Anda di halaman 1dari 25

ANALISIS KERENTANAN BENCANA KEBAKARAN LAHAN GAMBUT

UNTUK PENGURANGAN RISIKO BENCANA


DI PULAU BENGKALIS PROVINSI RIAU

AGUNG ADIPUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
ii

Judul Tesis : Analisis Kerentanan Bencana Kebakaran Lahan Gambut untuk


Pengurangan Risiko Bencana di Pulau Bengkalis Provinsi Riau

Nama : AGUNG ADIPUTRA


NIM : A153140011

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Baba Barus, M.Sc. Dr Andrea Emma Pravitasari, SP., MSi


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Mitigasi BencanaKerusakan Sekretaris Program Magister
Lahan

Dr. Boedi Tjahjono Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc


iii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR iv

1. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Kerangka Pikir 3

2. TINJAUAN PUSTAKA 5
Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut 5
Pemetaan Bencana Kebakaran Hutan 7
Penilaian Kerentanan (vulnerability) 7
Pengurangan Risiko Bencana (PRB) 8

3. METODE 9
Lokasi Penelitian 9
Bahan dan Alat 9
Jenis dan Sumber Data 10
Teknik Pengumpulan Data 11
Teknik Analisis Data 11
Diagram Alir Penelitian 17
Jadwal Penelitian 17
Rencana Anggaran Penelitian 17

DAFTAR PUSTAKA 19
iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jenis Data dan Sumber Data 10


Tabel 2. Tabel parameter kerentanan fisik 12
Tabel 3. Parameter Penyusun dan Skoring Kerentanan Sosial 13
Tabel 4. Reklasfikasi kelas penutupan/ penggunaan lahan menjadi kelas lahan
produktif. 15
Tabel 5. Tabel parameter kerentanan ekonomi 15
Tabel 6. Tabel parameter kerentanan lingkungan 16
Tabel 7. Rencana kegiatan penelitian 18
Tabel 8. Rencana Biaya Penelitian 18

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Berpikir


Gambar 2. Model diagram kerentanan bencana alam 8
Gambar 3. Lokasi penelitian Pulau Bengkalis. 9
Gambar 4. Alur Proses Pembuatan Peta Kerentanan Fisik 13
Gambar 5. Alur Proses Pembuatan Peta Kerentanan Sosial 14
Gambar 6. Alur Proses Pembuatan Peta Kerentanan Ekonomi 15
Gambar 8. Diagram Alir Penelitian 17
1

1. PENDAHULUAN

Latar belakang

Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, dengan


sumber daya hutan yang cukup signifikan melingkupi pulau-pulau besar terutama
Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Sumber daya hutan tersebut merupakan potensi
tidak ternilai sehingga jaminan kelestarian hutan yang bebas dari ancaman
kerusakan-termasuk dari kebakaran hutan dan lahan-mutlak dibutuhkan. Bencana
kebakaran hutan dan lahan sudah menjadi hal rutin. Hampir setiap tahun kita
disibukkan oleh bencana tersebut. Berbagai sumber (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan
Kementerian Pertanian) mencatat bahwa luas wilayah yang mengalami kebakaran
hutan dan lahan mencapai 1,7 juta hektar. Menurut data Badan Nasional
Penanggulangan Bencana total kehilangan akibat bencana tersebut di Provinsi
Riau pada tahun 2014 mencapai Rp 20 triliun, belum termasuk wilayah lain di
Indonesia. Wilayah yang terpapar di Sumatera mencakup 25,6 juta penduduk,
sedangkan di wilayah Kalimantan mencapai 3 juta jiwa (BNPB 2015).
Kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan bencana asap tersebut
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Berdasarkan data BNPB (2013) kebakaran
disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu kebakaran didukung oleh pemanasan
global, kemarau ekstrim yang seringkali dikaitkan dengan pengaruh iklim yang
memberikan kondisi ideal untuk terjadinya kebakaran hutandan aktivitas manusia
dalam pengelolaan lahan. Persentase yang berasal dari kegiatan manusia sebanyak
99%, baik disengaja maupun karena unsur kelalaian. Kebakaran lahan yang terjadi
akibat pengaruh iklim hanya terjadi sebagian kecil.
Kebakaran hutan dan lahan juga berdampak berat pada transportasi udara,
pendidikan, kesehatan, dan aktivitas ekonomi. Selain kerusakan dan kerugian,
kebakaran hutan dan lahan yang meluas sangat sulit untuk dipadamkan dengan
cepat. Hal ini disebabkan oleh wilayah yang terbakar tidak hanya di permukaan,
tetapi juga di bawah permukaan (sub-surface). Satuan tugas penanggulangan
bencana kebakaran menyatakan bahwa api yang membakar lahan gambut dengan
ketebalan 1 meter 3 meter sangat menyulitkan proses pemadaman dan
membutuhkan volume air cukup banyak (BNPB 2015). Kebakaran hutan
sebenarnya dapat dicegah, dikontrol, dan dikendalikan apabila faktor-faktor
pemicu kebakaran dapat diidentifikasi dan dipetakan sejak dini.
Salah satu daerah yang mengalami kerugian akibat kebakaran hutan dan
lahan gambut adalah pulau Bengkalis di Provinsi Riau. Kebakaran hutan dan
lahan di Provinsi Riau hampir setiap tahun terjadi, wilayah yang kebakaran
biasanya terjadi pada musim kemarau, Berdasarkan data statistik badan
2

lingkungan hidup provinsi riau 2014, luas lahan gambut di Riau yang mencapai
4,04 juta hektare yang terluas terdapat di Pulau Bengkalis. Sekitar 56 persen total
lahan gambut di Pulau Bengkalis mengalami kebakaran hampir setiap tahun.
Sekitar 543,786 jiwa total penduduk di pulau Bengkalis sebagian diantara-
nya rentan terpapar bencana asap dari kebakaran hutan dan lahan gambut.
Untuk mengurangi resiko bencana kebakaran hutan dan lahan gambut
diperlukan arahan mitigasi bencana sebagai lambah preventif. Pemetaan ancaman
dan bahaya kebakaran hutan dan lahan serta menghitung kerentanan merupakan
bentuk usaha pengurangan risiko bencana kebakaran hutan dan lahan. Oleh
karena itu, diperlukan penelitian untuk mendapatkan analisis bahaya, risiko dan
pemetaan kerentanan bencana guna mengurangi risiko akibat bencana kebakaran
hutan dan lahan gambut di pulau Bengkalis Provinsi Riau.

