Anda di halaman 1dari 58

0

PANDUAN MANAJEMEN NYERI RUMAH SAKIT UMUM


DAERAH WANGAYA KOTA DENPASAR

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA


KOTA DENPASAR
2019
1

BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak


menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau
cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan
kerusakan jaringan. Nyeri sering timbul sebagai manifestasi klinis pada suatu
proses patologis, dimana nyeri tersebut memrovokasi saraf - saraf sensorik nyeri
menghasilkan reaksi ketidaknyamanan, distres, atau penderitaan. Nyeri dapat
digolongkan menjadi beberapa jenis yaitu menurut jenis, timbulnya, penyebab dan
derajatnya. Nyeri juga dipengaruhi oleh pengalaman sensori dan emosional yang
dipengaruhi oleh psikologis setiap individu.

Nyeri yang menetap akibat sinyal nyeri yang terus menerus dikirimkan ke saraf
selama beberapa minggu, bulan, bahkan tahun, dan sensasi normal yang
dicetuskan dirasakan menetap selama lebih dari berbulan - bulan dapat dikatakan
sebagai nyeri kronik. Nyeri kronik memberikan dampak yang serius terhadap
kondisi pasien itu sendiri, karena nyeri yang tidak tertangani dengan baik maka
dapat memperparah kondisi fisik maupun mental pasien. Setiap persepsi nyeri
yang timbul akan membuat tubuh merespons rangsangan nyeri tersebut, yang
kemudian akan mempengaruhi secara keseluruhan sistem organ penderita nyeri.
Penilaian nyeri merupakan hal yang penting untuk mengetahui intensitas dan
menentukan terapi yang efektif. Intensitas nyeri sebaiknya harus dinilai sedini
mungkin dan sangat diperlukan komunikasi yang baik dengan pasien.

Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) menetapkan pelayanan nyeri


dalam standar pelayanan asuhan pasien. Pelayanan diberikan dengan melakukan
skrining, assesment awal dan ulang nyeri, memberi intervensi mengatasi nyeri.
Komunikasi edukasi diberikan untuk menjelaskan bahwa nyeri dapat disebabkan
oleh tindakan atau pemeriksaan dan komunikasi edukasi kepada pasien dan
keluraga prihal pelayanan nyeri sesuai latar belakang agama, budaya, nilai-nilai
pasien dan keluarga.
2

BAB II
DEFINISI

A. Pengertian
1. International Society for the Study of Pain mendefinisikan nyeri
sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun
potensial atau digambarkan sebagai kerusakan itu sendiri (Gonce P,
Fontaine D, Hudak C, Gallo B, 2012)
2. Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas,
memiliki hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedera atau
penyakit.
3. Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang
lama. Nyeri kronik adalah nyeri yang terus ada meskipun telah terjadi
proses penyembuhan dan sering kali tidak diketahui penyebabnya yang
pasti.

B. Klasifikasi Nyeri
1. Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi:
a. Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan
membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar,
jatam dan terlokalisasi.
b. Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik
akibat rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat.
c. Nyeri viseral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau organ yang
menutupinya (pleura parietalis, pericardium, peritoneum). Nyeri
tipe ini dibagi menjadi nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal
terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.
3

2. Klasifikasi yang dikembangkan oleh .(International association for


the study of pain) didasarkan pada lima aksis yaitu:
a. Aksis I: region atau lokasi anatomi nyeri
b. Aksis II: sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan
timbulnya nyeri
c. Aksis III: karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal,
regular,kontinyu)
d. Aksis IV: awitan terjadi nyeri
e. Aksis V: etiologi nyeri

3. Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi:


a. Nyeri nosiseptif: karena kerusakan jaringan baik somatic
maupun viseral.
b. Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi
primer pada system saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cidera
pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut
saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensi yang dirasakan
adalah rasa panas dan seperti ditusk-tusuk dan kadang disertai
hilangnya rasa atau adanya rasa tidak enak pada perabaan.
c. Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya
cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan
pasien tenang.

4. Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:


a. Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri
ini ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti:
takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan
4

perubahan wajah: menyeringai atau menangis. Bentuk nyeri akut


dapat berupa:
1) Nyeri somatik luar: nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa
2) Nyeri somatik dalam: nyeri tumpul pada otot rangka, sendi
dan jaringan ikat
3) Nyeri viseral: nyeri akibat disfungsi organ viseral
b. Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda
aktivitas otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat
berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka
(penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap
sampai melebihi 3 bulan.

5. Berdasarkan derajat nyeri dikelompokkan menjadi:


a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat
beraktivitas sehari hari dan menjelang tidur.
b. Nyeri sedang adalah nyeri terus-menerus, aktivitas terganggu
yang hanya hilang bila penderita tidur.
c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita
tidak dapat tidur dan sering terjaga akibat nyeri.

C. Assesment Nyeri
1. Pengkajian focus nyeri
a. Lokasi nyeri
Memastikan lokasi nyeri secara jelas meliputi dimana nyeri itu
dirasakan, bagian proximal, distal, medial atau lateral
b. Perilaku non Verbal
Beberapa perilaku non verbal yang dapat kita amati antara lain
ekspresi wajah, gemeretak gigi, menggigit bibir bawah, dll
5

c. Kualitas nyeri
 Kualitas nyeri dinyatakan sesuai dengan apa yang diutarakan
pasien misalnya nyeri seperti “dipukul – pukul”, nyeri seperti
“diiris – iris pisau”,
 Anjurkan pasien menggunakan bahasa yang dia ketahui.
d. Faktor Presipitasi
 Melaporkan faktor pencetus nyeri, misalnya nyeri terasa setelah
latihan /bekerja berat, nyeri timbul pada saat hujan/udara dingin,
dll.
 Beberapa faktor presipitasi yang meningkatkan nyeri antara lain
lingkungan, suhu ekstrim dan kegiatan yang tiba-tiba
e. IntensitasNyeri
Dapat berupa ringan, sedang, berat atau sangat nyeri
f. Waktu dan durasi nyeri
Waktu dan durasi dinyatakan dengan sejak kapan nyeri dirasakan,
berapa lama terasa, apakah nyeri berulang, bila nyeri berulang maka
dalam selang waktu berapa lama, dan kapan nyeri berakhir
g. Karakteristik nyeri dengan (PQRST)
 P: provocating (pemacu) dan paliative yaitu faktor yang
meningkatkan atau mengurangi nyeri
- Berhubungan dengan aktivitas lingkungan ?
- Menurut klien apa penyebab nyeri ?
- Serangan tiba-tiba atau perlahan ?
 Q: Quality dan Quantity
- Bagaimana klien menggambarkan rasa nyeri ?
- Supervisial: tajam, menusuk, membakar
- Dalam: tajam, tumpul, nyeri terus
- Visceral: tajam, tumpul, nyeri terus, kejang
 R: region atau radiation ( area atau daerah ): penjalaran
- Localiced pain: nyeri terbakar pada area
- Projected pain: nyeri sepanjang saraf
- Rediating pain: nyeri menyebar sekitar
6

- Reffered pain: nyeri dirasakan jauh


 S: severty atau keparahan nyeri
- Faktor yang membuat nyeri berat
- Apa nyeri mengganggu aktivitas
- Aktivitas hidup terganggu
 T: time (waktu serangan, lamanya, kekerapan muncul).

2. Riwayat psiko - sosial


a. Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika
b. Identifikasi pengasuh/perawat utama (primer) pasien
c. Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi
menimbulkan eksaserbasi nyeri
d. Pembatasan/restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang
berpotensi menimbulkan stress. Pertimbangkan juga aktivitas
penggantinya.
e. Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri)
dapat menimbulkan pengruh negatif terhadap motivasi dan
kooperasi pasien dengan program penanganan/manajemen nyeri ke
depannya. Pada pasien dengan masalah psikiatri, diperlukan
dukungan psikoterapi / psikofarmaka.
f. Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan
stres bagi pasien / keluarga.

3. Riwayat pekerjaan
Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti
mengangkat benda berat, membungkuk atau memutar, merupakan
pekerjaan tersering yang berhubungan dengan nyeri punggung

4. Obat – obatan dan alergi


a. Daftar obat – obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi
nyeri (suatu studi menunjukkan bahwa 14% populasi di AS
mengkonsumsi suplemen/herbal, dan 36% mengkonsumsi vitamin)
7

b. Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi,


efektivitas, dan efek samping
c. Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat -
obatan dengan efek samping kognitif dan fisik

5. Riwayat keluarga
Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetic

6. Asesmen system organ yang komprehensif


a. Evaluasi gejala kardiovaskular, psikiatri, pulmoner,
gastrointestinal, neurologi, reumatologi, genitourinaria, endokrin,
dan musculoskeletal)
b. Gejala konstitusional: penurunan berat badan, nyeri malam hari,
keringat malam, dan sebagainya.

