitan terindikasi yang
dilaporkan.

1. Tujuan Eliminasi Rabies 2020


Dalam rangka pelaksanaan komitmen nasional da omitmen ASEAN dalam
pengendalian rabies, maka tujuan pengendalian rabies di Indonesia yaitu :
- Indonesia tereliminasi rabies pada tahun 2020
- Mencegah kematin dan menurunkan angka gigitan pada manusia dan atau pajanan
hewan penular rabies selama proses menuju bebas rabies.
- Mempertahankan daerah bebas rabies berkelanjutan

2. Strategi Eliminasi Rabies 2020


Untuk mencapai tujuan percepatan Indonesia Eliminasi Rabies Tahun 2020,
diterapkan strategi terpadu dengan pendekatan prinsip “Satu Kesehatan” (One
Health) sebagai berikut:
- Advokasi dan sosialisasi
- Penguatan peraturan perundangan dan kebijakan
- Komunikasi resiko
- Peningkatan kapasitas
- Imunisasi massal pada GHPR anjing (Kementerian Pertanian)
- Manajemen populasi GHPR anjing (Kementerian Pertanian)
- Profilaksis pra dan paska pajanan/gigitan denga VAR dan tatalaksana kasus pada
manusia.
- Penguatan surveilas dan respon terpadu
- Penelitian operasional
- Kemitraan (pelibatkan dukungan masyarakat, LSM, took agama, perusahaan, dan
internasional)

Dari 10 strategi menuju Eliminasi Rabies 2020 ini, masing-masing dirinci dalam
pelaksanaan kegiatan Eliminasi Rabies 2020 terdiri atas 2 tahap yaitu :
a. Tahap 1: tahun 2014 – 2017, merupakan tahap operasional
b. Tahap 2: tahun 2018 – 2020, yaitu kegiatan terkait dengan 2 tahun terakhir
tereliminasinya kasus rabies, tak adanya kasus rabies pada hewan dan manusia
dengan sistem surveilas berjalan dengan baik sesuai standar sebagai persyaratan
eliminasi rabies 2020.
Diposting 4th April 2016 oleh Frans Irapanussa
Label: KOASS

0
Tambahkan komentar
5.
APR

SITUASI PENYAKIT RABIES DI INDONESIA


Terdapat 10 provinsi sebagai daerah bebas rabies, dari 34 provinsi di Indonesia
yaitu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, Papua Barat dan Kalimantan Barat. Ada tiga
indicator yang digunakan dalam memantau upaya pengendalian rabies, yaitu: Kasus
GHPR (Gigitan Hewan Penular Rabies), Kasus GHPR terindikasi yang diberi Vaksin
Anti Rabies dan Jumlah kasus Lyssa/rabies.

1. Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR)


Dari Gambar 3 berikut ini menunjukan dari tahun 2009-2012 jumlah kasus GHPR
meningkat 86,3 % yaitu dari 45.466 kasus (2009) menjadi 84.750 pada tahun 2012.
Hal ini disebabkan karena pada tahun 2009-2012 terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB)
rabies di Bali. Dengan upaya intensifikasi penanggulangan KLB terpadu semua
pemangku kepentingan di Bali yang berhasil menurunkan GHPR di Bali maka
memberi kontribusi penurunan GHPR nasional yaitu menurun 18,4% dari 84.750
(2012) menurun menjadi 69.136 gigitan pada tahun 2013.
Gambar 3. GHPR, VAR dan LYSSA di Indonesia Tahun 2009-2013
Sumber: Subdit. Pengendalian Zoonosis, Dit. PPBB, Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014

Gambar 4 di bwah ini menggambarkan 5 peringkat terbesar GHPR tertinggi per


provinsi dari tahun 2009-2013, Provinsi Bali, NTT dan Sumatera Utara selalu berada
pada posisi 5 terbesar GHPR Nasonal dengan Provinsi Bali dan NTT menduduki
peringkat 1 dan 2. Provinsi Bali menunjukan penurunan kontribusi jumlah GHPR
nasional dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 berurutan sebagau berikut: 47,96
% (2009), 77,2 % (2010), 62,65 % (2011), 65,88 % (2012), 56,94 % (2013). Penurunan
ini sebagai hasil upaya intensif penanggulangan terpadu KLB rabies di Bali.