Rumusan Masalah
Kasus kebakaran hutan dan lahan gambut di Pulau Bengkalis Provinsi Riau
terjadi hampir setiap tahun. Penanggulangan kebakaran yang lebih sulit pada
lahan gambut dibandingkan kebakaran yang terjadi pada lahan kering.
Penanggulangan dapat dilakukan dengan cara pengurangan risiko yang dihasilkan
dari kebakaran hutan dan lahan seperti, pengamatan hotspot menggunakan citra
penginderaan jauh dan pembuatan zonasi kerawanan kebakaran mengetahui areal
mana saja yang mudah terjadi kebakaran. Kerentanan yang terjadi oleh asap dan
kerugian lain akibat kebakaran hutan dan lahan gambut dapat direduksi. Maka
masalah dalam penelitian ini adalah ancaman dan bahaya kebakaran hutan dan
lahan gambut di Pulau Bengkalis provinsi Riau, sehingga kerugian sebagai
dampak yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dapat diperhitungkan.
Selanjutnya dapat diperhitungkan daerah terpapar dan kerentanan terhadap
bencana kebakaran hutan dan lahan gambut di Pulau Bengkalis Provinsi Riau.
Pemetaan ancaman dan bahaya kebakaran hutan dan lahan serta menghitung
kerentanan merupakan bentuk usaha pengurangan risiko bencana kebakaran hutan
dan lahan.
Untuk mengurangi resiko bencana kebakaran hutan dan lahan gambut
diperlukan arahan mitigasi bencana sebagai langkah preventif. Pemetaan ancaman
dan bahaya kebakaran hutan dan lahan serta menghitung kerentanan merupakan
bentuk usaha pengurangan risiko bencana kebakaran hutan dan lahan. Oleh karena
itu, diperlukan penelitian untuk mendapatkan analisis bahaya, risiko dan pemetaan
kerentanan bencana guna mengurangi risiko akibat bencana kebakaran hutan dan
lahan gambut di pulau Bengkalis Provinsi Riau.
Dalam penelitian ini memunculkan pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimana kerawanan kebakaran lahan gambut di Pulau Bengkalis ?
3

2. Bagaimana kerentanan bencana kebakaran lahan gambut Pulau Bengkalis?


3. Bagaimana usaha pengurangan resiko bencana kebakaran lahan gambut
yang sesuai di pulau Bengkalis?

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi elemen risiko bencana kebakaran lahan gambut Pulau
Bengkalis.
2. Memprediksi nilai kerentanan bencana meliputi kerentanan fisik, social,
ekonomi dan lingkungan di Pulau Bengkalis.
3. Membuat arahan usaha pengurangan resiko bencana kebakaran lahan gambut
yang sesuai di pulau Bengkalis.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pertimbangan
bagi pemerintah terhadap perumusan kebijakan pengurangan risiko bencana
kebakaran hutan dan lahan gambut di Pulau Bengkalis. Hasil analisis kerentanan
bencana diharapkan dapat bermanfaat untuk membantu pemerintah dan
masyarakat di Pulau Bengkalis dalam mengidentifikasi tindakan yang diperlukan
untuk melakukan mitigasi kebakaran hutan dan lahan gambut dan pengurangan
risiko bencana.

Kerangka Pikir
Menurut kementerian Kehutanan, keakaran hutan adalah suatu keadaan
dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil
hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan.
Kebakaran terjadi secara rutin di Indonesia, terutama pada lahan gambut.
Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api
membakar bahan bakar yang ada di atas permukaan (misalnya: serasah,
pepohonan, semak, dll), kemudian api menyebar tidak menentu secara perlahan di
bawah permukaan (ground fire), membakar bahan organik melalui pori-pori
gambut dan melalui akar semak belukar/pohon yang bagian atasnya terbakar
(Kornita 2016). Kebakaran hutan dan lahan di Riau, khususnya pada lahan
gambut di pulau Bengkalis, merupakan suatu permasalahan yang kompleks.
Kebakaran yang terjadi di lahan gambut dikategorikan sebagai ground fire.
Kebakaran yang banyak terjadi di lahan gambut menyebabkan kerentanan
gangguan kesehatan, ispa, terganggunya aktifitas transportasi, tergangggunya
aktifitas ekonomi masyarakat dengan menghitung kelas kerentanan.
4

