Anda di halaman 1dari 264

SISTEM

INFORMASI
MANAJEMEN
PENDIDIKAN
Dr. Efi Rochaety
Ir. Pontjorini Rahayuningsih, M.Pd.
Dra. Prima Gusti Yanti, M.Hum.

SISTEM
INFORMASI
MANAJEMEN
PENDIDIKAN
Penerbit Buku-buku Pelajaran
SLTP,SMU,PT dan Umum
Kantor pemasaran :
Pwk. Padang Sidempuan, A. Bhakti PU No. 13, Telp. (0634) 24244 CABANG RIAU, A a 24 25 Sukal di, Telp.
(0761) 7078605 Pwk. Pekanbaru, A. Gabus No. 24-25 Sukajadi, Telp. (0761) 7078605 Pwk. Dumai, A ~.'im'!elimbing Gg.
S:Hkaya No. 6, Telp. (0762) 32810 Pwk. Tembilahan, A Telaga Biru No. 4, Telp. (0768) 23994 Pwk. Batam 'F,rum
Muka Kuning Indah I (Gents 1) Batu Aji Sekupang Batam Blok A No. 6 CABANG SUMATRA BARAT, JI. Surian No. 2,
olong, Telp. (0751) 50176 Pwk. Padang,A Sudan No. 2, Lolong, Telp. (0751) 50176 Pwk. Bukittinggi, A Dirugo
Puhun., 254, Telp. (0752) 23400 Pwk. Pariaman, J1. M. Jamil No. 42 Kampung Baru Kota Pariaman Depan BPN Kab.
Padang Pariaman, Telp. (0751) 95624 Pwk. Solok, Simpang SGG, A Tandikat NO. 345 D Kel. VI Suku Kee. Lubuk
Sikana, Telp. (0755) 21464 CABANG SUMBAGSEL, A Nurul Iman No. 1839a, RT. 50 Sekip Tengah, Telp. (0711)
364567, Fax. (0711) 364567 Pwk. Palembang, A Proklameal Kampus (POM) Blok K 26 No. 1943 Rt. 32, Telp. (0711)
354564 Pwk. Jambi, A Kees Pining 2 Rt. 30 No. 46 Komp. Teluk Permai, Kel. Simpang IV Sipin, Telp. (0741) 62169, Fax.
(0741) 62169 Pwk. Bengkulu, A. Ratu Agung No. 39 Kel. Anggut Bawsh Kec. Gading Cempaka, Telp. (0736) 26752
Pwk. Lampung, JI. Hayam Wuruk No. 24, Kel. Tanjung Agung, Kec. Tanjung Karang TImur, Bander Lampung, Telp. (0721)
26545I, Fax. (0721) 265451 CABANG JABOTABEK, A Duren III No. 3 Rawamangun, Jakarta Timur, Telp. (021) 4717027
Pwk. Jakarta I, JI. Tebet Band Dalam III D No. 6, Jakarta Selatan Telp. (021) 8297259 Pwk. Jakarta Porti, JI. Duren II No,
3 Rawamangun, Jakarta Timur, Telp. (021) 4717027 Pwk. Jakarta 11, JI. Melati Deism No. 3, Rawamangun, Jakarta
tImur, Telp. (021) 9255672, 4757547 IN Pwk. Bekasi, Perumahan Bekasi Permai Blok BL 2 No. 2, Bekasi TImur, Telp. (021)
8805563 Pwk. Tangerang, JI. Prambanan Rays No. 77, Telp. (021) 5510782 Pwk. Serang, JI. Gandaria Blok E No. 122
B, Telp. (0254) 201319 Pwk. Bogor, A Mendut Blok N3 Perumahan Cimanggu Permai I, Kel. Kedung Badak, Kec.
Tench Boreal, Telp. (0251) 317325, 376680 CABANG JAWA BARAT, JI. Rance Goong No. 19, Telp. (022) 7317825
Pwk. Bandung, JI. Rance Goong No. 19, Telp. (022) 7317825 Pwk. Purwakarta, Komplek Oesman Singawinata Blok D7
No. 6, Telp. (0264) 201832 Pwk, Cirebon, A DR. Cipto Mangunkusumo No. 167, Telp. (0231) 211504 Pwk. Subang,
Komplek BPN Ciheleut A Lembang Blok 132137, Telp. (0260) 412545 Pwk. Sukabumi, A Letda T Asmita Pasir Mulus III
No. 79 Nanggleng, Telp. (0266) 229228 Pwk. Taelkmalays, Komplek Pondok Indah Panglayungan, A Bougenville Blok C2
No. 2, Telp. (0265) 342365 CABANG JAWA TENGAH, A Cormal Rays No. 5A Semarang, Telp. (024) 8444385 Pwk.
Semarang, A Jeruk VIII No. 16 Rt. 10104, Lamperlor, Semarang Belated, Telp. (024) 8317232 Pwk. Purwokerto, A Bobosan
No. 19 Rt./Rw. 04101, Telp. (0281) 625536 Pwk. Kudus, A Genera Timur No. 919 Purwosarl, Telp. (0291) 435747 Pwk.
Tegal, JI. Kutilang No. 49, Kel. Randugunting, Telp. (0283) 320849
CABANG DIY, A Ring Road Barat No. 25D Nogosaren, Nogotirto - Gamping, Sleman, Telp. (0274) 622330, 7485457
Pwk. Yogyakarta. A Ring Road Banal No. 25D Nogosaren, Nogotirto - Gamping, Sleman, Telp. (0274) 622330, 7485457
Pwk. Solo, JI. Joys Wilaym No, 62, Perumnas Mo)osongo, Telp. (0271) 853603 Pwk. Magelang, Perum Griya Asri I No.
D-4, Telp. (0293) 314039
CABANG JAWA TIMUR, JI. Dukuh Kupang XXXI No. 25, Telp. (031) 5671186 Pwk. Surabaya, JI. Dukuh Kupang XXXI
No. 25, Telp. (031) 5671186 Pwk. Malang, A Emas No. 42, Telp. (0341) 413963 Pwk. Kedirl, A Wills Mulya I no. 17,
Telp. (0354) 775841 Pwk, Jamber, Perum. Gunung Batu Blok. GG no. 37, Telp. (0331) 333123 Pwk. Denpasar, Perum.
Unut No. 61 Menguntur Balu Bulan Jimnymr Ball, Telp. (0361) 298983 CABANG KALIMANTAN TIMUR, Komp. Perum.
Sambutan Permai (ARISCO) Blok AF No. 5, RI. 21, Telp. (0541) 240423 Pwk. Somarincla, Komp. Forum. Sambutan Formal
(ARISCO) Blok AF No. 5, Rt. 21, Telp. (0541) 240423 Pwk. Illontang, A. K.H. Dowantara II No. 91 Rawa Indah Rt. 049 Rw.
019, Telp. (0548) 28755 Pwk. Ballkpapan, Komp. Perueds II Buklt Ommal lostarl 2 Slok E No. 3, Telp. (0542) 877495
CABANG SULAWESI SELATAN, JI. Sultan hawanuddin No. 100 Sunggu Mines& Makoser, Talp. (0411) 866710 Pwk.
Mak, Perumahan Burnt Formats Hijau, JI, Sultan Alauddln Blok All No, 0, Telp, (0411) 866811 Pwk. ParePars, JI,
Boumasote Lumpue Kec. Bacuklkl (Samping Jambston Timbong), Tolp (0421) 281510 Pwk, Bulukumba, J) Abdul Karim
No, 32, Tolp. (0413) 82094 Tlmbang), Tolp. (0421) 25151
PERSEMBAHAN

Tulisan ini khusus dipersembahkan untuk kedua orang tua penulis Ayahanda
H. Afifuddin (Alm.), dan Ibunda Hj. Sopiah yang selalu berdoa untuk kesuksesan
penulis dan menekankan kepada penulis untuk terus belaj ar dan memperbaiki diri,
Berta berbuat baik untuk orang lain. Tulisan ini merupakan bush pendidikan kedua
orang tua penulis, semoga Allah selalu memberikan yang terbaik untuk keduanya.
Buat kakak penulis dan semua keponakan yang telah banyak memberikan
dukungan dan doa, inilah salah satu cita-cita yang didambakan selama ini semoga
kalian semua dapat membaca tulisan ini clan mengambil manfaat dari pengorbanan
yang sangat besar. (Eti Rochaety)

Hasil karya ini dipersembahkan untuk suami tercinta, Drs. Hartono Sirkoen,
M.Si, anak-anakku Gilang, Jiwo, Dito, dan Anya, terima kasih alas dukungan
kalian selama ini, semoga hasil karya ini menjadikan motivasi untuk mengukir
prestasi kalian di mass mendatang.
(Pontjorini Rahayuningsih)

Tulisan ini penulis persembahkan bust suami dan anakku tercinta, semoga
kebahagiaan kits akan terus memotivasi untuk terus berprestasi dan berkarya.
(Prima Gusti Yanti)
PRAKATA

Kemajuan ilmu dan teknologi informasi telah banyak mengubah cars pandang dan gays
hidup masyarakat Indonesia dalam menjalankan kegiatannya. Keberadaan dan peranan teknologi
informasi dalam sistem pendidikan telah membawa era bare perkembangan dunia pendidikan
kita, tetapi perkembangan tersebut belum diimbangi dengan peningkatan sumber daya manusia
yang menentukan keberhasilan dunia pendidikan Indonesia pads umumnya. Hal ini lebih
disebabkan masih tertinggalnya sumber daya manusia kita untuk memanfaatkan teknologi
informasi dalam proses pendidikan tersebut.
Peningkatan kinerja pendidikan di mass mendatang diperlukan sistem informasi dan
teknologi informasi yang tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendukung, tetapi lebih sebagai
senjata utama untuk mendukung keberhasilan dunia pendidikan sehingga mampubersaing~i astir
global. Sistem penclidikankits telah berusaha untuk melakukan perbaii n yang mendasar,
misalnya melalui tiga bentuk kebijakan pemerintah. Pertama meningkatkan ketentuan wajib
belajar dari 6 ke 9 tahun; kedua, mengarahkan pendidikan kita agar lebih relevan dengan
perkembangan industri dan teknologi informasi atau memiliki keterkaitan dan kesesuaian (link
and match); ketiga, mendorong pendidikan sekolah menengah untuk lebih banyak menyiapkan
tenaga terampil sehingga lulusannya tidak memandang perguruan tinggi sebagai satu-satunya
alternatif pilihan mass depan.
Buku Sistem Informasi Manajemen Pendidikan merupakan kumpulan artikel dari
berbagai sumber tentang sistem informasi dan teknologi informasi terutama yang berkaitan
dengan dunia pendidikan, di samping hasil diskusi penulis dengan mahasiswa pads Program
Pascasarjana UHAMKA. Buku ini jugs diharapkan menjadi salah satu bahan acuan bagi
mahasiswa yang berminat mempelajari sistem informasi manajemen dalam bidang pendidikan.
Penulis berharap isi buku ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu manajemen
pendidikan dan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pars pengambil kebijakan di bidang
pendidikan.
Dengan terwujudnya tulisan yang sederhana, ini, sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Thamrin Abdullah, M.M., M.Pd., Guru BesarTetap Fakultas
2. 11mu Sosial Universitas Negeri Jakarta, sekaligus Ketua Program Magister Administrasi
Pendidikan (MAP) Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr.
HAMKA Jakarta, yang telah memberikan pengantar untuk tulisan yang sederhana ini.
3. Bapak Dr. H. Sofyan Sa'ad, M. Pd, Direktur Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA Jakarta, yang telah memberikan kepercayaan untuk
membantu proses pembelajaran mats kuliah sistem informasi manajemen pendidikan
(SHM Pendidikan) pads Program Magister Administrasi Pendidikan.
4. Bapak Drs. H. Abdul Madjid Latief, M.M., M.Pd., Dosen Senior Fakultas Keguruan dan
Ilmu. Pendidikan, dan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr.
HAMKA, yang selalu memberikan bimbingan dan motivasi untuk penulisan karya ilmiah
5. Rekan-rekan dosen dan mahasiswa Program Magister Administrasi Pendidikan, Fakultas
Ekonomi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr.
HAMKA, yang selalu berdiskusi dan memberikan motivasi kepada penulis sehingga
terwujudnya tulisan ini.
6. Saudari Aam Aminah, S.Kom., yang telah sabar mengedit tulisan ini dan memberikan
tambahan penyernpurnaan yang sangat berharga.
7. Khusus kepada Mbak Sukses Hidayati sebagai Editor Penerbit Bumi Aksara yang telah
memberikan masukan dan perbaikan berharga bagi penulis untuk mempercepat terbitnya
buku ini, sehingga penulis memiliki semangat untuk terns berkarya.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih memerlukan perbaikan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan masukan dan saran kepada pihak yang berkompeten untuk menyernpurnakan
tulisan ini di mass mendatang dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, Januari 2005

Penulis
KATA PENGANTAR

Pendidikan saat ini membutuhkan dasar yang harus dibangun, yaitu menyadari posisinya sebagai
penghasil jasa pendidikan (produsen). Lembaga pendidikan harus memahami dengan baik
kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks terutama diikuti oleh perkembangan teknologi
informasi yang sangat pesat. Konsumen lembaga pendidikan yang paling kritis adalah dunia
usaha.

Untuk menghasilkan lulusan lembaga pendidikan yang memiliki kompetensi dan sesuai dengan
kebutuhan dunia kerja saat ini, masalah yang harus ditanggulangi dalam proses pendidikan, yaitu
bagaimana mengelola lembaga pendidikan agar mampu memenuhi tuntutan pasar kerja, dan
tidak menyisakan banyak pengangguran. Solusi yang paling tepat adalah meningkatkan kualitas
pembelajaran yang mengadopsi praktik manajemen yang dipadukan dengan kemajuan teknologi
informasi. Salah satunya adalah memfasilitasi praktik pembelajaran dengan menggunakan
berbagai infrastruktur teknologi, misalnya perpustakaan digital, fasilitas pembelajaran dengan
memadukanpersonal computer/notebook, internet, dan fasilitas teknologi pembelajaran lainnya.

Buku Sistem Informasi Manajemen Pendidikan (SIM Pendidikan) yang ditulis saudara Eti
Rochaety dosen tetap Fakultas Ekonomi dan Program Pascasarjana UHAMKA-Jakarta bersama
teman-temannya, merupakan salah satu rujukan yang cukup representatif bagi mahasiswa,
pemerhati, maupun praktisi bidang pendidikan yang berminat untuk menambah pemahaman
bagaimana membangun dan mengelola lembaga pendidikan yang menghasilkan customize
service, marketable, dan sellable.

Semoga hasil karya ini dapat bermanfaat untuk menambah bahan bacaan buku manajemen
pendidikan, dan memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi pengembangan dunia
pendidikan.

Prof. Dr. H. Thamrin Abdullah, M.M., M.Pd.

Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Sosial


Universitas Negeri Jakarta
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..Vii

DAFTAR ISI. ix

DAFTAR GAMBAR.. xiii

BAB 1 PENDAHULUAN . 1

A. Konsep dasar system informasi manajemen pendidikan1


B. Pengertian system informasi manajemen pendidikan.2

BAB 2 TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK KEUNGGULAN

BERSAING LEMBAGA PENDIDIKAN14

A. Lingkungan Pendidikan..14
B. Teknologi Informasi untuk Mendorong Keunggulan
Bersaing Lembaga Pendidikan..17
C. Menciptakan Keunggulan Bersaing Lembaga Pendidikan22
D. Teknologi Informasi Sebagai Aset Utama Lembaga Pendidikan
Dalam jangka panjang ..25

BAB 3 STRATEGI MANAJEMEN PENIDIDKAN


YANG BERFOKUS MASA DEPAN 27
A. Strategi Pendidikan Nasional dalam Menghadapi Lingkungan Global..30
B. Factor-faktor yang mendukung Pengembangan Strategi Pendidikan .43
C. Masalah-masalah yang Dihadapi Pendidika Nasional .57
D. Membangun Sistem Pendidikan yang Berbudaya di Era Globalisasi...62

BAB 4 TEKNOLOGI INFORMASI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN..73


A. Gelombang Inovasi Teknologi.73
B. Menyambut Teknologi Informasi dalam dunia Pendidikan 75
C. Model Pembelajaran dengan E-Learning..............................................................76
D. Pendidikan Internet Bagi Anak Pra-sekolah ........................79
E. Action Learning dalam Pendidikan...81
F. Sinergi Positif dan Negatif Sistem Informasi dan Strategi Pendidikan.,...83
G. Pendekatan Human-Centered manajemen Pendidikan.....89
H. Keamanan Sistem Informasi,Moral,Etika, dan Hukum Teknologi Informasi89

BAB 5 APLIKASI TQM DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN ..96


A. Filossofi Total Quality Mnagement ( TQM)96
B. Pilar Tptal Quality Management (TQM).97
C. Keterkaitan TQM dalam QWL dalam Lembaga Pendidikan.98
D. Penerapan TQM Qdalam Manajemen Pendidikan ...101
E. Pendekatan Kualitas Layanan Jasa Pendidikan 110
F. Upaya-upaya Perbaikan Layanan pada Lembaga Pendidikan ..............117

BAB 6 KERANGKA KERJA TIM DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN .........129


A. Tranformasi Individu Menuju TIM....129
B. Tim Kerja Lembaga Pendidikan Dalam Revolusi Informasi..131
C. Pendekatan Kompetensi Sebagai Acuan Pengembangan Karier Individu
Dalam Dunia Pendidikan ..138
D. Menciptakan Hubungan yang Harmonis dalam Lembaga Pendidikan..117
E. Konflik dalam Lembaga Pendidikan Sebagai Prilaku Komunikasi..148

BAB 7 PEEANAN SIM DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN BIDANG PENDIDIKAN


A. Pengambilan Keputusan .151
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan .154
C. Pengambilan Keputusan dalam Perspektif Informasi .157
D. Jenis-jenis Pengambilan Keputusan.160
E. System Informasi Fungsional Manajemean Pendidikan .167

DAFTAR PUSTAKA..181
BAB
1 PENDAHULUAN

Era baru dalam dunia pendidikan, yaitu diperkenalkannya reformasi pendidikan yang
berkaitan erat dengan Sistem informasi yang dibutuhkan dalam pengembangan dunia
pendidikan. Konsep ini memiliki nuansa bagaimana dunia pendidikan berusaha menggunakan
perangkat komputer, yang dapat diaplikasikan sebagai sarana komunikasi untuk meningkatkan
kinerja dunia pendidikan secara signifikan.
Informasi merupakan satu-satunya sumber yang dibutuhkan seorang pimpinan lembaga
pendidikan. Informasi dapat diolah dari sumber lain yang dipengaruhi oleh organisasi yang
sangat kompleks dan perangkat komputer yang dimiliki. Informasi dapat memperbaiki kinerja
lembaga pendidikan, layaknya kinerja usaha lembaga bisnis.
Informasi yang diolah dengan menggunakan komputer dapat digunakan oleh seorang
pimpinan organisasi atau perseorangan dengan keahlian yang dimiliki sebagai sarana komunikasi
dan pemecahan masalah, serta informasi yang sangat berharga dalam proses pengambilan
keputusan. Informasi dapat digali melalui sumber-sumber yang tersedia, seperti sumber days
manusia, material, alai, biaya yang dibutuhkan, serta data yang akan diolah.
Ledakan informasi saat ini menimbulkan dampak yang sangat kuat terhadap kompleksitas
manajemen pada umumnya, khususnya manajemen pendidikan. pimpinan sebuah 'lembaga
pendidikan pada dasarnya adalah pengolah informasi. Seorang pimpinan hares memiliki
kapabilitas untuk memperoleh, menyimpan, mengolah, mengambil kembali, serta menyajikan
informasi sebagai bahan-dalam proses pengambilan keputusan bidang pendidikan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara moral.
A. KONSEP DASAR SISTEM INFORMASI MANAJEMEN PENDIDIKAN

Mengingat lembaga pendidikan di Indonesia.merupakan organisasi yang memiliki orientasi


ganda (multiple oriented), yaitu organisasi yang berorientasi sosial dan orientasi bisnis. Orientasi
sosial pendidikan bertujuan meningkatkan kecerdasan bangsa sedangkan orientasi bisnis
pendidikan dalam mempertahankan eksistensi maupun operasionalnya hares memiliki dana yang
cukup memadai. Dengan demikian, lembaga pendidikan tersebut akan menghasilkan lulusan
(outcomes) yang berkualitas. Banyak bermunculan lembaga-lembaga pendidikan yang berani
menetapkan biaya pendidikan cukup tinggi karena sarana dan prasarana bclajar yang disediakan
jugs jauh lebih baik dan menjanjikan kepada para siswa maupun mahasiswa untuk ikut
melakukan magang di perusahaan-perusahaan yang sudah terkenal.
Dengan demikian, ada kemungkinan mereka yang berprestasi akan langsung direkrut oleh
perusahaan tersebut. Oleh karena itu, masyarakat lebih banyak memilih lembaga pendidikan
yang marketable maupun sellable walaupun harus mengeluarkan biaya sangat mahal. Gambaran
sistem informasi pendidikan yang dibutuhkan di Indonesia idealnya adalah bagaimana para
pengambil keputusan bidang pendidikan dapat dengan mudah mencari informasi sebagai bahan
dalam proses pengambilan keputusan bidang pendidikan. Misalnya, berapa jumlah sumber daya
manusia pendidikan yang dibutuhkan, jenis sekolah, tingkatan sekolah, pelaksanaan kurikulum,
perkembangan lembaga pendidikan lokal, regional, nasional, bahkan internasional untuk dapat
memperbaiki kinerj a dunia pendidikan masa lalu, masa kini, maupun masa yang akan datang.
Dalam menghadapi globalisasi, dunia pendidikan Indonesia harus secepatnya berbenah diri
dalam meningkatkan sistem informasi guns menunjang daya saing sumber daya manusia yang
dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut. Sistem informasi yang akan diciptakan harus
seimbang antara infrastruktur teknologi yang tersedia dengan kemampuan sumber daya
manusianya sehingga tidak terjadi ketimpangan yang sangat jauh, dan sisteminformasi tidak
dapat terwujud secara signifikan dalam menunjang kuantitas maupun kualitas pendidikan secara
mendasar. Di samping itu, sistem informasi semakin dibutuhkan oleh lembaga pendidikan,
khususnya dalam meningkatkan kelancaran aliran informasi dalam lembaga pendidikan, kontrol
kualitas, dan menciptakan aliansi atau kerja sama dengan pihak lain yang dapat meningkatkan
nilai lembaga pendidikan tersebut.
B. PENGERTIAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN PENDIDIKAN
Sebelum membahas mengenai pengertian sistem informasi pendidikan secara utuh,
sebelumnya akan dikemukakan pengertian sistem, informasi, dan pendidikan yang dikemukakan
oleh beberapa ahli sebagai berikut.

1. Sistem
a. Sistem adalah seperangkat unsur yang saling berhubungan dan saling memengaruhi dalam
satu lingkungan tertentu (Ludwig, 1997).
b. Sistem adalah sekumpulan elemen yang saling berhubungan untuk mencapai suatu tujuan (A.
Rapoport, 1997).
c. Sistem adalah setiap kesatuan secara konseptual atau fisik yang terdiri dari bagian-bagian
yang saling memengaruhi (L. Ackof, 1997).
d. Sistem merupakan bagian-bagian yang beroperasi secara bersama-sama untuk mencapai
beberapa tujuan (Gordon B. Davis, 1995).
e. Sistem, yaitu sekelompok elemen yang terintegrasi untuk mencapai suatu tujuan (Raymond
McLeod, 2001).
f. Ryans (1968) System is any identifiable assemblage of element (object, person, activities,
information records, etc) which are interrelated by process or structure and which are
presumed to function as an organizational entity generating an observable (or sometimes
merely inferable) product.
g. William A. Shorde (1995) dalam bukunya Organization and Management menyebutkan ada
sekitar enam ciri sebuah sistem, yaitu perilaku berdasarkan tujuan tertentu, keseluruhan,
keterbukaan, terjadi transformasi, terjadi korelasi, memiliki mekanisme kontrol artinya
terdapat kekuatan yang mempersatukan dan mempertahankan sistem yang bersangkutan.

Menurut Budi Sutedjo (2002) sistem adalah kumpulan elemen yang saling berhubungan satu
sama lain yang membentuk satu kesatuan dalam usaha mencapai suatu tujuan.

Sedangkan jenis sistem secara umum terdiri dari sistem terbuka dan sistem tertutup (Open-
Loop and Closed-Loop System). Sistem terbuka adalah sistem yang tidak memiliki sasaran,
pengendalian mekanis, dan umpan balik. Sedangkan sistem yang tertutup, yaitu sebuah sistem
yang memiliki sasaran, pengendalian mekanis, dan umpan balik (Raymond McLeod, Jr., 2001).
Kedua jenis sistem tersebut dapat dilihat dalam gambar di bawah ini:

PROCESS/
INPUT TRANFORMATION
OUTPUT

open-loop system (system terbuka)

OBJECTIVES

CONTROL
MECHANISM

INPUT TRNSFORMATION OUTPUT

Closed-loop system (system tertutup)


Dari kedua jenis sistem tersebut dapat dibedakan secara jelas bahwa sistem tcrbuka tidak
memiliki sasaran, kontrol mekanis, maupun umpan balik. Sebaliknya, untuk jenis sistem tertutup
masing-masing memiliki sasaran yang jelas, pengendalian mekanis, dan umpan balik.
Sistem informasi merupakan kumpulan komponen dalam sebuah organisasi atau lembaga
yang berhubungan dengan proses penciptaan dan pengaliran informasi. Keandalan suatu sistem
informasi dalam sebuah lembaga/organisasi terletak pads keterkaitan antarkomponen yang ada
sehingga dapat menghasilkan aliran informasi yang berguna, akurat terpercaya, detail, cepat,
relevan bagi kepentingan lembaga tersebut.

2. Informasi
Saat ini kita sedang berada pads era informasi, hal ini berarti bahwa informasi sudah
menyentuh seluruh segi kehidupan baik individual, kelompok, maupun organisasi. Di tingkat
individu aneka ragam informasi dibutuhkan seperti kebutuhan akan pendidikan, kesehatan,
lapangan pekerjaan, maupun jenis produk atau jasa lainnya.
Adapun pengertian tentang informasi, yaitu data yang telah diproses ke dalam suatu bentuk
yang mempunyai arti bagi penerima dan memiliki nilai nyata yang dibutuhkan untuk proses
pengambilan keputusan saat ini maupun saat mendatang (Gordon B. Davis, 1995).
Sedangkan Informasi menurut Budi Sutedjo (2002: 168) merupakan hasil pemrosesan data
yang diperoleh dari setiap elemen sistem tersebut menjadi bentuk yang mudah dipahami dan
merupakan pengetahuan yang relevan dan dibutuhkan dalam pemahaman fakta-fakta yang ada.

Informasi, yaitu sebuah pernyataan yang menjelaskan suatu peristiwa (suatu objek atau
konsep) sehingga manusia dapat membedakan sesuatu dengan yang lainnya (Samuel Elion,
1992).
Informasi merupakan kumpulan data yang telah diolah, baik bersifat kualitatif maupun
kuantitatif dan memiliki arti lebih luas.

c. Manajemen

Secara luas orang sudah banyak mengenal tentang istilah manajemen, hakikat manajemen
secara relatif, yaitu bagaimana sebuah aktivitas bisa berjalan lebih teratur berdasarkan prosedur
dan proses.
Secara umum dikatakan bahwa manajemen merupakan proses yang khas yang terdiri dari
tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia maupun
sumber daya lainnya (George R. Terry, 1997).

Definisi lain menyatakan bahwa manajemen merupakan proses perencanaan,


pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengawasan antaranggota organisasi dengan menggunakan
seluruh sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Stoner AF, 1998).

Pada dasarnya dalam proses penggunaan sistem informasi, seorang manajer sebelumnya harus
memahami posisi dari hierarki/tingkatan manajemen di mana dia berada, sebagaimana
dikemukakan oleh (Raymond McLeod, Jr., 2001) bahwa tingkatan manajerial terdiri dari
Strategic Planning Level (Top Management), Management Control Level (Middle Management),
dan Operational Control Level (Lower Management). Posisi tersebut sangat berpengaruh
terhadap sumber dan bentuk informasi yang dibutuhkan oleh seorang manajer (pimpinan) sebagai
bahan proses pengambilan keputusan. Sumber informasi yang dibutuhkan oleh seorang manajer
atau pimpinan lembaga pendidikan yang menduduki posisi paling atas cenderung lebih banyak
dari luar organisasi/lembaga pendidikan tersebut. Semakin rendah tingkat manajerial
seseorang maka lebih banyak dibutuhkan sumber informasi dari internal organisasi atau lembaga
pendidikan yang bersangkutan. Dengan demikian, pimpinan lembaga pendidikan yang
menduduki posisi top manajemen semakin banyak untuk mencari sumber informasi dari
eksternal organisasi. Hal ini diperlukan untuk pengembangan organisasi, komparasi dengan
lembaga pendidikan yang ada, mencari strategi barn untuk inovasi demi peningkatan kapabilitas
organisasi. Dengan demikian, lembaga pendidikan yang dipimpinnya memiliki daya saing yang
tinggi untuk mempertahankan eksistensi di masa mendatang.

Adapun bentuk informasi yang dibutuhkan oleh seorang pimpinan lembaga pendidikan yang
menduduki posisi paling atas (manajemen tingkat atas) cenderung bcntuk informasi yang diterima
lebih singkat karena kemampuan pimpinan pads posisi top manajemen diharapkan memiliki
kemampuan yang tinggi dalam menerjemahkan bentuk informasi yang berasal dari eksternal
maupun internal lembaga pendidikan tersebut. Misalnya bcntuk penyampaian informasi antar-
pimpinan cukup membuatkan disposisi. Semakin rendah posisi manajerial seseorang,
bentuk informasi harus lebih terperinci karena kemampuan menerjemahkan informasi
manajemen tingkat menengah maupun tingkat bawah lebih ke arch operasional lembaga
pendidikan tersebut sehingga bentuk informasi harus lebih jelas dan detail misalnya instruksi atau
pemberitahuan kepada para karyawan.

4. Pendidikan

Para ahli sama-sama mengarah pada suatu tujuan tertentu tetapi mereka masih belum seragam
dalam mendefinisikan istilah pendidikan. Driyarkara (1980) mengatakan bahwa pendidikan itu
adalah memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf mendidik.
Dalam Good, Carter V (1959) dinyatakan bahwa pendidikan adalah (1) proses seseorang
mengembangkan kemampuan, sikap, dan tingkah laku lainnya dalam masyarakat tempat mereka
hidup; (2) proses sosial yang terjadi pada orang yang dihadapkan pada pengaruh lingkungan
yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah) sehingga mereka dapat
memperoleh perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimal. Pendidikan
dipengaruhi oleh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang
sifatnya pennanen dalam tingkah laku, pikiran, dan sikapnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), pendidikan adalah proses mengubah sikap
dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan (proses, perbuatan, dan cara mendidik).
Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 ayat (1):
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didiksecara aktifmengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, Berta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Crow and Crow (1960) Modern educational theory and practise not only are aimed at
preparation for future living but also are operative in determining the patern of present, day by-
day attitude and behavior. Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai sarana untuk persiapan
hidup yang akan datang tetapi jugs untuk kehidupan sekarang yang dialami individu dalam
perkembangannya menuju ke tingkat kedewasaannya. Berdasarkan pengertian tersebut maka
pendidikan memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. Pendidikan mengandung tujuan, yaitu kemampuan untuk berkembang sehingga
bermanfaat untuk kepentingan hidup.
2. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan melakukan usaha yang terencana dalam memilih
isi (materi), strategi, dan teknik penilaian yang sesuai.
3. Kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat (formal
dan nonformal).

Oleh karena itu, menurut Sihombing (2002: 10) pendidikan mengandung pokok-pokok
penting sebagai berikut.

1. Pendidikan adalah proses pembelajaran.


2. Pendidikan adalah proses sosial.
3. Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia.
4. Pendidikan berusaha mengubah atau mengembangkan kemampuan, sikap, dan perilaku
positif.
5. Pendidikan merupakan perbuatan atau kegiatan sadar.

6. Pendidikan memiliki dampak pada lingkungan.


7. Pendidikan berkaitan dengan cara mendidik.
8. Pendidikan tidak berfokus pada pendidikan formal.

Secara total bahwa pendidikan merupakan suatu sistem yang memiliki kegiatan cukup kompleks,
meliputi berbagai komponen yang berkaitan satu sama lain. Jika menginginkan pendidikan
terlaksana secara teratur, berbagai elemen (komponen) yang terlibat dalam kegiatan pendidikan
perlu dikenali terlebih dahulu. Untuk itu diperlukan pengkajian usaha pendidikan sebagai suatu
sistem yang dapat dilihat secara mikro dan makro. Secara mikro pendidikan dapat dilihat dari
hubungan elemen peserta, didik, pendidik, dan interaksi keduanya dalam usaha pendidikan.
Adapun secara makro menjangkau elemen-elemen yang lebih lugs. Tinjauan pendidikan secara
mikro dapat dilihat dalam gambar yang menghubungkan elemen pokok dalam usaha pendidikan
(lihat Gambar 1.5).

Berdasarkan tinjauan mikro peserta didik dan pendidik merupakan elemen central.
Pendidikan untuk kepentingan peserta didik mempunyai tujuan dan untuk mencapai tujuan ini ada
berbagai sumber dan kendala. Dengan memerhatikan berbagai sumber dan kendala, ditetapkan
bahan pengajaran dan diusahakan berlangsungnya proses untuk mencapai tujuan. Proses ini
menampilkan hasil belajar. Hasil belajar perlu dinilai dan dari hasil penilaian dapat merupakan
umpan balik untuk mengkaji kembali berbagai elemen. Keseluruhan elemen ini tidak terlepas dari
pengetahuan, teori, maupun model pendidikan yang telah dimiliki, disusun,

Pengetahuan Tujuan Bahan Proses Penampilan Umpan


teori hasil belajar Balik

Alternative Penilaian

Usmber
Dan
kendala

Criteria
Riteria penilaian
penilaian
alternatif
4. Kesehatan yang mencakup kesehatan jasmani dan rohani.
Dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah proses sosial dalam memanusiakan manusia melalui
pembelajaran yang dilakukan dengan sadar, balk secara terencana maupun tidak. Proses
pendidikan bukan hanya apa yang disebut dengan transfer of knowledge, transfer of value,
transfer of skill, namun totalitas kegiatan yang dapat memanusiakan manusia sehingga mampu
menjadi individu yang mampu mengembangkan dirinya dalam menghadapi dan memecahkan
berbagai permasalahan dalam kehidupan.

Setelah membahas berbagai pengertian mengenai unsur sistem informasi manajemen


pendidikan maka akan dikemukakan pengertian sistem informasi manajemen secara umum.

e. Sistem Informasi Manajemen Pendidikan


Setelah membahas mengenai sistem informasi manajemen pendidikan secara parsial,
kemudian akan dikemukakan beberapa sistem informasi manajemen secara umum menurut
beberapa ahli berikut.
Gordon B. Davis, 1995 bahwa sistem informasi manajemen merupakan sebuah sistem manusia
dan mesin yang terpadu untuk menyajikan informasi guna mendukung fungsi operasi,
manajemen, dan proses pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi.

Soetedjo Moeljodihardjo, 1992, sistem informasi manajemen, yaitu suatu metode yang
menghasilkan informasi yang tepat waktu (timely) bagi manajemen tentang lingkungan eksternal
dan operasi internal sebuah organisasi, dengan tujuan untuk menunjang pengambilan keputusan
dalam rangka memperbaiki perencanaan dan pengendalian.
Komarudin, 1997, sistem informasi manajemen adalah suatu sistem informasi yang
memungkinkan pimpinan organisasi mendapatkan informasi dengan kuantitas dan kualitas yang
tepat untuk digunakan dalam proses pengambilan keputusan.
Robert W. Holmes, 1992, SIM adalah sistem yang dirancang untuk menyajikan informasi
pilihan yang berorientasi kepada keputusan yang diperlukan oleh manajemen guna merencanakan,
mengawasi, dan menilai aktivitas organisasi yang dirancang dalam kerangka kerja yang
menitikberatkan pada perencanaan keuntungan, perencanaan penampilan, dan pengawasan pada
semua tahap.
Robert G. Murdick,1995, SIM adalah proses komunikasi di mana input direkam, disimpan, dan
diambil kembali untuk menyajikan keputusan yang berbentuk output mengenai perencanaan,
pengoperasian, dan pengendalian.

Joseph F. Kelly, 1990, SIM merupakan perpaduan antara sumber daya manusia dan sumber
daya lainnya yang berlandaskan komputer yang menghasilkan kumpulan penyimpanan,
perolehan kembali, komunikasi, dan penggunaan data untuk tujuan operasi manajemen yang
efisien, dan bagi perencanaan bisnis.

Raymond McLeod, Jr. , 2003 sistem informasi manajemen, yaitu sebuah sistem berbasis
komputer yang menyediakan informasi untuk kebutuhan bagi pemakainya.

James A.F. Stoner, 1992, sistem informasi manajemen, yaitu metode yang formal yang
menyediakan bagi pihak manajemen sebuah informasi yang tepat waktu, dapat dipercaya, untuk
mendukung proses pengambilan keputusan bagi perencanaan, pengawasan, dan fungsi operasi
sebuah organisasi yang lebih efektif.

Dari definisi-definisi di atas, penulis akan mencoba membuat batasan mengenai SIM Pendidikan
sebagai berikut.

Dengan demikian SIM Pendidikan merupakan perpaduan antara sumber daya manusia dan
aplikasi teknologi informasi untuk memilih, menyimpan, mengolah, dan mengambil kembali data
dalam rangka mendukung proses pengambilan keputusan bidang pendidikan.
Pengertian lain SIM Pendidikan adalah suatu sistem yang dirancang untuk menyediakan
informasi guna mendukung pengambilan keputusan pada kegiatan manajemen (perencanaan,
penggerakan, pengorganisasian, dan pengendalian) dalam lembaga pendidikan.
Sistem informasi manajemen pendidikan saat ini barn sebatas wacana, diharapkan pada
waktu yang tidak terlalu lama SIM Pendidikan ini tidak sebatas wacana tetapi sudah mengarah
ke aplikasi yang betul-betul menunjang kegiatan dunia pendidikan pada umumnya. Untuk
menerapkan SIM Pendidikan yang terpadu dan memiliki kapabilitas dalam mendukung
keberhasilan dunia pendidikan yang signifikan, diperlukan keseimbangan sumber daya yang
tersedia antara ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki keterampilan dalam
mengoperasikan teknologi informasi seperti komputer dan ketersediaan dana untuk pengadaan
perangkat komputer yang sudah semakin canggih.
Oleh karena itu, dalam penerapan SIM Pendidikan yang memiliki nilai tambah, betul-betul
membutuhkan persiapan yang sangat matang sehingga harapan untuk mengaplikasikan SIM
Pendidikan dapat terwujud sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan yang dituntut
masyarakat lebih marketable dan sellable. Di lain pihak informasi yang dapat disajikan oleh SIM
Pendidikan nantinya akan memberikan kontribusi yang sangat berharga dalam proses pengambilan
keputusan bidang pendidikan, seperti informasi kebutuhan tenaga kependidikan, informasi jumlah
lembaga pendidikan dari mulai tingkat dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi. SIM
Pendidikan diharapkan sangat bermanfaat tidak hanya bagi para pengambil keputusan bidang
pendidikan, tetapi sangat berguna bagi masyarakat sebagai salah satu subsistem dan control
society, terutama dalam proses operasional lembaga pendidikan dan penyajian kualitas jasa
pendidikan yang bisa dipertang-gungjawabkan.
BAB

2 TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK KEUNGGULAN

BERSAING LEMBAGA PENDIDIKAN

A. LINGKUNGAN PENDIDIKAN

Dalam dunia pendidikan, keberadaan sistem informasi merupakan salah sate komponen yang
tidak dapat dipisahkan dari aktivitas pendidikan itu sendiri. Kedua domain ini memiliki tingkat
ketergantungan yang cukup tinggi dalam membentuk karakteristik dunia pendidikan tersebut.
Manajemen dalam menggambarkan hubungan kedua aspek tersebut di mana pendidikan sebagai
penggerak (drive) terhadap sistem informasi pendidikan, sedangkan sistem informasi pendidikan
akan menjadi penentu kinerja pendidikan.

Dalam hal ini terdapat perspektif yang melihat bahwa dunia pendidikan dan sistem
informasi berada dalam lingkungan mikro lembaga-lembaga pendidikan, juga merupakan bagian
makro dunia pendidikan secara keseluruhan. Peranan masyarakat, pemerintah, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, kebutuhan masyarakat, dan globalisasi merupakan beberapa contoh
komponen makro yang perilakunya tidak dapat dikendalikan oleh sebuah lembaga pendidikan.
Kedua perspektif di atas hares dapat dipelajari dan dianalisis agar dapat memberikan gambaran
mengenai keberadaan lingkungan mikro dan makro tempat beroperasinya sistem informasi
pendidikan. Lebih jauh lagi hal ini dapat membantu para pengambil kebijakan bidang pendidikan
dalam memutuskan strategi apa ygng tepat untuk diterapkan dalam melakukan pengendalian dan
monitoring terhadap komponen-komponen pendidikan. Ada sebuah kerangka pemikiran yang
dapat melihat di mana sebenarnya posisi sistem informasi dalam kerangka mikro dan makro
lembaga pendidikan (Cash, 1992).
Dalam sebuah lembaga pendidikan memiliki komponen-komponen yang diperlukan
untuk menjalankan operasional pendidikan, seperti siswa/mahasiswa, sarana-prasarana, struktur
organisasi, proses, Sumber days manusia (tenaga pendidik), dan biaya organisasi. Adapun sistem
informasi terdiri dari komponenkomponen pendukung lembaga pendidikan untuk menyediakan
informasi yang dibutuhkan pihak pengambil keputusan scat melakukan aktivitas pendidikan.
Sistem informasi terbentuk dari komponen-komponen perangkat keras (hardware), perangkat
lunak (software), dan perangkat manusia (brainware).
Dalam teori manajemen untuk menjalankan sebuah lembaga pendidikan, strategi lembaga
pendidikan dan strategi sistem informasi hares Baling mendukung sehingga dapat menciptakan
keunggulan bersaing (competitive advantage) lembaga pendidikan yang bersangkutan. Jika
dilihat dari perspektif makro, di luar lembaga pendidikan terlihat ada dua domain, yaitu lembaga
pendidikan pesaing dan. sistem informasinya yang memiliki komponen yang sama. Selain itu
terdapat komponen pemerintah sebagai penyusun kebijakan dan peraturan bidang pendidikan,
masyarakat, dan lain sebagainya. Komponen lembaga pendidikan eksternal ini secara langsung
maupun tidak langsung berpengaruh terhadap komponen lembaga pendidikan secara internal.
Dari sisi sistem informasi, faktor eksternal yang ada adalah perkembangan teknologi, balk
perangkat keras maupun perangkat lunaknya.

Beberapa hal yang perlu dianalisis lebih lanjut adalah sebagai berikut.:

a. Sebuah lembaga pendidikan hanya dapat mengontrol komponen-komponen dari domain


internal, baik yang berhubungan dengan operasional pendidikan maupun sistem informasi.
Lingkungan eksternal lainnya sama sekali di luar pengendalian lembaga pendidikan. Artinya,
persaingan yang terjadi antara lembaga pendidikan sebenarnya melakukan pendayagunaan
terhadap, sumber daya yang dimiliki sehingga menghasilkan jasa pendidikan yang lebih baik,
harganya terjangkau, kualitasnya baik, dapat disajikan tepat waktu (cheaper, better, dan faster)
dari pesaing yang berada di luar j angkauan lembaga pendidikan tersebut. Dalam hal ini jelas
bahwa jasa pendidikan yang ditawarkan merupakan penghubung antara komponen internal dan
eksternal lembaga pendidikan. Jika lembaga pendidikan berada pada lingkungan persaingan
sempurna (perfect competition) maka tidak ada satu lembaga pendidikan pun yang dapat
mempengaruhi komponen eksternal.

b.Pada kenyataannya komponen eksternal sangat memengaruhi komponen internal lembaga


pendidikan seperti kebijakan pemerintah dalam menetapkan anggaran pendidikan yang secara
integral memengaruhi perubahan strategi lembaga pendidikan. Masyarakat sebagai pengguna
jasa pendidikan sangat dipengaruhi oleh trend yang mudah berubah-ubah dari waktu ke waktu.
Perubahan tersebut dapat terjadi secara cepat karena telah terbukanya arcs komunikasi dan
informasi global dari mancanegara. persaingan yang ketat antarlembaga pendidikan yang
menyajikan jasa pendidikan sangat baik dengan didukung sarana dan prasarana yang memadai
cenderung melahirkan lingkungan yang berubah secara cepat dan dinamis. Oleh sebab itu,
lembaga pendidikan dituntut untuk cepat beradaptasi dengan lingkungan ekstemalnya.
Beberapa ahli mana] emen menyatakan bahwa kunci keberhasilan dunia di mass mendatang
tidak hanya terletak pada kcunggulan bersaing jasa pendidikan yang dihasilkan, tetapi terletak
pada kemampuan secara cepat untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang dinamis.

c. Dari keempat kuadran yang ada yang paling cepat mengalami perubahan adalah kuadran
sistem informasi pada domain eksternal. Karena hampir semua sistem informasi
menggambarkan pesatnya kemajuan teknologi informasi dengan grafik yang bersifat
eksponensial. Keadaan seperti ini akan mendorong lembaga pendidikan eksternal dan sistem
informasi internal untuk turut berubah walaupun tidak secara eksponensial. Pada abad
informasi ini secara langsung maupun tidak langsung, kemajuan teknologi informasi akan
memberikan dampak yang signifikan terhadap entitas dalam mengoperasikan lembaga
pendidikan.

d.Jika ramalan para ahli di bidang teknologi informasi tentang mass depan yang menyatakan
bahwa revolusi besar-besaran dalam kehidupan manusia akan terjadi. Abad informasi diikuti
oleh abad bioteknologi yang akan menghasilkan lingkungan makro yang sama sekali jauh
berbeda dengan yang ada saat ini. Dan secara mikro dampak tersebut akan berpengaruh
terhadap kehidupan setiap individu dalam bersosialisasi maupun berperilaku.

B. TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK MENDORONG KEUNGGULAN


BERSAING LEMBAGA PENDIDIKAN

Banyak pendapat mengatakan bahwa teknologi informasi merupakan salah satu senjata
persaingan. Hal ini tidak perlu diragukan lagi karena saat ini teknologi informasi telah menjadi
salah sate alai untuk meningkatkan efisiensi aktivitas operasional lembaga pendidikan. Hampir di
setiap lembaga pendidikan telah tampak fenomena bahwa yang menjadi kriteria pilihan
masyarakat saat ini adalah lembaga pendidikan yang telah memiliki perangkat teknologi
informasi sangat memadai dalam berbagai aktivitas operasional lembaga pendidikan tersebut.
Hal itu disebabkan oleh salah satu unsur penilaian masyarakat tentang kualitas pendidikan saat
ini dapat dilihat dari kemampuan sebuah lembaga pendidikan dalam menyajikan jasa pendidikan
di antaranya menggunakan teknologi informasi.
Sebagai contoh salah satu perguruan tinggi dalam menyajikan berbagai fasilitas pendukung
kelancaran proses belajar mengajar bekerja sama dengan pihak perbankan untuk menggunakan
sebuah kartu ATM (automatic teller machines) yang pada umumnya digunakan untuk penarikan
uang tunai, tetapi bagi mahasiswa perguruan tinggi tersebut sekaligus dapat digunakan untuk
mengakses kepentingan yang berhubungan dengan perkuliahan seorang mahasiswa, seperti
mengakses mlainilai mata kuliah di mana mahasiswa tidak perlu -datang langsung ke bagian
administrasi akademik untuk menanyakan nilai, mereka hanya cukup sedikit waktu untuk meng-
click file tertentu maka dalam beberapa hitungan menit atau detik data yang dibutuhkan dapat
dilihat secara jelas. Setidak-tidaknya teknologi informasi yang berguna bagi dunia pendidikan
bisa menyajikan aktivitasnya secara lebih c'epat dan memiliki nilai tambah sehingga dunia
pendidikan akan menghasilkan output yang memiliki daya jual (sellable) tinggi.
Untuk mengidentifikasi daya saing lembaga pendidikan yang marketable dan sellable, ada
beberapa kekuatan yang harus menjadi prioritas perhatian para pengambil kebijakan lembaga
pendidikan karena adanya para pesaing lembaga pendidikan yang secara ofensif dan defensif
menggunakan teknologi informasi.
Sebuah lembaga pendidikan yang telah memiliki segmen pasar tertentu tidak henti-
hentinya meningkatkan kualitas pelayanannya agar jasa pendidikan yang disajikan lebih
kompetitif. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi informasi yang sedemikian
cepat tidak saja mengubah cara orang berkomunikasi dan bekerja, namun lebih jauh lagi telah
membuat alam persaingan barn. Michael Porter, 1995, dalam manajemen strategi
memperkenalkan Five Forces (lima kekuatan) yang harus dicermati oleh pihak pimpinan
lembaga pendidikan
1. Persaingan antar lembaga pendidikan yang sudah ada (rivalry among existing institution)
Ancaman pertama biasanya datang dari para pesaing yang lama, yaitu kumpulan lembaga
pendidikan yang menawarkan program pendidikan relatif sama di mats masyarakat pengguna
jasa pendidikan. Secara prinsipil strategi yang dijalankan terhadap program pendidikan yang
sama ini bagaimana menciptakan program pendidikan yang harganya terjangkau, kualitasnya
back, dan disajikan tepat waktu (on time). Yang menjadi ancaman di sini adalah jika para
pesaing telah menggunakan teknologi informasi untuk menyajikan program pendidikan yang
cheaper, better, maupun faster. Lembaga pendidikan yang telah mendayagunakan teknologi
informasi tersebut akan memiliki dua domain kegiatan utama. Pertama front office, di mans
penggunaan teknologi informasi dalam kaitannya dengan proses penyajian dan pelayanan secara
langsung, seperti pendidikan melalui electronic commerce (e-commerce), pembayaran
pendidikan lewat internet banking, permintaan informasi jasa pendidikan melalui call center.
Kedua back office, penggunaan teknologi informasi untuk meningkatkan efisiensi seperti
penggunaan intranet untuk sarana komunikasi dan kolaborasi, pengembangan sistem administrasi
bebas kertas (paperless office), pemakaian sistem informasi eksekutif antarpimpinan lembaga
pendidikan, Berta sistem pendukung keputusan.

2. Ancaman dari lembaga pendidikan pendatang baru (threat of new entrant)


Datangnya para pesaing baru dalam dunia pendidikan merupakan jenis ancaman kedua
bagi setiap lembaga pendidikan. Dalam era globalisasi informasi lembaga pendidikan baru
adalah lembaga pendidikan yang secara fisik datang dan berada pads lingkungan (lokal, regional,
maupun nasional). Lembaga pendidikan tersebut berada di negara lain dan kekuatan
informasinya dapat menawarkan program pendidikan melalui jalur komunikasi internet.
Misalnya, lembaga pendidikan yang menawarkan program pendidikannya kepada calon
mahasiswa di seluruh dunia melalui internet dengan metode pernbayaran credit card. Jika
ternyata lebih terjangkau maka mahasiswa di banyak wilayah geografis akan segera berpindah.
3. Ancaman dari lembaga pendidikan yang menawarkan jasa pendidikan pengganti (threat
of substitute educations service)
Ancaman ini datang dari kemampuan teknologi informasi untuk menciptakan program
pendidikan pengganti. Sebagai contoh program pendidikan yang ditawarkan oleh sebuah
lembaga pendidikan kepada pelanggannya melakukan download (pemindahan file dari lembaga
pendidikan ke pengguna jasa pendidikan) terhadap materi belajar, artikel, atau buku-buku
referensi yang dapat dibeli dengan harga yang lebih terjangkau dibandingkan jika harus membeli
buku dalam bentuk fisik. Lembaga pendidikan yang menawarkan jasa pendidikan semacam ini di
Indonesia cukup banyak, tetapi yang lebih menarik bagi pengguna jasa pendidikan (masyarakat)
kits terutama program pendidikan yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga pendidikan
internasional. Di camping memiliki days jual, mereka jugs menawarkan nilai tambah yang tidak
dapat diterima dari lembaga pendidikan lokal.

4. Kekuatan tawar-menawar pemasok/masyarakat yang membutuhkan jasa pendidikan


(bargaining power of suppliers)
Jika ancaman sebelumnya datang secara langsung dari para pesaing lembaga pendidikan
yang bersangkutan, ancaman keempat berasal dari komponen rekanan yang merupakan pemasok.
Dalam hal ini masyarakat calon pengguna jasa pendidikan (calon siswa) atau calon penyaji jasa
pendidikan (pendidik) berkepentingan untuk menciptakan jasa pendidikan yang berkualitas. Jika
masyarakat tersebut memutuskan hubungan atau tidak memilih lagi lembaga pendidikan tertentu
maka lembaga pendidikan yang bersangkutan tidak akan survive bahkan akan mengalami
penurunan jumlah siswa. Oleh karena itu, lembaga pendidikan yang ingin mempertahankan
eksistensinya harus berorientasi kepada program pendidikan yang betul-betul dibutuhkan oleh
masyarakat (cheaper, better, dan faster).

5. Kekuatan tawar-menawar pembeli (bargaining power of buyer)


Komponen ancaman berikutnya yaitu berasal dari (masyarakat) pengguna jasa
pendidikan. Masyarakat pengguna jasa pendidikan memiliki kekuatan jauh lebih besar dalam
menentukan jenis maupun kualitas jasa pendidikan yang ditawarkan. Kekuatan ini dengan mudah
bertambah karena beberapa faktor berikut.
a. Era globalisasi telah membuka batas-batas geografis negara sehingga program
pendidikan sejenis maupun program pendidikan pengganti yang ditawarkan akan
membanjiri pasar lokal. Dengan demikian, masyarakat pengguna jasa pendidikan akan
memilih jasa pendidikan terbaik di antara jasa pendidikan yang ditawarkan.
b. Secara prinsip program jasa pendidikan yang ditawarkan lembaga pendidikan
internasional biasanya lebih baik dibandingkan dengan jasa pendidikan lokal. Hal ini
secara tidak langsung akan meningkatkan standar program pendidikan yang diharapkan
oleh masyarakat pengguna jasa pendidikan.
c. Berlakunya undang-undang yang secara efektif melindungi konsumen (pengguna jasa
pendidikan) dari perilaku lembaga pendidikan yang melakukan kesalahan. Dalam proses
transaksinya maka lembaga pendidikan tersebut akan berhadapan dengan lembaga
peradilan.
d. Kebutuhan pengguna jasa pendidikan yang semakin bertambah sejalan dengan tantangan
baru dalam dunia bisnis, terutama pesatnya perkembangan teknologi informasi.

Terhadap keadaan seperti ini, setiap lembaga pendidikan yang ingin mempertahankan
eksistensinya harus benar-benar berusaha memenangkan persaingan dengan meraih jumlah
pengguna jasa pendidikan melalui berbagai strategi, seperti meningkatkan kapabilitas
penguasaan teknologi informasi selain syarat cheaper, better, danjaster
Setiap lembaga pendidikan memiliki perencanaan operasional yang disusun dan direvisi
secara berkala. Rencana tersebut dikenal dengan work plan yang secara prinsip menjabarkan
strategi lembaga pendidikan dan keterbatasan sumber daya yang dimiliki dalam proses
pencapaian visi maupun misi lembaga pendidikan yang bersangkutan. Strategi tersebut tidak
hanya mencakup deskripsi global mengenai hal-hal yang ingin dicapai dalam jangka panjang,
namun mencakup ringkasan perencanaan dan pengembangan sumber-sumber daya yang dimiliki
seperti sumber daya modal, dan sumber daya manusia.

