Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

MULTIPEL SKLEROSIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mengikuti


Kepaniteraan Klinik Ilmu Neurologi RSUD Sukoharjo

Diajukan Oleh
Bayu H. Wibowo, S.Ked
J510 165 073

Pembimbing
dr. Iman Budiarto, Sp. S

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
REFERAT
MULTIPEL SKLEROSIS

Diajukan Oleh :
Bayu H. Wibowo, S.Ked
J510 165 073

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada hari , Mei 2017

Dipersentasikan dihadapan :
dr. Iman, Sp. S ()

Disahkan Sek. PPD FK UMS :


dr. Dona Dewi Nirlawati ()
BAB I
PENDAHULUAN
Multipel sclerosis (MS) adalah salah satu penyakit saraf yang menyerang sel-
sel saraf di bagian sistem saraf pusat. Penyakit ini menyebabkan kerusakan pada
selubung mielin saraf manusia sehingga menyebabkan gangguan sistem hantaran
impuls pada saraf tersebut. MS mempengaruhi area dari otak dan syaraf tulang
belakang yang dikenal sebagai substansi alba. Sel-sel substansi alba membawa sinyal
antara area substansi grisea, dimana pemrosesan dilakukan, dan hasilnya dikirimkan
ke tubuh. Lebih khususnya, MS menghancurkan oligodendrocytes adalah sel-sel yang
bertanggung jawab untuk membuat dan memelihara satu lapisan lemak, yang dikenal
sebagai sarung pelindung myelin, yang membantu neuron membawa sinyal elektrik.
MS menyebabkan penipisan atau kerusakan total myelin dan sering memotong
perluasan neuron atau axons. Ketika myelin hilang, neuron tidak bisa lagi secara
efektif menghantarkan sinyal elektrik. Nama multipel sklerosa mengacu pada
jaringan parut (scleroses lebih dikenal sebagai plak atau lesi) dalam substansi alba.
Tingkat kerusakan myelin dalam lesi ini menyebabkan sebagian dari gejala,
bervariasi tergantung atas daerah yang mengalami kerusakan. Hampir semua gejala
neurologis bisa menyertai penyakit ini. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan pada bab
berikutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Multiple sklerosis adalah suatu penyakit autoimun kronik yang
menyerang myelin otak dan medulla spinalis. Penyakit ini menyebabkan
kerusakan myelin dan juga akson yang mengakibatkan gangguan transmisi
konduksi saraf. peradangan yang terjadi di otak dan sumsum tulang belakang
yang menyerang daerah substansia alba dan merupakan penyebab utama
kecacatan pada dewasa muda. Penyebabnya dapat disebabkan oleh banyak
faktor, terutama proses autoimun. Focal lymphocytic infiltration atau sel T
bermigrasi keluar dari lymph node ke dalam sirkulasi menembus sawar darah
otak (blood brain barrier) secara terus-menerus menuju lokasi dan melakukan
penyerangan pada antigen myelin pada sistem saraf pusat seperti yang umum
terjadi pada setiap infeksi. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya inflamasi,
kerusakan pada myelin (demyelinisasi), neuroaxonal injury, astrogliosis, dan
proses degenerative. Akibat demyelinasi neuron menjadi kurang efisien dalam
potensial aksi. Transmisi impuls yang disampaikan oleh neuron yang
terdemyelinisasi akan menjadi buruk. Akibat 'kebocoran' impuls tersebut,
terjadi kelemahan dan kesulitan dalam mengendalikan otot atau kegiatan
sensorik tertentu di berbagai bagian tubuh.1,2

B. Epidemilogi
Di Indonesia penyakit ini tergolong jarang dibandingkan penyakit
neurologis lainnya. MS lebih sering menyerang perempuan dibandingkan laki
laki dengan rasio 2:1. Umumnya penyakit ini diderita mereka yang berusia
20-50 tahun. MS bersifat progresif dan dapat mengakibatkan kecacatan.
Sekitar 50% penderita MS akan membutuhkan bantuan untuk berjalan dalam
15 tahun setelah onset penyakit.1
C. Etiologi
Etiologi dari kelainan tersebut masih belum jelas. Ada beberapa
mekanisme penting yang menjadi penyebab timbulnya MS yaitu autoimun,
(molecular mimikri), infeksi, herediter, paparan sinar matahari. Meskipun
bukti yang meyakinkan kurang, faktor makanan dan paparan toksin telah
dilaporkan ikut berkontribusi juga. Mekanisme ini tidak saling berdiri sendiri
melainkan merupakan gabungan dari berbagai faktor.
1. Virus : EBV
2. Defisiensi vitamin D: vitamin D berfungsi untuk mengatur respon imun.
Vitamin D mengurangi produksi dari sitokin pro inflamatori dan
meningkatkan produksi sitokin anti inflamatori.
3. Genetika : penurunan kontrol respon immune 2,3

D. Klasifikasi
Berdasarkan perbedaan klinis dan gejala, terdapat beberapa tipe MS:
1. Relapsing remitting MS (RRMS)
Tipe ini ditandai dengan episode relaps atau eksaserbasi yang diikuti
dengan episode remisi (perbaikan). Sekitar 85% pasien MS memiliki tipe
RRMS, 65 % diantaranya akan berkembang menjadi tipe secondary
progressive MS (SPMS)
2. Secondary progressive MS (SPMS)
Banyak pakar yang menganggap SPMS merupakan bentuk lanjut dari
RRMS yang berkembang progresif. Pada tipe ini episode remisi makin
berkurang dan gejala menjadi makin progresif
3. Primary progressive MS (PPMS)
PPMS diderita oleh 10-15% pasien MS dengan rasio perempuan : laki
laki= 1:1. Gejala yang timbul tidak pernah mengalami fase remisi.
4. Primary relapsing MS (PRMS)
Bentuk PRMS adalah yang paling jarang. Pasien terus mengalami
perburukan dengan beberapa episode eksaserbasi diantaranya. Tidak ada
fase remisi atau bebas dari gejala.1,2

Gambar 1. Klasifikasi MS

E. Patofisiologi
Mekanisme autoimun diduga terjadi melalui penurunan aktifitas
limfosit T-supresor pada sirkulasi pasien penderita MS serta adanya
molecular mimicry antara antigen dan MBP (myelin basic protein) yang
mengaktifkan klon sel T yang spesifik terhadap MBP (MBP specific T-cell
clone). Limfosit T4 menjadi autoreaktif pada paparan antigen asing yang
strukturalnya mirip dengan MBP. Tidak hanya beberapa virus dan peptida
bakteri saja yang memiliki kesamaan struktural dengan MBP, tetapi beberapa
dari mikroorganisme tersebut dapat mengaktifkan MBP-spesifik T-sel klon
pada pasien MS. 1,2,4
Beberapa infeksi virus diketahui menyebabkan demyelinasi pada
manusia diantaranya progressive multifocal leukoencephalopathy yang
disebabkan oleh polyomavirus JC, subakut sclerosing panencephalitis oleh
virus campak. Pada MS studi serologis awal sulit ditafsirkan. Namun, banyak
pasien MS terdapat elevasi titer CSF terhadap virus campak dan herpes
simpleks (HSV), tetapi ini juga tidak spesifik. 1,2,4
Secara patologi, lesi MS akan memperlihatkan plak yang merupakan
lesi demielinisasi. Plak ini merupakan gambaran patognomik MS. Pada fase
akut tampak sebukan sel radang, hilangnya myelin, dan pembengkakan
parenkim. Pada fase kronik, kehilangan myelin menjadi lebih jelas, dengan sel
sel makrofag disekitarnya disertai kerusakan akson dan apoptosis
oligodendrosit.1,2,4

F. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis yang muncul sesuai dengan daerah lesi yang terkena.
Terdapat beberapa gejala dan tanda yang timbul pada MS:
1. Kehilangan fungsi sensorik (paresthesia): gejala awal
2. Neuritis optik: gejala awal
3. Gejala pada corda spinalis (motorik): cramping akibat spastisitas
4. Gejala pada corda spinalis (otonom): gangguan BAB dan BAK,
disfungsi seksual
5. Cerebellar symptom: triad charcot (disartia, tremor, ataksia)
6. Trigeminal neuralgia
7. Facial myokymia
8. Diplopia akibat ophtalmoplegia internuklear dan nistagmus
9. Heat intolerance
10. Mudah lelah (70% kasus)
11. Nyeri
12. Menurunnya fungsi kognitif
13. Depresi
14. Bipolar, dementia
15. Tanda lhermitte (Sensasi listrik dari leher ke bawah yang dirasakan
pada fleksi leher): Pada MS yang menyerang medula spinalis1,2,6

Gejala neurologis yang sering timbul pertama kali pada multipel


sklerosis adalah neuritis optik pada 14-23 % pasien dan lebih dari 50%
pasien pernah mengalaminya. Gejala yang dialami adalah penglihatan
kabur, pada orang kulit putih biasanya mengenai satu mata, sedangkan
pada orang asia lebih sering pada kedua mata. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan refleks pupil yang menurun, penurunan visus, gangguan
persepsi warna dan skotoma sentral. Funduskopi pada fase akut
menunjukkan papil yang hiperemis tetapi dapat normal pada neuritis
optika posterior/retrobulbar. Sedangkan pada fase kronis dapat terlihat
atrofi papil. Selain itu pada neuritis optika umumnya pasien mengeluh
nyeri pada orbita yang dapat timbul spontan terus-menerus atau pada
pergerakan bola mata. Selain itu terdapat suatu fenomena yang unik
yang disebut fenomena Uhthofff dimana gejala penurunan visus
(bersifat temporal) dieksaserbasi oleh suhu panas atau latihan fisik.
Diplopia juga dapat muncul pada MS meskipun lebih jarang
dibandingkan neuritis optika. 1,2,6
Gangguan sensorik merupakan manifestasi klinis awal yang juga
sering dialami oleh 21-55% pasien MS. Umumnya gejala yang timbul
berupa rasa baal (hipestesi), kesemutan (parestesi), rasa terbakar
(disestesi) maupun hiperestesi. Kelainan tersebut dapat timbul pada
satu ekstremitas atau lebih, dan pada tubuh atau wajah. Selain itu
proprioseptif, rasa vibrasi, dan diskriminasi dua titik juga dapat
terganggu sehingga menimbulkan kesulitan menulis, mengetik atau
mengancing baju. Gejala proprioseptif ini umumnya timbul bilateral
dan bila terdapat lesi di daerah lemniskus gangguan proprioseptif
tersebut hanya mengenai lengan yang dinamakan useless hand
syndrome. Gejala tersebut umumnya mengalami remisi dalam beberapa
bulan. Tanda yang sering terjadi pada penderita MS meskipun tidak
karakteristik adalah tanda Lhermitte; bila kepala difleksikan secara
pasif, timbul parestesi sepanjang bahu, punggung dan lengan. Hal ini
mungkin disebabkan akson yang mengalami demyelinisasi
sensitivitasnya meningkat terhadap tekanan ke spinal yang diakibatkan
fleksi kepala. 1,2,6
Gangguan serebelum juga sering terjadi pada MS meskipun
jarang menjadi gejala utama. Manifestasi klinisnya ataksia serebelaris,
baik yang mengenai gerakan motorik halus (dismetria,
disdiadokokinesia, intention tremor), gait, maupun artikulasi (scanning
speech, disartria). Selain itu dapat timbul pula nistagmus, terutama
yang horizontal dan vertikal. 1,2,6
Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi
pada MS meski frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di medula
spinalis dapat menyebabkan sindroma Brown-Sequard atau mielitis
transversa yang mengakibatkan paraplegi (umumnya tidak simetris),
level sensorik dan gangguan miksi-defekasi. Refleks patologis dan/atau
hiperrefleksia bilateral dengan atau tanpa kelemahan motorik
merupakan manifestasi yang lebih sering dan merupakan tanda lesi
kortikospinal bilateral. Yang karakteristik, meskipun kelemahan hanya
pada satu sisi, refleks patologis selalu bilateral. Spastisitas dapat
menyebabkan gejala kram otot pada pasien MS. Kelelahan/fatigue
merupakan gejala non spesifik pada MS dan terjadi pada hampir 90%
pasien MS. Kelelahan dapat merupakan kelelahan fisik pada waktu
exercise berlebihan ataupun pada temperatur panas maupun
kelelahan/kelambatan mental. 1,2,6
Gangguan memori dapat terjadi pada pasien MS. Menurut
penelitian Thornton dkk memori jangka pendek, working memori dan
(13)
memori jangka panjang umumnya terganggu pada pasien MS .
Selain itu juga didapatkan gangguan atensi. Gangguan emosi berupa
iritabilitas dan afek pseudobulbar berupa forced laughing atau forced
crying umum terjadi pada pasien MS disebabkan lesi hemisfer
bilateral.1,2,6
Gejala lainnya yang lebih jarang meliputi neuralgia trigeminal
(bilateral), gangguan lain pada batang otak berupa paresis n. facialis
perifer (bilateral), gangguan pendengaran, tinitus, vrtigo, dan sangat
jarang penurunan kesadaran (stupor dan koma) 1,2,6

G. Diagnosis
Tidak ada satu tes pun yang dapat memastikan diagnosis MS. Multiple
sclerosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Penegakan diagnosis
mempergunakan kriteria diagnostik seperti Kriteria McDonald. Saat ini yang
dipergunakan adalah kriteria McDonald revisi 2010. Diagnosis MS perlu
dipikirkan apabila didapatkan gejala-gejala neurologis dengan episode remisi
dan eksaserbasi ataupun progresif dan tidak ditemukan sebab lain yang dapat
menjelaskan gejala tersebut.1
Tabel 1. Kriteria McDonald Revisi 2010
Dengan demikian, untuk menegakkan diagnosis MS, perlu dilakukan
pemeriksaan untuk mengeksklusi diagnosis diferensial, seperti tumor otak,
infeksi otak, stroke, trauma kepala maupun gangguan metabolik.
Pemeriksaan pungsi lumbal harus dilakukan bukan untuk menegakkan
diagnosis, tetapi menyingkirkan kemungkinan infeksi otak. Pemeriksaan
oligoclonal band tidak lagi menjadi standar emas penegakan diagnosis MS,
kecuali pada tipe PPMSperan oligoclonal band menjadi lebih besar. Pada
pemeriksaan MRI kepala dapat ditemukan lesi hiperintens di periventrikular,
jukstakortikal, infratentorial, dan medulla spinalis. Gambaran yang cukup
khas pada lesi MS adalah ovoid lesion dan dawson finger Multiple sclerosis
juga dapat menyerang medula spinalis dan mengakibatkan gejala, seperti
mielitis. Multiple sclerosis yang mengenai medula spinalis perlu dibedakan
dengan neuromielitis optika (NMO) atau Devics disease. NMO awalnya
dikategorikan sebagai varian dari MS. Akan tetapi, saat ini telah diketahui
bahwa NMO adalah suatu penyakit autoimun yang berbeda dengan MS.
Membedakan MS dan NMO menjadi penting karena pengobatan kedua
penyakit ini berbeda. Sebagaimana MS, NMO yang merupakan penyakit
autoimun dapat memperlihatkan gejala dengan episode remisi dan
eksaserbasi. Gejala utamanya adalah gangguan penglihatan yang umumnya
lebih berat dibandingkan MS dan gejala mielitis. Gambaran MRI kepala
NMO bisa normal atau apabila ditemukan lesi, lesi tersebut haruslah tidak
memenuhi kriteria MS. Sedangkan gambaran lesi myelitis pada MRI
memperlihatkan lesi hiperintens yang mengenai medula spinalis sepanjang
lebih dari 3 segmen vertebra (longitudinally extensive spinal cord lesion)
(gambar 4). Diagnosis NMO ditegakkan dengan menggunakan kriteria
Wingerchuck.1
Tabel 2. Kriteria Diagnosis NMO

Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi dilakukan jika tidak ada MRI. Pada pemeriksaan
ditemukan oligoclonal band dan produksi IGG intratekal.

Gambar 2. Lumbal Pugsi


Gambar 3. Gambaran MRI (1) Gambaran Normal, (2) Multiple Sclerosis ,
(3) Dawson Finger dan Ovold lesion

H. Diagnosis Banding
Diagnosa banding utama untuk menjadi pertimbangan tergantung pada
manifestasi neurologis dalam kasus:
1. Defisit saraf kranial mungkin saja berhubungan dengan berbagai jenis
lesi fokal, seperti sebuah tumor dermoid basis kranii, suatu tumor dari
serebelopontine angel, suatu tumor di foramen magnum, suatu optik
glioma atau sphenoid wing meningioma dengan atrofi saraf optik, suatu
brainstem astrocytoma, brainstem encephalitis, dan lain-lain.
2. Suatu hemiplegia mungkin saja berhubungan dengan suatu tumor otak
atau stroke
3. Kejang paraparesis mungkin saja berhubungan dengan suatu tumor saraf
tulang belakang atau cervical spondylotic myelopathy.
4. Paraparesis berulang mungkin saja berhubungan dengan suatu
malformasi vaskular pada saraf tulang belakang.
5. Gejala dari serebellar dan traktus piramidal, dan mungkin juga gejala
dari batang otak, mungkin saja berhubungan dengan suatu massa atau
bentuk malformasi batang otak atau craniocervical junction. Beberapa
gejala sering misdiagnosed sebagai multipel sklerosis. Bentuk
malformasi vaskuler batang otak, juga dapat menyebabkan gejala
neurologis yang berubah-ubah dengan onset usia pertengahan atau usia
tua.
6. Keterlibatan dari berbagai area dari sistem saraf pusat mungkin saja
berhubungan dengan penyakit sistemik seperti sistemik lupus
erythematosus, sarcoidosis, penyakit vaskuler, toxic
encephalomyelopathy, hypothyroidism, atau funicular myelosis.
7. Keterlibatan mata dan sistem saraf pusat mungkin saja berhubungan
dengan suatu vaskulitis atau intoksikasi. Uveitis ditemukan bersama-
sama dengan kelainan neurologis dalam uveoencephalomyelitis (Vogt-
Koyanagi-Harada syndrom), suatu hal yang jarang, kiranya adalah
sindrom virus dimana terjadi uveitis, gangguan gaya berjalan,
leukodermia, munculnya uban, encephalitis, dan tanda meningeal yang
berubah-ubah.
8. Behcets disease dapat menyebabkan apththous ulcer, manifestasi
okular, dan manifestasi saraf pusat, terutama brainstem encephalitis.1,4,7

I. Tatalaksana
1. Terpi Simtomatik
Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan
diantaranya adalah :1,5,6
a. Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan
program exercise seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya.
Medikasi diberikan ketika ada kekakuan, spasme, atau klonus saat
beraktivitas atau kondisi tidur. Baclofen, tizanidine, gabapentin, dan
benzodiazepine efektif sebagai agen antispastik.
b. Paroxysmal disorder. Pada berbagai kasus, penggunaan
carbamazepin memberikan respon yang baik pada spasme distonik.
Nyeri paroxysmal dapat diberikan antikonvulsan atau amitriptilin.

c. Bladder dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan


pemberian terapi infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang
dilakukan ada mendeteksi problem apakah kegagalan dalam
mengosongkan bladder atau menyimpan urin. Obat antikolinergik
Oxybutinin dan Tolterodine efektif untuk kegagalan dalam
menyimpan urin diluar adanya infeksi.

d. Bowel symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasien


MS dan harus diterapi sesegera mungkin untuk menghindari
komplikasi. Inkontinensia fekal cukup jarang. Namun bila ada,
penambahan serat dapat memperkeras tinja sehingga dapat membantu
spingter yang inkompeten dalam menahan pergerakan usus.
Penggunaan antikolinergik atau antidiare cukup efektif pada
inkontinensia dan diare yang terjadi bersamaan.

e. Sexual symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan


libido, gangguan disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan
spastisitas, rasa sensasi panas dapat terjadi. Pada beberapa pasien
MS, gangguan disfungsi ereksi dapat diatasi dengan sildenafil.

f. Neurobehavior manifestation. Depresi terjadi lebih dari separuh dari


pasien dengan MS. Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat
dilakukan terapi suportif. Pasien dengan depresi berat sebaiknya
diberikan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang
memiliki efek sedative yang lebih kecil disbanding antidepresan lain.
Amitriptilin dapat digunakan bagi pasien yang memiliki kesulitan
tidur atau memiliki sakit kepala.

g. Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau


penggunaan medikasi. Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup
efektif. Modafinil, obat narcolepsy yang bekerja sebagai stimulant
SSP telah ditemukan memiliki efek yang bagus pada pasien MS.
Obat diberikan dengan dosis 200 mg satu kali sehari pada pagi hari.
SSRIs juga dapat menghilangkan kelelahan pada pasien MS.
Amantadine memiliki efek anti influenza A dan baik diberikan pada
Oktober hingga Maret.

2. Terapi Relaps
Pengobatan relaps dilakukan dengan pemberian metilprednisolon 500-
1000 mg IV selama 3-5 hari. Metilprednisolon diberikan sekali pada pagi
hari dalam saline normal selama 60 menit. Pemberian metilprednisolon
lebih dari 5 hari tidak memberikan hasil yang lebih baik.1
Pada pasien dengan MS, fisoterapi harus selalu dilakukan untuk
meningkatkan fungsi dan kualitas hidup dari ketergantungan obat therapy.
Perawatan pendukung berupa konseling, terapi okupasi, saran dari sosial,
masukan dari perawat, dan partisipasi dalam patient support group
merupakan bagian dari perawatan kesehatan dengan pendekatan tim dalam
pengelolaan MS.1
3. Disease-Modifying Therapies
a. Interferon beta
Berdasarkan guideline NICE, pasien RRMS direkomendasikan
untuk mendapatkan terapi Interferon Beta, baik jenis Interferon Beta
1a maupun 1b. Beta interferon dapat mengurangi jumlah lesi inflamasi
50-80% yang terlihat pada MRI. Tipe SPMS juga direkomendasikan
untuk mendapatkan terapi Interferon Beta.1

b. Glatiramer asetat
Obat ini didesain untuk berkompetisi dengan myelin basic
protein. Pemberian Glatiramer Asetat 20mg/hari subkutan dapat
menurunkan frekuensi relaps pada RRMS.1

c. Fingolimod
Obat ini merupakan satu-satunya obat MS dalam sediaan oral.
Fingolimod diindikasikan untuk tipe aktif RRMS. Atau dapat menjadi
pilihan berikutnya apabila pengobatan RRMS dengan Interferon beta
tidak memberikan hasil yang memuaskan.1

d. Natalizumab
Merupakan suatu antibodi monoklonal yang diberikan pada
kasus-kasus MS yang agresif. Pada kasus RRMS yang tidak
memberikan hasil optimal dengan Interferon Beta, GA maupun
Fingolimod maka terapi dapat dialihkan ke Natalizumab, atau pada
kasus-kasus yang intoleran terhadap obat-obat sebelumya.
Natalizumab tergolong dalam obat lini kedua dalam terapi MS.1
e. Mitoxantrone
Obat antikanker ini dapat menurunkan frekuensi relaps dan
menahan progresifitas MS. Mitoxantrone direkomendasikan pada
RRMS yang sangat aktif atau SPMS yang sangat progresif.
Mitoxantrone tergolong dalam obat lini ke 3 dalam terapi MS.1
Untuk tipe PPMS hingga saat ini tidak ada terapi yang
direkomedasikan. Terapi hanya bersifat simptomatis.1

f. Fenitoin
Fenitoin yang merupakan obat antiepileptic. Dalam uji coba
nya fenitoin bersifat neuroprotective terhadap degenerasi serabut saraf
retina pada pasien neuritis optic. Fenitoin yang bekerja sebagai sodium
channel blocker. Pada daerah inflamasi, akson akan dipenuhi oleh
sodium dan menyebabkan masuknya calcium ke dalam sel yang
menyebabkan kematian sel. Dengan pemberian fenitoin sebagai
sodium channel blocker maka dapat mencegah kematian sel. Dosis
yang dipergunakan dalam penelitian 15 mg/kgbb selama 3 hari dan
dilanjutkan 4 mg/kgbb dalam 13 minggu. Hasil penelitian
menunjukkan pasien neuritis optic yang diberikan fenitoin dalam 3
bulan dapat mencegah 30% lebih baik dibanding dengan pemberian
placebo.8

J. Komplikasi
1. Depresi
2. Kesulitan dalam menelan
3. Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi
4. Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri
5. Osteoporosis
6. Membutuhkan kateter, Infeksi saluran kemih7
K. Prognosis
Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan memiliki
cacat fisik yang signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah onset. Kurang
dari 5-10% dari pasien memiliki fenotipe MS klinis ringan, di mana tidak ada
cacat fisik yang signifikan terakumulasi meskipun berlalu beberapa dekade
setelah onset (kadang-kadang terlepas dari lesi baru yang terlihat pada MRI).
Pemeriksaan rinci dalam banyak kasus, mengungkapkan beberapa tingkat
kerusakan kognitif.2,7
Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis
terburuk, dengan respon yang kurang menguntungkan untuk pengobatan dan
cepat menimbulkan kecacatan. Insiden yang lebih tinggi dari lesi sumsum
tulang belakang di MS progresif primer juga merupakan faktor dalam
perkembangan pesat dari kecacatan. 2,7
Harapan hidup dipersingkat hanya sedikit pada orang dengan MS, dan
tingkat kelangsungan hidup terkait dengan kecacatan. Kematian biasanya
terjadi akibat komplikasi sekunder (50-66%), seperti penyebab paru atau
ginjal, tetapi juga dapat disebabkan oleh komplikasi utama, bunuh diri, dan
menyebabkan tidak berhubungan dengan MS. Marburg varian dari MS adalah
bentuk akut dan klinis fulminan penyakit yang dapat menyebabkan koma atau
kematian dalam beberapa hari. 2,7
BAB III
KESIMPULAN

Multiple sclerosis (MS) adalah penyakit autoimun yang terutama menyerang


perempuan usia muda, tergolong penyakit langka di Indonesia. Penyakit ini dapat
mengakibatkan kecacatan dan menurunkan kualitas hidup. Penegakan diagnosis yang
akurat sangat diperlukan agar pasien bisa mendapatkan pengobatan yang adekuat
sedini mungkin. Neuritis optic dan gangguan sensorik merupakan manifestasi awal
dari penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. Estiasari R. Sclerosis multiple. Departemen neurologi, fakultas kedokteran


universitas Indonesia RSCM. Jakarta. 2014
2. Allan H. Ropper, Martin A. Adams & Victors Principles of Neurology, 9th
Edition. Boston. 2009.
3. Munger.K, Levin L, Holis B, Howard M, Ascherio A. Serum 25-Hidroksivitamin
D Levels and Risk of Multiple Sclerosis. Report: JAMA 2006:296:2832-2838
4. Simon R. Motor Deficit. Clinical Neurology.7 th. McGraw Hill. USA. 2009.
5. About MS. 2012. Bayer HealthCare Pharmaceuticals. Available from:
http://www.multiplesclerosis.com/global/about_ms.php was accessed on
Februari 11th, 2016
6. Multiple sclerosis. 2012. Medscape References. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1146199-overview was accessed on
Februari 11th, 2016
7. Multiple Sclerosis. Pubmed Health Medicine. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001747/ was accessed on
Februari 11th, 2016
8. Phenythoin Neuroprotection in MS. 2015. Medscape References. Available from:
http://www.medscape.com/viewarticle/843393#vp_1 was accessed on Februari
12th, 2016

Anda mungkin juga menyukai