Menurut undang-undang nomor 24/2007, kerentanan adalah sekumpulan


kondisi dan atau suatu akibat keadaan (faktor fisik, sosial, ekonomi dan
lingkungan) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan bencana. Kondisi sosial masyarakat yang tinggal pada lahan
gambut menjadi acuan penilaian tingkat kerentanan sosial budaya kebakaran lahan
gambut di Pulau Bengkalis. Sintesa informasi iklim/cuaca berupa bentuk
penyimpangan dengan pengaruh ENSO dan indeks vegetasi pada lahan gambut
serta kondisi iklim dikaitkan dengan curah hujan dan kondisi hidrologi lahan
gambut menjadi salah satu elemen risiko bencana sebelum memperhitungkan
kerentanan bencana. Dari keseluruhan analisa didapatkan seberapa besar nilai
kerentanan kebakaran lahan gambut yang terjadi di Pulau Bengkalis
Model kerentanan bencana kebakaran pada lahan gambut dapat
diperhitungan secara ruang. Data sekunder untuk menganalisa kebakaran di lahan
gambut Bengkalis sehingga dapat menghasilkan penilaian bahaya pada kebakaran
pada lahan gambut Bengkalis. Risiko kebakaran lahan gambut di Pulau Bengkalis
dinilai dari berbagai aspek baik itu dari observasi langsung di lapangan dan sistem
penginderaan jauh, bahkan kombinasi dari keduanya. Perhitungan spasial
kerentanan diperlukan sebagai modal arahan mitigasi bencana kebakaran hutan.
Pemetaan kerentanan dalam penelitian tersebut meliputi kerentanan fisik, sosial
ekonomi, sosial kependudukan, lingkungan, dan ekonomi wilayah, dimana dalam
penentuan komponen kerentanan tersebut didasarkan pada Undang-
Undang Penanggulangan bencana, Perencanaan tata kota, Pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil, dan pengurangan resiko bencana. Kerangka berpikir
penelitian seperti digambarkan pada gambar 1 berikut ini.

KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN


GAMBUT

ELEMEN RISIKO DAMPAK DAN KERUGIAN

PERHITUNGAN KERENTANAN

FISIK SOSIAL EKONOMI LINGKUNGAN

PENGURANGAN RISIKO BENCANA

Gambar 1. Kerangka Berpikir


5

2. TINJAUAN PUSTAKA

Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut


Menurut kementerian Kehutanan, keakaran hutan adalah suatu keadaan
dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil
hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan. Kejadian
kebakaran hutan tidak lepas hubungannya dengan perilaku api yang dipengaruhi
oleh segitiga api. Dalam segitiga api tergantung tiga unsur utama yakni bahan
bakar, oksigen, sumber api (Syaufina 2008). Ketiga unsur utama ini membuat
perilaku api berhubungan erat dengan perubahan unsur-unsur lingkungan. Unsur-
unsur lingkungan tersebut antara lain bahan bakar, iklim/cuaca, dan topografi.
a. Bahan Bakar
Kadar air merupakan faktor pengendali bahan bakar. Kadar air
menentukan kemudahan bahan bakar untuk menyala, kecepatan proses
pembakaran, dan kemudahan usaha pemadaman kebakaran (Sukmawati 2008).
Menurut Syaufina (2008), kadar air merupakan faktor yang sangat berpengaruh
terhadap perilaku api terutama dalam kecepatan pembakaran bahan bakar.
Semakin tinggi kadar air bahan bakar, maka memerlukan panas yang besar untuk
mengeluarkan air dari bahan bakar, maka kecepatan pembakaran dan flamabilitas
(kemampuan terbakar) dari bahan bakar juga munurun. Kadar air dipengaruhi
oleh curah hujan, kelembaban, dan suhu udara. Hasil penelitian di daerah
Tanjong Karang, Selangor, Malaysia menyatakan kadar air bahan bakar gambut
dipengaruhi oleh curah hujan dan tinggi muka air.
b. Iklim/Cuaca
Radiasi matahari menjadi faktor adanya kebakaran hutan akibat adanya
pemanasan bahan bakar. Semakin dekat dengan permukaan bahan bakar dengan
sudut datang matahari, maka semakin besar pengaruh pemanasannya (Syaufina
2008). Suhu udara yang selalu berubah dan mempengaruhi suhu bahan bakar
serta kemudahan untuk terbakar. Suhu yang meningkat akan menurunkan
kelembaban udara dan meningkatkan proses pengeringan bahan bakar, sehingga
kadar air bahan bakar menurun (Sukmawati 2008). Keadaan inilah yang
mempermudah bahan bakar menjadi mudah terbakar.
Curah hujan merupakan unsur iklim yang memiliki korelasi yang tinggi
terhadap kejadian kebakaran hutan Soares dan Sampion 2000a dalam Syaufina
(2008). Curah hujan juga berpengaruh terhadap kelembaban bahan bakar. Jika
curah hujan tinggi maka kelembaban bahan bakar akan tinggi sehingga
menyulitkan terjadinya kebakaran (Sukmawati 2008). Curah hujan merupakan
unsur iklim yang mempunyai keragaman tinggi, karena pola hujan yang
bervariasi menurut skala ruang dan waktu (Asdak 2002 dalam Sukmawati 2008).
6

Kecepatan angin dan pergerakan angin mempengaruhi perilaku api.


Kecepatan angin berhubungan dengan pola penjalaran api. Menurut Chandler et
al (1983) dalam Syaufina (2008), kecepatan penjalaran api akan meningkat dua
kali lipat pada setiap kenaikan angin sebesar 4 m/detik. Pengaruh angin terhadap
perilaku api sangat dipengaruhi oleh topografi (Syaufina 2008). Angin
mendorong dan meningkatkan pembakaran dan mensuplai udara secara terus-
menerus dan meningkatkan penjalaran, sehingga api dapat menjalar ke semua
bagian.
Kebakaran dipicu oleh faktor yang secara langsung mempengaruhi
terjadinya penyulutan api. Aktifitas manusia merupakan porsi terbesar dalam
penyulutan api, dibandingkan secara alami. Penyulutan api oleh manusia juga
dikelompokkan menjadi 2 komponen, yaitu kesengajaan dan kecerobohan. Walau
seringkali kebakaran besar diawali dari upaya yang disengaja dan akibat
ketidakpahamanan pembakar mengenai kondisi yang ada, sehingga menjadi
kecerobohan yang menyebabkan kebakaran merambat ke tempat lain. Motivasi
dari pembakaran/ kebakaran yang disengaja dan biasa dijumpai meliputi beberapa
hal, antara lain: penyiapan lahan, pembukaan akses, dan perburuan satwa.
Kebakaran hutan dapat dikelompokkan pada tiga tipe. Pengelompokkan
tersebut didasarkan kepada bahan bakar yang mendominasi kebakaran. Tiga tipe
kebakaran, yaitu :
a. Kebakaran bawah (Ground Fire):
Kebakaran bawah yaitu situasi dimana api membakar bahan organik di
bawah permukaan serasah. Penjalaran api yang perlahan dan tidak dipengaruhi
oleh angin menyebabkan tipe kebakaran seperti ini sulit untuk dideteksi dan
dikontrol. Kebakaran bawah adalah tipe kebakaran yang umum terjadi di lahan
gambut.
b. Kebakaran permukaan (Surface fire)
Kebakaran permukaan yaitu situasi dimana api membakar serasah,
tumbuhan bawah, bekas limbah pembalakan dan bahan bakar lain yang terdapat
di lantai hutan. Kebakaran permukaan adalah tipe kebakaran yang umum terjadi
di semua tegakan hutan.
c. Kebakaran tajuk (Crown fire)
Kebakaran tajuk yaitu situasi dimana api menjalar dari tajuk pohon satu
ke tajuk pohon yang lain yang saling berdekatan. Kebakaran tajuk sangat
dipengaruhi oleh kecepatan angin. Kebakaran tajuk sering terjadi di tegakan
hutan konifer dan api berasal dari kebakaran permukaan.
Kebakaran hutan dan lahan di Riau, khususnya pada lahan gambut di
pulau Bengkalis, merupakan suatu permasalahan yang kompleks dan terjadi
secara rutin. Kebakaran yang terjadi di lahan gambut dikategorikan sebagai
7

ground fire (kebakaran bawah permukaan). Tipe kebakaran ini adalah menjalar
secara tidak terprediksi dan lambat karena tidak dipengaruhi oleh angin, dan
terkadang sulit dipastikan kejadiannya jika tidak muncul tanda-tanda kebakaran
di permukaan. Kebakaran pada lahan gambut tidak hanya membakar biomassa di
atas permukaan gambut, namun juga biomassa yang berada di bawah permukaan.
Panas akibat terbakarnya biomassa permukaan, akan menjalar ke gambut,
mengeringkan permukaan gambut, sekaligus membakar gambut tersebut.
Selanjutnya api akan menjalar di permukaan dan bawah permukaan gambut.
Kebakaran di lahan gambut hanya dapat dipadamkan jika seluruh bagian dari
gambut yang terbakar, tergenangi oleh air. Namun untuk melakukan itu,
diperlukan jumlah air yang sangat banyak misalnya dari hujan yang sangat deras.
Mayoritas penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut adalah akibat ulah
manusia, baik yang sengaja melakukan pembakaran ataupun akibat kelalaian
dalam menggunakan api. Hal ini didukung oleh kondisi-kondisi tertentu yang
membuat rawan terjadinya kebakaran, seperti gejala El Nino, kondisi fisik
gambut yang terdegradasi dan rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Penyebab kebakaran oleh manusia. Kebakaran yang disebabkan oleh api yang
berasal dari pembakaran vegetasi yang disengaja tetapi tidak dikendalikan pada
saat kegiatan, misalnya dalam pembukaan areal pembakaran semak belukar yang
menghalangi akses mereka dalam pemanfaatan sumber daya alam serta
pembuatan api untuk memasak oleh para penebang liar dan pencari ikan di dalam
hutan. Keteledoran mereka dalam memadamkan api dapat menimbulkan
kebakaran.

Pemetaan Bencana Kebakaran Hutan


Pemetaan ancaman kebakaran dapat menggunakan metode GIS
(Geographic Information System) yang dapat melakukan visualisasi secara efektif
mengenai kondisi geografis yang akurat, kejadian bencana kebakaran, ataupun
perkiraan ancaman kebakaran yang akan terjadi. Informasi spasial tersebut akan
sangat membantu fire manager di dalam melakukan identifikasi, perencanaan,
pencegahan, persiapan, respon, serta restorasi (Greene 2002). Mengingat
keterbatasan yang ada, pendekatan dilakukan dengan menerapkan beberapa
asumsi untuk melengkapi keterwakilan data. Model peta rawan kebakaran ini
tidak secara khusus memperhatikan potensi penyulutan, melainkan lebih secara
luas memprediksi kemungkinan kebakaran yang akan terjadi serta kemungkinan
intensitas serta dampak yang ditimbulkan. Potensi penyulutan juga dikembangkan
sebagai salah satu komponen di dalam Sistem Analisa Ancaman Kebakaran
(Ruecker 2007) yang dikembangkan oleh SSFFMP.
8

Penilaian Kerentanan (vulnerability)


Kerentanan (vulnerability) adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia atau
masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau
ancaman. Kerentanan ini dapat berupa: kerentanan fisik, ekonomi, sosial dan
lingkungan. Namun pada perhitungan kerentanan ini, dipilih pada 3 ancaman
terbesar saja dengan pertimbangan waktu. Sedangkan masing-masing indikator
ditentukan tingkat kerentananya berdasarkan besarnya prosentase dari keseluruhan
masing-masing indikator. Mardiatno et al. (2012) mengemukakan bahwa
kerentanan (vulnerability) merupakan kondisi karakteristik alam, geogras, sosial,
ekonomi, politik, budaya dan teknologi suatu masyarakat di suatu wilayah untuk
jangka waktu tertentu yang dapat mengurangi kemampuan masyarakat tersebut
mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan menanggapi dampak dari bahaya
tertentu. Menurut Pine (2008) menyatakan bahwa cakupan indikator kerentanan
terhadap suatu bencana adalah fisik, politik, ekonomi, dan sosial.
BNPB pada tahun 2012 menggambarkan model kerentanan bencana alam
yang digambarkan pada gambar 2 sebagai berikut.

Gambar 2. Model diagram kerentanan bencana alam (BNPB 2012)

Pengurangan Risiko Bencana (PRB)

Pengurangan resiko bencana didefinisikan oleh Badan Nasional


Penanggulanganan Bencana sebagai salah satu system pendekatan untuk
mengindentifikasi, mengevaluasi dan mengurangi resiko yang diakibatkan oleh
bencana. Tujuan utamanya untuk mengurangi resiko fatal dibidang social ,
ekonomi dan juga lingkungan alam serta penyebab pemicu bencana: Badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merumuskan PRB sebagai agen
sejenis UNISDR dan UNDP: "Kerangka konsep kerja yang bagian-bagiannya
telah mempertimbangkan segala kemungkinan untuk memperkecil resiko
kematian dan bencana melalui lingkungan masyarakat, untuk menghindari
(mencegah) atau untuk membatasi (menghadapi dan mempersiapkan) kemalangan
9

yang disebabkan oleh marabahaya, dalam konteks yang lebih luas dari
pembangunan yang berkelanjutan. Istilah "Managemen Pengurangan Resiko
Bencana sering digunakan dalam konteks dan arti yang sama; pendekatan
sistematis, untuk mengindentifikasi, mengevaluasi dan mengurangi segala resiko
yang berkaitan dengan malapetaka (marabahaya) dan kegiatan manusia. Sangat
layak diterapkan operasional PRB; Implementasi praktis dari inisiatif PRB.

3. METODE

Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Pulau Bengkalis, Kabupaten Bengkalis,
Provinsi Riau yang terdiri dari 2 kecamatan yakni kecamatan Bengkalis dan
kecamatan Bantan. Pada gambar 3 ditampilkan peta lokasi penelitian Pulau
Bengkalis, Kabupaten Bengkalis.

Gambar 3. Lokasi penelitian Pulau Bengkalis, Kabupaten Bengkalis, Prov. Riau.


10

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa seperangkat
peta kerja yang berguna sebagai panduan untuk melakukan pengamatan lapangan
yang terdiri dari peta-peta dasar seperti peta admnistrasi, peta penggunaan lahan,
peta jaringan drainase dan data citra satelit Landsat multi temporal Pulau
Bengkalis. Selain itu juga dibutuhkan beberapa peralatan untuk melakukan
pengamatan lapangan yang terdiri dari GPS (Global Position System) dan kamera
digital yang digunakan untuk dokumentasi lapangan. Untuk memperoleh data
sosial ekonomi digunakan kuisioner tertutup dan terbuka. Selain itu juga
dibutuhkan satu unit laptop yang dilengkapi oleh software Microsoft Office,
Microsoft Excel, SPSS, Envi, FARSITE, Erdas Imagine dan ArcGIS untuk
melakukan pengolahan data penelitian.

Jenis dan Sumber Data


Jenis-jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah data
sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari penelitian
kepustakaan dan dokumen, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan
orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk peta-peta, buku-buku atau dokumen
yang biasanya disediakan di perpustakaan, atau milik pribadi. Jenis dan sumber
data yang diperlukan untuk penelitian ini, diantaranya terdapat pada tabel 1.

Tabel 1. Jenis Data dan Sumber Data


Jenis Data Skala Sumber
Peta RBI Kabupaten Bengkalis 1:50.000 Badan Informasi Geospasial
Data sebaran Hot Spot citra satelit 1:50.000 NOAA
MODIS
Peta RTRW 1:50.000 Bapeda Kabupaten Bengkalis
Peta Penggunaan Lahan 1:50.000 Dinas Pertanian/Bappeda
Kabupaten Bengkalis
Data Kepadatan Penduduk 1:50.000 Bapeda Kabupaten Bengkalis
Data Curah Hujan BMKG Kabupaten Bengkalis
Data Potensi desa Badan Pusat Statistik
Data rumah tangga miskin BPS KAB.RIAU
Data penduduk Difable DINAS SOSIAL KAB.RIAU
Data Kepekaan sosial (wawancara)
Data PDRB Per sektor Bapeda Kabupaten Bengkalis
Data penyebaran infrastuktur dan Bapeda Kabupaten Bengkalis
prasarana
Data rasio pendapatan rumah
tangga (wawancara)
11

Teknik Pengumpulan Data


Untuk memperoleh data-data yang perlukan untuk analisis kerentanan
bencana kebakaran lahan gambut dilakukan dengan berbagai cara antara lain :
1. Data sekunder yang diperlukan dalam analisa kerentanan bencana yang
meliputi kerentanan fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan diperoleh
melalui pengunduhan dan data pada portal resmi instansi terkait
sebagai walidata dan juga permohonan data secara langsung.
2. Data primer yang meliputi rasio pendapatan rumah tangga dan
kepekaan sosial dilakukan dengan wawancara langsung melalui
pengambilan sampel secara cluster random sampling. Menurut Yunus
(2004), teknik ini digunakan bilamana populasi tidak terdiri dari
individu-individu, melainkan terdiri dari kelompok-kelompok individu
atau cluster. Teknik sampling daerah digunakan untuk menentukan
sampel bila objek yang akan diteliti atau sumber data sangat luas,
misalnya penduduk dari suatu negara, propinsi atau kabupaten.

Teknik Analisis Data


Dalam menganalisa data untuk memperoleh informasi kerentanan bencana
kebakaran pada lahan gambut di Pulau Bengkalis Kabupaten Riau dilakukan pada
beberapa tahapan sebagai berikut :
Tahap 1 : (Membangun sistem database).
Pada tahap awal pengolahan data ini yang dilakukan untuk seluruh data
dengan cara dibuat dalam database berbasis sistem informasi geografi. Dengan
membuat dalam sistem database agar semua data yang ada menggunakan sistem
referensi yang sama seperti sistem koordinat, dan basis data dasar sehingga akan
didapatkan akurasi data yang baik. Dalam pembuatan sistem database untuk data
yang bersifat tabular digunakan sofware Excel dan SPPS ver 16. Sedangkan untuk
data spasial karena berbasis SIG maka digunakan sofware ArcGIS ver 10 sebagai
alat untuk mengolah data agar lebih efisein waktu dan tenaga.

Tahap 2 : (Klasifikasi)
Klasifikasi tiap variabel penelitian dilakukan sebagai bentuk
pengelompokkan berdasarkan persamaan-persamaan ciri, dan pola
penyebarannya. Untuk mempermudah dalam menentukan tingkat ancaman
dilakukan dengan menggunakan skor, dimana semakin besar nilai skor maka
semakin tinggi ancamannya. Setiap jenis bencana mempunyai parameter yang
berbeda sesuai relevansinya. Penilaian potensi dibagi menjadi tiga kelas yaitu,
rendah, sedang dan tinggi. Skoring untuk setiap kelas adalah 1 untuk potensi
rendah, 3 untuk sedang dan 5 untuk potensi tinggi. Demikian pula untuk
parameter lainnya
12

Tahap 3 : (Identifikasi tingkat kerentanan)


Metode analisis yang dipergunakan adalah dengan prosedur analisis
cluster untuk mencari daerah yang mempunyai tingkat kerentanan paling tinggi.
Dalam penentuan tingkat kerentanan ini semua varible yang digunakan
dikelompokkan menjadi 3 yaitu daerah dengan kondisi bahaya tinggi, sedang dan
kondisi rendah/aman (Tran dkk. 2010). Data-data yang digunakan dalam proses
ini merupakan data sekunder. Pada tahap ini, variabel penelitian antara lain
karakteristik fisik bencana dan lingkungan yang dijabarkan dalam pola kondisi
geografi. Karena kajian berupa identifikasi kerentanan bencana alam, maka
diperlukan data-data potensi rawan kejadian bencana alam dan sejarah lokasi-
lokasi yang pernah dilanda bencana alam. Dalam analisis ini faktor-faktor sosial
dan ekonomi yang paling berpengaruh adalah rumah tangga miskin. Sedangkan
untuk analisis demografi berdasarkan jumlah, kepadatan, komposisi penduduk
perempuan, usia rentan (usia kurang dari 15 tahun dan lebih dari 70 tahun),
kelompok usia ini memerlukan penanganan khusus karena sangat rentan terhadap
bencana alam. Disamping itu juga dianalisa tentang penyebaran infrastruktur
prasarana kesehatan yang ada diasing-masing unit desa.
Untuk menganalisis kerentanan bencana dapat dilakukan berdasarkan
metode yang ditetapkan dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana nomor 2 tahun 2012 yang penjabaranya sebagai berikut.

a. Kerentanan Fisik
Kerentanan fisik terdiri dari parameter rumah, fasilitas umum dan fasilitas
kritis. Jumlah nilai rupiah rumah, fasilitas umum, dan fasilitas kritis
dihitung berdasarkan kelas bahaya di area yang terdampak. Distribusi
spasial nilai rupiah untuk parameter rumah dan fasilitas umum dianalisis
berdasarkan sebaran wilayah pemukiman seperti yang dilakukan untuk
analisis kerentanan sosial. Masing-masing parameter dianalisis dengan
menggunakan metode skoring sesuai Perka BNPB No. 2 Tahun 2012
untuk memperoleh nilai skor kerentanan fisik seperti pada tabel 2 dan
digambarkan pada gambar 4.

Tabel 2. Tabel parameter kerentanan fisik


Bobot Kelas
Parameter
(%) Rendah Sedang Tinggi
Rumah 40 < 400 Juta 400 - 800 Juta > 800 juta
Fasilitas Umum 30 < 500 Juta 500 Juta - 1 M >1M
Fasilitas Kritis 30 < 500 Juta 501 Juta - 1 M >1M
13

Gambar 4. Alur Proses Pembuatan Peta Kerentanan Fisik

b. Kerentanan Sosial
Kerentanan sosial terdiri dari parameter kepadatan penduduk dan
kelompok rentan. Kelompok rentan terdiri dari rasio jenis kelamin, rasio
kelompok umur rentan, rasio penduduk miskin, dan rasio penduduk cacat.
Secara spasial, masing-masing nilai parameter didistribusikan di wilayah
pemukiman per desa/kelurahan dalam bentuk grid raster (piksel)
berdasarkan acuan data WorldPop atau metode dasimetrik yang telah
berkembang. Setiap piksel merepresentasikan nilai parameter sosial
(jumlah jiwa) di seluruh wilayah pemukiman. Pendistribusian nilai
parameter sosial dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut
(Khomaruddin et al., 2010):

Dimana:
Xd adalah jumlah populasi di dalam unit administrasi;
Pi adalah jumlah populasi di dalam pemukiman ke-i;
Pij adalah jumlah populasi di polygon ke-j di dalam
pemukiman ke-i;
Sij adalah polygon ke-j di dalam pemukiman ke-i
didalam unit administrasi;
n adalah jumlah polygon di dalam pemukiman didalam
unit administrasi
14

Parameter penyusun dan skoring kerentanan sosial meliputi kepadatan penduduk


serta pengelompokan penduduk rentan yang kemudian di berikan bobot seperti pada tabel
3. Seluruh data ditampilkan secara spasial seperti pada gambar 5 berikut ini.

Tabel 3. Parameter Penyusun dan Skoring Kerentanan Sosial


BOBOT KELAS
PARAMETER
(%) RENDAH SEDANG TINGGI
KEPADATAN PENDUDUK 60 < 5 Jiwa/ha 5 - 10 jiwa/ha > 10 jiwa/ha
Kelompok Rentan
Rasio Jenis Kelamin (10%) > 40 20 - 40 < 20
Rasio Kelompok Umur Rentan (10%)
40
Rasio Penduduk Miskin < 20 20 - 40 > 40
Rasio Penduduk Cacat (10%)

Gambar 5. Alur Proses Pembuatan Peta Kerentanan Sosial

c. Kerentanan Ekonomi
Kerentanan ekonomi terdiri dari parameter konstribusi PDRB dan lahan
produktif. Nilai rupiah lahan produktif dihitung berdasarkan nilai
konstribusi PDRB pada sektor yang berhubungan dengan lahan produktif
(seperti sektor pertanian) yang dapat diklasifikasikan berdasarkan data
penggunaan lahan. Nilai rupiah untuk parameter ekonomi dihitung
berdasarkan persamaan berikut:

Dimana:
RLPi : nilai rupiah lahan produktif kelas penggunaan lahan ke-i di tingkat
Desa/Kelurahan
PLPtot-i : nilai total rupiah lahan produktif berdasarkannilai rupiah sektor ke-i di
tingkat Kabupaten/Kota
LLPtot-i : luas total lahan produktif ke-i di tingkat Kabupaten/Kota
15

LLPdesa-i : luas lahan produktif ke-i di tingkat Desa/Kelurahan


RPPdesa-i : nilai rupiah PDRB sektor di desa ke-I
RPPKK : nilai rupiah PDRB sektor di tingkat Kabupaten/Kota
LKK : luas wilayah Kabupaten/Kota
LDi : luas Desa/Kelurahan ke-i

Tabel 4. Reklasfikasi kelas penutupan/ penggunaan lahan menjadi


kelas lahan produktif.

Reklasifikasi
Pentupan/Penggunaan Lahan Lahan Produktif
Hutan tanaman industri (HTI) Kehutanan
Perkebunan Perkebunan
Pertanian Lahan Kering
Tanaman Pangan
Sawah
Pertambangan Pertambangan
Lainya Nonproduktif

Masing-masing parameter dianalisis dengan menggunakan metode skoring


sesuai Perka BNPB No. 2 Tahun 2012 untuk memperoleh nilai skor kerentanan
ekonomi seperti ditunjukan di tabel 5 dan diskemakan pada gambar 6.

Tabel 5. Tabel parameter kerentanan ekonomi

Bobot Kelas
Parameter
(%) Rendah Sedang Tinggi
Lahan Produktif 60 < 20 ha 20 - 50 ha > 50 ha
PDRB 40 < 25 ha 25 - 75 ha > 75 ha

Gambar 6. Alur Proses Pembuatan Peta Kerentanan Ekonomi


16

d. Kerentanan Lingkungan
Kerentanan lingkungan terdiri dari parameter hutan lindung, hutan alam,
hutan bakau/mangrove, semak belukar, dan rawa. Setiap parameter dapat
diidentifikasi menggunakan data tutupan lahan. Masing-masing parameter
dianalisis dengan menggunakan metode skoring sesuai Perka BNPB No. 2
Tahun 2012 untuk memperoleh nilai skor kerentanan lingkungan seperti
ditunjukan pada tabel 6 dan diskemakan pada gambar 7.

Tabel 6. Tabel parameter kerentanan lingkungan

Kelas
Parameter Skor
Rendah Sedang Tinggi
Hutan Lindung < 20 ha 20 - 50 ha > 50 ha
Hutan Alam < 25 ha 25 - 75 ha > 75 ha
Kelas/Nilai
Hutan Bakau / Mangrove < 10 ha 10 - 30 ha > 30 ha
Maksimum kelas
Semak Belukar < 10 ha 10 - 30 ha > 30 ha
Rawa < 5 ha 5 - 20 ha > 20 ha

Gambar 7. Alur Proses Pembuatan Peta Kerentanan Lingkungan


17

Diagram Alir Penelitian

Alur dalam penelitian ini dimulai dari pengumpulan data hingga analisis
yang menghasilkan arahan usaha pengurangan dijelaskan pada gambar 8.

Arahan Usaha Pengurangan


Risiko Bencana

Gambar 8. Diagram Alir Penelitian


18

Jadwal Penelitian
Penelitian ini membutuhkan perencanaan dalam bentuk jadwal kegiatan.
Sehingga penelitian dapat berjalan dengan progres yang terarah dan mencapai
target yang diinginkan. Berikut jadwal pelaksanaan penelitian pada Tabel 7.

Tabel 7. Rencana kegiatan penelitian

Alokasi waktu
NO. Tahapan penelitian Jul-16 Agt-16 Sep-16 Okt-16 Nov-16 Des-16 Jan-17
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Penyusunan Proposal
Sidang komisioner pra
2
seminar
3 Kolokium
4 Pengesahan Proposal
5 Pengumpulan data
6 Pengolahan data
7 Penyusunan Hasil
Sidang komisioner pra
8
seminar
9 Publikasi Jurnal
10 Seminar Hasil
11 Perbaikan
12 Ujian Tesis
Perbaikan dan
13
Pencetakan Tesis

Rencana Anggaran Penelitian


Rencana anggaran penelitian yang dibutuhkan meliputi rincian biaya pada
Tabel 8.

Tabel 8. Rencana Biaya Penelitian


No Jenis Kegiatan Biaya (Rp)
1 Penyusunan Proposal 500.000
2 Pengumpulan Data 6.000.000
3 Analisis Data 500.000
4 Penyusunan Draft Tesis 1.000.000
5 Kolokium dan Seminar 500.000
6 Penerbitan di Jurnal 1.000.000
7 Ujian dan Perbanyakan Tesis 500.000
Jumlah 10.000.000
19