Gambar 4. Persentase Lima Besar Provinsi dengan Jumlah GHPR Tahun 2009-2013
Sumber: Subdit. Pengendalian Zoonosis, Dit. PPBB, Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014

2. Pencegahan Pasca Pajanan/GHPR (Post Exposure Treatment)


Disebut pencegahan karena melakukan tindakan imunisasi dengan menggunakan
Vaksin Anti Rabies yang diberikan kepada setiap kasus GHPR terindikasi secara dini,
dengan dosis standar agar terbentuk antibodi untuk mencegah terjadinya kasus
rabies. Gambar 5 di bawah menunjukkan dari tahun 2009-2012 terdapat
kecenderungan penungkatan upaya pencegahan dengan pemberian VAR sesuai
dengan pola kecenderungan peningkatan jumlah GHPR. Pada tahun 2012 terdapat
peningkatan pemberian VAR sebesar 110,5 % dari 35.316 (2009) menjadi 74.331
pada tahun 2012, dan menurun 27,3 % pada tahun 2013 dengan pemberian VAR
sebanyak 54.059 pada GHPR terindikasi. Pada gambar 5 juga tampak bahwa
prsentase VAR terhadap GHPR terindikasi dari tahun 2009-2012 terus mengalami
peningkatan yaitu tahun 2009 sebesar 77,7 % dan tahun 2012 sebesar 87,7 %,
sementara pada tahun 2012 terjadi penurunan 79,2 %.

Gambar 5. Persentase Pemberian VAR Terhadap GHPR tahun 2009 – 2013


Sumber: Subdit. Pengendalian Zoonosis, Dit. PPBB, Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014

3. Kasus Lyssa/Rabies
Pemberian imunisasi dengan pemberian VAR merupakan upaya pencegahan primer
yang sangat efektif untuk mencegah terjadinya kasus Lyssa/rabies pada manusia.
Pada Gambar 3 dan 5 dapat kita lihat kecenderungan peningkatan pemberian VAR
(absolut atau persentase VAR terhadap GHPR) diikuti dengan kecenderungan
penurunan kasus Lyssa dari tahun 2009-2013. Puncak tertinggi kasus Lyssa pada
tahun 2010 berjumlah 206 menurun sebesar 43,3% dibanding jumlah kasus Lyssa
pada tahun 2013 yang berjumlah 119. Penurunan kasus Lyssa ini karena salah satu
keberhasilan imunisasi dengan VAR pada GHPR dengan intensifikasi
penanggulangan terpadu KLB rabies di Bali dan pemberian VAR di provinsi lainnya.
Tabel 1 menggambarkan distribusi jumlah kasus Lyssa menurut provinsi dimana pada
tahun 2010 terdapat 5 provinsi tertinggi kasus Lyssa dengan kisaran 10 kasus Lyssa
di Sulawesi Utara, 21 kasus di Maluku, 25 kasus di NTT, 35 kasus di Sumatera Utara
dan tertinggi di Bali dengan 82 kasus. Dari 5 provinsi terebut terdapat kecenderungan
penurunan jumlah kasus Lyssa di 4 provinsi secara berurutan yaitu Bali dari 82 (2010)
menjadi 1 kasus (2013), Sumatera Utara dari 35 (2010) menjadi 5 (2013), NTT dari
25 (2010) menjadi 6 kasus (2013) dan Maluku dari 21 (2010) menjadi 11 kasus pada
tahun 2013, sedangkan Sulawesi Utara terdapat kenaikan kasus Lyssa dari tahun
2010-2012 meningkat berurutan dari 10,26, dan 35 kasus Lyssa pada tahun 2012,
dan pada tahun 2013 menurun menjadi 30 kasus.

Tabel 1. Distribusi Kasus Lyssa Menurut Daerah Provinsi Tahun 2010-2013

Sumber: Subdit. Pengendalian Zoonosis, Dit. PPBB, Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Smeltzer dan Bare, 2002). Nyeri merupakan
alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama
banyak proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau
pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu
penyakit manapun.
Perawat menghabiskan lebih banyak waktunya bersama pasien yang mengalami nyeri
dibanding tenaga kesehatan lainnya. Perawat berperan dalam mengidentifikasi dan mengatasi
penyebab nyeri serta memberikan intervensi yang tepat untuk mengurangi nyeri sehingga
sangat penting bagi perawat untuk mengetahui intervensi yang tepat dalam mengurangi nyeri.
Secara umum, penatalaksanaan nyeri dikelompokkan menjadi dua, yaitu penatalaksanaan nyeri
secara farmakologi dan non farmakologi.
1. Penatalaksanaan nyeri secara farmakologi
Penatalaksanaan nyeri secara farmakologi melibatkan penggunaan opiat (narkotik),
nonopiat/ obat AINS (anti inflamasi nonsteroid), obat-obat adjuvans atau koanalgesik.
Analgesik opiat mencakup derivat opium, seperti morfin dan kodein. Narkotik meredakan nyeri
dan memberikan perasaan euforia. Semua opiat menimbulkan sedikit rasa kantuk pada awalnya
ketika pertama kali diberikan, tetapi dengan pemberian yang teratur, efek samping ini
cenderung menurun. Opiat juga menimbulkan mual, muntah, konstipasi, dan depresi
pernapasan serta harus digunakan secara hati-hati pada klien yang mengalami gangguan
pernapasan (Berman, et al. 2009).
Nonopiat (analgesik non-narkotik) termasuk obat AINS seperti aspirin dan ibuprofen.
Nonopiat mengurangi nyeri dengan cara bekerja di ujung saraf perifer pada daerah luka dan
menurunkan tingkat mediator inflamasi yang dihasilkan di daerah luka. (Berman, et al. 2009).
Analgesik adjuvans adalah obat yang dikembangkan untuk tujuan selain penghilang nyeri
tetapi obat ini dapat mengurangi nyeri kronis tipe tertentu selain melakukan kerja primernya.
Sedatif ringan atau obat penenang, sebagai contoh, dapat membantu mengurangi spasme otot
yang menyakitkan, kecemasan, stres, dan ketegangan sehingga klien dapat tidur nyenyak.
Antidepresan digunakan untuk mengatasi depresi dan gangguan alam perasaan yang
mendasarinya, tetapi dapat juga menguatkan strategi nyeri lainnya (Berman, et al. 2009).
2. Penatalaksanaan nyeri secara non farmakologi
a. Stimulasi dan masase kutaneus.
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada punggung
dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor tidak nyeri pada bagian yang
sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem kontrol desenden.
Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena menyebabkan relaksasi otot (Smeltzer dan
Bare, 2002).
b. Terapi es dan panas
Terapi es dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensitivitas reseptor nyeri
dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi. Penggunaan panas
mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut
menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan. Baik terapi es maupun terapi panas
harus digunakan dengan hati-hati dan dipantau dengan cermat untuk menghindari cedera
kulit (Smeltzer dan Bare, 2002).
c. Trancutaneus electric nerve stimulation
Trancutaneus electric nerve stimulation (TENS) menggunakan unit yang dijalankan oleh
baterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan,
menggetar atau mendengung pada area nyeri. TENS dapat digunakan baik untuk nyeri akut
maupun nyeri kronis(Smeltzer dan Bare, 2002).
d. Distraksi
Distraksi yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada nyeri
dapat menjadi strategi yang berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang bertanggung
jawab terhadap teknik kognitif efektif lainnya. Seseorang yang kurang menyadari adanya nyeri
atau memberikan sedikit perhatian pada nyeri akan sedikit terganggu oleh nyeri dan lebih
toleransi terhadap nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan
menstimulasi sistem kontrol desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang
ditransmisikan ke otak (Smeltzer dan Bare, 2002).
e. Teknik relaksasi
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan
otot yang menunjang nyeri. Hampir semua orang dengan nyeri kronis mendapatkan manfaat
dari metode relaksasi. Periode relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan keletihan
dan ketegangan otot yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang meningkatkan nyeri(Smeltzer
dan Bare, 2002).
f. Imajinasi terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah mengggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang
dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu. Sebagai contoh, imajinasi
terbimbing untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan napas
berirama lambat dengan suatu bayangan mental relaksasi dan kenyamanan (Smeltzer dan Bare,
2002).
g. Hipnosis
Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah analgesik yang
dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis. Keefektifan hipnosis tergantung pada kemudahan
hipnotik individu.
DAFTAR PUSTAKA
Berman, A., Snyder, S.J., Kozier, B., Erb, G. 2009. Buku Ajar Praktik keperawatan Klinis Kozier
Erb. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. 8th Ed. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai