MULTIPEL SKLEROSIS
Diajukan Oleh
Bayu H. Wibowo, S.Ked
J510 165 073
Pembimbing
dr. Iman Budiarto, Sp. S
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
REFERAT
MULTIPEL SKLEROSIS
Diajukan Oleh :
Bayu H. Wibowo, S.Ked
J510 165 073
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Dipersentasikan dihadapan :
dr. Iman, Sp. S ()
B. Epidemilogi
Di Indonesia penyakit ini tergolong jarang dibandingkan penyakit
neurologis lainnya. MS lebih sering menyerang perempuan dibandingkan laki
laki dengan rasio 2:1. Umumnya penyakit ini diderita mereka yang berusia
20-50 tahun. MS bersifat progresif dan dapat mengakibatkan kecacatan.
Sekitar 50% penderita MS akan membutuhkan bantuan untuk berjalan dalam
15 tahun setelah onset penyakit.1
C. Etiologi
Etiologi dari kelainan tersebut masih belum jelas. Ada beberapa
mekanisme penting yang menjadi penyebab timbulnya MS yaitu autoimun,
(molecular mimikri), infeksi, herediter, paparan sinar matahari. Meskipun
bukti yang meyakinkan kurang, faktor makanan dan paparan toksin telah
dilaporkan ikut berkontribusi juga. Mekanisme ini tidak saling berdiri sendiri
melainkan merupakan gabungan dari berbagai faktor.
1. Virus : EBV
2. Defisiensi vitamin D: vitamin D berfungsi untuk mengatur respon imun.
Vitamin D mengurangi produksi dari sitokin pro inflamatori dan
meningkatkan produksi sitokin anti inflamatori.
3. Genetika : penurunan kontrol respon immune 2,3
D. Klasifikasi
Berdasarkan perbedaan klinis dan gejala, terdapat beberapa tipe MS:
1. Relapsing remitting MS (RRMS)
Tipe ini ditandai dengan episode relaps atau eksaserbasi yang diikuti
dengan episode remisi (perbaikan). Sekitar 85% pasien MS memiliki tipe
RRMS, 65 % diantaranya akan berkembang menjadi tipe secondary
progressive MS (SPMS)
2. Secondary progressive MS (SPMS)
Banyak pakar yang menganggap SPMS merupakan bentuk lanjut dari
RRMS yang berkembang progresif. Pada tipe ini episode remisi makin
berkurang dan gejala menjadi makin progresif
3. Primary progressive MS (PPMS)
PPMS diderita oleh 10-15% pasien MS dengan rasio perempuan : laki
laki= 1:1. Gejala yang timbul tidak pernah mengalami fase remisi.
4. Primary relapsing MS (PRMS)
Bentuk PRMS adalah yang paling jarang. Pasien terus mengalami
perburukan dengan beberapa episode eksaserbasi diantaranya. Tidak ada
fase remisi atau bebas dari gejala.1,2
Gambar 1. Klasifikasi MS
E. Patofisiologi
Mekanisme autoimun diduga terjadi melalui penurunan aktifitas
limfosit T-supresor pada sirkulasi pasien penderita MS serta adanya
molecular mimicry antara antigen dan MBP (myelin basic protein) yang
mengaktifkan klon sel T yang spesifik terhadap MBP (MBP specific T-cell
clone). Limfosit T4 menjadi autoreaktif pada paparan antigen asing yang
strukturalnya mirip dengan MBP. Tidak hanya beberapa virus dan peptida
bakteri saja yang memiliki kesamaan struktural dengan MBP, tetapi beberapa
dari mikroorganisme tersebut dapat mengaktifkan MBP-spesifik T-sel klon
pada pasien MS. 1,2,4
Beberapa infeksi virus diketahui menyebabkan demyelinasi pada
manusia diantaranya progressive multifocal leukoencephalopathy yang
disebabkan oleh polyomavirus JC, subakut sclerosing panencephalitis oleh
virus campak. Pada MS studi serologis awal sulit ditafsirkan. Namun, banyak
pasien MS terdapat elevasi titer CSF terhadap virus campak dan herpes
simpleks (HSV), tetapi ini juga tidak spesifik. 1,2,4
Secara patologi, lesi MS akan memperlihatkan plak yang merupakan
lesi demielinisasi. Plak ini merupakan gambaran patognomik MS. Pada fase
akut tampak sebukan sel radang, hilangnya myelin, dan pembengkakan
parenkim. Pada fase kronik, kehilangan myelin menjadi lebih jelas, dengan sel
sel makrofag disekitarnya disertai kerusakan akson dan apoptosis
oligodendrosit.1,2,4
F. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis yang muncul sesuai dengan daerah lesi yang terkena.
