Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit demam typoid merupakan penyakit yang berada pada usus halus dan dapat
menimbulkan gejala terus menerus, ditimbulkan oleh Salmonella thyposa. Pada tahun
2008 demam typoid diperkirakan 216.000 - 600.000 kematian. Kematian tersebut,
sebagian besarterjadi di Negara-negara berkembang dan 80% kematian terjadidi Asia.
Kematiandi rumah sakit berkisar antara 0-13,9%. Prevalensi pada anak-anak kematian
berkisar antara 0-14,8%. (WHO, 2013).
Pada tahun 2014 diperkirakan 21 juta kasus demam typoid 200.000 diantaranya
meninggal dunia setiap tahun (WHO, 2014). Demam typoid merupakan penyakit yang
masih endemik di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2010 Profil Kesehatan Indonesia
typoid masih menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Diketahui dari 10 macam
penyakit terbanyak di rumah sakit inaptypoid menduduki peringkat ke-3 setelah penyakit
diare, dengan jumlah penderita. Total kasus demam typoid mencapai 41.081 penderita
yaitu 19.706 jenis kelamin laki-laki, 21.375 permpuan 274 penderita meninggal dunia.
Case fatality rate (CFR) demam typoid pada tahun 2010 sebesar 0,6% (Kemenkes RI,
2011). Indonesia merupakan Negara endemik demam typoiddiperkirakan terdapat 800
penderita per 100.000 penduduk setiap tahunnya. (Widoyono, 2011).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa itu sindrom typhoid ?
2. Apa saja penyebab typhoid ?
3. Bagaimana patofisiologi dari typhoid?
4. Apa saja komplikasi dari typhoid ?
5. Bagaimana penatalaksanaan pada typhoid ?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang dari typhoid ?
7. Bagaimana asuhan keperawatan typhoid ?

1
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Agar mahasiswa/mahasiswi STIKes Bhakti Kencana Bandung memperoleh
gambaran tentang apa yang dimaksud dengan konsep asuhan keperawatan pada
klien dengan gangguan pada sistem pencernaan : typhoid.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mampu menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan konsep asuhan
keperawatan pada klien dengan gangguan pada sistem pencernaan : typhoid.
2. Mampu menyimpulkan dan menyampaikan kembali apa yang dimaksud
dengan konsep asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan pada sistem
pencernaan : typhoid.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep asuhan keperawatan
pada klien dengan gangguan pada sistem pencernaan : typhoid.

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Manfaat Umum
Manfaat penulisan laporan ini adalah supaya Pembaca mampu memperluas
pengetahuan dan wawasan di dalam ilmu yang dipelajari pada laporan ini, dan dapat
mengambil kesimpulan dalam pengerjaan laporan ini.
1.4.2 Manfaat Khusus
Manfaat bagi penulis dalam penyusunan laporan ini lebih mengetahui
bagaimana cara pengerjaan laporan yang baik, tersusun rapih dan pengetahuan yang
lebih luas tentang konsep asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan pada
sistem pencernaan : typhoid.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Tifus Abdominalis (Demam Tifoid, Enteric Forever) adalah penyakit infeksi akut
yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari,
gangguan pada pencernaan dan gangguan pada kesadaran (Masnjoer, 2000).
Typhoid Abdominalis merupakan penyakit infeksi akut usus halus dengan gejala
demam satu minggu atau lebih disertai dengan gangguan pencernaan dengan atau tanpa
gangguan kesadaran, disebabkan oleh Salmonella typhosa dan hanya didapatkan pada
manusia (Rampengan, 2007).

2.2 Anatomi Fisiologi

Gambar 2.1 Sistem Pencernaan Tubuh Manusia


Sumber : (Syaifudin, 1995)

Sistem pencernaan atau sistem gastrointestinal (mulai dari mulut sampai anus)
adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan,
mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah
serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa-sisa
metabolisme.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut (oral), tenggorokan (faring), kerongkongan,
lambung (gaster), usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga

3
meliputi organ-organ yang terletak di luar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan
kandung empedu.
a. Mulut, Tenggorokan dan Kerongkongan
Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan dan sistem
pernafasan. Bagian dalam mulut diselimuti oleh selaput lender. Saluran dari kelenjar
liur di pipi, dibawah lidah dan dibawah rahang mengalirkan isinya kedalam mulut.
Di dasar mulut terdapat lidah, yang berfungsi untuk merasakan dan mencampur
makanan. Di belakang dan di bawah mulut terdapat tenggorokan (faring).
Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan lidah.
Penciuman dirasakan oleh saraf olfakturius di hidung, pengecapan relatif sederhana
terdiri dari manis, asam, asin, dan pahit. Makanan di potong-potong oleh gigi depan
(incisivus) dan dikunyah oleh gigi belakang (molar, graham), menjadi bagian-bagian
kecil yang mudah dicerna. Ludah dari kelenjar ludah tersebut akan membungkus
bagian-bagian dari makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai
pencernaannya. Pada saat makan, aliran dari ludah membersihkan bakteri yang bisa
menyebabkan pembusukan gigi dan kelainan lainya. Ludah juga mengandung
antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein dan menyerang
bakteri secara langsung.
Proses menelan dilakukan secara sadar dan berlanjut secara otomatis.
Epiglotis akan tertutup agar makanan tidak masuk kedalam pipa udara (trakea) dan
ke paru-paru, sedangkan bagian atap mulut sebelah belakang (palatum mole, langit-
langit lunak) terangkat agar makanan tidak masuk kedalam hidung.
Kerongkongan (esofagus) merupakan saluran berotot yang berdinding tipis
oleh selaput lendir. Kerongkongan menghubungkan tenggorokan dengan lambung,
makanan didorong melalui kerongkongan bukan oleh gaya tarik bumi, tetapi oleh
gelombang kontraksi dan relaksasi otot ritmik yang disebut dengan peristaltic.
b. Lambung
Lambung merupakan organ otot yang berongga yang besar dan berbentuk
seperti kacang keledai. Makanan masuk kedalam lambung dari kerongkongan
melalui otot berbentuk cincin (sfingter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam
keadaan normal sfingter menghalangi masuknya kembali isi lambung kedalam
kerongkongan.

4
Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara
ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi
lambung menghasilkan 2 zat penting yaitu :
1. Lendir
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam
lambung dan enzim, setiap kelainan pada lapisan lendir bisa menyebabkan
kerusakan yang mengarah kepada terbentuknya tukak lambung.
2. Asam klorida
Menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh pepsin
guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan
sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai
bakteri.
c. Usus Halus
Usus halus dan usus kecil adalah bagian dari sistem pencernaan yang terletak
di atas lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus
melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan
pecahan-pecahan makanan yang dicerna).
Fungsi usus halus menurut Syaifuddin, 1995 : 92 meliputi :
1. Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui kapiler-
kapiler darah dan saluran-saluran limfe
2. Menyerap protein dalam bentuk asam amino
3. Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida.
4. Di dalam usus halus terdapat kelenjar yang berfungsi sebagai enzim pencernaan,
yaitu :
No Enzim Substrat Hasil
1 Aminopeptisidase Polipeptida Polipeptida yang lebih kecil
2 Dipeptidase Dipeptide asam amino
3 Maltase Maltosa Glukosa
4 Laktase Laktosa Glukosa dan Galaktosa
5 Sukrase Sukrosa Glukosa dan Frukrosa
6 Lipase usus Lemak Gliserida asam lemak
7 Nukleotidase Nukleotida Nukleotida, Asam fosfat

5
Lapisan usus halus meliputi lapisan mukosa (sebelah kanan). Lapisan otot
melingkar (M sirkuler), lapisa otot memanjang (M longitudinal), dan lapisan serosa
(sebelah luar).
Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari duodenum), usus
kosong (jejenum) dan usus penyerapan (ileum).
1. Usus dua belas jari ( Duodenum )
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang
terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejenum).
2. Usus kosong ( Jejenum )
Usus kosong atau jejenum (terkadang sering ditulis yeyenum) adalah bagian
dari usus halus, diantara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan
(ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter,
1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan
digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium.
3. Usus penyerapan ( Ileum )
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada
sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak
setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan olh usus buntu.
1. Pankreas
Pankreas merupakan suatu organ yang terdidri 2 jaringan besar :
1. Asini, menghasilkan enzim-enzim pencernaan.
2. Pulau pankreas, menghasikan hormon.
Pankreas melepaskan enzim pencernaan kedalam duodenum dan melepaskan
hormon kedalam darah. Enzim-enzim penceraan dihasilkan oleh sel-sel asini dan
mengalir melalui berbagai saluran kedalam duktus pankreatikus. Duktus
pankreatikus akan bergabung dengan saluran empedu pada sfingter oddi, dimana
keduanya akan masuk kedalam duodenum.
Enzim yang dilepaskan oleh pankreas akan mencerna protein dan karbohidrat
dan lemak. Enzim proteolitik memecah protein kedalam bentuk yang dapat
digunakan oleh tubuh dan dilepaskan dalam bentuk inaktif, enzim ini hanya akan
aktif jika telah mencapai saluran pencernaan. Pankreas juga melepaskan sejumlah
besar sodium bikarbonat, yang berfungsi melindungi duodenum dengan cara
menetralkan asam lambung. Ada 3 hormon yang dihasilkan oleh pankreas adalah :
a) Insulin, berfungsi menurunkan kadar gula dalam darah.

6
b) Glukagon, berfungsi menaikan kadar gula dalam darah.
c) Somatostatin, berfungsi menghalangi pelepasan kedua hormon lainya
(insulin dan glukagon).
2. Hati
Hati merupakan sebuah organ yang besar dan memiliki berbagai fungsi,
beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan. Zat-zat gizi dari makanan
diserap kedalam dinding usus yang kaya akan pembuluh darah yang kecil-kecil
( kapiler ). Kapiler ini mengalirkan darah kedalam vena yang bergabung dengan vena
yang lebih besar dan pada akhirnya masuk kedalam hati sebagai vena porta. Vena
porta dibagi menjadi pembuluh-pembuluh kecil didalam hati, dimana darah yang
masuk kemudian diolah. Darah diolah dalam 2 cara yaitu :
1. Bakteri dan partikel lainnya yang diserap dari usus dibuang.
2. Berbagai zat gizi yang diserap dari usus selanjutnya dipecah sehingga dapat
digunakan oleh tubuh.
Hati melakukan proses tersebut dengan kecepatan tinggi, setelah darah
diperkaya dengan zat-zat gizi, darah dialirkan kedalam sirkulasi umum. Hati
menghasilkan sekitar separuh dari seluruh kolesterol dalam tubuh, sisanya berasal
dari makanan. Sekitar 80% kolesterol yang dihasilkan di hati digunakan untuk
membuat empedu, hati juga menghasilkan empedu yang disimpan didalam
kandung empedu
f. Kandung Empedu dan Saluran Empedu.
Empedu mengalir dari hati melalui duktus hepatikus kiri dan kanan, yang
selanjutnya bergabung membentuk duktus hepatikus umum. Saluran ini kemudian
bergabung dengan sebuah saluran yang berasal dari kandung empedu (duktus
sistikus) untuk membentuk saluran empedu umum. Duktus pankreastikus
bergabung dengan saluran empedu umum dan masuk kedalam duodenum.
Sebelum makan, garam-garam empedu menumpuk didalam kandung
empedu dan hanya sedikit empedu yang mengalir dari hati, makanan didalam
duodenum memicu serangkaian sinyal hormon dan sinyal saraf sehingga kandung
empedu berkontraksi. Sebagai akibatnya, empedu mengalir kedalam duodenum
dan bercampur dengan makanan. Empedu memiliki 2 fungsi penting :
1. Membantu pencernaan dan penyerapan lemak.
2. Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin
yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol.

7
Secara spesifik empedu berperan dalam berbagai proses berikut :
a) Garam empedu meningkatkan kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang
larut dalam lemak untuk membantu proses penyerapan.
b) Garam empedu membantu merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk
membantu menggerakan isinya.
c) Bilirubin ( pigmen utama dari empedu ) dibuang kedalam empedu sebagai
limbah dari sel darah merah yang dihancurkan.
d) Obat dan limbah lainnya dibuang didalam empedu selanjutnya dibuang dari
tubuh.
e) Berbagai protein yang berperan dalam fungsi empedu dibuang didalam
empedu.
Garam empedu kembali di serap kedalam usus halus, disuling oleh hati dan
dialirkan kembali kedalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai sirkulasi
enterohepatik, saluran garam empedu didalam tubuh mengalami sirkulasi sebanyak
10-12kali/hari. Dalam setiap sirkulasi, sejumlah kecil garam empedu masuk
kedalam usus besar (kolon).
Didalam kolon, bakteri memecah garam empedu menjadi berbagai unsur
pokok. Beberapa dari unsur pokok ini diserap kembali dan sisanya dibuang
bersama tinja (Smeltzer. S.C. dan Bare. B.G., ).
g. Usus Besar
Usus besar terdiri dari :
1. Seikum
2. Kolon asendens
3. Kolon transvesum
4. Kolon desendens
5. Kolon sigmoid
h. Usus Buntu (Seikum)
Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin : caecus, buta) dalam istilah anatomi
adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon
menanjak dari usus besar.
i. Umbai Cacing (Appendix)
Appendix merupakan suatu tonjolan kecil berbentuk seperti tabung, yang
terletak di kolon asendens, pada perbatasan kolon asendens dan usus halus. Usus

8
besar menghasikan lendir dan berfungsi menyerap air dan elektrolit dari tinja.
Ketika mencapai usus besar, isi usus berbentuk cairan, tetapi ketika mencapai
rektum bentuknya menjadi padat.
Banyaknya bakteri yang terdapat didalam usus besar barfungsi mencerna
beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri didalam usus besar
juga berfungsi membantu zat-zat penting, seperti vitamin K, bakteri ini penting
untuk fungsi normal dari usus, beberapa penyakit serta antibiotik bisa
menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar akibatnya terjadi
iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah
gastroenteritis (Smeltzer. S.C. dan Bare. B.G., ).
j. Rektum dan Anus
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah
kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Biasanya rektum ini kosong karena tinja
disimpan ditempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon
desendens penuh dan tinja masuk kedalam rektum, maka timbul keinginan untuk
buang air besar. Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini,
tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian
otot yang penting untuk menunda buang air besar.
Anus merupakan lubang dari ujung saluran pencernaan, dimana bahan
limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh ( kulit )
dan sebagian lainnya dari usus. Suatu cincin berotot (sfingter ani ) menjaga agar
anus tetap tertutup.

2.3 Etiologi
Typhoid Abdominalis disebabkan oleh kuman Salmonella typhosa, basil gram
negatif, tidak berkapsul yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora. Terdapat 3
bioserotipe Salmonella typhosa, yaitu paratyphi A, paratyphi B, dan paratyphi C Kuman
ini mempunyai tiga antigen yang penting untuk pemeriksaan laboratorium, yaitu Antigen
O (somatik), Antigen H (flagela), dan Antigen V1 ( kapsul ) (Ngastiyah, 2005).
Bakteri ini akan mati pada pemanasan 57C selama beberapa menit. Menurut
(Mansjoer, 2000) , Salmonella Typhi memasuki tubuh akibat makanan dan minuman yang
telah terkontaminasi. Manusia merupakan satu satunya reservoir sejati S. Typhi, di alam
dan orang-orang dengan typhoid atau pembawa kuman kronis sebagai bertindak sebagai

9
sumber infeksi utama. Terdapat dua sumber penularan S.typhi, yaitu pasien dengan demam
typhoid dan yang paling sering, adalah karier.

2.4 Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Penularan kuman ini dapat melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi, feces , lalat yang membawa kuman tersebut, dan muntahan
dari penderita Typhoid. Sebagian kuman dimusnahkan di lambung, sebagian lolos masuk
ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak (Soegijanto, 2002).
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kuman tersebut mengeluarkan endotoksin yang
selanjutnya
kuman masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteriemia pertama yang
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan
limpa yang selanjutnya akan dilakukan fagositosis.
Pada proses fagosit ini, kuman yang dapat difagosit akan mati, sedangkan yang
tidak difagosit akan tetap hidup dan menyebabkan bakteriemia kedua. Kuman yang masuk
ke aliran darah akan menyebabkan roseola pada kulit dan lidah hiperemia. Selanjutnya
kuman masuk ke dalam usus halus dan menyebabkan peradangan sehingga menimbulkan
nausea dan vomitus serta adanya anorexia masalah tersebut akan menyebabkan intake
klien yang tidak adekuat dan kebutuhan nutrisi yang kurang dari tubuh yang bisa
menyebabkan diare sehinggas diperlukan bedrest untuk mencegah kondisi klien akan
menjadi bertambah buruk. Selanjutnya kuman masuk ke dalam hepar yang selanjutnya
mengeluarkan endotoksin yang akan merusak hepar sehingga terjadi hepatomegali dan
juga mengakibatkan splenomegali yang disertai dengan meningkatnya SGOT/SGPT.
Selain itu, kuman dapat menyebar ke hipotalamus yang menekan termoregulasi yang
mengakibatkan demam remiten dan hipertermi sehingga klien akan mengalami malaise
dan akhirnya mengganggu aktivitasnya (Muttaqin, 2011).

10
2.5 Pathway

11
2.6 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis Typhoid Abdominalis tergantung dari virulensi dan daya tahan
tubuh. Masa inkubasi rata-rata sekitar 10 hari , pada penderita yang khas dan tidak diobati
dengan antimikroba maka penyakit ini berlangsung selama 4 minggu (Mansjoer, 2000).
Dengan tahapan sebagai berikut:
a. Minggu pertama.
Keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu
demam yang remiten suhu tubuh menurun pada siang hari dan kembali naik pada
malam hari, nyeri kepala, pusing , nyeri otot, anoreksia,nausea dan vomitus, obstipasi
atau diare, dan bradikardi (Dermawan & Rahayuningsih, 2010).
b. Minggu kedua.
Gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam kontinue, terus-menerus,
bradikardi relatif, lidah coated tongue (kotor di tengah, tepi dan ujung merah tremor),
delirium, hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran berupa
somnolen sampai koma.
3. Minggu ketiga.
Pada minggu ketiga panas suhu tubuh klien mulai berangsur-angsur normal.
Peningkatan uji Widal pada minggu keduan dan ketiga memastikan diagnosa pasti
typhoid, diare pea soup
4. Minggu keempat.
Fase minggu keempat adalah masa penyembuhan, kembalinya keadaan suhu
tubuh menjadi normal dan menghilangnya gejala-gejala yang terjadi selama masa
inkubasi dari kuman.

2.7 Penatalaksanaan
Penalaksanaan thypoid terdiri dari 3 bagian yaitu :
1. Perawatan
Penderita thypoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan
pengobatan. Penderita harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari. Besar demam
atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah
komplikasi perdarahan atau perforasi usus. Penderita dengan kesadaran menurun,
posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu tertentu untuk menghindari

12
komplikasi pneumonia hipostaltik dan dekubitus. Perawatan ini bertujuan mencegah
komplikasi dan mempercepat proses penyembuhan.
a. Pasien harus tirah baring (bed rest) sampai minimal 7 hari bebas demam.
b. Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan kondisi kekuatan pasien.
c. Posisi klien perlu diubah-ubah untuk mencegah dekubitus dan rasa tidak
nyaman.
d. Defekasi dan BAK perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi
dan retensi urin.
2. Diet
Dimasa lalu penderita tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan
akhirnya nasi sesuai tingkat kesembuhan penderita. Pemberian bubur saring ini
dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus, karena ada pendapat
bahwa ulkus-ulkus perlu diistirahatkan. Banyak penderita tidak menyukai bubur saring
karena tidak sesuai dengan selera mereka. Karena mereka hanya makan sedikit dan ini
berakibat keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur dan masa penyembuhan
menjadi lama. Makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa
(pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada penderita
tifoid.
a. Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein.
b. Makanan tidak boleh yang mengandung serat dan tidak merangsang dan
menimbulkan gas.
c. Bila kesadaran menurun, diberikan makanan cair, melalui sonde lambung.
d. Pada penderita yang akut, dapat diberi bubur saring. Banyak penderita tidak
menyukai bubur saring, karena tidak sesuai dengan selera mereka, sehingga mereka
hanya makan sedikit dan ini berakibat pada keadaan umum dan gizi penderita
semakin mundur dan masa penyembuhan menjadi lama. (Juwono, 1983) Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan
lauk pauk rendah selulosa(pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan
dengan aman pada penderita typhoid.
e. Diperbolehkan dengan makanan lunak jika kesadaran dan nafsu makan baik serta
bebas demam

13
3. Obat
Obat-obat anti mikroba yang sering dipergunakan ialah:
1. Kloramfenikol
Belum ada obat anti mikroba yang dapat menurunkan demam lebih cepat
dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 4 x 500 mg sehari
oral atau intravena sampai 7 hari bebas demam. Dengan penggunan kloramfenikol,
demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 5 hari.
2. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam thypid sama dengan
kloramfenikol komplikasi pada hematologis pada penggunan tiamfenikol lebih
jarang dari pada kloramfenikol. Dengan tiamfemikol demam pada demam tifoid
turun setelah rata-rata 5-6 hari.
3. Ko-trimoksazol (kombinasi dan sulfamitoksasol)
Dosis itu orang dewasa, 2 kali 2 tablet sehari, digunakan sampai 7 hari
bebas demam (1 tablet mengandung 80 mg trimitropin dan 400 mg
sulfametoksazol). Dengan kontrimoksazol demam pada demam tifoid turun rata-
rata setelah 5-6 hari.
4. Ampicillin dan Amoksilin
Indikasi mutlak pengunaannya adalah pasien demam thypid dengan
leokopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kg berat badan sehari,
digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan ampicillin dan amoksisilin demam
pada demam tifoid turun rata-rata setelah 7-9 hari.
5. Sefalosforin generasi ketiga
Beberapa uji klinis menunjukan sefalosporin generasi ketiga amtara lain
sefiperazon, seftriakson dan cefotaksim efektif untuk demam thypoid, tatapi dan
lama pemberian yang oktimal belum diketahui dengan pasti.
6. Fluorokinolon
Fluorokinolon efektif untuk untuk demam thypoid, tetapi dosis dan lama
pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti.
Obat-obat Simtomatik:
a. Antipiretika

14
Antipiretika tidak perlu diberikan secara rutin pada setiap pasien
demam thypoid, karena tidak dapat berguna.
b. Kortikosteroid
Pasien yang toksik dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral
dalam dosis yang menurun secara bertahap (Tapering off) selama 5 hari.
Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran pasien menjadi jernih dan
suhu badan cepat turun sampai normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh
diberikan tanpa indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan
relaps.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang pada klien dengan thypoid adalah pemeriksaan
laboratorium, yang terdiri dari :
1. Pemeriksaan leukosit
Didalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam thypoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering
dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam thypoid, jumlah leukosit pada sediaan darah
tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit
walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan
jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam thypoid.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT pada demam thypoid seringkali meningkat tetapi dapat
kembali normal setelah sembuhnya typoid.
3. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam thypoid, tetapi bila
biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam thypoid. Hal
ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
a. Teknik Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain,
hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan.
Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada
saat bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit

15
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu
pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh
biakan darah dapat positif kembali.
c. Vaksinasi dimasa lampau
Vaksinasi terhadap demam thypoid di masa lampau dapat menimbulkan
antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga
biakan darah negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti
mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan
mungkin negatif.
4. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadal salmonella thypi dalam serum klien dengan thypoid
juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada
uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.
Tujuan dari uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien
yang disangka menderita thypoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien
membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman)
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman)
c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai
kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan


titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita thypoid.
Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal :
a. Faktor yang berhubungan dengan klien :
1) Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit : aglutinin baru dijumpai dalam
darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-
5 atau ke-6

16
3) Penyakit-penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai
demam thypoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti
agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut
4) Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti
mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi
5) Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat
6) tersebut dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi
sistem retikuloendotelial
7) Vaksinasi dengan tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa,
titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang
setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun
perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada
orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
8) Infeksi klien dengan klinis / subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan
ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer
yang rendah
9) Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin
terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang
bukan thypoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella di masa lalu
b. Faktor-faktor Teknis
1) Aglutinasi silang : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O
dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada suatu spesies dapat
menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain
2) Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji
widal
3) Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian
yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain
salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain

2.9 Komplikasi
Pada Typhoid Abdominalis, demam yang lama akan menyebabkan kelemahan
yang hebat, penurunan berat badan, dan banyak kekurangan zat gizi. Beberapa komplikasi
yang terjadi pada typhoid :
1. Komplikasi intestinal

17
Yaitu komplikasi yang terjadi di dalam usus yang akan mengakibatkan organ
yang berkaitan mengalami suatu gangguan yang lain.
a. Pendarahan usus
Erosi pembuluh darah di plak peyer yang nekrotik di dalam dinding usus
dapat menyebabkan perdarahan pada traktus intestinal. Darah samar di dalam
feceslazim ditemukan pada 20% penderita typhoid. Sedangkan darah dalam
jumlah yang besar dijumpai pada 10% penderita. Biasanya perdarahan hebat
merupakan komplikasi lanjut, yang sering terjadi selama minggu kedua atau
ketiga penyakit. Penurunan mendadak dalam tekanan darah atau suhu tubuh
dimungkinkan merupakan manifestasi pertama perdarahan (Guerrant, 1991).
b. Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelahnya dan terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara di rongga peritonium, yaitu pekak hati menghilang
dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang
dibuat dalam keadaan tegak. Nyeri di kuadran kanan bawah abdomen menjadi
manifestasi dini tersering.
c. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dan dinding
abdomen yang menegang.
2. Komplikasi ekstraintestinal.
Yaitu komplikasi yang terjadi di luar usus dan mengakibatkan gangguan yang
disebabkan oleh kuman Salmonella Typhy yang sudah menyebar ke organ yang ada
di luar usus.
a. Kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan, sepsis),
miokarditis,trombosis, dan tromboflebitis.
b. Darah : anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi intravaskuler
diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis.
e. Ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
f. Tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.

18
g. Neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer,
sindrom Guillain-Bare, psikosis, dan sindrom katatonia. Pada anak-anak dengan
demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi lebih sering terjadi
pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang
sempurna (Mansjoer, 2000).

2.10 Konsep Asuhan Keperawatan


1. Identitas
Didalam identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan,
no. registrasi, status perkawinan, agama, pekerjaan, tinggi badan, berat badan,
tanggal masuk RS.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Pada pasien Thypoid biasanya mengeluh perut merasa mual dan
kembung, nafsu makan menurun, panas dan demam.
b. Riwayat penyakit sekarang
Pada umumnya penyakit pada pasien Thypoid adalah demam, anorexia,
mual, muntah, diare, perasaan tidak enak di perut, pucat (anemi), nyeri kepala
pusing, nyeri otot, lidah tifoid (kotor), gangguan kesadaran berupa somnolen
sampai koma.
c. Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit Thypoid, apakah
tidak pernah, apakah menderita penyakit lainnya.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah dalam kesehatan keluarga ada yang pernah menderita Thypoid
atau sakit lainnya.
3. Pola-pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
Perubahan penatalaksanaan kesehatan yang dapat menimbulkan
masalah dalam kesehatannya.
b. Pola nutrisi dan metabolisme

19
Adanya mual dan muntah, penurunan nafsu makan selama sakit, lidah
kotor, dan rasa pahit waktu makan sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi
tubuh.
c. Pola aktifitas dan latihan
Pasien akan terganggu aktifitasnya akibat adanya kelemahan fisik serta
pasien akan mengalami keterbatasan gerak akibat penyakitnya.
d. Pola istirahat dan tidur
Kebiasaan tidur pasien akan terganggu dikarenakan suhu badan yang
meningkat, sehingga pasien merasa gelisah pada waktu tidur.
e. Pola Persepsi Sensori dan Kognitif
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi
pengetahuan dan kemampuan dalam merawat diri.
f. Pola Hubungan dengan orang lain
Adanya kondisi kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan
interpersonal dan peran serta mengalami tambahan dalam menjalankan
perannya selama sakit.
g. Pola reproduksi dan seksualitas
Pada pola reproduksi dan seksual pada pasien yang telah atau sudah
menikah dan terjadi perubahan.
h. Persepsi diri dan konsep diri
Didalam perubahan apabila pasien tidak efektif dalam mengatasi
masalah penyakitnya.
i. Pola mekanisme koping
Stress timbul apabila seorang pasien tidak efektif dalam mengatasi
masalah penyakitnya.
j. Pola Nilai Kepercayaan / Keyakinan
Timbulnya distress dalam spiritual pada pasien, maka pasien akan
menjadi cemas dan takut akan kematian, serta kebiasaan ibadahnya akan
terganggu.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Biasanya pada pasien thypoid mengalami badan lemah, panas, pucat,
mual, perut tidak enak, anorexia.
b. Kepala dan leher

20
Biasanya pada pasien thypoid yang ditemukan adanya konjungtiva
anemia, mata cowong, bibir kering, lidah kotor ditepi dan ditengah merah.
c. Dada dan abdomen
Didaerah abdomen ditemukan nyeri tekan.
d. Sistem integumen
Kulit bersih,turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan thypoid adalah pemeriksaan
laboratorium, yang terdiri dari :
a. Pemeriksaan leukosit
Didalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam thypoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah
sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam thypoid, jumlah leukosit pada
sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang
terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh
karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam
thypoid.
b. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT pada demam thypoid seringkali meningkat tetapi
dapat kembali normal setelah sembuhnya typoid.
c. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam thypoid, tetapi
bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam
thypoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa
faktor :
1.4.1 Teknik Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium
yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan
yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat
demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
1.4.2 Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada
minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada
waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.

21
1.4.3 Vaksinasi dimasa lampau
Vaksinasi terhadap demam thypoid di masa lampau dapat
menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan
bakteremia sehingga biakan darah negatif.
1.4.4 Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti
mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
biakan mungkin negatif.
1.4.5 Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadal salmonella thypi dalam
serum klien dengan thypoid juga terdapat pada orang yang pernah
divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.

6. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah,
nafsu makan menurun.
b. Defisit volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan.
c. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan nyeri tekan (peradangan
pada usus).
d. Gangguan eliminasi BAB : konstipasi berhubungan dengan penurunan
absorpsi dinding usus.
e. Gangguan eliminasi BAB : diare berhubungan dengan absorbsi dinding usus
sekunder, infeksi salmonella thyposa.
f. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan pada usus
halus.
g. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

7. Intervensi dan Rasional


a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah,
nafsu makan menurun.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 3x24 jam pemenuhan kebutuhan
nutrisi pasien terpenuhi.
22
Kriteria Hasil : BB stabil / peningkatan BB, tidak ada tanda malnutrisi,
nafsu makan meningkat.
Intervensi :
1) Timbang berat badan tiap hari.
Rasional : Memberikan informasi tentang kebutuhan diet/keefektifan
therapi.
2) Dorong tirah baring / pembatasan aktivitas selama fase sakit akut.
Rasional : Menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah penurunan
kalori dan simpanan energi.
3) Anjurkan klien istirahat sebelum makan.
Rasional : Menenangkan peristaltik dan meningkatkan energi untuk
makan.
4) Sediakan makanan dalam ventilasi yang baik, lingkungan menyenangkan,
dengan situasi tidak terburu-buru.
Rasional : Lingkungan yang menyenangkan menurunkan stress dan lebih
kondusif untuk makan.
5) Catat masukan dan perubahan symtomologi.
Rasional : Memberikan rasa kontrol pada klien dan memberikan
kesempatan untuk memilih makanan yang diinginkan, dinikmati, dapat
meningkat masukan.
1.4.6 Berikan nutrisi parental total, therapi IV sesuai indikasi.
Rasional : Dapat mengistirahatkan saluran sementara memberikan nutrisi
penting.
b. Defisit volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam kebutuhan
cairan terpenuhi.
Kriteria Hasil : Mempertahankan volume cairan adekuat.
Intervensi :
1) Kaji tanda-tanda vital
Rasional : Hipotensi, takikardi, demam, dapat menunjukkan respon
terhadap efek kehilangan cairan.
2) Observasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa, penurunan
turgor kulit.

23
Rasional : Dapat mengetahui kehilangan cairan berlebihan atau dehidrasi.
3) Pertahankan pembatasan per oral, tirah baring, hindari kerja/batasi
aktifitas.
Rasional : Kolon diistirahatkan untuk penyembuhan dan untuk
menurunkan kehilangan cairan usus.
4) Observasi perdarahan dan tes feses tiap hari untuk adanya darah samar.
Rasional : Diet tak adekuat dan penurunan absorbsi dapat memasukan
defisiensi vitamin K dan merusak koagulasi, potensial resiko perdarahan.
5) Berikan cairan parenteral, tranfusi darah sesuai indikasi.
Rasional : Mempertahankan istirahat usus akan memerlukan penggantian
cairan untuk memperbaiki kehilangan / anemia.
c. Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan nyeri tekan (peradangan
pada usus).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri hilang/berkurang.
Kriteria Hasil : Klien hilang / berkurang, klien tampak rileks.
Intervensi :
1) Dorong klien untuk melaporkan nyeri.
Rasional : Untuk dapat mentoleransi nyeri.
2) Kaji laporan kram abdomen / nyeri, catat lokasi, lamanya intensitas (skala
0-10). Selidiki dan laporkan perubahan karakteristik nyeri.
Rasional : Nyeri selama defekasi seiring terjadi pada klien dengan tiba-
tiba dimana dapat berat dan tidak dimana dapat berat dan terus menerus.
Perubahan pada karakteristik nyeri dapat menunjukkan penyebaran
penyakit / terjadikomplikasi.
3) Tentukan stres luar, misal keluarga, teman, lingkungan kerja / sosial.
Rasional : Stres dapat mengganggu respon saraf otonomik dan
mendukung eksasereasi penyakit. Meskipun tujuan kemandirianlah pada
klien menjadi penambah stressor.
4) Anjurkan klien istirahat / tidur yang cukup.
Rasional : Kelelahan karena penyakit cenderung menjadi masalah berarti,
mempengaruhi kemampuan mengatasinya.
5) Dorong penggunaan ketrampilan manangani stres misal teknik relaksasi,
latihan nafas dalam.

24
Rasional : Memberatkan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan
meningkatkan kemampuan koping.
6) Berikan obat sesuai indikasi.
Rasional : Bantuan dalam istirahat psikologi / fisik, menghemat energi,
dan dapat menguatkan kemampuan koping.
d. Gangguan eliminasi BAB : konstipasi berhubungan dengan penurunan
absorpsi dinding usus.
Tujuan : Selama dalam perawatan kebutuhan eliminasi terpenuhi.
Kriteria Hasil : Tidak terjadi gangguan pada eliminasi, BAB kembali
normal.
Intervensi :
1) Kaji pola BAB pasien.
Rasional : Untuk mengetahui pola BAB pasien.
2) Pantau dan catat BAB setiap hari.
Rasional : Mengetahui konsistensi dari feses dan perkembangan pola
BAB pasien.
3) Pertahankan intake cairan 2-3 liter / hari.
Rasional : Memenuhi kebutuhan cairan dan membantu memperbaiki
konsistensi feses.
4) Kolaborasi dengan ahli gizi pemberian diet tinggi serat tapi rendah lemak.
Rasional : Serat menahan enzim pencernaan dan mengabsorbsi air dalam
alirannya sepanjang traktus intestinal.
5) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat pencahar.
Rasional : Obat itu untuk melunakkan feses yang keras sehingga pasien
dapat defekasi dengan mudah.
e. Gangguan eliminasi BAB : diare berhubungan dengan absorbsi dinding usus
sekunder, infeksi salmonella thyposa.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien
tidak mengalami diare, BAB normal.
Kriteria Hasil : BAB normal 1-2x/hari, konsistensi berbentuk, perut tidak
mulas.
Intervensi :
1) Kaji frekuensi, bau, warna feses.

25
Rasional : Untuk mengetahui adakah perdarahan.
2) Observasi tanda dehidrasi.
Rasional : Untuk mengetahui tanda dehidrasi.
3) Observasi peristaltik usus.
Rasional : Untuk mengetahui perubahan peristaltik usus.
4) Observasi / monitor intake output cairan.
Rasional : Untuk mengetahui balance cairan.
5) Anjurkan klien untuk banyak minum.
Rasional : Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang melalui diare.
6) Hindarkan pemberian makanan / minuman yang dapat menimbulkan diare.
Rasional : Mengurangi resiko diare.
f. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses peradangan pada usus
halus.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan suhu tubuh normal.
Kriteria Hasil : Suhu tubuh normal (36-37oC).
Intervensi :
1) Kaji peningkatan suhu.
Rasional : Suhu 38,9 menunjukkan proses penyakit infeksi akut.
2) Pantau suhu lingkugan, batasi / tambah linen tempat tidur sesuai indikasi.
Rasional : Suhu lingkungan / jumlah selimut harus dibatasi untuk
mempertahankan suhu mendekati normal.
3) Berikan kompres air hangat, hindari penggunaan air es.
Rasional : Membantu mengurangi demam (penggunaan air es
menyebabkan peningkatan suhu secara actual).
4) Kolaborasi pemberian antipiretik.
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam.
g. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan aktifitas seharihari
kembali normaldan mengharapkan penurunan rasa letih.
Kriteria Hasil : Klien melaporkan kemampuan untuk melakukan aktifitas
sehari-hari dan mengharapkan penurunan rasa letih.
Intervensi :

26
1) Kaji derajat kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipasi
dalam aktivitas sehari-hari.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan
aktivitas.
2) Berikan lingkungan tenang dan periode istirahat tanpa gangguan, dorong
istirahat sebelum makan.
Rasional : Menghemat energi untuk istirahat dan regenerasi seluler /
penyambungan jaringan.
3) Dekatkan alat yang dibutuhkan klien dalam tempat yang mudah dijangkau.
Rasional : Untuk menghemat energi klien.
4) Ajarkan teknik penghemat energi, misal lebih baik duduk daripada berdiri,
penggunaan kursi untuk mandi, dsb.
Rasional : Memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri.

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Thypoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna
dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan
gangguan kesadaran.
Thypoid adalah infeksi akut pada usus kecil yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella Typhi. Di Indonesia penderita demam thyphoid cukup banyak diperkirakan
800 100.000 penduduk per-tahun. Tersebar dimana-mana dan ditemukan hampir
sepanjang tahun.

3.2 Saran
Kami merasa pada makalah kami banyak kekurangan, karena kurangnya referensi
dan pengetahuan pasa saat pembuatan makalah ini, kami sebagai penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun pada pembaca agar kami dapat membuat makalah yang
lebih baik lagi.
Demikian makalah ini kamu buat untuk menambah pengetahuan dan informasi
yang benar guna mendapat kan apresiasi yang bisa digunakan untuk perbaikan demi
kepentingan bersama, sekian dan terima kasih.

28
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran (Edisi III). Jakarta : EGC.

Syaifuddin, B. Ac. 1995. Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawata. Jakarta : EGC.

Smeltzer C.2002. Suzanne, Brunner & Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,

Jakarta: EGC.

http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/103/jtpunimus-gdl-nafikalist-5139-2-babii.pdf (Diakses

18 April 2017)

29

Anda mungkin juga menyukai