Menurut Indrajit (2001) strategi sistem informasi manajemen merupakan subbagian dari
sebuah workplan lembaga pendidikan karena peranan sistem informasi dinilai sangat kritikal
dalam mendorong kelangsungan hidup sebuah lembaga pendidikan. Tiga pilar utama yang harus
diperhatikan dalam menyusun strategi tcrsebut adalah sebagai berikut.
Pertama, strategi sistem informasi (information system strategy/IS strategy). Hal pokok
yang harus dipertimbangkan secara matang, yaitu bagaimana mendefinisikan kebutuhan akan
sistem informasi manajemen pendidikan secara umum karena setiap lembaga pendidikan
memiliki kebutuhan informasi yang unik, yang tidak hanya terbatas pada jenis maupun
karakteristik informasi, namun lebih jauh menyangkut relevansi informasi yang dihasilkan,
kecepatan aliran informasi dari suatu bagian ke bagian lainnya dalam sebuah lembaga
pendidikan, kualitas keakuratan informasi, target nilai ekonomis informasi pendidikan yang
diperoleh, batasan biaya yang harus dikeluarkan dalam pengolahan informasi jasa pendidikan,
dan struktur lembaga pendidikan sebagai pengguna informasi.
Untuk menjamin agar informasi dapat mengalir dengan baik, dalam sebuah lembaga
pendidikan perlu dikembangkan sebuah sistem informasi manajemen pendidikan yang
melibatkan komponen internal dan eksternal lembaga pendidikan untuk menjamin alur informasi
yang efektif dan berkualitas. Komponen utama yang dibutuhkan untuk menghasilkan sistem
informasi manajemen pendidikan yang efektif dan berkualitas, yaitu tersedianya teknologi
informasi yang didukung oleh sumber daya manusia yang inampu mengoperasikannya.

Kedua, kebutuhan akan strategi teknologi informasi (information technology s1alegyAT


strategy) dalam lembaga pendidikan adalah risiko tertentu yang akan menjadi tanggungan
sehubungan dengan pemilihan salah satu teknologi informasi tertentu. Risiko yang akan dihadapi
meliputi hal-hal berikut.

1. Perkembangan teknologi informasi yang tumbuh dan berkembang secara


eksponensial sehingga usia teknologi yang digunakan sangat pendek.
2. Banyaknya pilihan penjual teknologi informasi dengan berbagai kelebihan dan
kekurangan kualitas dan pelayanan yang dimilik
3. Sistem teknologi ini terdiri dari banyak komponen yang independen dan sekaligus
memiliki ketergantungan dengan komponen lainnya.
4. Infrastruktur teknologi informasi dari berbagai sudut pendekatan misalnya sebagai
cost center, profit center, atau service center yang memiliki cara penanganan yang
berbeda.
5. Teknologi informasi yang dibangun harus signifikan dapat menjawab kebutuhan
informasi yang didefinisikan pada strategi sistem informasi dengan tetap
mempertimbangkan keterbatasan lembaga pendidikan (misalnya, biaya investasi
untuk pengadaan sarana dan prasarana lembaga pendidikan dan sumber daya
manusia).

Ketiga, strategi sistem informasi (information system strategy/IS strategy) dan strategi
teknologi informasi (IT strategy) pada lembaga pendidikan sudah dapat disusun dengan baik,
tetapi akan timbul pertanyaan siapa yang akan melaksanakannya. Dalam hal ini akan
membutuhkan strategi manajemen informasi (IM strategy) untuk menjabarkan target
pembentukan sistem informasi manajemen pendidikan yang andal dengan mendayagunakan
teknologi informasi yang dapat dioperasionalkan dalam lembaga pendidikan, baik dalam jangka
panjang maupun jangka pendek, sejalan dengan pertumbuhan lembaga pendidikan di masa
mendatang.
Strategi sistem informasi (IS strategy) lebih menekankan kepada sisi permintaan dari
lembaga pendidikan yang memerlukan sistem informasi manajemen pendidikan untuk dapat
menjamin terciptanya aliran informasi yang efektif dan berkualitas. Di samping itu, harus
menekankan pada hubungan antara informasi dengan kebutuhan operasional lembaga pendidikan
secara menyeluruh. Strategi teknologi informasi (IT strategy) dalam hal ini berada pada sisi
penawaran yang akan menyediakan teknologi informasi yang sesuai dengan kebutuhan lembaga
pendidikan Berta menekankan teknologi yang mampu dimiliki dan dikembangkan oleh setiap
lembaga pendidikan. Sedangkan strategi manajemen informasi (IM strategy) memberikan
gambaran mengenai cars yang harus ditempuh agar target pengembangan dan implementasi
sistem informasi manajemen pendidikan tidak sebatas wacana tetapi menjadi kenyataan dan
berorientasi kepada teknik manajemen yang akan dipergunakan oleh setiap lembaga pendidikan
yang bersangkutan.
C. MENCIPTAKAN KEUNGGULAN BERSAING LEMBAGA PENDIDIKAN

Salah satu fasilitas yang ditawarkan oleh teknologi informasi dalam dunia pendidikan adalah
pembentukan jaringan komunikasi antarlembaga pendidikan untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas. Fenomena kerja sama antarlembaga pendidikan, yaitu bekerja sama untuk
menghadapi lembaga pendidikan yang lebih baik. Ada tiga jenis jaringan yang bisa dibentuk
dalam jaringan komunikasi antarlembaga pendidikan yaitu intranet, internet, dan ekstranet.
Sistem antarorganisasi (Inter Organizational SystemIlOS) akan terbentuk jika dua atau lebih
organisasi (lembaga pendidikan) bekerja sama dalam pemakaian teknologi informasi. Fenomena
yang muncul belakangan ini tidak terlepas dari kemajuan teknologi informasi yang menawarkan
berbagai jenis pelayanan yang berbasis elektronik. Secara integral ada tiga jenis sistem yang
ditawarkan bagi lembaga pendidikan untuk mengimplementasikan IOS, yaitu sebagai berikut.
1) Intranet, jaringan internal lembaga pendidikan yang menghubungkan antara kantor pusat
dan kantor cabang y4ng terpisah secara geografis, baik lokal maupun regional.
2) Internet, jaringan komputer publik yang berpotensi sebagai penghubung
lembaga pendidikan dengan pars pengguna program pendidikan atau calon siswa atau
mahasiswanya.
3) Ekstranet, jaringan yang dibangun sebagai alai komunikasi antarlembaga pendidikan dan
lembaga pendukungnya, seperti departemen pendidikan, masyarakat, pemerintah, dan
dunia usaha.

Lembaga pendidikan yang tertarik untuk melakukan IOS memiliki alasan populer yang
mendasarinya, yaitu sebagai berikut.

1) Program Baru (New Programme)


Tujuan diadakan kerja sama antarlembaga pendidikan adalah untuk menghasilkan jasa
pendidikan yang tidak mungkin dihasilkan oleh lembaga pendidikan jika berdiri sendiri (new line
of operation). Contoh: Fakultas Ekonomi 11TS X di Jakarta mengadakan kerja sama dengan
fakultas ekonomi di luar negeri, dengan tujuan mahasiswa yang belajar di PTS tersebut memiliki
kesempatan beberapa bulan atau semester untuk mengikuti perkuliahan di luar negeri. Mereka
jugs berhak mendapatkan ijazah (gelar akademik) dari fakultas ekonomi PTS di dalam negeri
sekaligus gelar akademik dari luar negeri di mans PTS tersebut mengadakan kerja sama.

2) Pelayanan Baru (New Service)


Di samping sarana pelayanan pendidikan yang bersifat fisik, pelayanan barn jugs mungkin
ditawarkan oleh lembaga pendidikan yang bekerja sama. Misalnya, lembaga pendidikan bekerja
sama dengan perusahaan asuransi, perbankan, dan rumah sakit yang menawarkan jasa
pendidikan kepada siswa dan mahasiswanya dengan dilengkapi fasilitas asuransi, kartu ATM,
dan kartu kesehatan.

3) Efisiensi
Alasan mengadakan kerja sama antarlembaga pendidikan, yaitu untuk efisiensi (tcrlaksananya
proses yang lebih murah dan cepat). Contoh dalam lembaga pendidikan membiiat program
bersama antarbeberapa lembaga pendidikan, sebab jika program tersebut disediakan secara
sendiri-sendiri oleh masing-masing lembaga pendidikan, biayanya menjadi lebih mahal. Jika
disediakan secara bersama-sama biayanya akan lebih murah dan hasilnya akan lebih optimal.
Sebagai Contoh, sistem informasi manajemen bagi pelayanan lembaga pendidikan kepada siswa
dan mahasiswa dari mulai entry data awal mahasiswa sampai penyediaan kartu mahasiswa, kartu
rencana studi, kartu hasil studi, bahkan fasilitas lain yang dibutuhkan oleh mahasiswa yang
bersangkutan.
4) Hubungan antara Lembaga Pendidikan dan Masyarakat
Bentuk kerja sama lain terjadi antara lembaga pendidikan dan masyarakat, baik sebagai penyedia
calon siswa atau mahasiswa untuk lembaga pendidikan ataupun sebagai pengguna j asa
pendidikan tersebut. Saat ini yang sedang digalakkan, yaitu pendidikan yang berorientasi
masyarakat untuk mendukung program manajemen berbasis sekolah/MBS (School Based
ManagementISBM). Tanpa adanya kerja sama lembaga pendidikan dengan masyarakat, untuk
mewujudkan lembaga pendidikan yang bermutu tidak akan tercapai. Oleh karena itu, kerja sama
seperti ini harus terus dibina dan dikembangkan. Dalam menjalin kerja sama antara masyarakat
dengan lembaga pendidikan harus dibentuk jaringan kerja sama (net working) misalnya kerja
sama dengan orang tua s!swa/mahasiswa, tokoh masyarakat, tokoh agama, badan perwakilan
desa/kelurahan, kantor pemerintahan, maupun lembaga bisnis. Kerja sama ini harus saling
menguntungkan, artinya dari aktivitas yang dilaksanakan secara bersama-sama masing-masing
pihak dapat menikmati kontribusinya setelah sebelumnya membuat kesepakatan bersama.
5) Outsourcing (Menggunakan Jasa Lain untuk Membantu Melakukan Aktivitas
Pendidikan)
Lembaga pendidikan dalam menjalankan aktivitasnya tidak terlepas dari berbagai keterbatasan,
baik keterbatasan sumber daya manusia, modal, maupun sarana prasarana. Jika lembaga
pendidikan tidak memiliki tenaga ahli untuk memperbaiki atau memelihara peralatan kantor,
dapat digunakan perusahaan jasa di bidang pemeliharaan alat-alat kantor, seperti komputer.

6) Membangun Citra Lembaga Pendidikan (Image Building)


Masih banyak alasan untuk memutuskan diadakannya kerja sama, baik dengan lembaga
pendidikan yang sama maupun lembaga lain yang dapat menunjang kelancaran aktivitas lembaga
pendidikan tersebut. Salah satunya adalah bagaimana meningkatkan citra lembaga pendidikan,
terutama di era globalisasi. Besar sekali minat masyarakat untuk menjadi pengguna jasa sebuah
lembaga pendidikan dikarenakan telah mengimplementasikan teknologi informasi yang lebih
baik. Memahami paradigma seperti ini, lembaga pendidikan yang ingin membangun citra
lembaganya lebih baik harus membentuk jaringan kerja sama dengan pihak lain seperti bekerja
sama dengan perusahaan e-commerce untuk membuka e-mail atau web site. Akibat adanya
jaringan kerja sama tersebut, citra lembaga pendidikan semakin baik dan berkembang sesuai
tuntutan para pengguna jasa pendidikan dan sejalan dengan peningkatan kinerja lembaga
pendidikan berdasarkan kompetensinya.

7) Operasi Bersama (Joint Operation)


Operasional yang dilakukan bersama-sama antarlembaga pendidikan baik antarlembaga
pendidikan formal, maupun antara lembaga pendidikan formal dan nonformal, yang pada
dasamya dibentuk untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada para pengguna jasa. Sebagai
contoh lembaga pendidikan bahasa asingbekerja sama dengan sebuah lembaga pendidikan tinggi
untuk menjaring para mahasiswa maupun tenaga pengajarnya yang masih belum menguasai
keterampilan bcrbahasa asing. Oleh karena itu, diadakan kursus bahasa oleh lembaga bahasa
asing yang dilaksanakan di perguruan tinggi yang bersangkutan.
8) Aliansi Strategis (Strategic Alliances)
Hal ini merupakan bentuk kerja sama antara beberapa lembaga pendidikan untuk tujuan yang
bersifat umum dan jangka panjang. Misalnya aliansi antara lembaga-lembaga pendidikan swasta
atau perguruan tinggi swasta untuk Jurusan Tenaga Kependidikan baik sekolah tinggi keguruan
maupun fakultas keguruan. Membuat kesepakatan tentang kurikulum untuk lembaga pendidikan
tenaga kependidikan.

D. TEKNOLOGI INFORMASI SEBAGAI ASET UTAMA LEMBAGA PENDI-


DIKAN DALAM JANGKA PANJANG

Kecepatan perkembangan teknologi informasi sangat tinggi sehingga sangat sulit bagi
lembaga pendidikan untuk menyusun strategi mempertahankan cksistcnsinya dalam jangka
panjang. Ada tiga kunci utama yang mendukung teknologi informasi untuk dijadikan aset
lembaga pendidikan dalam jangka panjang, yaitu sebagai berikut.

1. Sumber Daya Manusia


Yang dimaksud sumber daya manusia adalah para staf penanggung jawab perencanaan
dan pengembangan teknologi informasi pada sebuah lembaga pendidikan. Dengan demikian,
para staf tersebut benar-benar memiliki tanggung jawab terhadap pengoperasian teknologi
informasi, memiliki kompetensi untuk memecahkan masalah yang dihadapi lembaga pendidikan
sehari-hari, dan selalu mencari kesempatan menggunakan teknologi informasi untuk kemajuan
lembaga pendidikan tersebut. Melalui kombinasi aktivitas seperti pelatihan, pengalaman bekerja,
kemampuan manajerial, dan kepemimpinan yang berkualitas, staf teknologi informasi tersebut
akan memiliki pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan.
Faktor SDM yang menjadi staf pengembangan teknologi informasi pada lembaga
pendidikan harus memiliki tiga dimensi berikut.
a. Keahlian teknis sumber daya manusia sangat dibutuhkan dalam dunia
pendidikan, mengingat cepatnya perkembangan teknologi informasi yang terjadi.
Keahlian teknis yang dimiliki seorang staf teknologi informasi terutama untuk
selalu mempelajari hal-hal baru.
b. Pengetahuan mengenai dunia pendidikan biasanya diperoleh dari hasil interaksi
antar-SDM yang terlibat dalam dunia pendidikan, dan mengetahui proses
operasional lembaga pendidikan yang menggunakan bantuan teknologi informasi
serta kemungkinan untuk meningkatkan nilai tambah bagi lembaga pendidikan
tersebut.
c. Orientasi pada pemecahan masalah. Hal ini tidak terbatas pada karakteristik
SDM secara tradisional yang hanya terpaku pada tugas-tugas rutin.

2. Teknologi

Seluruh infrastruktur teknologi informasi, termasuk perangkat keras (hardware) dan


perangkat lunak (software) dipergunakan secara bersama-sama dalam proses operasional
lembaga pendidikan karena merupakan tulang punggung terciptanya sistem yang terintegrasi,
dengan biaya yang relatif terjangkau, untuk biaya operasional, pengembangan, maupun biaya
pemeliharaan. Dalam jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang lembaga pendidikan
harus mengembangkan infrastrukturnya. Misalnya, perangkat keras diganti dari waktu ke waktu
(upgrade), aplikasinya diinstalasi ulang untuk versi yang terbaru, sistem informasi disesuaikan
dengan kebutuhan jaringan yang tersedia pada lembaga pendidikan yang bersangkutan. Hal ini
harus terdefinisi dengan jelas sehingga investasi dalam infrastruktur strategi pengembangan
lembaga pendidikan tidak akan sia-sia. Pada akhimya, sistem informasi yang dihasilkan akan
memiliki potensi yang dapat dipercaya (reliable), akurat (accurate), dan konsisten (consistent).
Perangkat yang sudah disusun dengan baik berupa cetak biru (blueprint) akan dijadikan panduan
pengembangan teknologi informasi yang dibangun sejalan dengan strategi pengembangan
lembaga pendidikan.

3. Relasi

Yang dimaksud dalam hal ini adalah hubungan teknologi informasi dengan pihak manajemen
lembaga pendidikan sebagai pengambil keputusan (decision maker). Menjalin suatu relasi berarti
membagi risiko dan tanggung jawab. Dalam mewujudkan relasi ini harus didukung oleh
pimpinan tertinggi dari lembaga pendidikan sehingga akan bertanggung jawab pada aplikasi
teknologi informasi yang berorientasi terhadap proses bukan berdasarkan fungsi organisasi. Di
samping itu, pimpinan tertinggi lembaga pendidikan diharapkan mampu memutuskan skala
prioritas pengembangan dan implementasi dari teknologi informasi berdasarkan skala
kepentingan lembaga pendidikan, serta harus dituangkan dalam cetak biru (blueprint) panduan
perencanaan dan pengembangan sistem informasi manajemen pendidikan.
BAB STRATEGI MANAJEMEN PENDIDIKAN

3 YANG BERFOKUS MASA DEPAN

Lingkungan internal maupun ekstemal lembaga pendidikan selalu berkembang dan bersifat
dinamis sehingga menimbulkan kesempatan atau hambatan bagi pertumbuhan lembaga
pendidikan tersebut. Penyebab lainnya adalah keputusan yang dibuat oleh pihak manajemen.
Manajemen pendidikan mempunyai tugas membuat keputusan, tetapi tugas ini merupakan aspek
kritis yang menuntut kemampuan manajerial untuk mengintegrasikan dan mengembangkan
berbagai elemen yang relevan ke dalam situasi lembaga pendidikan secara keseluruhan. Dalam
menjalankan tugasnya pihak manajemen akan dihadapkan pada terbatasnya waktu, risiko yang
mungkin mengancam stabilitas lembaga pendidikan, dan keputusan yang diambil harus dapat
dikomunikasikan pada pihak pelaksana (petugas operasional), seperti pendidik dan tenaga
kependidikan.

Untuk menghadapi hambatan maupun tantangan lingkungan dan kemampuan dalam membuat
keputusan, pihak manajemen pendidikan memerlukan strategi yang tepat agar tujuan pendidikan
dapat tercapai secara optimal. Dalam menentukan strategi apa yang akan digunakan manajemen
pendidikan, diperlukan pertimbangan yang tepat karena 'akan menyangkut keberadaan lembaga
pendidikan di mass mendatang.

Sebelum menentukan langkah-langkah strategi yang harus dipilih dalam manajemen


pendidikan, akan dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan strategi.

Menurut Glueck (1998: 6), strategi adalah sate kesatuan rencana yang komprehensif dan terpadu
yang menghubungkan kekuatan strategi organisasi dengan lingkungan yang dihadapinya,
kesemuanya menjamin agar tujuan organisasi tercapai.
Menurut Robson (1997: 5), strategi merupakan polo keputusan dari alokasi cumber yang dibuat
untuk mencapai tujuan organisasi.
Selanjutnya menurut Glueck, manajemen strategi adalah sejumlah keputusan dan tindakan yang
mengarah pada penyusunan strategi atau sejumlah strategi Yang efektif untuk membantu
mencapai sasaran organisasi. Manajemen strategi merupakan keputusan memilih strategi dan
bagaimana merencanakan strategi tersebut, agar memberikan dampak pada kemajuan organisasi
melalui aktivitas analisis, pemilihan dan implementasi strategi yang telah ditetapkan (Johnson
and Scholes (1993:153)).

Dari pengertian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan pokok bahwa strategi
a. pertama, merupakan satu kesatuan rencana organisasi yang komprehensifdan terpadu yang
diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi;

b. kedua, penyusunan strategi diperlukan analisis lingkungan karena lingkungan akan


menentukan kekuatan dan kelemahan organisasi;

c. ketiga, pencapaian tujuan organisasi dihadapkan pada berbagai pilihan alternatif strategi yang
harus dipertimbangkan; keempat, strategi yang telah dipilih akan diimplementasikan oleh
organisasi dan memerlukan evaluasi.
Untuk menggambarkan lebih jelas elemen manajemen strategi, Robson (1997: 10)
memberikan ilustrasi berikut :
model elemen-elemen Budaya

manajemen
strategi Lingkungan Sumber
Daya

ANALISIS
STRATEGI

Alternatif Pencemaran
pilihan Sumber

PEMILIHAN IMPLEMENTASI
STRATEGI STRATEGI

Evaluasi Struktur
Memilih System &
Organisasi
Strategi Manusia
Dari gambar di atas ada tiga tahapan yang harus dilalui dalam melaksanakan suatu strategi
sebelum menetapkan strategi pendidikan yang akan dilakukan. Pimpinan sebuah lembaga pendidikan
diharapkan mampu menganalisis terlebih dahulu strategi yang akan dilaksanakan dengan cara
menganalisis lingkungan, baik internal maupun eksternal lcmbaga pendidikan, kemudian menganalisis
budaya lingkungan dan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki, baik sumber daya alam,
cumber daya manusia, maupun sumber daya lainnya. Setelah melakukan analisis strategi kemudian
melakukan pemilihan strategi yang akan dilaksanakan dengan cara mengidentifikasi alternatif
pilihan yang ada kemudian mempersiapkan evaluasi dan memilih salah satu strategi yang paling
tepat. Tahap befflwtnya adalah implementasi strategi yang telah dipilih dengan menetapkan sistem
dan personel yang akan diberdayakan dalam lembaga tersebut. Selanjutnya, membuat struktur
organisasi untuk kemudian merencanakan dan mengalokasikan sumber-sumber yang telah
tersedia.

Dari tiga elemen strategi yang telah dikemukakan di atas, menurut Mintzberg (1990) dalam
Robson (1997: 16), ada sepuluh ketentuan dalam merencanakan sebuah (sekolah atau
pendidikan) yang dibedakan secara preskriptif, yaitu bagaimana strategi dapat diformulasikan
dan apa yang harus dikerjakan untuk merencanakan sebuah sekolah tersebut. Interpretasi secara
preskriptif akan meliputi merancang, merencanakan, dan memposisikan sekolah. Sedangkan
secara dcskriptif akan menyangkut kepemilikan, kesadaran, proses pembelajaran, kepekaan
politik, budaya, dan lingkungan sekolah.

A. STRATEGI PENDIDIKAN NASIONAL DALAM MENGHADAPI LINGKUNGAN


GLOBAL

Kerancuan yang terjadi atas pendidikan nasional dimungkinkan oleh berbagai kebijakan
dasar dan strategi implementasinya kurang didasarkan atas keutuhan konsep dan filosofi. Banyak
pemikiran hanya dicurahkan pads permasalahan mikro, yakni yang terkait langsung dengan
aktivitas pembelajaran. Meskipun demikian, masih banyak permasalahan mikro yang belum
terselesaikan dengan baik, karena kurang jelasnya landasan psikologis dan filosofis pendidikan.
Pendidikan hanya diartikan sempit sebagai pengajaran bahkan lebih sempit lagi hanya sebuah
sistem persekolahan. Dalam hal ini juga tidak kalah pentingnya adalah kurang kokohnya
landasan pendidikan yang dapat dilihat dari perspektif makro, landasan sosial, kultural, ekonomi,
dan politik. Juga tidak adanya konsistensi dan koherensi antara satu landasan pemikiran dengan
landasan lainnya pads tataran mikro dan makro.
Pendidikan dalam makna Was atau tatanan makro perlu dikembangkan dari sifat reaktif
dan proaktif terhadap perkembangan masyarakat menjadi rekonstruksionistik sosial. Menjadi
rekonstruksionistik sosial berarti pendidikan turut secara aktif memberikan corak dan arch
terhadap perkembangan masyarakat yang dicitacitakan. Untuk memiliki kemandirian serta
menjangkau keunggulan, filosofi seperti ini perlu dijabarkan ke dalam strategi pendidikan yang
visioner, lebih memberi nilai tambah yang bersifat strategis, serta dapat meningkatkan harkat dan
martabat manusia. Strategi pendidikan perlu dirancang agar mampu menjangkau alternatif
jangka panjang yang mampu menghasilkan perubahan yang signifikan bagi mass depan bangsa,
memupuk watak yang mandiri, serta tekad peserta didik untuk memiliki keunggulan komparatif
dan kompetitif terhadap bangsa lain.
Strategi pendidikan nasional akan mencakup berbagai aspek sistem pendidikan nasional
dengan landasan yang lebih utuh dan kokoh. Secara makro, demokratisasi, politik, dan
liberalisasi ekonomi global menjadi pertimbangan utama. Secara sosial psikologis, pendekatan
terhadap peserta didik bersifat konstruktif dalam institusi pendidikan yang programnya
berorientasi pads kepentingan perkembangan pribadi peserta didik serta kemajuan dan
kesejahteraan masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan.
Dalam hal ini akan dikemukakan beberapa rumusan strategi mengenai substansi dan metodologi
pendidikan serta beberapa rumusan strategi lainnya mengenai organisasi dan manajemen
pendidikan nasional. Aspek organisasi manajemen memang tidak dipisahkan dari rumusan
tentang substansi dan metodologi pendidikan sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan.

1. Strategi Umum Pendidikan Nasional


Strategi umum pendidikan untuk menjawab isu pemberdayaan masyarakat dalam pendidikan
dituangkan dalam dua aspek penting, yaitu pertama, tentangdemokratisasi pendidikan sebagai
konsep; kedua, ditampilkan kelompok sasaran khusus sebagai konsekuensi dari demokrasi.
a. Demokratisasi Pendidikan
Demokratisasi pendidikan dilakukan melalui beberapa cars sebagai berikut.

1) Perluasan dan Pemerataan Kesempatan untuk Memperoleh Pendidikan Upaya perluasan


dan pemerataan kesempatan pendidikan telah ada secara, formal sejak tahun 1984 untuk
tingkat SD, dilanjutkan pads tahun 1994 untuk pendidikan dasar sembilan tahun. Hasil
yang telah dicapai cukup memuaskan, namun akibat krisis ekonomi dan terjadinya
konflik sosial di berbagai daerah yang mengganggu program pendidikan, angka
partisipasi pendidikan menjadi terganggu. Untuk dapat menyelamatkan generasi
mendatang dari ancaman kebodohan dan kemunduran, peningkatan partisipasi
pendidikan merupakan agenda yang tidak dapat diabaikan. Adapun strategi yang dapat
dilakukan, yaitu pemantapan prioritas pendidikan dasar sembilan tahun, pemberian
beasiswa dengan sasaran yang strategis, pemberian insentif kepada guru yang bertugas di
wilayah terpencil, pemantapan peran SD Kecil dan SUP Terbuka, menggalakkan program
Kelompok Belajar Paket A dan B, pemantapan sistem pendidikan terpadu untuk anak
yang memiliki kelainan, serta peningkatan keterlibatan masyarakat dalam menunjang
pendidikan untuk semua (education for all). Demikian pula agar pendidikan lebih
bermakna, pemerataan pendidikan tidak hanya bernuansa kuantitatif, melainkan juga
kualitatif. Strategi perluasan dan pemerataan kesempatan pendidikan ini termasuk
pengembangan pendidikan alternatif sebagai wahana untuk aktualisasi asas pendidikan
sepanj ang hayat. Tidak kalah pentingnya dengan pendidikan yang diselenggarakan
pesantren (lembaga pendidikan Islam) perlu diposisikan kembali sehingga tidak
kehilangan karakternya sebagai wahana pendidikan yang memiliki peran besar dalam
memperkaya pendidikan nasional.
2) Pendidikan untuk Semua (Education for All)
Kecenderungan yang ada saat ini bahwa program pendidikan hanya diorientasikan untuk
orang dan kelompok tertentu, terutama pads institusi pendidikan yang diklaim oleh
masyarakat sebagai sekolah favorit. Pada sekolah ini tidak menyediakan cukup ruang
untuk kelompok lain yang mengakses pendidikan tersebut. Apabila kondisi ini dibiarkan,
kondisi ini dapat berdampak pads perlakuan yang diskriminatif terhadap anak bangsa. Di
camping itu, masih banyak anak usia sekolah yang belum terjangkau oleh pendidikan.
Kalaupun sekolah itu tersedia dalam jarak yang terjangkau, masih ada kendala lain yang
masih menghalangi mereka untuk memasuki dunia pendidikan tersebut, seperti kendala
psikologis dan budaya. Untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut, perlu
mcn'gakomodasikan ide-idc pendidikan untuk semua, yang membuka kesempatan bagi
semua siswa untuk mengakses pendidikan di mana pun dan kapan pun. Selain itu, harus
diciptakan suasana belajar yang dapat mengakomodasikan kebutuhan anak didik dari
berbagai strata dan latar belakang sosial budaya.
3) Pemberdayaan dan Pendayagunaan Berbagai Institusi Kemasyarakatan.
Upaya mencapai sasaran pendidikan selama ini masih tergantung pada lembaga
pendidikan formal yang konvensional atau sejumlah lembaga pendidikan nonformal, baik
langsung di bawah tanggung jawab pemerintah maupun swasta. Padahal untuk
menjangkau semua peserta didik, kemampuan lembaga tersebut terbatas, mengingat
beragamnya kondisi geografis dan budaya masyarakat Indonesia. Untuk itu, dalam
rangka menuntaskan program wajib belajar pendidikan dasar dan membelajarkan lebih
banyak warga negara, perlu terns diupayakan pemberdayaan dan pendayagunaan
berbagai institusi kemasyarakatan untuk menjadi wahana pendidikan dan pembelajaran.
4) Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Termasuk Hak Pendidikan
Selama ini ada anggapan bahwa pendidikan belum dirasakan sebagai hak asasi yang
harus dipenuhi sehingga sebagian besar masyarakat dan orang tua masih kurang peduli
terhadap pendidikan anak-anak. Sikap yang demikian tidak dapat dibiarkan secara terus-
menerus karena dapat menurunkan martabat anak, orang tua, masyarakat, bahkan
pemerintah. Untuk mass mendatang hak pendidikan bagi semua anak perlu
disosialisasikan kepada masyarakat secara luas.
1) Kerja Sama dengan Dunia Usaha dan Industri
Sejumlah industri dewasa ini banyak menaruh perhatian secara positif terhadap
pendidikan. Perhatian itu diwujudkan dengan pemberian beasiswa, orang tua asuh, dan
bentuk partisipasi lainnya. Untuk dapat menunjukkan tanggung jawab yang lebih tinggi,
semua industri besar maupun kecil diharapkan dapat menyisihkan sejumlah dana khusus
untuk membantu program pendidikan. Bentuknya bisa berupa penyediaan fasilitas
industri, misalnya untuk kepentingan praktik siswa. Sebaliknya, kepada dunia usaha yang
berperan aktif dalam pendidikan perlu diberikan penghargaan dalam bentuk kemudahan
perizinan dan pemberian penghargaan lainnya.

b. Kelompok-Kelompok Sasaran Khusus

2) Anak Dini Usia


Pendidikan anak dini usia (dikenal dengan PADU) tidak hanya bertujuan untuk
memenuhi hak asasi anak untuk mendapatkan pendidikan sedini mungkin, melainkan
memberikan landasan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak dalam segala aspeknya,
baik aspek keterampilan, sosial, akademik, dan moral
(Henginger, 1966; Supriadi 1999). PADU seringkali diartikan sebatas pendidikan formal
dalam bentuk taman kanak-kanak, padahal jenis layanan PADU seharusnya meliputi
wadah yang kini populer dengan TK Alquran (TKA), tempat penitipan anak (TPA),
kelompok bermain (Play Group), dan sebagainya. Untuk mengakomodasi fungsi-fungsi
PADU maka pendidikan persekolahan, pendidikan keluarga, dan pendidikan masyarakat
perlu dikembangkan secara bersama-sama sehingga tercipta pendidikan yang integratif
dan komplementer. Dengan demikian, sangat dibutuhkan dialog yang berkelanjutan,
terarah, dan fungsional untuk dapat mewujudkan PADU yang semakin luas jangkauannya
Berta semakin bermutu. Di pihak lain, perlu dihindari praktik-praktik PADU yang
kontraproduktif bahkan tidak sesuai dengan perkembangan anak, misalnya PADU yang
terlalu fokus pada akademik.
1) Keluarga
Dewasa ini keluarga belum secara optimal menunjukkan fungsi edukatifnya, antara lain
banyaknya masalah pendidikan anak yang akarnya lebih banyak terletak dalam keluarga
daripada di sekolah. Situasi seperti ini berkaitan dengan masih rendahnya pemahaman
dan kesadaran orang tua untuk mendidik anaknya. Untuk itu agar keluarga lebih
fungsional dan mampu memerankan fungsi pedagogisnya bagi perkembangan anak,
diperlukan pendidikan bagi keluarga atau orang tua yang disebut sebagai pendidikan anak
melalui pendidikan keluarga atau orang tua. Pendidikan semacam ini dapat dilakukan
melalui berbagai jalur dan media yang telah ada dalam masyarakat, misalnya PKK,
Posyandu, pendidikan masyarakat, dan media massa.
3) Penyandang Cacat
Saat ini tidak sedikit kalangan masyarakat yang belum menerima secara positif kehadiran
penyandang cacat. Sebagian besar masih memberikan perlakuan yang diskriminatif
terhadap kelompok anak atau anggota masyarakat yang memiliki kelainan. Dilihat dari
perspektif pendidikan, sikap demikian bertentangan, dengan hak-hak asasi manusia,
konstitusi dan peraturan perundang-undangan dalam pendidikan yang menempatkan
mereka sejajar dengan kelompok anak-anak yang lain.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dikemukakan bahwa anak-anak cacat memiliki hak yang sama dalam memperoleh
pendidikan. Pendidikan bagi anak-anak cacat dilaksanakan melalui pendidikan luar biasa
dan pendidikan terpadu. Model pendidikan terpadu bersifat inklusif, yaitu menyatukan
mereka dengan anak-anak lainnya. Untuk mass depan model ini dinilai lebih menjanjikan
karena memiliki banyak keuntungan, antara lain anak-anak yang memiliki kelainan
memiliki kesempatan untuk bersosialisasi dengan anak-anak lain. Hal ini dapat dilakukan
di banyak sekolah dan tidak terbatas pada sekolah luar biasa (SLB). Caranya dengan
belajar bersama anak-anak lain yang sebaya Berta pars pendidik untuk secara jujur
menerima kehadiran anak-anak yang memiliki kelainan.
4) Anak Berkemampuan Luar Biasa (Gifted)
Secara hukum sistem pendidikan nasional telah menaruh perhatian terhadap kelompok
anak-anak yang memiliki kemampuan luar biasa dalam belajamya (yang disebut sebagai
anak-anak berbakat atau gifted children) sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 20/2003.
Anak-anak berkemampuan luar biasa adalah mereka yang memiliki potensi dan kinerja
unggul dalam berbagai bidang kehidupan. Pengembangan potensi mereka secara optimal
diharapkan akan memberikan kontribusi yang bermakna bagi kehidupan bangsanya.
Untuk dapat berkembang optimal, mereka memerlukan perlakuan yang sesuai dengan
potensinya melalui perlakuan secara diferensial. Dalam praktiknya telah dikembangkan
sekolah-sekolah atau kelas-kelas untuk memberikan kesempatan kepada kelompok anak-
anak ini belajar sesuai dengan kemampuannya. Masalahnya adalah bagaimana bentuk
pendidikan yang cocok bagi anak-anak yang memiliki kemampuan luar biasa. Apakah
dilakukan secara terpisah atau terpadu dengan anak-anak lain. Masih terjadi pro dan
kontra mengenai hal ini. Namun, pada prinsipnya demi keseimbangan perkembangan
anak-anak itu sendiri agar tidak terjadi perkembangan yang timpang (disharmoni,
displasia), model pendidikan yang terpadu dinilai lebih cocok untuk anakanak
berkemampuan tinggi dibandingkan dengan model pendidikan yang terpisah.
5) Kelompok Anak-Anak Kurang Beruntung
Kelompok anak-anak ini, yaitu mereka yang berasal dari keluarga atau masyarakat yang
secara ekonomis dan kultural berada pada posisi marginal, keluarga atau masyarakat yang
tidak memiliki pekerjaan tetap, kaum gelandangan, dan tinggal di daerah terpencil yang
tidak terjangkau oleh pendidikan. Untuk dapat mengangkat posisi kelompok ini,
perludikembangkan model pendidikan yang mampu memberdayakan mereka, baik
melalui pendidikan sekolah maupun luar sekolah yang bentuk, isi, model penyam-
paiannya disesuaikan dengan keadaan kelompok tersebut.
6) Kaum perempuan
Dalam pendidikan kaum perempuan khususnya kelompok usia sekolah masih termasuk
kelompok yang kurang beruntung. Dilihat dari angka partisipasi pendidikan, partisipasi
anak-anak perempuan hampir selalu lebih rendah daripada laki-laki. Hanya pada tingkat
SD, siswa laki-laki dan perempuan relatif seimbang. Ketidakseimbangan ini disebabkan
oleh beberapa faktor, faktor yang paling utama adalah faktor budaya yang masih melekat
pada sebagian masyarakat. Misalnya masih ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu
menempuh pendidikan yang tinggi karena pada akhirnya mereka akan
kembali menjadi ibu rumah tangga. Dalam mengirimkan anak-anaknya ke sekolah, orang
tua juga cenderung memberikan perlakuan yang berbeda kepada anak laki-laki dan
perempuan. Mereka lebih siap melepas anak laki-laki untuk bersekolah daripada anak
perempuan. Akibatnya pada wahana pendidikan yang jangkauannya sangat luas
sekalipun, partisipasi perempuan masih tetap lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki,
misalnya di SUP Terbuka (Supriadi, 2000). Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan
bagi kaum perempuan dapat dilakukan melalui pedidikan sekolah, keluarga, dan
masyarakat. Apa yang diperlukan ke depan adalah memperluas akses perempuan ke
semua jenis, jenjang, maupun jalur pendidikan sehingga partisipasinya secara dengan
laki-laki.
7) Masyarakat Terpencil
Masyarakat terpencil ini baik dilihat dari wilayah geografis maupun sosiokultural adalah
masyarakat yang karena keterpencilannya menghadapi hambatan dalam mengakses
layanan pendidikan secara formal. Untuk menjangkau mereka, perlu dikembangkan
strategi pendidikan yang lebih sesuai dengan kondisi mereka. Adapun strategi dan
program pendidikan yang perlu terns dikembangkan untuk kelompok masyarakat ini
adalah sekolah kecil, sekolah terapung (untuk daerah kepulauan), SUP Terbuka, Kejar
Paket A dan B, model guru kunjung, sistem multikelas (multigrade system), pemberian
insentif khusus bagi guru, dan paket-paket materi pendidikan fungsional yang sesuai
dengan karakteristik masyarakat setempat, misalnya keterampilan pertanian, perkebunan,
maupun perikanan.
8) Kelompok Usia produktif
Kelompok usia produktif adalah mereka yang secara potensial memiliki kesiapan dalam
menghasilkan pendapatan untuk mendukung kehidupan dirinya, keluarganya, dan
masyarakatnya. Namun, pada kenyataannya tidak sedikit jumlah kelompok usia produktif
yang belum berperan produktif dalam hidupnya. Ketidakmampuan mereka untuk tampil
secara produktif disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal
berkaitan dengan ketidakmampuan akademik dan keterampilan, kelemahan motif
berprestasi dan penyesuaian diri. Adapun faktor eksternal meliputi antara lain kurangnya
pendidikan dan pelatihan yang relevan, lingkungan yang kurang kondusif, dan kurangnya
kesempatan kerja. Bagi mereka diperlukan sejumlah pelatihan yang benar-benar relevan
dengan kebutuhan dan tuntutan hidup masyarakat. perhatian terhadap kelompok ini
memiliki nilai ganda, yaitu dapat mendorong mereka untuk mengaktualisasikan dirinya
dan mencegah timbulnya penyimpangan sosial sebagai akibat dari waktu luang yang
tidak dapat mereka inanfaatkan untuk kegiatan yang produktif.

9) Kelompok Usia Lanjut


Usia lanjut umumnya dipahami sebagai kelompok masyarakat yang memiliki usia 60
tahun ke atas. Pada usia ini seseorang biasanya mengalami kemunduran kondisi fisik,
mental, dan psikologis, kecuali mereka yang secara konsisten terns belaj ar dan menjaga
kesegarannya. Secara kuantitatif kelompok manusia usia lanjut Indonesia cenderung
meningkat seiring dengan perbaikan mutu hidup bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan
oleh rata-rata angka harapan hidup (life expectancy) penduduk Indonesia yang mencapai
sekitar 67 tahun. Agar kehidupan mereka tetap memberikan arti bagi dirinya dan
masyarakatnya, perlu dikembangkan program dan wadah yang mampu membuat mereka
tetap merasa berarti dalam hidupnya. Berbagai upaya yang ditawarkan di antaranya
pembekalan mental menghadapi masa pensiun, belajar menyikapi keterasingan diri, dan
memantapkan diri dalam mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Strategi Pokok Pembangunan Pendidikan Nasional

Dalam merealisasikan strategi pokok pembangunan pendidikan, sedikitnya terdapat lima


strategi pokok pembangunan pendidikan nasional, yaitu :
(1) mengatasi dampak krisis ekonomi terhadap bidang pendidikan;
(2) melakukan perluasan dan Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang
bermutu dengan fokus program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun;
(3) meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan yang mampu menghadapi tuntutan yang
berkembang;
(4) mengembangkan sistem dan manajemen pendidikan yang mendukung pelaksanaan
otonomi daerah, manajemen berbasis sekolah, efisiensi, dan akuntabilitas;
(5) memberdayakan kelembagaan pendidikan yang produktif dan kondusif sebagai pusat
pembelajaran, pendidikan, dan pembudayaan.

a. Strategi Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi terhadap Pendidikan

Strategi pendidikan nasional yang berkaitan dengan usaha mengatasi dampak krisis ekonomi
terhadap pendidikan difokuskan Pada upaya mencegah peserta didik agar tidak putus sekolah,
mempertahankan kelangsungan layanan pendidikan, dan mempertahankan mutu pendidikan agar
tidak semakin menurun. Indikator keberhasilan tersebut adalah
(1) jumlah angka putus sekolah dapat dipertahankan seperti sebelum krisis dan Pada
akhirnya dapat diperkecil;
(2) peserta didik yang kurang beruntung seperti yang mengungsi karena terjadi kerusuhan
sosial, telantar karena kesulitan ekonomi, yang terpaksa bekerja, atau tinggal di daerah
terpencil tetap dapat memperoleh layanan pendidikan minimal tingkat pendidikan dasar;
(3) siswa yang telah telanjur putus sekolah didorong untuk kembali ke sekolah atau
memperoleh layanan pendidikan yang sederajat dengan cara yang lain di luar sekolah;
(4) proses belajar mengajar di sekolah tetap berlangsung meskipun dengan dana yang
terbatas.

Kebijakan utama yang perlu dilakukan adalah :


(1) mempertahankan lajupertumbuhan angka partisipasi pendidikan dengan menyesuaikan
kembali sasaran pertumbuhan angka absolut partisipasi pendidikan di semua jenjang dan jenis
pendidikan;
(2) melanjutkan program darurat jaring pengaman sosial (JPS) dalam bentuk pemberian beasiswa
dan dana bantuan operasional pendidikan di semua jenis jenjang pendidikan kemudian lambat
lawn dikurangi jumlahnya sejalan dengan semakin pulihnya krisis ekonomi dan meningkatnya
kembali kemampuan orang tua peserta didik dalam membiayai pendidikan;
(3) mengintegrasikan dana bantuan operasional pendidikan secara bertahap ke dalam anggaran
rutin untuk menunjang operasional pendidikan;
(4) meningkatkan dan mengembangkan program pendidikan alternatif secara konseptual dan
berkesinambungan terutama untuk sasaran peserta didik yang kurang beruntung;
(5) meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tentang
pendidikan.
b. Strategi Perluasan dan Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Meskipun strategi ini terfokus kepada program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun,
jenis dan jenjang pendidikan lainnya tercakup dengan indikator keberhasilannya adalah
(1) mayoritas penduduk berpendidikan minimal SLIP dan partisipasi pendidikan meningkat,
dengan perluasan terkendali untuk bidang-bidang unggulan dan teknologi;
(2) meningkatnya budaya belajar di kalangan masyarakat yang ditunjukkan dengan
meningkatnya jumlah peserta program pendidikan berkelanjutan, seperti kursus-kursus dan
program pendidikan kemasyarakatan;
(3) meningkatnya proporsi penduduk kurang beruntung memperoleh kesempatan belajar di
semua jenis dan jenjang pendidikan. Kebijakan program yang harus dilakukan adalah sebagai
berikut.
1. Memperluas kesempatan pendidikan dengan prioritas pads pendidikan dasar.
2. Meningkatkan layanan pendidikan kepada kelompok yang kurang beruntung, termasuk
kaum perempuan.
3. Mengembangkan layanan pendidikan alternatif tanpa mengorbankan mutu program.
4. Menetapkan'standar kompetensi minimal keluaran pendidikan.
5. Melanjutkan program beasiswa bagi kalangan anak-anak miskin.
6. Meningkatkan anggaran pemerintah untuk pendidikan secara bertahap dan terencana.
7. Meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat dalam membiayai pendidikan.

c. Strategi Peningkatan Mutu dan Relevansi Pendidikan


Kebijakan program untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan meliputi tiga aspek
utama.
Pertama, pengembangan kurikulum berkelanjutan di semua jenjang dan jenis pendidikan
yang meliputi:
(1) pengembangan kurikulum pendidikan dasar yang dapat memberikan kemampuan dasar
secara merata disertai dengan penguatan muatan lokal;
(2) mengintegrasikan keterampilan generik dalam kurikulum yang memberikan kemampuan
adaptif dengan empat kelompok keterampilan, yaitu pengelolaan diri, komunikasi, mengelola
orang dan tugas, serta melakukan inovasi clan perubahan;
(3) mengembangkan program studi, jurusan dan fakultas di perguruan tinggi yang diclasarkan
atas studi kelayakan;
(4) meningkatkan relevansi pendidikan menengah kejuruan, pendidikan tinggi, dan pendidikan
luar sekolah dengan kebutuhan dunia kerja;
(5) mengembangkan keteladanan dalam pendidikan
Kedua, pembinaan profesionalisme dan meningkatkan kesej ahteraan guru yang meliputi:
(1) menata kembali sistem jenjang karier guru clan tenaga kependidikan lainnya;
(2) meningkatkan kesejahteraan guru baik secara materil maupun psikologis;
(3) memberikan perlindungan hukum dan rasa aman kepada guru dalam menjalankan tugasnya;
(4) memberikan kesempatan yang lugs kepada guru untuk meningkatkan profesionalisme melalui
berbagai pelatihan clan studi lanjut.
Ketiga, pengadaan dan pendayagunaan sarana, dan prasarana pendidikan terdiri dari:
(1) menjamin tersedianya buku pelajaran satu buku untuk setiap peserta didik;
(2) melengkapi kebutuhan ruang dan peralatan laboratorium, bengkel kerja, perpustakaan
termasuk laboratorium hidup;
(3) mengefektifkan pengelolaan dan pendayagunaan sarana, dan prasarana, pendidikan yang
terkait dengan sistem insentif dalam rangka efektivitas proses belajar mengajar;
(4) menyediakan dana pemeliharaan yang memadai pads satuan pendidikan;
(5) mengembangkan lingkungan sekolah sebagai pusat pembudayaan dan pembinaan peserta
didik.

d. Strategi Pengembangan Sistem dan Manajemen Pendidikan


Strategi ini berkenaan dengan upaya mengembangkan sistem dan manajemen pendidikan
yang mampu menclukung pelaksanaan otonomi daerah, manajemen berbasis sekolah,
demokratisasi, efisiensi, dan akuntabilitas. Indikator keberhasilannya adalah;
(1) dirintisnya satu sistem pendidikan nasional yang utuh dan dapat menampung berbagai
jenis pendidikan yang ada di tanah air;
(2) otonomi satuan pendidikan dalam melaksanakan proses pendidikan semakin meningkat,
sedangkan peran pengelola pendidikan lebih pads standardisasi, pemberian dukungan
layanan administratif, pembinaan dan pengawasan;
(3) berkembangnya prakarsa dan kreativitas daerah dalam mengelola pendidikan, tetapi tetap
berada dalam satu visi, misi, dan sistem pendidikan nasional;
(4) berkembangnya organisasi pendidikan yang lebih berorientasi profesionalisme, daripada
hierarki;
(5) layanan pendidikan yang semakin cepat, terbuka, adil, dan merata, termasuk bagi peserta
didik yang kurang beruntung.
Kebijaksanaan program yang dilaksanakan mencakup:
(1) melakukan kajian dan telaah terhadap UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
beserta kelengkapan peraturan perundang-undangannya;
(2) revitalisasi peran, fungsi, dantanggung jawab satuan pendidikan clan instansi pengelolanya
secara bertahap sesuai dengan tingkat kemandiriannya;
(3) mengembangkan sistem perencanaan regional dan lokal di tingkat satuan pendidikan;
(4) mengembangkan sistem pengambilan keputusan kolektif dengan melibatkan pihak-pihak
yang berkepentingan dalam koriclor sistem pendidikan nasional;
(5) meningkatkan partisipasi masyarakat inclalui pembentukan komite atau dewan sekolah;
(6) pemberdayaan personel pendidikan yang didukung oleh aparat yang bersih clan berwibawa;
(7) meningkatkan sistem pengendalian dan pengawasan yang lebih berorientasi material dan
Formal;
(8) meningkatkan proporsi dana pendidikan yang semakin besar secara bertahap;
(9) melakukan studi clan pengembangan.

e. Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Pendidikan


Strategi ini menekankan pads pemberdayaan satuan pendidikan yang produktif dan kondusif
sebagai pusat pembelajaran, pendidikan, dan pembudayaan. Indikator keberhasilannya adalah;
(1) tersedianya lernbaga, pendidikan yang semakin bervariasi yang diikat oleh visi dan misi
pendidikan nasional;
(2) jumlah lembaga pendidikan yang semakin efisien;
(3) lembaga, pendidikan yang didukung oleh organisasi yang c ficktif dan efisien;
(4) mutu, sarana, dan prasarana lembaga pendidikan yang semakin nieningkat serta iklim
pembelajaran yang semakin kondusif bagi peserta didik;
(5) tingkat kemandirian lembaga satuan pendidikan semakin tinggi.
Kebijakan program yang perlu ditempuh adalah:
(1) melaksanakan telaah, kajian, dan restrukturisasi kelembagaan pendidikan termasuk satuan
pendidikan;
(2) melakukan evaluasi clan restrukturisasi lembaga pendidikan sesuai dengan tuntutan
perkembangan masyarakat;
(3) mengembangkan sistem organisasi kelembagaan pendidikan yang efektif dan efisien;
(4) standardisasi kelembagaan yang didukung oleh sarana clan prasarana minimal serta
kualifikasi personel yang sesuai dengan beban dan jenis pekerjaannya;
(5) memberikan kewenangan yang lebih besar kepada lembaga pendidikan untuk mengambil
keputusan yang sesuai dengan kebutuhannya dengan hasil yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada pengguna jasa pendidikan.

3. Karakteristik Strategi Pendidikan


Misi dasar pola pendidikan yang dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat,
harus memiliki karakteristik khusus, yaitu sebagai berikut.

a. Pengutamaan Kemampuan Dasar


Pendidikan pertama-tama harus mampu membekali peserta didik dengan tiga
kemampuan dasar yang fungsional bagi kehidupan dan untuk belajar lebih lanjut, yaitu
membaca, menulis, dan berhitung. Ketiga kemampuan ini dikembangkan Ke peserta sejak
peserta didik berada di tingkat pendidikan dasar. Selanjutnya di samping tiga kemampuan dasar
tersebut, peserta didik diharapkan memiliki sejumlah kompetensi dasar untuk semua bidang
akademik dan nonakademik sebagaimana telah dirumuskan dalam kurikulum. Untuk tingkat
pendidikan dasar, misalnya penguasaan peserta didik terhadap kemampuan dasar yang bersifat
universal dan kompetensi dasar itulah yang membedakan mereka dengan orang yang tidak
sempat atau belum pernah mengenyam pendidikan dasar.

b.Penguasaan Kompetensi Umum


Arus globalisasi semakin deras sehingga suiit untuk dihindari. Dalam rangka
mengantisipasi globalisasi, kiranya perlu sekali setiap siswa pada semua jenjang, jenis, dan jalur
pendidikan untuk memiliki kompetensi generik (generic competences) yang meliputi
keterampilan mengatur diri (managing self skills), keterampilan berkomunikasi (communicating
skills), kemampuan menangani orang dan tugas (the ability ofmanagingpeople and tasks), dan
kemampuan memobilisasi inovasi dan perubahan (the ability of mobilizing innovation and
change). Kompetensi ini diharapkan mampu membekali peserta didik untuk beradaptasi dan
hidup di tengah masyarakatnya dan bahkan dalam lingkungan global.

c.Penyelenggaraan Program Studi dengan Kualif1kasi yang Dapat Dipasarkan


(Marketable)
Sejauh ini program pendidikan yang dikembangkan oleh institusi negeri lebih bersifat
konvensional, konservatif, dan cenderung lebih berorientasi kepada supply-driven. Untuk batas-
batas tertentu, pemerintah bertanggung jawab untuk mempertahankan sejumlah program studi
yang diharapkan menjadi penopang kepentingan pengembangan, misalnya program studi ilmu
mumi. Namun untuk menjaga efisiensi, pemerintah dapat mengendalikan proporsi program studi
yang lulusannya tidak langsung dapat diserap oleh pasar kerja, agar tidak terjadi pembengkakan
angka penganggur intelektual. Berbeda dengan institusi pendidikan negeri, institusi pendidikan
swasta (pendidikan luar sekolah) lebih proaktif dalam mengembangkan program-program
alternatif untuk memenuhi kebutuhan pasar dengan orientasi yang cenderung demand-driven.
Hal ini sangat dimaklumi karena kelangsungan institusi pendidikan swasta sangat tergantung
kepada para peserta didiknya (siswa, mahasiswa, warga belajar). Apabila institusi swasta
mengabaikan tuntutan pasar atau pengguna jasa pendidikan, lambat lawn institusi itu akan
mengalami kemunduran. Oleh karena itu, lembaga pendidikan swasta harus berusaha
mengembangkan jenis-jenis program yang benar-benar dapat dipasarkan (marketable).
Keinginan kuat ini sangat disayangkan karena tidak selalu diimbangi dengan pengendalian mutu
yang efektif. Dengan demikian, jumlah peserta didik yang diterima tidak seimbang dengan
kemampuan institusi yang bersangkutan dalam proses pengelolaannya. Cara-cars seperti ini akan
menimbulkan kerugian bagi banyak pihak, terutama peserta didik dan keluarganya. Pihak
penyelenggarapendidikan pada akhirnya akan mengalami kerugian karena citra.
d. Pendidikan yang Memiliki Kepedulian terhadap Teknologi Informasi
Di era teknologi informasi ini, setiap individu dituntut untuk memiliki kepeduI i an
terhadap munculnya teknologi informasi yang sangat pesat dan turut memiliki pengetahuan
dasar/prinsip-prinsip dasar dan proses penggunaan teknologi informasi dan dampaknya terhadap
kehidupan manusia. Tanga memiliki kepedulian terhadap perkembangan teknologi informasi,
diyakini kita tidak akan dapat mengikuti perkembangan pengetahuan maupun teknologi, bahkan
tidak dapat menggunakan teknologi informasi tersebut sebagai sarana dalam mengembangkan
pendidikan. Oleh karena itu, setiap pendidik dituntut untuk memiliki kepedulian tersebut agar
dapat meletakkan dasar-dasar pengetahuan kepada peserta didik. Pada tatanan yang lebih tinggi
teknologi informasi dapat menunjang perkembangan, penguasaan, maupun kecintaan akan
teknologi informasi Berta memiliki landasan yang kuat untuk dikembangkan dalam masyarakat
Indonesia secara umum. Kalangan pendidik jangan ketinggalan dengan perkembangan teknologi
informasi, kalau tidak ingin dikatakan gaptek (gagap teknologi). Banyak unsur positif yang
ditimbulkan dari dukungan teknologi informasi, di antaranya dapat mempermudah hubungan
antarpersonal baik di lingkungan lembaga pendidikan maupun lingkungan masyarakat secara
umum. Contoh yang paling sederhana penggunaan telepon sekdar yang selama ini menggantikan
berbagai peran manual seperti kartu hari raya. Seseorang cukup mengirimkan pesan pendek
(Short Message ServiceISMS) untuk ucapan hari raya, ulang tahun, atau momen lain yang lebih
sederhana. Lebih jauh lagi saat ini penggunaan teknologi informasi melalui intranet atau internet,
meniudahkan para profesional bidang pendidikan yang memiliki tingkat mobilitas finggi.
Mereka memerlukan saran informasi internet, misalnya untuk melaksanakan I tigas mengajar
dengan e-learning. Di strata pendidikan tinggi seorang dosen bisa melaksanakan proses
pembelajaran dengan teleconfrence (tanpa harus Nadir di Icinpat kuliah) afau memeriksa hasil
tugas mahasiswa melalui e-mail untuk mempercepat proses evaluasi.

e.Pendidikan Agama, Moral, dan Budi Pekerti


Akhir-akhir ini kehidupan bangsa Indonesia banyak diwarnai oleh berbagai penyimpangan
perilaku yang keluar dari kaidah-kaidah agama, nilai-nilai moral, dan budi pekerti yang
dijunjung tinggi oleh budaya bangsa. Berbagai ketegangan mental akibat krisis ekonomi dan
akumulasi frustrasi sosial dari mass lalu ditambah dengan iklim keterbukaan yang terjadi sejak
bergulirnya ref6rmasi, telah memicu ledadinya berbagai masalah sosial yang frekuensi dan
intensitasnya belum pernah thalami sebelumnya oleh bangsa Indonesia. Hanya karena masalah
kecil seseorang melakukan pembunuhan dan berujung dengan kerusuhan massa. Pasta kerusuhan
massa selanjutnya dapat mengganggu stabilitas moral anak, seperti digambarkan oleh sebuah
media elektronik, di Maluku pasta kerusuhan menimbulkan perilaku anak dengan pola
bermainnya meniru kerusuhan yang terjadi dengan bentuk penggunaan senjata mainan. Hal ini
merupakan salah satu refleksi dari bentuk penyimpangan perilaku anak. Oleh karena itu, harus
segera diatasi dengan mengintensifkan pendidikan agama, moral, maupun budi pekerti agar
penyimpangan perilaku ini tidak berkelanjutan dan tid~k itierusak mass depan anak bangsa.

f. Pendidikan Multikultural dan Perdamaian


Keragaman etnik, bahasa lokal, dan tradisi budaya bangsa Indonesia merupakan kekayaan
yang sangat berharga apabila dapat dipelihara dan dimanfaatkan untuk memperkuat bangunan
bangsa ini sebagai bangsa yang berbudaya, atau keberagaman dalam satu atau kesatuan dalam
keberagaman. Keberagaman yang sesungguhnya dapat dijadikan petunjuk yang mendorong
kreativitas bangsa, proses pengayaan intelektual, dan pengembangan sikap yang toleran terhadap
perbedaan. Namur, karena tidak terdapat pengelolaan yang baik, akhir-akhir ini wacana budaya
yang kaya tersebut menjadi beban bahkan menjadi pemicu terjadinya berbagai tragedi nasional
dalam bentuk konflik horizontal antara kelompok masyarakat yang berbeda latar belakangnya,
yang selama ini populer dengan nama SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Akibat
konflik ini korban jiwa dan harts bends sudah tidak ternilai harganya. Bangsa Indonesia seolah-
olah harus mulai lagi dari awal untuk meletakkan kembali fondasi bangunan bangsanya yang
nyaris berantakan. Kerugian yang jauh lebih besar lagi sesungguhnya adalah retaknya rasa
persatuan dan kesatuan, rasa senasib dan sepenanggungan sebagai suatu bangsa yang utuh dan
kesadaran multicultural yang selama ini telah disemai. Pengalaman pahit tersebut memberikan
pelajaran yang sangat mahal harganya bagi bangsa Indonesia dalam upaya membangun mass
depan dan menggapai cita-cita nasional seperti yang tercantum dalam Mukadimah UUD 1945.
Dalam upaya membangun kembali bangsa yang majemuk ini maka pendidikan dituntut untuk
memainkan peranan yang strategis melalui pengembangan pendidikan multicultural dan
pendidikan perdamaian. Pads prinsipnya tujuan pendidikan ini bertujuan untuk mengembangkan
kesadaran untuk bersatu dalam keberagaman, bahwa perbedaan-perbedaan yang timbul
hendaknya diselesaikan dengan cars-cars yang beradab dan damai. Pada tatanan global yang
lebih lugs kesadaran ini jugs perlu menjangkau hubungan antarbangsa melalui pengembangan
Baling pengertian antarbangsa (antarnegara).

B. FAKTOR-FAKTOR YANG MENDUKUNGPENGEMBANGAN STRATEGI


PENDIDIKAN

Beberapa isu faktor-faktor strategis yang harus diperhitungkan dalam pengembangan


strategi pendidikan mass depan yang meliputi pembenahan struktural serta peningkatan kualitas
dan relevansi.

1. Pembenahan Struktural

a. Otonomi dan Akuntabilitas


Dalam dunia pendidikan tradisi untuk membentuk kualitas sebagai sesuatu yang
dikeramatkan. Akan tetapi, dewasa ini paradigms sudah berubah. Ada kecenderungan bahwa
pendidikan telah menjauh dari mistik sejalan dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat
akan akuntabilitas. Salah satu prasyarat untuk keberhasilan fungsi dan manajemen pendidikan
terletak pads adanya hubungan yang baik antara birokrat dan masyarakat secara keseluruhan.
Hubungan itu harus didasarkan atas prinsip-prinsip kebebasan akademik (academic freedom)
clan otonomi kelembagaan (institutional autonomy) yang sangat esensial bagi terpeliharanya
lembaga pendidikan sebagai sebuah komunitas yang memiliki kebebasan untuk mencari (free
inquiry), serta mampu menampilkan fungsi-fungsi kreatif, reflektif, dan kritis dalam masyarakat.
Sementara itu, pihak negara harus memainkan peran sebagai katalisator melalui aturan-aturan
yang dibuatnya (catalytic regulatory roles). Kemandirian lembaga pendidikan sendiri harus lebih
dikedepankan dengan memberikan keleluasaan untuk menyusun kurikulum pendidikan
berdasarkan potensi dan kompetensi masyarakat di wilayah geografis masing-masing tanpa
meninggalkan unsur-unsur kurikulum pokok central sebagai slat pemersatu bangsa.
b. Strategi Pendanaan
Telah menjadi sebuah fenomena yang meluas di setiap belahan dunia, bahwa tidak ads
pemerintah yang akan secara terus-menerus mengalokasikan sejumlah dana bagi dunia
pendidikan tanpa memperlihatkan akuntabilitasnya sebagai I crnbaga pendidikan yang memiliki
keunggulan yang didambakan oleh masyarakat licngguna jasa pendidikan. Dengan statusnya
yang otonom, lembaga pendidikan harus diberikan dukungan untuk lebih inovatif dalam
mengembangkan pendekatan baru dalam manajemen pendidikan dan proses belajar mengajar.
Pimpinan lembaga pendidikan harus mampu mengelola dana yang diperolehnya dan
menggunakannya sesuai dengan kebutuhan lembaga pendidikan yang bersangkutan, tanpa
intervensi pemerintah. Hal ini akan memberikan dorongan yang kuat kepada lembaga pendidikan
untuk mencari solusi terhadap permasalahan yang berkaitan dengan sistem pendanaan dengan
cars memanfaatkan aset yang dimiliki, menjajaki segala kemungkinan model penyaluran dana,
dan menarik mitra baru untuk membantu mengumpulkan sumber dana lain (Deetya, 1998).
Dukungan publik kepada lembaga pendidikan sangat penting tetapi lembaga pendidikan tersebut
dituntut untuk selalu berupaya mencari sumber-sumber dana alternatif. Lebih jauh lagi sernua,
pengguna jasa lembaga pendidikan termasuk siswa, orang tua, pemerintah, swasta, serta
komunitas lokal dan nasional harus bergabung menjadi satu untuk membantu proses pendanaan
lembaga pendidikan. Dengan demikian, tanggung jawab pendanaan lembaga pendidikan bukan
tanggung jawab satu-satunya lembaga pendidikan.

c. Sumber Daya Manusia


Sehat tidaknya kondisi lembaga pendidikan banyak tergantung kepada tenaga administratif,
tenaga pengajar, dan profesional (peneliti). Pengakuan terhadap para. tenaga administratif tidak
cukup hanya memberikan kesempatan untuk mengembangkan diri. Kontribusi tenaga pengajar
dan tenaga profesional (Pegawai Negeri Sipil/PNS) telah cukup menunjukkan tingkat
profesionalisme dan pengabdian yang tinggi (walaupun tingkatfunishment mereka belum
dihargai secara memadai oleh sistem insentif yang berlaku sekarang).
d. Diferensiasi
Tatkala lembaga pendidikan telah menjadi sesuatu yang massal, banyak pemerintahan di
dunia mengembangkan kebijakannya dengan menjadikan lembaga pendidikan lebih beraneka
ragam. Dalam hal ini telah terjadi diferensiasi maupun diversifikasi misi atau stratifikasi yang
harus dipandang sebagai cara lembaga pendidikan untuk merespons kekuatan pasar pengguna
jasa pendidikan yang memengaruhi terjadinya diferensiasi fungsional institusi, program-program
studi, dan kegiatan ekstrakurikuler.
Ada tiga pertanyaan yang diajukan oleh suatu lembaga studi Australia (Meek & Wood,1998)
dapat dijadikan sebuah acuan dalam merumuskan strategi pendidikan nasional, yaitu (1) sejauh
manakah sistem massal pendidikan dapat dikembangkan di Indonesia sesuai dengan kebutuhan
dan tuntutan dunia industri; (2) kebijakan dan mekanisme apakah yang paling cocok untuk
mencapai diversitas tersebut; (3) apakah yang akan menjadi kendala utama untuk
mengembangkan diversitas lembaga pendidikan tersebut.

2. Peningkatan Kualitas dan Relevansi


Berkenaan dengan kualitas clan relevansi, isu-isu strategic yang perlu diperhitungkan dalam
pengembangan strategi pendidikan nasional adalah sebagai berikut.

a. Peningkatan dan Penjaminan Kualitas


Akuntabilitas harus tercermin dalam kualitas lulusan lembaga pendidikan.Negara memiliki
tanggung jawab kepada, warga negaranya untuk menilai kapasitas sistem dan lembaga
pendidikan untuk merespons perubahan mendasar yang inungkin terjadi di masa depan. Indikator
yang sangat penting meliputi empat pertanyaan mendasar sebagai berikut.
1. Apa yang diperlukan dan diharapkan oleh masyarakat dari sebuah lembaga pendidikan,
baik negeri maupun swasta.
2. Faktor-faktor apa (ekonomi, demografi, teknologi, atau lainnya) yang akan memengaruhi
kebutuhan dan harapan masyarakat serta pemerintah terhadap lembaga pendidikan di
masa mendatang.
3. Seberapa jauh kinerja lembaga pendidikan sekarang dapat memenuhi kebutuhan dan
harapan masyarakat serta pemerintah dilihat dari program yang ditawarkan, aksesibilitas,
maupun kualitas.
4. Adakah kesenjangan antara kinerja lembaga pendidikan dengan kebutuhan masyarakat
serta opsi-opsi kebijakan apa yang tersedia untuk memperbaiki keadaan tersebut.

b. Keterampilan Menulis di Kalangan Tenaga pengajar


Keterampilan tenaga pengajar selain melaksanakan togas mengajar dituntut Pula untuk
membuat karya ilmiah sesuai dengankapasitas tugasnya sebagai guru atau dosen agar dapat
menciptakan kreativitas serta mengembangkan kompetensi yang dimilikinya sesuai dengan
tuntutan dunia pendidikan yang identik dengan budaya menulis. Selain itu, budaya menulis di
kalangan guru akan memacu setiap individu untuk selalu membaca berbagai jenis literatur
sehingga wawasan dan pola pikir (mindset) seorang guru akan selalu dinamis dan kreatif.
Dengan demikian, tlainpak secara signifikan akan memberikan motivasi kepada para siswa untuk
selalu melakukan budaya membaca dan siswa sedikitnya akan melihat hasil karya Itilis guru
yang dapat menjadi panutan di lembaga pendidikan tersebut.

c. Relevansi
Lembaga pendidikan dalam kaitannya dengan relevansi harus melihat peran thin tempat di
lingkungan masyarakat, fungsi pembelajaran, serta kaitannya dengan dunia bisms dalam
pengertian yang lebih lugs. Di camping itu, juga hubungannya dengan sumber dana yang
diperlukan, baik dana yang berasal dari pemerintah maupun masyarakat, dan interaksinya dengan
pendidikan dalam bentuk lain. Kebutuhan akan relevansi telah menclapatkan dimensi baru dan
semakin penting NeJa Ian dengan tuntutan perekonomian modern terhadap tersedianya lulusan
yang mampu secara terns-mencrus memperbarui pengetahuan, mempelajari keterampilan baru,
tidak hanya pencari kerja yang sukses, melainkan mampu menciptakan sendiri pekerjaan
(wirausaha) di tengah-tengah pasar tenaga kerja yang terusinencrus berubah. Isu tentang
relevansi juga sangat berkaitan erat dengan lulusan perguruan tinggi, pendidikan profesional,
pendidikan umum, pendidikan guru, dan kegiatan wirausaha. Partisipasi masyarakat dalam
pendidikan direfleksikan melalui keberadaan dunia pendidikan swasta, partisipasi masyarakat
lokal, Berta jaringan kelembagaan internasional.
d. Penyediaan dan Perluasan Akses ke Pendidikan Tinggi
Tersedianya akses yang luas ke jenjang pendidikan tinggi ditunjukkan dengan meningkatnya
jumlah mahasiswa dan adanya pemerataan akses antarkelompok masyarakat dan lokasi
geografis. Meskipun akses ke pendidikan dijamin oleh UUD 1945, terbatasnya dana yang
dimiliki pemerintah selalu merupakan kendala utama dalam mengimplementasikan amanat
konstitusi tersebut. Kendala lain bagi pendidikan bahwa prioritas harus diberikan kepada jenjang
pendidikan dasar yang sekarang dikenal dengan pendidikan dasar 9 tahun. Selama akses semua
anak yang berusia 7 15 tahun pendidikan dasar belum tercapai, artinya program wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun belum tuntas maka program pendidikan selanjutnya harus menerima
kenyataan untuk tidak mendapatkan prioritas dana dari pemerintah. Lebih lanjut mengenai aspek
kualitas pendidikan akan dibahas secara spesifik pada Bab 5 secara tersendiri.

3.Pengembangan Kapabilitas Pendidikan Nasional


Kapabilitas pendidikan nasional yang diharapkan di mass mendatang dapat memenuhi
tuntutan pasar yang membutuhkan lulusan lembaga pendidikan yang ada. Untuk mendukung
kapabilitas tersebut, diperlukan faktor-faktor yang mendasarinya, yaitu sebagai berikut.

a . Pengurangan Ketergantungan Pendidikan terhadap Pemerintah Pusat


Selama ini pengendalian pemerintah terhadap praktik pendidikan sangat kuat, tidak hanya
kepada institusi pendidikan negeri, melainkan juga kepada institusi pendidikan swasta, bahkan
kepada pendidikan berbasis masyarakat lainnya. Peranan birokrasi dalam pengelolaan
pendidikan sangat dominan yang berakibat pada terhambatnya kreativitas di tingkat bawah
(daerah, satuan pendidikan). Sejalan, dengan semangat reformasi, dilakukan desentralisasi dan
debirokratisasi dalam manajemen pendidikan. Melalui langkah ini maka daerah (melalui otonomi
pengelolaan pendidikan), sekolah (melalui manajemen pendidikan berbasis sekolah), dan
masyarakat (melalui pendidikan berbasis masyarakat) diharapkan lebih berdaya guns dalam
mengelola pendidikan sehingga ketergantungan kepada pemerintah berangsur-berangsur
berkurang. Pengurangan ketergantungan tidak berarti bahwa tanggung jawab pemerintah pusat
terhadap pendidikan menjadi lepas sama sekali sehingga seakan-akan hanya menjadi urusan
daerah dan satuan pendidikan. Kondisi yang diharapkan adalah adanya keseimbangan antara
kewenanganpusat, daerah, clan satuan pendidikan sesuai dengan kapasitasnya dengan oricntusi
Mama tersedianya layanan pendidikan yang semakin lids, bermutu, relevan, dan clapat menjamin
integrasi nasional.

b. Penyelenggaraan Pendidikan yang Demokratis, Akuntabel, dan Bermutu


Untuk mendukung terwujudnya masyarakat madam yang memiliki kesiapan clan
kemampuan untuk menghadapi berbagai tantangan pada era global, dunia pendidikan dituntut
untuk melakukan pembenahan yang mengarah pada terciptanya pendidikan yang lebih
demokratis, akuntabel, dan bermutu. Demokratis berarti bahwa proses pengambilan keputusan
pendidikan pada semua tingkatan semaksimal imingkin melibatkan lebih banyak pengguna jasa
pendidikan (stakeholder). Akuntabel berarti bahwa proses dan basil pendidikan dapat
dipertanggungjawabkan kepada semua pengguna jasa pendidikan. Bermutu berarti bahwa dari
proses pendidikan yang dijalaninya, peserta didik mendapatkan pengetahuan, sikap, nilai lebih
lanjut, atau hidup di tengah masyarakat. Pada tatanan mikro, pengelola satuan pendidikan
dituntut untuk memiliki kemampuan manajerial yang dilandasi oleh tanggung jawab profesional
sehingga kewenangan yang dimilikinya dapat benar-benar bermanfaat bagi lembaga pendidikan.

c. Kurikulum yang Mampu Membentuk Kepribadian dan Profesionalisme


Kurikulum yang dikembangkan dalam praktik pendidikan Selama ini lebih banyak
diorientasikan kepada pencapaian kemajuan akademik, padahal sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional, spektrum tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan lebih luas dari sekadar aspek
akademik. Dalam porsi yang besar, tujuan pendidikan meliputi pembentukan sikap, nilai, dan
keterampilan yang justru dewasa ini masih terabaikan yang pada gilirannya akan menjadi
penghambat tercapainya pembentukan kepribadian manusia seutuhnya.

d. Penerapan Filsafat Konstruktivisme


Suparno (1997) mengemukakan bahwa konstruktivisme adalah filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan seseorang merupakan suatu Basil konstruksi sendiri.
Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang secara
terus-menerus. Dalam proses itu aktivitas seseorang memainkan peranan yang sangat penting
dalam perkembangan pengewhuannya.Selanjutnya Battencourt, 1989 dan Matthews, 1994
menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada, melainkan
selalu merupakan akibat dari konstruksi kognitiftentang kenyataan yang diperoleh melalui
kegiatan yang dilakukan. Manusia mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksinya dengan
objck, fenomena, pengalaman, dan lingkungannya. Suatu pengetahuan dianggap benar apabila is
berguna untuk menghadapi clan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai.
Para konstruktivis menyatakan bahwa semua pengetahuan yang diperoleh seseorang
adalah konstruksinya sendiri. Para konstruktivis menolak secara prinsipil kemungkinan transfer
pengetahuan, dari seseorang kepada orang lain. Dengan demikian, bagi kaum konstruktivis
ticlaklah mungkin terjadi transfer pengetahuan karena setiap orang membangun pengetahuan
pada dirinya sendiri. Dalam hal ini subjek mencluduki tempat yang penting dalam perkembangan
pengetahuan. Mereka juga meyakini bahwa pengetahuan All ada dalam diri seseorang yang
seclang mengetahui. Sebagai implikasinya, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu Baja
dari otak seseorang (pengajar) ke kepala orang lain (siswa). Sebab siswa sendirilah yang harus
mengartikan apa yang diajarkan oleh pengajamya disesuaikan dengan pengalaman-pengalaman
para siswa itu sendiri (Lorrsbach & Tobin, 1992). Singkatnya para konstruktivis menegaskan
bahwa pengetahuan bukan sesuatu yang deterministik, melainkan suatu proses menjadi tabu.
Dapat disimpulkan bahwa menurut filsafat konstruktivisme:
(1) pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, melainkan
selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek;
(2) subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk
pengetahuan;
(3) pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang, dan struktur konsepsi
membentuk pengetahuan apabila konsepsi itu berlaku ketika berhadapan dengan
pengalaman.

e. Penerapan Pendekatan Rekonstruksi Sosial


Konstruktivisme sosial berpandangan bahwa pengetahuan merupakan hasil penemuan
sosial dan sekaligus juga merupakan faktor dalam perubahan sosial (Suparno, 1997). Sejalan
dengan All, Webb (1996) menyatakan bahwa teori pendidikan rekonstruksi sosial memiliki dua
terra utama, yaitu:
(1) masyarakat senantiasa memerlukan perubahan atau rekonstruksi;
(2) pendidikan harus berada di garis depan dalam rekonstruksi masyarakat.
Selanjutnya menurut Berger dan Luckman (1967), realitas dibentuk dan ditentukan
secara sosial bahwa cumber pengetahuan terletak pada realitas sehari-hari yang dialami oleh
seseorang bersama orang lain. Dunia ini nyata bagi "says" dan bagi orang lain. "Saga" tidak
berhenti berkomunikasi dengan orang lain. Pengetahuan sosial dibentuk dan ditransmisikan dari
sate generasi ke generasi berikutnya. Organisms berkembang secara biologic dalam hubungan
dengan lingkungannya. Dengan demikian, relasi memiliki fungsi yang sangat strategic bagi
pembentukan manusia. Proses sm-'orang menjadi manusia berada pada konteks interrelasi
dengan lingkungannya, baik lingkungan alami maupun manusiawi.
Dalam pengetahuan itu dapat dikatakar bahwa manusia ada hanya dalam relasi dengan
manusia lain. Manusia menghasilkan dirinya sendiri dan orang lain. Konstruksi sosial
mempertahankan bahwa pengetahuan ilmiah dibentuk dan dibenarkan secara sosial. Iklim,
suasana, kondisi, lingkungan, dandinamika pembentukan pengetahuan sangat penting.
Mekanisme psikologis individu dikesampingkan, sebaliknya mereka lebih mer.ekankan pada
lingkungan sosial yang mengartikan belajar sebagai suatu proses di mans peserta didik
mengonstruksikan pengetahuan dan makna personal berdasarkan pengalaman baru yang
dialaminya.
Prinsip-prinsip konstruktivisme yang dapat diambil untuk pengembangan kegiatan
pembelajaran ialah:
(1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, balk secara personal maupun sosial;
(2) pengetahuan tidak dapat dialihkan dari guru kepada siswa, tanpa aktivitas siswa itu
sendiri untuk menalar;
(3) siswa secara terus-menerus aktif mengonstruksikan realitas sehingga selalu terjadi
perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, Berta sesuai dengan konsep
ilmiah;
(4) tugas pengajar adalah membantu menciptakan situasi yang memungkinkan terjadinya
proses konstruksi oleh siswa.
f. Implikasi Konstruktivisme terhadap Proses Belajar
Beberapa implikasi dari filsafat konstruktivisme terhadap proses belajar adalah:
1. belajar berarti membentuk makna;
2. makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka amati;
3. konstruksi makna dipengaruhi oleh pengertian yang telah dimiliki oleh siswa;
4. konstruksi makna adalah proses yang terus-menerus;
5. belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih dari pengem-
bangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru;
6. proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu seseorang berada dalam
keraguan yang merangsang munculnya gagasan lebih lanjut sehingga
disequilibrium adalah situasi yang baik untuk memacu belajar;
7. hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dalam berhubungan dengan
lingkungan fisik dan sosialnya;
8. hasil belajar siswa tergantung pada apa yang telah diketahuinya, konsepkonsep,
tujuan, clan motivasi dalam mempelajari bahan yang dipelajari.

4.Desentralisasi Pendidikan
` Desentralisasi pendidikan sangat berpengaruh terhadap perkembangan lembaga
pendidikan yang ada di Indonesia. Hal ini akan memacu indikator yang sangat signifikan dalam
memenuhi kebutuhan lulusan yang memiliki kapabilitas sesuai dengan pasar tenaga kerja.
Beberapa indikator yang mendasari desentralisasi pendidikan adalah sebagai berikut.

a. Pengaturan Perimbangan Kewenangan Pusat-Daerah


Peraturan perimbangan kewenangan antara pusat clan daerah merupakan konsekuensi
logic dari UU No. 22 dan No. 25 Tahun 1999. Keluarnya kedua UU (crscbUt dan disusul dengan
PP No. 25/2000 mencerminkan adanya kemauan politik Pemerintah pusat untuk mengurangi
sentralisasi kekuasaan yang berlebihan di mass lampau. Untuk menghindari ekses dari
pengaturan baru ini maka berbagai pihak perlu dilibatkan dalam perumusan kebijakan
operasional otonomi daerah, khususnya dalam pengelolaan pendidikan yang meliputi aspek-
aspek kelembagaan kurikulum, sumber daya manusia, pembiayaan, clan sarana prasarana. Agar
pengelolaan pendidikan lebih efektif, implementasi dari kebijakan tersebut perlu disesuaikan
dengan kondisi daerah. Dalam beberapa tahun mendatang, upaya menuju desentralisasi
pendidikan difokuskan pada penataan kewenangan pusat clan daerah. Daerah perlu memiliki
peluang untuk mengembangkan pendidikan sesuai dengan kebutuhan clan potensi daerah.
Sementara itu, pusat mengurus halhal yang strategic pada tatanan nasional, yaitu pengembangan
kurikulum nasional, bantuan teknis, bantuan dana, monitoring, pembakuan mutu, pendidikan
moral dan karakter bangsa, dan pemberian kesempatan pendidikan kepada kelompok masyarakat
kurang beruntung. PP No. 25/2000 telah memberikan rambu-rambu tersebut, namun
pelaksanaannya sangat tergantung pada masing-masing daerah.

b. Manajemen Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan


Pendidikan dengan segala persoalannya tidak mungkin diatasi hanya oleh lembaga
persekolahan. Untuk melaksanakan program-programnya, sekolah perlu mengundang berbagai
pihak (keluarga, masyarakat, dan dunia usaha/industri) untuk berpartisipasi secara aktif dalam
berbagai program pendidikan. Partisipasi ini perlu dikelola dan dikoordinasikan dengan baik,
agar lebih bermakna bagi sekolah, terutama dalam meningkatkan mutu dan efektivitas
pendidikannya. Partisipasi masyarakat tidak seharusnya hanya dalam bentuk dana, melainkan
juga sumbangan pemikiran dan tenaga. Di saat krisis moneter tahun 1997 menghempas
perekonomian Indonesia, temyata pekerjaan sektor informal ataupun pekerjaan yang berbasis
keterampilan tidak ikut terpuruk. Ketika usaha bermodal besar berjatuhan, usaha-usaha bermodal
kecil justru hidup. Indonesia bisa bertahan hidup dari sektor usaha kecil menengah (UKM).
Dampak dari keadaan tersebut banyak orang menyerbu kursus-kursus praktis yang memberikan
keterampilan kerja siap pakai, dan siap dijadikan sebagai modal kerja mandiri.
Animo masyarakat terhadap pendidikan nonformal tidak bisa dikatakan kecil. Sekarang
di Indonesia tercatat sejumlah 22.510 lembaga kursus dan pelatihan. Sementara jumlah seluruh
perguruan tinggi (PT) di Indonesia hanya sekitar 3.000. Tidak semua orang memiliki dana yang
cukup untuk mengikuti kursus-kursus yang memberikan keterampilan khusus tersebut. Oleh
sebab itu, sejak tahun 1998 Dirjen Pendidikan Masyarakat mulai merintis pembentukan wadah
kegiatan belajar yang diberi nama Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang
menyediakan pendidikan formal dan nonformal secara gratis bagi warga masyarakat yang tidak
mampu. Masyarakat dapat memilih kegiatan berdasarkan kebutuhan yang ada di sebuah
komunitas masyarakat. Kegiatan PKBM terbagi dalam tujuh jenis, yaitu pendidikan yang
anggotanya dapat mempelajari berbagai hal melalui berbagaisumber meliputi guru, pelatih, nara
sumber teknis, kursus-kursus pelatihan, atau tetangga, teman, tetangga desa melalui observasi
atau kunjungan. Keterampilan kerja yang warganya dapat meningkatkan kemampuan kerja
mereka melalui pembelajaran dari tokoh masyarakat, nara sumber teknis, berbagai media
pendidikan, dan melalui kerja nyata di masyarakat. Kegiatan seperti ini memungkinkan warga
dapat meningkatkan pendapatannya sekaligus mendorong perbaikan landasan ekonomi
masyarakat. Begitu juga layanan informasi yang warga masyarakatnya dapat mengikuti kegiatan
belajar sepanjang hayat. Kegiatan ini meliputi membaca buku dari taman bacaan masyarakat
(TBM), mengunjungi pameran, membaca majalah dinding, mendengarkan program radio,
menyaksikan program televisi, atau mencari informasi dari internet. Rekreasi yang warganya
dapat mengikuti kegiatan permainan untuk meningkatkan daya pikir dan kesehatan badannya
meliputi latihan fisik, kompetisi olahraga, menari, menyanyi, drama, inclukis, dan merangkai
bungs. Semuanya di camping dapat menjalin kesatuan di antara warga masyarakat, kesehatan,
dan kebersihan, juga merupakan kegiatan di inana warga dapat mempelajari cars-cars
pencegahan penyakit, kesehatan dasar, dan gizi makanan yang lebih baik. Kegiatan peningkatan
kualitas hidup akan memberikan pengetahuan yang bermanfaat bagi warga masyarakat untuk
I)emcnuhan kebutuhan mereka. Kelompok ini meliputi perempuan, pemuda, orang ILM, dan
penyandang caeat. Kegiatan agama dan budaya dapat diikuti warga, pars pemuka masyarakat
atau ulama setempat dapat menularkan keahlian dan sifat bijak yang mereka miliki kepada
generasi berikutnya. Kegiatan ini akan memberikan kontribusi terhadap pendidikan secara
berkelanjutan melalui pemanfaatan pengetahuan yang telah ada di masyarakat dan sekaligus
membuka kesempatan bagi setiap orang untuk menggagas, membuat keputusan, dan bertindak
menuju pemberdayaan masyarakat.

c. Penguatan Kapasitas Manajemen Pemerintah Daerah


Sebelum diberlakukan otonomi daerah, kewenangan pcmerintah daerah dalam inciigelola
pendidikan terbatas untuk tingkat sekolah dasar. Jenjang pendidikan (SUP, SLTA, perguruan
tinggi) ditangani oleh Departemen Pendidikan Nasional. Dengan berlakunya otonomi daerah
maka pcmerintah daerah menangani mebagian besar urusan pendidikan, mulai dari tingkat dasar
hingga menengah, bahkan milLik tingkat provinsi juga meliputi sebagian urusan pengelolaan
perguruan tinggi. Perluasan wewenang pcmerintah daerah ini menuntut kapasitas yang lebih
tinggi dari pcmerintah daerah untuk mengelola pendidikan. Hingga tingkat tertentu
mesungguhnya pcmerintah daerah melalui Dinas Pendidikan telah cukup memiliki modal
kemampuan untuk mengemban tugas-tugas baru. Hal ini disebabkan Dinas Pendidikan yang
mendapat togas mengelola pendidikan merupakan fungsi dari kantor Diints Pendidikan Nasional
dan Kandep/Kanin/Kanwil Diknas yang ada sebelumnya. Oleh sebab itu, yang diperlukan adalah
penguatan kapasitas pemerintah daerah atau dinar pendidikan untuk mengelola pendidikan di
daerahnya. Dalam upaya ini, pusat dapat ikut berperan membagikan kemampuannya kepada
daerah, Sementara daerah sendiri membuka akses yang lebih lugs dengan institusi pendidikan
(tinggi) yang ada di daerahnya.
Pelaksanaan otonomi daerah dalam pengelolaan pendidika

d. Pendayagunaan Bersama Sumber Daya Pendidikan


Yang dilakukan seiring dengan manajemen pendidikan berbasis sekolah dan pendidikan
berbasis masyarakat harus mencegah terjadinya perkembangan yang mengarah pada egoisme
sempit di kalangan pengelola dan pelaku pendidikan. Misalnya, dengan hanya mementingkan
daerahnya, sektomya, atau sekolahnya sendiri. Otonomi daerah juga harus mampu mencegah
terjadinya sentralisasi barn pengelolaan pendidikan di daerah yang mengabaikan peran serta
masyarakat dan pemberdayaan sekolah dalam mengambil keputusan. Apabila hal itu yang terj
ada, perubahan positif yang diinginkan dari otonomi daerah tidak akan tercapai. Dalam upaya
mencapai tujuan otonomi daerah, tidak dapat dihindari adanya kebutuhan dan kepentingan
bersama antara sektor, satuan, dan pelaku pendidikan di daerah. Oleh karena itu, dibutuhkan
strategi pendayagunaan bersama sumber daya pendidikan (resource sharing policy) yang
spektrumnya bisa antarwilayah, antarsekolah, antarperguruan tinggi, antarsektor, bahkan
antarpemerintah daerah, keluarga, dan kelompok masyarakat. Strategi ini dapat memberikan
banyak manfaat, antara lain;
(1) memungkinkan terjadinya kerja sama yang sinergis antara potensi pendidikan di
daerah,
(2) mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pendidikan,
(3) membatasi terjadinya disparitas akses dan mutu yang terlalu besar;
(4) menghidupkan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya rasa kebersamaan, persatuan,
dan kesatuan.
e. Hubungan Kemitraan antara Stakeholder Pendidikan
Strategi pendayagunaan bersama sumber daya pendidikan perlu dikembangkan menjadi
hubungan simbiotik antara pemerintah, politisi, penyelenggara pendidikan, pemerhati
pendidikan, Lembaga Sosial Masyarakat, dan yayasan-yayasan. Hubungan simbiotik diharapkan
mampu mendorong perkembangan pendidikan. Sementara itu, di kalangan para pengguna jasa
pendidikan dikembangkan kesadaran untuk tidak mengambil keuntungan financial dari
pendidikan. Di ramping itu, penyelenggara pendidikan yang mendapatkan dana dari
penyelenggaraan pendidikan didorong untuk menggunakan semua pendapatan untuk investasi
bagi peningkatan mutu. pendidikan. Hubungan simbiotik tersebut perlu difasilitasi dengan tiga
strategi berikut.
Pertama, dikembangkan wadah yang memungkinkan banyak pihak saling bertemu,
berdiskusi, dan membangun komitmen bersama. Wadah tersebut berfungsi melembagakan
hubungan simbiotik tersebut sehingga hubungan itu tidak hanya terjadi secara incidental,
melainkan secara berkelanjutan.
Kedua, dilakukan regulasi yang mempunyai kekuatan hukum, mengatur kewenangan dan
kekuasaan pemerintah, masyarakat, dan orang tua siswa. Regulasi ini apabila perlu juga
mengatur sanksi atas pelanggaran dan penyimpangan. Dengan regulasi ini pemerintah tetap
memainkan peranan yang strategic dalam penyelenggaraan pendidikan pada era otonomi daerah.
Ketiga, dikembangkan upaya-upaya untuk memotivasi orang tua, masyarakat, Serta yayasan
penyelenggara pendidikan untuk menjalin hubungan sinergis dan saling menguntungkan dengan
pemerintah. Bentuk wadah bersama tersebut dapat berupa organisasi formalstruktural atau
organisasi informal yang lebih bersifat fungsional, misalnya;
(1) Majelis Wali Amanat menurut PP No. 61/1999 yang di dalamnya ada unsur
pemerintah dan nonpemerintah,
(2) dewan pendidikan atau majelis sekolah yang mengakomodasikan berbagai pemilik
sumber daya pendidikan,
(3) forum masyarakat untuk pengembangan pendidikan sebagaimana pernah dirintis oleh
royek Coplaner pada tingkat kecamatan yang terbukti sangat efektif. Dengan wadah
bersama tersebut dapat dihasilkan kesepakatan atau kebijakan mengenai berbagai hal,
misalnya
(1) pemberdayaan pendidikan moral, budi pekerti, dan agama;
(2) pembiayaan pendidikan yang adil, transparan, berpihak kepada yang lemah;
(3) pengendalian mutu pendidikan.

f. Pengembangan Infrastruktur Sosial


Modal uang, dana, teknologi, dan sumber daya manusia sangat penting dalam
penyelenggaraan pendidikan, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah modal sosial (social
capital) dalam bentuk infrastruktur sosial yang kuat. Sebagai ilustrasi, gejolak politik dan
ekonomi di Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan Malaysia tidak banyak menggoyahkan sendi-
sendi kehidupan di negara-negara tersebut disebabkan oleh adanya infrastruktur sosial yang
sangat kokoh. Dalam konteks Indonesia, reformasi yang sedang berjalan memberikan peluang
untuk mengokohkan infrastruktur sosial. Ada empat pilar dasar infrastruktur sosial yang kuat,
yakni:
(1) tegaknya moral hukum,
(2) diterapkannya kebijakan untuk mengartikulasikan prinsip bhinneka tunggal ika,
(3) dikembangkanfiya kebijakan berbasis masyarakat, dan
(4) dikembangkannya sektor ekonomi rail, bukan ekonomi portfolio.
Masyarakat perlu memiliki sifat dan sarana tertentu yang memungkinkan terjadinya
kehidupan yang dinamis menuju tingkat perkembangan yang lebih tinggi sesuai dengan nilai-
nilai yang universal dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Di antara modal sosial pendidikan
dapat berperan aktif dalam pembentukannya dan pendidikan dapat memanfaatkannya, yaitu ;
(1) sikap saling percaya (mutual trust),
(2) sikap yang secara tepat menerapkan sikap kooperatif dan prinsip kompetitif,
(3) bhinneka tunggal ika yang sesuai dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang
multikultural seperti Indonesia.
Sementara ini modal sosial yang lebih penting adalah adanya infrastruktur sosial yang
mendukung penyelenggaraan pendidikan. Dengan dukungan pranata sosial yang selektif,
masyarakat memiliki kapabilitas yang lebih kuat dan dapat diberdayakan. dinar pendidikan
untuk mengelola pendidikan di daerahnya. Dalam upaya ini, pusat dapat ikut berperan
membagikan kemampuannya kepada daerah, Sementara daerah sendiri membuka akses yang
lebih lugs dengan institusi pendidikan (tinggi) yang ada di daerahnya.
5. Akuntabilitas Pendidikan
Agar lembaga pendidikan memiliki keunggulan dan dapat diterima oleh pengguna jasa
pendidikan, perlu menerapkan berbagai kriteria pendukungnya sebagai berikut.

a. Penerapan Manajemen Mutu Terpadu (TQM) Bidang Pendidikan


Sejalan dengan tuntutan nasional dan global, pendidikan harus mampu menghasilkan
sumber daya manusia yang bermutu. SDM yang bermutu tidak mungkin dapat diraih tanpa
adanya pengendalian mutu terpadu yang dilaksanakan melalui penerapan manajemen mutu
terpadu (total quality management/TQM) dalam pendidikan secara konsisten. Untuk mencapai
tujuan tersebut, TQM yang paling penting justru terjadi pads ruang lingkup satuan pendidikan
sebagai Ujung tombak dalam upaya peningkatan mute pendidikan, yang disebut oleh Arcaro
(1995) dengan Total Quality School (TQS). la menyebutkan lima pilar TQS, yaitu (1) terfokus
pads customer (pengguna jasa pendidikan), (2) adanya keterlibatan total dari semua unsur (total
involvement), (3) adanya ukuran tertentu (standard), (4) adanya komitmen, (5) adanya perbaikan
yang berkelanjutan (continuous improvement). Kelima pilar ini dilandasi oleh empat unsur,
yakni keyakinan (beliefs), kepercayaan (trust), kerja sama (cooperation), dan kepemimpinan
(leadership).

b. Penerapan Profesionalisme Manajemen Pendidikan


Salah satu faktor yang menyebabkan mutu pendidikan belum menggembirakan adalah
profesionalisme manajemen pendidikan yang masih rendah. Hal ini berkaitan dengan banyak
faktor, yang paling penting antara lain adalah masih lemahnya komitmen birokrat dan pengelola
pendidikan untuk mencapai keunggulan serta kurangnya kecakapan mereka dalam mengelola
pendidikan dengan spectrum tugas maupun rhasalahnya yang semakin kompleks. Sementara itu,
masih banyak di antara mereka yang tidak memiliki latar belakang disiplin ilmu pendidikan dan
pengalaman dalam mengelola pendidikan. Untuk mengefektifkan implementasi program
pendidikan, prinsip-prinsip profesionalisme dalam manajemen pendidikan harus diterapkan.
Oleh karena itu, para pengelola pendidikan dituntut untuk terusmenerus meningkatkan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam mengelola pendidikan. Pengelola pendidikan tidak
cukup hanya bermodalkan kemauan atau kepercayaan yang dibebankan kepadanya, melainkan
jugs harus menguasai ilmumanajemen pendidikan secara profesional sehingga keberadaan dunia
pendidikan dapat diandalkan sebagai sebuah harapan yang akan mewujudkan tujuan pendidikan
nasional mencetak manusia yang memiliki moral dan etika di camping pengetahuan dan
keterampilan yang memadai untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Di samping itu,
peningkatan terhadap pemahaman manajemen pendidikan bagi para profesional lembaga
pendidikan perlu ditingkatkan, baik melalui pendidikan formal, pelatihan, maupun simulasi
dalam kegiatan sehari-hari. Pemahaman manajemen pendidikan bukan hal yang mudah karena
hal ini memerlukan proses yang cukup panjang, terutama melalui pengalaman masing-masing
individu dalam mengelola lembaga pendidikan yang sangat bervariasi. Untuk itu dalam
mengimplementasikan manajemen pendidikan dituntut keuletan dan keterampilan yang sangat
fleksibel.

c. Peningkatan Kesejahteraan dan Penerapan Sistem Pengembangan Karier Guru


Sebagaimana kita ketahui, karier guru selama ini hampir tidak kelihatan padahal posisi guru
memiliki peran kunci dalam menentukan tingkat keberhasilan pendidikan. Sayangnya perhatian
terhadap mereka masih jauh dari harapan saat ini. Tingkat kesejahteraan mereka masih sangat
rendah dan tidak sesuai dengan beban tugas~ydhg dipikulnya sementara sistem pengembangan
karier mereka juga tidakjelas. Hal yang lebih memprihatinkan adalah mereka kerapkali
mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari birokrasi. Misalnya mereka diperlakukan seakan-
akan pekerja kantoran biasa (harus mondar-mandir mengikuti rapat, latihan barisberbaris, atau
mengenakan pakaian hansip), adanya pemotongan gaji mereka yang kecil, dan sulitnya
mengurus kenaikan pangkat yang menjadi haknya. Sejalan dengan semangat untuk memajukan
dunia pendidikan nasional, sudah saatnya jika solusi terhadap masalah-masalah yang dihadapi
oleh para guru tersebut mendapatkan prioritas sehingga harkat dan martabat guru semakin baik
dan layak. Hal ini diyakini bahwa langkah-langkah tersebut akan mampu mendorong
peningkatan mutu pendidikan secara terpadu. Untuk menunjang peningkatan mutu pendidikan
yang sudah lama didambakan, diharapkan semua unsur yang terkait dalam dunia pendidikan
memiliki sikap dan tindakan yang sama, berjuang untuk memperbaiki sistem dan perangkat
organisasi pendidikan menjadi sebuah kesatuan yang dapat berjalan secara harmonic dalam
mencapai tujuan pendidikan nasional. SIM pendidikan diharapkan mampu menjembatani semua
permasalahan yang dihadapi dalam proses peningkatan kesejahteraan dan sistem pengembangan
karier guru demi terwujudnya keberhasilan pendidikan di mass mendatang. Misalnya
inerigumpulkan semua data tenaga pengajar/guru dari mulai tingkat sekolah dasar sampai
perguruan tinggi. Selanjutnya, data tersebut diolah menjadi sebuah kumpulan data yang akan
dijadikan dasar pengambilan keputusan dalam menentukan jenjang karier tenaga pengajar. Hal
ini menyangkut kapan ia harus mengumpulkan angka kredit untuk kenaikan pangkat, kapan ia
akan dipromosikan menjadi wakil kepala sekolah, kapan dipromosikan menjadi kepala sekolah,
atau kalau memungkinkan dari fungsional seorang guru mampu meningkatkan kemampuan
sampai ke jenjang struktural yang lebih tinggi seperti kepala dings atau kepala kantor wilayah
Departemen Pendidikan Nasional. Hal ini diyakini akan menjadi motivasi bagi tenaga pengajar
untuk meningkatkan kinedanya di samping dapat meningkatkan kualitas keterampilannya.
Dengan demikian, diharapkan output pendidikan masa yang akan datang dapat berhasil sesuai
dengan yang diharapkan.

d. Penegakan Legalitas Penyelenggaraan Pendidikan


Dalam praktik operasional pendidikan dewasa ini masih dijumpai sejumlah institusi
pendidikan yang diragukan legalitasnya. Apalagi dengan semakin meningkatnya kecenderungan
pads sebagian anggota masyarakat untuk menj adikan institusi pendidikan sebagai lahan yang
potensial untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memiliki komitmen terhadap
mutu dan pemahaman yang cukup tentang tradisi akademik. Yang terjadi saat ini adalah
persaingan yang tidak fair dalam dunia kerja. Banyak sekali lulusan pendidikan benar-benar
memiliki legalitas yang dapat dipertanggunglawabkan, terhambat dengan secarik ijazah tanpa
mempertimbangkan legalitas dan kemampuan nyata dari lulusan yang bersangkutan. Fenomena
ini sangat mencolok tertiUma pads tingkat perguruan tinggi dengan semakin menjamurnya gelar
kesarjanaan yang dipedualbelikan tanpa ada tindakan tegas dari pihak yang berwenang. Untuk
itu dalam upaya memantapkan sistem pendidikan nasional, penegakan aspek-aspek legal dari
penyelenggara pendidikan perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Hal ini
sekaligus untuk memberikan jaminan kualitas kepada masyarakat dan memastikan bahwa proses
pendidikan tidak dianggap sepele. Di pihak lain, banyak pendidikan tinggi swasta yang
menyelenggarakan pendidikan dengan legalitas yang sudah diberikan oleh Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi diberitakan di media massa tidak memiliki legalitas. Padahal lembaga tersebut
cukup banyak merekrut mahasiswa dan mencetak lulusan. Akan tetapi, bahkan sudah menjadi
bagian dari unsur pendidikan (pegawai negeri sipil). Dampak yang memprihatinkan lebih jauh
dari isu yang terjadi, banyak sekali lulusan perguruan tinggi yang sudah menjadi pegawai negeri
sipil tidak dapat menggunakan ijazah untuk meningkatkan jenjang kariernya dengan alasan
ijazah yang diperolehnya dari perguruan tinggi tidak diakui oleh Departemen pendidikan
Nasional. Dalam hal ini standar legalitas sistem pendidikan yang dikeluarkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional masih belum jelas.

e. Optimalisasi Kinerja Lembaga Akreditasi Pendidikan


Adanya klasifikasi institusi pendidikan (dasar, menengah, tinggi) dewasa ini merupakan
hasil kerja lembaga akreditasi pendidikan. Pada tingkat pendidikantinggi, lembaga ini bernama
Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) yang relatif telah cukup mantap
melakukan akreditasi terhadap ratusan program studi dan jurusan di perguruan tinggi. Hasil kerja
lembaga akreditasi ini telah memberikan kejelasan tentang status suatu institusi pendidikan dan
membantu masyarakat untuk menentukan pilihan. Namun masih dijumpai praktik dan hasil
akreditasi yang masih diragukan keabsahannya, yang ditunjukkan oleh status akreditasi yang
diperoleh institusi pendidikan tidak sepenuhnya sesuai dengan keadaan yaAg sebenamya. Agar
memberikan hasil akreditasi yang lebih kredibel, lembaga akreditasi pendidikan masih perlu
diperbaiki dan dibenahi secara proporsional. Perbaikan ini terutama meliputi identifikasi
terhadap indikatorindikator mutu yang dapat diukur, prosedur kerja, pendanaan, manajemen, dan
kemampuan penilai dalam mendeteksi indikator-indikator yang paling signifikan untuk
menentukan status akreditasi suatu lembaga pendidikan. Berdasarkan informasi bahwa akreditasi
institusi pendidikan dari Departemen Pendidikan Nasional saat ini sudah tidak diperlukan lagi,
mengingat yang menilai kualitas sebuah institusi pendidikan adalah masyarakat. Akhimya,
Departemen Pendidikan Nasional menyerahkan penilaian kualitas institusi pendidikan kepada
masyarakat pengguna jasa pendidikan tersebut.
C. MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI PENDIDIKAN NASIONAL
Tanggal 2 Mei telah menjadi sebuah momentum yang tepat untuk mengenang bagaimana
dahulu Ki Hajar Dewantara dengan tulus mendirikan sekolah Taman Siswa. Beliau sama sekali
tidak memikirkan bahwa akan meraup keuntungan finansial dari sekolah itu untuk menopang
hidupnya apalagi untuk hidup mewah dari kegiatan pembelajaran. Beliau hanya punya keinginan
masyarakat ini menjadi pintar sehingga terbebas dari berbagai bentuk penjajahan. Setelah hampir
satu abad berlalu, tampaknya pendidikan masih menjadi persoalan kompleks yang belum juga
menemukan solusi tepat menuju ke arah yang lebih baik. Saat ini titik awal perbaikan pendidikan
masih menjadi bahan perdebatan yang tidak kunjung selesai bagi pars ahli pendidikan. Setelah
polemik Undang-Undang Sistem pendidikan Nasional selesai, kini hangat dibicarakan perlu-
tidaknya Ujian Akhir Nasional (UAN). Mereka terus memperdebatkan hal ini sementara kualitas
lulusan pendidikan secara nasional terus menurun di tingkat dunia, bahkan Asia.
Tampaknya keberpihakan politik bangsa hingga saat ini belum tertuju pads sektor investasi
sumber days manusia. Hal ini disinyalir oleh kalangan perguruan finggi, seperti pihak
Universitas Gadjah Mada (UGM), yang menyatakan bahwa dalam momentum Pemilihan Umum
Tahun 2004 akan menentukan siapa yang akan menjadi pimpinan bangsa. Proses pemilihan
umum yang diwamai berbagai pro dan kontra juga menjadi salah satu kendala yang dihadapi
sebagai konspirasi politik dari berbagai partai politik yang ada. Sampai saat ini belum ada satu
partai politik dan kandidat presiders yang berjanji memperbaiki kondisi pendidikan nasional. Hal
ini menunjukkan betapa memprihatinkan kondisi pendidikan kita. Bahkan, pars calon pemimpin
negara juga kurang peduli terhadap nasib masa depan bangsa.,Perkembangan dunia pendidikan
nasional sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal.

1. Faktor Internal
Faktor internal yang memengaruhi kondisi pendidikan meliputi hal-hal berikut.

a. Dampak Manajemen yang Sentralistik


Meskipun banyak keberhasilan yang telah dicapai dunia pendidikan dalam membuka akses
yang lebih luas, upaya untuk mengembangkan satu sistem pendidikan nasional telah
menimbulkan akibat-akibat yang negatif Secara perlahan namun pasti, kecenderungan tentang ter
adinya sentralisasi yang berlebihan (over centralization) pads pemerintah pusat telah dirasakan
hampir pads semua aspek manajemen pendidikan. Beberapa prakarsa yang mengarah pads
reformasi manajemen pendidikan di masa lalu terhenti di tengah jalan karena tidak tercapai
kesepakatan kapan langkah itu harus dimulai. Dalam banyak kasus adanya ketidakpercayaan
timbal balik antara otoritas pusat di satu pihak dengan pihak daerah menjadi kendala utama.

b. Mekanisme Pendanaan oleh Pemerintah


Dana pendidikan yang bersumber dari pemerintah disediakan melalui alokasi
langsung dan mekanisme kompetitifuntuk proyek-proyek investasi, alokasi tambahan
untuk anggaran rutin, dan usulan kegiatan yang didasarkan atas pendapatan lembaga
pendidikan. Dewasa ini sebagian besar proyek investasi disediakan untuk alokasi
langsung yang biasanya memiliki ciri-ciri tujuan kegiatannya ditetapkan oleh pusat,
bersifat top-down, cakupannya sektoral atau terpilah-pilah,
dinegosiasikan dengan pusat, berbasis masukan, dan implementasinya kaku. Di
samping itu, menurut As'ad Nugroho, 2004, keterpurukan dunia pendidikan kita
tidak terlepas dari adanya iklim liberalisasi sektor kehidupan yang ditawarkan ideologi
kapitalisme. Dengan jurus swastanisasi segala sektor kehidupan telah membawa
sebagian tanggung jawab pendidikan sebagai urusan swasta. Akibatnya, arus
komersialisasi mulai merambah dunia pendidikan. Banyak sekolah swasta yang
dikelola Secara business like, semata-mata karena untung rugi. Kemudian banyak
perusahaan membuka unit bisnisnya dengan bisnis pola pembelaj aran. Pada akhir
tahun 1990, arus komersialisasi ini mulai merambah dunia perguruan tinggi. Bahkan
beberapa perguruan tinggi negeri dialihkan statusnya menjadi badan hukum milik
negara. Implikasi yang paling signifikan dari perubahan ini adalah adanya otonomi
keuangan. Hal ini memungkinkan perguruan tinggi bebas mengelola keuangannya
karena pemerintah akan mengurangi subsidi terhadap perguruan tinggi tersebut, Dengan kondisi
seperti ini, cars yang paling mudah untuk perguruan tinggi adalah menaikkan berbagai biaya dari
mahasiswa. Bahkan ada mahasiswa yang harus rela membayar hingga puluhan juta untuk bisa
masuk ke salah satu fakultas favorit.
Komersialisasi pendidikan sekarang sangat dirasakan oleh masyarakat mulai dari
prasekolah, sekolah dasar (SD), sekolah lanjutan tingkat pertama (SUP), maupun sekolah
menengah umum (SMU). Sebagai salah satu fakta yang terungkap dari hasil penelitian Lembaga
Konsumen Jakarta yang dilakukan antara bulan FebruariMaret 2004 (Iram dkk., 2004) di sekitar
40 SD swasta di wilayah Jabotabek, menunjukkan betapa mahalnya biaya yang hares ditanggung
masyara-kat. Jenis biaya yang harus dikeluarkan orang tea agar anaknya bisa sekolah sangat
beragam, mulai dari biaya pendaftaran, uang pangkal, SPP, uang seragam, uang buku, uang
kegiatan, dan sebagainya. Dengan besaran yang bervariasi, sekolah swasta telah memberi
saringan ekonomis yang sangat ketat sehingga hanya masyarakat kelas tertentu yang bisa
menikmati bangku sekolah tersebut. Dari 40 SD tercatat ada salah satu sekolah yang memungut
uang pangkal hingga Rp 27,5 juta per siswa. Sedangkan SPP tertinggi yang dikenakan ada yang
mencapai Rpl juta per bulan diperhitungkan dengan berbagai pembayaran lainnya.
Secara kumulatif untuk menyelesaikan sekolah dasar selama enam tahun, sebuah sekolah
ada yang menetapkan biaya hingga Rp301.637.500,00. Sedangkan rata-rata kebutuhan biaya
siswa menyelesaikan enam tahun pendidikan dasarnya dari 40 SD yang diamati, diperoleh angka
Rp30.971.851,00, betapa jumlah yang sangat besar untuk menyelesaikan SD di Jakarta. Dalam
hal ini pemerintah dirasakan sama sekali belum optimal membuat aturan penetapan biaya
penyelenggaraan pendidikan. Sepertinya pemerintah membebaskan pendidikan dijadikan lahan
bisnis, tanpa mempertimbangkan unsur keterjangkauan masyarakat dan pemerataan pendidikan.
Misalnya, membuat standar antara biaya yang dikenakan dengan fasilitas yang harus disediakan
oleh sebuah lembaga pendidikan atau kebijakan pemerataan akses untuk kalangan masyarakat
yang tidak mampu.
Berdasarkan pengamatan, pemerintah hanya menyerahkan semua mekanisme ini kepada
pasar dan sama sekali tidak ada proteksi untuk masyarakat yang kurang mampu. Jika ada sedikit
keberpihakan pemerintah terhadap dunia pendidikan banyak strategi yang bisa dilakukan.
Misalnya dalam bisnis properti, pemerintah iiiemperbolehkanpengembang membangun rumah-
rumah mewah tetapi mewajibkan membangun rumah sangat sederhana bagi masyarakat kelas
bawah. Berdasarkan pengamatan, pemerintah hanya menyerahkan semua mekanisme ini kepada
pasar dan sama sekali tidak ada proteksi untuk masyarakat yang kurang mampu. Jika ada sedikit
keberpihakan pemerintah terhadap dunia pendidikan banyak strategi yang bisa dilakukan.
Misalnya dalam bisnis properti, pemerintah iiiemperbolehkanpengembang membangun rumah-
rumah mewah tetapi mewajibkan membangun rumah sangat sederhana bagi masyarakat kelas
bawah. misalnya kewajiban menyediakan 20% fasilitas bagi masyarakat tidak mampu. bisa juga
dilakukan upaya pemerataan dengan jalan mewajibkan sebuah lembaga pendidikan mahal
membangun sekolah murah di tempat lain dengan kualitas pembelajaran yang tidak berbeda
(Koran Tempo, Mei 2004).
c. Manajemen dan Organisasi
Lembaga pendidikan di bawah naungan Depdiknas harus tunduk pada peraturanperaturan
yang berlaku secara seragam untuk semua lembaga pendidikan. Kebijakan seperti ini telah
menimbulkan banyak pengaruh negatif terhadap kehidupan lembaga pendidikan. Banyak tenaga
pengajar/guru ramai-ramai mencari penghasilan tambahan di luar kegiatan utamanya karena
kurangnya insentifyang diterima. Ketidakmampuan lembaga pendidikan dalam memberikan
insentif tambahan yang berprestasi akibat kurangnya akuntabilitas dan sustainabilitas serta
kecenderungan penetapan tujuan yang tidak realistik.

d. Sumber Daya Manusia


Meskipun usaha untuk meningkatkan mutu tenaga pendidikan terns dilakukan, secara
umum kualifikasi pendidikan para guru/dosen di Indonesia masih belum memadai. Di camping
suasana akademik belum memuaskan dan mutu staf administrasi pendidikan masih jauh dari
memadai untuk mendukung tuntutan togas administrasi pendidikan di setiap lembaga pendidikan
yang ada.

2. Faktor Eksternal
Sedangkan faktor eksternal yang memengaruhi sistem pendidikan nasional adalah sebagai
berikut :

a. Globalisasi
Bersamaan dengan kemajuan teknologi informasi, globalisasi telah membawa paradigma
baru dalam lingkungan pendidikan nasional berkenaan dengan penyelenggaraan proses
pendidikan nasional yang dewasa ini sedang mengalami transformasi menjadi lebih
komprehensif dan multidisipliner. Manakala perubahan terjadi dalam suatu masyarakat,
pimpinan baru muncul di berbagai lembaga pendidikan yang membawa semangat keilmuan yang
mantap. Hal ini menjadi ciri dari pembaharu dunia pendidikan yang muncul saat perubahan besar
sedang, berlangsung.
b. Perkembangan Ekbnomi Nasional
Dalam periode pemulihan ekonomi pascakrisis, strategi perkembangan ekonomi nasional
sangat kuat dikendalikan oleh Lembaga Moneter Internasional, yaitu IMF. Dunia pendidikan
harus tampil cermat mengamati dan memantau perkembangan ekonomi nasional agar secara
terus-menerus dapat meningkatkan relevansinya.

c. Politik
Meskipun sebagian masyarakat meragukan kemampuan pemerintah untuk melakukan
reformasi struktural, pemerintah yang legitimate sekarang mempunyai potensi besar untuk
membawa bangsa melewati periode yang sulit. Memulai suatu arah atau langkah baru, seperti
memperkenalkan paradigma baru dari sistem pendidikan, memerlukan kemampuan untuk
meyakinkan para elite strategic di lingkungan birokrat, kelompok-kelompok yang
berkepentingan, dan masyarakat umum lainnya tentang pentingnya arah baru yang akan
ditempuh. Pendidikan sebagai salah satu alai untuk mempersatukan bangsa ini diharapkan
berkiprah banyak dalam menggalang persatuan terutama dalam mewujudkan tujuannya, yaitu
meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa.

d. Sosial Budaya
Merton memperkenalkan suatu paradigma yang dikenal dengan paradigma Merton untuk
komunitas pendidikan, yang terdiri atas universalisme, komunalisme, tanpa pamrih
(disinterestedness), dan skeptisisme terorganisasi (organized skepticism). Akan tetapi, dengan
terjadinya pergeseran dari ilmu-ilmu dasar ke ilmuilmu terapan atau dari penekanan pada
kegunaan ilmu ke aktivitas perekonomian nasional dewasa ini, paradigma Merton dianggap tidak
lagi memadai.
Norma lain yang baru ditambahkan kepada dunia pendidikan, yaitu spesifisitas,
praktikalitas, dan kepatutan (Slaughter & Lislie, 1997). Strategi pendidikan di Indonesia sudah
sepatutnya mengadopsi dan mengadaptasi konsep tersebut. Akan tetapi, pada saat yang sama
strategi pendidikan jugs harus mampu menghindarkan diri dari sematamata meniru budaya yang
secara historic acing bagi dunia pendidikan di Indonesia.

e. Teknologi
Saat ini kita menyaksikan era kemajuan teknologi yang sangat cepat yang belum pernah
dialami sepanjang sejarah peradaban manusia. Misalnya siklus pendidikan tinggi adalah empat
tahun untuk tingkat strata satu (S-1/undergraduate program). Sementara itu, perubahan teknologi
sangat cepat terjadi selama siklus empat tahun tersebut. Karena siklus waktu teknologi lebih
cepat dari siklus pendidikan, dampak terhadap industri jasa pendidikan berubah dari bentuk
industri jasa pendidikan massal (mass education service).
Jasa pendidikan massal lebih mengandalkan keterampilan standar yang cenderung
seragam dengan model pendidikan yang lebih fleksibel dan menuntut kreativitas, inovasi, dan
kerja sama tim. Model penyiapan lulusan pendidikan yang seragam dan cocok diterapkan pada
lingkungan industri dengan model massal, saat ini tidak sesuai lagi dengan tuntutan lingkungan
industri yang menganut model produksi yang fleksibel. Pluralitas, desentralisasi, serta otonomi
pendidikan merupakan aspek-aspek kritis yang memungkinkan tumbuhnya kreativitas dan
inovasi di lingkungan pendidikan.
Hal ini sesuai dengan tuntutan dunia industri/dunia bisnis yang semakin berkembang
sesuai dengan perkembangan teknologi ter-utama teknologi informasi, yang membawa
masyarakat Indonesia menembus wilayah geografis lokal, nasional, maupun internasional yang
tidak mengenal batas.
Oleh karena itu, lembaga pendidikan harus mempersiapkan diri menghadapi situasi
seperti saat ini. Orang yang terlibat dalam dunia pendidikan harus mulai melirik (melek)
teknologi untuk lebih meningkatkan kapasitas dan kapabilitas dalam mewujudkan dunia
pendidikan yang diharapkan semakin memiliki arti dengan didukung oleh kualitas yang bisa
diandalkan oleh masyarakat pengguna jasa pendidikan.
Hal ini sudah menjadi tuntutan mutlak karena lembaga pendidikan mass yang akan
datang akan lebih memiliki nilai tambah (value added) dan memiliki keunggulan bersaing
(competitive advantage) jika didukung oleh teknologi serta sumber daya manusia yang memadai.
D. MEMBANGUN SISTEM PENDIDIKAN YANG BERBUDAYA
DI ERA GLOBALISASI
Beberapa tahun terakhir masalah sumber daya manusia menjadi isu strategic dalam
pembangunan, sumber daya manusia dianggap sebagai kekuatan utama dalam menjaga
kelangsungan pembangunan nasional. Perhatian khusus pada peningkatan sumber daya manusia
menjadi semakin penting terutama menghadapi era globalisasi. Memasuki abad ke-2 1, bangsa
Indonesia akan menghadapi tantangan yang jauh lebih berat dan sangat kompleks sebagai
dampak dari arus globalisasi yang terus bergulir. Untuk menghadapi tantangan ini diperlukan
upaya yang lebih nyata, terencana, sistematis, dan konsisten untuk membangun sumber daya
manusia yang makin berkualitas. Oleh karena itu, upaya meningkatkan kualitas sumber daya
manusia merupakan agenda pembangunan yang sangat penting dan mendesak.
Dalam konteks tersebut, uraian pada bagian ini ditekankan pada bagaimana membangun
sistem pendidikan yang tangguh agar mampu menghasilkan sumber daya manusia yang siap
memasuki era globalisasi.
Ada dua pengertian dasar yang perlu dicatat dalam memahami konteks ini :
Pertama, sumber daya manusia tidak diartikan sebagai sumber daya dalam konteks ekonomi
tetapi jauh lebih bemilai, yakni sebagai insan dengan segala keutuhannya (human being as a
whole). Dengan pengertian tersebut, sumber daya manusia tidak dipandang sebagai faktor
produksi setara dengan sumber daya lainnya tetapi lebih ke arah sebuah aset yang mesti
dipelihara dengan baik karena manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna. Manusia
memiliki daya yang bersumber dari jasmani, akal, kalbu, dan nafsu. Dengan demikian, kualitas
sumber daya manusia adalah kualitas seluruh potensi yang ada dalam diri manusia, yaitu kualitas
akal, kalbu, nafsu, dan jasmani. Kualitas akal, kalbu, dan nafsu tercermin dalam daya pikir, daya
zikir, akhlak, dan moral. Sedangkan kualitas jasmani utamanyadiukur dengan derajat kesehatan
fisik manusia. Kualitas akal, kalbu, dan nafsu diwujudkan dalam kecerdasan emosional
(emotional quotient) dan semuanya tidak dapat dipisahkan.
Kedua, pendidikan tidak dipandang sebagai "ramuan ajaib" yang mampu inemecahkan
segala permasalahan dalam membangun dunia dengan segala bentuk cita-citanya. Akan tetapi,
pendidikan harus dipandang sebagai salah sate wahana utama untuk mengembangkan kualitas
sumber daya manusia. Dengan cara pandang scperti itu kita menyadari bahwa kualitas sumber
daya manusia tidak hanya (litcntukan oleh sistem pendidikan tetapi juga oleh banyak faktor lain
di luar sistem pendidikan. Dengan demikian, jika terjadi kesalahan dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan, tidak berarti bahwa sistem pendidikan satu-satunya yang bcrtanggung i awab
terhadap berbagai bentuk kesalahan tersebut.

1. Pentingnya Strategi Budaya


Abad ke-21 dunia menghadapi perubahan menuju babak baru yang jauh lebih kompleks
dari abad-abad sebelumnya. Berbagai perubahan fundamental akan terus hcrlangsung di semua
aspek kehidupan manusia. Globalisasi ekonomi dengan licrdagangan bebas sebagai indikator
utamanya disertai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat.
Sebagai konsekuensinya, persaingan yang semakin ketat antarmanusia, antarkelompok dan
antarmasyarakat, serta antarbangsa. Kemajuan teknologi dalam era globalisasi ini mengakibatkan
interaksi budaya akan ber alan dengan semakin intensif dan terbuka sehingga berdampak pada
terjadinya perubahan budaya yang sangat fundamental.
Globalisasi budaya ini menyebabkan perubahan pola dan gaga hidup, bahkan nilai-nilai
dan tatanan kehidupan manusia di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Oleh karena itu, perlu di
sadari bahwa globalisasi tidak selalu membawa dampak positif bagi umat manusia, bahkan
menjadi semacam tumbuhnya ideologi baru yang siap menerkam nilai-nilai clan tatanan
kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Dalam era globalisasi budaya ini ada tiga aspek kehidupan yang akan berubah dan
cenderung terus berubah, yaitu budaya 3-F budaya makan (food), budaya berbusana (fashion),
dan budaya inemenuhi kesenangan hidup (fun). Hal ini bukan sesuatu yang bisa dianggap sepele
dan tidak bisa dianggap sebagai main-main karena akibatnya akan cukup besar lerhadap tatanan
kehidupan sosial ekonomi bangsa kita. Budaya makan kita sudah hal terjajah oleh budaya makan
dari luar. Apabila pola makan asing menjadi budaya makan masyarakat kita.
Akibatnya, permintaan terhadap makanan asing akan meningkat. Jika permintaan terhadap
makanan asing meningkat, penawaran otomatis meningkat. Karena produk makanan asing
didatangkan secara impor, jumlah impor akan meningkat.Dampak lebih jauh dari keadaan
tersebut adalah nilai devisa kita berangsur-angsur akan semakin turun. Akibatnya, tingkat
pendapatan nasional berkurang sehingga pembangunan akan terancam mandek (stagnan) dalam
jangka panjang. Betapa berat konsekuensi yang harus ditanggung oleh masyarakat kita karena
kita dijajah oleh budaya asing. Budaya berpakaian (fashion) clan budaya hura-hura (fun) perlu
mendapatkan perhatian yang lebih sungguh-sungguh karena dampaknya akan sangat berat. Hal
ini menyangkut asas-asas moral dan jati diri kita sebagai bangsa yang terancam. Oleh karena itu,
diharapkan masyarakat lebih pandai memilih dan memilah kedua budaya tersebut di atas.
Dengan demikian, tantangan berat yang harus kita hadapi dalam abad ke-21 ini adalah
memperkokoh moral dan budaya bangsa. Hal ini merupakan tantangan budaya yang seringkali
terabaikan. Kita lebih paham dengan tantangan lain yang dianggap sama pentingnya terutama
untuk menghadapi globalisasi ekonomi, yaitu meningkatkan daya saing dan meningkatkan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua tantangan tersebut berkaitan dengan
kualitas sumber daya manusia. sumber daya manusia yang bermoral dan berbudaya, serta
berdaya saing tinggi juga berwawasan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibangun
melalui pendidikan. Karma ancaman globalisasi yang paling mendasar adalah globalisasi budaya
yang berdampingan dengan globalisasi ekonomi maka strategi yang harus diutamakan adalah
strategi budaya yang tidak kalah pentingnya dari strategi ekonomi. Indonesia memiliki satu
departemen yang sanggup menjadi payung dunia pendidikan, yaitu Departemen Pendidikan
Nasional yang memiliki mandat utama membangun manusia Indonesia yang terdidik dan
berbudaya. Oleh karena itu, membangun sistem yang tangguh harus diartikan dengan
membangun pendidikan yang berbudaya. Hal ini merupakan amanat yang terkandung dalam
UUD 1945 clan juga UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

2. Masalah Utama Pendidikan


Pembangunan pendidikan yang sudah dilaksanakan sejak Indonesia merdeka telah
memberikan hasil yang cukup mengagurnkan sehingga secara umum kualitas sumber daya
manusia Indonesia jauh lebih baik. Namur dibandingkan dengan negaranegara ASEAN, kita
masih ketinggalan jauh. Oleh karena itu, upaya yang lebih aktif perlu ditingkatkan agar bangsa
kita tidak menjadi tame dan orang terasing di negeri sendiri terutama karena terjajah oleh budaya
asing dan terpaksa menari di atas irama gendang orang lain. Upaya untuk membangun sumber
daya manusia yang berdaya saing tinggi, berwawasan Iptek, serta bermoral dan berbudaya
bukanlah suatu pekerj aan yang relatif ringan. Hal ini disebabkan dunia pendidikan kita masih
menghadapi berbagai masalah internal yang cukup mendasar dan bersifat kompleks. Kita masih
menghadapi sejumlah masalah yang sifatnya berantai sejak jenjang pendidikan dasar sampai
pendidikan tinggi. Rendahnya kualitas pada jenjang sekolah dasar sangat penting untuk segera
diatasi karena sangat berpengaruh terhadap jenjang pendidikan selanjutnya. Ada beberapa
masalah internal pendidikan yang dihadapi, antara lain sebagai berikut :

a. Rendahnya pemerataan kesempatan belajar (equity) disertai banyaknya peserta didik yang
putus sekolah, serta banyaknya lulusan yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi. Hal ini identik dengan ciri-ciri kemiskinan.
b. Rendahnya mutu akademik terutama penguasaan ilmu pengetahuan alam (IPA),
matematika, serta bahasa terutama bahasa Inggris padahal penguasan materi tersebut
merupakan kunci dalam menguasai dan mengembangkan iptek.
c. Rendahnya efisiensi internal karena lamanya mass studi melampaui waktu standar yang
telah ditetapkan.
d. Rendahnya efisiensi ekstemal sistem pendidikan yang disebut dengan relevansi pendidikan,
yang menyebabkan terjadinya pengangguran tenaga terdidik yang cenderung terns
meningkat. Secara empiris kecenderungan meningkatnya pengangguran tenaga terdidik
disebabkan oleh perkembangan dunia usaha yang masih didominasi oleh pengusaha besar
yang jumlahnya terbatas dan sangat mengutamakan efisiensi (padat modal dan padat
teknologi). Dengan demikian pertambahan kebutuhan akan tenaga kerja jauh lebih kecil
dibandingkan pertambahan jumlah lulusan lembaga pendidikan.
e. Terjadi kecenderungan menurunnya akhlak dan moral yang menyebabkan lunturnya
tanggung jawab dan kesetiakawanan sosial, seperti terjadinya tawuran pelajar dan kenakalan
remaja. Dalam hal ini pendidikan agama menjadi sangat penting sebagai landasan akhlak
dan moral serta budi pekerti yang luhur perlu diberikan kepada peserta didik sejak dini.
Dengan demikian, hal itu akan menjadi landasan yang kuat bagi kekokohan moral dan etika
setelah terjun ke dalam masyarakat. Masalah-masalah di atas erat kaitannya dengan kendala
seperti keadaan geografis, demografis, serta sosio-ekonomi. Besamya jumlah penduduk
yang tersebar di seluruh wilayah geografis Indonesia cukup lugs. Kemiskinan juga
merupakan salah satu kendala yang memiliki hubungan erat dengan masalah pendidikan.
Rendahnya mutu kinerja sistem pendidikan ticlak hanya disebabkan oleh adanya kelemahan
manajemen pendidikan tingkat mikro lembaga pendidikan, tetapi juga karena manajemen
pendidikan pada tingkat makro seperti rendahnya efisiensi dan efektivitas pengelolaan
sistem pendidikan. Sistem dan tata kehidupan masyarakat ticlak kondusif yang turut
menentukan rendahnya mutu sistem pendidikan di sekolah yang pada gilirannya
menyebabkan rendahnya mutu peserta didik dan lulusannya. Kebijaksanaan dan program
yang ditujukan untuk mengatasi berbagai permasalahan di atas, hares dirumuskan secara
spesifik karena fenomena dan penyebab timbulnya masalah juga berbedabeda di seluruh
wilayah Indonesia.

3. Membangun Sistem Pendidikan yang Tangguh


Sistem pendidikan yang tangguh dan berkualitas akan menghasilkan lulusan yang
bcrkualitas pula, sebagaimana dirumuskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa clan mengembangkan manusia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap clan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan. Masalahnya apakah proses pendidikan yang diselenggarakan saat ini sudah
mengarah kepada tujuan ideal, hal ini merupakan tantangan bagi dunia pendidikan kita. Berbagai
kecenderungan dalam era globalisasi akan memengaruhi sistem pendidikan nasional terhadap
empat aspek, yaitu isi atau substansi, sarana, metode, dan manajemen. Misalnya, dalam proses
penyempumaan metode belajar mengajar digunakan teknologi informasi sesuai dengan substansi
kurikulum yang ada dan harus sesuai dengan visi dan mini dari sistem pendidikan nasional.
Langkah-langkah strategic sistem pendidikan, antara lain sebagai berikut :
1) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas manajemen pendidikan, baik pada tingkat mikro
maupun tingkat makro. Hal ini sangat penting, mengingat pengaruhnya cukup kuat
terhadap penghematan sumber daya manusia, dana, maupun sarana yang tersedia.
Komitmen terhadap wajib belajar pendidikan Sembilan tahun, perlu terns diperkuat
karena kita yakin bahwa keberhasilan sistem pendidikan tersebut berdampak terhadap
kesiapan bangsa dalam memasuki era globalisasi. Komitmen ini juga tidak hanya cukup
menjadi agenda dari Departemen Pendidikan Nasional, tetapi harus menjadi komitmen
nasional, termasuk pemerintah dan masyarakat. Dalam upaya meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pendidikan di tingkat sekolah menengah sampai perguruan tinggi, penerapan
prinsip-prinsip Total Quality Management (TQM) sebagaimana diperkenalkan oleh
Rinehart (1993) merupakan sate langkah yang sangat tepat dan bijaksana. Hal ini
disebabkan kemampuan manajerial pimpinan lembaga pendidikan sangat esensial.

2) Menciptakan kelembagaan agar daerah mempunyai peranan clan keterlibatan yang lebih
besar dalam penyelenggaraan pendidikan. Bangsa kita adalah bangsa yang besar dan
jumlah penduduknya sangat banyak. Dengan kondisi seperti itu, manajemen sentralisasi
(terpusat) sudah tidak memungkinkan. Oleh karena itu, manajemen pendidikan nasional
perlu diubah menjadi desentralisasi dengan' tetap memerhatikan wawasan kebangsaan
demi persatuan dan kesatuan bangsa. Desentralisasi pendidikan bukan berarti harus
mengorbankan kepentingan nasional, namun sebaliknya harus memperkokoh sesuai
dengan tujuan pendidikan tersebut.

3) Mendorong peran serta masyarakat termasuk lembaga sosial kemasyarakatan dan dunia
usaha sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan dan penyelenggaraan pendidikan.
Sejarah pendidikan di Indonesia menunjukkan betapa besarnya andil masyarakat dalam
pembangunan dan penyelenggaraan pendidikan. Peran yang sangat besar utamanya
ditunjukkan dengan banyaknya siswa sekolah swasta pada pendidikan tingkat dasar
sampai kepada pendidikan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dari sekitar 2 juta
mahasiswa, sebanyak 1,3 juta merupakan mahasiswa perguruan tinggi swasta. Oleh
karena itu, lembaga pendidikan swasta harus didukung oleh semua pihak agar mampu
menciptakan suasana dan proses belajar mengajar yang dapat membangkitkan dan
mengembangkan kreativitas, inovasi, minat, dan semangat belajar. Peserta didik harus
diberikan dorongan untuk selalu bertanya dan berani mengemukakan pendapat.

4) Ada sistem pendidikan nasional, terutama pendidikan keagamaan yang mengelola


sekolah dasar Islam (madrasah) yang sebagian besar dikelola oleh lembaga sosial
kemasyarakatan termasuk pendidikan pesantren. Akan tetapi, lembaga pendidikan swasta
belum dapat menunjukkan tingkat kualitas yang memadai. Hal ini disebabkan oleh
berbagai keterbatasan lembaga sosial kemasyarakatan, baik dana, sumber daya manusia,
maupun fasilitas pendidikannya. Keberadaan siswa/mahasiswa lembaga pendidikan
swasta sama perannya dengan peran siswa/mahasiswa di lembaga pendidikan negeri.
Untuk itu lembaga pendidikan swasta tersebut perlu diberdayakan secara maksimal agar
andilnya dalam pendidikan tidak hanya mementingkan kuantitas tetapi juga kualitas yang
bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Pemberdayaan lembaga pendidikan
swasta tidak didasarkan atas belas kasihan, tetapi memberi kekuatan dan peluang untuk
bisa berkembang secara mandiri. Dunia usaha perlu berperan lebih nyata dalam
membantu penyelenggaraan pendidikan, antara lain dengan menyediakan berbagai
fasilitas yang diperlukan seperti sarana praktik dan magang (internship) serta penyediaan
beasiswa. Kerja sama antardunia usaha dengan lembaga pendidikan dapat diwujudkan
melalui program tukar pengalaman dan pengetahuan. Kerja sama yang terjalin antarkedua
lembaga tersebut akan memperkuat keserasian dan keterpaduan secara sinergis.
Keterlibatan dunia usaha secara nyata dalam membantu lembaga pendidikan dalam
mengatasi permasalahan yang dihadapi akan menghapuskan adanya kesan bahwa dunia
usaha hanya berfungsi sebagai pemanen yang baik (good harvester) tanpa turut menanam
dan memupuk.

5) Menyediakan fasilitas yang memadai agar peserta didik tumbuh dan berkembang secara
sehat, dinamis, kreatif, dan produktif. Bagi anak-anak sekolah terutama di perkotaan,
yang paling dibutuhkan adalah fasilitas bermain dan olahraga. Idealnya halaman depan
maupun belakang sekolah lugs sehingga energi dan kreativitas anak dapat diekspresikan
secara optimal. Akan tetapi jika fasilitas tersebut tidak tersedia, banyak sekali siswa yang
mencari kompensasi dengan hal-hal yang negatif, seperti tawuran, memakai obat
terlarang, dan bentuk perilaku lain yang membuat mereka merasa senang (fun).

6) Menciptakan sistem pendidikan yang proaktif dan fleksibel. Sistem pendidikan tersebut
dapat mcwujudkan konsep keterkaitan dan kesepadanan (link and match). Dengan konsep
ini peserta didik diberi bekal ilmu pengetahuan, dasardasar keterampilan dan teknologi,
serta manajemen agar mereka siap berkembang dalam waktu relatif singkat. Mereka jugs
diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan nyata di lapangan. Link and
match antara dunia pendidikan dan dunia usaha, tidak dapat diartikan sebagai
penyelenggaraan kurikulum industri yang hanya sekadar mengajarkan teknik-teknik yang
ado. Akan tetapi lebih jauh dari itu, dunia usaha diharapkan memberikan kontribusi
berupa panduan dasar praktis operasional dunia usaha. Jika hanya transfer berupa
pengajaran teknis make link and match tidak akan terjadi. Hal ini disebabkan dunia
pendidikan dan dunia usaha memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Dunia
pendidikan relatif static sedangkan dunia bisnis bersifat sangat dinamis mengikuti
perubahan-perubahan lingkungan yang sangat cepat.

7) Menciptakan suasana dan proses belajar mengajar yang mampu membangkitkan dan
mengembangkan kreativitas, inovasi, serta minat dan semangat belajar. Peserta didik
harus diberikan dorongan untuk selalu bertanya dan berani mengemukakan pendapat.
Suasana belajar harus menyenangkan sehingga mendorong tumbuhnya motivasi, minat,
semangat belajar, dan berkembangnya kreativitas peserta didik. Proses belajar mengajar
harus mendorong dan membangkitkan kreativitas karena kreativitas merupakan modal
utama untuk melakukan inovasi sedangkan inovasi adalah sumber penguasaan teknologi.
Semangat dan gairah belajar peserta didik harus ditumbuhkan sehingga belajar menjadi
suatu kebutuhan.

8) Menanamkan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sejak diri di
tingkat sekolah dasar dalam rangka menumbuhkan budaya iptek. Budaya iptek harus
menjadi napes kehidupan dan menjadi bagian dari budaya bangsa agar bangsa kita dapat
berhasil melewati era industrialisasi dan globalisasi. Pendidikan sebagai suatu wahana
yang ampuh untuk membudayakan iptek. Penguasaan peserta didik terhadap ilmu
pengetahuan matematika, bahasa acing (Inggris) sangat penting karena merupakan bekal
dasar bagi pengembangan iptek. Kelemahan dalam penguasaan ilmu pengetahuan alam,
matematika, dan bahasa Inggris harus segera diatasi dengan cars menumbuhkan minat
dan gairah untuk mempelajari bidang ihnu yang seringkali dianggap sulit. llmu
pengetahuan alam dan matematika dianggap sulit sehingga metode belajar mengajar
harus dibuat lebih menarik dan menyenangkan. Peserta didik perlu lebih didekatkan
dengan alam dan kehidupan karena semua fenomena yang terkandung di alam merupakan
sumber ilmu. pengetahuan. Kepada peserta didik ditanamkan kesadaran bahwa
sesungguhnya ape yang terkandung dalam ilmu pengetahuan merupakan tanda-tanda
kebesaran Tuhan. Dengan demikian, kecintaan ilmu pengetahuan yang disertai dengan,
keimanan kepada Tuhan Yang Maj a Esa akan menjadi modal dalam pembentukan
manusia iptek yang bermoral.

9) Mengembangkan daya juang (fighting spirit), profesionalisme, dan wawasan keunggulan.


Profesionalisme dan wawasan keunggulan merupakan kata kunci yang perlu
disosialisasikan dalam upaya membangun sumber daya manusia yang berkualitas di era
industrialisasi dan globalisasi. Oleh karena itu, peserta didik perlu dibiasakan untuk
menghasilkan sesuatu yang terbaik dan bekerja secara series. Sikap pantang menyerah
tatkala menemui kesulitan harus senantiasa ditanamkan. Dengan demikian, daya juang
akan menjadi bagian dari sikap hidup, watak, dan kepribadiannya. Nilai-nilai seperti
itulah yang dapat menumbuhkan jiwa kewirausahaan dan kemandirian. Lulusan yang
memiliki kreativitas tinggi hampir dapat dipastikan mampu menjalani kehidupan dengan
tegar serta siap membuka kesempatan kerja dan usaha.

10) Mengembangkan sikap hidup yang hemat, cermat, teliti, tertib, tekun, dan disiplin. Nilai-
nilai tersebut merupakan nilai dasar yang harus tertanam dalam setiap individu. Sikap
tersebut tidak kalah pentingnya dengan profesionalisme dan budaya iptek yang sangat
diperlukan dalam era modernisasi dan globalisasi seat ini. Penanaman nilai dasar harus
menjadi salah sate misi utama dari proses pendidikan. Namun jika ditinjau dalam bobot
kurikulum dan proses pembelajaran, hal ini kurang mendapat perhatian dan porsi yang
memadai.

11) Menumbuhkan moral dan budi pekerti luhur sebagai pengejawantahan dari keimanan dan
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai moral dan budi pekerti ini lebih-
lebih memiliki makna yang sangat lugs dan teramat penting dalam penanaman dasar
moral anak didik menghadapi era globalisasi ini. Aspek moral dan budi pekerti tidak
hanya menyentuh unsur kognitif, namun harus lebih ke aspek afektif dan psikomotor
sehingga keluhuran moral dan budi pekerti menjadi bagian dari watak dan kepribadian
peserta didik di Indonesia. Strategi budaya fondasi perlu digunakan dalam membangun
sistem pendidikan yang tangguh dan dapat menghasilkan manusia yang memiliki daya
saing dan daya juang yang tinggi, yaitu berwawasan iptek, bermoral, dan berbudaya
sebagai prinsip dasar moral dan keadilan. Di etas fondasi itulah sistem pendidikan
dibangun, sedangkan pilar yang akan memperkokoh bangunan sistem pendidikan
menurut Delors (1992) adalah (1) learning how to know, (2) learning how to do, (3)
learning to live together, dan (4) learning how to be.

4. Meningkatkan Kualitas Guru


Menyimak berbagai permasalahan, visi dan misi pendidikan, kita yakin bahwa heron guru
atau dosen sangat penting. Dori semua unsur yang terdapat dalam sistem pendidikan, guru atau
dosen merupakan faktor yang sangat menentukan kualitas hi I usan sebagai output utama dari
sistem pendidikan. Upaya peningkatan kualitas guru menjadi sangat penting dan strategic.
Persyaratan kualitas yang ditetapkan todalah guru sekolah dasar minimal harus memiliki
kualifikasi diploma due (D-2), guru sekolah lanjutan tingkat pertama (SLIP) minimal diploma
tiga (D-3), dan guru sekolah lanjutan tingkat atas minimal sarjana strata satu (S-1).
Program peningkatan kualitas guru dilakukan baik melalui in-service training maupun pre-
service training. Dewasa ini upaya peningkatan kualitas guru melalui in-service training antara
lain berupa penataran, penyegaran, penyetaraan, dan kegiatan seperti kelompok kerj a guru
(KKG), musyawarah guru mats pelajaran (MGMP). Adanya program peningkatan kualitas guru
tidak terlepas dari kendala atau permasalahan yang dihadapi. Misalnya dalam program
penyetaraan (D-2 dan D-3) adalah
(1) banyaknya beban satuan kredit semester (SKS) yang hares ditempuh padahal waktu
yang tersedia relatif terbatas karena guru harus tetap bertugas mengajar,
(2) kurikulum yang harus dipenuhi kurang relevan dengan kebutuhan proses belajar
mengajar di sekolah,
(3) sistem dan mekanisme penyelenggaraan program cenderung terpusat sehingga
pengendalian mute (quality control) kurang terjamin.
Adapun dalam program penyetaraan guru, peserta harus mengikuti sejumlah paket SKS
yang sama, baik guru senior maupun guru yunior yang memiliki pengalaman relatif pendek.
Seharusnya dalam hal ini ada pembedaan mendasar berupa insentif keringanan SKS yang perlu
dikembangkan dan dirumuskan dalam sistem merit. Sebagai contoh dosen di perguruan tinggi
negeri dengan ijazah strata satu (S-1) memiliki pengalaman mengajar lebih dari 20 tahun tetapi
belum sempat mengikuti studi lanjut ke jenjang strata dua (S-2).
Sementara, itu untuk menjadi guru besar menurut peraturan lama, lulusan S-2 dapat
mengajukan menjadi guru besar dengan mengumpulkan sejumlah kredit yang ditetapkan oleh
pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas. Akan tetapi, pads saat ini untuk menjadi
guru besar seorang dosen minimal harus memiliki ijazah strata tiga (S-3).
Pihak perguruan tinggi negeri menetapkan program khusus bagi dosen-dosen yang
memiliki pengalaman mengajar tersebut untuk langsung mengikuti pendidikan strata tiga (S-3)
tanpa harus melewati jenjang pendidikan S-2.
Akan tetapi, dengan sejumlah ketentuan yang harus diikuti, seperti jumlah SKS yang
diikuti lebih banyak, indeks prestasi kumulatif semester pertama tidak kurang dari 3,5. Hal
tersebut menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan kualitas dosen di perguruan' tinggi.
Bahkan, mungkin banyak program lain yang bisa dijadikan sebuah solusi demi peningkatan
kualitas SDM pendidikan.
Dalam permasalahan guru, kits dihadapkan kepada beberapa persoalan kunci sebagai
berikut :
1) Jabatan guru belakangan ini cenderung tidak menarik karena berbagai faktor
terutama menyangkut tingkat kesejahteraan dan pengembangan karier. Hal ini
berdampak pads minat lulusan SLTA yang ingin melanjutkan studi, pendidikan
keguruan. Demikian halnya dengan jabatan tenaga pengajar d} perguruan tinggi
(dosen), pihak lembaga pendidikan tinggi kesulitan mencarl talon dosen yang
memiliki kualifikasi akademik tinggi karena lulusan perguruan tinggi lebih tertarik
bekerja di lembaga bisnis daripada menjadi tenaga pengajar di perguruan tinggi.
2) Lulusan perguruan tinggi lebih tertarik bekerja di lembaga bisnis daripada menjadi
tenaga pengajar di perguruan tinggi.

3) Banyak terjadi guru mengajar tidak sesuai dengan kualifikasi keahlian yang
dimilikinya. Tidak jarang guru yang memiliki Tatar belakang kesenian terpaksa
mengajar matematika atau ilmu pengetahuan alam. Kasus seperti ini banyak terjadi
terutama di daerah pedesaan karena keterbatasan tenaga pengajar. Selain itu,
distribusi guru di setiap wilayah geografis tidak merata. Di suatu daerah terpencil,
sebuah sekolah hanya memiliki seorang guru sedangkan di wilayah perkotaan
kadang satu sekolah memiliki kelebihan jumlah guru.

4) Adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan (demand) dengan pengadaan (supply)


guru bidang studi matematika dan ilmu pengetahuan alam untuk tingkat SUP dan
SLTA masih cukup besar. Sementara itu, supply guru bidang studi ilmu
pengetahuan sosial sangat banyak akhirnya mengalami kejenuhan sehingga tidak
dapat diberdayakan lagi sesuai dengan kualifikasi kelulusannya.

Artinya, jumlah lulusan IKIP/LPTK dalam bidang studi matematika dan ilmu
pengetahuan alam jauh lebih kecil dibandingkan dengan lulusan ilmu pengetahuan
sosial. Sementara itu, dalam penuntasan program wajib belajar sembilan tahun akan
banyak dibutuhkan guru SUP. Akan tetapi, kebutuhan tersebut masih sulit terpenuhi
antara lain karena keterbatasan dana yang akhirnya dikeluarkan kebijaksanaan Zero
Growth dalam pengangkatan guru pegawai negeri sipil, walaupun terkesan terburu-
buru dan kurang tepat. Kebijakan Zero Growth ini dilakukan dalam rangka efisiensi
dan peningkatan kualitas pegawai negeri. Akan tetapi, pengangkatan tenaga guru
dan dosen serta tenaga sosial lainnya termasuk tenaga kesehatan harus mendapatkan
prioritas yang tinggi.
Pengadaan guru SUP dan SLTA sampai saat ini berpegang pads prinsip guru
bidang studi secara spesifik yang tercermin dalam kurikulum IKIP/LPTK yang
bertujuan meningkatkan kualitas guru. Akan tetapi, yang terjadi di lapangan, guru
dituntut memiliki keterampilan mengajar bidang studi lainnya di luar bidang studi
utamanya.

Pola pembinaan karier guru yang berlaku saat ini, tampaknya belum dapat inembedakan
adanya penghargaan dalam promosi kenaikan pangkat antara yang profesional dan tidak
profesional. Kenyataan lain insentif guru yang berprestasi dengan yang tidak berprestasi tidak
terdapat perbedaan. Persoalan tersebut tampaknya sangat klasik tetapi sampai saat ini belum
terpecahkan secara mendasar.
Lembaga pendidikan seperti IKIP/LPTK diharapkan dapat menemukan terobosan untuk
mengatasi masalah yang sudah semakin kompleks, serta perlu keterlibatan I)ihak lain yang
terkait. Dalam era informasi fungsi guru sebagai pengajar dalam arti menyampaikan informasi
sudah bergeser. Di banyak tempat, informasi dengan mudah dapat diperoleh dari berbagai
sumber, seperti televisi, radio, majalah, koran, maupun internet.
Jadi, saat ini guru bukan satu-satunya penyampai informasi dan perananya juga bergeser
menjadi fasilitator dan motivator. Namun, fungsi guru sampai kapan pun perlu dipertahankan.
Guru hares tetap menjadi idols siswa dan berperan sebagai faktor utama dalam pembentukan
watak dan kepribadian peserta didik. Pergeseran fungsi tersebut menuntut perlunya penyesuaian
dalam sistem pendidikan dan pola pelatihan guru, termasuk sistem pendidikan di IKIP maupun
lembaga pendidikan tenaga kependidikan lainnya.
BAB TEKNOLOGI INFORMASI

4 DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN

Teknologi informasi (TI) merupakan sebutan lain dari teknologi komputer, yang dikhususkan
untuk pengolahan data menjadi informasi yang bermanfaat bagi sebuah organisasi termasuk
organisasi pendidikan. TI ini terns mengalami perkembangan baik dari bentuk, ukuran,
kecepatan, dan kemampuan untuk mengakses multimedia dan jaringan komputer. Perkembangan
itu disebabkan tingginya tingkat persaingan antarprodusen prosesor komputer, seperti Intel,
Motorola, Apple, DEC, clan lainnya.
Perkembangan prosesor tersebut mencapai tingkat kecepatan yang sangat tinggi dalam
sepuluh tahun terakhir. Jika diamati secara rinci perkembangan setiap scri prosesor, hampir
berhimpitan terciptanya prosesor baru dengan spesifikasi yang semakin tinggi.
Persaingan dalam pengembangan prosesor telah mendorong pertumbuhan industri TI karena
setiap prosesor baru diciptakan, dibutuhkan spesifikasi baru, khususnya yang terkait dengan
RAM dan kapasitas pengingat sekunder seperti harddisk. Penciptaan prosesor dengan spesifikasi
baru telah memberi tantangan bagi produsen software untuk mengimbanginya dengan
menciptakan sistem operasi dan aplikasi baru yang mampu mengoptimalkan spesifikasi prosesor
dan perangkat hardware secara keseluruhan.

A. GELOMBANG INOVASI TEKNOLOGI


Teknologi informasi saat ini telah menjadi perbincangan yang sangat menarik, mengingat
teknologi informasi ini merupakan salah sate unsur penting yang dapat mendorong keunggulan
bersaing sebuah organisasi, baik organisasi bisnis maupun organisasi sosial.sebagai contoh
dalam dunia bisnis perbankan saat ini, keunggulan maupun keberhasilan sebuah bank terutama
perbankan swasta banyak sekali didukung oleh teknologi informasi. Misalnya, BCA yang
menawarkan berbagai jenis produknya carat dengan teknologi informasi. Untuk memudahkan
pelayanan nasabah, disediakan internet perbankan klik BCA yang semuanya berbasis teknologi
informasi sehingga nasabah lebih mudah dan cepat untuk bertransaksi, hasilnya pun lebih akurat.
Di samping itu, banyak lagi manfaat teknologi informasi yang dikembangkan oleh BCA dalam
rangka mempertahankan kinerja pemasarannya.
Di dunia pendidikan, banyak sekali lembaga pendidikan yang telah berhasil
mengembangkan teknologi informasi dalam mendukung proses pembelajarannya. Baik lembaga
pendidikan tingkat dasar, menengah, maupun perguruan tinggi. Lembaga tersebut di samping
dapat mengembangkan jaringan dengan pihak-pihak terkait seperti Departemen Pendidikan
Nasional, lembaga-lembaga pendidikan di dalam maupun di luar negeri sehingga dapat
mengadopsi pola pembelajaran yang lebih mudah, cepat, memiliki nilai tambah (value added),
serta inovatif dalam mencari formulasi barn untuk memberikan tambahan ilmu maupun
keterampilan bagi peserta didiknya.
Menurut Budi Sutedjo (2002: 49), gelombang teknologi informasi yang berbasis internet
berkembang melalui beberapa tahapan sebagai berikut.
a. Gelombang pertama, pemanfaatan TI difokuskan untuk peningkatan produktivitas dan
memperkecil biaya. Bagi organisasi yang mulai menerapkan teknologi tersebut akan
melakukan otomatisasi kegiatan rutinnya, seperti suratmenyurat, slide persentasi,
pembuatan Label dan neraca. Aplikasi yang digunakan, antara lain Word, Excel, Power
Point, dan Access.
b. Gelombang kedua, TI difokuskan untuk meningkatkan efektivitas penggunaan peralatan
komputer melalui pembangunan jaringan',komputer. Jaringan ini dibangun dengan cara
menghubungkan komputer-komputer dengan menggunakan kabel dan kartu jaringan
sehingga printer, harddisk, dan peralatan lain dapat digunakan secara serempak. Jaringan
ini dapat menghemat biaya investasi dan mempercepat distribusi data dan informasi.
c. Gelombang ketiga, TI difokuskan untuk menghasilkan keuntungan lewat pembangunan
program sistem informasi. Seperti pads sebuah universitas membangun jaringan sistem
informasi pelayanan administrasi akademik, sistem informasi pelayanan administrasi
keuangan, maupun sistem informasi pelayanan umum, yang kesemuanya berbasis
teknologi informasi dan menguntungkan bagi pihak universitas maupun mahasiswa yang
dilayani.
d. Gelombang keempat, TI difokuskan untuk membantu proses pengambilan keputusan dari
data kualitatif. Seperti pembangunan sistem pendukung keputusan (DSSIDecision
Support System) bagi penerimaan pegawai, penilaian prestasi pegawai, peningkatan
jenjang karier pegawai, dan lain sebagainya (back office).
e. Gelombang kelima, TI difokuskan untuk meraih pelanggan (konsumen) melalui
pengembangan jaringan internet. Membangun eksplorasi besarbesaran terhadap internet.
Maka dalam hal ini lahirlah dalam dunia bisnis apa yang disebut electronic business (e-
business) dan e-commerce. Dalam sistem pendidikan berbasis internet, apa yang disebut
e- learning, e-campus, e-school yang mampu menjangkau pars pengguna jasa pendidikan
baik lokal, nasional, maupun global.
f. Gelombang keenam, TI yaitu mengembangkan sistem jaringan tanpa kabel (wireless).
Sistem tersebut memungkinkan seseorang mengakses internet melalui komputer yang
terhubung ke telepon selular. Bahkan internet dapat diakses langsung lewat ponsel.
Gelombang inovasi ini menunjukkan bahwa TI dapat digunakan untuk komunikasi efektif
dengan konsumen dan mitra kerjanya.

B. MENYAMBUT TEKNOLOGI INFORMASI DALAM DUN IA PENDIDIKAN


Lima tahun terakhir, TI yang berbasis internet betul-betul berkembang seperti jamur di
musim hujan. Banyak perusahaan lima tahun lalu belum ada, sekarang sudah sukses dengan
pendapatan miliaran dolar berkat bantuan TI internet. Secara statistik jumlah situs (websites) di
dunia telah berlipat ganda jika dilihat pads bttp://www.isc.org/. Hal ini menunjukkan betapa
pentingnya TI dalam dunia bisnis maupun dalam setiap aspek kehidupan manusia. Untuk
menggunakan fasilitas internet seseorang memerlukan komputer pribadi (personal komputer).
Dengan demikian, tidak mengherankan jika perkembangan penjualan komputer mempunyai
kecenderungan meningkat seiring dengan statistik pengguna internet. Oleh karena itu,
perkembangan TI akan mengubah cara hidup manusia dan proses perubahan itu sedang dialami
saat ini.
Dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari banyak orang membeli buku, inakanan
maupun minuman, atau mengikuti lelang berbagai jenis produk menggunakan TI internet. Hal ini
tidak terbatas pads jangkauan kota ataupun luar kota. Akan tetapi, sampai lintas negara dengan
sistem hubungan langsung pads waktu yang sama atau (real time). Inilah yang disebut dengan
revolusi dalam kehidupan sosial atau cara hidup manusia saat ini, aktivitas seperti ini sering
disebut dengan e-commerce.

Lernbaga, pendidikan melihat bahwa TI sebagai alai yang sangat menarik untuk inembuat
operasional organisasi lebih efisien. Tujuannya adalah menghapus posisi pcnyambung
komunikasi dari dua tempat yang berkepentingan, juga menghapuskan hatas waktu untuk operasi
internasional dengan konsep real time. Oleh karena itu, mcbuah lembaga pendidikan dapat
melayani pelanggannya secara efisien. Biaya yang dikorbankan juga akan lebih rendah karena
pengurangan tenaga kerja. Artinya, TI merupakan salah satu fasilitas lembaga pendidikan yang
lebih tepat dalam melayani pelanggan dan memuaskan pemilik lembaga pendidikan tersebut
(share holder). Hubungan antarlembaga pendidikan juga mengalami evolusi ataupun rcvolusi
sejalan dengan munculnya e-learning, e-school. Jadi, proses pembelajaran yang dilaksanakan
melalui TI, hasilnya bisa dipastikan lebih unggul karena 1brmulasi pola pembelajaran sudah
dibuat lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan penyedia maupun pengguna jasa pendidikan. Di
samping itu, muatan mata pelajaran yang diberikan bisa dimodifikasi melalui internet yang
bersumber dari database atau kasus-kasus real, bahkan fenomena-fenomena sosial yang terjadi di
berbagai kota maupun berbagai negara.

Sekarang banyak universitas di Amerika Serikat menawarkan dan melaksanakan kegiatan


edukasinya dengan menggunakan internet. Jadi, peserta pendidikan (mahasiswa) yang berada di
Amerika, Afrika, maupun di Indonesia asal tersedia jaringan internet dapat menikmati edukasi
dan gelar kependidikan dari Amerika tanpa harus mengungsi dalam beberapa tahun ke kota di
mana universitas tersebut berada.
Dengan perkembangan TI yang demikian cepat dan merambah ke semua sektor
kehidupan manusia, demand terhadap para ahli TI pun semakin meningkat. Di samping dampak
positif perkembangan TI dalam mengubah berbagai aspek kehidupan manusia, dampak negatif
pun muncul yaitu adanya pengurangan tenaga kerja, ibarat dua sisi mats uang. Di sisi lain TI
menyediakan banyak peluang pekerjaan dengan kompetensi yang berbeda dari sebelumnya. Jadi,
yang diperlukan adalah kompetensi tenaga kerja bidang keahlian TI.
C. MODEL PEMBELAJARAN DENGAN E-LEARNING
Perubahan wacana ekonomi yang kemudian diikuti oleh permintaan akan pekerja yang
berpengetahuan (knowledge worker) telah memicu keberadaan beberapa lembaga pendidikan,
terutama lembaga pendidikan tinggi, bahwa dalam proses pembelajarannya harus berbasis
teknologi informasi (information and telecommunication based learning). Model pembelajaran
ini diharapkan terus berjalan secara berkesinambungan dengan mengembangkan berbagai
pendekatan untuk mencapai kondisi yang ideal agar dapat memenuhi tuntutan dunia bisnis.
Namun, perjalanan yang ditempuh tidak semudah yang diimpikan karena sekecil spa pun ide
yang mengarah kepada perubahan harus dihadapkan kepada berbagai kendala. Kendala ini di
antaranya adalah kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar (market
adaptability), kesiapan para pendidik (guru/dosen), teknologi dan sarana penunjang lainnya,
biaya dan perangkat kebijakan pemerintah.
Proses pembelajaran yang dilakukan dengan pendekatan e-learning tidak dapat
disamakan dengan lembaga pendidikan pads umumnya, jugs berbeda dengan pola pembelajaran
konvensional yang hanya menggunakan metode tatap muka. Proses pembelajaran e-learning
adalah perpaduan antara metode tatap muka dengan metode on line (via internet dan berbagai
pengembangan teknologi informasi lainnya.
Metode pembelajaran tradisional saat ini memerlukan sebuah perubahan dalam kaitannya
dengan proses adaptif dan mempersiapkan para peserta didik agar slap menjadi knowledge
workers, di mana ilmu pengetahuan menjadi faktor yang sangat penting. Berdasarkan penelitian
UNESCO dan World Bank bahwapads negara berkembang sangat diperlukan adanya perubahan
pendekatan dan paradigma pembelajaran.
Jika tidak demikian, negara berkembang tidak akan mampu bersaing di era ekonomi yang
berlandaskan ilmu pengetahuan (knowledge economic era). Era tersebut mengharuskan para
pekerjanya secara cepat menemukan berbagai informasi yang diperlukan, menimbang dan
mengevaluasi informasi tersebut agar memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan tidak bias, Berta
mempergunakan informasi tersebut untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi.
Dalam hal ini perlu ditumbuhkan kemandirian pads diri setiap pendidik untuk membuat
mereka menjadi lebih independen dan akan memperkaya mereka dengan kemampuan dalam
menguasai ilmu pengetahuan di luar kelas. Aspek lain yang perlu terus ditanamkan terutama
pads pendidikan tinggi adalah konsep yang mengatakan bahwa belajar adalah sebuah proses
yang tidak akan pemah berhenti (lifelong learning process).
Untuk saat ini, sejumlah peserta didik pads jenjang strata sate (S-1) dan strata dua telah
bekerja. Kenyataan ini mengharuskan adanya perubahan paradigma dan pola pendekatan
pembelajaran yang akan dilakukan, di antaranya karena peserta didik yang dihadapi adalah
individu yang memiliki pemikiran kritis, telah memiliki cara untuk belajar, memiliki kemampuan
untuk mengumpulkan dan menggunakan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, dan memiliki
kecenderungan untuk terus melanjutkan studi mereka.
E-learning sebagai sebuah wacana baru dirasakan lebih sesuai untuk peserta didik dengan
karakteristik di atas, keterbatasan waktu, keterbatasan tempat belajar, keterpisahan jarak secara
geografis, dan keinginan peserta didik untuk belajar di tempatnya sendiri. Hal ini akan terpenuhi
jika metode yang digunakan adalah elearning. Dengan demikian, e-learning telah memperbesar
kesempatan bagi individu untuk mendapatkan pendidikan yang diinginkannya sekaligus
mempercepat terciptanya masyarakat yang berpengetahuan (knowledge society). Bill Gates
pernah mengemukakan bahwa teknologi baru akan memainkan peranan penting dalam proses
pembelajaran, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar kelas.
Proses pembelajaran secara online dapat diselenggarakan dalam berbagai cara berikut.
a. Proses pembelajaran secara konvensional (lebih banyak face to face meeting) dengan
tambahan pembelajaran melalui media interaktif komputer via internet atau
menggunakan grafik interaktif komputer.
b. Dengan metode campuran, yakni secara umum sebagian besar proses pembelajaran
dilakukan melalui komputer, namun tetap juga memerlukan face to face meeting untuk
kepentingan tutorial atau mendiskusikan bahan ajar.
c. Metode pembelajaran yang secara keseluruhan hanya dilakukan secara online, metode ini
sama sekali tidak ditemukan face to face meeting.
Terlepas dari ketiga metode tersebut setiap keputusan metode yang akan dilakukan, akan
dihadapkan kepada berbagai kendala yang akhirnya menuntut pengambil kebijakan untuk
menggunakan metode campuran di mana para peserta didik mendapatkan bahan ajar berupa CD-
ROM (yang dikembangkan oleh para perumus bahan ajar dengan dukungan para ahli). Bahan
ajar berupa suara saja (audio), tampilan gambar dan suara (audio-video), termasuk di dalamnya
pertanyaan-pertanyaan quiz sebagai evaluasi yang akan mengukur seberapa tingkat pemahaman
peserta didik terhadap bahan ajar yang diberikan atau melalui website, dan pada saat yang sama
peserta didik melakukan pertemuan tatap muka untuk kepentingan tutorial.
Model pembelajaran yang dikembangkan melalui e-learning menekankan pada resource
based learning, yang juga dikenal dengan learner-centered learning. Dengan model ini, peserta
didik mampu mendapatkan bahan ajar dari tempatnya masingmasing (melalui personal
komputer/PC di rumah masing-masing atau di kantor). Keuntungan model pembelajaran seperti
ini adalah tingkat kemandirian peserta didik menjadi lebih baik dan kemampuan teknik
komunikasi mereka menunjukkan kemajuan yang menggembirakan.
Dengan model ini, komunikasi antarpeserta didik dengan para stafpengajar berlangsung
secara bersamaan atau sendiri-sendiri melalui dukungan jaringan komputer. Resource-based
learning dilengkapi dengan virtual library dan call center Komitmen terhadap model
pembelajaran tersebut ditentukan dengan formula pada tahun pertama peserta didik hanya
mendapatkan bahan ajar melalui CD-ROM, tahun kedua hingga tahun keempat mereka
mendapatkan bahan ajar melalui website. Kemudian dikembangkan lagi ke sistem instruksi yang
berbasis jaringan yang disebut Virtual Online Instructional Support Systems (VOISS). Dengan
VOISS peserta didik dimungkinkan untuk men-down-load tugas-tugas, membaca arahan dari staf
pengajar, mengikuti quiz secara online, melihat jadwal kolas, menerima atau mengirim e-mail
kepada sesama peserta didik, bahkan dimungkinkan untuk melihat hasil tes mereka, kapan dan di
mana saja. Dengan VOISS jugs dimungkinkan adanya forum diskusi interaktif yang dapat
melibatkan peserta didik dengan staf pengajar mereka, tanpa harus berkumpul dalam sebuah
ruangan sorts mampu menghubungkan seorang staf pengajar dengan sejumlah peserta didik dari
suatu wilayah geografis.
Dalam tatanan transfer of knowledge tidak ada yang luar biasa dari sistem ini. Selama
materi pelajaran bisa diakses dan ada tutor/guru/dosen yang bisa diajak berdiskusi tentang materi
pelajaran tertentu, esensi proses pembelajaran sebenamya terpenuhi. Tetapi, apakah mampu
proses yang seperti ini menjadi media pendidikan yang utuh seperti model tradisional. Proses
pembelajaran e-learning yang telah dibahas sebelumnya cukup mendukung premis e-learning
harus dianggap sebagai pelengkap, bukan alternatif proses pembelajaran yang akan
menggantikan proses pembelajaran tradisional secara holistik. Artinya, tentu bukan pilihan yang
bijaksana untuk menggantikan proses pembelajaran tradisional menjadi sepenuhnya berbasise-
learning. Kombinasi keduanyalah yang nanti mampu menghasilkan sinergi yang produktif.
Proses pembelajaran secara fisik di bangku s,,kolah/tempat kuliah akan menjaga value dari
human interaction, sedangkan e-learning akan memberikan akses pada knowledge resource yang
sangat kaya dari internet.

D. PENDIDIKAN INTERNET BALI ANAK PRASEKOLAH


Sebagaimana dikemukakan dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tcntang
Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 ayat (14) bahwa: Pendidikan anak usia dini adalah
suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun
yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan
lebih lanjut. Melihat peluang yang cukup menarik dan sejalan dengan pernyataan tersebut, saat
ini banyak bermunculan lembaga-lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi anak-anak usia
dini, mulai dari kelompok bermain (play group) maupun tempat penitipan anak (TPA) yang
dipelopori oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) terutama di kota-kota besar seperti Jakarta.
Melihat peluang yang cukup menarik, tidak pernah dibayangkan sebelumnya olch beberapa
kalangan bahwa sebuah lembaga pendidikan akan menyiapkan sebuah tawaran yang menarik
bagi peserta didiknya. Hal ini dilakukan bukan somata-mats untuk menarik jumlah peserta didik
yang lebih banyak, tetapi lebih dari itu tawaran ini secara filosofis mempunyai keinginan untuk
memperkenalkan teknologi komputer kepada anak didik lebih awal.
Dengan demikian, pada saatnya nanti mereka harus betel-betel berhadapan dengan dunia
nyata yang.penuh dengan persaingan dan setiap aktivitas menuntut mereka menggunakan
teknologi informasi, dan mampu mengoperasikannya.
Saat ini telah banyak lembaga pendidikan yang menawarkan salah satu muatan
pendidikan khusus pendidikan komputer multimedia (internet). Mulai dari peserta
didik prasekolah sampai ke perguruan tinggi. Salah satu pendidikan prasekolah
yaitu Taman Kanak-Kanak Fajar Hidayah yang berlokasi di perumahan Kota Wisata
0bubur Jakarta Timer, merupakan salah satu sekolah anak-anak yang mempelopori
pengajaran internet dan multimedia. Sejak awal berdirinya pada tahun 1999, mats
pelajaran multimedia dimasukkan dalam kurikulum anak-anak usia balita dan TK.
Secara umum materi pelajaran yang diberikan di Taman Kanak-Kanak Fajar tidak berbeda dari
TK pada umumnya.Para pendiri lembaga pendidikan
Fajar Hidayah berangkat dengan niat melengkapi sistem pendidikan yang memiliki
materi tambahan pengajaran internet berikut aplikasi multimedia.
Dalam mengembangkan sistem pengajaran internet dan multimedia untuk siswa
prasekolah, lembaga tersebut tidak mengacu kepada instansi manapun termasuk
departemen Pendidikan Nasional. Hal ini merupakan kreativitas murni dan nilai tambah (value
added) yang diprakarsai pihak pengelola. Hal ini bertujuan untuk membiasakan anak sejak dini
berinteraksi dengan komputer, multimedia, plus internet.
Untuk mengembangkan pendidikan tersebut, TK Fajar Hidayah dibantu konsultan dari
Depdiknas dan konsultan teknologi informasi dari sebuah perusahaan yang bergerak di
bidangnya. TK Fajar Hidayah memiliki 11 kelas dan setiap kelas terdiri dari 20 siswa. Setiap
kelas tersedia 1 unit Personal Computer (PC), sedangkan untuk kelas play group (kelompok
bermain), setiap PC dilengkapi webcam (kamera web). Pelajaran berbagai aplikasi multimedia
dan internet di TK Fajar Hidayah dimulai dari pengenalan PC dan fungsi dasarnya,
mengoperasionalkan PC dan aplikasi multimedia, serta menjelajah situs-situs yang berhubungan
dengan dunia anak dengan bantuan pengajar.
Kekhawatiran adanya dampak negatif akibat multimedia dan internet terhadap siswa
disadari oleh pihak pengelola pendidikan TK Fajar Hidayah. Namun dalam hal ini tergantung
kepada upaya pengajar dan pihak pengelola untuk menyiasati situasi tersebut. Dengan demikian,
kecil kemungkinan anak-anak yang didampingi pengajar menjelajah situs-situs orang dewasa.
Harapan lebih jauh, pengajaran internet dan multimedia dapat membawa nilai positif bagi
pertumbuhan pendidikan dan pengetahuan anak. Terobosan yang dilakukan oleh TK Fajar
Hidayah dalam memperkenalkan dan mengajarkan program tersebut kepada siswa TK berjalan
cukup efektif. Hal ini dapat dilihat dari beberapa siswa yang cukup memahami dan terampil
mengoperasikan komputer, serta memainkan beberapa program multimedia. Berdasarkan
pengamatan di lapangan, beberapa orang tua yang menyekolahkan anaknya di TK Fajar Hidayah
menyatakan pugs atas perkembangan, pemahaman teknologi internet anak-anak mereka.
Begitu jugs dengan orang tua yang anaknya mengikuti kelompok bermain (play group) memiliki
keuntungan, yaitu dapat memantau aktivitas anaknya di sekolah. Amara lain berkat fitur
Thinkwace Educator pads situs www.thinkwace.com. Dengan piranti berupa PC berakses
internet yang terhubung dengan fitur situs tersebut sudah dipasang kamera web, orang tua bisa
memantau setiap aktivitas yang sedang dilakukan anak-anaknya di kelas. Selain kemampuan
untuk memantau aktivitas anak, www.thinkwace.com dilengkapi jadwal kehadiran, kalender
pendidikan, nilai setiap siswa, dan catatan guru untuk setiap anak. Untuk komunikasi antara guru
dan orang tua sebagian dilakukan via e-mail.
Meskipun program tersebut tidak menginduk pads kurikulum Depdiknas, banyak orang
tua siswa mengaku mendapatkan nilai positifAkan tetapi dalam pelaksanaannya, pengawasan
dan pengarahan dari guru dan orang tua tetap diperlukan. Sehingga informasi yang diterima
siswa betul-betul informasi yang bermanfaat seperti pelajaran Puzzle, Games, dan berhitung
yang dapat meningkatkan rangsangan pads pola pikir anak.

E. ACTION LEARNING DALAM PENDIDIKAN


Action learning sangat populer di kalangan akademisi dan praktisi cumber Jaya manusia
(SDM) karena pendekatan ini banyak dilakukan dalam pelatihan (tan pengembangan SDM, baik
SDM di perusahaan maupun SDM lembaga pendidikan. Dalam menguraikan istilah action
learning setiap orang memiliki pandangan yang berbeda, tergantung sisi kajian mans yang
mereka lakukan.
Action learning dicetuskan oleh Reg Revans tahun 1971 di Amerika Serikat. ('ads
mulanya pendekatan ini hanya diperuntukkan bagi karyawan perusahaan, kemudian berkembang
dan banyak dibutuhkan oleh organisasi-organisasi nonbisnis termasuk organisasi pendidikan.
Revans menggambarkan action learning nicrupakan sebuah cars pengembangan intelektual,
emosi, maupun fisik seseorang atau kelompok orang yang terlibat dalam sebuah organisasi.
Pengembangan ini dilakukan melalui keterlibatan penuh dalam masalah organisasi yang sangat
kompleks. Sasaran yang ingin dicapai dalam pendekatan ini adalah teriadinya partisipasi aktif
dari setiap unsur organisasi untuk proses pemecahan masalah.
Dalam action learning terdapat tiga komponen utama, yaitu:
(1) orang yang nicnerima tanggung jawab untuk bertindak mengenai masalah yang
dihadapi pimpinan lembaga pendidikan),
(2) tugas yang ditetapkan untuk setiap unsur organisasi (job description), dan
(3) tim kerja yang akan merumuskan berbagai permasalahan yang dihadapi organisasi
atau lembaga yang Baling mendukung agar leijadi sinergi untuk kemajuan organisasi.
Pendekatan action learning paling pas digunakan untuk kebutuhan lembaga pendidikan,
misalnya kebutuhan dalam masalah proses pembelajaran, mengidenlifikasi peluang
penyempurnaan proses pembelajaran, merancang program j)cnibelajaran, dan merealisasikan visi
dalam operasional pendidikan. Action learning digLinakanjika kebutuhan yang akan dibahas
lebih sederhana, jelas, kritis, dan bersifat segera. Misalnya, lembaga pendidikan menghadapi
perubahan kebijakan pendidikan yang aktual, terutama menyangkut lulusan lembaga pendidikan
yang ditentukan olch departemen terkait tanpa memerhatikan kapabilitas maupun akuntabilitas
setiap lembaga pendidikah.
Apabila situasi sebuah lembaga pendidikan yang membutuhkan action learning telah
teridentifikasi, harus dipersiapkan sebuah tim action learning untuk menangani permasalahan
yang dihadapi. Anggota tim action learning yang cocok dipilih, yaitu yang memiliki kemampuan
dan keterampilan terutama dalam lembaga pendidikan adalah guru-guru yang memiliki
keterkaitan langsung dengan operasional lembaga pendidikan. Dengan demikian, tim yang
dipersiapkan akan haul-betul memiliki visi dan misi untuk memecahkan masalah yang dihadapi
heikaitan dengan kualitas pendidikan yang dihasilkan. Untuk menciptakan ki-eativitas di antara
anggota tim, diperlukan pars anggota yang memiliki Tatar helakang pengetahuan dan
keterampilan, sikap positif dan terbuka, serta disiplin kcilinuan yang berbeda karena seluruh
anggota tim harus dapat bekerja sama dalam jangka panjang. Di camping itu, seluruh anggota
tim harus memiliki kepentingan untuk menyempumakan situasi maupun kondisi yang sedang
dihadapi bersama.
Action learning juga membutuhkan seorang fasilitator yang berperan membantu agar tim
dapat bekerja sama secara serempak. Facilitator ini sebaiknya orang luar, misalnya konsultan
profesional di bidang pendidikan yang memiliki kapabilitas dalam memecahkan masalah yang
dihadapi lembaga pendidikan dan tidak mengetahui situasi lembaga pendidikan yang sebenamya.
Dengan demikian, dalam membahas permasalahan yang dihadapi lembaga pendidikan bersikap
lebih; obiektif dan mendalam. Yang wajib dimiliki oleh seorang fasilitator adalah kemampuan
untuk membantu proses kerja sama tim action learning.
Untuk lebih jelasnya, model kerja action learning dapat digambarkan dalam diagram
berikut.

IDENTIFIKASI SITUASI
YANG SESUAI DENGAN
ACTION LEARNING

MENETAPKAN ARAH MEMILIH DAN


LEMBAGA PENDIDIKAN MENGORGANISASIKAN TIM
BERIKUTNYA ACTION LEARNING

TIM DIBERI PENGARAHAN


EVALUASI HASIL DAN
BATASAN-BATASAN

BEBASKAN TIM UNTUK INTERAKSI


MENGIDENTIFIKASI ANTARA ANGGOTA TIM
DAN BEREKSPERIMEN DENGAN DIFASILITASI
SOLUSI

Model Action Learning

`Sebelum tim bekerja, mereka diberikan pengarahan oleh fasilitator yang inemuat
informasi mengenai isu atau masalah yang dihadapi sesuai pandangan I'asilitator. Pengarahan
tidak harus detail karena yang diperlukan adalah pemahaman tim mengenai apa yang harus
dilakukan dan diputuskan. Selanjutnya tim akan mulai bekerja untuk mengumpulkan informasi,
melakukan diskusi, menyusun strategi solusi, dan mencoba untuk mengimplementasikannya.
Apabila solusi telah ditemukan dan diimplementasikan dalam lembaga pendidikan, hasilnya
harus dievaluasi untuk disempurnakan sebagaimana mestinya.

Action learning tersebut harus mengacu pada konsep belajar karena pada dasamya bagi
seorang manusia belajar adalah proses yang terjadi secara bertahap, sedikit demi sedikit, dan
harus berulang-ulang. Action learning juga terjadi melalui upaya yang bersifat eksperimental
atau simulasi sehingga diperlukan upaya untuk (criadinya alih pembelajaran pada situasi yang
nyata dan berkaitan dengan semua aktivitas lembaga pendidikan Berta semua orang yang terlibat
di dalam lembaga tersebut.

E. SINERGI POSITIF DAN NEGATIF SISTEM INFORMASI


DAN STRATEGI PENDIDIKAN
Dalam menyusun sebuah perencanaan strategi pendidikan, salah sate pekerjaan yang harus
dilakukan adalah membuat portofolio operasional lembaga pendidikan dan merekomendasikan
strategi yang cocok untuk setiap lembaga pendidikan. Portofolio tersebut dibangun dengan
mempertimbangkan berbagai hal seperti kinerja keuangan lembaga pendidikan, posisi kompetitif
lembaga pendidikan, perkiraan kondisi masa depan, dan berbagai aspek lainnya. Jika
diperhatikan secara konseptual, pembuatan sebuah perencanaan strategi sebuah
organisasi/lembaga tidak ada yang sulit. Akan tetapi, ketika memulai untuk melakukan
pengumpulan informasi dalam pembuatan portofolio di lapangan, berbagai kendala muncul
seperti kondisi persaingan, pertumbuhan lembaga pendidikan, pangsa pasar lembaga
pendidikan,Memprediksi masa depan lembaga pendidikan tersebut. Kendala-kendala tersebut
incrnbawa dampak terhadap judgement yang dilakukan terhadap isu strategis, dan ini akan
memengaruhi kualitas perencanaan strategis lembaga pendidikan yang akan dihasilkan.
Dalam proses pengumpulan informasi untuk pembuatan portofolio ada salah satu lembaga
pendidikan yang dapat melakukannya dengan mudah, karena lembaga pendidikan tersebut sudah
mensinergikan sistem informasi dengan seluruh aktivitas lembaga pendidikan, terutama dalam
membuat database untuk mempersiapkan perencanaan strategi. Hal ini bisa dipastikan akan
mempercepat proses penyusunan strategi lembaga pendidikan tersebut.
Bercermin pada wacana di atas, yang dimaksud sinergi negatif dan post ti rantara sistem
informasi dengan strategi lembaga pendidikan. Pada gambaran pertama, sistem informasi tidak
mampu menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh pihak manajemen lembaga pendidikan
dalam proses pembuatan keputusan karena tidak didukung oleh sistem informasi yang ada.
Dalam konsep sistem informasi yang sudah dikenal sejak lama, informasi sangat berperan
dalam membuat keputusan, termasuk di dalamnya keputusan strategi. Ketidakmampuan sistem
informasi pendidikan untuk menyajikan informasi yang dibutuhkan akan membawa dampak
terhadap strategi lembaga pendidikan. Dampak yang dihasilkan adalah strategi lembaga
pendidikan yang meragukan pengambil keputusan karena disusun berdasarkan informasi yang
terbatas dan inilah sinergi negatif yang dihasilkan.
Sedangkan sinergi positif adalah sinergi antara sistem informasi yang disajikan dengan
baik serta pemahaman strategi lembaga pendidikan yang memadai. Keduanya akan
menghasilkan sebuah strategi lembaga pendidikan yang baik dan bisa dipertanggungjawabkan.
Secara sederhana kedua sinergi tersebut dapat digambarkan dalam matriks berikut.

KUADRAN II KUADRAN I

Masih dimungkinkan terjadinya sinergi positif tetapi Sinergi positif, kualitas strategi lembaga pendidikan yang
harus ada upaya keras untuk mencari berbagai sumber dihasilkan sangat baik dan dapat
informasi. konsultan yang dibutuhkan adalah konsultan dipertanggungjawablan. konsultan yang diperluan
informasi sebagai second option

KUADRAN III KUADRAN IV

Sinergi positif, kualitas strategi pendidikan yang Masih dimungkinkan terjadinya sinergi positufnisalnya
dihasilkan tidak baik dan tidak dapat dipertanggung dengan meminta jasa konsultan bidsang pendidikan
jawabkan. bantuan konsultan tidak banyak menolong untuk memandu penyusunan strategi lembaga
kecuali untuk pembenahan lembaga pendidikan yang pendidikan.
mendasar

Matriks sinergi sisitem informasi dengan strategi lembaga pendidikan


Matriks yang disajikan pada gambar di atas disusun berdasarkan fenomena yang ada pada
lembaga pendidikan umumnya. Jika sinergi kedua unsur tersebut (sistem informasi dan strategi
lembaga pendidikan) bisa dijalankan secara ideal, sinergi yang terjadi adalah positif. Sebaliknya
jika kedua unsur disinergikan kurang tepat, akan terjadi sinergi negatif. Jika melihat apa yang
dimaksud dengan sisteminformasi secara konseptual, yaitu sistem informasi yang mampu
menyediakan informasi yang relevan, akurat, dan dapat dipahami, fasilitas simulasi yang
memadai, serta tepat waktu kepada pihak manajemen sehingga dapat digunakan untuk
mengambil keputusan.

Pada kuadran I, peranan konsultan tidak terlalu besar dan dalam hal ini konsultan
pendidikan hanya sebagai second opinion karena lembaga pendidikan telah berhasil
mengembangkan strategi yang diimplementasikannya.

Pada kuadran II, penggunaan tenaga konsultan pendidikan tidak efektif karena yang
dibutuhkan adalah pencarian sumber-sumber informasi. Yang lebih tepat konsultan yang
dibutuhkan adalah konsultan sistem informasi. Dengan demikian, sistem informasi yang akan
digunakan dapat menemukan strategi yang tepat dalam membenahi lembaga pendidikan.

Pada kuadran III, kondisi lembaga pendidikan cukup parch karena lembaga pendidikan
membutuhkan pembenahan yang mendasar, baik pembenahan sistem informasi maupun
pemahaman terhadap strategi lembaga pendidikan.

Tenaga konsultan pendidikan akan menjadi efektif jika kondisi lembaga pendidikan
berada pada kuadran IV, karena dalam kondisi ini konsultan dapat menjadi pemandu untuk
proses penyusunan perencanaan strategi lembaga pendidikan. Untuk melakukan analisis posisi
lembaga pendidikan pada matriks tersebut, lembaga pendidikan akan membuat keputusan
berbagai langkah ke depan, upakah melakukan pembenahan yang mendasar atau melakukan
perbaikan untuk penyempumaan.
G. PENDEKATAN HUMAN-CENTERED DALAM
MANAJEMEN PENDIDIKAN
Sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam berbagai bidang kehidupan mengalami kemajuan yang sedemikian pesat. Tidak
terkecuali kemajuan ilmu pengetahuan di bidang pendidikan yang telah memunculkan konsep
dan strategi barn. Konsep dan strategi ini kemudian diterapkan dalam praktik oleh beberapa
lembaga pendidikan Yung mempunyai peluang untuk memanfaatkan keampuhan konsep dan
strategi tersebut. Dalam praktiknya penerapan suatu konsep dan strategi lembaga pendidikan
biasanya memerlukan penerapan konsep lainnya, baik karena sifatnya yang inheren maupun
sebagai penunjang konsep strategi utamanya. Selain itu, penerapan salah satu konsep dan strategi
yang ditetapkan dalam lembaga pendidikan akan .berpengaruh pada keseluruhan sistem lembaga
pendidikan lersebut.
Munculnya berbagai konsep dan strategi pada lembaga pendidikan, berkaitan doigan
situasi persaingan antara lembaga pendidikan yang ada. Namun, munculnya fenomena
persaingan tersebut dipicu oleh cepatnya perkembangan dan perubahan teknologi informasi yang
semakin mutakhir. Pesatnya perkembangan teknologi informasi telah menjadikan banyak
lembaga pendidikan menjadi bernilai karena nilai informasi yang dihasilkan memiliki arti
strategis dalam pola pengembangan manajemen lembaga pendidikan. Dengan demikian,
teknologi informasi akan menjadi keharusan dalam mengelola sebuah lembaga pendidikan agar
mampu mengembangkan pola pembelajaran yang lebih berkualitas dan memiliki nilai bagi
pelanggannya.
Untuk mampu menguasai teknologi informasi yang optimal, setidaknya diperlukan
prasyarat umum yang meliputi kesiapan baik sumber daya manusia maupun sumber daya
material. Kesiapan sumber daya bukanlah sesuatu yang mudah untuk dipenuhi karena bagi
lembaga pendidikan harus mencari alternatif tertentu yang paling menguntungkan dan tepat
guna. Salah satu upaya tersebut, yaitu dengan strategi outsourcing teknologi informasi, yang
merupakan strategi penguasaan dan pemanfaatan teknologi informasi oleh lembaga pendidikan
melalui pihak ketiga (Ludigdo, 1997). Akan tetapi, strategi ini tidak selalu memberikan manfaat
yang optimal dan mengandung sejumlah risiko sehingga digunakan strategi insourcing dalam
pemanfaatan teknologi.

Berkaitan dengan hal tersebut akan diuraikan mengenai


(1) teknologi informasi dan keunggulan kompetitif,
(2) faktor manusia dalam manajemen informasi,
(3) human-centered approaches VS machine-centered approaches.

1. Teknologi Informasi dan Keunggulan Kompetitif


Hubungan antara teknologi informasi dan keunggulan kompetitif lembaga pendidikan
adalah lembaga pendidikan perlu mengembangkan kapabilitas teknologi informasi secara efektif
dengan biaya untuk investasi teknologi informasi, menghasilkan sistem yang tepat guna, dan
mencapai tujuan pembelajaran dengan implementasi teknologi informasi. Hal lain yang mungkin
dilakukan oleh lembaga pendidikan adalah mempertimbangkan dua pendekatan strategi yang
relatif barn apabila dikombinasikan secara tepat akan meningkatkan sumber daya lembaga
pendidikan dalam meningkatkan daya saingnya.
Menurut Quinn & Hilmer, 1994 ada dua strategi yang bisa dikombinasikan, yaitu
(1) mengonsentrasikan sumber daya untuk mencapai keunggulan dan memberikan nilai
yang unik bagi pelanggan;
(2) mencari sumber daya dari luar yang lebih strategis. Hal tersebut menunjukkan bahwa
keberadaan sistem informasi dan strategi yang tepat ternyata akan berperan dalam lembaga
pendidikan.
Hal ini memungkinkan lembaga pendidikan tersebut mendapatkan informasi mengenai
kondisi internal lembaga pendidikan, posisi lembaga pendidikan dalam arena persaingan, posisi
lembaga pendidikan pesaing, dan perubahan lingkungan eksternal lembaga pendidikan dalam
rangka menentukan strategi berikutnya. Sebagai komponen sistem informasi, teknologi informasi
telah memainkan peran dalam berbagai aspek, mulai dari pengembangan jasa pendidikan sampai
kepadadukungan pelayanan kepada pelanggannya, serta penyediaan alai untuk analisis proses
pengambilan keputusan. Teknologi informasi merupakan pengcndali munculnya berbagai
tuntutan dan upaya untuk mengadakan perubahan, baik dalam struktur maupun proses organisasi
lembaga pendidikan, misalnya reengineering, restructuring, reorganizing atau redesigning, serta
perubahan berupa digantikannya sistem manual menjadi otomatisasi. Selain itu, ada beberapa
manfaat dari penerapan teknologi informasi oleh sebuah lembaga termasuk lembaga pendidikan
dalam rangka mencapai keunggulan kompetitif walaupun tidak semua manfaat dapat
(likuantifikasikan secara financial. Harapan atas penguasaan dan pengembangan kapabilitas
teknologi informasi sebenamya berkaitan dengan konsistensinya dalam penyediaan,
pengidentifikasian, dan kesempatan untuk mengimplementasikannya dalam memenuhi
kebutuhan strategis yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah dibandingkan pesaing.

2. Faktor Manusia dalam Manajemen Informasi


Suatu lembaga pendidikan dapat berhasil dalam kompetisi bukan karena hanya
menerapkan teknologi informasi tertentu, melainkan telah mengembangkan suatu kapabilitas
tertentu untuk menerapkan teknologi informasi dalam menghadapi perubahan. Kapabilitas yang
dimaksud adalah investasi pada teknologi informasi yang tidak terbatas pada nilai informasi
tetapi menyangkut proses penguasaannya.
Siapa yang menggunakan nilai informasi, kapan digunakan, dan dalam situasi apa
digunakan. Nilai dari kapabilitas teknologi informasi lembaga pendidikan tergantung pada aset
manusia, teknologi, dan hubungan (relationship) antara teknologi dengan manajemen lembaga
pendidikan, sekaligus menunjukkan bahwa acct manusia mempunyai peran yang sangat penting
dalam penguasaan dan pengembangan teknologi informasi. Dengan demikian, aset manusia
secara bcrsama-sama dengan kedua aset lain dapat meningkatkan nilai lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan dengan aset manusia yang bernilai (valuable) mendistribusikan tanggung
jawab untuk memecahkan masalah manajemen kepada setiap anggota staf teknologi informasi.
Karakteristik aset manusia yang bernilai adalah staf yang secara konsisten memecahkan masalah
manajemen dan menunjukkan kesempatan perbaikan (improvement) melalui teknologi informasi
yang tersedia.
Dengan kombinasi pelatihan formal, pengalaman kerja, dan kepemimpinan yang
terfokus, staf teknologi informasi dapat mengakumulasikan kompetensi dan pengetahuan
teknologi menjadi relevan. Hubungan antarmanusia sebagai aset lembaga pendidikan dengan
aset teknologi dan aset relationship dalam rangka meningkatkan nilai lembaga pendidikan
sehingga mampu dan dapat memenangkan persaingan, seperti yang diilustrasikan dalam gambar
berikut.
3. Human-Centered Approaches Vs Machine-Centered Approaches
Untuk pemakai berbagai informasi dalam lembaga pendidikan, hanya sate hal yang hares
diperhatikan, yaitu manajemen informasi yang efektif dimulai dengan berpikir bagaimana
manusia menggunakan informasi bukan berpikir bagaimana orang menggunakan mesin.
Pendekatan yang digunakan dalam manajemen informasi yang menekankan pada pemikiran
bagaimana orang menggunakan informasi, itulah yang dimaksud dengan Human-
CenteredApproach. Adapun yang menekankan bagaimana orang menggunakan mesin (alai),
itulah yang dimaksud dengan machine-centered approach atau disebut information architecture
(Dapenvort, 1994). Beberapa hal yang membedakan antara human-centered dan machine-
centered dalam manajemen informasi adalah desain teknologi dan proses.
Dalam machine-centered, teknologi dan proses didesain untuk menyederhanakan apakah
yang akan diproses mesin (komputer) dan manusia diharapkan menyesuaikan dengan kelemahan
dan keterbatasan komputer. Adapun dalam human-centered desain disebutkan bahwa teknologi
dan proses didesain untuk membuat sistem kerja manusia menjadi lebih efektif dan memuaskan.
Hal ini menunjukkan bahwa teknologi informasi bukan hal yang sangat pokok dalam penguasaan
dana manajemen informasi karena sebagaimana asumsi yang ada dan

H. KEAMANAN SISTEM INFORMASI, MORAL, ETIKA, DAN HUKUM


TEKNOLOGI INFORMASI

1. Keamanan Sistem Informasi


Keamanan sistem informasi menjadi bagian yang sangat penting untuk menjamin
keutuhan data dan kualitas informasi yang akan dihasilkan. Beberapa prosedur dirumuskan untuk
melindungi data dan informasi, baik dari faktor kesengajaan maupun masalah teknis dan etika
yang diperkirakan dapat merusak, menghilangkan, atau menghambat distribusi data dan
informasi tersebut.
Upaya yang dilakukan secara teknis untuk mengatasi hal tersebut, yaitu dengan
menyusun visi bersama guna melindungi dan mengamankan data dan informasi. Visi yang telah
disusun dituangkan dalam bentuk prosedur manajemen kendali sehingga semua komponen dalam
organisasi ikut terlibat dalam. pengamanan. Oleh karena itu, pengamanan terhadap data dan
informasi bukan hanya tanggung jawab bagian sistem informasi tetapi menjadi tanggung jawab
seluruh komponen yang terlibat dalam organisasi tersebut.
Menurut Hary Gunarto dalam Budi Sutedjo (2002: 191-210) terdapat tiga jenis
pengendalian data dan informasi meliputi:
(1) pengendalian sistem informasi,
(2) pengendalian prosedural, dan
(3) pengendalian fasilitas. Ketiga prosedur pengendalian tersebut jika dirumuskan dan
diimplementasikan dengan baik diyakini dapat memberikan pengamanan yang optimal terhadap
data dan informasi yang terkandung dalam sistem informasi dan mampu menekan risiko
terjadinya gangguan keamanan terhadap sistem informasi secara keseluruhan.

a. Pengendalian Sistem Informasi


Pengendalian ini merupakan cars dan upaya untuk meyakinkan bahwa keakuratan dan
validitas kegiatan sistem informasi dapat dilaksanakan kapan dan di mana pun kegiatan itu
dioperasikan. Pengendalian perlu diciptakan untuk inclakukan kegiatan input data, kegiatan
pemrosesan, dan kegiatan penyimpanan data sehingga implementasi sistem dapat dilaksanakan
dengan baik dan. aman. Pengendalian dalam hal ini direncanakan untuk memonitor dan menjaga
kualitas, keamanan peralatan, input, proses, output, aktivitas penyimpanan, dan distribusi sistem
informasi.
Pertama, kualitas input sangat menentukan hasil akhir pemrosesan. Hal ini dikenal dengan
garbage in, garbage out artinya kesalahan pada saat input data akan menghasilkan informasi yang
salah. Pengendalian input terdiri dari:
(1) penggunaan sistem password dan log-in name akan membatasi siapa yang dapat
melakukan akses terhadap sistem informasi tersebut;
(2) pendeteksian terhadap proses pemasukan data, misalnya untuk kolom numerik tidak dapat
diisi dengan abjad dan demikian sebaliknya;
(3) pemasukan kode, kalau di bagian layanan administrasi sekolah, misalnya kode siswa laki-
laki dan perempuan, kode jurusan, dan kode kelas.
Kedua, pengendalian proses ketika komputer akan memproses data dengan prosedur yang
telah ditetapkan. Pengendalian proses diperlukan untuk memastikan apakah prosedur tersebut
telah bebas dari kesalahan perhitungan aritmatika dan logika. Untuk pengendalian proses yang
bci7kaitan dengan perangkat komputer akan meliputi:
(1) koneksi peralatan pendukung untuk mengecek pendeteksian kode,
(2) memastikan bahwa prosesor yang digunakan tidak terdapat kesalahan,
(3) pengecekan terhadap kompatibilitas program sebelumnya dengan program barn yang
digunakan, dan
(4) ketersediaan prosedur untuk melakukan pencegahan terhadap kesalahan yang terjadi
sehingga perlu disediakan prosedur pencegahan melalui pemunculan kotak dialog yang
memberikan informasi tentang prosedur yang benar.

Ketiga, pengendalian output dilakukan untuk menjamin bahwa informasi yang dihasilkan
tidak terjadi kesalahan. Hal ini sangat penting artinya, mengingat output sistem informasi akan
digunakan untuk pendukung keputusan. Langkah-langkah pengendalian output secara standar
dilakukan melalui: (1) pengecekan dokumen dan laporan yang dihasilkan, apakah sesuai dengan
hasil perhitungan yang sebenarnya; (2) pengecekan terhadap seluruh output, apakah sudah sesuai
dengan input yang diberikan.

Keempat, pengendalian penyimpanan baik proses maupun peralatan yang digunakan, jenis
pengendalian ini meliputi tiga hal: (1) Kerusakan harddisk bisa berupa kerusakan fisik atau habis
masa pakainya. Oleh karena itu, untuk mengamankan data dilakukan upaya disk mirroring, yaitu
upaya menduplikasikan harddiskpada satu jalur data sehingga pada saat yang sama data langsung
tersimpan dalam dua buah harddisk. Atau dengan disk duplexing, yaitu upaya untuk
menduplikasikan harddisk tetapi pada jalur data yang berbeda. Metode ini mirip dengan metode
disk mirroring, perbedaannya pada metode disk duplexing harddisk pertama dan kedua dibuatkan
jalur yang berbeda sehingga apabila terjadi kerusakan pada satu jalur data harddisk maka server
masih dapat beroperasi. (2) Virus, merupakan problematika yang cukup pelik karena virus
komputer dapat menjalar secara cepat, baik melalui medium disket maupun jaringan komputer
dan internet. Untuk mengatasi virus secara praktis, langkah yang dapat ditempuh dengan cars
memasang dan mengaktifkan program antivirus, seperti McAfee.com Clinic (www.meafee.com),
McAfee VirusScan Asap (www.mcafeeasap.com), dan Symantec Norton Anti Virus 2001
(www.Symantec.com). Program tersebut harus secara terus-menerus diperbarui agar dapat
mengikuti perkembangan jenis virus yang tersebar. (3) Pengendalian sistem informasi yang
berkaitan dengan proses distribusi data dan informasi. Pengendalian terhadap proses distribusi ini
meliputi:
(a) pengecekan terhadap sistem jaringan yang digunakan untuk pcndistribusian data dari
terminal transaksi menuju ke server dan jalur distribusi informasi dari server ke terminal-
terminal yang dituju;
(b) tegangan listrik yang tidak stabil atau padam secara mendadak dapat mengakibatkan
kerusakan pada sejumlah harddisk yang terhubung dalam sistem jaringan;
(c) ancaman kerusakan data dan komputer dari loncatan elektron bebas akibat halilintar,
khususnya bagi lingkungan jaringan dan internet dalam sebuah lembaga/organisasi.

b. Pengendalian Prosedural
Untuk menjaga agar layanan informasi cukup aman, selain pengendalian sistem
informasi, dibutuhkan pengendalian prosedural yang mengatur prosedur pengoperasian
administrasi kepegawaian yang efektif dan efisien. Hal-hal yang harus dirumuskan dalam
menyusun pengendalian prosedural, antara lain:
(1) prosedur backup data dan program yang disesuaikan dengan tingkat urgensinya;
(2) prosedur untuk memasuki lingkungan jaringan komputer yang ada di lingkungan
organisasi dan prosedur apabila akan keluar dan meninggalkannya;
(3) prosedur pcmbagian kerja antara staf pengelola teknologi informasi berdasarkan
keahlian dan kemampuannya.

c. Pengendalian Fasilitas dan Usaha Pengamanan


Hal ini dilakukan untuk melindungi fasilitas fisik sistem informasi yang berbasis
teknologi informasi serta peralatan pendukungnya dari kerusakan dan pencurian. Upaya
pengendalian fasilitas dapat dilakukan, antara lain melakukan kompresi agar dapat menjaga
tingkat kepadatan lalu lintas data dalam jaringan, enskripsi, dan deskripsi untuk menjaga
keamanan data dalam harddisk maupun yang sedang melintas dalam jaringan.

2. Moral, Etika, dan Hukum Teknologi Informasi


Menurut McLeod dalam Budi Sutedjo (2001: 90) moral merupakan kebiasaan dalam
mempercayai perilaku baik atau buruk. Oleh sebab itu, moral merupakan institusi sosial yang
memiliki sejarah dan sederetan peraturan ketika semua individu harus bertanggung jawab
terhadap perilaku masyarakatnya, moral tersebut mempelajari aturan-aturan tentang perilaku
sejak seseorang masih kecil.
Sedangkan etika merupakan serangkaian petunjuk yang harus diikuti, memiliki standar
atau idealisms yang diterima oleh perorangan, kelompok, atau suatu komunitas teknologi
informasi.
Menurut James H. Moor dalam Budi Sutedjo (2002: 208) etika teknologi i n lon-nasi
berperan sebagai alai analisis mengenai sifat dan dampak sosial teknologi informasi, serta
formulasi dan justifikasi kebijakan untuk menggunakan teknologi informasi tersebut. Etika
digunakan untuk menganalisis sifat dan dampak social ekonomis yang ditimbulkan dari
penggunaan teknologi informasi dan usaha-usaha untuk menerima dan menghargai semua
kegiatan yang mengarah pada pengoperasian dan peningkatan layanan teknologi informasi, serta
upaya untuk menghindari atau mencegah hal-hal yang mengancam, merusak, dan mematikan
kegiatan teknologi informasi secara langsung atau tidak langsung.
Ise etika yang paling penting antara lain pelanggaran hak kekayaan intelektual, seperti
penggunaan software bajakan, bom e-mail, hacker, cracker, privacy, kebebasan melakukan akses
pomografi dan hukum teknologi informasi. A-khir-akhir ini banyak forum diskusi yang
mendorong pembentukan hukum teknologi informasi yang diharapkan akan menjadi fondasi
untuk mengelola komunitas internet.
Menurut Hary Gunarto dalam Budi Sutedjo (1998: 209) dasar filosofi etika yang akan
dituangkan dalam hukum teknologi informasi Bering dinyatakan dalam empat macam nilai
kemanusiaan yang universal, meliputi hak solitude (hak untuk tidak diganggu), anonymity (hak
untuk tidak dikenal), intimicy (hak untuk tidak dimonitor), dan reserve (hak untuk dapat
mempertahankan informasi individu sehingga terjaga kerahasiaannya). Hinca Panjaitan dalam
Onno W. Purbo (2000) menambahkan bahwa yang perlu diakomodasikan lagi adalah hak untuk
mengakses informasi atau pengetahuan serta hak untuk berkomunikasi. Deborah Johnson (1998)
memberikan pendapat yang perlu diperhatikan dalam etika teknologi informasi, yaitu hak atas
akses komputer, hak atas keahlian komputer, , hak atas pengambilan keputusan komputer.
Hambatan dalam menghadapi penerapan etika dan hukum pada teknologi informasi dan
internet, antara lain pemahaman mengenai etika dan hukum pada masing-masing kelompok
sosial yang berbeda, baik di negara maju maupun negara berkembang.
Menurut Hary Gunarto dan Budi Sutedjo (2002: 210) meskipun permasalahan etika dan
hukum teknologi informasi dan internet sangat kompleks tetapi beberapa tindakan dan perilaku
yang dianggap tidak etis menurut perjanjian internasional telah berhasil dirumuskan antara lain:
a. akses ke tempat yang tidak menjadi haknya;
b. merusak fasilitas komputer dan jaringan;
c. menghabiskan secara sia-sia setiap number days yang berkaitan dengan orang lain,
komputer, ruang harddisk, dan bandwidth komunikasi;
d. menghilangkan atau merusak integritas dan kerja sama antarsistem komputer;
e. mengganggu kerahasiaan individu atau organisasi.

Hukum merupakan aturan formal tentang perilaku, wewenang, atau kekuasaan, pemerintahan
yang menentukan subjek atau kewarganegaraan.
Beberapa negara telah berhasil secara konkret membuat peraturan untuk, mengatasi tindakan
yang dianggap melanggar etika ke dalam bentuk undangundang atau hukum teknologi informasi,
misalnya sebagai berikut :
a) Kanada dengan jenis undang-undang telecommunication act, broadcasting act,
radiocommunication act, dan criminal code.
b) Amerika Serikat dengan undang-undangfreedom of information act, privacy protection
act, computer security act, electronic communication privacy act, computer fraud and
abuse act, wire fraud act, dan telecommunication act.
c) Indonesia menggagas kerangka etika dan hukum teknologi informasi yang dilakukan oleh
para pakar hukum Indonesia, yang dibahas melalui mailing list, antara lain
telematikaaegroup.com, mastel-e-commerceaegroups.com, doita,tropika.com, dan warta-
e-commerceaegroups.com.
Setelah membahas batasan moral, etika, dan hukum yang dikemukakan oleh McLeod,
kaitannya dengan teknologi informasi yang digunakan dalam tatanan organisasi harus memenuhi
ketiga kriteria tersebut, yaitu secara moral, etika, dan hukum yang berlaku. Teknologi informasi
yang digunakan dalam sebuah organisasi merupakan petunjuk bagi seorang pimpinan dan
bawahannya yang harus memiliki nilai moral, etika, informasi khusus, serta sebagai bentuk
aplikasi penegakan hukum. Oleh karena itu, penggunaan teknologi informasi dalam setiap
aktivitas lembaga, terutama lembaga pendidikan memerlukan budaya etika yang lebih baik
karena lembaga pendidikan merupakan sentral etika yang dijadikan contoh bagi lembaga-
lembaga lain.
Kebutuhan akan budaya etik sangat dibutuhkan terutama dalam poly hubungan antara
pimpinan dengan lembaga pendidikannya. Hal ini merupakan dasar dalam menentukan budaya
etik. Jika dalam sebuah lembaga pendidikan akan mewujudkan etika, terlebih dahulu pimpinan
lembaga pendidikan harus melaksanakan etika baik melalui perkataan maupun perbuatan karena
pimpinan lembaga pendidikan merupakan contoh bagi bawahannya.
Dalam menanamkan budaya etika pada lembaga pendidikan, ada tiga bentuk implementasi yang
harus diperhatikan berikut ini :
a. Membentuk paham etika lembaga pendidian (educational institution credo), merupakan
pernyataan singkat yang menjunjung tinggi nilai lembaga pendidikan, yang dibentuk
melalui komitmen dengan pengguna jasa pendidikan, para pelaku yang terlibat dalam
lembaga pendidikan, serta komitmen dengan masyarakat secara umum.
b. Program etika merupakan sistem yang merancang aktivitas ganda untuk memfasilitasi
pimpinan dan bawahan yang terlibat dalam lembaga pendidikan dalam memahami
organisasi pendidikan tersebut.
c. Membangun kode etik lembaga pendidikan tersendiri atau beradaptasi dengan kode etik
yang dibuat oleh lembaga profesi di bidang pendidikan, misalnya kode etik guru dan
kode etik kepala sekolah.
Ketiga unsur yang membentuk budaya etika dalam lembaga pendidikan dapat digambarkan
dalam diagram sebagai berikut.

MEMBENTUK MEMBUAT MEMBENTUK KODE


PAHAM ETIKA PROGRAM ETIKA ETIK LEMBAGA
PENDIDIKAN

Unsur-unsur yang membentuk budaya etika


Selanjutnya Leod mengemukakan bahwa dalam merencanakan operasi teknologi
informasi yang beretika hares memenuhi 10 tahap standar etika, yaitu :
1. merumuskan paham etika;
2. membentuk prosedur melalui peraturan-peraturan yang ada;
3. menetapkan sanksi;
4. mengakui adanya perilaku etis;
5. memfokuskan pads program pelatihan;
6. melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan;
7. mendorong program rehabilitasi etika;
8. mendorong partisipasi masyarakat profesional untuk membuat kode, etik;
9. menetapkan budaya keteladanan.

Sementara itu menurut James Moor dalam Indrajit (2002: 265) bahwa dalam pembuatan
perangkat lunak yang didasari pads teknik pernrograman terstruktur teknologi informasi, ada tiga
alasan utama diperlukannya etika, yaitu logical malleability (kelenturan logika), transformation
factor (faktor transformasi), dan invisibility factor (faktor yang tidak kasat mata).
1. Kelenturan logika
Perangkat aplikasi teknologi informasi akan melakukan hal-hal yang diinginkan
pembuatnya (programmer). Programer sendiri akan menggunakan analisisnya untuk
menangkap kebutuhan pengguna sebagai landasan dalam merancang aplikasi yang
dibuatnya. Karena bagi pengguna teknologi informasi, komputer merupakan kotak hitam
yang dibuat oleh praktisi teknologi informasi.
2. Faktor transformasi
Kehadiran teknologi informasi dalam dunia pendidikan tidak hanya mampu
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pekerjaan, tetapi secara langsung akan mengubah
cars pegawai lembaga pendidikan melakukan aktivitasnya seharihari. Misalnya,
bagaimana Electronic Mail (e-mail) dapat menggantikan komunikasi tradisional surat
menyurat, internet menggantikan pusat informasi, sistem basis data (database system)
menggantikan lemari penyimpanan arsip. Konsep etika berkembang dalam fenomena
transformasi karena telah bergesemya paradigms dan mekanisme aktivitas lembaga
pendidikan seharihari, baik antara komponen internal maupun komponen ekstemal.
Tanga adanya etika dunia teknologi informasi akan dengan mudah memanfaatkan tren
transformasi tersebut.
3. Faktor tidak kasat mata
Komputer sebagai kotak hitam dari teknologi informasi akan bekerja sesuai dengan
aplikasi yang diinstalasi. Faktor tidak kasat mata merupakan peluang yang paling banyak
dipergunakan oleh pars penjahat teknologi informasi karena seringkali pimpinan
organisasi termasuk lembaga pendidikan menyerahkan pengembangan aplikasi
seutuhnya kepada programer yang ditunjuk.
BAB APLIKASI TQM
5 DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN

Banyak orang berpikir bahwa total quality management (TQM) hanya menjadi urusan
dunia bisnis, padahal TQM bisa diterapkan dalam dunia pendidikan yang berkecimpung dalam
proses peningkatan kualitas cumber daya manusia.
Seiring dengan kemajuan dan perkembangan teknologi informasi yang semakin cepat dan
mutakhir, konsep dan strategi barn sangat dimungkinkan terns bermunculan. Akan tetapi, hanya
sedikit konsep yang mampu mendapat perhatian dan terbukti merupakan pendekatan yang
ampuh untuk mengatasi berbagai persoalan manajerial. Satu di antara sedikit konsep yang
berhasil menyita banyak perhatian pars akademisi dan praktisi, yaitu TQM (total quality
management.

A. FILOSOFI TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM)


Istilah kualitas mengandung berbagai macam makna yang berlainan, Goetsch dan Davis
(1994) merumuskan konsep holistik mengenai kualitas sebagai kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau
melebihi harapan pengguna produk/jasa.
Menurut (Tjiptono & Diana, 1996) secara garis besar ada tiga tahap perkembangan
konsep kualitas. pertama era Craftmanship, di mana individu sangat terampil mengerjakan semua
tugas yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas. Dengan demikian,
peranan pimpinan, petugas, operasional, dan pengendali kualitas ditumpuk pada satu orang.
Pendekatan ini ditinggalkan seiring dengan berkembangnya studi waktu dan gerak yang
dikembangkan oleh bapak manajemen ilmiah, Frederick W. Taylor, pada dekade 1920-an. Aspek
fundamental dalam manajemen ilmiah adalah perlunya pemisahan antara perencanaan dan
implementasi. Pendekatan Taylor mengganti Craftmanship dengan pembagian tugas (division of
labor).
Manajemen diberi tanggung jawab perencanaan sedangkan bagian operasi ditangani oleh
tenaga kerja atau buruh. Untuk menjaga kualitas dibentuk departemen kualitas yang terplisah.
Sejalan dengan meningkatnya volume dan kompleksitas operasi, kualitas jugs berkembang
menjadi isu yang semakin rumit. Pendekatan tradisional ofter-the-fact yang sarat diwamai
inspeksi tidak lagi memadai. Hasil inspeksi tidak lebih dari sekadar menyisihkan komponen
produk cacat. Cara-cara'seperti ini tidak menyelesaikan masalah karena tanggung jawab kualitas
dibebankan semata-mata pada departemen kualitas. Penyebab produk cacat tetap ada dan biaya
akibat produk cacat tetap tinggi. Di pihak lain, muncul masalah besar mengenai 3K (komunikasi,
koordinasi, dan kerja sama) akibat pemisahan think (yang dilakukan oleh pihak manajemen) dan
act (yang dilaksanakan oleh pihak pegawai lapangan). Kenyataan ini mendorong munculnya
pendekatan kualitas total (total quality approach) yang dalam perkembangannya dikenal dengan
istilah total quality management.
Konsep total quality management pertama kali dikemukakan oleh Nancy Warren,
seorang behavioral scientist di United States Navy (Walton dalam Bounds, el. al., 1994). Istilah
ini mengandung makna every process, every job, dan every person (Lewis & Smith, 1994).
Pengertian TQM dapat dibedakan menjadi dua aspek (Goetsch & Davis, 1994). Aspek pertama
menguraikan apa TQM. TQM didefinisikan sebagai sebuah pendekatan dalam menjalankan
usaha yang berupaya memaksimumkan daya saing melalui penyempurnaan secara terus-menerus
atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan organisasi. Aspek kedua menyangkut Cara
mencapainya dan berkaitan dengan sepuluh karakteristik TQM yang terdiri atas:
(a) fokus pada pelanggan (internal & eksternal),
(b) berorientasi pada kualitas,
(c) menggunakan pendekatan ilmiah,
(d) memiliki komitmen jangka panjang,
(e) kerja sama tim, ffi menyempurnakan kualitas secara berkesinambungan,
(g) pendidikan dan pelatihan,
(h) menerapkan kebebasan yang terkendali,
(i) memiliki kesatuan tujuan,
(j) melibatkan dan memberdayakan karyawan.
B. PILAR TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM)
Bill Creech, seorang mantan jenderal berbintang empat berhasil menerapkan berbagai
prinsip TQM pada United States Air Force semasa Perang Teluk. Prinsip yang digunakannya
dikenal dengan istilah Lima Pilar TQMyang terdiri atas produk, proses, organisasi, pemimpin,
dan komitmen (Creech, 1996), pal ini digambarkan dalam diagram (lihat Gambar 5.1).
Menurut Creech, produk atau jasa merupakan titik pusat bagi tujuan dan prestasi sebuah
organisasi. Kualitas sebuah produk atau jasa tidak mungkin ada 1;inpa kualitas di dalam proses.
Kualitas dalam proses tidak mungkin terjadi tanpa adanya organisasi yang tepat. Organisasi akan
menentukan kesehatan dan vitalitas kescluruhan sistem manajemen karena itu ditempatkan di
tengah-tengah kelima pilar TQM. Organisasi yang tepat tidak ada artinya tanpa kepemimpinan
yang memadai. Komitmen yang kuat dari bawah ke atas merupakan pilar pendukung bagi pilar-
pilar lain. Setiap pilar tersebut tergantung pada empat pilar yang lain dan apabila ada salah satu
pilar yang lemah, semuanya akan turut lemah.
Lebih lanjut Creech menegaskan bahwa program TQM harus memenuhi empat

PRODUK PROSES

ORGANISASI

KOMITMEN
PEMIMPIN

5 pilar TQM

kriteria agar dapat mencapai kesuksesan dalam implementasinya. Pertama, program


tersebut harus didasarkan pada kesadaran akan kualitas dan berorientasi. pada kualitas dalam
aktivitasnya, termasuk dalam setiap proses dan produk/jasa. Kedua, program tersebut harus
memiliki sifat kemanusiaan yang kuat untuk menerjemahkan kualitas dalam cara
memperlakukan karyawan, selalu' diikutsertakan dan diberi inspirasi. Ketiga, program TQM
harus didasarkan pada, pendekatan desentralisasi yang memberikan wewenang di semua
tingkatan,kenyataan dan bukan sekadar slogan. Keempat, TQM harus diterapkan secara'
menyeluruh sehingga semua prinsip, kebijakan, dan kebiasaan mencapai setiap sudut dan celah-
celah organisasi.

C. KETERKAITAN TQM DAN QWL DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN


Efektivitas organisasi lembaga pendidikan tidak dapat dicapai tanpa orang-' orang yang
memiliki kemampuan dan komitmen sepenuhnya terhadap semua hierarki organisasi. Teknologi
informasi, sistem, dan konsep baru mendukung peningkatan efektivitas dan produktivitas
organisasi. TQM akan mengalami kesulitan dalam menghadapi masalah yang harus dipecahkan,
terutama dalam pengembangan dan pemeliharaannya. TQM adalah suatu peralihan proses
yangdikendalikan oleh pengendalian eksternal melalui kepatuhan terhadap, prosedur dalam
proses perbaikan kebiasaan yang ditanamkan dalam kultur organisasi, TQM berorientasi pada
pelanggan dan secara terus-menerus meningkatkan kualitas. Pandangan ini menunjukkan bahwa
TQM adalah konsep yang memiliki jangkauan lugs dan mengandung dua unsur yang Baling
tergantung, yaitu kultur organisasi dan sejumlah konsep baru.
Keterkaitan TQM dan QWL (quality of working life) dapat dijelaskan bahwa TQM pada
dasarnya adalah QWL sehingga QWL merupakan kultur berbasis keterlibatan. Dalam QWL
terletak sumber utama kesulitan penerapan TQM. Menurut pendapat Plowman (1990) perilaku
manajemen pendidikan menunjukkan bahwa lembaga pendidikan mengalami masalah dalam
mengembangkan kualitas total karena menghadapi berbagai permasalahan. Dari sejumlah
permasalahan tersebut perubahan kultural diidentifikasikan sebagai permasalahan utama.
Hambatan kultural merupakan ketidakselarasan hubungan fungsional, komunikasi yang buruk di
antara fungsi organisasi, dan sikap manajemen terhadap, staf yang memperlakukan staf seolah-
olah tidak mampu berpikir.
1. QWL sebagai Kultur Esensial untuk Keberhasilan TQM
QWL (quality of working life) dapat didefinisikan sebagai suatu cara berpikir tentang
orang, pekerjaan, dan organisasi dengan elemen-elemen berupa adanya perhatian tentang
dampak pekerjaan pada orang-orang/pegawai dan aktivitas organisasi serta gagasan partisipasi
dalam pemecahan masalah organisasi dan pembuatan keputusan.
Fokus usaha QWL bukan hanya pada bagaimana orang dapat melakukan pekerjaan
dengan lebih baik, melainkan bagaimana pekerjaan dapat menyebabkan pekerja menjadi lebih
baik. Aspek utama QWL adalah keterlibatan atau partisipasi dalarn proses pembuatan beberapa
keputusan organisasi. Hal ini tidak berarti bahwa semua orang dilibatkan dalam proses
pembuatan beberapa keputusan organisasi yang memengaruhinya. QWL secara operasional
menggambarkan aktivitas yang dapat dirasakan oleh pekerja sebagai usaha yang mengarah pada
terciptanya kualitas kchidupan kerja yang lebih baik.
QWL merupakan kultur esensial dan tiang penopang keberhasilan strategi TQM. Tujuan
kultur QWL adalah menciptakan organisasi atau lembaga pendidikan yang bebas dari rasa takut
dan menuntut keterlibatan seluruh unsur organisasi. Kultur QWL menimbulkan komitmen timbal
balik yang tinggi antara individu lerhadap sasaran lembaga pendidikan serta antara lembaga
pendidikan dengan kebutuhan pengembangan individu yang terlibat. Keterlibatan individu dalam
lembaga pendidikan yang bebas dari rasa takut sangat penting sebagai dasar pengembangan
konsep TQM. Keterlibatan diperlukan untuk memanfaatkan wawasan dan konsep yang timbul.
QWL dapat dipandang sebagai suatu sasaran, proses, dan filosofi organisasi.
QWL sebagai suatu sasaran bertujuan menciptakan peningkatan kerja, keterlibatan
pegawai, kepuasan individu dalam lembaga pendidikan, dan efektivitas organisasi. Sebagai suatu
proses QWL memerlukan usaha untuk mencapai sasaran organisasi.
Dengan keterlibatan seluruh unsur organisasi dalam lembaga pendidikan diharapkan
dapat memberikan kontribusi pada lembaga pendidikan tersebut. Dengan demikian, mereka
memperoleh kepuasan yang lebih tinggi, kebanggaan, dan pertumbuhan pribadi. QWL
mengintegrasikan kepentinga
unsur organisasi dengan sasaran pengembangan organisasi. QWL memandang seluruh unsur
organisasi sebagai aset yang harus dipelihara, dikembangkan, ditingkatkan pengetahuannya,
ditambah pengalamannya, keterampilan, dan komitmen sebagai unsur organisasi.