Terdapat beberapa gejala dan tanda yang timbul pada MS:
1. Kehilangan fungsi sensorik (paresthesia): gejala awal
2. Neuritis optik: gejala awal
3. Gejala pada corda spinalis (motorik): cramping akibat spastisitas
4. Gejala pada corda spinalis (otonom): gangguan BAB dan BAK,
disfungsi seksual
5. Cerebellar symptom: triad charcot (disartia, tremor, ataksia)
6. Trigeminal neuralgia
7. Facial myokymia
8. Diplopia akibat ophtalmoplegia internuklear dan nistagmus
9. Heat intolerance
10. Mudah lelah (70% kasus)
11. Nyeri
12. Menurunnya fungsi kognitif
13. Depresi
14. Bipolar, dementia
15. Tanda lhermitte (Sensasi listrik dari leher ke bawah yang dirasakan
pada fleksi leher): Pada MS yang menyerang medula spinalis1,2,6
G. Diagnosis
Tidak ada satu tes pun yang dapat memastikan diagnosis MS. Multiple
sclerosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Penegakan diagnosis
mempergunakan kriteria diagnostik seperti Kriteria McDonald. Saat ini yang
dipergunakan adalah kriteria McDonald revisi 2010. Diagnosis MS perlu
dipikirkan apabila didapatkan gejala-gejala neurologis dengan episode remisi
dan eksaserbasi ataupun progresif dan tidak ditemukan sebab lain yang dapat
menjelaskan gejala tersebut.1
Tabel 1. Kriteria McDonald Revisi 2010
Dengan demikian, untuk menegakkan diagnosis MS, perlu dilakukan
pemeriksaan untuk mengeksklusi diagnosis diferensial, seperti tumor otak,
infeksi otak, stroke, trauma kepala maupun gangguan metabolik.
Pemeriksaan pungsi lumbal harus dilakukan bukan untuk menegakkan
diagnosis, tetapi menyingkirkan kemungkinan infeksi otak. Pemeriksaan
oligoclonal band tidak lagi menjadi standar emas penegakan diagnosis MS,
kecuali pada tipe PPMSperan oligoclonal band menjadi lebih besar. Pada
pemeriksaan MRI kepala dapat ditemukan lesi hiperintens di periventrikular,
jukstakortikal, infratentorial, dan medulla spinalis. Gambaran yang cukup
khas pada lesi MS adalah ovoid lesion dan dawson finger Multiple sclerosis
juga dapat menyerang medula spinalis dan mengakibatkan gejala, seperti
mielitis. Multiple sclerosis yang mengenai medula spinalis perlu dibedakan
dengan neuromielitis optika (NMO) atau Devics disease. NMO awalnya
dikategorikan sebagai varian dari MS. Akan tetapi, saat ini telah diketahui
bahwa NMO adalah suatu penyakit autoimun yang berbeda dengan MS.
Membedakan MS dan NMO menjadi penting karena pengobatan kedua
penyakit ini berbeda. Sebagaimana MS, NMO yang merupakan penyakit
autoimun dapat memperlihatkan gejala dengan episode remisi dan
eksaserbasi. Gejala utamanya adalah gangguan penglihatan yang umumnya
lebih berat dibandingkan MS dan gejala mielitis. Gambaran MRI kepala
NMO bisa normal atau apabila ditemukan lesi, lesi tersebut haruslah tidak
memenuhi kriteria MS. Sedangkan gambaran lesi myelitis pada MRI
memperlihatkan lesi hiperintens yang mengenai medula spinalis sepanjang
lebih dari 3 segmen vertebra (longitudinally extensive spinal cord lesion)
(gambar 4). Diagnosis NMO ditegakkan dengan menggunakan kriteria
Wingerchuck.1
Tabel 2. Kriteria Diagnosis NMO
Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi dilakukan jika tidak ada MRI. Pada pemeriksaan
ditemukan oligoclonal band dan produksi IGG intratekal.
H. Diagnosis Banding
Diagnosa banding utama untuk menjadi pertimbangan tergantung pada
manifestasi neurologis dalam kasus:
1. Defisit saraf kranial mungkin saja berhubungan dengan berbagai jenis
lesi fokal, seperti sebuah tumor dermoid basis kranii, suatu tumor dari
serebelopontine angel, suatu tumor di foramen magnum, suatu optik
glioma atau sphenoid wing meningioma dengan atrofi saraf optik, suatu
brainstem astrocytoma, brainstem encephalitis, dan lain-lain.
2. Suatu hemiplegia mungkin saja berhubungan dengan suatu tumor otak
atau stroke
3. Kejang paraparesis mungkin saja berhubungan dengan suatu tumor saraf
tulang belakang atau cervical spondylotic myelopathy.
4. Paraparesis berulang mungkin saja berhubungan dengan suatu
malformasi vaskular pada saraf tulang belakang.
5. Gejala dari serebellar dan traktus piramidal, dan mungkin juga gejala
dari batang otak, mungkin saja berhubungan dengan suatu massa atau
bentuk malformasi batang otak atau craniocervical junction. Beberapa
gejala sering misdiagnosed sebagai multipel sklerosis. Bentuk
malformasi vaskuler batang otak, juga dapat menyebabkan gejala
neurologis yang berubah-ubah dengan onset usia pertengahan atau usia
tua.
6. Keterlibatan dari berbagai area dari sistem saraf pusat mungkin saja
berhubungan dengan penyakit sistemik seperti sistemik lupus
erythematosus, sarcoidosis, penyakit vaskuler, toxic
encephalomyelopathy, hypothyroidism, atau funicular myelosis.
7. Keterlibatan mata dan sistem saraf pusat mungkin saja berhubungan
dengan suatu vaskulitis atau intoksikasi. Uveitis ditemukan bersama-
sama dengan kelainan neurologis dalam uveoencephalomyelitis (Vogt-
Koyanagi-Harada syndrom), suatu hal yang jarang, kiranya adalah
sindrom virus dimana terjadi uveitis, gangguan gaya berjalan,
leukodermia, munculnya uban, encephalitis, dan tanda meningeal yang
berubah-ubah.
8. Behcets disease dapat menyebabkan apththous ulcer, manifestasi
okular, dan manifestasi saraf pusat, terutama brainstem encephalitis.1,4,7
I. Tatalaksana
1. Terpi Simtomatik
Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan
diantaranya adalah :1,5,6
a. Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan
program exercise seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya.
Medikasi diberikan ketika ada kekakuan, spasme, atau klonus saat
beraktivitas atau kondisi tidur. Baclofen, tizanidine, gabapentin, dan
benzodiazepine efektif sebagai agen antispastik.
b. Paroxysmal disorder. Pada berbagai kasus, penggunaan
carbamazepin memberikan respon yang baik pada spasme distonik.
Nyeri paroxysmal dapat diberikan antikonvulsan atau amitriptilin.
2. Terapi Relaps
Pengobatan relaps dilakukan dengan pemberian metilprednisolon 500-
1000 mg IV selama 3-5 hari. Metilprednisolon diberikan sekali pada pagi
hari dalam saline normal selama 60 menit. Pemberian metilprednisolon
lebih dari 5 hari tidak memberikan hasil yang lebih baik.1
Pada pasien dengan MS, fisoterapi harus selalu dilakukan untuk
meningkatkan fungsi dan kualitas hidup dari ketergantungan obat therapy.
Perawatan pendukung berupa konseling, terapi okupasi, saran dari sosial,
masukan dari perawat, dan partisipasi dalam patient support group
merupakan bagian dari perawatan kesehatan dengan pendekatan tim dalam
pengelolaan MS.1
3. Disease-Modifying Therapies
a. Interferon beta
Berdasarkan guideline NICE, pasien RRMS direkomendasikan
untuk mendapatkan terapi Interferon Beta, baik jenis Interferon Beta
1a maupun 1b. Beta interferon dapat mengurangi jumlah lesi inflamasi
50-80% yang terlihat pada MRI. Tipe SPMS juga direkomendasikan
untuk mendapatkan terapi Interferon Beta.1
b. Glatiramer asetat
Obat ini didesain untuk berkompetisi dengan myelin basic
protein. Pemberian Glatiramer Asetat 20mg/hari subkutan dapat
menurunkan frekuensi relaps pada RRMS.1
c. Fingolimod
Obat ini merupakan satu-satunya obat MS dalam sediaan oral.
Fingolimod diindikasikan untuk tipe aktif RRMS. Atau dapat menjadi
pilihan berikutnya apabila pengobatan RRMS dengan Interferon beta
tidak memberikan hasil yang memuaskan.1
d. Natalizumab
Merupakan suatu antibodi monoklonal yang diberikan pada
kasus-kasus MS yang agresif. Pada kasus RRMS yang tidak
memberikan hasil optimal dengan Interferon Beta, GA maupun
Fingolimod maka terapi dapat dialihkan ke Natalizumab, atau pada
kasus-kasus yang intoleran terhadap obat-obat sebelumya.
Natalizumab tergolong dalam obat lini kedua dalam terapi MS.1
e. Mitoxantrone
Obat antikanker ini dapat menurunkan frekuensi relaps dan
menahan progresifitas MS. Mitoxantrone direkomendasikan pada
RRMS yang sangat aktif atau SPMS yang sangat progresif.
Mitoxantrone tergolong dalam obat lini ke 3 dalam terapi MS.1
Untuk tipe PPMS hingga saat ini tidak ada terapi yang
direkomedasikan. Terapi hanya bersifat simptomatis.1
f. Fenitoin
Fenitoin yang merupakan obat antiepileptic. Dalam uji coba
nya fenitoin bersifat neuroprotective terhadap degenerasi serabut saraf
retina pada pasien neuritis optic. Fenitoin yang bekerja sebagai sodium
channel blocker. Pada daerah inflamasi, akson akan dipenuhi oleh
sodium dan menyebabkan masuknya calcium ke dalam sel yang
menyebabkan kematian sel. Dengan pemberian fenitoin sebagai
sodium channel blocker maka dapat mencegah kematian sel. Dosis
yang dipergunakan dalam penelitian 15 mg/kgbb selama 3 hari dan
dilanjutkan 4 mg/kgbb dalam 13 minggu. Hasil penelitian
menunjukkan pasien neuritis optic yang diberikan fenitoin dalam 3
bulan dapat mencegah 30% lebih baik dibanding dengan pemberian
placebo.8
J. Komplikasi
1. Depresi
2. Kesulitan dalam menelan
3. Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi
4. Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri
5. Osteoporosis
6. Membutuhkan kateter, Infeksi saluran kemih7
K. Prognosis
Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan memiliki
cacat fisik yang signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah onset. Kurang
dari 5-10% dari pasien memiliki fenotipe MS klinis ringan, di mana tidak ada
cacat fisik yang signifikan terakumulasi meskipun berlalu beberapa dekade
setelah onset (kadang-kadang terlepas dari lesi baru yang terlihat pada MRI).
Pemeriksaan rinci dalam banyak kasus, mengungkapkan beberapa tingkat
kerusakan kognitif.2,7
Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis
terburuk, dengan respon yang kurang menguntungkan untuk pengobatan dan
cepat menimbulkan kecacatan. Insiden yang lebih tinggi dari lesi sumsum
tulang belakang di MS progresif primer juga merupakan faktor dalam
perkembangan pesat dari kecacatan. 2,7
Harapan hidup dipersingkat hanya sedikit pada orang dengan MS, dan
tingkat kelangsungan hidup terkait dengan kecacatan. Kematian biasanya
terjadi akibat komplikasi sekunder (50-66%), seperti penyebab paru atau
ginjal, tetapi juga dapat disebabkan oleh komplikasi utama, bunuh diri, dan
menyebabkan tidak berhubungan dengan MS. Marburg varian dari MS adalah
bentuk akut dan klinis fulminan penyakit yang dapat menyebabkan koma atau
kematian dalam beberapa hari. 2,7
BAB III
KESIMPULAN