7. Pengukuran Derajat/Skala Nyeri


a. Pasien dapat berkomunikasi
1) Visual Analog Scale (VAS)
Visual analog scale (VAS) adalah cara yang paling banyak
digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini
menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang
mungkin dialami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili
sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda
pada tiap sentimeter. Tanda pada kedua ujung garis ini dapat
berupa angka atau pernyataan deskriptif. Ujung yang satu
mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang lain
mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala
dapat dibuat vertikal atau horizontal.
 VAS juga dapat diadaptasi menjadi skala hilangnya/reda
rasa nyeri.
 Digunakan pada pasien anak >8 tahun dan dewasa.
8

 Manfaat utama VAS adalah penggunaannya sangat


mudah dan sederhana.
 VAS tidak banyak bermanfaat untuk periode pasca bedah
karena VAS memerlukan koordinasi visual dan motorik
serta kemampuan konsentrasi.
Skala berupa suatu garis lurus yang panjangnya biasaya 10
cm (atau 100 mm), dengan penggambaran verbal pada
masing-masing ujungnya, seperti angka 0 (tanpa nyeri)
sampai angka 10 (nyeri terberat). Nilai VAS 1 - 4: nyeri
ringan, 5 - 6: nyeri sedang dan 7 - 10: nyeri berat.

Gambar 1. Visual Analog Scale (VAS)

2) Numeric Rating Scale (NRS)


Dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitif terhadap
dosis, jenis kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih baik daripada
VAS terutama untuk menilai nyeri akut. Namun,
kekurangannya adalah keterbatasan pilihan kata untuk
menggambarkan rasa nyeri, tidak memungkinkan untuk
membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti dan dianggap
terdapat jarak yang sama antar kata yang menggambarkan
efek analgesik.
9

c. Indikasi digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia >


9 tahun yang dapat menggunakan angka untuk
melambangkan intensitas nyeri yang dirasakanya
d. Instruksi: pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri
yang dirasakan dan dilambangkan dengan angka antara 0-
10. Tanyakan juga lokasi dan intensitas nyerinya.

 0 : no pain/tidak nyeri.
 1 – 3 : mild = nyeri ringan → tidak mengganggu
aktivitas.
 4 – 6 : moderate = nyeri sedang → mengganggu
aktivitas.
 7 – 9 : severe = nyeri berat → tidak bisa melakukan
aktivitas.
 10 : nyeri sangat berat

Gambar 2. Numeric Rating Scale (NRS)

b. Pasien tidak dapat berkomunikasi


1) Wong baker FACES Pain Scale
e. Indikasi: pada pasien (dewasa dan anak > 3 tahun) yang
tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan
angka, gunakan asesmen
f. Intruksi: petugas melihat ekspresi pasien dan menyesuaikan
dengan gambar yang paling sesuai dengan ekspresi pasien.
10

 0-1 = Tidak merasa nyeri


 2-3 = Sedikit nyeri
 4 -5 = Nyeri agak mengganggu
 6-7 = Nyeri mengganggu aktifitas
 8-9 = Sangat nyeri
 10 = Nyeri tak tertahankan

Gambar 3. Wong baker FACES Pain Scale

2) Skala nyeri anak-anak usia 3-7 tahun/FLACC (Faces, Legs,


Activity, Cry, dan Consolability)

Skala ini merupakan skala perilaku yang telah dicoba pada
anak usia 3-7 tahun.

Setiap kategori (Faces, Legs, Activity, Cry, dan
Consolability) diberi nilai 0-2 dan dijumlahkan untuk
mendapatkan total 0-10.

Penilaiannya:
0 = Tidak nyeri
1 – 3 = Nyeri ringan
4 – 7 = Nyeri sedang
8 – 10 = Nyeri berat
11
12

3) Skala nyeri pasien terpasang ventilasi mekanik/Behavioral


Pain Scale (BPS)
BPS atau Behavioural Pain Scale adalah sebuah tehnik yang
dapat digunakan untuk penilaian nyeri pada pasien penurunan
kesadaran dengan ventilator dimana penilaian tersebut
berdasarkan tiga ekspresi perilaku, yaitu ekspresi wajah,
pergerakan ekstremitas atas dan kompensasi terhadap
ventilator. BPS menggambarkan nyeri dalam rentan skor
antara 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri paling hebat). Adapun
penilaiannya adalah sebagai berikut:
a) Ekspresi Wajah: relaks/santai (skor 1), sedikit
mengerut/mis. mengerutkan dahi (skor 2), mengerut secara
penuh/mis. hingga menutup kelopak mata (skor 3),
meringis (skor 4).
b) Pergerakan Ekstremitas Atas: tidak ada pergerakan
(skor 1), sedikit membungkuk (skor 2), membungkuk
penuh dengan fleksi pada jari (skor 3), retraksi permanen
(skor 4)
c) Kompensasi terhadap Ventilator: pergerakan yang
menoleransi (skor 1), batuk dengan pergerakan (skor 2),
melawan ventilator (skor 3), tidak mampu mengontrol
ventilator (skor 4).
13
14

Alasan penggunaan tiga indikator ini adalah sebagai berikut:


 Pergerakan saat dilakukannya suatu prosedur biasanya
dianggap sebagai indikator nyeri perilaku dan banyak
disertakan dalam skala nyeri perilaku pada anak
 Ekspresi wajah dihubungkan dengan berbagai stimulasi
nosiseptif yang menghasilkan bukti untuk ekspresi wajah
dapat diterima secara luas sebagai indikator nyeri
 Toleransi terhadap ventilasi mekanik sebagai suatu respon
terhadap stimulasi nosiseptif belum banyak mendapat
perhatian.

Pengamatan rutin dari perawat unit perawatan intensif
menunjukkan bahwa pasien yang terintubasi memberikan
respon terhaap nyeri dengan perubahan toleransi terhadap
ventilasi mekanik (batuk, melawan).

4) Skala nyeri pasien kritis/Critical-Care Pain Observasion Tool


(CPOT)
 Skor Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT) 0 - 2
untuk setiap kategori, tergantung pada tingkat respon
pasien. Total skor maksimum adalah 8.
 Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT) adalah
sebuah skala sikap yang disarankan oleh para ahli untuk
menilai nyeri pada pasien-pasien kritis yang tidak dapat
berkomunikasi secara verbal. Skala ini memiliki 4
bagianyaitu:
15

Tabel Skala CPOT


Indikator Skor Deskripsi
Ekspresi Wajah Santai, netral: 0 Tidak ada ketegangan otot yang terlihat
Tegang: 1 Merengut, alis menurun, orbit
menegang dan terdapat kerutan levator
atau perubahan lainnya (misalnya
membuka mata atau menangis selama
prosedur nosiseptif)
Meringis: 2 Semua gerakan wajah sebelumnya
ditambah kelopak mata tertutup rapat
(pasien dapat mengalami mulut terbuka
atau menggigit tabung endotrakeal
Gerakan Tubuh Tidak adanya Tidak bergerak sama sekali (tidak
gerakan 0 atau berarti tidak adanya rasa sakit) atau
posisi normal posisi normal (gerakan tidak
dilakukan terhadap bagian yang terasa
nyeri atau tidak dilakukan untuk
tujuan perlindungan)
Perlindungan: 1 Lambat, gerakan hati-hati, menyentuh
atau menggosok bagian yang nyeri,
mencari perhatian melalui gerakan
Kegelisahan / Menarik tabung, mencoba untuk
Agitasi: 2 duduk, menggerakkan tungkai /
meronta-ronta, tidak mengikuti
perintah, menyerang staf, mencoba
turun dari tempat tidur
Kepatuhan dengan ventilator Menoleransi Alarm tidak dimatikan, ventilasi muda
(pasien diintubasi) ventilator atau
Gerakan: 0
Batuk tapi Batuk, alarm dapat diaktifkan tapi
Menoleransi: 1 berhenti secara spontan
Melawan Tidak ada sinkronisasi : menghalangi
Ventilator: 2 ventilasi, alarm sering diaktifkan
Atau Berbicara dalam Berbicara dalam suara normal atau
Vokalisasi
(Pasien nada normal tidak ada suara sama sekali
diekstubasi) atau tidak ada
suara
Menghela napas, Menghela napas, merintih
Merintih: 1
Menangis, Menangis, terisak-isak
terisak-isak: 2
Ketegangan otot Santai: 0 tidak ada perlawanan pada gerakan
pasif
Tegang kaku: 1 Perlawanan pada gerakan pasif
Sangat tegang Perlawanan kuat sampai gerakan pasif
atau kaku: 2 atau ketidakmampuan mereka untuk
menyelesaikannya
JUMLAH 8
16

5) COMFORT scale
1) Indikasi: pasien bayi, anak dan dewasa di ruang rawat
intensif/kamar operasi/ruang rawat inap yang tidak dapat
dinilai menggunakan Numeric Rating Scale Wong – Baker
FACES Pain Scale.
2) Intruksi: Terdapat 9 katagori dengan setiap kategori
memiliki skor 1 - 5, dengan skor total antara 9 - 45.
3) Pemberian sedasi betujuan untuk mengurangi agitasi,
menghilangkan kecemasan dan menyelaraskan napas
dengan ventilator mekanik.
4) Tujuan dari penggunaan skala ini adalah untuk pengenalan
dini dari pemberian sedasi yang terlalu dalam ataupun
tidak adekuat
5) Interpretasi:
Nilai 8 – 16 : mengindikasikan pemberian sedasi yang
terlalu dalam
Nilai 17 – 26 : mengindikasikan pemberian sedasi yang
sudah optimal
Nilai 27 – 45 : mengindikasikan pemberian sedasi yang
tidak adekuat

Kategori Skor Tanggal


/waktu
Kewaspadaan 1. Tidur pulas /nyenyak
2. Tidur kurang nyenyak
3. Gelisah
4. Sadar sepenuhnya dan waspada
5. Hiper alert
Ketenangan 1. Tenang
2. Agak cemas
3. Cemas
4. Sangat cemas
5. Panik
Distress 1. Tidak ada respirasi spontan dan tidak ada
pernafasan batuk
2. Respirasi spontan dengan sedikit/tidak ada
respon terhadap ventilasi
3. Kadang - kadang batuk atau terdapat tahanan
terhadap ventilasi
17

4. Sering batuk, terdapat tahanan/ perlawanan


terhadap ventilator
5. Melawan secara aktif terhadap ventilator,
batuk terus menerus / tersedak
Menanggis 1. Bernafas dengan tenang tidak menangis
2. Terisak-isak
3. Meraung
4. Menangis
5. Berteriak
Pergerakan 1. Tidak ada pergerakan
2. Kadang-kadang bergerak perlahan
3. Sering bergerak perlahan
4. Pergerakan aktif / gelisah
5. Pergerakan aktif termasuk badan dan kepala
Tenus otot 1. Otot relaks sepenuhnya, tida ada torus otot
2. Penurunan torus otot
3. Torus otot normal
4. Peningkatan torus otot dan flesi jari tangan
dan kaki
5. Kekakuan otot ekstrim dna fleksi jari tangan
dan kaki
Tegangan wajah 1. Otot wajah relaks sepenuhnyan
2. Torus otot wajah normal, tidak terlihat
tegangan otot wajah yang nyata
3. Tegangan beberapa otot wajah terlihat nyata
4. Tegangan hamper di seluruh otot wajah
5. Seluruh otot wajah tegang meringis
Tekanan darah 1. Tekanan darah di bawah batas normal
basal 2. Tekanan darah beradi di batas normal secara
konsisten
3. Peningkatan tekanan darah sesekali ≥ 15% di
atas batas normal (1-3 kali dalam observasi
selama 2 menit)
4. Seringnya peningkatan tekanan darah ≥ 15%
diatas batas normal (>3 kali dalam observasi
selama 2 menit
5. Peningkatan tekanan darah terus menerus ≥
15%
Denyut jantung 1. Denyut jantung di bawah batas normal
basal 2. Denyut jantung berada di batas normal
secara konsisten
3. Peningkatan denyut jantung sesekali ≥ 15%
di atas batas normal (1-3 kali dalam
observasi selama 2 menit)
4. Seringnya peningkatan denyut jantung ≥
15% di atas batas normal (> 3 kali dalam
observasi selama 2 menit )
5. Peningkatan denyut jantung terus menerus ≥
15%
Skor total
18

6) Skala pengukuran nyeri pada geriatri/Functional Pain Scale


Functional Pain Scale
Skala Keterangan
nyeri
0 Tidak nyeri
1 Dapat toleransi (aktivitas tidak terganggu)
2 Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas sedikit terganggu)
3 Tidak dapat ditoleransi ( tetapi masih dapat menggunakan
telepon, menonton TV, atau membaca)
4 Tidak dapat ditoleransi ( tidak dapat menggunakan telepon,
menonton TV, atau membaca)
5 Tidak dapat ditoleransi (dan tidak dapat berbicara karena
nyeri)

Skor normal/yang diinginkan: 0 - 2

8. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan umum
1) Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu tubuh
2) Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien
3) Periksa apakah terdapat lesi / luka di kulit seperti jaringan
parut akibat operasi, hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas
jarum suntik
4) Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang
(malalignment), atrofi otot, fasikulasi, diskolorasi, dan edema
b. Status mental
1) Nilai orientasi pasien
2) Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan
segera
3) Nilai kemampuan kognitif
4) Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala – gejala
depresi, tidak ada harapan, atau cemas
c. Pemeriksaan nadi
1) Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimatrisan
19

2) Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan


adanya keterbatasan gerak, diskinesis, raut wajah meringis,
atau asimetris
3) Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat
abnormal / dikeluhkan oleh pasien (saat menilai pergerakan
aktif). Perhatikan adanya limitasi gerak, raut wajah meringis,
atau asimetris.
4) Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri
5) Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya
cedera ligament.
d. Pemeriksaan motorik
Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan
criteria di bawah ini

Derajat Definisi
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan tahanan
kuat
4 Mampu melawan tahanan ringan
3 Mampu bergerak melawan gravitasi
2 Mampu bergerak / bergeser ke kiri dan kanan tetapi tidak
mampu melawan gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot (inspeksi / palpasi), tidak
menghasilkan pergerakan
0 Tidak terdapat kontrasi otot

e. Pemeriksaan sensorik
Lakukan pemeriksaan : sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum-pin
prick), getaran, dan suhu.

f. Pemeriksaan neurologis lainnya


1) Evaluasi nervus cranial I – XII, terutama jika pasien mengeluh
nyeri wajah atau servikal dan sakit kepala
2) Periksa refleksi otot, nilai adanya asimetris dan klorus untuk
mencetuskan klonus membutuhkan kontraksi > 4 otot.
20

Reflex Segmen spinal


Biseps C5
Brakioradialis C6
Triseps C7
Tendon patella L4
Hamstring medical L5
Achilles S1

3) Nilai adanya reflex babinski dan Hoffman (hasil positif


menunjukkan lesi upper motor neuron)
4) Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi deficit serevelum
dengan melakukan tes dismetrik (tes pergerakan jari ke hidung,
pergerakan tumit ke tibia), tes disdiadokokinesia, dan tes
keseimbangan (Romberg dan Romberg modifikasi)
g. Pemeriksaan khusus
1) Terdapat 5 tanda non – organik pada pasien dengan gejala
nyeri tetapi tidak ditemukan etiologi secara anatomi. Pada
beberapa pasien dengan 5 tanda ini ditemukan mengalami
hipokondriasis, histeria, dan depresi.
2) Kelima tanda ini adalah:
 Distribusi nyeri superficial atau non – anatomik
 Gangguan sensorik atau motorik non – anatomic
 Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over – reaktif)
 Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes /
pemeriksaan nyeri
 Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah –
pindah) saat gerakan yang sama dilakukan pada posisi
yang berbeda (distraksi)
9. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)
a. Membantu mencari penyebab nyeri akut / kronik pasien
b. Mengidentifikasi area persarafan / cedera otot fokal atau difus yang
terkena
21

c. Mengidentifikasi atau menyingkirkan kemungkinan yang


berhubungan dengan rehabilitasi, injeksi, pembedahan, atau terapi
otot.
d. Membantu menegakkan diagnosis
e. Pemeriksaan serial membantu pemantauan pemulihan pasien dan
respons terhadap terapi
f. Indikasi: kecurigaan saraf terjepit, mono / poli neuropati,
radikulopati

10. Pemeriksaan sesorik kuantitatif


a. Pemeriksaan sesorik mekanik (tidak nyeri): getaran
b. Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri): tusukan jarum, tekanan
c. Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas)
d. Pemeriksaan sensasi persepsi

11. Pemeriksaan radiologi


a. Indikasi
3) Pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang
belakang
4) Pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang
belakang, penyakit inflamatorik, dan penyakit vascular
5) Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung
kemih atau ereksi
6) Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang
7) Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu
b. Pemilihan pemeriksaan radiologi : bergantung pada lokasi dan
karakteristik nyeri
8) Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang
(fraktur, ketidaksegarisan vertebra, spondilolistesis,
spondilolisis, neoplasma)
22

9) MRI: gold standard dalam mengevaluasi tulang belakang


(herniasi diskus, stenosis spinal, osteomyelitis, infeksi ruang
diskus, keganasan, kompresi tulang belakang, infeksi)
10) CT-scan: evaluasi trauma tulang belakang hemiasi diskus,
stenosis spinal
11) Radionuklida bone – scan: sangat bagus dalam mendeteksi
perubahan metabolism tulang (mendeteksi osteomyelitis dini,
fraktur kompresi yang kecil / minimal, keganasan primer,
netastasis tulang)

D. Assesmen psikologi
1. Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi
2. Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan
3. Nilai adanya dukungan sosial, interaksi sosial

E. Assesment Nyeri dikaitkan dengan Latar belakang agama, sosial,


budaya serta nilai-nilai pasien dan keluraga
Praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan kesamaan
diantara budaya (transcultural Nursing) dengan menghargai asuhan, sehat
dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan
(Leininger, 2002).

1. Proses mengumpulan data untuk mengidentifikasi masalah kesehatan


klien sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger and
Davidhizar, 1995). Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen
yang ada pada "Sunrise Model" yaitu:
a. Faktor teknologi (tecnological factors). Yang perlu mengkaji:
1) Persepsi terhadap nyeri yang dialami
2) kebiasaan berobat atau mengatasi nyeri
3) Alasan mencari bantuan kesehatan untuk mengatasi nyeri
4) Alasan klien memilih pengobatan alternative misalnya
penggunaan herbal untuk mengatasi nyeri
23

5) Persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan


teknologi untuk mengatasi nyeri
b. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical
factors). Yang harus dikaji oleh perawat adalah:
1) Agama yang dianut
2) Status pernikahan
3) Cara pandang klien terhadap penyebab nyeri
4) Cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif
terhadap kesehatan/menghilangkan rasa nyeri.
c. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social
factors), yang dikaji:
1) nama lengkap
2) Nama panggilan
3) Umur dan tempat tanggal lahir
4) Jenis kelamin
5) Status
6) Tipe keluarga
7) Pengambilan keputusan dalam keluarga
8) Hubungan klien dengan kepala keluarga.
d. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways).
Yang perlu dikaji:
1) Posisi dan jabatan yang dipegang dalam keluarga dan
dimasyarakat
2) Bahasa yang digunakan
3) Kebiasaan makan
4) Makanan yang dipantang dalam kondisi sakit
5) Persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari
e. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal
factors) (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu dikaji:
1) Peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam
berkunjung
2) Jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu
24

3) Cara pembayaran untuk klien yang dirawat.


f. Faktor ekonomi (economical factors), yang dikaji:
1) Pekerjaan klien
2) Sumber biaya pengobatan
3) Tabungan yang dimiliki oleh keluarga
4) Biaya dari sumber lain misalnya asuransi
5) Penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota
keluarga.
g. Faktor pendidikan (educational factors). Yang perlu dikaji:
1) Tingkat pendidikan klien
2) Jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara
aktif mandiri tentang pengalaman sakitnya dan mengatasi
nyeri sehingga tidak terulang kembali.

2. Implementasi keperawatan diberikan sesuai latar belakang budaya


serta nilai-nilai pasien dan keluraga
Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural
(Andrew and Boyle, 1995) yaitu:
a. Cara I: Mempertahankan budaya
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak
bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi
keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan
yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan
atau mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya
menggunakan obat-obat tradisionil berupa herbal
b. Cara II: Negosiasi budaya
Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini
dilakukan untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya
tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan. Perawat
membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya
lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan.
25

c. Cara III : Restrukturisasi budaya


Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang
dimiliki merugikan status kesehatan. Perawat berupaya
merestrukturisasi gaya hidup klien untuk mengatasi nyeri. Pola
rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih
menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut
(Leininger, 1991).

3. Komunikasi edukasi pada pasien dan keluarga prihal pelayanan untuk


mengatasi nyeri sesuai dengan latar belakang agama, budaya nilai-
nilai pasien dan keluraga
a. Cultural care preservation/maintenance
 Identifikasi perbedaan konsep nyeri antara klien dan perawat
 Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi
dengan klien
 Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan
perawat dalam mengatasi nyeri
b. Cultural care accomodation/negotiation
 Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien
 Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan mengatasi
nyeri
 Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi
dimana kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis,
pandangan klien dan standar etik
c. Cultural care repartening/reconstruction
 Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi
yang diberikan dan melaksanakannya
 Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari
budaya kelompok
 Gunakan pihak ketiga bila perlu
26

 Terjemahkan terminologi gejala nyeri pasien ke dalam


bahasa kesehatan yang dapat dipahami oleh klien dan orang
tua
 Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan nyeri
yang ada di Rumah Sakit.
 Perawat dan klien harus mencoba untuk memahami budaya
masing-masing melalui proses akulturasi, yaitu proses
mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya
berkaitan dengan penatalaksanaan nyeri yang akhirnya akan
memperkaya budaya budaya mereka.

F. Assesmen Ulang Nyeri


1. Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedasi
sedang assesmen dan penanganan nyeri dilakukan saat pasien
menunjukkan respon berupa ekspresi tubuh atau verbal akan rasa
nyeri.
2. Asesmen ulang nyeri dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari
beberapa jam dan menunjukkan adanya rasa nyeri, sebagai berikut:
 Lakukan asesmen nyeri yang komprehensif setiap kali melakukan
pemeriksaan fisik pada pasien
 Dilakukan pada pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah
tatalaksana nyeri, setiap empat jam (pada pasien yang
sadar/bangun), pasien yang menjalani prosedur menyakitkan,
sebelumnya transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari
rumah sakit.
 Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan
asesmen ulang setiap 5 menit setelah pemberian nitrat atau obat –
obatan intravena
 Pada nyeri akut / kronik lakukan asesmen ulang tiap 30 menit – 1
jam setelah pemberian obat nyeri.
3. Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba – tiba, terutama bila
sampai menimbulkan perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya
27

diagnosis medis atau bedah yang baru (misalnya komplikasi pasca –


pembedahan, nyeri neuropatik).

G. Famakologi Obat Analgesik


1. Lidokain tempel (Lidocain patch) 5 %
a. Berisi lidokain 5% (700 mg)
b. Mekanisme kerja : memblok aktivitas abnormal di kanal natrium
neuronal
c. Memberikan efek analgesic yang cukup baik ke jaringan local,
tanpa adanya efek anestesi (baal), bekerja secara perifer sehingga
tidak ada efek samping sistemik
d. Indikasi : sangat baik untuk nyeri neuropatik (misalnya neuralgia
pascaherpetik, neuropati diabetic, neuralgia pasca – pembedahan),
nyeri punggung bawah, nyeri miofasial, osteoarthritis
e. Efek samping: iritasi kulit ringan pada tempat menempelkan
lidokain
f. Dosis dan cara penggunaan : dapat memakai hingga 3 patchers di
area yang paling nyeri (kulit harus intak, tidak boleh ada luka
terbuka), dipakai selama <12jam dalam periode 24 jam.
2. Eutectie mixture of local anesthetics (EMLA)
a. Mengandung lidokain 2,5% dan prilokain 2,5%
b. Indikasi: anestesi topical genital untuk pembedahan minor
superficial dan sebagai pre-medikasi untuk anestesi infiltrasi
c. Mekanisme kerja: efek anestesi (baal), dengan memblok total kanal
natrium saraf sensorik
d. Omset kerjanya bergantung pada jumlah krim yang diberikan. Efek
anesthesia local pada kulit bertahan selama 2-3 jam dengan ditutupi
kassa oklusif dan menetap selama 1-2 jam setelah kasa dilepas.
e. Kontraindikasi: methemoglobinemia idiopatik atau congenital
f. Dosis dan cara penggunaan olekkan krim EMLA dengan tebal pada
kulit dan tutuplah dengan kasa oklusif
28

3. Parasetamol
a. Efek analgesic untuk nyeri ringan-sedang dan anti-piretik. Dapat
dikombinasikan dengan opioid untuk memperoleh efek analgesic
yang lebih besar
b. Dosis: 10mg/kg BB/kali dengan pemberian 3-4 sehari. Untuk
dewasa dapat diberikan dosis 3-4 kali 500 mg perhari.
4. Obat - obatan inflamasi non steroid (OAINS)
a. Efek analgesic pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan
sedang anti piretik
b. Kontraindikasi: pasien dengan triad franklin (polip hidung,
angioedema, dan urtikaria) karena sering terjadi reaksi anafilaktoid
c. Efek samping gastrointestinal (erosi/ulkus gaster), disfungsi renal,
peningkatan enzim hati
d. Ketorolak:
 Merupakan satu - satunya OAINS yang tersedia untuk
parenteral. Efektif untuk nyeri sedang berat
 Bermanfaat jika terdapat kontraindikasi opioid atau
dikombinasikan dengan epioid untuk mendapat efek sinergistik
dan meminimalisasi efek samping opioid (deperesi pernafasan,
sedasi, stasis gastrointestinal). Sangat baik untuk terapi multi
analgesik
5. Efek analgesic pada antidresan
a. Mekanisme kerja: memblok pengambilan kembali norepinefrin dan
serotonin sehingga meningkatkan efek neurotan suitter tersebut dan
meningkatkan aktivasi neuron inhibisi nosiseptif
b. Indikasi: nyeri neuropatik (neuropati DM, neuralgia pasca –
herpetic, cedera saraf perifer, nyeri sentral)
c. Contoh obat yang sering dipakai amitriptilin, imipramine,
despiramin: efek antinosisptif perifer dosis 50-300 mgmg, sekali
sehari
29

6. Anti – konvulsan
a. Carbanazepine: efektif untuk nyeri neuropatik, efek samping
samnolen, gangguan berjalan, pusing. Dosis: 400-1800 mg/hari (2-
3 kali perhari) mulai dengan dosis kecil (2x100 mg), ditingkatkan
perminggu hingga dosis efektif
b. Gabapentin: merupakan
7. Antagonis kanal natrium
a. Indikasi: nyeri neuropatik dan pasca operasi
b. Lidokain: dosis 2 mg/kg BB selama 20 menit, lalu dilanjutkan
dengan 1 - 3 mg/ kgBB/jam titrasi
c. Prokain:4 - 6,6mg/kgBB/hari
8. Antagonis kanal kalsium
a. Ziconotide: merupakan anatagonis kanal kalsium yang paling
efektif sebagai analgesik. Dosis 1-3 ug/hari. Efek samping : pusing,
mual, nistagmus, ketidakseimbangan berjalan, konstipasi. Efek
samping ini bergantung dosis dan reversibel jika dosis dikurangi
atau obat dihentikan
b. Nimodipin, verapamil: mengobati migraine dan sakit kepala
kronik. Menurunkan kebutuhan morfin pada pasien kanker yang
menggunakan eskalasi dosis morfin
9. Tramadol
a. Merupakan analgesik yang lebih paten daripada OAINS oral,
dengan efek samping yang lebih sedikit/ringan. Berefek sinergistik
dengan medikasi OAINS.
b. Indikasi: efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang
(nyeri kanker, osteoarthritis, nyeri punggung bawahan neuropati
DM, fibromyalgia, neuralgia pasca – herpetic, nyeri pasca operasi.
c. Efek samping pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi
d. Jalur pemberian: intravena/epidural, rectal, dan oral
e. Dosis tramadol oral 3-4 kali 50 – 100 mg (perhari) dosis maksimal
400 mg dalam 24 jam
30

f. Titrasi: terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi,


terutama digunakan pada pasien nyeri kronik dengan riwayat
toleransi yang buruk terhadap pengobatan atau memiliki risiko
tinggi jatuh

Jadwal titrasi tramadol


Protocol Dosis inisial Jadwal titrasi Direkomendasikan
titrasi untuk
Titrasi 10- 4x50 mg  2x50 mg selama 3 hari  Lanjut usia
hari Selama 3  Naikkan menjadi 3 x 50 mg  Risiko jatuh
hari selama 3 hari  Sensitivitas
 Lanjutkan dengan 4x50 mg medikasi
 Dapat dinaikkan sampai
tercapai efek analgesik yang
diinginkan

Titrasi 16- 4 x 25 mg  2 x 25 mg selama 3 hari  Lanjjut usia


hari selama 3 hari  Naikkan menjadi 3x25mg  Risiko jatuh
selama 3 hari  Sensitivitas
 Naikkan menjadi 4x25mg medikasi
selama 3 hari
 Naikan menjadi 2 x 50 mg
dan 2 x 25 mg selama 3 hari
 Naikkan menjadi 4x50 mg
 Dapat dinaikan sampai
tercapai efek analgesik yang
diinginkan

10. Opioid
a. Merupakan analgesik poten (tergantung – dosis ) dan efeknya dapat
ditiadakan oleh nalokson
b. Contoh opioid yang sering digunakan morfin, sufentanil, meperidin
c. Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi
d. Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri akut
e. Efek samping
1) Depresi pernafasan, dapat terjadi pada :
 Overdosis: pemberian dosis besar, akumulasi akibat
pemberian secara infuse, opioid long acting
31

 Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepine,


antihistamin, antimemetik tertentu)
 Adanya kondisi tertentu : ganguan elektrolit, hipovelemia,
uremia, gangguan respirasi dan peningkatan tekanan
intracranial
 Obstructive sleep opnoes atau obstyruksi jalan nafas
intermiten
2) Sedasi adalah indikator yang baik untuk dan dipantau dengan
menggunakan skor sedasi yaitu :
 0 = sadar penuh
 1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah dibangunkan
 2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk,
mudah dibangunkan
 3 = sedasi berat, samnolen, sukar dibangunkan
 S = tidur normal
3) System sarat pusat
 Euforia, halusinasi, miosis, kekekuan otot
 Pemakai MAOI: pemberian petidin dapat menimbulkan
koma
4) Toksisitas metabolit
 Petidin (nopertidin) menimbulkan tremor, twitching,
mioklunus multifokal, kejang
 Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam untuk
penatalaksanaan nyeri pasca – bedah
 Pemberian morfin kronik menimbulkan gangguan fungsi
ginjal, terutama pada pasien usia > 70 tahun
5) Efek kardiovaskuler
 Tergantung jenis dosis, dan cara pemberian : status
volume intravasculer serta level aktivitas simpatetik
 Morfin menimbulkan vasodilatasi
 Petidin menimbulkan takikardi
32

6) Gastrointekstinal: mual, muntah. Terapi untuk mual dan


muntah: hidrasi dan pantau tekanan darah dengan adekuat,
hindari pergerakan berlebihan pasca-bedah atasi kecemasan
passien, obat antiemetik

Katagori Metoklopramid Dropramid Ondansetron Proklorperazin


fenotiazin
Durasi (jam) 4 4-6 (dosis 8-24 6
rendah)
24 (dosis
tinggi)
Efek samping :
* ekstrapiramidal ++ ++ - +
* anti-kolinergik - ++ - +
* sedasi + + - +
Dosis (mg) 10 0,25-0,5 4 12,5

Frekuensi Tiap 4-6 jam Tiap 4-6 Tiap 12 jam Tiap 6-8 jam
jam
Jalur pemberian Oral, IV,IM IV,IM Oral, IV Oral, IM

7) Pemberian oral
 Sama efektifnya dengan pemberian parantal pada dosis
yang sesuai
 Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi
medikasi oral
8) Injeksi intramuscular
 Merupakan nite parenteral standar yang sering digunakan
 Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektifitas
penyerahan tidak dapat diandalkan
 Hindari pemberian via intramuscular sebisa mungkin
9) Injeksi subkutan
10) Injeksi intravena
 Pilihan perental utama setelah pembedahan major
 Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus
menerus
33

 Terdapat resiko depresi pernafasan pada pemberian yang


tidak sesuai dosis
11) Injeksi supraspinal
 Lokasi mikroinjeksi terbaik: mesencephalik
periaqueductal gray PAG)
 Mekanisme kerja: memblok respon nosiseptif di otak
 Opioid intraserebroventikuler digunakan sebagai pereda
nyeri pada pasien kanker
12) Injeksi perifer
 Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer
menimbulkan efek anaetesi lokal (pada konsentrasi tinggi)
 Sering digunakan pada sendi lutut yang mengalami
inflamasi.
34

BAB III
MANAJEMEN NYERI

a. Manajemen Nyeri Akut


1. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu
2. Lakukan assesmen nyeri mulai dari anamnesis hingga pemeriksaan
penunjang
3. Tentukan mekanisme nyeri:
a. Nyeri somatik
 Nyeri diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang
menyebbakan pelepasan zat kimia dari sel yang cedera dan
memediasi inflamasi dan nyeri melalui nasiseptor kulit
 Karakteristik onset ceapat terlokalisasi dengan baik dan nyeri
bersifst tajam menusuk atau seperti tertikam
 Contoh nyeri akibat laserisasi sprain, fraktur dislokasi
b. Nyeri visceral
 Nasiseptor viscaceral lebih sedikit dibandingkan somatik
sehingga jika terstimulasi akan menimbulkan nyeri yang
kurang bisa dilokalisasi bersifat difus, tummpul, seperti
ditikam benda berat
 Penyebab iskemi nokrosis inflamasi perengangan ligement
spasme otot polos disertai organ berongga lumen
 Biasanya disertai dengan gejala otonomi seperti mual, muntah
hipotensi, bradikardia, berkeringat
c. Nyeri neuropatik:
 Berasal dari cedera jaringan saraf
 Sifat nyeri rasa terbakar, nyeri menjalar kesemutan alodinia
(nyeri saat disentuh) hiperlgesia
 Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat
cedera (sementara pada nyeri nosiseptif nyeri dialami pada
tempat cederanya )
35

 Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple


sclorosis hemiasi diskus AIDS, pasien yang menjalani
kemoterapi /radioterapi
4. Tatalaksana sesuai mekanisme nyeri
a. Farmakologi gunakan step – ladder WHO
 OAINS efektif untuk nyeri ringan – sedangopioid efektif untuk
nyeri sedang berat
 Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1
dan 2 ) dengan pemberian intermiten (pro re nata – prn) opioid
kuat yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien
 Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif /nyeri menjadi sedang
berat, dapat ditingkatkan menjadi langkah 3 ( ganati dengan
opioid kuat dan prn analgesik dalam kurun waktu 24 jam
setelah langkah 1)
 Penggunaan opioid hrus ditrasi opioid standart yang sering
digunakan adalah morfin kodein
 Jika pasien memiliki kontrakdiksi absolud OINS dapat
diberikan opioid ringan
 Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati lakukan pengurangan
dosis secara bertahap

Mild pain Moderate pain Severre pain


Non opioids Weak opioids Strong opioids
Reguler Reguler Prn Reguler Prn
Prn
36

b. Manajemen Nyeri Kronik


1. Lakukan assesmen nyeri:
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik (katateristik nyeri, riwayat
manajemen nyeri sebelumnya
b. Pemeriksaan penunjang radiologi
c. Assesmen fungsional:
 Nilai aktivitas hidup dasar (ADL), identifikasi kecatatan /
disabilitas
 Buatlah tujuan fungsional spesifik dan rencana perawatan pasien
 Nilai efektifitas rencana perawatan dan manajemen pengobatan
2. Tentukan mekanisme nyeri
a. Manajemen bergantung pada jenis klasifikasi nyerinya
b. Pasien sering mengalami 1 jenis nyeri
c. Terbagi menjadi 4 jenis:
1) Nyeri neuropatik:
 Disebabkan oleh kerusakan / disfungsi somatosensorik
 Contoh neuropati DM, neuralgia trigeminal neuralgia psca
herpetik
 Katareristik nyeri persistem
 Fibroniyalgia gatal, kaku dan nyeri yang infus pada
musculoskeletal (bahu ekstremitas ) nyeri berlangsung
selama 3 bulan
2) Nyeri otot
 Mengenai otot leher, bahu, lengan punggung bawah
panggul dan ekstremitas bawah
 Nyeri dirasakan akibat disfungsi pada 1 jenis otot
 Biasanya muncul akibat aktivitas pekerjaan yang repetitive
 Tatalaksana mengembalikan fungsi otot
3) Nyeri inflamasi (dikenal juga dengan istilah nyeri nosiseptif)
4) Nyeri mekanis/kompresi
3. Nyeri kronik nyeri yang persistem berlangsung 6 minggu
37

c. Manajemen Nyeri pada Anak (Pediatrik)

1. Algoritma Manajemen Nyeri mendasar pada Pediatrik:


a. Asesmen nyeri pada anak
 Nilai kateristik nyeri
 Lakukan pemeriksaan medis dan penunjang yang sesuai
 Evaluasi kemungkinan adanya keterlibatan mekanisme nosiseptif
dan neuropatik
 Kajilah faktor yang mempengaruhi nyeri pada anak

b. Diagnosis penyebab primer dan sekunder


 Komponen nosiseptif dan neuropatik yang ada saat ini
 Kumpulkan gejala – gejala fisik yang ada
 Pikirkan faktor emosional, kognitif, dan perilaku

c. Pilih terapi yang sesuai


Obat Non – obat
 Analgesik  Kognitif
 Analgesik adjuvant  Fisik
 Anestesi  Perilaku

d. Implementasi rencana manajemen nyeri


 Berikan umpan balik mengenai penyebab yang mempengaruhi
nyeri kepada orang tua (dan anak)
 Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi
 Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin
 Revisi rencana jika diperlukan

2. Prinsip pengkajian nyeri


a. Respon anak terhadap nyeri mengikuti pola perkembangan dan
dipengaruhi temparemen, kemampuan koping, dan pajanan
terhadap nyeri dan prosedur menyakitkan sebelumnya (Kathlellen,
2008)
b. Pengkajian nyeri terdiri dari dua komponen utama yaitu riwayat
nyeri untuk mendapatkan data klien dan observasi langsung
terhadap respon perilaku dan psikologis klien (Berman, Snyder,
Kozier, dan Erb 2009)
38

c. Hockenberry&Wilson (2009) menyatakan bahwa terdapat 3 tipe


pengukuran nyeri yang telah dikembangkan untuk mengukur atau
menilai nyeri pada anak, yaitu:
 Behavioral measures
 Physiologic measures
 Self repport measures
Dan penerapannya bergantung pada kemampuan kognitif dan
bahasa anak.

3. Wawancara nyeri dan riwayat nyeri


a. Pengkajian awal pada anak meliputi:
 Riwayat nyeri dan informasi kompherensif tentang
pengalaman nyeri anak pada masa lalu
 Strategi perawatan
 Segala sesuatu yang disukai anak perawat perlu menanyakan
kepada anak dan pengasuh anak (mis, orang tua) tentang
intevensi dan strategi koping yang telah berhasil dimasa lalu.
b. Pengkajian nyeri meliputi PQRST (Perensence Of Pain, Quality,
Radiation, Saverity, Timing) yang dilakukan oleh perawat dengan
cara mewawancarai orang tua (atau primary kare provider) dan
anak (Potts & Mandleco, 2012)
c. Pengkajian nyeri berdasarkan tingkat perkembangan (James &
Ashwill, 2007) yaitu:
1) Neonatus dan bayi
 Biasanya menunjukan perubahan dalam ekpresi wajah,
termasuk mengerutkan kening, menyeringai, alis berkerut,
ekspresi terkejut dan wajah berkedip
 Menunjukan peningkatan tekanan darah dan denyut
jantung dan penurunan saturasi oksigen.
 Bersuara tinggi, tegang, menangis keras.
 Ektremitas menunjukan tremor
39

 Menuntukan lokasi nyeri, memijart daerah tersebut dan


menjaga bagiannya
2) Toddler
 Menunjukan dengan menangis keras
 Mampu menyampaikan secara verbal unruk menunjukan
ketidak nyamanan seperti “ aduh “, “sakit”
 Mencoba untuk menunda prosedur karena dianggap
menyakitkan
 Menunjukan gelisah umum
 Menyentuh area yang sakit
 Lari dari perawat
3) Pra sekolah
 Sakit dirasakan sebagai hukuman atas sesuatu yang
mereka lakukan
 Cenderung menangis
 Menggambarkan lokasi dan intensitas nyeri
 Menunjukan regresi untuk prilaku sebelumnya, seperti
kehilangan kontrol
 Menolak rasa sakit untuk menghindari kemungkinan di
injeksi
4) Sekolah
 Menggambarkan rasa sakit dan mengukur intensitas nyeri
 Menunjukan fostur tubuh kaku
 Menunjukan penarikan
 Menunda untuk melakukan prosedur
5) Remaja
 Merasakan nyeri pada tingkat fisik, emosi dan kognitif
 Mengerti sebab dan efeknya
 Menggambarkan rasa sakit dan menguur intensitas nyeri
 Meningkatkan tegangan otot
 Menunjukan penurunan aktivitas mototrik
40

 Menyebutkan kata sakit atau berdebar untuk menjelaskan


nyeri

4. Pengukuran nyeri
a. Behavioral Measure
Perngkajian perilaku sangat berguna untuk mengukur nyeri pada
bayi dan anak preverbal yaitu anak yang belum memiliki
kemampuan untuk mengkomunikasikan nyeri yang dirasakan, atau
pada anak dengan gangguan mental yang memiliki kemampuan
yang terbatas dalam me nyampaikan kalimat yang memiliki arti
(Potts & Mandleco, 2012) :
1) FLACC Pain Assessment Tool
Skala ini digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri pada anak
mulai usia 2 bulan – 7 tahun. Skala ini terdiri dari 5 penialain
dengan skor total 0 untuk tidak ada nyeri dan 10 untuk nyeri
hebat (Potts & Mandleco, 2012)
b. Pengukuran subjektif (subjective self report measures)
1) Faces Pain Rating Scale (Wong and Baker, 1998)
Skala ini digunakan pada usia 3 tahun dan usia yang lebih tua.
2) Numeric Rating Scale
Skala ini digunakn pada anak usia 5 tahun dan anak usia yang
lebih tua.
3) Visual Analog Scale (VAS)
Skala ini digunakan pada anak usia 4,5 tahun dan usia yang
lebih tua; pada umumnya pada anak usia 7 tahun

5. Penatalaksanaan Nyeri
Intervensi non farmakologis harus cocok untuk anak, dan agar efektif
teknik harus sesuai tahap perkembangan, keperibadian, dan keadaan
sekitar anak (James & Ashwill, 2007) teknik-teknik ini dapat
ditetapkan dalam 3 kategori besar (ekweume, 2009), antara lain:
41

 Metode kognitif yang meliputi pendidikan/persiapan, musik,


imagery guided, distraksi dan hipnosis
 Metode perilaku diantaranya adalah teknik relaksasi otot,
progresif, latihan biofeedback, kontrol pernafasan dan hipnosis
 Metode fisik misalnya kompres hangat atau dingin, pijat dan
sentuhan, transkutan stimulasi syaraf listrik (TENS),
akupuntur/akupresur, dll.
a. Penatalaksanaan nyeri secara non farmakologis pada anak antara
lain (James & Ashwill, 2007; Potts & Mandleco, 2012):
1) Distraksi
Prinsip distraksi ialah mengalih fokus anak terhadap nyeri
yang dirasakan kepada hal kegiatan lain yang disenangi
seperti mendengarkan musik, bermain, menonton video dan
lainnya.
2) Breathing Techniques
Pola pernafasan tertentu diatur agar dapat meningkatkan
relaksasi anak. Tekhik pola pernafasan membutuhkan
konsentrasi dan perhatian anak sehingga mengambi pikiran
dari rasa sakit prosedural. Dua jenis teknk pernafasan dapat
digunakan : pernafasan dada berirama dalam dan berpola
pernafasan dangkal.
3) Guided Imagery
Imajinasi dipandu adalah proses relaksasi dan fokus
konsentrasi pada membayangkan gambar. Guided Imagery
berguna untuk kecemasan pra operasi dan manajemen nyeri
pasca operasi. Anak didorong untuk membayangkan berada
ditempat favorit dan kemudian membayangkan
pemandangan, suara dan bau di tempat favorit tersebut.

b. Pemberian analgesik
1) By the ladder pemberian analgesik secara bertahap sesuai
dengan level nyeri anak (ringan, sedang, berat)
42

2) Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1.


Naiklah level 2 (pemberian analgesik yang lebih poten)
3) Pada pasien yang mendapat terapi opioid pemberian
parasetamol tetap diaplikasikan sebagai analgesik adjuvant
4) Analgesik adjuvant
 Merupakan otot yang memiliki indikasi primer bukan
untuk nyeri tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi
tertentu
 Pada anak dengan nyeri neuropatik dapat diberikan
analgesik adjuvant sebagai level 1
 Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk
mengatasi nyeri neuropatik
 Analgesik multi – tujuan antidepresant, agonis
adrenergic alfa-2, kortikosteroid, anestesi topical
 Analgesik untuk nyeri neuropatik antidepresant,
antikonvulsan, agonis GABA, anestesi lokal
 Analgesik untuk nyeri muckolossketal, relaksan otot,
benzodiazepine, inhibitor osteoklas, radiofarmaka
5) By the clock mengacu pada waktu pemberian analgesik
6) By the child
7) By the mounth
8) Analgesik dan anestesi regional: epidural atau spinal
43

d. Manajemen Nyeri Kelompok Usia Lanjut (Geriatri)


1. Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai orang - orang yang berusia ≥
65 tahun
2. Pada lansia prevelensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali lipat
dibandingkan dewasa muda
3. Penyakit yang sering menyebabakan nyeri pada lansia adalah artritis,
ksnker, neurolgia, trigeminal, pasca herpetik, reumatika polimialgia
dan penyakit degenerative
4. Lokasi yang sering mengalami nyeri : sendi utama / penyangga tubuh,
punggung tungkai bawah dan kaki
5. Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah:
a. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri
geriatrik
b. Asesmen nyeri yang tidak adekuat
c. Keenganan dokter untuk meresepkan opioid
6. Asesmen nyeri pada geriatri yang valid reliabel, dan dapat
diaplikasikan menggunakan Functional Pain Scale
7. Intervensi non farmakologi
a. Terapi terminal pemberian pendinginan atau pemanasan di
nosiseptif untuk mengidentifikasi pelepasan opioid endogen
b. Stimulasi listrik pada saraf trankutan / perkutan dan akupuntur
c. Blok saraf dan radiasi area tumor
d. Intervensi
e. Fisioterapi dan terapi okupasi
8. Intervensi farmakologi (tekankan pada keamanan )
a. Ansiolitik
b. Opioid
c. Analgesik adjuvant
9. Resiko efek sampingOAINS meningkat pada lansia insiden
perdarahan gastrointestinal meningkat hampir dua kali lipat pada
pasien > 65 tahun
44

10. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh penuaan, termasuk


absorbsi, distribusi metabolisme, dan eleminasi
11. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik,
absorbsi sering tidak teratur kareana adanya penundaan waktu transit
atau sindrom malabsorbsi,
12. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia
13. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih
singkat
14. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis
pengobatan
15. Efek samping penggunaan opioid yang paling sering dialami
konstipasi
16. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat polifarmasi
(misalnya pasien mengkonsumsi analgesik antidepresant dan sedasi
secara rutin harian)
17. Prinsip dasar terapi farmakologi mulailah dengan dosis rendah lalu
naik perlahan hingga tercapai dosis yang diinginkan
18. Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibakan
19. Beberapa dosis yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada
lansia
20. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid sebelumnya harus diberikan
kombinasi preparat semua dan obat pelunak fases
21. Pemilihan analgesik menggunakan 3 step ladder WHO sama dengan
OAINS dan manajemen pada nyeri akut)
a. Nyeri ringan sedang analgesik non opioid
b. Nyeri sedang opioid minor, dapat dikombinasikan dengan OAINS
dan analgesik adjuvant
c. Nyeri berat opioid paten
22. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian
dosis dan hati – hati dalam memberikan obat kombinasi
45

e. Manajemen Nyeri pada Area Perawatan Kritis


1. Pengkajian nyeri
Menurut American Pain Society nyeri pasien harus dikaji pada
interval teratur untuk menentukan keefektifan terapi, munculnya efek
samping, kebutuhan penyesuaian dosis, atau kebutuhan akan dosis
tambahan guna mengatasi nyeri akibat prosedur. Nyeri harus dikaji
ulang pada interval yang tepat setelah pemberian obat nyeri atau
intervensi lainnya, seperti 30 menit setelah dosis morfin IV.
a) Dalam perawatan kritis, berbagai kondisi bisa menyertai sehingga
pengkajian nyeri pasien dan terapi lanjutannya sulit dilakukan.
Kondisi ini meliputi:
 Penurunan kesadaran
 Terpasang ventilator
 Intubasi endotrakheal
 Pengaruh obat sedasi
 Kaum lansia dan anak-anak
 Pengaruh Budaya
 Kurangnya pengetahuan

b) Agar dapat melakukan pengkajian nyeri yang efektif, perawat


perawatan kritis harus mendapatkan:
 Laporan diri pasien
Karena nyeri adalah pengalaman subjektif, laporan diri
pasien adalah sumber informasi yang paling andal mengenal
adanya nyeri dan intensitasnya. Laporan diri pasien harus
diperoleh tidak hanya pada saat intirahat, namun selama
aktifitas rutin, seperti pada saat batuk, napas dalam dan
miring. Apabila pasien dapat berkomunikasi perawat
perawatan kritis harus menerima gambaran nyeri pasien
sebagai sesuatu yang valid.

Dalam mengkaji kualitas nyeri, perawat harus mendapatkan


gambaran verbal spesifik mengenai nyeri pasien misalnya
46

seperti “terbakar”, “remuk”, “tertusuk”, “tumpul” atau


“tajam” dengan teknik PQRSTU.

 Observasi Pasien yang mengalami nyeri dapat


memperlihatkan manifestasi perilaku khusus.
Perilaku perlindungan seperti guarding, menarik diri, dan
menghindari gerakan akan melindungi pasien dari stimulus
yang menimbulkan nyeri. Upaya yang dilakukan oleh pasien
untuk meredakan nyeri seperti menggosok daerah nyeri,
mengganti posisi atau meminta obat pereda nyeri adalah
perilaku paliatif. Menangis, merengek atau menjerit adalah
perilaku afektif dan menggambarkan respon emosional
terhadap nyeri.

Pasien yang tidak dapat bicara dapat menggunakan ekspresi


wajah atau mata, gerakan tangan atau tungkai untuk
menyatakan nyerinya. Kegelisahan atau agitasi dapat terlihat
pada pasien yang tidak dapat memberikan respon.

 Parameter Fisiologis
Perawat perawatan kritis terampil dalam mengkaji status fisik
pasien yang meliputi perubahan tekanan darah, frekuensi
jantung atau pernapasan (Gonce P, Fontaine D, Hudak C,
Gallo B, 2012)

2. Skala Pengukuran Nyeri


Salah satu alat yang paling umum digunakan di ICU adalah Critical-
Care Pain Observation Tool. (CPOT), yang telah terbukti dapat
diandalkan dan valid dalam berbagai populasi pasien sakit kritis. Alat
ini memerlukan evaluasi dari 4 kategori berikut:
 Skor 0-2 untuk setiap kategori, tergantung pada tingkat respon
pasien. Total skor maksimum adalah 8. Penilaian nyeri yang tepat
merupakan bagian penting dari perawatan berkualitas bagi pasien
sakit kritis, dan penggunaan ukuran nyeri yang valid dapat
47

membantu dalam evaluasi teknik manajemen nyeri multidisiplin


untuk pasien sakit kritis nonverbal (Gelinas C dkk, 2006)

3. Panduan umum untuk intervensi keperawatan pada peredaan nyeri


yaitu:
a) Lakukan pengkajian nyeri yang sistematik pada semua pasien
yang sakit kritis
b) Kaji ulang kebutuhan akan dosis aman analgesik
c) Apabila pasien mengalami kondisi atau prosedur yang
diperkirakan menimbulkan nyeri, dan laporan pasien tidak bisa
diperoleh anggap nyeri itu ada dan atasi nyeri tersebut
d) Ingatlah bahwa pasien sakit kritis yang tidak sadar, dibawah
pengaruh obat bius, atau mendapatkan blokade neuromuskular
sangat beresiko mengalami nyeri yang penanganannya tidak
adekuat
e) Cegah nyeri dengan mengatasinya terlebih dahulu
f) Apabila pasien sering atau mengalami nyeri yang kontinyu
berikan analgesik melalui infus intravena kontinyu atau 24 jam
bukan sesuai kebutuhan.

4. Intervensi Farmakologi
a) Analgetik Non opioid Menurut American Pain Society
Guidelines, tiap regimen analgesik harus mencakup obat-obatan
non opioid, bahkan apabila nyeri cukup berat sehingga juga
membutuhkan oipiod.
b) Asetaminofen adalah obat yang paling sering digunakan pada
perawatan kritis.
c) Opioid Opioid adalah landasan farmakologis penatalaksanaan
nyeri pascaoperatif.
d) Opioid (morfin sulfat, fentanil, dan hidromorfin) meredakan nyeri
karena berikatan dengan berbagai tempat reseptor dalam medula
spinalis, sistem saraf pusat, dan sistem saraf perifer sehingga
48

mengubah persepsi nyeri (Gonce P, Fontaine D, Hudak C, Gallo


B, 2012)

5. Tindakan Non farmakologi


a) Modifikasi Lingkungan Pada perawatan kritis, intervensi non
farmakologis paling dasar dan masuk akal adalah modifikasi
lingkungan. Kebisingan dan cahaya berlebihan di ICU dapat
mengganggu tidur dan meningkatkan kecemasan dan kegelisahan
yang kemudian menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan.
b) Distraksi Distraksi membantu pasien mengalihkan perhatian
mereka dari sumber nyeri atau ketidaknyamanan ke hal-hal yang
lebih menyenangkan. Mengawali sebuah percakapan dengan
pasien selama suatu prosedur yang tidak nyaman, menonton
televisi, dan kunjungan keluarga semuanya adalah sumber
distraksi yang sempurna.
c) Teknik Relaksasi Latihan relaksasi melibatkan fokus berulang
pada kata, frase, doa, atau aktivitas muskular dan upaya sadar
untuk menolak pikiran lain yang menyusup. Relaksasi dapat
memberikan rasa kendali pada pasien terhadap bagian tubuh
tertentu. Kebanyakan metode relaksasi membutuhkan lingkungan
yang tenang, posisi yang nyaman, sikap yang pasif, dan
konsentrasi. Tiga hal tersebut merupakan tantangan untuk dapat
diterapkan di ICU.
d) Sentuhan Sejak dahulu salah satu kontribusi terhebat yang
diberikan perawat adalah dalam memberikan kenyamanan dan
perhatian terhadap kehadiran dan sentuhan. Kontribusi ini masih
mempunyai tempat penting di ICU dengan teknologi canggih saat
ini. Perawat saat menggunakan sentuhan biasanya berusaha
menyampaikan pemahaman, dukungan, kehangatan, kepedulian
dan kedekatan dengan pasien. Sentuhan mempunyai pengaruh
positif terhadap kemampuan persepsi dan kognitif dan dapat
49

mempengaruhi parameter fisiologis seperti pernafasan dan aliran


darah.
e) Masase Masase permukaan mengawali respons relaksasi dan
terbukti meningkatkan jumlah tidur pada pasien ICU. Meskipun
punggung adalah tempat masase yang paling sering digunakan,
punggung seringkali sulit diakses pada pasien ICU. Tangan, kaki
dan bahu juga merupakan tempat yang baik untuk masase. Masase adalah
intervensi yang sempurna yang dapat digunakan anggota keluarga
guna memberikan kenyamanan bagi orang yang sakit kritis.
(Gonce P, Fontaine D, Hudak C, Gallo B, 2012).
50

f. Manajemen Nyeri pada pasien dengan ventilasi mekanik


1. Nyeri merupakan salah satu stressor bagi pasien perawatan kritis.
Beberapa sumber nyeri yang telah teridentifikasi, diantaranya adalah:
 Penyakit akut
 Pembedahan
 Trauma
 Peralatan invasif
 Intervensi keperawatan dan medis.
2. Beberapa prosedur yang sering mengakibatkan nyeri akut adalah
 Perubahan posisi pasien
 Penghisapan lendir dari trakea pada pasien dengan ventilasi
mekanik
 Penggantian balutan luka
 Pemasangan ataupun pelepasan kateter.
3. Assesmen nyeri penting karena pasien sakit kritis dengan ventilasi
mekanik akan mengalami:
 Stres
 Perasaan yang tidak menyenangkan
 Berpotensi mengalami pengalaman yang buruk selama perawatan
di unit perawatan intensif (ICU). Ini terdiri dari rasa nyeri, takut,
kurang tidur, mimpi buruk,
 Ketidakmampuan untuk berbicara
 Perasaan terisolasi serta merasakan kesendirian.
Masalah ini menjadi lebih kompleks bagi sebagian besar pasien ICU
yang terpasang ventilasi mekanik yang tidak mampu untuk
melaporkan rasa nyeri yang mereka rasakan dikarenakan penggunaan
obat penenang (hipnotis) atau sebagai akibat adanya kerusakan otak
parah.
4. Indikator nyeri pasien terpasang ventilasi mekanik
 Indikator yang bisa diobservasi termasuk indikator fisiologik dan
indikator sikap.
51

 Indikator-indikator ini bisa digunakan untuk menilai nyeri.


Indikator fisiologik bisa dengan mudah didokumentasi pada
pasien-pasien di unit perawatan intensif. Peningkatan tekanan
darah dan peningkatan laju nadi adalah tanda umum yang
dikorelasikan dengan nyeri akut.
 Indikator sikap seperti ekspresi wajah, pergerakan badan, postur
rigid, keteraturan dengan ventilator juga dikorelasikan dengan
nyeri akut. Hasil-hasil dari penilaian ini bisa digunakan untuk
menilai nyeri pada pasien-pasien unit perawatan intensif
5. Pengukuran Intensitas Nyeri
Penilaian skala nyeri dapat dibagi atas pasien yang memiliki
kemampuan verbal dan dapat melaporkan sendiri rasa sakitnya (self
reported) dan pasien dengan ketidakmampuan verbal baik karena
terganggu kognitifnya, dalam keadaan tersedasi, ataupun berada dalam
mesin ventilator.
6. Behavioral Pain Scale (BPS)
BPS merupakan skala yang terdiri dari tiga indikator yaitu:
 Ekspresi wajah
 Pergerakan ekstremitas atas
 Toleransi terhadap ventilasi mekanik.
Alasan penggunaan tiga indikator ini adalah sebagai berikut:
 Pergerakan saat dilakukannya suatu prosedur biasanya dianggap
sebagai indikator nyeri perilaku dan banyak disertakan dalam
skala nyeri perilaku pada anak.
 Ekspresi wajah dihubungkan dengan berbagai stimulasi nosiseptif
yang menghasilkan bukti untuk ekspresi wajah dapat diterima
secara luas sebagai indikator nyeri.
 Toleransi terhadap ventilasi mekanik
 Sebagai suatu respon terhadap stimulasi nosiseptif belum banyak
mendapat perhatian.
Pengamatan rutin dari perawat unit perawatan intensif menunjukkan
bahwa pasien yang terintubasi memberikan respon terhaap nyeri
52

dengan perubahan toleransi terhadap ventilasi mekanik (batuk,


melawan).

Tabel 2.3. Skala BPS

Indikator Karakteristik Nilai

Ekspresi Wajah Tenang 1


Tegang sebagian (Dahi mengerenyit) 2
Tegang seluruhnya (Kelopak mata menutup) 3
Meringis/menyeringai 4
Ekstremitas atas Tenang 1
Menekuk sebagaian di daerah siku 2
Menenkuk seluruhnya dengan dahi mengepal 3
Menekuk total terus menerus 4
Toleransi Terhadap Dapat mengikuti pola ventilasi 1

Ventilasi Mekanik Batuk, tapi masih bisa mengikuti pola 2


ventilasi
Melawan pola ventilasi 3
Pola ventilasi tidak dapatdiikuti 4
53

BAB IV
DOKUMENTASI

1. Skrining nyeri di Instalasi Gawat darurat (RM – )


2. Asesmen nyeri (RM –)
3. Monitoring nyeri (RM – )
54

DAFTAR PUSTAKA

Ali N, Lewis M. (2015). Understanding Pain, An Introduction for Patients and


Caregivers. Rowman & Littlefield.

Andrew . M & Boyle. J.S, (1995), Transcultural Concepts in Nursing Care, 2nd
Ed,Philadelphia, JB Lippincot Company

Arsyawina, et all. Skala critical-care pain observational tool dan wong bekker
faces pain rating scale dalam menilai derajat nyeri pada pasien dengan
ventilasi mekanik. Jurnal Keperawatan Poltekes Kemenkes Kalimantan
Timur; 2014. Available at:https://www.neliti.com>publicati on>critical-
care.

Berman, A., Snyder, S., Kozier, B., & Erb,G (2009). Buku Ajar Praktik
Keperwatan klinik koziet dan erb. Jakarta : EGC

Brunner & Suddarth. Buku ajar keperawatan medikal bedah, edisi 8 volume 2.
Jakarta : EGC;2009.

Giger. J.J & Davidhizar. R.E, (1995), Transcultural Nursing: Assessment and
Intervention, 2nd Ed, Missouri , Mosby Year Book Inc
Hockenberry, M.J., & Wilson, D (2009) Wong’s essential of pediatric nursing.
(8th ed) St. Louis : Mosby Elsevier

Mangku G, Senapathi TGA. (2010). Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Jakarta: Indeks.

Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing:


Concepts,Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw
HillCompanies

Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia.


(2009). Panduan Tatalaksana Nyeri Operatif. Jakarta: PP IDSAI.

Potter PA & Perry AG. Buku ajar fundamental keperawatan : Konsep proses dan
praktik. Vol. 2. Edisi 4. Jakarta : EGC; 2005.

Potts, N.L., & Mandleco, B.L. (2012). Pediatric nursing caring for children and
their families. (3rd ed). New York: Delmar Cengange Learning

Priambodo, et al. Pengkajian nyeri padapasien kritis dengan menggunakan


Critical Pain Observation Tool (CPOT) di Intensive Care Unit. Jurnal Ilmu
Kesehatan 2016; 4: Available at: http: // jkp. fkep. unpad. ac. id/ index.
php/ jkp/ article/ view/239.
55

Prasetyo SN. Konsep dan proses keperawatan nyeri. Yogyakarta: Graha Ilmu;
2010.

Sutari MM, et all. Pain Among Mechanically Ventilated Patients in Critical Care
Units. 2014: Available at: https: // www. ncbi. nlm. nih. gov/ pmc /articles
/PMC4235092/

Wilkinson P, Wiles J. (2013). Guidelines for Pain Management Programmes for


adults. The British Pain Society

Yudiyanta, Novita. (2015). Assessment Nyeri. Patient Comfort Assessment Guide


56
57

Anda mungkin juga menyukai