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. 2002. Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID):
Gajah Mada University Press.
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2015. Laporan Harian Posko
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Jakarta (ID) : BNPB.
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2007. Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Jakarta
(ID) : BNPB.
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2012. Peraturan Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 12 tahun 2012. Jakarta (ID) :
BNPB.
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2015. Data Informasi Bencana
Indonesia 2015 [Internet]. Tersedia pada http://dibi.bnpb.go.id/ .
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2016. Menjaga Asa Bebas Asap.
Jakarta (ID) : BNPB.
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2016. Resiko Bencana Indonesia.
Jakarta (ID) : BNPB.
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. 2015.
Inventarisasi dan Pemetaan Karakteristik Ekosistem Gambut di Kesatuan
Hidrologi Gambut (KHG) Pulau Bengkalis, Provinsi Riau. Jakarta (ID) :
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
[PMI] Palang Merah Indonesia. 2009. Disaster in Indonesia 2009. Jakarta (ID) : PMI.
[WII] Wetlands International-Indonesia Programme (2004). Seri Pengelolaaan Hutan
dan Lahan Gambut : Strategi Pencegahan Kebakaran Hutan dan lahan
Gambut. Riau (ID) : Wetlands International-Indonesia Programme.
Adinugroho, W.C., I.N. Suryadiputra, B.H. Saharjo, L. Siboro. 2005. Panduan
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Bogor (ID): Proyek
Climate Change, Forest and Peatland in Indonesia, Weatland International
Indonesia Programme and Wildfire Habitat Canada.
Agus F. Subiksa. 2008. Lahan Gambut : Potensi untuk Pertanian dan Aspek
Lingkungan. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah, World Agroforestry Center
(ICRAF)..
Akurnain. 2005. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut : Karakteristik dan
Penanganannya. Jakarta (ID).
Arianti, I. 2006. Pemodelan Tingkat Dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan
Lahan Menggunakan Sistem Informasi Geografis Di Sub Das Kapuas Tengah
Propinsi Kalimantan Barat.[Tesis]. Bogor (ID): PS IPB.
Arronof, S. 1998. Geographic Information System: A Management Perpective.
Ottawa (CA) : WDL Publication.
Artur, M.A.G. 1986. Weather and Grassland Fire Behaviour.. Leaflet No.100.
Camberra (AU): Forestry and Timber Bureau
20

Ayala IR. 2002. Geomorphologhy, natural hazards, vulnerability and prevention of


natural disasters in developing countries. (US)
Barus B., Iman LS. 2009. Perbandingan Hasil Pemetaan Kesatuan Hidrologi dan
Kubah Gambut Dengan Citra Optik Landsat TM dan SAR. Prosiding
Semiloka Geomatika-SAR Nasional. Bogor (ID) : Mapin.
Barus, B., K. Gandasasmita, 1996. Penentuan Zonasi Rawan Kebakaran. Bogor (ID)
: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
BBSDLP. 2011.Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000. Edisi Desember
2011. Bogor (ID) : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Greene. 2002. Confronting Catastrophie A GIS Handbook. New York (US) : ESRI
Hardjowegeno S. 1986. Sumber Daya Fisik Wilayah dan Tata Guna Lahan: Histosol.
Bogor (ID): IPB Press.
Mudin Y, Ende F, H RM. 2015. Spatial analysis on the location of potential danger of
flooding in regency of donggala using analytical hierarchy process (AHP).
Gravitasi. Yogyakarta (ID): PS UGM.
Mardiatno et al. 2012. Multi-risk of Disasters in Cilacap City, Indonesia.
Proceedings Of The International Conference On Coastal Environment And
Management. Nagoya (Jp) : Jsps Asia And Africa Science Platform Program
Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut, Potensi dan Kendala. Yogyakarta (ID) :
Kanisius.
Notohadinegoro T. 2006. Pembakaran dan kebakaran lahan. Prosiding Simposium
dampak kebakaran hutan terhadap SDA dan lingkungan. Yogyakarta. (ID) :
Pusat studi energi, Pusat studi bencana alam, pusat studi sumberdaya lahan
dan pusat penelitian lingkungan hidup UGM
Nurhayati AD. 2002. Respon ekosistem hutan rawa gambut sekunder akibat
pembakaran limbah vegetasi di Desa Pelalawan Kabupaten Pelalawan
Provinsi Riau.[tesis]. Bogor (ID) : PS IPB
Pulau Sumatera Tahun 1996 dengan Sistem Informasi Geografi. Jakarta (ID):
Sekretariat Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Lahan.
Pusat Pengendalian Operasi Tentara Nasional Indonesia. 2015. Rekap Kejadian dan
Kerugian Bencana Alam di Seluruh Provinsi Tahun 2015. Jakarta (ID) :
MABES TNI.
Ruecker, G, 2007. Consulting and Software Development to Produce a Dynamic Fire
Danger Map for East Kalimantan. Indonesia (ID): IFFM.
Radjagukguk B. 2004. Developing Sustainable Agriculture on Tropical Peatland:
Challangesand Prospects. Proceeding of The 12th International Peat
Congress. Helsinki pp : (FI) : Tempare.
Saaty TL. 1977. A scalling method for priorities in hierarchical structures. J Math
Psycol, New York (US)
Sadjati E. 2012. Kebijakan pengelolaan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau
[tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Saharjo BH. 1999. Pembakaran terkendali sebagai metode alternatif dalam
pencegahan kebakaran hutan di hutan tanaman Acacia mangium. Jurnal
Manajemen Hutan Tropika. 5 (1): 67-75. Bogor (ID) : Fahutan IPB
21

Santangelo N, Santo A, Crescenzo D, Foscari G, Liuzza F, Sciarrotta S and Scorpio


V. 2011. Flood susceptibility assessment in a highly urbanized alluvial fan: the
case study of Sala Consilina (southern Italy). Nat. Hazards Earth Syst. Sci. 11
:27652780.
Sukmawati A. 2008. Hubungan Antara Curah Hujan dengan Titik Panas (Hotspot)
sebagai Indikator Terjadinya kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten
Pontianak Provinsi Kalimantan Barat [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Suyanto. 2001. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Aktivitas Sosial
Ekonomi dalam Kaitannya dengan Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan
dan Lahan di Sumatera.Jakarta (ID).
Syaufina L. 2008. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, Perilaku api, penyebab
dan dampak kebakaran. Malang (ID): Bayumedia publishing.
Tacconi L. 2003. Kebakaran hutan di Indonesia: Penyebab, biaya dan implikasi
kebijakan. Bogor (ID): CIFOR.
Yunus, H. S. 2010. Metode Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta (ID) :
Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai