Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN

Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri dihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat. Sensasi tersebut sering didekripsikan sebagai protopatik (noxious) dan epikritik (non-noxious). Sensasi epiritik (sentuhan ringan, tekanan, propriosepsi, dan perbedaan temperatur) ditandai dengan reseptor ambang rendah yang secara umum dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik (nyeri) ditandai dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut saraf bermielin yang lebih kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin (serabut C).1 Menurut IASP (The International Association for Study of Pain), nyeri adalah pengalaman dan emosi sensori yang tidak menyenangkan dihubungkan dengan kerusakan jaringan atau potensial rusak. Definisi ini menggambarkan adanya suatu gabungan antara komponen objektif, aspek psikologis nyeri serta faktor subjektif dan emosi. Respon terhadap nyeri dapat sangat bervariasi antara orang yang satu dengan orang yang lain dan pada orang yang sama dalam waktu yang berbeda.2 Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang dihasilkan oleh stimulus noxious karena suatu cidera, proses penyakit, atau abnormalitas struktur otot maupun visera. Nyeri ini hampir selalu bersifat nosiseptif. Nyeri kronis didefinisikan sebagai nyeri yang menetap melebihi rentang waktu suatu proses akut atau melebihi kurun waktu normal tercapainya suatu penyembuhan; periodenya dapat bervariasi dari 1 hingga 6 bulan. Nyeri kronik dapat bersifat nosiseptif, neuropatik, atau gabungan keduanya.1 Dalam terapi nyeri digunakan beberapa jenis analgetik (obat pereda nyeri) yang bisa membantu mengurangi nyeri. Obat ini digolongkan ke dalam 3 kelompok yaitu : analgetik opioid (narkotik), analgetik non-opioid dan analgetik adjuvan. analgetik opioid merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat.2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi
Menurut IASP (The International Association for Study of Pain), nyeri adalah pengalaman dan emosi sensori yang tidak menyenangkan dihubungkan dengan kerusakan jaringan atau potensial rusak. Definisi ini menggambarkan adanya suatu gabungan antara komponen objektif, aspek psikologis nyeri serta faktor subjektif dan emosi. Respon terhadap nyeri dapat sangat bervariasi antara orang yang satu dengan orang yang lain dan pada orang yang sama dalam waktu yang berbeda.1

2.2

Klasifikasi
Terminologi nosisepsi yang diambil dari kata noci yang berarti cidera, digunakan untuk mendeskripsikan respon neural terhadap stimulus traumatik maupun noxious. Semua nosisepsi menghasilkan nyeri, namun tidak semua nyeri merupakan hasil nosisepsi. Banyak pasien merasakan nyeri tanpa suatu stimulus noxious. Karenanya, secara klinis kita membagi nyeri ke dalam dua kategori yaitu (1) nyeri akut, biasanya karena nosisepsi dan (2) nyeri kronis, mungkin karena nosisepsi, namun dengan faktor psikologis dan behavioral sebagai faktor utama.1 2.2.1 Nyeri akut 1 Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan stimulus noxious karena suatu cidera, proses penyakit atau fungsi abnormal otot dan visera. Sifatnya hampir selalu nosisepsi. Nyeri nosiseptif dihadirkan untuk mendeteksi, melokalisasi dan membatasi kerusakan jaringan. Tipe nyeri ini biasanya dihubungkan dengan stress neuro-endokrin

(berkeringat, berdebar-debar) yang proporsional dengan intensitasnya. Nyeri ini dapat berupa nyeri postoperatif, nyeri obstetri, nyeri pada penyakit medis akut (AMI, pankreatitis, batu ginjal), dll. Kebanyakan nyeri akut dapat sembuh sendiri (self limited) atau menyembuh dengan pengobatan selama beberapa hari atau minggu. Ketika nyeri gagal menyembuh baik karena abnormalitas proses penyembuhan maupun

pengobatan yang tidak adekuat, nyeri dapat berkembang menjadi kronis. Dua tipe nyeri akut nyeri somatik dan nyeri viseral dibedakan berdasarkan asal nyeri dan gambaran klinisnya. 2.2.2 Nyeri kronis1 Nyeri kronis didefinisikan sebagai nyeri yang menetap melebihi rentang waktu suatu proses akut atau melebihi kurun waktu normal tercapainya suatu penyembuhan; periodenya dapat bervariasi dari 1 hingga 6 bulan. Nyeri kronik dapat bersifat nosiseptif, neuropatik, atau gabungan keduanya. Berdasarkan asalnya nyeri dibagi menjadi: 1. Nyeri nosiseptif (nociceptive pain) 2. Nyeri perifer asal: kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dll nyeri akut, letaknya lebih terlokalisasi. Nyeri visceral/central lebih dalam, lebih sulit dilokalisasikan letaknya

Nyeri neuropatik

Intensitas Nyeri 2 Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007). Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut : 1) skala intensitas nyeri deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik

3) Skala analog visual

4) Skala nyeri menurut bourbanis

Keterangan : 0 :Tidak nyeri 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik. 4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi 10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,

2.3

Patofisiologi Nyeri 1,4

2.3.1 Komponen Nyeri Nosiseptif Banyak teori berusaha untuk menjelaskan dasar neurologis dari nyeri nosiseptif, meskipun tidak ada satu teori yang menjelaskan secara sempurna bagaimana nyeri tersebut ditransmisikan atau diserap. Untuk memudahkan memahami fisiologinya, maka nyeri nosiseptif dibagi atas 4 tahapan yaitu : TRANSDUKSI Pada nyeri nosiseptif, fase pertamanya adalah transduksi, konversi stimulus yang intens apakah itu stimuli kimiawi seperti pH rendah yang terjadi pada jaringan yang meradang , stimulus panas diatas 420C, atau kekuatan mekanis. Disini didapati adanya protein transducer spesifik yang diekspresikan dalam neuron nosiseptif ini dan mengkonversi stimulus noksious menjadi aliran yang menembus membran, membuat depolarisasi membran dan mengaktifkan terminal perifer.Proses ini tidak melibatkan prostanoid atau produksi prostaglandin oleh siklo-oksigenase, sehingga nyeri ini, atau proses ini, tidak dipengaruhi oleh penghambat enzim COX-2. Neuron transduksi diperankan oleh suatu nosiseptor berupa serabut A- dan serabut C yang menerima langsung suatu stimulus noksius. Serabut A- merupakan suatu serabut saraf dengan tebal 1- 3 mm dan diliputi oleh selaput mielin yang tipis. Kecepatan transimisi impuls pada serabut A- adalah sekitar 20m/s. Seperti serabut sensorik lainnya, serabut A- merupakan perpanjangan dari pesudounipolar neuron dimana tubuh selnya berlokasi pada akar ganglion dorsal. Sedangkan serabut C merupakan suatu serabut saraf dengan tebal 1 mm dan tidak memiliki mielin. Karena serabut ini sangat tipis dan karena tidak memiliki mielin yang mempercepat transmisi saraf, kecepatan konduksi rendah, dan suatu rangsang berespon dengan kecepatan 1m/s.Serabut A- dan serabut C tidak hanya berbeda dalam struktur dan kecepatan transmisinya namun mereka juga mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mendeteksi suatu stimulus. Serabut A- mentransimsisikan nyeri tajam dan tusukan. dan serabut C menghantarkan sensasi berupa sentuhan, getaran, suhu, dan tekanan halus. Walaupun dengan adanya perbedaan ini, kedua tipe serabut ini memiliki jalur yang sama dalam menghantarkan stimulus yang terdeteksi. Rute dari impuls saraf ini biasanya disebut dengan jalur nyeri. Selain dari peran serabut A- dan serabut C, disebutkan juga terdapat peran dari neuroregulator yang merupakan suatu substansi yang memberikan efek pada transmisi stimulus saraf, biasanya substansi ini ditemukan pada nosiseptor yaitu akhir saraf dalam kornu dorsalis medulla spinalis dan pada tempat reseptor dalam saluran spinotalamik. Neuroregulator ada dua macam, yaitu neurotransmitter dan neuromodulator. Neurotransmitter mengirimkan impuls
5

elektrik melewati celah synaptik antara 2 serabut saraf dan neuromodulator berfungsi memodifikasi aktivitas saraf dan mengatur transmisi stimulus saraf tanpa mentransfer secara langsung sinyal saraf melalui synaps 4 TRANSMISI Disini terjadi transfer informasi dari neuron nosiseptif primer ke neuron di kornu dorsalis, selanjutnya ke neuron proyeksi yang akan meneruskan impuls ke otak. Transmisi ini melibatkan pelepasan asam amino decarboxilic glutamate, juga peptida seperti substantia P yang bekerja pada reseptor penting di neuron post-sinaptic. Selanjutnya ini akan memungkinkan transfer yang cepat dari input mengenai intensitas, durasi, lokasi, dari stimuli perifer yang berbeda lokasi. 1 Secara umum, ada dua cara bagaimana sensasi nosiseptif dapat mencapai susunan saraf pusat, yaitu melalui traktus neospinothalamic untuk nyeri cepat spontan dan traktus paleospinothalamic untuk nyeri lambat. Pada traktus neospinothalamik, nyeri secara cepat bertransmisi melalui serabut A- dan kemudian berujung pada kornu dorsalis di medulla spinalis dan kemudian bersinapsis dengan dendrit pada neospinothlamaik melalui bantuan suatu neurotransmitter. Akson dari neuron ini menuju ke otak dan menyebrang ke sisi lain melalui commisura alba anterior, naik keatas dengan columna anterolateral yang kontralateral. Serabut ini kemudian berakhir pada kompleks ventrobasal pada thalamus dan bersinapsis dengan dendrit pada korteks somatosensorik. Nyeri cepat-spontan ini dirasakan dalam waktu 1/10 detik dari suatu stimulus nyeri tajam, tusuk, dan gores. Pada traktus paleospinothalamik, nyeri lambat dihantarkan oleh serabut C ke lamina II dan III dari cornu dorsalis yang dikenal dengan substantia gelatinosa. Impuls kemudian dibawa oleh serabut saraf yang berakhir pada lamina V, juga pada kornu dorsalis, bersinaps dengan neuron yang bergabung dengan serabut dari jalur cepat, menyebrangi sisi berlawanan via commisura alba anterior dan naik ke aras melalui jalur anterolateral. Neuron ini kemudian berakhir dalam batang otak, dengan sepersepuluh serabut berhenti di thalamus dan yang lainnya pada medulla, pons, dan substantia grisea sentralis dari tectum mesencephalon. Sebenarnya terdapat beragam jalur khusus hantaran sinyal dari kerusakan jaringan dibawa ke berbagai tujuan, dimana dapat memprovokasi proses kompleks. Transmisi nosiseptif sentripetal memicu berbagai jalur : spinoreticular, spinomesencephalic, spinolimbic, spinocervical, dan spinothalamic. Traktus spinoreticular membawa jalur aferen dari somatosensorik dan viscerosensorik yang berakhir pada tempat yang berbeda pada batang otak. Traktus spinomesencephalik mengandung berbagai proyeksi yang berakhir pada tempat yang berbeda dalam nukleus diencephali. Traktus spinolimbik termasuk dari bagian spinohipotalamik yang mencapai kedua bagian lateral dan medial dari hypothalamus dan kemudian traktus spinoamygdala yang

memanjang ke nukleus sentralis dari amygdala. Traktus spinoservikal, seperti spinothalamik membawa sinyal ke thalamus.1,4

MODULASI Pada fase modulasi terdapat suatu interaksi dengan system inhibisi dari transmisi nosisepsi berupa suatu analgesic endogen. Konsep dari system ini yaitu berdasarkan dari suatu sifat, fisiologik, dan morfologi dari sirkuit yang termasuk koneksi antara periaqueductal gray matter dan nucleus raphe magnus dan formasi retikuler sekitar dan menuju ke medulla spinalis Analgesik endogen meliputi : - Opiat endogen - Serotonergik - Noradrenergik (Norepinephric) Sistem analgesik endogen ini memiliki kemampuan menekan input nyeri di kornu posterior dan proses desendern yang dikontrol oleh otak seseorang, kornu posterior diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup adalah terbuka dalam menyalurkan input nyeri. Proses modulasi ini dipengaruhi oleh kepribadian, motivasi, pendidikan, status emosional &kultur seseorang. Secara skematik proses modulasi dapat dilihat pada skema dibawah ini

Gambar 2.1 Proses Modulasi

PERSEPSI Fase ini merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri, pada saat individu menjadi sadar akan adanya suatu nyeri, maka akan terjadi suatu reaksi yang kompleks. Persepsi ini menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu itu dapat bereaksi. (8) Fase ini dimulai pada saat dimana nosiseptor telah mengirimkan sinyal pada formatio reticularis dan thalamus, sensasi nyeri memasuki pusat kesadaran dan afek. Sinyal ini kemudian dilanjutkan ke area limbik. Area ini mengandung sel sel yang bisa mengatur emosi. Area ini yang akan memproses reaksi emosi terhadap suatu nyeri. Proses ini berlangsung sangat cepat sehingga suatu stimulus nyeri dapat segera menghasilkan emosi. Seperti terlihat pada gambar 2 dibawah

Gambar 2. 2 Skema proses terjadinya nyeri nosiseptif

2.4

Penatalaksanaan Nyeri
3

2.3.1 Tujuan Penatalaksanaan Nyeri

Mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri Menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri kronis yang persisten Mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri
8

Meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi nyeri Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari

2.3.2 Pendekatan farmakologik Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah OAINS, COX-2 inhibitors(coxib), analgetika opioid , dan analgetika adjuvan. Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Pada penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat. Istilah pukul dulu, urusan belakang tampak cukup tepat untuk menggambarkan prinsip tatalaksana nyeri akut. Prinsip pengobatan nyeri akut dan berat (nilai Visual Analogue Scale = VAS 7-10) yaitu pemberian obat yang efek analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal. Pada nyeri akut, dokter harus memilih dosis optimum obat dengan mempertimbangkan kondisi pasien dan keparahan nyeri. Pada nyeri kronik, dokter harus mulai dengan dosis efektif yang serendah mungkin untuk kemudian ditingkatkan sampai nyeri terkendali. Pemilihan obat awal pada nyeri kronik ditentukan oleh keparahan nyeri. Pengobatan nyeri harus dimulai dengan analgesik yang paling ringan sampai ke yang paling kuat Tahapannya: Tahap I : analgesik non-opiat : AINS Tahap II : analgesik AINS + ajuvan (antidepresan) Tahap III : analgesik opiat lemah + AINS + ajuvan Tahap IV : analgesik opiat kuat + AINS + ajuvan

Contoh ajuvan : antidepresan, antikonvulsan, agonis 2, dll. Protokol ini dikenal dengan nama WHO analgesic ladder seperti pada gambar 2.1.1,3

Gambar 2.3. WHO 3 Step ladder untuk terapi nyeri 3,7

A. Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS) Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen(Tylenol) dan OAINS. OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronik seperti arthritis, dan nyeri akibat-kanker yang ringan. OAINS menghasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat. Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme nosiseptor aferen primer dengan menghambat sintesis prostaglandin. Efek samping yang sering adalah iritasi GI/ulkus peptikum dan menghambat agregasi platelet. Inhibitor COX-2 spesifik (seperti celecoxib dan lumiracoxib) mengurangi resiko efek samping tersebut. Inhibitor COX-2 bersifat selektif karena hanya menghambat jalur COX-2. Tidak terpengaruhnya jalur COX-1 ini melindungi produk-produk prostaglandin yang baik yang diperlukan untuk fungsi fisiologis seperti melindungi mukosa lambung dan filtrasi glomerulus di ginjal.(8)Contoh dari OAINS adalah1 :

10

1. Acetaminophen Acetaminophen merupakan terapi yang efektif dalam manajemen nyeri nosiseptif. Pada nyeri akut ataupun kronik, acetaminophen juga dapat dikombinasikan dengan opioid analgesics. Dosis maksimal dari

acetaminophen untuk penggunaan jangka pendek adalah 4.000 mg per hari. Dosis maksimal harus diperhatikan dalam penggunaan obat ini untuk menghindari efek sampingnya yaitu hepatotoksik.5 2. Asetosal (asam asetilsalisilat, Aspirin) Obat ini memiliki aktivitas analgetik, antipiretik, dan antiinflamasi dan juga memiliki efek antiplatelet sehingga dapat mencegah pembekuan darah. Sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan gangguan pembekuan darah (misalnya hemofili), sirosis hati, trombositopenia, atau pada pasca operasi.Asetosal bersifat asam, dapat menyebabkan iritasi mukosa lambung. Sebaiknya jangan diminum ketika lambung kosong dan tidak

direkomendasikan bagi pasien yang memiliki riwayat gangguan lambung. Dosis asetosal untuk dewasa ialah 325 mg-650 mg, diberikan secara oral tiap 3 atau 4 jam. Untuk anak 15-20 mg/kgBB, diberikan tiap 4-6 jam dengan dosis total tidak melebihi 3,6 g per hari. Penggunaan obat ini dapat menyebabkan Reyes syndrome (suatu gangguan serius pada sistem hepatik dan susunan saraf pusat), sebaiknya tidak digunakan pada anak-anak di bawah 12 tahun. Beberapa referensi menunjukkan bahwa 20% pasien asma memiliki sensitivitas/alergi terhadap aspirin. Sebaiknya obat ini tidak digunakan pada pasien dengan riwayat alergi (rinitis, urtikaria, asma, anafilaksis, dll). Aspirin sebaiknya tidak digunakan pada wanita hamil karena dapat memperpanjang waktu kelahiran dan meningkatkan resiko pendarahan pasca kelahiran (post-partum).6 3. Asam Mefenamat Obat ini memiliki khasiat analgetik, antipiretik dan anti-inflamasi yang cukup, tapi tidak lebih kuat daripada asetosal. Asam mefenamat bersifat asam sehingga dapat menyebabkan gangguan lambung. Obat ini sebaiknya jangan diminum pada saat perut kosong, atau pada pasien dengan riwayat gangguan saluran cerna/lambung. Efek sampingnya adalah diare,

11

trombositopenia, anemia hemolitik, dan ruam kulit. Penggunaan obat ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan pada anak-anak dan wanita hamil serta tidak digunakan dalam jangka waktu lebih dari seminggu, dan pada pemakaian lama perlu dilakukan pemeriksaan darah. 6,7

B. COX-2 inhibitors Dalam perbandingannya dengan OAINS konvensional, muncul suatu hipotesis yang disebut sebagai hipotesis COX-2 (the COX-2 hypothesis). Hipotesis ini mengatakan bahwa pada dosis efektif yang sama, coxib akan menyebabkan efek samping gastrointestinal berat yang lebih sedikit

dibandingkan dengan OAINS nonselektif konvensional. Hipotesis ini didasarkan pada asumsi bahwa: a) penghambatan terhadap COX-2 hanya sedikit dan seperlunya untuk efek analgesik/antiinflamasinya, dan b) penghambatan terhadap COX-1 sebagian besar akan menimbulkan terjadinya toksisitas gastrointestinal yang serius. Sampai saat ini masih banyak pertanyaan tentang pasien manakah yang diperbolehkan mendapat penghambat Cox-2 selektif sebagai pilihan pertama dibanding dengan OAINS non- selektif. Konsensus yang ada menyatakan bahwa penghambat Cox-2 selektif dapat diberikan pada pasien dengan risiko tinggi terjadi komplikasi gastrointestinal tetapi tidak pada pasien dengan risiko rendah.6 Coxibs adalah salah satu contoh COX-2 inhibitor dan merupakan terapi yang efektifdalam manajemen nyeri nosiseptif. Coxibs dapat digunakan sebagai monoterapi pada nyeri akut dan juga dapat dikombinasikan dengan analgesic opioid pada nyeri kronik. Penggunaan rofecoxib memperkecil resiko terjadinya komplikasi pada lambung. Efek samping dari obat ini adalah dapat meningkatkan resiko terjadinya hipertensi, CHF, dan gagal ginjal. 5

C. Analgesik Opioid Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan digunakan dalam penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat.(11) Analgesik opioid efektif dalam penanganan nyeri nosiseptif maupun

12

neuropatik.(9) Obat-obat ini merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pascaoperasi dan nyeri terkait kanker. Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat dan masih menjadi standar pembanding untuk menilai obat analgesik lain. 5 Reseptor opiat ada 3 yaitu 5 Reseptor (mu) : Berperan dalam Analgesia supraspinal, respirasi, Euforia, Ketergantungan Reseptor (kappa) : Berperan dalam analgesia spinal, miosis, sedasi Reseptor (delta) : disforia, halusinasi, stimulasi pusat vasomotor. depresi,

Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi sebagai akibat kerja opioid pada reseptor . Reseptor dan dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan analgesia terutama paa tingkat spinal. Morfin juga bekerja melalui reseptor dan , namun belum diketahui besarnya peran kerja morfin melalui kedua reseptor ini dalam menimbulkan analgesia. Opiod menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medulla spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri. Ketiga jenis reseptor ini didapatkan di kordu dorsalis medulla spinalis. Reseptor didapatkan baik pada saraf yang mentransmisi nyeri di medulla spinalis maupun pada afferent primer yang merelai nyeri. Agonis opioid melalui ketiga reseptor ini pada ujung prasinaps aferen primer nosiseptif mengurangi pelepasan transmitter dan selanjutnya menghambat saraf yang mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medulla spinalis. Dengan demikian, opioid memiliki efek analgetik yang kuat melalui pengaruh pada medulla spinalis. Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip, termasuk depresi pernapasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu, semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan, dan ketagihan (adiksi). 5 Contoh analgesik opioid adalah : 1. Morfin

Morfin digunakan sebagai standar analgesik opiat lain. Umumnya diberikan secara s.c., i.m, iv. Dosis oral 2 x dosis injeksi. Morfin digunakan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan

13

analgesic non-opioid. Efek samping dari morfin adalah depresi respirasi, mualmuntah, konstipasi, dll.6 2. Meperidin

Meperidin menimbulkan analgesia, sedasi, euphoria, depresi napas dan efek sentral lain. Efek analgetik meperidin serupa dengan efek analgetik morfin. Efek analgetik meperidin timbul 15 menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak dalam 2 jam. Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkana analgesia dan diindikasikan atas dasar masa kerjanya lebih pendek daripada morfin. Meperidin diberikan peroral atau IM dengan dosis 50-100 mg. Efek sampingnya adalah pusing, berkeringat, mulut kering, euphoria, palpitasi, dll. 6 3. Metadon

Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri yang dapat dipengaruhi oleh morfin. Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit setelah pemberian parenteral atau 30-60 menit setelah pemberian oral. Metadon digunakan sebagai pengganti morfin untuk mencegah dan mengatasi gejala putus obat yang ditimbulkan oleh obat tersebut. Metadon menyebabkan efek samping berupa perasaan ringan, pusing, kantuk, fungsi mental terganggu, berkeringat, pruritus, mual dan muntah. 6

2.5

Terapi Injeksi

14

Jenis Terapi Suntik Blok Terapi yang tepat untuk mengurangi nyeri akut, terutama dalam selflimiting disorder (misalnya, pasca operasi, pasca trauma, atau akut sindrom nyeri viseral). Secara umum, mereka telah menganjurkan untuk mengurangi rasa sakit akut atau eksaserbasi dari nyeri kronis dan memberikan tindakan terapi langsung dan lokal, terutama pada pasien yang sakit disertai dengan pembengkakan dan peradangan. Mereka membantu pasien (1) mempertahankan rawat jalan atau status rawat jalan pengobatan, (2) mempertahankan partisipasi dalam terapi fisik atau program rehabilitasi, (3) menurunkan kebutuhan analgesik, dan (4) dalam beberapa kasus, menghindari atau menunda intervensi bedah .7,8,9 Blok simpatik di causalgia dan distrofi refleks simpatis (yaitu, kompleks sindrom nyeri regional) mengizinkan aplikasi yang lebih efektif dari teknik pengobatan adjunctive termasuk terapi fisik dan obat. Dalam beberapa kasus, terapi suntikan membantu keuntungan praktisi kerjasama pasien, yang mungkin telah dikompromikan tidak hanya oleh rasa sakit tapi juga oleh rasa takut, gizi buruk, dan deconditioning. Blok diagnostik sering membantu praktisi mengobati menentukan asal anatomi dari nyeri pasien. Prosedur ini juga dapat memfasilitasi diferensiasi lokal dari sumber nyeri alih somatik, viseral seorang dari sumber nyeri somatik, atau perifer dari etiologi pusat. Blok selektif dapat membantu menentukan jaringan perifer generator nyeri primer. Dalam kasus dugaan sindrom nyeri kompleks daerah, blokade saraf dapat digunakan untuk menetapkan kontribusi relatif dari somatik dan sistem saraf simpatik. Blok prognostik dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang kemanjuran dari neurolytic yang direncanakan atau prosedur bedah saraf ablatif atau hasil bedah potensial. Blok ini juga dapat membantu praktisi dan pasien memutuskan apakah akan melanjutkan dengan operasi atau prosedur ablatif. Blok profilaksis digunakan untuk menunda dan mengurangi nyeri pasca operasi, untuk mencegah komplikasi yang disebabkan oleh nyeri pasca

15

trauma atau visceral, untuk mengurangi durasi rawat inap dan pemulihan, dan untuk mencegah perkembangan tertentu sindrom nyeri kronis seperti distrofi otonom dan phantom limb pain. Penggunaan Anestesi Lokal 1,3,7 Lidokain adalah LA yang banyak digunakan karena onset yang cepat, potensi yang baik, dan mempenetrasi jaringan. Dalam kelompok ini bupivakain juga populer dan sering digunakan LA untuk blok saraf perifer dan anestesi epidural atau tulang belakang. Tersedia secara komersial konsentrasi rentang obat 0,125-0,75%. Mengubah konsentrasi bupivakain dapat menimbulkan blokade saraf sensorik terpisah atau motor, yakni konsentrasi yang lebih rendah terutama menginduksi blok sensorik, sedangkan konsentrasi yang lebih tinggi menyebabkan blok motorik. Bupivakain mengubah konduksi miokard lebih dramatis dari lidokain, karena itu, kebutuhan untuk monitoring kardiorespirasi selama penggunaan LA harus ditekankan. Anestetika lokal dapat digunakan secara sistemik pada pasien dengan nyeri neuropatik. Agen ini menghasilkan efek sedasi dan analgesi sentral. Lidokain, prokain, dan klorprokain adalah agen yang paling sering digunakan, diberikan secara slow bolus maupun infus kontinyu. Lidokain diberikan melalui infus selama 5-30 menit untuk dosis total 1-5 mg/kg. prokain 200-400 mg dapat diberikan secara intravena selama 1-2 jam. Klorprokain (i% solution) diinfuskan dengan kecepatan 1 mg/kg/min untuk total dosis 10-20 mg/kg. Monitoring yang harus dilakukan meliputi elektrokardiogram (EKG), tekanan darah, respirasi dan status mental. Alat resusitasi harus selalu tersedia. Tanda-tanda toksisitas meliputi tinnitus, slurring, sedasi esksesif dan nistagmus. Beberapa agen yang digunakan untuk memperpanjang atau memodifikasi aksi LA. Seperti telah dibahas, epinefrin penyebab vasokonstriksi, yang mengurangi penyerapan vaskular dan sistemik obat dari situs yang dimaksudkan tindakan, menurunkan risiko toksisitas sistemik, dan meningkatkan keberhasilan LA pada jaringan target. Epinefrin adalah agen paling sering dikombinasikan dengan LA, yang memiliki waktu paruh pendek sampai sedang. Epinefrin merupakan kontraindikasi pada beberapa pasien karena efek samping atau sensitivitas obat atau ketika kompromi aliran darah harus dihindari (misalnya,

16

bila digunakan dalam porsi distal ekstremitas, terutama dengan hidup bersama penyakit pembuluh darah perifer). Fenilefrin dan norepinefrin (NE) juga telah digunakan sebagai vasokonstriktor untuk anestesi spinal, namun mereka tampaknya tidak memberikan keuntungan yang signifikan selama epinefrin lebih umum digunakan. Alkalinizing agents diduga memfasilitasi terjadinya tindakan dan

memperpanjang blokade saraf bila dikombinasikan dengan LA, namun pada penelitian double blind terakhir pada manusia telah gagal untuk membuktikan bahwa ini benar-benar terjadi. Namun demikian, penambahan natrium bikarbonat untuk bupivakain masih dianjurkan untuk menghasilkan onset lebih cepat dari blokade epidural dengan durasi lebih lama. Kortikosteroid 7 Suntik kortikosteroid secara tradisional dianjurkan untuk mengobati rasa sakit dan peradangan yang terkait dengan segudang kondisi muskuloskeletal, kecuali bila infeksi atau kerusakan kulit hadir di situs target, atau pada pasien dengan diabetes yang tidak terkontrol. Beberapa tindakan terapeutik telah diusulkan untuk mereka bermanfaat efek. Mereka mengurangi peradangan dengan menghambat sintesis atau pelepasan sejumlah zat proinflamasi, termasuk asam arakidonat dan metabolitnya (misalnya prostaglandin, leukotrien), beberapa sitokin (misalnya interleukin 1 dan 6, faktor nekrosis tumor. -), dan lain reaktan fase akut. Mekanisme yang diusulkan lain dari tindakan meliputi efek stabilisasi membran-langsung, penghambatan reversibel nociceptive C-serat transmisi, dan modulasi input nociceptive dalam substantia gelatinosa dorsal horn neurons. Dosis besar terus menerus kortikosteroid mempengaruhi sintesis kolagen, dan, karenanya, kekuatan jaringan ikat. Frekuensi suntikan dan dosis harus dipantau oleh dokter untuk mencegah penekanan kekebalan umum atau fokal seperti infeksi atau gangguan penyembuhan jaringan lunak. Oleh karena itu, jumlah kortikosteroid yang dapat diterapkan dari waktu ke waktu ke area jaringan tertentu dapat merugikan, meskipun kurva dosis / waktu yang tepat masih belum diketahui. Pemberian bersamaan obat yang mengubah efek

17

kortikosteroid atau clearance biasanya tidak menonjol ketika suntikan diberikan sesekali. Kortikosteroid adalah salah satu zat aktif yang paling umum digunakan untuk intervensi tulang belakang. Partikulat steroid tidak boleh ditempatkan ke dalam foramen serviks, karena arteri foraminal, khususnya arteri

radiculomedullary, dapat tersumbat oleh injeksi. Oklusi arteri Foraminal juga menjadi pertimbangan antara tingkat tulang belakang untuk T10 L4. Partikulat steroid, ketika disuntikkan ke dalam arteri tulang belakang foraminal, dapat menyebabkan kelumpuhan, bahkan kematian. Reaksi merugikan umum dialami dari suntikan kortikosteroid termasuk pusing, gugup, kemerahan pada wajah, insomnia, dan nafsu makan meningkat sementara, terjadi kemerahan dan nyeri di tempat suntikan dapat terjadi,. Yang berlangsung selama 24-48 jam dalam 10% pasien dan diperkirakan berhubungan dengan respon inflamasi lokal untuk kristal kortikosteroid. Kemungkinan reaksi suar-up yang dikurangi dengan menggunakan larut, cepat diserap

steroid. Istirahat dan terapi fisik kadang-kadang diperlukan dalam kasus ini. Selain itu, efek samping dapat terjadi pada orang yang memiliki penyakit ulkus peptikum aktif, ulcerative colitis, infeksi aktif, hipertensi, gagal jantung kongestif, penyakit ginjal, dan penyakit jiwa. Hiperglikemia pada penderita diabetes dikenal menjamin pemantauan postprocedural hati-hati. Efek samping lain yang kurang serius dari

corticosteroids termasuk injeksi hiperpigmentasi situs, subkutan atrofi lemak, edema perifer, dispepsia, dan malaise. Respon sistemik sering terjadi bahkan pada suntikan kortikosteroid lokal. Reaksi alergi terhadap glukokortikoid sistemik dalam lambat-release formulasi telah dilaporkan terjadi hingga 1 minggu setelah injeksi.

18

BAB III KESIMPULAN


Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah OAINS, COX-2 inhibitors(coxib), analgetika opioid , dan analgetika adjuvan. Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Pada penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat. Istilah pukul dulu, urusan belakang tampak cukup tepat untuk menggambarkan prinsip tatalaksana nyeri akut. Prinsip pengobatan nyeri akut dan berat (nilai Visual Analogue Scale = VAS 7-10) yaitu pemberian obat yang efek analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal. Pada nyeri akut, dokter harus memilih dosis optimum obat dengan mempertimbangkan kondisi pasien dan keparahan nyeri. Pada nyeri kronik, dokter harus mulai dengan dosis efektif yang serendah mungkin untuk kemudian ditingkatkan sampai nyeri terkendali. Pemilihan obat awal pada nyeri kronik ditentukan oleh keparahan nyeri Anestetika lokal dapat digunakan secara sistemik pada pasien dengan nyeri neuropatik. Agen ini menghasilkan efek sedasi dan analgesi sentral. Lidokain, prokain, dan klorprokain adalah agen yang paling sering digunakan, diberikan secara slow bolus maupun infus kontinyu. Lidokain diberikan melalui infus selama 5-30 menit untuk dosis total 1-5 mg/kg. prokain 200-400 mg dapat diberikan secara intravena selama 1-2 jam. Klorprokain (i% solution) diinfuskan dengan kecepatan 1 mg/kg/min untuk total dosis 10-20 mg/kg. Monitoring yang harus dilakukan meliputi elektrokardiogram (EKG), tekanan darah, respirasi dan status mental. Alat resusitasi harus selalu tersedia. Tandatanda toksisitas meliputi tinnitus, slurring, sedasi esksesif dan nistagmus. Glukokortikoid digunakan secara luas dalam manajemen nyeri karena efek antiinflamasi dan analgesik yang dimiliki. Agen ini dapat diberikan secara topikal, oral, atau parenteral (intravena, subkutan, intra bursa, intraartikular, dan epidural). Kelebihan glukokortikoid dapat menimbulkan hipertensi, hiperglikemi, peningkatan kerentanan terhadap infeksi, ulkus peptik, osteoporosis, nekrosis aseptik caput femoral, myopati proximal, katarak, dan (jarang) psikosis.

19

DAFTAR PUSTAKA

1 Murdiyanto, Joko. MANAJEMEN NYERI AKUT DAN NYERI REFRAKTER. http: //perawattegal.wordpress.com/tag/manajemen-nyeri/ (akses pada 3 februari 2012) 2 Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63 3 Sunardi. 2005. Tatalaksana Nyeri (Medikasi dan Non Medikasi). http://nardinurses. files.wordpress.com/2008/02/tatalaksana-nyeri-medikasi-non-medikasi.pdf. pada 3 februari 2012) 4 Mubarak,Husnul.[on line] 2008 [ cited 2010 November 15] : available from : http://cetrione.blogspot.com/2008/05/nyeri-nosiseptif.html 5 Goldmann B. Easing the Ouch: Relieving Short-Term Pain. [on line]. 2003 [cited 2010 November 15] : available from : URL: http://www.stacommunications. com/journals/ diagnosis/2003/10_October/drgoldmanpain.pdf 6 Santoso SO, Dewoto HR. Analgesik Opioid dan Antagonis. In : Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyatuti, Nafrialdi, eds. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2004. p.210-229 7 Ropper HA, Brown RH. 2005. Adams and Victor Principles of Neurology 8th edition. New York: McGraw-Hill 8 Wheele, Anthony H et all. 2011. Therapeutic Injections for Pain Management. http://emedicine.medscape.com/article/1143675-overview#aw2aab6c10. (akses pada 3 februari 2012) 9 Anonim, Klasifikasi Nyeri. http://www.scribd.com/doc/56168325/3/KLASIFIKASINYERI. (akses pada 3 februari 2012) (akses

20

Anda mungkin juga menyukai