Sebuah kultur kerja dengan strategi keterlibatan seluruh unsur organisasi, memiliki lima
karakteristik sebagai berikut :
1. Terdapat pendelegasian yang memberikan tanggung jawab untuk melakukan tindakan
pengambilan keputusan kepada individu yang memiliki informasi, relevan dan tepat
waktu serta memiliki keterampilan.
2. Terdapat kerja tim yang melintas batas fungsional dan melibatkan orang yang tepat.
Setiap individu dalam organisasi harus diintegrasikan dalam proses. operasi dan
pelayanan terhadap pelanggan. Dalam organisasi konvensional, fungsi staf membuat
mereka terpisah dan terisolasi oleh batas-batas organisasi.
3. Pemberdayaan sumber daya manusia, yang berarti memberikan peluang dan menghargai
kontribusi sumber daya manusia. Organisasi perlu memberdayakan semua unsur
organisasi tanpa memandang apakah golongan, gender, maupun kelompok
minoritas/mayoritas.
4. Adanya integrasi antara sumber daya manusia dan teknologi informasi sehingga anggota
organisasi harus dapat memberikan inisiatif dan kreativitas'' di bidang operasi,
administrasi, maupun penguasaan teknologi informasi.
5. Rasa kebersamaan dalam mencapai tujuan yang berarti setiap individu dalam organisasi
memiliki visi yang didasarkan atas seperangkat nilai yang dinyatakan secara jells,
mampu mendeskripsikan mist organisasi, serta, memiliki metode untuk
merealisasikannya. Visi harus memberikan arah dan;, energi dan merupakan mercusuar
sehingga setiap individu dapat menyesuaikan dirt ke arah tujuan bersama.

Pada tempat kerja yang memiliki karakteristik di atas, tumbuh sebuah energi
pembelajaran dan kualitas. Dengan demikian, pelanggan lembaga pendidikan akan
menerima kualitas pendidikan secara memuaskan dan tepat waktu.
2. QWL sebagai Model Organisasi
Organisasi dengan karakteristik pendelegasian, kerj a tim yang melintas batas fungsional,
melibatkan orang yang tepat, serta pemberdayaan sumber daya manusia,mengintegrasikan
individu dengan teknologi informasi, serta memiliki tujuan bersama.
Komitmen, kinerja, dan keterlibatan unsur organisasi dapat memberikan kepuasan kepada
pelanggan. Organisasi atau lembaga pendidikan harus membangun lingkungan belajar yang
kontinu yang dapat menciptakan inovasi baru serta membangun kultur dalam mendukung
kemampuan sumber daya manusia. Mutu pendidikan harus secara terus-menerus diperbaiki,
informasi yang diperlukan harus terns mengalir secara bebas antarfungsi sehingga ado kerja
soma sebagai sebuah tim. Organisasi dengan keterlibatan individu yang tinggi memerlukan
pimpinan yang memiliki nilai manajerial dan leadership. Pimpinan lembaga pendidikan harus
memiliki keterampilan yang diperlukan untuk membangun pemahaman dan dukungan atas
keterlibatan individu dalam organisasi.
Model organisasi QWL dimulai dan diakhiri dengan lingkaran kualitas. Dalam hal ini
keterlibatan individu dalam lembaga pendidikan tidak melupakan imbalan (reward) yang
diterima setiap individu karena hal ini akan mewujudkan stabilitas kerja mereka serta akan
membangun model organisasi QWL (organisasi keterlibatan tinggi) yang efektif Sistem karier
dalam model organisasi QWL akan melibatkan sejumlah besar proses belajar, pengembangan
karier, dan konsep berbasis keterampilan.
Dengan demikian, QWL merupakan kultur esensial dan penopang utama keberhasilan
TQM. Kultur QWL bertujuan menciptakan organisasi bebas dari rasa takut dan menciptakan
keterlibatan seluruh unsur organisasi lembaga pendidikan. Kultur QWL menimbulkan komitmen
timbal balik antara, individu dengan sasaran organisasi dan antara organisasi dengan kebutuhan
pengembangan individu. QWL sebagai model organisasi melakukan pendelegasian, kerja tim
yang melintasi batas fungsional, pemberdayaan sumber daya manusia, mengintegrasikan sumber
daya manusia dengan teknologi informasi, dan mencapai tujuan bersama. Efektivitas organisasi
tidak akan tercapai tanpa keterlibatan individu sebagai unsur organisasi yang matang dan
memiliki komitmen penuh terhadap organisasi.
D. PENERAPAN TQM DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN

1. Pengertian Jasa Pendidikan


Dewasa ini j asa pendidikan memegang peranan vital dalam mengembangkan dan
meningkatkan kualitas, sumber daya manusia. Akan tetapi, minat dan perhatian pada aspek
kualitas jasa pendidikan bisa dikatakan baru berkembang dalam satu dekade terakhir.
Keberhasilan jasa pendidikan ditentukan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada
pars pengguna jasa pendidikan tersebut (siswa,mahasiswanya/peserta didik). Sebelum lebih jauh
membahas mengenai kualitas jasa pendidikan, terlebih dahulu akan dibahas mengenai pengertian
jasa termasuk jasa pendidikan dari beberapa ahli sehingga kualitas jasa pendidikan yang
dimaksud dalam pembahasan ini dapat dipahami secara komprehensif.
Jasa merupakan aktivitas, manfaat atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual (Fandy
Tjiptono, 1996: 6). Dalam hal ini jasa berupa suatu kegiatan yang bermanfaat bagi pihak lain
dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannya.
Kotler mengemukakan pengertian jasa adalah a service is any actor performance that one party
can offer to another that is essentially intangible and does not result in the ownership of
anything. Its production may or may not be tied to a physical product ( Kotler, 2003: 444). Jasa
merupakan sesuatu yang tidak berwujud, yang melibatkan hubungan antara penyaji jasa dengan
konsumen pemakai dan tidak ada perpindahan kepemilikan (transfer of ownership) antara
keduanya. Dalam menghasilkan jasa tersebut digunakan produk fisik untuk mendukung
aktivitasnya.
Sedangkan Berry seperti dikutip Zeithaml dan Bitner mengemukakan: Service are deeds,
process and performance (Zeithaml and Berry (1996: 5). Jasa dapat diartikan sebagai unjuk kerja
(performance) ataupun prosedur kerj a, tindakan dan aktivitas (deeds), maupun proses yang
dilakukan oleh seseorang atau institusi yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginan konsumennya. Selanjutnya dari beberapa definisi jasa yang telah dikemukakan
sebelumnya dan dirangkum, Zeithaml dan Berry mengemukakan bahwa jasa adalah include all
economic activities whose output is not a physical product or construction, is. generally
consumed at a time it is produced and provides added value in forms (such ans convenience,
amusement, timeliness, comfort, and health) that are essentially intangibles, concern of it first
purchaser (Adapted from Zeithaml and Berry, 1996: 5).
Jasa adalah meliputi segenap kegiatan ekonomi yang menghasilkan output (keluaran)
berupa produk atau konstruksi (basil karya) nonfisik, yang lazimnya dikonsumsi pada saat
diproduksi dan memberi nilai tambah pada bentuk (form) seperti kepraktisan,
kecocokan/kepantasan, kenyamanan, dan kesehatan, yang pada intinya menarik cita rasa pada
pembeli pertama. Sementara itu, jasa pendidikan merupakan jasa yang bersifat kompleks karena
bersifat padat karya dan padat modal. Artinya, dibutuhkan banyak tenaga kerja yang memiliki
skill khusus dalam bidang pendidikan dan padat modal karena membutuhkan infrastruktur
(peralatan) yang lengkap dan harganya cukup mahal.

2. Karakteristik Jasa Pendidikan


Pada dasamya jasa adalah sesuatu yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain yang
sifatnya tidak berwujud dan tidak memiliki dampak perpindahan hak milik. Hal ini sangat erat
kaitannya dengan karakteristik jasa yang perlu dipertimbangkan dalam merancang program
pemasarannya. Jasa secara umum memiliki karakteristik utama sebagai berikut.:
a. Tidak Berwujud (Intangibility)
Jasa tidak berwujud seperti produk fisik, yang menyebabkan pengguna jasa pendidikan
tidak dapat melihat, mencium, mendengar, dan merasakan hasilnya sebelum mereka
mengonsumsinya (menjadi subsistem lembaga pendidikan). Untuk inenekan ketidakpastian,
pengguna jasa pendidikan akan mencari tanda atau informasi tentang kualitas jasa tersebut.
Tanda maupun informasi dapat diperoleh atas dasar letak lokasi lembaga pendidikan, lembaga
pendidikan penyelenggara, peralatan dan alai komunikasi yang digunakan, serta besarnya biaya
yang ditetapkan. Beberapa hal yang akan dilakukan lembaga pendidikan untuk meningkatkan
talon pengguna jasa pendidikan adalah
meningkatkan visualisasi jasa yang tidak berwujud menjadi berwujud;
menekankan pada manfaat yang akan diperoleh (lulusan lembaga pendidikan);
menciptakan atau membangun suatu nama merek lembaga pendidikan (education brand
name);
memakai nama seseorang yang sudah dikenal untuk meningkatkan kepercayaan
konsumen.
b. Tidak Terpisahkan (Inseparability)
Jasa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari sumbernya, yaitu lembaga pendidikan yang
menyediakan jasa tersebut. Artinya, jasa pendidikan dihasilkan dan dikonsumsi secara serempak
(simultan) pada waktu yang sama. Jika peserta didik tilcmbeli jasa maka akan berhadapan
langsung dengan penyedia jasa pendidikan. Dengan demikian, jasa lebih diutamakan
penjualannya secara langsung dengan Skala operasi yang terbatas. Oleh karena itu, lembaga
pendidikan dapat menggunakan strategi bekerja dalam kelompok yang lebih besar, bekerja lebih
cepat, atau inclatih pars penyaji jasa agar mereka mampu membina kepercayaan pelanggannya.
(peserta didik).

c. Bervariasi (Variability)
Jasa pendidikan yang diberikan seringkali berubah-ubah. Hal ini akan sangat 1crgantung kepada
siapa yang menyajikannya, kapan, serta di mans disajikan jasa pendidikan tersebut. Oleh karena
itu, jasa pendidikan sulit untuk mencapai kualitas yang sesuai dengan standar. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, lembaga pendidikan dapat melakukan beberapa strategi dalam
mengendalikan kualitas jasa yang dihasilkan dengan cara berikut. Pertama, melakukan seleksi
dan mengadakan pelatihan untuk mendapatkan SDM jasa pendidikan yang lebih baik. Kedua,
inembuat standardisasi proses kerja dalam menghasilkan jasa pendidikan dengan baik. Ketiga,
selalu memonitor kepuasan peserta didik melalui sistem kotak saran, kelLihan, maupun survei
pasar.

d. Mudah Musnah (Perishability)


Jasa pendidikan tidak dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu atau jasa pendidikan tersebut
mudah musnah sehingga tidak dapat dijual pada waktu mendatang. Karakteristik jasa yang cepat
musnah bukanlah suatu masalah jika permintaan akan jasa tersebut stabil karena jasa pendidikan
mudah dalam persiapan, ' pelayanannya. Jika permintaannya berfluktuasi, lembaga pendidikan
akawI menghadapi masalah dalam mempersiapkan pelayanannya. Untuk itu, diperlukan program
pemasaran jasa yang sangat cermat agar permintaan terhadap jasa, pendidikan selalu stabil.
Lebih spesifik lagi menurut Kotler dan Fox dalam Rambat (2001: 126) bahwa'
karakteristik jasa lembaga pendidikan antara lain sebagai berikut :
1. Lembaga pendidikan termasuk jasa murni (pure services), di mana pemberian jasa yang
dilakukan didukung alai kerj a atau sarana pendukung semata, seperti ruangan kelas,
kursi, meja, dan buku-buku.
2. Jasa yang diberikan lembaga pendidikan membutuhkan kehadiran pengguna
jasa (siswa). Jacli, dalam hal ini pelanggan yang mendatangi lembaga pendidikan~
untuk mendapatkan jasa yang diinginkan (meskipun dalam perkembangannya
ada yang menawarkan program distance learning atau belajar jarak jauh).
3. Penerima jasa pendidikan adalah orang (people), jadi merupakan pemberian jasa yang
berbasis orang. Dengan demikian, berdasarkan hubungan dengan pengguna jasa (siswa
adalah high contact system yaitu hubungan pemberi, jasa dengan pelanggan tinggi).
Pelanggan dan penyedia jasa terns berinteraksi; selama proses pemberian jasa
berlangsung. Untuk menerima jasa pendidikan, pelanggan harus menjadi bagian dari
sistem lembaga pendidikan tersebut.
4. Hubungan antara lembaga pendidikan dengan pelanggan adalah berdasarkan member
relationship, yaitu pelanggan telah menjadi anggota lembagal pendidikan tersebut,
sistem pemberian jasanya secara terus-menerus dan teratur!: sesuai dengan kurikulum
yang telah ditetapkan.
Kisah sukses implementasi TQM dalam dunia bisnis mengilhami organisasiorganisasi
lainnya termasuk organisasi pendidikan untuk mengadopsinya. Penerapan TQM dalam
manajemen pendidikan mengundang perdebatan yang sangat serius. Beberapa pengamat
mempertanyakan kelayakan dan kesesuaiani konsep TQM dengan karakteristik lembaga
pendidikan.
Taylor dan Hill (1993), McCulloch (1993), berargumentasi bahwa TQM`i~ merupakan
konsep yang sulit dievaluasi dalam lembaga pendidikan. Sedangkan'I Holmes dan Gerarrd
(1995) berpendapat bahwa TQM mungkin cocok untuk fungsi: pendukung (support function),
tetapi tidak cocok untuk fungsi pembelajaran yang`' merupakan inti dari sebuah lembaga
pendidikan. Di lain pihak menurut Herbert, Dellana, dan Bass (1995 dalam Sarwono dan
Sudarsono, 1997), ada empat bidang utama dalam lembaga pendidikan yang dapat mengadopsi
prinsip-prinsip TQM.
Pertama adalah penerapan TQM untuk meningkatkan fungsi-fungsi administrasi dan
operasi lembaga pendidikan. Kedua, mengintegrasikan TQM dalam kurikulum. Ketiga,
penggunaan TQM dalam metode pembelajaran di kelas. Keempat, menggunakan TQM untuk
mengelola aktivitas riset lembaga pendidikan. Berdasarkan Quality Progress (QPR) tahun 1992
di Amerika Serikat ada 220 lembaga pendidikan yang menerapkan TQM (Lewis & Smith, 1994).
Kehadiran TQM mempunyai dampak pada perubahan manajemen konvensional. Demikian jugs
dengan manajemen lembaga pendidikan terdapat enam tantangan pokok yang perlu dikaji dan
dikelola secara strategic dalam rangka menerapkan konsep TQM lembaga pendidikan, yakni
berkenaan dengan:
(1) dimensi kualitas jasa ,
(2) fokus kepada pengguna jasa pendidikan,
(3) kepemimpinan,
(4) perbaikan yang berkesinambungan,
(5) manajemen SDM, dan
(6) manajemen berdasarkan fakta.
Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003
Bab III Pasal 4 ayat (6) menyatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan dengan
memberdayakan semua komponen masyarakat melalui pecan dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu layanan pendidikan. Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 5 ayat (1) bahwa
Setiap warga negara mempunyai hak Yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

3. Dimensi Kualitas Pelayanan pada Jasa Pendidikan


Untuk mengkaji apakah sebuah pelayanan jasa termasuk jasa pendidikan berkualitas,
diperlukan adanya unsur-unsur pendukung sebagai bahan acuan. Dalam suatu studi empiris yang
dilakukan oleh Parasuraman (1988) di Amerika Serikat diketahui bahwa terdapat lima dimensi
kualitas pelayanan.
Kualitas jasa pendidikan dapat diketahui dengan cars membandingkan persepsi
pelanggan atas pelayanan yang diperoleh atau diterima secara nyata oleh mereka dengan
pelayanan yang sesungguhnya diharapkan (Fitzsimmons & Fitzsimmons, 2001: 44; Parasuraman
et. al., 1988: 16). Jika kenyataan Lebih dari yang diharapkan, pelayanan dapat dikatakan
bermutu. Sebaliknya jika kenyataan kurang dari yang diharapkan, pelayanan dapat dikatakan
tidak bermutu. Namun apabila kenyataan sama dengan harapan, maka kualitas pelayanan disebut
memuaskan (Fitsimmons & Fitsimmons 2001: 44). Dengan demikian, kualitas pelayanan dapat
didefinisikan seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan para pelanggan atas layanan
yang diterima mereka (Parasuraman, 1988: 17).
Harapan para pelanggan jasa didasarkan pada informasi yang disampaikan dari mulut ke
mulut, kebutuhan pribadi, pengalaman mass lalu, serta komunikasi ekstemal (Fitzsimmons and
Fitzsimmons, 2001: 45).
Gambar 5.2 menunjukkan pengaruh dari dimensi kualitas pelayanan terhadap harapan
para pengguna jasa pendidikan dan kenyataan yang mereka terima. Dalam suatu studi empiris
yang dilakukan oleh Parasuraman (1988) di Amerika Serikat diketahui bahwa terdapat Lima
Dimensi Kualitas Pelayanan (TERRA), di mana

KOMUNIKASI KEBUTUHAN PENGALAMAN KOMUNIKASI


DARI PERORANGAN MASA LALU EKSTERNAL
MULUT KE
MULUT

DIMENSI JASA YANG


KUALITAS DIHARAPKAN
PELAYANAN :
KUALITAS JASA
- Tangibles YANG
- Responsiveness DITERIMA
- Assurance
- Empathy
- Reability
JASA
YANG DITERIMA
jasa pendidikan merupakan bentuk jasa yang melibatkan tingkat interaksi yang tinggi
antara penyedia jasa pendidikan (lembaga pendidikan) dan pengguna jasa pendidikan, dimensi
jasa pendidikan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Tangible (bukti fisik)
Yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, karyawan/stafpengajar, dan sarana,
komunikasi. Misalnya, fasilitas pembelajaran (gedung), fasilitas laboratorium, fasilitas
perpustakaan, media pembelajaran, kantin, tempat parkir, sarana ibadah, fasilitas
olahraga, serta busana penampilan staf administrasi maupun staf pengajar.
2. Reliability (keandalan)
Yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera atau cepat,
akurat, dan memuaskan. Misalnya, mata ajaran yang benar-benar sesuai dengan
kebutuhan, jadwal pembelajaran, proses pembelajaran yang akurat, penilaian yang
objektif, bimbingan dan penyuluhan, serta aktivitas lain yang semuanya untuk
memperlancar proses pembelajaran peserta didik.
3. Responsiveness (daya tanggap)
Yaitu kemauan/kesediaan para staf untuk membantu para peserta didik dan memberikan
pelayanan cepat tanggap. Misalnya guru pembimbing mudah ditemui untuk konsultasi.
Proses pembelajaran interaktif sehingga memungkinkan peserta didik lebih memperluas
wawasan berpikir dan kreativitasnya, prosedur administrasi lembaga pendidikan menjadi
lebih sederhana.
4. Assurance (Oaminan)
Yaitu mencakup pengetahuan, kompetensi, kesopanan, respek terhadap peserta didik,
serta memiliki sifat dapat dipercaya, bebas dari bahaya dan keraguraguan. Misalnya,
seluruh staf administrasi, staf pengajar, maupun pejabat struktural harus benar-benar
kompeten di.bidangnya sehingga reputasi lembaga pendidikan positif di mata
masyarakat.
5. Empathy (empati)
Yaitu kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi dengan baik, perhatian
pribadi, dan memahami kebutuhan peserta didiknya. Misalnya, stafpengajar mengenai
siswanya yang mengikuti proses pembelajaran, guru bisa benar-benar berperan sesuai
fungsinya, perhatian yang tulus diberikan kepada para siswanya berupa kemudahan
mendapatkan pelayanan, keramahan, komunikasi, serta kemampuan memahami
kebutuhan siswanya.

Menurut Maxwell ada enam dimensi kualitas j asa pendidikan. Pertama, akses yang
berhubungan dengan kemudahan mendapatkan jasa pendidikan yang diperoleh di tempat yang
mudah dijangkau pada waktu yang tepat dan nyaman. Kedua, kecocokan dengan tingkat
kebutuhan pelanggan, yaitu kecocokan akan profil tingkat pendidikan populasi dan kelompok
yang membutuhkannya. Ketiga, eflektivitas yang berhubungan dengan adanya kemampuan
penyaji jasa pendidikan (staf pengajar) untuk melayani atau menciptakan hasil yang diinginkan.
Keempat, ckuitas yang berhubungan dengan distribusi sumber-sumber pelayanan lembaga
pendidikan yang adil dalam suatu sistem yang didukung secara umum. Kelima, diterima secara
sosial yang berhubungan dengan kondisi lingkungan, komunikasi (tan kebebasan, atau
keleluasaan pribadi. Keenam, efisiensi dan ekonomis yang mengacu kepada pengertian layanan
terbaik untuk besarnya biaya yang tepat (diadopsi dari Maxwell, 1992: 275)
Beberapa ahli kualitas jasa mengemukakan pendapat mengenai dimensi kualitas (lihat
Tabel 5.1). Jika diperhatikan dari semua pendapat para ahli mengenai dimensi kualitas pelayanan
hampir semuanya bertitik tolak dari lima dimensi kualitas jasa yang dikemukakan oleh pendapat
Parasuraman. Dengan demikian, dimensi kualitas jasa pada dasarnya mengacu pada bukti fisik,
keandalan, daya tangkap, jaminan, dan empati.
Menurut Berry dan Parasuraman (1997) dalam Rambat (2001: 182) bahwa salah sate
konsep yang memiliki kaftan erat dan memiliki dampak langsung terhadap keberhasilan kualitas
jasa (service quality/SERVQUAL) adalah sistem inf'ormasi. Ada lima petunjuk yang perlu
dilakukan dalam mengembangkan kualitas ja sa pendidikan yang efektif melalui sistem
informasi, yaitu sebagai berikut.
a. Mengukur besarnya, harapan pengguna jasa pendidikan (siswa/mahasiswa)
atas pelayanan yang diberikan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan harus
dapat mengukur besarnya harapan yang muncul atas pelayanan yang diberikan kepada
pelanggan. Misalnya, berapa besar tingkat kepuasan siswa/mahasiswa atas pelayanan
administrasi, pelayanan staf pengajar atau pimpinan lembaga pendidikan, pelayanan atas
penyediaan fasilitas pembelajaran, dan sebagainya.

Tabel 5.1 Dimensi Kualias dari Beberapa AN

Dimensi Dimensi Dimensi Dimensi Dimensi Dimensi


Garvin's Evans and SERVQUAL Chakrapani's Coddington's JCAHO
Lindsay's Parasuraman
Kinerja Ketepatan waktu Keandalan jasa Kemanjuran
Ketersediaan Kehangatan/
fasilitas perhatian
Tampilan Kelengkapan Keandalan Memiliki Staf Medis Kelayakan
keunggulan
Keandalan Santun Daya tanggap Dapat dipercaya Efisiensi
Perlengkapan
teknologi
Kesesuaian Konsistensi Jaminan
Pelayanan Kenyamanan
khusus dan perhatian
Daya tahan Mudah dicapai Kemudahan Kelanjutan
Hasil yang
dapat diandal-
kan

Cermat Efektivitas
Kemampuan
Tepat waktu
Estetika Cepat tanggap
Ketersediaan
Kualitas
yang
diterima

b. Menentukan di mans titik berat kualitas informasi. Lembaga pendidikan harus


menetapkan titik berat kualitas informasi yang ingin dicapai. Misalnya, titik berat kualitas
informasi pada proses keputusan pimpinan lembaga pendidikan yang berkaitan dengan
peningkatan pelayanan yang diharapkan pelanggan.
c. Mengetahui saran pelanggan. Lembaga pendidikan dituntut untuk mendengarkan dan
memahami saran pelanggan (siswa/mahasiswa) mengenai jasa pendidikan yang
diberikan. Misalnya, mengenai fasilitas pembelajaran, keunggulan staf pengajar, dan
sarana perpustakaan.
d. Menghubungkan kinerja pelayanan dan output yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan diharapkan mampu mengaitkan kinerja pelayanan dengan tujuan
lembaga pendidikan. Apakah akumulasi kinerja pelayanan dapat berakhir pada loyalitas
siswa/mahasiswa dan peningkatan pangsa pasar.
e. Menjangkau seluruh staf (pegawai). Penerapan sistem informasi dalam kuaU%s jasa
harus mampu mencakup keseluruhan individu yang terkait dalam hierarki lembaga
pendidikan. Sistem tersebut harus dirancang sedemikian rupa agar semua staf yang
berada pada fungsi masing-masing mendapatkan informasi sesuai dengan porsinya.

Dalam mempertahankan kualitas pelayanan jasa pada lembaga pendidikan menurut


Gasperstz (2002: 2) yang harus diperhatikan adalah atribut perbaikan kualitas jasa yang
berkesinambungan.
a. Ketepatan waktu pelayanan hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan lamanya
pendidikan dan waktu proses pendidikan.
b. Akurasi pelayanan berkaitan dengan rehabilitasi pelayanan secara kontinu dan menekan
kesalahan yang dilakukan dalam pelayanan.
c. Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan, terutama bagi mereka yang
berinteraksi langsung dengan masyarakat umum, misalnya petugas operator telepon,
public relations (PR), staf pelayanan administrasi pendaftaran siswa/mahasiswa baru,
petugas keamanan, dan semua yang terlibat pada front office (garis depan).
d. Tanggung jawab berkaitan dengan penerimaan saran, penanganan keluhan dari
masyarakat umum sebagai pemerhati.
e. Kelengkapan menyangkut lingkup pelayanan dan ketersediaan sarana pendukung, Berta
sarana pelayanan yang Baling menunjang dan melengkapi.
f. Variasi model pelayanan, berkaitan dengan inovasi untuk memberikan pola baru dalam
pelayanan lembaga pendidikan, misalnya menawarkan waktu pembelajaran -yang
fleksibel bagi mahasiswa yang memiliki peran ganda sebagai karyawan di berbagai
instansi dan perusahaan.
g. Kemudahan mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan banyaknya cabang tempat belajar,
misalnya untuk perguruan tinggi banyaknya cabang kampus yang berada di suatu area
yang legal menurut ketentuan yang ditetapkan, banyak tersedianya fasilitas pendukung
pembelajaran, atau banyaknya staf administrasi yang terampil untuk melayani pelanggan.
h. Pelayanan pribadi, berkaitan dengan fleksibilitas, penanganan khusus bagi sekelompok
pelanggan yang meminta penanganan khusus.
i. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, berkaitan dengan lokasi lembaga
pendidikan, ruang tempat pelayanan, kemudahan untuk menjangkau tempat pelayanan,
tempat parkir, ketersediaan informasi, petunjuk-petunjuk yang mudah diakses oleh
pelanggan.
j. Atribut pendukung pelayanan lainnya, seperti prasarana lingkungan lembaga pendidikan,
kebersihan, fasilitas kantin, dan pelayanan kesehatan.

E. PENDEKATAN KUALITAS LAYANAN JASA PENDIDIKAN


Mengevaluasi kualitas layanan jasa pendidikan diperlukan pendekatan yang
komprehensif karena jasa pendidikan merpakan jas yang memiliki karakteristik cukup kompleks
dibandingkan jasa lainnya. Karena jasa pendidikan padat modal, investasi bidang pendidikan
yang berkualitas dan memiliki value dari pengguna jasa pendidikan. Saat ini dibutuhkan modal
yang sangat besar di samping padat karya (memerlukan tenaga SDM) yang memiliki dedikasi,
kapabilitas, maupun skill yang spesifik.
Terdapat dua pendekatan untuk memberikan pelayanan yang bermutu kepada pengguna
jasa pendidikan, yaitu sebagai berikut.

1. Pendekatan Service Triangle (Segitiga Layanan)


Merupakan suatu model interaktif manajemen layanan yang mencerminkan hubungan
antara lembaga pendidikan dengan para pengguna j asa pendidikan (siswa/ mahasiswa). Model
tersebut terdiri dari 3 elemen, yaitu service strategy (strategi layanan), service people (sumber
daya manusia yang memberikan layanan), dan service system (sistem layanan) dengan pengguna
jasa pendidikan sebagai titik pusat (Albrecht & Zemke, 1990).

a. Strategi Layanan (Service Strategy)


Suatu strategi untuk memberikan layanan dengan mutu yang sebaik-baiknya kepada para
pengguna jasa. Strategi layanan yang efektif harus didasari oleh konsep atau misi yang dapat
dengan mudah dimengerti oleh seluruh individu dalam lembaga pendidikan. Di samping itu, hal
ini perlu diikuti oleh tindakan nyata yang bermanfaat bagi pelanggan jasa pendidikan dan
mampu membedakan lembaga pendidikan yang menerapkan strategi tersebut dengan lembaga
pendidikan pesaingnya. Dengan demikian, lembaga pendidikan tersebut mampu memper-
tahankan pelanggan yang ada bahkan mampu merebut pelanggan barn. Untuk dapat merumuskan
dan menerapkan strategi layanan yang efektif, lembaga pendidikan perlu memiliki apa yang
disebut service package (paket layanan), yaitu suatu kerangka layanan untuk memuaskan
keinginan dan harapan pelanggan yang meliputi layanan utama dan layanan pendukung.

b. Sumber Daya Manusia yang Memberikan Layanan (People)


Dalam hal ini ada tiga kelompok SDM yang memberikan layanan, yaitu sumber daya
manusia yang berinteraksi langsung dengan para pelanggan, sumber daya manusia yang
memberikan layanan kepada pelanggan tetapi hanya secara temporer, dan sumber daya manusia
pendukung. pada lembaga pendidikan misalnya, sumber daya manusia kelompok pertama adalah
staf pengajar (guru, dosen) yang berhadapan secara langsung dengan pelanggan dalam proses
pembelajaran. Kelompok sumber daya manusia kedua adalah mereka yang menyiapkan Samna
proses pembelajaran (alai untuk memperlancar proses pembelajaran) dan kelompok sumber daya
manusia kelompok ketiga adalah penjaga keamanan sekolah.
Tergolong dalam kelompok manapun, sumber daya manusia tetap diperlukan untuk
memusatkan perhatian pada para pelanggan dengan cara mengetahui siapa pelanggan lembaga
pendidikan tersebut, apa saja kebutuhan para pelanggan, dan mencari tabu bagaimana cara
memenuhi/memuaskan kebutuhannya. Untuk itu diperlukan budaya organisasi lembaga
pendidikan yang menitikberatkan pada layanan kepada para pelanggan, lingkungan kerja yang
kondusif, rasa aman dalam bekerja, sistem balas jasa yang motivatif, adanya kesempatan karier
yang lugs, moralitas kerja tinggi, energik, dan penuh optimisme, serta proses seleksi yang cfektif.
Dengan demikian, diperoleh sumber daya manusia yang memiliki naluri untuk
memberikan pelayanan, program pelatihan yang mampu memberikan kesempatan untuk
mempelajari cara memberikan layanan yang baik, serta sistem penilaian kinerja yang mampu
memotivasi setiap sumber daya manusia yang ada.

c. Sistem Layanan (Service System)


Prosedur atau tata cara untuk memberikan layanan kepada para pelanggan yang
melibatkan seluruh fasilitas fisik yang dimiliki dan sumber daya manusia yang ada. Sistem ini
harus konsisten dengan paket layanan yang disediakan dan dirancang secara sederhana sehingga
mudah dipahami oleh pelanggan. Sistem layanan yang efektif adalah kemudahan untuk
memberikan layanan dengan sistem yang hampir tidak kelihatan oleh pelanggan. Pendekatan
kualitas layanan ini dapat diflustrasikan sebagai berikut.
STRATEGI
LAYANAN

PELANGAAN

SISTEM
SUMBER DAYA
LAYANAN MANUSIA

2. Pendekatan Kedua adalah Total Quality Service (TQS)


Total quality service atau layanan mute terpadu adalah suatu keadaan ketika sebuah
lembaga pendidikan memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan bcrmutu kepada para
pelanggan maupun pemilik lembaga pendidikan (pemerintah atau yayasan) dan pegawainya.
TQS ini memiliki 5 elemen yang saling terkait sate sama lain (Albrecht, 1992).

a. Market and Customer Research (Riset Pasar dan Pelanggan)


Riset pasar adalah suatu kegiatan penelitian terhadap struktur dan dinamika pasar tempat
lembaga pendidikan berada yang meliputi identifikasi segmen pasar, analisis
demografis, dan analisis kekuatan yang ada di dalam pasar itu sendiri. Riset pelanggan
bergerak lebih jauh lagi, yaitu mencari tabu harapan, keinginan, dan perasaan pelanggan
secara individual terhadap layanan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan. Hasil
kedua riset tersebut merupakan sebuah acuan bagi lembaga pendidikan dalam
memberikan pelayanan yang bermutu kepada para pelanggannya.
b. Strategy Formulation (Perumusan Strategi)
Suatu proses perancangan strategi untuk mempertahankan pelanggan yang ada dan
meraih pelanggan baru. Agar dapat merumuskan strategi yang efektif, dibutuhkan
beberapa hal seperti pengetahuan yang mendukung proses pembelajaran,: misi lembaga
pendidikan, kode etik profesi, pendekatan strategic yang dibutuh-kan agar dapat
memenangkan persaingan, pengetahuan teknologi informasi, operasi jasa, dan struktur
organisasi untuk memenuhi permintaan pelanggan. Berbeda dengan hasil riset pasar dan
pelanggan, strategi merupakan navigator bagi lembaga pendidikan dalam memberikan
layanan yang bermutu kepada para pelanggannya.

c. Education, Training and Communication (Pendidikan, Pelatihan, dan Komunikasi)


Pendidikan dan pelatihan sangat penting dalam pengembangan dan peningkatan mutu.
layanan (pengetahuan dan kemampuan) cumber daya manusia agar mereka mampu
memberikan layanan yang bermutu kepada para pelanggannya. Adapun komunikasi
berperan dalam mendistribusikan informasi kepada setiap individu yang terlibat dalam
lembaga pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan dan latihan serta komunikasi sebagai
motor penggerak lembaga pendidikan yang mampu memberikan layanan yang bermutu
kepada para pelanggannya.

d. Process Improvement (Penyempurnaan Proses)


Penyempurnaan proses merupakan berbagai usaha di setiap hierarki manaje-, men
lembaga pendidikan untuk secara berkesinambungan menyempumakan proses,
pemberian layanan dan secara aktif memberikan cara baru dalam memperbaikilayanan.
Penyempurnaan proses membutuhkan kajian dan pengujian yang diperlukan untuk
perbaikan seluruh tata cara, kebijakan, peraturan, maupun metode kerja yang terdapat
pada lembaga pendidikan. Hal ini disebabkan tidak ada tata cara, kebijakan, peraturan
maupun metode kerja yang berlaku selamanya dan dapat direvisi kapan raja apabila tidak
sesuai dengan misi lembaga pendidikan tersebut. Proses yang secara terus-menerus
disempurnakan merupakan alai kendali bagi lembaga pendidikan agar layanan yang
diberikan kepada para pelanggannya dapat mengarah kepada tingkat mute yang lebih
baik.
e. Assessment, Measurement, and Feedback (Penilaian, Pengukuran, dan Umpan Balik)
Penilaian, pengukuran, dan umpan balik berperan dalam menginformasikan kepada
penyaji jasa pendidikan seberapa jauh mereka mampu memenuhi keinginan dan harapan
pelanggannya. -Hasil penilaian kinerja dan umpan balik dapat dijadikan dasar untuk
memberikan balas jasa kepada mereka, serta memberikan isyarat kepada lembaga
pendidikan tentang apa yang masih hares diperbaiki, kapan perlu diperbaiki, dan
bagaimana cara memperbaikinya. Kelima elemen TQS digambarkan sebagai berikut.

RISET PASAR DAN


PELANGGAN

PENGUKURAN KINERJA TQS PERUMUSAN


DAN STRATEGI
UMPAN BALIK

PENYEMPURNAAN DIKLAT
PROSES DAN
KOMUNIKASI

Gambar 5.4 Total quality service (TQS)

Pendekatan kedua dikembangkan oleh A. Parasuraman, Leonard L. Berry dan Valerie A.


Zeithaml (1990) yang dikenal dengan pendekatan PBZ, memperkenalkan sebuah model yaitu
conceptual model ofservice quality. Menurut model tersebut, lerdapat lima kesenjangan (gaps)
yang dapat membuat lembaga pendidikan tidak mampu memberikan layanan yang bermutu
kepada pelanggannya. Kelima kesenjangan sebagai berikut :

a. Kesenjangan 1: Kesenjangan antara harapan pelanggan dan persepsi manajemen lembaga


pendidikan. Kesenjangan tersebut terbentuk akibat pihak manajemen lembaga pendidikan
salah memahami apa yang menjadi harapan pelanggan lembaga pendidikan.
b. Kesenjangan 2: Kesenjangan antara persepsi pihak manajemen lembaga pendidikan atas
harapan pelanggan dan spesifikasi kualitas layanan. Kesen-, jangan tersebut terjadi akibat
kesalahan dalam menerjemahkan persepsi pihak manajemen lembaga pendidikan yang
tepat atas harapan para pelanggannya ke dalam bentuk tolok ukur kualitas layanan.
c. Kesenjangan 3: Kesenjangan antara spesifikasi kualitas layanan dan pemberian layanan
kepada pelanggan. Kesenjangan tersebut lebih diakibatkan oleh! ketidakmampuan
sumber daya manusia lembaga pendidikan untuk memenuhi standar mutu layanan yang
ditetapkan.
d. Kesenjangan 4: Kesenjangan antara, pemberian layanan kepada pelanggan',' dan
komunikasi eksternal lembaga pendidikan. Kesenjangan ini tercipta karena' lembaga
pendidikan tidak mampu memenuhi janjinya yang dikomunikasikan secara, eksternal
melalui berbagai bentuk promosi.
e. Kesenjangan 5: Kesenjangan antara, harapan pelanggan dan kenyataan layanan yang
diterima. Kesenjangan tersebut sebagai akibat tidak terpenuhinya harapan para
pelanggan.

Di antara kelima kesenjangan tersebut, kesenjangan yang paling penting adalah kesenjangan
kelima, dan untuk menghilangkan kesenjangan tersebut dengan caramenghilangkan kesenjangan
1 hingga kesenjangan 4. Untuk menghilangkan kesenjangan 1 sampai kesenjangan 4 Zeithaml
mengusulkan beberapa cara berikut :
a) Menghilangkan kesenjangan 1: memberikan kesempatan kepada para pelanggan untuk
menyampaikan ketidakpuasan mereka kepada lembaga pendidikan, mencari tabu
keinginan dan harapan para pelanggan lembaga pendidikan sejenis, melakukan penelitian
yang mendalam tentang pelanggan, membentuk panel pelanggan, melakukan studi
komprehensif tentang harapan pelanggan, memperbaiki kualitas komunikasi antarsumber
daya manusia dalam lembaga pendidikan, serta mengurangi birokrasi lembaga
pendidikan.
b) Menghilangkan kesenjangan 2: memperbaiki kualitas kepemimpinan lembaga
pendidikan, mempertinggi komitmen sumber daya manusia terhadap mutu layanan,
mendorong sumber daya manusia lebih inovatif dan responsif terhadap ide-ide bare, serta
standardisasi pekerjaan yang ingin dicapai secara efektif.
c) Menghilangkan kesenjangan 3: memperjelas uraian pekerjaan, meningkatkan kesesuaian
antara sumber daya manusia, teknologi dan pekerjaan, mengukur kinerja dan balas jasa
sesuai dengan kinerja, membangun kerja sama antara, sumber daya manusia, serta
memperlakukan pelanggan seperti bagian dari keluarga besar lembaga pendidikan.
d) Menghilangkan kesenjangan 4: memperlancar arcs komunikasi antara unit dalam
organisasi lembaga pendidikan, memberikan pelayanan yang konsisten, memberikan
perhatian yang lebih besar pada aspek vital mutu layanan, menjaga agar pesan yang
disampaikan secara, eksternal tidak membentuk harapan para pelanggan yang melebihi
kemampuan lembaga pendidikan serta mendorong para pelanggan untuk menjadi
pelanggan yang baik dan loyal.

Berry (1995) dalam bukunya on great service memberikan sebuah kerangka yang lebih
komprehensif untuk menghilangkan kesenjangan 1 sampai dengan 4, seperti gambar berikut ini.

LANGKAH 1 LANGKAH 2 LANGKAH 3 LANGKAH 4

Menumbuhkan Membangun Merumuskan Menerangkan


kepemimpinan system informasi straregi layanan Strategi
yang efektif layanan

Strategi layanan efektif


Dari gambar di atas,
langkah pertama, Berry menempatkan kepemimpinan sebagai prioritas utama karena
beranggapan bahwa kepemimpinan merupakan motor penggerak pembaruan layanan. Tanga
kepemimpinan yang efektif berarti tanpa visi dan arahan yang jelas'serta tanpa bimbingan dari
pimpinan lembaga pendidikan, upaya untuk memberikan layanan yang bermutu akan sulit
diwujudkan. Oleh karena itu, dalam kerangka layanan ini lebih lanjut Berry mengusulkan empat
cara untuk, menumbuhkan kepemimpinan yang efektif, yaitu mendorong kelancaran proses
pembelajaran di kalangan pimpinan lembaga pendidikan, mempromosikan orang yang tepat
untuk mendukung pimpinan lembaga pendidikan, serta menekankan peran serta individu dan
mengembangkan iklim Baling percaya.
Langkah kedua, kepemimpinan yang efektif saja tidak cukup dalam mendukung layanan
yang bermutu sehingga perlu diikuti dengan keberadaan sistem, informasi layanan yang
menyediakan data dan informasi yang relevan dan tepat waktu untuk pengambilan keputusan
berkaitan dengan mutu layanan. Sistem, informasi layanan yang efektif akan mampu
menyampaikan keinginan dan harapan para pelanggan, mengidentifikasi berbagai kekurangan
layanan yang diberikan lembaga pendidikan, memandu alokasi sumber daya lembaga pendidikan
untuk, kepentingan mutu layanan, memungkinkan lembaga pendidikan untuk memantau, mutu
layanan pesaing, memberikan umpan balik atas upaya perbaikan mutu layanan, dan memberikan
altematif tolok ukur mutu layanan (Berry, 1995: 34)t Untuk mendapatkan dan memperluas data
dan informasi layanan perlu, menggunakan lebih dari 1 metode riset sehingga terlepas dari
ketergantungan terhadap sate metode saja.
Langkah ketiga, merumuskan strategi layanan yang merupakan perekat sumber daya
manusia bagi lembaga pendidikan sehingga mereka dapat bergerak secar. bersama-sama menuju
tujuan yang sama, yaitu memberikan pelayanan yang bermutu~ kepada para pelanggannya. Oleh
karena itu, strategi layanan hares dipahami oleh setiap individu yang ada pada lembaga
pendidikan. strategi layanan juga hares mampu memberikan indikasi kepada pihak manajemen
lembaga pendidika mengenai layanan yang kurang berkenan bagi para pelanggan sehingga dapat
diambi, langkah-langkah perbaikan.
Langkah keempat, strategi layanan hanya akan menjadi kata-kata mutiar: apabila tidak
bisa diimplementasikan. Implementasi strategi layanan yang efekti, memerlukan beberapa faktor
pendukung sebagai berikut.
a) Struktur organisasi lembaga pendidikan yang dapat menjadi media bag perkembangan
budaya lembaga pendidikan yang menitikberatkan pada penyempumaan yang
berkesinambungan, menjadi pemandu upaya perbaikan mutu layanan, peningkatan
kemampuan teknis sumber daya guna mendukung upaya perbaikan mutu layanan, serta
memberikan jalan keluar atas berbagal persoalan yang berkaitan dengan mutu layanan.
b) Teknologi yang dapat diterapkan untuk memperbaiki sumber daya, metode kerja, dan
sistem informasi yang kesemuanya mendukung keberhasilan upaya perbaikan mutu
layanan.
c) sumber daya manusia yang memiliki sikap, perilaku, pengetahuan, dan kemampuan yang
mendukung efektivitas realisasi strategi layanan.
F. UPAYA-UPAYA PERBAIKAN LAYANAN PADA LEMBAGA PENDIDIKAN
Upaya perbaikan layanan pada lembaga pendidikan tidak sesederhana yang dipikirkan
karena masalah layanan yang tampak belum tentu merupakan permasalahan yang sebenamya.
Bisa jadi persoalan yang tampak hanya merupakan gejala dari persoalan lain yang tidak tampak.
Berdasarkan konsep tersebut, persoalan mutu layanan eksternal yang sebenarnya secara umum
adalah mutu layanan internal.
Mutu layanan internal dengan mutu layanan eksternal sangat berbeda, bentuk mutu
layanan internal berupa kepuasan bagi para pegawai lembaga pendidikan, budaya kerja lembaga
pendidikan, lingkungan kerja yang kondusif, sistem balas jasa yang motivatif, kesempatan karier
yang luas, serta program diklat yang menitikberatkan pada aspek mutu layanan. Adapun mutu
layanan eksternal akan menumbuhkan kepuasan bagi pelanggan sehingga menjadi pelanggan
yang loyal. Selanjutnya di lembaga pendidikan akan menghasilkan lulusan yang berprestasi dan
jumlah peserta didik akan bertambah secara berkesinambungan karena mutu layanan yang
diberikan kepada mereka (Usahawan, Januari 1997).

1. Fokus pada Pengguna Jasa Pendidikan (Pelanggan)


Kepuasan pengguna jasa pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam TQM.
Oleh sebab itu, identifikasi pengguna jasa pendidikan dan kebutuhan' mereka merupakan aspek
yang krusial (Ivancevich & Ivancevich (1992)). Adapun langkah pertama dalam menerapkan
TQM adalah memandang siswa/mahasiswa' sebagai pelanggan yang harus dilayani dengan baik.
Pandangan ini dikenal luas, tetapi tidak diterima secara universal. Pandangan yang
komprehensifdikemukakan oleh Lewis dan Simth (1994). Mereka mengajukan kerangka
identifikasi pelanggan, yang ditinjau dari tiga perspektif, yaitu pelanggan internal akademik dan
adminis-, tratif, siswa, serta staf pengajar (guru), guru pembimbing, dan karyawan bagian~
administrasi, pelanggan eksternal langsung yaitu pegawai administrasi dan siswa, serta lembaga
pendidikan lain sebagai pesaing. Pelanggan eksternal tidak langsung meliputi masyarakat umum,
alumni, dan penyandang dana. Perhatian terhadap pelanggan tersebut harus diprioritaskan
berdasarkan urutannya dari mulai pelanggan internal dan eksternal langsung, serta pelanggan
eksternal tidak langsung.

2. Kepemimpinan
Kesadaran akan kualitas dalam lembaga pendidikan tergantung kepada faktor,
intangibles, terutama sikap manajemen tingkat atas (pimpinan lembaga pendidikan dasar
menengah, kepala sekolah, dan pimpinan perguruan tinggi/rektorat) terhadap kualitas jasa
pendidikan. Pencapaian tingkat kualitas bukan hasil penerapan jangka pendek untuk
meningkatkan daya saing, melainkan melalui implementasi TQM yang mensyaratkan
kepemimpinan yang kontinu. Puffer dan McCarthy, 1996 telah, mengembangkan kerangka
kepemimpinan transformasional atau visionary, perilaku kepemimpinan kualitas total dari semua
unsur pimpinan, dan pengaruh stakeholder eksternal pada penentuan persyaratan kepemimpinan.

Dalam konteks TQM, pemimpin perlu memiliki karakteristik pribadi yang mencakup
dorongan, motivasi untuk memimpin, kejujuran dan integritas,kepercayaan diri, inisiatif,
kreativitas/originalitas, adaptabilitas/flakiffifial, kemampuan kognitif, serta pengetahuan dan
kharisma. Kualitas mankiwild pimpinan harus dapat memberikan inspirasi pada semua jajaran
maftajenwqv mampu memperagakan kualitas kepemimpinan yang sama, yang diperlukan u"
mengembangkan budaya TQM. Oleh sebab itu, keterlibatan langsung pimpino lembaga
pendidikan sangat penting.
Dengan fondasi berbagai karakteristik pribadi, pimpinan lembaga pendidikan perlu
menciptakan visi untuk mengarahkan lembaga pendidikan dan karyawannys, Dalam konteks
TQM, penciptaan visi yang jelas akan menumbuhkan komitmen karyawan terhadap kualitas,
memfokuskan semua upaya lembaga pendidikan pada pemuasan kebutuhan pengguna jasa
pendidikan, menumbuhkan sense of teamwork dalam pekerjaan, menumbuhkan standard
ofexcellence, dan menjembatani keadaan lembaga pendidikan sekarang dan mass yang akan
datang (Handoko dan Tjiptono, 1997). Visi dirumuskan, diartikulasikan, dan dikomunikasikan ke
seluruh jajaran karyawan pada sebuah lembaga pendidikan untuk mempromosikan perubahan,
inovasi, dan pengambilan keputusan. Kemudian pimpinan mengambil berbagai langkah untuk
menerjemahkan visi menjadi kegiatan spesifik yang dapat dicapai dengan dukungan dan bantuan
para pegawai lembaga pendidikan. Dukungan secara berkesinambungan menuntut pimpinan
lembaga pendidikan menerapkan kepemimpinan transformasional melalui tiga hal berikut.
Pertama, penyampaian inspirasi dalam mengomunikasikan harapan yang tinggi,
memfokuskan upaya dan mengekspresikan tujuan dengan cara yang simpel.
Kedua, menstimulasi intelektual untuk mempromosikan intelegensia, rasionalitas dan
pemecahan masalah secara ilmiah.
Ketiga, pemberian konsiderasi yang bersifat individual untuk memberikan perhatian
secara pribadi dan memberdayakan petugas lembaga pendidikan (Handoko (Ian Tjiptono, 1996).
Kepemimpinan transformasional yang dikembangkan pada tingkat pimpinan sclanjutnya
disebarluaskan ke seluruh jajaran petugas lembaga pendidikan. Hanya melalui difusi ini lembaga
pendidikan dapat menanamkan nilai-nilai TQM yang merembes melewaii batas-batas tradisional
dengan stakeholder eksternal. Kepemimpinan TQM perlu menyadari bahwa stakeholder
eksternal merupakan elci-nen integral lembaga pendidikan. Empat komponen perilaku
kepemimpinan yang dapat diaplikasikan dalam konteks TQM mencakup sharing information,
pengembangan hubungan, pemberdayaan petugas lembaga pendidikan, serta pengambilan
keputusan (Handoko dan Tjiptono, 1997). Gaya kepemimpinan partisipatif dan memberdayakan
seluruh jajaran petugas lembaga pendidikan incrupakan infrastruktur organisasional vital bagi
perkembangan budaya TQM.

3. Perbaikan yang Berkesinambungan


Perbaikan yang berkesinambungan berkaitan dengan komitmen (continuous duality
improvement atau CQl) dan proses (continuous process improvement). Komitmen terhadap
kualitas dimulai dengan pernyataan dedikasi pada mini dan visi bersama, Berta pemberdayaan
semua partisipan untuk secara inkremental mewujudkan visi tersebut (Lewis dan Simth, 1994).
perbaikan yang berkesinambungan tergantung kepada dua unsur. Pertama, mempelajari proses,
alai, dan keterampilan yang tepat. Kedua, menerapkan keterampilan baru pada small achieveable
projects. Proses perbaikan berkesinambungan yang dapat dilakukan berdasarkan siklus PDCA
(Plan, Do, Check, Action). Siklus ini merupakan siklus perbaikan yang never ending dan berlaku
pada semua fase organisasi/lembaga, misalnya administrasi, registrasi, student affairs,
pemrograman, pemeliharaan, dan lain-lain. lembaga pendidikan, yaitu:
(1) Pendekatan akreditasi,
(2) Pendekatan outcome assessment, dan
(3) Pendekatan sistem terbuka (Lewis & Smith, 1994). Pendekatan akreditasi berfokus
pada input lembaga pendidikan, seperti prestasi siswa, jumlah kelas, dan sumber daya fisik.
Asumsi dasar pendekatan ini apabila tersedia Input berkualitas tinggi, akan diperoleh hasil output
berkualitas tinggi pula. Pendekatan ini memberikan data mengenai apa yang masuk dalam
sistem, tetapi hanya sedikit data mengenai apa yang terjadi dalam sistem dan apa yang dihasilkan
dari sistem tersebut.
Sementara itu, pendekatan outcome assessment menekankan pentingnya evaluasi lulusan
lembaga pendidikan, seperti prestasi siswa, graduation, dan pekerjaan/jabatan. Sekalipun
pendekatan ini memberikan kontribusi berharga bagi lembaga pendidikan, siswa, dan
masyarakat, pemahaman atas output pendidikan hanya semata-mata proses pembelajaran. Baik
pendekatan akreditasi maupun pendekatan outcome assessment, keduanya lebih merupakan
pendekatan terpotongpotong dalam upaya menjamin kualitas lembaga pendidikan. Untuk itu,
dibutuhkan pendekatan sistem terbuka yang merupakan sistem jaminan kualitas terintegrasi bagi
lembaga pendidikan. Pendekatan ini menekankan kebutuhan akan kualitas pada tiga tahap utama,
yaitu input, proses transformasi, dan output. Upaya penyempurnaan kualitas harus difokuskan
pada ketiga tahap tersebut dengan mempertimbangkan tantangan atas perlunya pemenuhan
standar kualitas lembaga pendidikan, baik secara nasional maupun internasional.

4. Manajemen SDM
Selain merupakan aset organisasi yang paling vital, sumber daya manusia merupakan
pelanggan internal yang menentukan kualitas akhir sebuah jasa dan lembaganya. Oleh sebab itu,
sukses tidaknya implementasi TQM sangat ditentukan olch kesiapan, kesediaan, dan kompetensi
sumber daya manusia dalam lembaga pendidikan yang bersangkutan untuk merealisasikannya
secara sungguh-sungguh. Pcralihan dari manajemen tradisional menuntut pergeseran paradigms
dalam praktik MSDM. Kebijakan MSDM tradisional yang menganut budaya 2C (command dan
control) wajib digantikan dengan kebijakan baru berdasarkan budaya 3C (employee
commitment, cooperation, dan communication).
Berdasarkan hasil penelitian terhadap pars profesional, SDM pemenang 1)enghargaan
kualitas Baldrige Award, Blackburn & Rosen (1993) mengajukan 14 komponen strategi sumber
daya manusia yang dapat memfasilitasi penerapan TQM, yaitu sebagai berikut:
a) Manajemen puncak bertanggung jawab untuk memprakarsai dan mendukung visi budaya
TQM.
b) Visi tersebut diklarifikasikan dan dikomunikasikan kepada semua insan organisasi.
c) Berbagai sistem yang memungkinkan terjalinnya komunikasi ke atas dan dikembangkan,
dilaksanakan, serta diperkokoh.
d) Pelatihan TQM disediakan bagi semua karyawan dan manajemen puncak mendukung
secara aktif Pelatihan tersebut.
e) Tersedia program keterlibatan atau partisipasi karyawan.
f) Organisasi wajib mengembangkan proses yang melibatkan berbagai macam perspektif
untuk menangani isu-isu kualitas.
g) Para karyawan diberdayakan gums mengambil keputusan yang berkualitas menurut
kebijakan mereka dan desain pekerjaan harus menyatakan hal ini dengan jelas.
h) Penilaian kinerja difokuskan ulang dari sekadar evaluasi kinerja mass lalu, menjadi
tekanan yang dapat dilakukan manajemen untuk membantu para karyawan melakukan
usaha berkualitas yang berkaitan dengan pekerjaan di mass mendatang.
i) Sistem kompensasi mencerminkan kontribusi kualitas yang berkaitan dengan tim,
termasuk penguasaan keterampilan tambahan.
j) Sistem pengakuan nonfinansial (bagi perseorangan atau kelompok kerja) agar
mendukung upaya pencarian kualitas total.
k) Berbagai sistem yang ada memungkinkan para karyawan di semua jenjang organisasi
untuk menyampaikan perhatian, gagasan, dan reaksi mereka terhadap inisiatif kualitas.
l) Isu-isu keamanan dan kesehatan dikembangkan secara proaktif, bukan secara reaktif.
m) Berbagai program rekrutmen, seleksi, promosi, dan pengembangan karier karyawan
mencerminkan realitas barn dalam mengelola dan bekerja dalam lingkungan TQM.
n) Meskipun membantu pihak lain untuk mengimplementasikan proses yang mendukung
TQM, profesional sumber daya manusia tidak melupakan pentingnya mengelola fungsi
sumber daya manusia dengan pedoman yang sama.

5. Manajemen Berdasarkan Fakta


Pengambilan keputusan harus didasarkan pads fakta yang nyata tentang kualitas yang
didapatkan dari berbagai sumber di seluruh j aj aran organisasi. Jadi, tidak semata-mata atas
dasar intuisi, praduga, atau organizational politics. Berbagai alat telah dirancang dan
dikembangkan untuk mendukung pengumpulan dari analisis data, serta pengambilan keputusan
berdasarkan fakta. Di antaranya adalah tujuh alat statistik utama yang melandasi statistical
process control (SPC), yaitu diagram sebab akibat, check sheet, diagram pareto, run chart,
control chart, histogram, dan scatter diagram.
Penciptaan kualitas total lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Implementasi
TQM memikat sekaligus mengikat karena menuntut perubahan dan perombakan fundamental
atas budaya organisasi tradisional. Di ramping itu, komitmen dan totalitas yang dituntut dalam
implementasi TQM harus benar-benar direalisasikan. Sumber daya manusia sebagai komponen
vital dalam lembaga pendidikan patut mendapatkan perhatian dan perlakuan sebagaimana yang
dituntut dalam TQM (Usahawan, November 1999).
Sementara itu, menurut Winarno (2004) kualitas pendidikan di Indonesia yang
mengandalkan sekolah sebagai lembaga penyedia pendidikan, seorang guru menjadi unsur yang
sangat vital karena prioritas utamanya peningkatan kualitas pendidikan adalah memprioritaskan
kualitas guru.
Selama 50 tahun birokrasi sepertinya tidak menyadari kenyataan bahwa kurikulum yang
baik, dana yang cukup benar, program yang relevan, teknologi yang mutakhir tanpa didukung
guru yang berkualitas semuanya tidak tercapai. Yang terjadi saat ini permasalahan kualitas
pembelajaran menurun sehingga hampir dapat dipastikan guru yang disalahkan. Alasannya
sederhana. Apabila guru berkualitas, pendidikan akan beres. Andaikata pernyataan itu betel,
bagaimana cars menjadikan guru yang berkualitas. Selama ini dalam kultur pendidikan kits, guru
sering diikutkan penataran. Akan tetapi, hasil pengamatan menunjukkan, yang tertinggal pads
guru adalah sertifikat, bukan materi penataran. Kalaupun ada umumnya materi tidakdigunakan
karena sistem tidak bersahabat terhadapnya. Ujian akhir nasional (UAN).iiat ini dijadikan sebuah
rujukan kualitas. Ketika strategi itu ditantang dan ditentang, guru juga yang akhimya harus
menjawab meskipun tidak memiliki saham. Beberapa kali kurikulum diganti sebagai buku; pintar
penjamin kualitas. Akan tetapi ketika kurikulum itu salah lagi, apakah guru yang harus
menanggung bebannya, strategi buku pintar tidak menghasilkan guru pintar.
Banyak guru yang sudah kehilangan kebanggaan, dedikasi, dan heroisme. Banyak juga
yang bukan hanya kekurangan ilmu, tetapi kekurangan moralitas menjadi guru yang bukan guru.
Apakah mereka yang menyebabkan menurunnya kualitas, jika jawabannya benar apakah guru
satu-satunya penyebab tersebut. Ketika guru dituntut agar meningkatkan kompetensi
profesionalnya, apakah tuntutan serupa tidak berlaku bagi perumus, pengambil keputusan, dan
pengelola pendidikan. Bagaimana dengan kinerja LPTK dan apakah tidak mensyaratkan para
kepala dinas pendidikan dan segenap anggota inti birokrasi pendidikan untuk dituntut hal yang
sama.
Apabila guru menjadi guru karena paling tidak telah memenuhi legalitas dan kualifikasi,
bagaimana hal ini diterapkan kepada seorang kepala dinas pendidikan yang andaikata ada
berlatar belakang mantan kepala dinas pemakaman, atau retribusi pasar. Seberapa jauh fenomena
serupa berfungsi kontraproduktif dan menurunkan kualitas pendidikan. Dalam hal ini yang harus
dilakukan adalah kembali merevisi paradigms lama yang mengkontaminasikan kebijakan dan
perilaku kerancuan yang menyelimuti kehidupan pendidikan. Maka harus mulai bertanya apakah
guru menjadi penyebab utama menurunnya kualitas pendidikan kits. Para pengambil kebijakan
harus konsisten dan konsekuen menerapkan pola pikir birokrat modern yang selalu menyuarakan
pentingnya quality control, quality assurance, dan total quality, gagasan barn yang dikutip dari
dunia modern diucapkan dalam bahasa asing yang mungkin referen dan implikasinya kurang
jelas bagi birokrasi sendiri.
Apabila dalam konteks total quality menghendaki semua unsur agar berkualitas, tidak
salah apabila mensyaratkan murid juga harus berkualitas, sekolah berkualitas, lingkungan
berkualitas, program berkualitas, proses berkualitas bahkan dampaknya pun berkualitas. Untuk
mewujudkan hal itu diperlukan sistem yang berkualitas, birokrasi berkualitas, kebijakan
berkualitas, dewan pendidikan berkualitas, dinar pendidikan berkualitas, dan dukungan
masyarakat berkualitas. Yang diperlukan adalah pemerintah dan masyarakat yang ikhlas
menghormati guru sebagai orang yang dipercaya mendidik anak bangsa dan peduli pads
keperluan hidup wajar sebagai manusia biasa. Guru yang amanah pads tugasnya datang dari guru
yang memiliki citra din yang positif (Kompas, 1 Mei 2004).
Sebenarnya banyak sekali aspek yang turut menentukan mute pendidikan di sekolah. Edward
Sallis (1993: 12) mengemukakan bahwa yang menentukan mutu pendidikan mencakup aspek-
aspek berikut.

Well-maintained building, outstanding teacher, high moral values, excellent examination results,
specialization, the support of parents, business and local community, plentiful resources, the
applications of the latest technology, strong and purposeful leadership, the care and concern for
pupils and students, a well-balanced curriculum, or some combination of these factors.

Yang menentukan mutu pendidikan mencakup aspek-aspek sebagai berikut.


Pembinaan yang terpelihara/berkelanjutan, guru yang luar biasa, nilai-nilai moral yang luhur,
basil ujian yang gemilang, pengkhususan, dukungan orang tea, komunitas bisnis dan komunitas
lokal, sumber days yang berlimpah, penerapan teknologi mutakhir, kcpemimpinan yang tangguh
dan berarah tujuan, kepedulian dan perhatian pads anak didik, kurikulum yang seimbang, atau
kombinasi dari faktor-faktor tersebut.
Dari sejumlah aspek yang dikemukakan di atas, sate hal yang paling menentukan adalah
bagaimana menjalankan manajemen mutu pendidikan itu sendiri. Menurut W. Edward Deming,
80% dari masalah mutu lebih disebabkan oleh manajemen, dan sisanya 20% disebabkan oleh
SDM. Hal ini berarti bahwa mutu yang kurang optimal berawal dari manajemen yang tidak
profesional dan manajemen yang tidak profesional artinya mencerminkan kcpemimpinan dan
kebijakan yang tidak profesional pula.
Sejalan dengan konsep tersebut, Dirjen Dikdasmen Depdiknas (1991: 11)menetapkan
bahwa ukuran mutu pendidikan di sekolah mengacu pads derujut keunggulan setiap
komponennya, bersifat relatif, dan selalu ada dalam perbandingan. Ukuran sekolah yang balk
bukan semata-mata dilihat dari kesempurnaan komponennya dan kekuatan yang dimilikinya,
melainkan diukur dari kemampuan sekolah dalam mengantisipasi perubahan, konflik, Berta
kekurangan atau kelemahan yang ada dalam sekolah tersebut. Oleh sebab itu, sebagai pedoman
untuk mengukur mutu pendidikan di sekolah dapat menggunakan tiga model perbandingan, yaitu
(1) dibandingkan dengan standar ideal tertentu (criterion-referenced comparison), (2)
dibandingkan dengan standar atau kriteria kinerja sekolah tersebut dari waktu ke waktu (self
referenced comparison), (3) dibandingkan dengan keadaan di daerah lain (norm-refrenced
comparison).
Mengacu pads pendapat Reddin (1970) tentang ciri perilaku manajer yang efektif, dapat
dikemukakan bahwa kepala sekolah sebagai seorang manajer pendidikan harus menunjukkan
perilaku yang kondusif bagi pencapaian output yang bermutu sehingga menampilkan lulusan
yang bermutu pula. Hal yang paling pokok bagi kepala sekolah ialah memahami secara benar
visi yang akan dicapainya, karenanya harus memiliki motivasi yang tinggi untuk merealisasikan
visinya tersebut.
Kepala sekolah sebagai pimpinan harus memahami dan mampu mengembangkan potensi
yang dimiliki stafnya Berta dapat memperlakukan mereka sesuai dengan karakter individunya.
Dalam iklim kerja yang demikian, kepala sekolah akan bertindak sebagai team manager dengan
menggunakan pendekatan gaga kcpemimpinan partisipatif. Kepala sekolah merupakan tenaga
profesional yang memiliki kewenangan untuk memajukan dan mengembangkan sekolah yang
dipimpinnya agar mampu menghadapi suasana yang lebih kompetitif. Oleh karma itu, kepala
sekolah dituntut untuk menampilkan peran sebagai pemikir dan pengembang (brain power).
Efektivitas dan efisiensi kerja kepala sekolah memberikan pengaruh positif bagi
kelancaran pencapaian tujuan pendidikan. Di lain pihak, sekolah sebagai unit pusat kehadiran
siswa berusaha secara radar untuk memotivasi semua pihak agar slap melakukan perbaikan
secara berkesinambungan sehingga mengarah kepada terbentuknya iklim kerja yang berorientasi
pads budayamute. Melalui pendekatan partisipatif, kepala sekolah seyogianya memberikan
kepercayaan penuh kepada stafnya untuk bekerja secara mandiri dan bertanggung jawab sesuai
dengan ruang I ingkup kewenangan yang dimilikinya.
Menurut PP No. 28/1990 dan dipertegas oleh Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI
Nomor 053/U/2001 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan
Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah bahwa penilaian keberhasilan pendidikan
di sekolah mencakup empat komponen sebagai berikut:
1. Komponen pertama yang diukur adalah kegiatan dan kemajuan belajar siswa.
Tujuannya terutama untuk mengetahui bagaimana proses pembelajaran berlangsung, proses
pembimbingan dan pembinaan kepada siswa, mengukur efektivitas dan efisiensi
penyelenggaraan perkembangan hasil belajar siswa.

2. Komponen kedua berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum. Tujuannya untuk


mengetahui kesesuaian kurikulum dengan dinamika tuntutan kebutuhan masyarakat,
pencapaian kemampuan siswa berdasarkan standar kompetensi yang telah ditetapkan,
ketersediaan sumber belajar yang relevan dengan tuntutan kurikulum, cakupan materi
muatan lokal sesuai dengan kebutuhan daerah setempat, serta kelancaran pelaksanaan
kurikulum sekolah secara keseluruhan.
3. Komponen ketiga adalah guru dan tenaga kependidikan lainnya. Dimaksudkan untuk
mengetahui sampai seberapa jauh kemampuan dan kewenangan profesional masing -masing
personel dapat ditampilkan dalam pekerjaan seharihari.

4. Komponen keempat, kinerja satuan pendidikan sebagai satu keseluruhan. Penilaiannya


mencakup kclembagaan, kurikulum, siswa, guru, dan nonguru, sarana/prasarana, administrasi,
serta keadaan umum satuan pendidikan tersebut.

Penilaian ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mans mutu pendidikan yang bisa dicapai
di sekolah tersebut, dan bagaimana posisinya jika dibandingkan dengan sekolah lain yang ada di
sekitarnya maupun secara nasional. Jadi, secara keseluruhan penilaian pada keempat komponen
tersebut berfungsi sebagai alai kontrol bagi perbaikan dan pengembangan mutu sekolah
selanjutnya.
Mengacu pada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 053/U/2001, setiap
lembaga penyelenggara pendidikan dituntut untuk senantiasa melaksanakan, manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah. Hal ini dijalankan dengan tetap, berorientasi pada visi, mini,
dan terget peningkatan mutu secara berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan oleh pars
stakeholders. Penilaian formal terhadap komponen-komponen di atas dilakukan secara
berjenjang sesuai dengan batas kewenangan masing-masing penilai, seperti guru, kepala sekolah,
penilik, (pengawas), dan aparat struktural maupun fungsional yang terkait.
Hasil penilaian di atas akan menentukan seberapa jauh mutu pendidikan yang bisa dicapai
oleh sebuah sekolah. Sehubungan dengan hal tersebut, apabila kits berbicara tentang manajemen
mutu pendidikan, hal itu tidak akan terlepas dari, permasalahan manajemen pendidikan itu
sendiri.

Manajemen mutu pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk mencari perubahan fokus
sekolah, dari kelayakan jangka pendek menuju ke arah perbaikan mutu jangka panjang, serta
dampaknya terhadap perubahan nilai-nilai budaya sekolah.
Selanjutnya dalam realita yang dialami ternyata implementasi manajemen mutu pendidikan
tidak selamanya berjalan mulus dan lancar, seringkali muncul berbagai kendala. Deming
mengelompokkan faktor penyebab kegagalan mutu pendidikan ke dalam dua kriteria, yaitu
penyebab umum dan penyebab khusus. Penyebab umum adalah kegagalan pendidikan yang
berkenaan dengan rendahnya (Icsain kurikulum, gedung tidak memadai, lingkungan kerja tidak
menunjang, sistcm dan prosedur kerja tidak cocok, pengaturan waktu tidak mencukupi,
kurangnya sumber, dan pengembangan staf tidak memadai. Penyebab khusus, kegagalan muncul
karena prosedur dan peraturan tidak dipatuhi, staf tidak memiliki ketcrampilan pengetahuan dan
sikap kerja sebagaimana mestinya, kurangnya motivasi, kegagalan komunikasi, serta
perlengkapan yang tidak memadai.
Untuk mengatasi kendala yang ada dalam implementasi manajemen mutu di ,etas, harus
dilandasi oleh perubahan sikap dan cars kerja semua personel. Pimpinan harus memotivasi
stafnya agar bekerja lebih baik, misalnya dengan jalan menciptakan iklim kerja yang
menyenangkan, menyediakan sarana yang memadai (baik kuantitas maupun kualitas),
menetapkan sistem dan prosedur kerja yang sWerhana, serta memberikan penghargaan atas
keberhasilan dan prestasi staf. Hal ini bukan pekerjaan mudah karena menuntut kerja keras,
disiplin tinggi, dan Imigorbanan semua pihak, terutama mengubah mindset dan paradigms kerja,
yang berorientasi pada kuantitas pelaksanaan tugas menjadi lebih berorientasi pada mutu
pelaksanaan tugas. Dengan demikian, kebutuhan kehadiran pimpinan dan staf yang profesional
menjadi penting karena merekalah yang diharapkan dapat mencapai output yang memiliki mutu.
Menurut A. Muri Yusuf (1995: 280) perbaikan mutu dalam bidang pendidikan bukan
semdta-mats soal physical product seperti yang terjadi dalam bidang industri atau pabrik. Hal ini
disebabkan raw input sekolah adalah manusia clan hasil pendidikan (output-nya) adalah manusia
yang akan diuji lagi kemampuannya pada saat individu itu berinteraksi dengan manusia lainnya.
Oleh karena itu, seluruh komponen dalam sistem sekolah diarahkan secara terpadu untuk
mendukung terciptanya proses transformasi nilai yang sebaik-baiknya. Dengan kata lain, hasil
belajar tidak hanya sekadar mengetahui clan memahami, melainkan harus bisa mencapai
kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills).
Menurut Engkoswara (1987) yang dikutip Tjutju Yuniarsih (1997: 75) bahwa higher order
thinking skills ditandai oleh adanya kemampuan untuk berpikir kritis, analitis, kreatif, reflektif,
dan transformasional.
Dalam bidang persekolahan di Indonesia, sudah ditetapkan adanya standar kompetensi
yang harus dicapai oleh siswa, salah satu indikator minimal bagi keberhasilan pencapaian mutu
pendidikan. Kompetensi dasar yang diharapkan dapat dimiliki siswa berawal dari terbentuknya
akhlak dan budi pekerti luhur yang bisa membentuk perilaku dan bertanggung jawab untuk
mengikuti proses pendidikan pada tingkat sekolah yang sedang dijalaninya. Berbekal perilaku di
atas, diharapkan dapat mengantarkan siswa untuk mengembangkan keterampilan dan
kemampuan, agar dapat memasuki kehidupan pribadi sebagai anggota masyarakat. Kompetensi
berikutnya berkenaan dengan kesiapan dan kemampuan siswa untuk melanjutkan ke jenjang
sekolah yang lebih tinggi ataupun masuk ke dunia kerja sesuai dengan kemampuan dan keahlian
yang dimilikinya.
BAB KERANGKA KERJA TIM

6 DALAM MANAJEMEN

PENDIDIKAN

Lembaga pendidikan merupakan sebuah organisasi, terdiri dari pendidik dan tenaga
kependidikan. Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan,
pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada
satuan pendidikan. pendidik adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan
pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi
pendidik pada perguruan tinggi (Bab XI Pasal 39 UU RI No. 20 Tahun 2003). Kedua unsur
lembaga pendidikan tcrsebut bergabung dalam satu kesatuan organisasi satuan kependidikan.
Oleh karena itu, kedua unsur tersebut merupakan sebuah tim kerja yang bekerja sama dalam
mencapai tujuan pendidikan, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman clan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beralchlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
(Bab III Pasal 4 UU RI No. 20 Tahun 2003).

A. TRANSFORMASI INDIVIDU MENUJU TIM


Bahasan tentang dunia kerja di Indonesia pada umumnya dapat tercermin
dari pola kerja dan semangat hidup masyarakatnya, yaitu kerja sama dan gotong
royong. Melalui semangat gotong royong, masyarakat dibentuk dan dilatih dalam
suatu tim kerja untuk secara bersama-sama menyelesaikan berbagai jenis pekerjaan.
Berdasarkan semangat gotong royong yang tumbuh dalam masyarakat kita,
setiap individu yang terlibat dalam sebuah komunitas akan mengambil bagian
dari keseluruhan pekerjaan yang ada sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang
dimilikinya. Melalui kerja sama secara gotong royong, setiap individu tidak ada
yang merasa dirinya paling ahli, serta keberhasilan maupun kegagalan kerja sama
tcrsebut akan menjadi milik bersama. Oleh sebab itu, tanggung jawab akan menjadi
tanggung jawab secara kolektif sehingga setiap anggota individu dapat bekerja
tanpa merasa terbebani oleh tanggung jawab yang sangat bestir yang diembannya.
Tanggung jawab individu akan mcnjadi lebih ringan karena dipikul secara bersama.
Kekurangan masing-masing individu akan saling menutupi dan saling melengkapi, serta keahlian
yang dimiliki oleh seorang individu akan menyempurnakan kerja sama. Dengan demikian,
melalui pekerjaan secara kolektif, setiap anggota individu mengalami perkembangan bersama-
sama secara cepat. Demikian halnya dalam sebuah lembaga pendidikan, transformasi dari peran
secara individu berdasarkan keahliannya masing-masing akan menjadi pekerjaan kolektif dalam
sebuah tim yang kembali kepada semangat kerja sama secara gotong royong. Misalnya dalam
sebuah lembaga pendidikan diperlukan transformasi individu staf pengajar yang memiliki
keahlian berbeda-beda, tenaga administrasi dan tenaga struktural dipadukan dalam sebuah proses
pembelajaran yang menyeluruh clan terintegrasi. Dengan demikian, hal ini akan menghasilkan
output lembaga pendidikan yang memiliki kualitas lebih baik dan nilai tambah yang bisa
dipertanggungjawabkan. Karena tanggung jawab output lembaga pendidikan bukan hanya
tanggung jawab satu kelompok fungsional seperti staf pengajar. Akan tetapi, hal ini akan
menjadi tanggung jawab bersama antara tenaga fungsional (guru/staf pengajar), kepala sekolah,
maupun tenaga struktural (dings pendidikan sampai ke tingkat departemen).
Melalui pembentukan sebuah tim kerja yang ada dalam lembaga pendidikan, kinerja
mereka dapat disinergikan satu sama lain. Dengan demikian, lembaga pendidikan tersebut
memiliki kekuatan yang sangat besar untuk mewujudkan kreativitas dan inovasi baru serta
menyelesaikan proses pembelajaran yang lebih bermutu. Beberapa risiko yang dapat dihindari
melalui kerja tim dalam lembaga pendidikan, antara lain sebagai berikut :
a) Tanggung jawab dalam lembaga pendidikan merupakan tanggung jawab kolektif
sehingga risiko yang mungkin timbul akan diselesaikan secara bersama-sama. Dengan
demikian, beban psikologis setiap staf terutama staf pengajar akan terasa lebih ringan.
b) Dengan kecilnya beban risiko yang ditanggung, secara psikologis para staf pengajar tidak
merasa sangat terbebani sehingga energinya dapat diarahkan untuk menciptakan
perubahan dan inovasi baru dalam proses pembelajaran.
c) Keterbatasan kemampuan dan keterampilan para staf pengajar maupun struktural akan
teratasi melalui kerja sama.
Sebuah tim kerja tidak terbentuk secara kebetulan atau tanpa direncanakan sama sekali,
menurut Stoner (1995) dalam Budi Sutedjo (2002: 232). Ada lima tahap terbentuknya sebuah tim
kerja, yaitu sebagai berikut.

1. Pembentukan
Pada awalnya, tim dibentuk berdasarkan kebutuhan, keprihatinan, keahlian, jenis
pekerjaan atau bidang yang sama. Kemudian anggota kelompok akan salingmempelajari tingkah
lake masing-masing anggota sebelum secara spesifik menetapkan peraturan tim, baik secara lisan
maupun secara tertulis. Kematangan tim ini sangat tergantung pads keseimbangan yang ada
dalam sebuah lembaga baik dari segi kemampuan, keahlian, maupun segi pembagian hak dan
kewajibannya. Dalam lingkungan teknologi informasi, sebuah tim hares mampu menciptakan
rasa saling tergantung satu sama lain sehingga akan lahir rasa solidaritas yang akan mengikat
setiap individu dalam suatu kelompok yang solid.

2. Konflik
Pada tahap awal pembentukan tim akan menimbulkan konflik yang silih berganti. Hal ini
terjadi karena masing-masing individu dalam kelompok memiliki kepentingan tertentu, yang
intinya ingin memperoleh kesempatan dan perhatian secara khusus. Di camping itu, konflik jugs
dipicu oleh perbedaan cars pandang terhadap permasalahan yang dihadapi. c

3. Pemantapan Norma Tim


Pada saat konflik mulai mereda, anggota tim mulai merumuskan norms atau peraturan
dasar tim, misalnya pembagian tugas, kesepakatan waktu, dan lain sebagainya. Dalam hal ini
kesatuan akan muncul seiring dengan menurunnya potensi konflik.

4. Berprestasi
Setelah tim mulai bekerja dengan kompak dan semangat kebersamaan yang tinggi maka
tim ini dapat mencapai puncak prestasi khususnya dalam menciptakan inovasi dan kreativitas.
5. Pembubaran
Suatu saat seorang anggota atau beberapa anggota tim mengundurkan diri karena kondisi
kesehatan, mutasi, atau pensiun yang mengakibatkan tim tersebut bubar tetapi sebuah lembaga
akan ter-us hidup. Oleh karena itu, dengan sendirinya akan terbentuk tim kerja baru dengan
berbagai jenis tantangan yang dihadapinya sesual dengan kondisi yang ada.

B. TIM KERJA LEMBAGA PENDIDIKAN DALAM REVOLUSI INFORMASI


Sebagaimana kits ketahui, milenium ketiga merupakan patokan waktu yang menandai
lahirnya peradaban informasi. Dari peradaban informasi inilah realitas bare muncul yang pads
gilirannya membalik hampir seluruh paradigms organisasi yang pernah dirancang manusia. Tim
kerja sebagai pertanda munculnya peradaban dan masyarakat informasi secara simplistic
ditunjukkan ke dalam gambar berikut ini.

Struktur masyarakat industry


Struktur masyarakat inforamasi

Kedua gambar ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar dan sekaligus menegaskan
betapa sangat kontrasnya struktur masyarakat yang bercorak industri dengan struktur masyarakat
yang bercorak informasi. Gambar tersebut sebagai sketsa tentang masyarakat industri dan
masyarakat informasi, dengan munculnya kebutuhan tim kerja lebih mencirikan kehadiran
masyarakat informasi.
Gambar di atas memperlihatkan bahwa dalam masyarakat industri, pola hubungan
antarmanusia berdasarkan fungsi sistem bersifat hierarkis, kaku, dan rigid. Gerak dinamik
organisasi mengalir dari atas ke bawah, dengan tingkatan yang paling atas tidak bersentuhan atau
sulit bersentuhan dengan tingkatan paling bawah. Max Weber sebagai sosiolog menggambarkan
pola hubungan ini sebagai rasionalitas, ketika hubungan tersebut dibangun berdasarkan tujuan
efisiensi dan efektivitas gerak rods organisasi. Oleh karena itu, hubungan ini bersifat bebas nilai
(free values) dan bebas dari dimensi irasionalitas.
Berbagai kritik terhadap fungsi sistem Weber (1947) tidak dapat dielakkan. Fakta
membuktikan bahwa apa yang disebut dengan hubungan rasionalitas ternyata cenderung
menjebak manusia pada cars kerja mesin. Gerak dinamik organisasi yang menghimpun potensi
kreatif manusia untuk mencapai tujuan tertentu tidak ubahnya berjalan sebagaimana layaknya
robot. Tingkatan paling bawah dalam struktur masyarakat industri sulit dipertemukan dengan
struktur masyarakat paling atas. Jika kajian sosiologis yang dikembangkan oleh Berger (1982)
yang bermuara pada kesimpulan bahwa organisasi yang lahir dari hierarkisme industrial akan
memperteguh tegaknya bangunan organisasi yang bersifat piramida dan sangat refresif terhadap
mereka yang lemah. Munculnya gerakan radikal kaum buruh menuntut kenaikan upah atau
perbaikan kondisi sosial ekonomi merupakan negasi (penolakan) yang sangat keras terhadap
berlakunya struktur organisasi piramida yang tunduk pada rasionalitas industrial dan tidak
manusiawi.
Realitas semacam ini akan melahirkan dua persoalan besar,pertama, rasionalitas
instrumental yaitu rasionalitas yang mempermudah mengalirnya sekian banyak komando dalam
organisasi, dari atas mengalir ke bawah. Rasionalitas di sini bukan rasionalitas substansial yang
dilandaskan pada etika pengaturan hubungan antarmanusia dalam organisasi. Jacques Ellul
(1976) menguatkan kenyataan ini pada munculnya apa yang disebut dengan the dissociation
ofman atau terlepasnya sambungan tali nilai kemanusiaan oleh kekuatan mesin. Ellul
memberikan sebuah wacana munculnya human techniques sebagai kekuatan yang
mengintegrasikan dan sekaligus merestorasikan kembali kemanusiaan untuk menghilangkan
dampak buruk perkembangan organisasi yang dipengaruhi oleh logika mesin. Kedua, i i-nplikasi
dari berlakunya rasionalitas instrumental bahwa struktur organisasi sangat kccil kemungkinan
mampu memberikan peluang timbulnya hubungan kesetaraan antarberbagai elemen organisasi.
Dengan kekuatan komando yang dimiliki oleh jajaran pimpinan (tingkatan atas), tingkatan
bawah anggota organisasi hanya digerakkan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Keadaan ini dapat d 1 analogikan dengan berlakunya paradigms yang menegaskan bahwa
pemerintah hares selalu mengawasi rakyat. Inilah situasi yang tidak memungkinkan tim kerja
secara sehat dalam tubuh organisasi. Demikian halnya dengan struktur hubungan dalam dunia
pendidikan hampir bisa dipastikan sama dengan struktur masyarakat industri. Padahal dunia
pendidikan lebih mementingkan sentuhan kemanusiaan dan tidak mengidentikkan dengan
hubungan rasionalitas ketika seorang staf, pengajar (guru/dosen) ibarat mesin yang siap untuk
memproses siswa/mahasiswa menjadi seseorang yang cerdas dan pandai. Padahal dalam
kenyataannya, seorang staf pengajar hanya salah satu elemen yang mampu memproses sesuatu
jika didukung oleh elemen-elemen pimpinan, seperti kepala sekolah, dinar pendidikan, serta
unsur lain yang terkait. Keberhasilan pendidikan merupakan keberhasilan yang harus didukung
oleh tim kerja yang solid antara staf pengajar dengan staf pengajar lainnya, tenaga administrasi,
pejabat struktural, maupun unsur lainnya.
Namun saat ini kenyataan berkata lain. Pentingnya tim kerja (teamwork) dalam sebuah
organisasi terkait dengan penggunaan massal instrumen revolusi informasi seperti pesawat
telepon, faksimili, modem, internet, dan lain-lain. Bersamaan dengan perkembangan instrumen
revolusi informasi tersebut, hubungan antarmanusia menjadi sangat kompleks seperti tcrllhat
dalam Gambar 6.2 di tengahtengah lepasnya kendala kelas, etnis, dan agama. Oleh karena itu,
hubungan kerja berdasarkan fungsi organisasi pun menjadi sangat kompleks. Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi berada dalam satu ruang yang berjauhan ketika
dimanfaatkan dalam waktu yang bersamaan dengan teknologi serupa oleh orang lain untuk saling
berhubungan.
Pada akhirnya, evolusi masyarakat yang telah sampai pada pembentukan masyarakat informasi
mengubah paradigma pengelolaan semua organisasi industri,. politik, hukum, pendidikan,
kebudayaan, dan lain-lain ke arah integrasi atau kerja sama yang saling memberi manfaat. Di
satu pihak informasi semakin penting fungsinya sebagai masukan bagi keseluruhan proses
penciptaan kebijakan organisasi. Konsekuensinya, setiap organisasi baik organisasi bisnis
maupun organisasi lainnya harus semakin sistematis mengadopsi substansi-substansi barn
melekat pada informasi. Adapun substansi-substansi baru yang dimaksudkan tidak lain adalah
kebenaran yang berlaku secara universal meskipun tampil dengan format yang sama sekali baru.
Sementara di lain pihak, cars kerja aktor organisasi harus berubah mengikuti kecenderungan
cepat revolusi informasi. Sebagaimana kits ketahui akibat revolusi informasi itu, data dan
informasi mengalir ke seluruh sudut dunia seperti kecepatan cahaya dan tidak dapat dibendung
oleh kekuatan spa pun. Revolusi itu memperjelas, kenyataan cepatnya waktu yang membuat
setiap organisasi seperti halnya lembaga pendidikan tenggelam ke pusaran samudra informasi.
Oleh karena itu, para pelaku dalam lembaga pendidikan pun tidak bisa tidak, harus bekerja
dengan intensitas yang sangat cepat serta kapasitas yang besar. Untuk menjawab tantangan
tersebut para pelaku dalam lembaga pendidikan harus selalu menemukan pola kerja baru secara
kreatif. Hal itu hanya mungkin dilakukan jika masing-masing individu pelaku lembaga
pendidikan menyadari pentingnya tim kerja untuk membangun dan mengembangkan lembaga
pendidikannya.
Melalui tim kerja, setiap individu yang terlibat dalam lembaga pandidiken berarti turut serta
mengembangkan suatu pemahaman bahwa dalam masyarakat informasi tidak mungkin seorang
individu memiliki kemampuan seperti layahyll superman, sementara guru adalah manusia biasa
yang memiliki banyak keterbatasan. Seperti yang dituntut oleh sementara kelompok bahwa yang
Akan menjadikan lembaga pendidikan bermutu adalah staf pengajar atau guru. TWA adil
rasanya kalau guru dituntut seperti superman. Oleh karena itu, tim kerja harus berperan dalam
menjawab tuntutan tersebut sehingga guru bukan satu-satunya fungsional yang bertanggung
jawab atas keberhasilan dunia pendidikan. Dan guru bukan satu-satunya unsur lembaga
pendidikan yang sanggup memecahkan segala persoalan pendidikan sendirian. Masing-masing
persoalan yang muncul dalam dunia pendidikan harus dipecahkan berdasarkan pendekatan
keilmuan, mengharuskan adanya tim kerja yang bekerja berdasarkan keilmuan, kepakaran, dan
ketelitian yang mendalam.
Oleh karena itu, pada mass yang akan datang tim kerja dibentuk untuk mengatasi berbagai
kesulitan yang akan dihadapi oleh setiap lembaga termasuk lembaga pendidikan. Mara depan
adalah kurun waktu di mans bentuk-bentuk baru kehidupan tidak selalu akrab dengan manusia.
Manusia masih harus melakukan upaya-upaya adaptasi yang tidak mudah. Sementara itu,
lembaga pendidikan masih tunduk di bawah bayang-bayang paradigma konvensional yang akan
mempersulit manusia beradaptasi secara kreatif dengan bentuk baru kehidupan tersebut.
Lembaga pendidikan benar-benar di ujung tanduk apabila para pelaku dalam lembaga
pendidikan tersebut tidak memiliki kemampuan membangun teamwork untuk menjawab tuntutan
persaingan. Di mass depan lembaga pendidikan akan jauh lebih baik apabila dikendalikan oleh
teamwork yang mampu bekerja secara cepat dan tepat.
Uraian tentang proses evolusi masyarakat industri menuju masyarakat informasi memperlihatkan
bahwa mass depan pembentukan tim kerja dalam lembaga pendidikan harus memiliki landasan
sosiologis sekaligus memiliki dasar filosofis yang jelag. pembentukan tim kerja bukan sekadar
tuntutan manajerial lembaga pendidikan, lebih dari itu merupakan pemberdayaan secara
menyeluruh terhadap elemen organisasi lembaga pendidikan yang eksis di tengah-tengah
masyarakat. Oleh karena itu, tim kerja harus memiliki unsur secara spesifik yang membedakan
dengan sekelompok orang yang sedang melakukan sesuatu. Untuk membedakan tim kerja
dengan kelompok lainnya akan digambarkan pada Label di bawah ini.

Matriks Perbedaan Kelompok Kerja dengan


Tim Kerja Kelompok Kerja

No. Kelompok Kerja Tim Kerja

1. Fokus pada lapisan elit pimpinan Penyebaran peran kepemimpinan


2. Akuntabilitas individu Akuntabilitas individu dan tim
3. Tujuan kerja adalah tujuan organisasi Tujuan kerja spesifik sesuai keyakinan
tim
4. Produk kerja individual Produk kerja kolektif
5. Rapat bersifat efisien Rapat mengikuti fleksibilitas diskusi
6. Kinerja bersifat parsial Kinerja bersifat komprehensif
7. Diskusi, keputusan, dan pendelega- Diskusi, keputusan, dan bekerja
sign lama

Berdasarkan matriks di atas bahwa tim kerja memiliki perbedaan yang signifikan dengan
kelompok kerja. Dalam organisasi apa pun kelompok kerja selalu ada, bahkan merupakan
prasyarat minimal terbentuknya sebuah organisasi. Namur dengan menumbuhkan tim kerja,
struktur, dan mekanisme organisasi memasuki proses transformasi untuk merespons tantangan
baru lebih tepat. Artinya, tim kerja merupakan salah sate faktor terjadinya sofistikasi
(pencanggihan) peran sebuah organisasi.
Dalam hal kepemimpinan, kelompok kerja lebih mementingkan peran lapisan elit karena
dimensi kepemimpinan bersifat one man shows dan otoriter. Sementara dalam tim kerja, arti
kepemimpinan bukan identitas tetapi lebih kepada peran. Oleh karena itu, pertama,
kepemimpinan dalam tim kerja dipenuhi oleh orang yang memiliki kemampuan kepemimpinan,
baik kepemimpinan yang dalam membangun visi sosial, manajerial, maupun dalam hal
keilmuan. Kedua, keanggotaan tim kerja tidak pernah bersifat massal tetapi terbatas hingga
pembentukan limited group.
Dalam tim kerja, tujuan kerja tidak selalu mencerminkan tujuan organisasi. Jika ternyata
tujuan organisasi itu sempit dan tidak memiliki jangkauan jauh ke mass depan ketika muncul
tantangan baru, tim kerja merumuskan sendiri tujuan kerja mereka sebagai perluasan atas tujuan
organisasi. Hal ini tidak berarti merupakan penyimpangan tujuan organisasi karena dalam tim
kerja itu tujuan keberadaan organisasi telah diinterpretasikan secara cerdas sesuai dengan
tantangan keadaan. Dengan demikian, anggota tim kerja harus diisi oleh mereka yang memiliki
kemampuan tinggi untuk melakukan prognosis terhadap perkembangan sejarah, masyarakat,
peradaban, dan perkembangan ide-ide. Dengan kata lain, kemampuan melakukan interpretasi dan
reinterpretasi dalam tim kerja lahir sebagaisebuah konsekuensi logis dari adanya visi
intelektualistik anggota tim kerja.
Produk tim kerja baik berupa rekomendasi kebijakan maupun strategi organisasi
merupakan produk kolektif Metode yang diaplikasikan oleh tim kerja dapat diibaratkan sebagai
hasil kerja kelompok yang berusaha memindahkan sebuah beban ke tempat di mana seharusnya
beban itu berada. Apabila dalam sebuah lembaga pendidikan produk kerja masih merupakan
produk kerja individu, dengan sendirinya lembaga pendidikan tersebut belum memiliki tradisi
bekerja menurut logika tim kerja.
Kinerja organisasi yang dihasilkan oleh tim kerja bersifat komprehensif yang
mengharuskan anggota tim memahami dan mengkaji masalah organisasi dari berbagai sudut
pandang. Anggota tim kerj a dengan sendirinya dibentuk dari orangorang yang memiliki latar
belakang keilmuan dan pengalaman melakukan advokasi kemasyarakatan. Bertitik tolak pada
matriks di atas, tim kerja sangat mendesak untuk segera dilahirkan. Hal ini disebabkan mereka
yang tergabung dalam tim kerja adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk melakukan
analisis yang tajam terhadap permasalahan yang dihadapi organisasi. Jika sebuah lembaga
pendidikan secara kontinu ingin mempertahankan daya saingnya, sudah saatnya membentuk dan
mengembangkan sebuah tim kerja berdasarkan unsur yang terdapat dalam matriks di atas.
Apabila unsur pembentukan tim kerja ditelaah secara jauh, akan terlihat berlangsungnya
sebuah proses transformasi peran individu dalam organisasi. Individu tidak semata-mata
diposisikan sebagai kuantita yang statis, tetapi diubah menjadi kualita yang dinamis.
Kemungkinan munculnya konflik pada setiap tim kerja seharusnya dimulai dengan pembentukan
tim kerja yang dilandaskan pada matriks dalam pembahasan terdahulu, bagaimana tim kerja
tersebut dibentuk untuk tujuan pemberdayaan organisasi, atau untuk kepentingan para elit
organisasi.
Pimpinan organisasi maupun lembaga pendidikan kadang terperangkap dalam kekeliruan
cara berpikir, ketika kelompok kerja yang dibentuk disamakan dengan tim kerj a. Padahal tim
kerja memiliki beberapa kata kunci vis-d-vis yang berbeda dcngan kenyataan dalam kelompok
kerja. Kuatnya tim kerja dalam organisasi (crsimpul dalam penyelesaian konflik yang
menggunakan kata kunci win-win solution. Konflik dalam tim kerja merupakan tubrukan dari
berbagai pemikiran yang sengaja dilakukan untuk mencapai kebenaran. Jika konflik merupakan
refleksi dari vested interest (kepentingan pribadi) maka konflik itu merupakan ciri khas dari
konflik dalam kelompok kerja bukan pada tim kerja. Karena terjadi tubrukan pemikiran, konflik
dalam tim kerja merupakan sebuah necessary (keniscayaan) yang harus ada untuk menjamin
berlangsungnya dialektika pemikiran.
Jika pada akhirnya konflik dalam lembaga pendidikan mulai menyeret kepentingan
pribadi dan menampilkan bentuk konflik emosional dan irasional, pillak yang berkonflik tidak
berhak berada dalam tim kerja. Untuk menghindari timbulnya konflik seperti ini, pola kerja tim
harus diarahkan ke dalam skenario berikut. Pertama, tim kerja hanya memfokuskan pembahasan
pads fakta objektif yang dirasakan sebagai persoalan yang sangat mendesak dan harus segera
dipecahkan atas nama lembaga pendidikan. Tim kerja tidak perlu terjebak pads rumor atau -isu
yang tidak jelas faktanya. Kedua, alternatif pemecahan masalah diakomodasi sebanyak mungkin
untuk dijadikan masukan dalam menetapkan opsi pemecahan masalah yang paling logis dan
diterima semua anggota tim. Ketiga, perdebatan dalarn tim kerja lebih berftingsi sebagai
intellectual exercise, sehingga pemecahan masalah disertai oleh tujuan yang sama antaranggota
tim. Keempat, perdebatan antaranggota tim harus diselingi oleh humor-humor yang segar.
Kelima, anggota tim kerja harus terbebas dari ketimpangan struktural organisasi. Keenam,
konsensus harus disertai kualifikasi yang jelas dan berpatokan pads kebenaran universal.
Artinya, konsensus dilakukan bukan untuk melanggar ketentuan etis tetapi untuk mencari
kebenaran universal.

C. PENDEKATAN KOMPETENSI SEBAGAI ACUAN PENGEMBANGAN KARIER


INDIVIDU DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN

Perusahaan konsultan internasional manajemen Arthur Andersen (1994) mendefinisikan


kompetensi sebagai karakteristik dasar yang terdiri dari kemampuan (skills), pengetahuan
(knowledge) serta atribut personal (personal attributes) lainnya yang mampu membedakan
seseorang dari yang perform dan tidak perform. Artinya, inti dari sistem atau model kompetensi
sebenarnya adalah sebagai alat penentu untuk memprediksi keberhasilan kerja seseorang pads
posisi tertentu.
Praktik selanjutnya bahwa ternyata sistem kompetensi bisa diaplikasikan untuk banyak hal
termasuk recruitment, performance appraisal, compensation, dan training. Sistem kompetensi
dalam lembaga pendidikan mengeksplorasi lebih jauh suatu posisi mengenai pengetahuan dan
keterampilan atau perilak-u utama yang diperlukan untuk keberhasilan suatu posisi tertentu.
Inilah yang kemudian melahirkan suatu model kompetensi bagi posisi atau jabatan tertentu. Jika
disimpulkan, kompetensi model ini merupakan pelengkap terhadap deskripsi jabatan (job
description) atau spesifikasi jabatan (job specifications) yang dikenal selama ini. Pads
prinsipnya model kompetensi yang dikembangkan dalam lembaga pendidikan mengacu pads
kerangka dasar kompetensi dengan langkah-langkah yang disebut FAC (function, activities/
process, dan competency). Untuk menentukan kompetensi, pads suatu pekerjaan dalam lembaga
pendidikan diperlukan tiga hal berikut. Pertama, perlu ditentukan fungsi khusus pads suatu posisi
(function of job); kedua, dipelajari secara khusus kegiatan dalam proses pekerjaan tersebut
(activities/process); ketiga, ditentukan kompetensi yang diperlukan pads posisi tersebut
(competency).
Menurut Spencer & Spencer (1994) atau mengacu kepada The Competency Handbook,
Volume I & 2, beberapa pedoman dasar untuk mengembangkan sistemkompetensi dalam
lembaga pendidikan adalah (1) mengidentifikasi pekerjaan atau posisi kunci yang akan dibuat
kompetensi modelnya; (2) melakukan analisis proses kerja, seperti cars kerja, waktu kerja,
hubungan kerja, dan tanggung jawab; (3) melakukan survei kompetensi yang dibutuhkan agar
berhasil melaksanakan pekerjaan; (4) membuat daftar jenis kompetensi yang diperlukan pads
posisi tertentu; (5) menguraikan makna setiap jenis kompetensi; (6) menentukan skala tingkat
penguasaan kompetensi yang ingin dibuat dengan memakai skala: B (basic), I (intermediate), A
(advance), atau E (expert); (7) membuat penjelasan dari setiap jenis kompetensi dalam skala
yang dibuat; (8) menguji kembali setiap daftar kompetensi yang telah dibuat agar dapat
diaplikasikan.
Pendekatan organisasi dalam perencanaan dan pengembangan cumber days manusia dalam
dunia pendidikan menitikberatkan pads aspek strategi organisasi. Pendekatan ini kurang
memerhatikan pekerja sebagai anggota dari organisasi atau aset organisasi. Pendekatan
organisasi terhadap pengembangan karier dalam lembaga pendidikan memiliki dua kelemahan,
pertama, tidak memprediksi performansi pekerjaan atau keberhasilan hidup; kedua, sexing bias
terhadap minoritas dan orang yang berasal dari strata ekonomi yang lebih rendah.
Salah satu alat ukur yang digunakan dalam pendekatan individu pads pengembangan karier
adalah pendekatan kompetensi. Pendekatan kompetensi menitikberatkan pads pandangan bahwa
setiap orang umumnya memiliki keunggulan yang sama (average performance). AUh tetapi, ads
beberapa orang yang memiliki keahlian yang khusus (superior performance) sehingga harus
dibedakan dari orang lain.
Dalam pengertian lebih jauh, terdapat karakteristik kompetensi yang membedakan superior
performance dengan averageperformance dalam lembaga pendidikan. Pertama, cross cultural
interpersonal sensitivity adalah kemampuan untuk memahami budaya orang luar dalarn tingkah
laku dan perkataannya. Kedua, positive expectations of others, kepribadian yang kuat dalam
menyembunyikan Formalitas dan nilai dari orang lain yang berbeda dengan dirinya sendiri, serta
kemampuan untuk mempertahankan pandangan positif ketika berada dalam tekanan. Ketiga,
speed in learning political networks adalah kemampuan untuk mengerti dengan cepat sehingga
memengaruhi apa dan siapa orang yang berada dalam kepentingannya.
Ada lima karakteristik kompetensi, yaitu motives, trait, self concept, knowledge, dan skill.
1. Motives, yaitu konsistensi berpikir mengenai apa yang diinginkan sehingga
menyebabkan suatu kejadian. Motif tingkah laku seperti mengendalikan, mengarahkan,
dan memilih untuk menghadapi kejadian tertentu atau tujuan yang berasal dari orang
lain.
2. Trait, karakteristik fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap informasi atau situasi
tertentu.Self concept, sikap, nilai, atau imajinasi seseorang.

3. Knowledge, informasi seseorang dalam lingkup, tertentu. Nilai dari knowledge test
wring gagal untuk memprediksi kinerja karena gagal mengukur pengetahuan dan
kemampuan sesungguhnya yang digunakan dalam pekerjaan.

4. Skill, kemampuan untuk mengerjakan tugas-tugas fisik atau mental tertentu.

Karakteristik kompetensi yang pertama dan kedua disebut hidden competency karena sulit
untuk berkembang dan mengukurnya. Karakteristik keempat dan kelima disebut visible
competency cenderung terlihat dan mudah untuk berkembang. Salah satu cara untuk
mengembangkannya melalui pelatihanpelatihan yang diberikan. Adapun karakteristik
kompetensi yang ketiga berada di antara kedua karakteristik kompetensi tersebut.
Dalam pengembangan j enj ang karier individual dalam lembaga pendidikan, pendekatan
kompetensi bisa digunakan untuk menentukan penjenjangan, penilaian, penggajian, atau sistem
kompensasi. pengembangan modelnya melalui beberapa alai ukur, yaitu motive, trait, dan self
concept. Kompetensi motive, trait, dan self concept memprediksi kemampuan sampai kepada
kinerja. Kompetensi juga selalu melibatkan tujuan akan kekuatan motive atau trait yang
menyebabkan suatu kegiatan memberikan hasil.
Pendekatan kompetensi dapat digunakan untuk mengukur karier. Pendekatan kompetensi
dikembangkan oleh Lyle dan Signe Spencer (1995) memiliki 5 skala sebagai berikut.
1. Intensitas atau kelengkapan suatu kegiatan, skala ini menggambarkan intensitas tujuan
yang terlibat dalam kegiatan yang dilakukan dalam merealisasikan tujuan.
2. Ukuran dampak, luasnya dampak menggambarkan jumlah dan posisi orang yang
dipengaruhi. Ukuran pekerjaan secara kuat memengaruhi dimensi ini dan berguna dalam
membandingkan pekerjaan dan kepentingan individu untuk pekerjaan yang sama.
3. Kompleksitas, skala utama pads kompetensi yang berhubungan dengan kemampuan
berpikir.
4. Jumlah usaha, waktu yang digunakan dalam melaksanakan dimensi dan kompetensi.
5. Dimensi unik, dimensi yang membedakan dengan dimensi lainnya dalam skala
kompetensi.
Dalam merancang jalur karier individual di dunia pendidikan, terdapat enam tahap proses
penilaian kompetensi pekerjaan. Pertama, mendefinisikan kriteria kinerja yang efektif bertujuan
untuk mengidentifikasi kriteria pengukuran hasil yang nyata untuk menunjukkan bahwa rating
kelompok mempunyai validitas kriteria yang tinggi sehingga dapat memprediksi kinerja sebuah
pekerjaan secara nyata. Kedua, mengidentifikasi contoh kriteria untuk menentukan tingkat rata-
rata dari kompetensi yang ditunjukkan oleh objek tersebut. Ketiga, mcngumpulkandata yang
berhubungan pola model kompetensi yang digunakan. Keempal, menganalisis data dan
mengembangkan model kompetensi, yang bertujuan mengidentifikasi kemampuan yang
membedakan kinerja superior dari kinerja rataratanya. Kelima, validasi model kompetensi
dengan memprediksi kinerja seseorang dalam kelompok pads waktu yang sama. Keenam,
menyiapkan lembar kerja model kompetensi, seperti merancang interviu dalam proses seleksi,
ujian, seleksi jalur karier, perencanaan karier, serta pelatihan dan pengembangan sistem
informasi manajemen.
Pendekatan kompetensi memberikan penekanan kepada kemampuan individu dalam
mengembangkan karier sehingga perkembangan kariernya tidak dipengaruhi oleh organisasi.
Karier seseorang tidak dibatasi oleh jabatan sehingga kreativitas dan inovasi sebagai ciri
organisasi modern memiliki peran yang sangat penting dalam mengembangkan organisasi
pendidikan. Orgamsasi pendidikan menjadi lebih fleksibel sehingga tidak berpengaruh terhadap
motivasi pegawai. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kompetensi dalam karier
seseorang adalah tipe lembaga pendidikan itu sendiri karena metode barn tidak dapat diterapkan
langsung secara frontal, namun memerlukan tahapan yang gradual.
Setiap lembaga mengharapkan tim kerj a yang memiliki kinerj a tinggi meskipun setiap tim
kerja mempunyai cara kerja, kebiasaan, opini, dan kepribadian yang berbeda. Demikian halnya
dengan lembaga pendidikan, tim kerja dapat berjalan dengan baik jika mempunyai tats kerja
yang efektif dan mampu bersinergi dalam mencapai tujuan tim. Sinergi kerja dalam lembaga
pendidikan dapat diwujudkan jika tim kerja dapat menyelaraskan semua perbedaan yang ads
serta sekaligus merelevansikan perbedaan tersebut dalam wadah kepentingan bersama.
Perbedaan profit yang dimiliki setiap individu dalam tim merupakan hat yang alamiah.
Perbedaan profit tidak hanya menjadi warns dalam tim kerja tetapi juga dapat berdaya guns jika
diberdayakan sesuai kapasitas profilnya masing-masing. Adapun perbedaan yang bertentangan
dengan asas kerja sama tim berkaitan dengan tujuan dan sasaran dari kelompok, sebab kedua hat
ini merupakan esensi pembentukan tim. .I
Sinergi merupakan wujud harmonisasi kegiatan untuk mencapai tujuan bersama yang
merupakan gabungan suatu kegiatan mulai dari unit terkecil hingga unit terbesar dengan
mengharapkan hasil akhir jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pencapaian kerja oleh
masing-masing unit yang bekerja mandiri. Sinergi kerja akan memberikan pengaruh pads
produktivitas tim kerja dengan hasil akhir yang lebih baik. Produktivitas sendiri secara harfiah
merupakan suatu upaya untuk mencapai hasil yang optimal dengan kontraprestasi yang
minimal.Untuk mencapai produktivitas tim yang tinggi, banyak sekali faktor yang
memengaruhinya tetapi Dada intinya akan bermuara pads kualitas sumber daya manusia.
Faktor SDM dianggap faktor yang paling penting dan faktor lain dianggap i vieris paribus
(diabaikan). Oleh karena itu, kaftan kualitas SDM dengan kinerja tim akan ditunjang dengan tiga
pilar utama, yaitu pertama, sikap yang berkaitan dengan profit kepribadian individu, seperti kerja
keras, ketekunan, ketelitian, kemauan, termasuk orientasi kerja. Misalnya dapat bekerja dengan
cepat atau. lambat, orientasi hasil atau proses kerjanya. Kedua, pengetahuan akan menyangkutj
wawasan tentang sesuatu hal, misalnya pengetahuan yang berhubungan dengart, bidang
pekerjaan, administrasi kantor, dan seluk-beluk organisasi. Ketiga, keterampilan berkenaan
dengan kemampuan individu dalam menguasai suatu. bidang, misalnya keahlian teknis bidang
komputer, administrasi, Surat-menyurat, atau keahlian bukan teknis seperti keterampilan
komunikasi, manajerial, dan kepemimpinan.
Penyangga ketiga pilar utama dalam membangun tim kerja yang berkinerja tinggi dalam
lembaga pendidikan akan sangat tergantung kepada aspek komunikasi. Aspek komunikasi secara
sederhana meliputi kemampuan mendengar ketika, menerima pesan yang disampaikan, menggali
atau menarik pesan agar dapat dikomunikasikan, dan menyampaikan pesan itu sendiri. Dinamika
komunikasi; dalam tim kerja dapat berjalan dengan balk jika seseorang memiliki keterampilan
berkomunikasi intraanggota tim kerja maupun antartim kerja. Di samping itu, seseorang dalam
melakukan komunikasi dituntut mampu berbagi informasi kepada sernua, anggota tim kerja.
Kemudian konsistensi tindakan dengan ucapan, artinya seseorang harus mampu melakukan
komunikasi verbal, termasuk komunikasi non verbal (bahasa tubuh), tindakan yang konsisten
antara ucapan dan tindakan sehingga, mampu membangun kredibilitas. Dalam berkomunikasi
jugs dituntut saling percaya, artinya tim kerj a dapat bekerj a lebih baik jika tingkat kepercayaan
antar-, anggota tim tinggi.
Kerja sama, aktivitas tim kerja yang bersinergi akan mengatur tata hubungan antaranggota
tim, anggota tim dengan pimpinan, maupun anggota tim kerja dengan pihak lain. Kemampuan
bekerja sama yang sinergis dalam tim kerja tidak terlepas, dari kemampuan seseorang dalam
membina hubungan baik antarmanusia (human relations) dalam berinteraksi.
Prinsip kerja sama tim kerja dilandasi dengan care mengusahakan melihat orang lain secara
jujur. Artinya, mulailah bekerja sama dengan baik dimulai pads hal-hal yang dapat disepakati
bersama. Setelah itu tunjukkan respons atas pendapat orang lain, artinya untuk membangun kerja
sama diperlukan kesediaan untuk saling mendukung daripada saling menyalahkan, dan jika
terjadi kesalahan segera diakui secara simpatik. Padahal kultur di masyarakat kits, sulit untuk
mengakui kesalahan dan wring menutupinya dan selanjutnya mencari kambing hitam untuk
dijadikan sumber kesalahan.
Oleh karena itu biasakan setiap individu mengakui kesalahan secara terbuka dan langsung.
Dengan demikian, setiap masalah akan segera dapat diselesaikan Berta akan menarik simpati
orang lain. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam bekerja sama adalah memberikan dorongan
agar kesalahan tidak terulang kembali dan dapat diselesaikan dengan segera. Dengan
memberikan dorongan dan menjadikan kesalahan mudah diperbaiki
kerja sama antaranggota tim kerja (Helmi Manaf, Manajemen, Januari, 2000).

D. MENCIPTAKAN HUBUNGAN YANG HARMONIS DALAM LEMBAGA


PENDIDIKAN
Manajemen sumber days manusia (MSDM) memiliki peran yang sangat menentukan
karena merupakan aset yang sangat penting dalam sebuah lembaga pendidikan. Hal ini harus
diawali dengan perubahan paradigms mengenai manusia dalam hubungannya dengan organisasi
dan mereka sebagai salah sate unsurnya.
Untuk menciptakan hubungan yang harmonis, di antara mereka perlu mengubah pola
pendekatan dari pendekatan kontrol ke pendekatan komitmen. Seiring dengan perkembangan
ilmu dan teknologi, mereka membutuhkan otonomi, keterlibatan yang tinggi, pengembangan,
dan aktualisasi diri. Perbedaan pendekatan kontrol pimpinan berusaha mengawasi bawahannya
dan memutuskan spa yang harus dilakukan. Adapun pendekatan komitmen membangun budaya
keterlibatan yang tinggi (high involvement culture) yang dicapai melalui pemberdayaan
(empowerment). Dalam empowerment, pimpinan memberikan otonomi dan wcwcnang kepada
bawahannya untuk mengambil keputusan sendiri terhadap halhal yang berkaitan dengan
pekerjaannya, dengan asumsi bahwa orang yang dekat dengan pekerjaan adalah paling tabu
mengenai pekerjaannya (the person close to the job knows it best). Dengan pendekatan ini
seorang pimpinan hanya merupakan katalisator dan fasilitator.
Untuk menciptakan hubungan yang harmonis dalam sebuah lembaga 1)cndidikan, ads
dua hal yang dapat dilakukan, yaitu menciptakan komunikasi dua arah dan menciptakan sistem
pengembangan SDM yang terpadu.

1. Menciptakan Komunikasi yang Harmonis


Komunikasi dua arah untuk meningkatkan saling pengertian antara pimpinan (tan
bawahan sangat penting. Dengan saling memahami diharapkan segala persoalan dapat
diselesaikan sehingga tidak menimbulkan ketegangan. Untuk menciptakan komunikasi yang
harmonis, Stephen Covey yang terkenal dengan bukunya Seven Habit of Highly Effective People
mengemukakan seek first to understand, then to be understood, artinya cobalah terlebih dahulu
untuk memahami bare kemudian dipahami.
Hal ini merupakan komunikasi yang empatik karena seorang pimpinan dituntut harus
memahami terlebih dahulu situasi dan kondisi bawahannya. peran seorang pendidik dalam
lembaga pendidikan kadang (h hadapkan pads faktor ketidakpastian karier karena peran mereka
dalam jabatan Ringsional sulit untuk berkarier ke dalam jabatan struktural. Kondisi ini pada
gilirannya akan menciptakan job insecurity, yaitu gejala psikologis yang berkaitan dengan
persepsi pendidik tcrhadap masa depan yang pcnuh ketidakpastian. Kondisi ini perlu mendapat
perhatian dari pihak pengambil kcbijakan, terutama pemerintah pusat Departcmcn Pendidikan
Nasional karena kondisi tersebut berpengaruh pada psikologis seseorang. Perasaan tidak pasti
akan melahirkan depresi, stres, kecernasan, perasaan putus asa, dan bcrkurangnya rasa percaya
diri. Sedangkan di lain pihak, scorang pendidik dituntut sangat berat untuk mengantarkan peserta
didik menjadi manusia yang krcatif, sehat, berilmu, berakhlak mulia, dan sebagainya. Pcriclitian
yang dilakukan olch Brendan Burchell (1994) berusaha mencan hubungan antara pekerjaan dan
kualitas mental seseorang. Ada empat kondisi yang ditemukan Burch.
Kondisi pertama, menifliki pekerjaan dan ben-nental sehat, artinya seseorang mcnilliki
pekerjaan dan mendatangkan kepuasan kerja (job satisfaction). Kondisi kedua, tidak bekeija dan
mengalami tckanan psikologis, artinya bekerja tidak hanya mendatangkan kCUntUngan
ekonornis somata-mats tetapi jugs ketilItLingan psikologis. Kondisi ketiga berbanding terbalik
dengan kondisi kedua scbelUmnya, orang yang tidak bekerja tctapi justru dftlmikan sehat secara
mental karena mereka sebelumnya bekerja tetapi pekerjaan tersebut tidak mendatangkan
kepuasan. Kondisi keempat, orang yang bekerja tetapi mcngalarni gangguan psikologis, artinya
merasa bahwa pekerjaannya senantiasa tidak pasti. Dalam nienghadapi ketidakpastian karier, ada
tiga respons yang blasa. diambil oleh seseorang dalam bekerja. pertama, perilaku menghindar
(avoidance) seperti malas bekerja, tidak benninat terhadap pekerjaan dan tidak tertarik pada
situasi tempat bekerja. Kedua, mcricari pekerjaan sanipingan untuk mengalihkan perhatian.
Ketiga, bergabung dengan perkumpulan pekerja lainnya untuk mernperk-Liat posisi tawar-
menawar (para pendidik tingkat dasar dan menengah di kola besar banyak yang melanjutkan
studi tingkat paseasarjana) sebagai kompensasi ketidakpastian karier mercka mcskipun pada
dasarnya meninekatkan ilmu dan keterampilan. Untuk itu, pihak terkait seperti Departemen
Pendidikan Nasional sampai ke tingkat kepala dinas pendidikan kabupaten/kotamadya, perlu
bebagi infonnasi dalam upaya mcrnbalIgUn kepercayaan sebagai lallgkal, awal bagaimana
sebenarnya skenario kebijakan pendidikan yang dibuat untuk mencapal tujuan pendidikan yang
lebih baik secara kuantitas maupun kualitas. Dengan demikian, mcrcka dapat mellhat
permasalahan yang dihadapi. Melibatkan para pendidik dan pimpinan dinas pendidikan di daerah
terhadap permasalahan yang diliadap] pendidikan nasional akan nienghasilkan kesadaran
(awareness), pengertian (understanding), dukungan (support), keterlibatan (involvement),
akhirnya tercipta komitmen (commitment). Kondisi tersebut terlihar dalam tangga komunikasi
yang digambarkan berikut ini.

KOMITMENT

TINGKAT KETERLIBATAN
PERUBAHAN
DUKUNGAN

PENGERTIAN

KESADARAN

Tangga komunikasi
2. Menciptakan Sistem Pembangunan SDM Terpadu
Dengan mencipatakan budaya keterlibatan yang tinggi dalam lembaga pendidikan,
diharapkan diperoleh komitment dari bawahan. Buaday keterlibatan membutuhkan komunikasi
dua arah yang intensif. Namun komunikasi saja tidak cukup untuk membina hubungan yang
harmoniss.oleh karena itu bukan berarti dalam lembaga pendidikan tidak terjadi komunikasi
yang efektif akan tetapi karena tidak ada system sumber daya manusia yang terintregasi. Seleksi
dan pengangkatan tenaga pendidik maupun tenaga kependididkan, mutasi, prmosi, dan
sebagainya sering menimbulkan perdebatan karena ketidak jelasan system prosedur yang ada.

Menciptakan system SDM tepadu dalam lembaga pendidikan dimulai dari


mendefinisikan visi pendidikan. Visi suatu gambaran ideal yang menjadi cita-cita lembaga
pendidikan dimasa mendatang. Merumuskan visi sangat penting untuk memberikan arah kepada
setiap individu Yang terlibat dalam lembaga pendidikan. Dengan mengetahui visi semua
individu yang terlibat diharapkan berjalan kearah yang sama sehingga seluruh energy akan
trecurah untuk mencapai visi yang telah diucapka sebelkumnya. Visi yang menjawab kemana
lembaga npendidikan akan berjalan dan diterjemahkan dalam dua hal :
Pertama, adalah strategi pendidikan mengandung unsure (what) yang menjawab mengenai apa
yang di inginkan dan menjadi target lembag pendidikan.

Profesional, berprestasi tinggi, kreatif, inovatif, dan memiliki loyalitas. Bagian kedua
sistem ini adalah Strategi budaya, mci-ijawab pertanyaan (how) yaitu bagaimana cara mencapai
sasaran (what). Dari budaya dikcmbangkan nilai-nilai yang berupa sikap, cara pikir, dan
kepercayaan yang menentukan bagaimana pekerjaan diselesaikan clan bagaimana setiap individu
dalam lembaga pendidikan berinteraksi satu sama lain atau berinteraksi dengan individu atau
kelompok di luar lembaga pendidikan. Nilai ini memberikan gambaran mengcnal apa yang
dianggap, menjadi prioritas dalam lembaga pendidikan. Nilai-nilai yang perlu dimiliki untuk
mcnelptakan hubungan yang harmonis dalam lembaga pendidikan adalah keria sama
(teamwork), keterbukaan (openess), kepercayaan (trust), perhatian kepada sesama (concern for
people), keterlibatan (involvement), dan sebagainya.
Nilai inilah yang diturLinkan menjadi kompetensi yang terdiri dari PCIIgetahuan
(knowledge), keahlian (skill), perilaku (behavior), clan motivasi (motivation), unnik mengukur
kinerja sescorang yang langsung dikaitkan dengan perilaku clan kompetensi yang ditunjukkan
dalam pekerjaan. Oleh karena itu, keberhasilan individu dalam lembaga pendidikan tidak hanya
diukur dari tercapainya sasaran tetapi dari bagaimana individu tersebut mencapai sasaran.

E. KONFLIK DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN SEBAGAI PERILAKU KOMUNIKASI

Konflik dalam sebuah lembaga wring dilihat sebagai sesuatu yang negatif, termasuk oleh
pimpinan lembaga pendidikan. Ouch karena itu, penanganan yang dilakukan selama ini
cenderung diarahkan untuk meredam konflik. Dalam rcalita, konflik merupakan sesuatu yang
sulit dihindarkan karena berkaitan erat dengan proses interaksi manusia. Dalam lembaga
pendidikan yang dibutuhkan bukan meredam konflik tetapi bagaimana menanganinya sehingga
mampu membawa dampak konstruktif bagi lembaga pendidikan.
Istilah konflik berasal dari bahasa Latin, com yang berarti bersama danfligere berarti
melanggar, menabrak, mencmukan, dan membentur. Dengan demikian, konflik merupakan
ekspresi pertikaian individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena
bebcrapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua
atau lebih individu yang diekpresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994: 249). Konflik
dapat dirasakan, diketahui, dan dickspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger &
Poole, 1984). Konflik senantiasa berpusat pada bebcrapa sebab utama, yaitu tujuan yang ingin
dicapai, alokasi sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku semua pihak
yang terlibat (Myers, 1982: 234-237; Kreps, 1986: 185; Stewart, 1993: 341). Interaksi yang
disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tidak dapat disangkal lagi
akan menimbulkan konflik dalam tingkatan manajemen yang berbeda-beda (Devito, 1995: 381).
Berdasarkan pemahaman di atas, ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam
konflik. Pertama, konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini berarti
apabila ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku
komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi tetapi tidak semua bcrakar pada
komunikasi yang buruk. Jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya
mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna,
dalam proses itu pasti ada konflik (Myers, 1982: 234). Konflik juga tidak hanya
diUlIgkapkan'secara verbal tetapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk rant
muka atau gerak badan yang mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993: 341).
Kedua, konflik tidak selamanya berkonotasi buruk tetapi bisa menjadi sumbcr pengalaman
positif (Stewart dan Logan, 1993: 342).

1. Konflik dalam Lembaga Pendidikan


Setiap organisasi atau lembaga termasuk lembaga pcndidikan terlepas dari ukuran,
struktur, dan tujuan melibatkan individu yang senantiasa berintcraksi untlik mencapai tujuan.
Ketika interaksi yang disebut komunikasi berperan sebagai jiwa penggerak lembaga, konflik pun
tidak mungkin dihindari. Kon fl I k dalail i lembagapendidikan muncul dalam berbagal tingkatan
manajemen sesuai dengan struktur lembaga pcndidikan tersebut.
Ada tiga bentuk konflik dalam sebuah lembaga. Pertama, konflik pribadi (personal
conflict) merupakan konflik yang terjadi dalam diri setiap individu yang mengalarm
pertentangan mcnyangkut keinginan, harapan, dan nilai-nilai yang dianut; bingung memutuskan
sesuatu; kecewa karena mendapat halangan untuk i-nemenuhl kebutuhan; menghadapi kesulitan
menghadapi kelompok lain. Kedua, konflik antarpribadi (interpersonal conflict) merupakan
konflik yang terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain karena dua hal:
perbedaan latar belakang individu (usia, jenis kelamin, kebiasaan, kepercayaan) serta konflik
antarpribadi karena terbatasnya sumbcr daya lembaga berupa modal, tenaga kerja, dan teknologi.
Ketiga, konflik lembaga (institutional conflict), konflik lembaga merupakan perilaku yang terjadi
antarkelompok dalam lembaga terscbut ketika anggota kelompok mengidentifikasikan dirinya
dengan kelompok dan merasa bahwa kelompok lain menjadi kendala pencapaian tujuan maupun
harapan kelompok tersebut (Myers, 1982: 237).
Konflik seperti ini dapat terjadi baik pada (I ngkatan manajerial horizontal maupun
vertikal (Daft, 1992: 429). Pada tingkatan horizontal, konflik bisa terjadi antara kelompok atau
bagian pada tingkatan yang sama dalam sebuah hierarki. Misalnya dalam sebuah lembaga
pendidikan antarpendidik mempersoalkan waktu mengajar karena masing-masing
nicmpertahankan keinginannya. Sedangkan konflik vertikal bisa terjadi pada setiap tingkatan
manajerial konflik ini muncul mcnyangkut isu-isu mengenai: pcngawasan, kcwenangan, tujuan,
maupun pembagian penghasilan.

2. Sumber-Sumber Konflik dalam Lembaga Pendidikan


Faktor-faktor dalam sebuah lembaga pendidikan yang dapat mendorong konflik meliputi
lima hal. Pertama, lingkungan eksternal yang senantiasa berkembang pesat dan penuh
kctidakpastian menuntut tanggapan anggota lembaga pendidikan untuk memiliki kcmampuan,
sikap, dan kekuatan dalam mencapai suatu organisasi. Kedua, ukuran (size) ketika ukuran sebuah
lembaga pendidikan sci-nakin besar, misalnya pada sebuah perguruan tinggi, bagian-bagian
dalam lembaga pendidikan pun akan dibagi menurut subbagian fakultas atau jurusan. Dalam
konteks ini anggota setiap bagian terpisah dari kelompok lainnya. Ketiga, (cknologi
(technology), penerapan teknologi akan meningkatkan interaksi antarbagian dalam sebuah
lembaga pendidikan dan dalam proses interaksi tersebut akan terjadi konflik. Keempat, tujuan
(goals); tujuan lembaga pendidikan di i mplementasikan dan menjadi panduan bagi individu
yang terlibat di dalamnya. Dalam proses pencapaian tujuan, konflik pasti akan terjadi. Kelima,
struktur (siruclure), struktur organisasi lembaga pendidikan idcalnya dapat memudahkan
koordinasi dan proses kontrol.
Control.

3. Dampak Konflik
Konflik tidak mungkin dihindari sebagai konsekuensi intcraksi individu. Konflik ini bisa
destruktif maupun konstruktif tcrgantung kepada penanganannya. Konflik yang bisa
menimbulkan dampak negatif, misalnya melemahnya hubungan antarpribadi, timbulnya sikap
march, perasaan terluka, scrta keterasingan. Pada tahap dini, konflik ditandai dengan sikap tidak
saling percaya antarindividu yang lambat lawn ditunjukkan secara verbal maupun nonverbal:
rant wajah tidak senang, bersikap dram, atau mungkin menghindari kelompok lain, sehingga
koordinasi menjadi semakin buruk. Sebaliknya apabila konflik dikclola secara tepat akan
membawa dampak yang konstruktif bagi pihak yang terlibat termasuk lembaga pendidikan.
Dampak konstruktif berupa tanda peringatan, sebagai katup pengaman, meningkatkan interaksi,
menumbuhkan kreativitas, menjembatani penyelesaian masalah, mendorong penyampaian
informasi antarindividu, dan menguji kekuatan ide.
4. Menangani Konflik dalam Lembaga Pendidikan
Persoalan yang dihadapi pimpinan organisasi termasuk lembaga pendidikan adalah
bagaimana menangani konflik sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
kelangsungan lembaga pendidikan tersebut. Konflik yang terjadi bisa horizontal maupun
vertikal. Konflik horizontal terjadi di antara tenaga kependidikan, tenaga kependidikan dengan
pendidik, atau di antara pendidik. Menangani konflik horizontal bisa dilakukan dengan upaya
komunikasi yang terns-mencrus, mencari solusi bersama antarkelompok melakukan negosiasi
untuk mencari solusi yang tepat, dan pimpinan harus mensosialisasikan apa yang menjadi tujuan
bersama. Sedangkan dalam menangani konflik vertikal, pimpinan barns lcbih peduli kepada
bawahannya, dan meningkatkan partisipasi seluruh unsur organisasi.
Mensosialisasikan dampak kegagalan lembaga pendidikan akan berakibat buruk terhadap
situasi kerja seluruh unsur organisasi termasuk pimpinan, pendidik, tenaga kependidikan, siswa,
dan masyarakat. Ada tiga cara lain menangani konflik yang terjadi dalam lembaga pendidikan.
Pertama, mediation, cara ini mengembangkan dan rnernperluas proses negosiasi dengan
melibatkan pihak ketiga yang netral, diterima semua pihak yang bcrkonflik, dan pihak ketiga ini
tidak nienuliki kekuatan dalam memengaruhi keputusan yang akan diambil. Kedua, negotiation
biasanya digunakan untuk mengatasi conflict of interest yang melibatkan proses tawar-menawar
yang dipandu oleh pihak ketiga yang ahli dalam bidang yang sedang diperi-nasalahlcan. Pihak
ketiga berkewaj'iban memberikan pengarahan kepada semua pihak tentang kepentingan mereka
dan membantu untuk mernecalikan isu-isu yang bersifat subjektif. Ketiga, arbitration, merupakan
cara penyelesaian konflik yang melibatkan satu badan rcsini bukan perorangan yang tidak
berpihak untuk membantu menyelesaikan konflik. Apa pun jenis konflik yang terjadi dalam
lembaga pendidikan, altematifnya harus bersifat solusi menang-menang (win-win solution)
sehingga tidak menimbulkan konflik baru.
BAB PERANAN SIM
7 DALAM PENGAMBILAN
KEPUTUSAN

Salah satu fungsi yang sangat penting dalam kcpemimpinan, yaitu pengambilan
keputusan, scorang pimpinan sebagian besar waktu, perhatian, maupun pikirannya dipergunakan
untuk mcngkaji proses pengambilan keputusan. Semakin tinggi posisi seseorang dalam
kepemimpinan organisasi maka pengambilan keputusan menjadi (Ugas utama yang harus
dilaksanakan. Perilaku dan cara pimpinan dalam pola pengambilan keputusan sangat
memengaruhi perilaku dan sikap dari para I)cnglkutnya. Hal ini akan menentukan kinerja
organisasi untuk mencapai tujuannya.

A. PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Secara etimologis kata decide berasal dari bahasa Latin prefik de yang berarti ,f, dan kata
caedo yang berarti to cut. Hal ini berarti proses kognitif cut off sebagai tindakan memilih di
antara beberapa alternatif yang mungkin.
Menurut Max (1972), Decision making is commonly defined as choosing from among
alternatives (pengambilan keputusan merupakan pemilihan dari beberapa alternatif).
Sedangkan Shull (1970: 67) mengemukakan bahwa pengambilan keputusan merupakan proses
kesadaran manusia terhadap fenomena individual maupun sosial bcrdasarkan kcj'adian faktual
dan nilai pemikiran, yang mencalcup aktivitas perilaku pemilihan satu atau beberapa alternatif
sebagai jalan keluar untuk mernecahkan masalah yang dihadapi.
Pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku (kelakuan) (crtentu dari dua
atau lebih alternatif yang ada (George R. Terry dalam lqbal Hasan, 2002: 9). Pengambilan
keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap I i;ildkat alternatif yang dihadapi
dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat (S.P.
Siagian dalam lqbal Hasan, 2002: 10). Pengambilan keputusan adalah proses yang digunakan
untuk memilih suatu tindakan sebagai cara pemecahan masalah.
Sedangkan Shull (1970: 67) mengemukakan bahwa pengambilan keputusan merupakan
proses kesadaran manusia terhadap fenomena individual maupun sosial berdasarkan kejadian
faktual dan nilai peniflkiran, yang mencakup aktivitas perilaku pemilihan satu atau beberapa
alternatif sebagai jalan keluar untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Intisarl pengambilan keputusan, yaitu perumusan beberapa alternatif tindakan dalam
menggarap situasi yang dihadapi serta menctapkan pilihan yang tepat antara beberapa alternatif
yang tersedia sctelah diadakan evaluasi mengenai efektivitas alternatif tersebut untuk mencapai
tujuan para pengambil keputusan.
Dari beberapa pengertian pengambilan keputusan di atas dapat disimpulkan bahwa
keputusan adalah sebuah hasil dari pemccahan masalah, jawaban dari suatu pertanyaan sebagai
hukum situasi, dan merupakan pemilihan dari salah satu alternatif dari alternatif yang ada, serta
pengakhiran dari proses pernikiran tentang masalah atau problema yang dihadapi. Adapun hasil
dari pengambilan keputusan adalah keputusan (decision). Berikut ini akan dijelaskan beberapa
pengertian keputusan.
Keputusan adalah hasil pernecallan masalah yang dihadapi dengan tegas. Suatu
keputusan merupakan jawaban yang pasti terhadap suatu pertanyaan. Keputusan harus dapat
menjawab pertanyaan tcntang apa yang dibicarakan dalam hubungan dengan perencanaan.
Keputusan dapat pula berupa tindakan terhadap pelaksanaan yang sangat menyimpang dari
reneana semula (Ralp C. Davis, 1999: 53).
Keputusan adalah suatu atau sebagai hukum situasi. Apabila semua fakta dari situasi itu
dapat diperoleh dan semua yang terlibat, balk pcngawas maupun pelaksana mau menaati hukum
atau ketentuannya, hal itu tidak sama dengan menaati perintah. Wewenang tinggal dijalankan,
tetapi itu merupakan wewenang dari hukum situasi (Mary Follet).
Keputusan adalah pemilihan di antara alternatif-alternatif Definisi ini mcngandung tiga
pengertian, yaitu (1) ada pilihan atas dasar logika atau pertimbangan; (2) ada beberapa alternatif
yang harus dipilih salah satu yang terbaik; (3) ada tujuan yang ingin dicapai dan keputusan itu
makin mendekat pada tujuan tersebut (James A.F. Stoner, 1998: 132).
Keputusan adalah suatu pengakhiran daripada proses pemikiran tcntang suatu masalah
atau problema untuk menjawab pertanyaan apa yang harus diperbuat guna mengatasi masalah
tersebut dengan menjatuhkan pilihan pada satu alternatif (Prajudi Atmosudirjo, 2002: 9).
Pengambilan keputusan memiliki dua fungsi, yaitu (1) pangkal permulaan dari semua aktivitas
manusia yang sadar dan terarah, balk secara individual maupun secara kelompok, balk secara
institusional maupun secara organisasional; (2) sesuatu yang bersifat futuristik, artinya
bersangkut pant dengan hari depan, masa yang akan datang, di mana efeknya atau pengaruhnya
berlangsung cukup lama.
Adapun tujuan dari pengambilan keputusan, yaitu (1) tujuan yang bersifat tunggal, tcrjadl
apabila keputusan yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah. Artinya, sekali diputuskan
tidak akan ada kaitannya dengan masalah lain; (2) tu_1 Liall yang bersifat ganda terjadi apabila
keputusan yang dihasilkan menyangloit lebihdari satu masalah, artinya bahwa keputusan yang
diambil sckaligus memecahkan dua masalah atau lebih, yang bersifat kontradiktif atau yang tidak
kontradiktil' (Adler, 1991: 10).
Melihat fungsi dari pengambilan keputusan di atas, pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh kepala sekolah sebagai pimpinan akan berpengaruh besar terhadap kelangsungan
organisasi sekolah. Oleh karena itu, hal ini akan memiliki dampak terhadap perilaku maupun
sikap bawahannya, seperti wakil kepala sekolah, guru, staf tata usaha, maupun siswa. Ouch
sLbab itu, kepala sekolah sebagai pimpinan harus mampu memilih alternatif-alternatif keputusan
yang tepat sehingga tujuan organisasi sekolah untuk meningkatkan kinerj a pendidikannya dapat
tercapai secara optimal.
Menurut Ibnu Syams 1 (1995: 13) unsur-unsur dalam pengambilan keputusan yang harus
dipertimbangkan adalah sebagai berikut.
1. Tujuan dari pengambilan keputusan, yaitu mengetahui terlebih dahulu tujuan yang ingin
dicapai dari pengambilan keputusan tersebut.
2. Identifikasi alternatif-alternatif keputusan untuk memecahkan masalah dipilih untuk
mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, perlu dibuat daftar jenisjenis tindakan yang
memungkinkan untuk diadakan pemilihan.
3. Perhitungan mengenai faktor-faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya atau di luar
jangkauan manusia (uncontrollable events).
4. Sarana atau alat untuk mengevaluasi atau mengukur hasil dari suatu pengambilan
keputusan.
Unsur-unsur pengambilan keputusan yang dapat dipergunakan oleh kepala sekolah terlebih
dahulu harus dapat mengkaji dan mempertimbangkan mengenai tujuan pengambilan keputusan,
identifikasi masalah, faktor-faktor intern maupun ekstem sekolah, serta sarana pengambilan
keputusan.
Pengambilan keputusan menurut George R. Terry dalam lqbal Hasan (2002: 16) didasarkan
pada lima hal berikut :
1. Intuisi, pengambilan keputusan yang berdasarkan atas intuisi atau perasaan memiliki
sifat subjektif sehingga mudah terkena pengaruh. Pengambilan keputusan berdasar
intuisi mengandung beberapa kebaikan dan kelemahan. Kebaikannya antara lain: (1)
waktu yan4 digunakan untuk mengambil keputusan relatif lebih pendek; (2) untuk
masalah yang pengaruhnya terbatas, pengambilan keputusan akan memberikan kcpuasan
pada umumnya; (3) kemampuan mengambil keputusan dari pengambil keputusan An
sangat berperan dan perlu dimanfaatkan dengan balk; kclemahannya, antara lain: (1)
keputusan yang dihasilkan relatif kurang balk; (2) sulit mencari alat pembandingnya
sehingga sulit diukur kebenaran dan keabsahannya; (3) dasardasar lain dalam
pengambilan keputusan seringkali diabaikan.
2. Pengalaman, pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman memiliki manfaat bagi
pengetahuan praktis karena berdasarkan pengalaman seseorang dapat memperkirakan
keadaan sesuatu Berta dapat memperhitiangkan untung ruginya dan balk buruknya
keputusan yang akan dihasilkan. Karena pengalaman, seseorang dapat menduga
masalahnya walaupun hanya dengan melihat sepintas Baja sudah menemukan cara
penyelesaiannya.
3. Fakta, pengambilan keputusan berdasarkan fakta dapat memberikan keputusan yang
sehat, solid, dan baik. Dengan fakta, tingkat kepercayaan terhadap pengambil keputusan
dapat lebih iinggl sehingga orang dapat menerima keputusan yang dibuat itu dengan rela
dan lapang dada.
4. Wewenang, pengambilan keputusan berdasarkan wewenang biasanya dilakukan oleh
pimpinan terhadap bawahannya atau orang yang lebih rcndah kedudukannya.
Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang juga memiliki kelebihan dan kelemahan.
Kelebihannya antara lain:
(1) kebanyakan penerimaannya adalah bawahan, terlepas apakah penerima tersebut
secara sukarela ataukah secara terpaksa;
(2) keputusannya dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama;
(3) memiliki otcntisitas (otentik).
Kelemahannya antara lain:
1. dapat menimbulkan sifat rutinitas;
2. mengasosiasikan dengan praktik diktatorial;
3. Bering melewati permasalahan yang seharusnya dipecahkan sehingga dapat
menimbulkan kekaburan.

5. Rasional, pada pengambilan keputusan yang berdasarkan rasional, keputusan yang dihasilkan
bersifat objektif, logis, lebih transparan, konsisten, untuk mcmaksimumkan hasil atau nilai dalam
batas kendala tertentu sehingga dapat dikatakan mendekati kebenaran atau sesuai dengan apa
yang diinginkan. Pada pengambilan keputusan secara rasional ini terdapat beberapa, hal sebagai
berikut.
(1) Kejelasan masalah, tidak ada keraguan dan kekaburan masalah.
(2) Orientasi tujuan dan kesatuan pengertian tujuan yang ingin dicapal.
(3) Pengetahuan alternatif, seluruh alternatif diketahui J'enlsnya dan konsekuensinya.
(4) Preferensi yang jelas, alternatif bisa diurutkan sesuai kriteria.
(5) Hasil maksimal: pemilihan alternatif terbaik didasarkan atas hasil ekonomis yang maksimal.
Pengambilan keputusan secara rasional bcrlaku sepenuhnya dalam keadaan yang ideal.
Semua unsur dan dasar pengambilan keputusan di atas dapat dipergunakan oleh kepala sekolah
sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan tersebut.

B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGAMBILAN KEPUTUSAN


Dalam proses pengambilan keputusan, suatu organisasi maupun lembaga pcndidikan,
tidak terlepas dari faktor-faktor yang memenganihinya, yaitu sebagai berikut.

1. Posisi atau Kedudukan


Dalam rangka pengambilan keputusan, posisi atau kedudukan dapat dilihat dalam hal:
(1) letak posisi, apakah sebagai pembuat keputusan (decision maker), penentu keputusan
(decision taker), ataukah staf (staffer); (2) tingkatkan posisi apakah sebagai strategi, policy,
peraturan, organisasional, operasional, atau teknis.

2. Masalah
Masalah atau problem adalah apa yang menjadi penghalang untuk tercapainya tujuan,
yang merupakan penyimpangan dari apa yang diharapkan, direncanakan, dikehendaki, atau harus
diselesaikan. Masalah dapat dibagi dua jenis: (1) masalah tcrstruktur (well structured problems),
yaitu masalah yang logis, dikenal, dan mudah diidentifikasi; (2) masalah tidak terstruktur (will
structured problems), yaltu masalah yang masih barn, tidak biasa, dan informasinya tidak
lengkap. Masalah di atas dapat dibagi menjadi: (1) masalah rutin, yaitu masalah yang sifatnya
sudah tetap, selalu dijumpai dalam hidup sehari-hari; (2) masalah insidentil, yaitu masalah yang
sifatnya tidak tetap, tidak selalu dijumpai dalam hidup sehari-hari.

4. Situasi
Situasi adalah keseluruhan faktor dalam keadaan yang berkaitan satu sama lain, dan yang
secara bersama-sama memancarkan pengaruh terhadap kita beserta apa yang hendak kita
perbuat. Faktor-faktor itu dibedakan atas: (1) faktor-faktor yang konstan (C), yaitu faktor-faktor
yang sifatnya tidak berubah-ubah atau tetap keadaannya; (2) faktor-faktor yang tidak konstan
(V), yaitu faktor-faktor yang sifatnya selalu berubah-ubah atau tidak tetap keadaannya.

5. Kondisi
Kondisi adalah keseluruhan faktor yang secara bersama-sama menentukan daya gcrak,
daya bcrbuat atau kemampuan kita. Sebagian besar faktor tersebut merupakan sumber daya.

6. Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai, baik tujuan perorangan, tujuan unit (kesatuan), Tujuan
organisasi, maupun tujuan usaha pada umumnya telah tertentu atau (I i tentukan. Tujuan yang
telah ditentukan dalam pengambilan keputusan merupakan (ujuan antara atau objektif.
Pendapat lain mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan
keputusan adalah sebagai berikut.

1. Keadaan internal organisasi


Keadaan Hil bersangkut pant dengan apa yang ada di dalam organisasi tersebut yang meliputi
dana yang tersedia, keadaan somber daya manusia, kemampuan karyawan, kelengkapan dari
peralatan organisasi, dan struktur organisasi.

2. Keadaan eksternal organisasi


Keadaan ini bersangkut pant dcngan apa yang ada di luar organisasi, seperti keadaan ekonomi,
sosial, politik, hokum, dan budaya.

3. Tersedianya informasi yang diperlukan


Dalam pcngambilan keputusan, informasi yang diperlukan haruslah lengkap dan memiliki sifat-
sifat tertentu sehingga keputusan yang dihasilkan dapat berkualitas dan balk. Sifat-sifat informasi
itu, antara lain: (1) akurat, artinya informasi harus mencenninkan atau sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya; (2) up to date, artinya informasi tersebut harus tepat waktu; (3) komprehensif,
artinya informasi harus dapat mewakill; (4) relevan, artinya informasi harus ada hubungannya
dengan masalah yang akan diselesaikan; (5) memiliki kesalahan bake kecil, artinya informasi itu
memiliki tingkat kesalahan yang kecil.

4. Kepribadian dan kecakapan pengambilan keputusan


Kepribadian dan kecakapan pengambilan keputusan penilaiannya meliputi kebutuhan,
intelegensi, keterampilan, dan kapasitas pcnilaian. Nilai-nilai kepribadian clan kecakapan ini
turut juga mewarnal tepat ticlaki-lya kcputusan yang diambil. Jika pengambil keputusan
memiliki kepribadian dan kecakapan yang kurang, keputusan yang diambil juga akan kurang.
Demikian pula sebaliknya jika pengambil keputusan memiliki kepribadian clan kecakapan yang
balk, keputusan yang diambil juga akan tepat.
Menurut George R. Terry, faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan
meliputi hal-hal berikut.
a. Hal-hal yang berwujud dan tidak berwujud, yang emosional maupun yang rasional.
b. Tujuan organisasi, setiap keputusan nantinya harus dapat dijadikan sebagai bahan dalam
pencapaian tujuan organisasi.
c. Orientasi, keputusan yang diambil tidak boleh memiliki oricntasi kepada dire pribadi
tetapi harus lebih berorientasi kepada kepentingan organisasi.
d. Alternatif-alternatiftandingan, jarang sekali ada sate pilihan yang betel-betel memuaskan
karenanya harus dibuat alternatif tandingan.
e. Tindakan, pengambilan keputusan merupakan tindakan mental karenanya harus diubah
menjadi tindakan fisik.
f. Waktu, pengambilan keputusan yang efektif memerlukan waktu dan proses yang lebih
lama.
g. Kepraktisan, dalam pengambilan keputusan diperlukan pcngambilan keputusan yang
praktis untuk mcmperolch hasil yang optimal (Icblh balk).
h. Pelembagaan, setiap kcputusan yang diambil harus dilembagakan agar dapa( dikctahui
tingkat kebenarannya.
i. Kegiatan berikutnya, setiap keputusan merupakan tindakan permulaan dari serangkaian
mata rantai kcglatan berikutnya.

Menurut Azhar Kasim (1995: 17) faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan
oleh pemimpin meliputi hal-hal berikut.
1. Pria dan wanita
Pria umumnya bersifat lebih togas atau berani dan cepat mengambil keputusan dan
wanita umumnya relatif lebih lambat dan wring ragu-ragu.
2. Peranan pengambil keputusan
Peranan pengambil keputusan mencakup kemampuan mengumpulkan informasi, kemampuan
menganalisis dan menginterpretasikan, kemampuan menggunakan konsep yang cukup Was
tentang perilaku manusia secara fisik untuk memperkirakan perkembangan hari dcpan yang
lebih balk.
3. Keterbatasan kemampuan
Perlu disadari adanya kemampuan yang terbatas dalam pengambilan keputusan di bidang
manajemen yang bersifat institusional ataupun bersifat pribadi.
Dari uraian sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi
pengambilan keputusan oleh kepala sekolah adalah sebagai berikut.
1. Kedudukan kepala sekolah sebagai pimpinan tertinggi di sekolah clan bertanggung
jawab atas jalannya pendidikan.
2. Masalah yang diputuskan apakah masalah di dalam sekolah ataukah masalah di luar
sekolah seperti kebijakan pemerintah.
3. Melihat situasi di dalam clan di luar sekolah sehingga keputusan itu tidak mengakibatkan
hal-hal yang lebih buruk.
4. Kondisi yang memungkinkan keputusan itu clikeluarkan dengan melihat faktorfaktor
yang ada.
5. Tujuan dari pengambilan keputusan diperhitungkan dampak internal dan eksternal
sekolah.

C. PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM PERSPEKTIF INFORMASI


Ketika sebuah lembaga pendidikan memahami dan memiliki pengetahuan untuk
bertindak, lembaga pendidikan tersebut diharuskan melakukan pilihan terhadap kapabilitas yang
tersedia dan komitmen terhadap keputusan yang diambil dcngan strategi yang telah ditentukan.
Pada prinsipnya scorang pimpinan lembaga pendidikan selalu mencari perilaku yang
rasional dalam bertindak. Namun, karena pimpinan tersebut memiliki keterbatasan dalam
kapasitas kogniti fitya, informasi, dan n1lal-ii1laii-iya, hams cileari
informasi tcrhadap altcmatifyatigmungkin diambil serta konsckuensi yang menyertai setup
altematif. Altenatif yang telah diambil kemudian dievaluasi agar hasil yang telah dicapai
berdasarkan pilihan atau tujuan dapat diketahui. Proses ini merupakan tindakan yang dilakLikan
dalam mencapai pilihan altematif yang rasional.
Kelengkapan keputusan yang rasional akan memerlukan informasi yang lengkap dcngan
mcngandalkan kapabilitas organisasi pendidikan untuk dikumpulkan dan diproses sccara tepat.
Keterbatasan organisasi pendidikan biasanya diatasi dengan cara mendcsain dan
mengimplementasikan aturan dan rutinitas dengan menyederhanakan dan menuntun pilihan
perilaku yang rasional.
Pengumpulan informasi dan persyaratan proses informasi terjadi melalui kapabilitas
masing-masing lembaga pendidikan atau individl-I pimpinan lembaga pendidikan tersebut, serta
tergantung pada tingkat ambiguitas tujuan atau konflik tujuan maupun tingkat ketidakpastian
teknis. Oleh karena itu, lembaga pendidikan dapat mcngatasinya dengan mengadopsi salah sate
model dari model pengambilan keputusan berikut ini.
a. Rational Model
Model ini dipergunakan jika tingkat ambiguitas atau konfliksitas sasaran maupun tingkat
ketidakpastian teknis rcndah. Pilihan dipermudah oleh kinerja program (March, Simon,
1992) dan standar operasional (Cycrt, 1992, March, 1976) yang disusun menurut aturan
keputusan serta rutinitas yang telah dipelajari sebuah organisasi atau lembaga pendidikan.
b. Political Model
Ketika tujuan dipercbutkan oleh berbagai kelompok kepentingan dan kepastian teknis
tinggi dalam kelompok, keputusan dari tindakan mcrupakan hasil tawarmenawar antara
pernam yang mengejar kepentingan mereka dan memanipulasi Iasi
instrumcn, pengaruh yang terscdla. Pengambilan keputusan politik mungkin dikaitkan
dengan game playing atau semacam perniainan ketika para perria I I I mengambil tempat,
posisi, dan pengaruh, serta membuat gerakan-gerakan menurut aturan-aturan dan
kekuatan tawar-menawar mereka (Allison, 1971).
c. Anarchy Model
Model ini dipergunakan jika tingkat ambiguitas atau konfliksitas sasaran maupun tingkat
ketidakpastian teknis tinggi (March dan Olsen, 1992). Situasi keputusan sccara relatif
independen yang terdiri dari alur masalah, solusi, partisipasi, dan pilihan peluang. Keputusan
terjadi melalui peluang dan waktu ketika ada masalah, partisipan, dan pilihan tepat serta
ketika solusi dilekatkan terhadap persoalan dan persoalan dipilih oleh partisipan yang
memiliki waktu dan energi untuk mclakukan hal tersebut.
d. Process Model
Model ini dipergunakan jika tingkat ambiguitas atau konfliksitas sasaran rendah sedangkan
ketidakpastian teknisnya tinggi (Mintzberg, Ralsingham, dan Thcoret, 1996). Ketika tujuan
atau sasaran bersifat strategic dan jelas, tctapi metode teknis untuk mcncapainya tidak pasti,
pengambilan keputusan menjadi proses dinamis yang ditandai dengan banyak intcrupsi dan
iterasi. Mcskipun proses menunjukkan suatu struktur umum; proses tersebut dimulai dcngan
pengakuan dan diagnosis problem yang diikuti dengan pengembangan altematif melalui
pencarian solusi yang slap pakai atau desain yang tclah dibuat untuk pesanan. Selanjutnya,
proses tersebut berakhir dengan cvaluasi dan seleksl dari altematif yang hares disahkan atau
disetujui.
Keempat model keputusan tersebut masing-masing dicirikan oleh perbedaan pendekatan dalam
mendapatkan dan menggunakan informasi. Dalam model anarki, pencarian informasi berada
pada level yang rcndah dalam mcmahami solusi dan altematif melepaskan diri dari masalah,
serta meninggalkan atau masuk ke dalam situasi keputusan dengan sejumlah kecakapan tertentu.
Penggunaan informasi masih tidak tcrkontrol, ketika solusi terkait langsung dengan masalah
melalui kejadian dan ketertarikan seorang pimpinan dan keputusan dibuat dengan tingkat
kesalahan yang lebih wring daripada solusi model rasional.
Dalam model rasional, pencarian in fon-nasi meningkat sccara luas. Akan tctapi, awalnya
terbatas pada pencarian lokal pada lingkup gejala atau solusi saja dan didorong oleh bentuk
rangsangan atau masalah yang tclah ditentukan dengan balk. Penggunaan informasi relatif
terkontrol dituntutoleh prinsip selcksi altematif yang cukup balk untuk melewati kriteria yang
minimal dapat diterima. Dalam model politik, meskipun pencarian, informasi mungkin selckti
Fdan lebih memilih informasi yang mendukung pilihan, pengumpulan informasi Iwinungkinan
karena dua alasan. Pertama, informasi untuk mendukung altematif yang lebih (IISLikal dan
terkumpul melalui surnber yang luas, terillasuk para ahli atau sumber-sumber yang diakui
dengan balk. Kedua, informasi dicek dan dibuktikan secara detail untuk meningkatkan
kredibilitas Berta menjamin bahwa informasi tersebut akan menahan lawan meneliti dengan
cermat. Penggunaan informasi sangat terkontrol dan terarah sebagai suatu taktik politik sesuai
hasil yang dimaksud. Informasi secara selektif diproses sehingga informasi yang kontradiksi
dengan asumsi atau harapan diabaikan atau diinterpretasi clang.
D. JENIS-JENIS PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Jenis-j'enis keputusan dapat disusun bcrdasarkan berbagai sudut pandang dan secara garis bcsar
dikenal tiga jenis keputusan, yaitu sebagai berikut.
1. Keputusan Berdasarkan Tingkat Kepentingan
Pada umumnya sebuah lembaga termasuk lembaga pendidikan memiliki hierarki ri-ianajemen.
Secara klasik hierarki ini terbagi atas tiga tingkatan, yaitu manajemen puncak, manajemen
mencngah, dan manajemen tingkat bawah. Manajemen tingkat puncak berkaitan dengan
perencanaan yang bersifat strategis (strategic planning). Manajemen tingkat menengah
menangani masalah pengawasan dan kegiatannya lebih banyak bersifat administrasi. Manajemen
tingkat bawah yaitu manajemen operasional, berkaitan dengan kegiatan operasi sehari-hari.
Sesual dengan sifat dan bidang pekerjaannya, tingkatan manajemen berupa tingkatan strategis,
taktik, dan operasional. Gambaran hierarkis ketiga tingkatan manajemen tersebut diilustrasikan
dalam gambar berikut.
Bcrdasarkan Gambar 7.2 bahwa keputusan strategis dilakukan untuk menjawab (antangan dan
perubahan lingkungan yang bersifat jangka panjang. Adapun keputusan taktik atau administratif,
yaitu keputusan yang berkaitan dengan I)cngelolaan cumber daya (kcuangan, teknik, dan
personalia). Keputusan operasional berkaitan dengan kegiatan operasional organisasi sehari-hari.
2. Keputusan yang Berdasarkan Regularitas
Keputusan yang dikemukakan oleh Simon (1995) dibagi menjadi keputusan tcrprogram dan
keputusan tidak terprogram yang diuraikan sebagai berikut.
il. Pengambilan Keputusan Terprogram
Pengambilan keputusan ini bersifat rutinitas dan berulang-ulang dengan cara penanggulangan
tclah ditentukan untuk penyelesaian masalah melalui: (I)prosedur, yaitu serangkaian langkah
yang berhubungan dan berurutan yang hares diikuti oleh pengambil keputusan; (2) aturan, yaitu
ketentuan yang mcngatur apa yang hares dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh pengambil
keputusan; (3) kebijakan, yaitu pedoman yang menentukan parameter untuk membuat keputusan.
h. Pengambilan Keputusan Tidak Terprogram
Pengambilan keputusan ini bersifat tidak rutinitas dan digunakan untuk menyelesalkan masalah
yang tidak berstniktur. Keputusan terprogram maupun keputusan tidak terprogram
3. Keputusan Berdasarkan Lingkungan
Keputusan ini dibedakan menjacli empat kelompok berikut ini.
a. Pengambilan Keputusan dalam Kondisi Pasti
Pengambilan keputusan dapat berlangsung dengan hal-hal sebagai berikut.
Altcrnatif yang hangs dipilih hanya memiliki satu konsekuensi jawaban atau hasil. Ins bcrarti
hasil dari setiap alternatif tindakan tersebut dapat ditentukan dengan pasti.
Keputusan yang akan diambil didukung olch informasi atau data yang lengkap sehingga hasil
dari setiap tindakan yang dilakukan dapat diramalkan secara akurat atau eksak.
Pengambilan keputusan harus mengetahui secara pasti apa yang akan terjadi di masa yang akan
datang.
Pengambilan keputusan selalu dihubungkan dengan keputusan yang mcnyangkut masalah rutin
karena kejadian tertentu di masa yang akan datang dapat dipastikan terjadi.
Pengambilan keputusan dapat ditemui dalam kasus dan model yang bersifat deterministik.
Teknik penyelesaian atau pemecahannya biasanya menggunakan program linier, model
transportasi, model penugasan, model invetori, model antrean, dan model network.
b. Pengambilan Keputusan dalam Kondisi Berisiko
Pengambilan keputusan ini dapat berlangsung dengan adanya hal-hal sebagai berikut.
I) Altematif yang dipilih mengandung lebih dari satu kemungkinan hasilnya.
Pengambilan keputusan niewakili lebih dari satu alternatif tindakan.
Adanya asumsi bahwa pengambil keputusan mengetahui peluang yang akan terjadi terhadap
berbagai tindakan clan hasil.
Risiko terjadi karena hasil pengumpulan keputusan tidak dapat diketahui dengan pasti walaupun
nilai probabilitasnya diketahui.
Pada kondisi ini keadaan alam sama dengan kondisi tidak pasti. Perbedaannya dalam kondisi ini,
ada informasi atau data yang akan mendukung pcmbuatan keputusan berapa besar atau nilai
peluang terjadinya bermacam-macam keadaan.
Teknik pemecahannya menggunakan konsep probabilitas, seperti model keputusan probabilistik,
model inventors probabilistik, model antrean probabilistik.
c. Pengambilan Keputusan dalam Kondisi Tidak Pasti
Yang dimaksud dengan pengambilan keputusan dalam kondisi tidak pasti meliputi beberapa hal
berikut.
Tidak diketahui sama sekali kondisi yang mungkin timbal Berta kemungkinan munculnya
kondisi-kondisi itu.
Pengambilan keputusan ticlak dapat menentukan probabilitas terjadinya berbagai kondisi atau
hasil yang keluar.
Yang diketahui hanyalah kemungkinan hasil dari suatu tindakan, tetapi tidak dapat diprediksi
berapa besar probabilitas setiap hasil tersebut.
Pengambilan keputusan ticlak mempunyai pengetahuan clan informasi lengkap mcngenai
peluang terjadinya bermacam-macam keadaan tersebut.
Hal yang akan diputuskan biasanya relatif belum pernah terjadi.
Tingkat ketidakpastian keputusan semacam ini dapat dikurangi dengan cara mencari informasi
yang lebih banyak melalui riset atau penelitian dan penggunaan probabilitas subjektif
Teknik pemecahannya adalah menggunakan beberapa metode (kriteria), yaitu metode minimax
regret, metode realisme, clan dibantu dengan tabel hasil (Pay Off' Table).
tL Pengambilan Keputusan dalam Kondisi Konflik
Pengambilan keputusan meliputi empat hal berikut.
I) Kepentingan dug atau lebih pengambilan keputusan saling bertentangan dalam situasi
persaingan.
Pengambilan keputusan saling bersaing dengan pengambilan keputusan lainnya yang rasional,
tanggap, dan bertujuan untuk memenangkan persaingan tersebut.
Pengambil keputusan bertinclak sebagai pemain dalam suatu permainan.
Teknik pemecahannya menggunakan teori permainan (J. Supranto, 1991: 18-19).
Jenis pengambilan keputusan yang sesuai tergantung.pada keputusan itu sendiri inaupun
waktu pengambilan keputusannya. Pengambilan keputusan. terprogram apabila keputusan itu
bersifat rutinitas dan berulang-ulang, Pengambilan keputusan yang dalam kondisi pasti harus
memperhitungkan altemiatif -alternatif yang ada. Apabila pengambilan keputusan berisiko, harus
diambil risiko yang paling kccil. Untuk kondisi yang tidak pasti dapat menggunakan macam-
macam metode dan mengambil keputusan dengan tim sekolah. Adapun pengambilan dalam
kondisi konflik harus banyak menggunakan yang bersifat rasional.
Menurut V.H. Vromm dan P.W. Yetton dalam Wirawan (2003: 125), mengemukakan
pengambilan keputusan sebagai teori pengambilan keputusan normatif, yang didasarkan pada
asumsi bahwa proses pengambilan keputusan ditentukan o1ch pemimpin, pengikut, dan faktor
situasi. Menurut teori ini ada 3 jenis proses pengambilan keputusan, yaltu sebagai berikut.
Pengambilan keputusan otokratik
Pimpinan menyelesaikan masalah atau mengambil keputusan sendiri tanpa mengikutsertakan
pengikutnya berdasarkan informasi yang tersedia waktu. itu atau pimpinan menerima informasi
yang diperlukan dari para pengikutnya untuk kemudian menentukan keputusan sendiri. Pimpinan
dalam hal ini dapat memberi tabu atau tidak memberi tabu kepada pengikutnya mengenai tujuan,
masalah, informasi, ataupun proses keputusan yang sedang dilakukannya. Para pengikutnya tidak
ikut berperan aktif dalam mendefinisikan secara operasional problem untuk menciptakan
alternatif yang diperlukan dalam pola pengambilan keputusan.
Pengambilan keputusan konsultatif
Dalam pengambilan keputusan ini pimpinan mendiskusikan problem dengan para pengikut yang
relevan secara individual untuk mengumpulkan ide dan saran mereka tanpa membahasnya dalam
kelompok pengikut. Proses pengambilan keputusan konsultatif ini pimpinan bisa juga
mendiskusikan problem yang dihadapi dengan para pengikutnya dalam pertemuan kelompok.
Dalam pertemuan ini pimpinan mendapatkan ide dan masukan. Kemudian pimpinan mengambil
keputusan yang merefleksikan ataupun tidak merefleksikan pengaruh pengikutnya.
Pengambilan keputusan kelompok
Pimpinan dalam proses pengambilan keputusan berbagi problem yang dihadapi dengan pimpinan
lain secara berkelompok. Kemudian secara bersama-sama pimpinan dan para pengikutnya
mengidentifikasi dan. mengevaluasi alternatif yang diperlukan dalam pengambilan keputusan
dan berusaha mencapai konsensus untuk mendapatkan satu solusi. Peran seorang pimpinan
adalah mengoordinasikan diskusi agar lebih fokus pada problem yang dihadapi. Pimpinan
mendorong partisipasi para pengikut untuk menyampaikan informasi, ide, atau pendapat tetapi
tidak memaksakan mereka untuk mengadopsinya. Pimpinan juga mendorong pengikutnya agar
man menerima dan melaksanakan solusi yang dihasilkan dari diskusi kelompok.
Sebelum melakukan pengambilan keputusan, pengambil keputusan terlebih dahulu harus
menentukan langkah-langkah model agar proses pengambilan keputusan sesuai dengan
pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Robbin (2001: 102) memberikan petunjuk langkah-
langkah model pengambilan keputusan, yaitu sebagai berikut.
a. Kejelasan masalah
Masalahnya harus jelas dan tidak mendua. Pengambilan keputusan diasumsikan memiliki
informasi lengkap sehubungan dengan situasi keputusan.
b. Pilihan-pilihan diketahui
Diasumsikan bahwa pengambilan keputusan dapat mengidentifikasikan semua
kriteria yang relevan dan dapat mendaftarkan semua alternatif yang dapat dilihat. Lagi pula,
pengambil keputusan sadar akan semua konsekuensi yang mungkin dari setiap alternatif.
Pilihan yang jelas
Rasional mengasumsikan bahwa kriteria dan alternatif dapat diperingkatkan dan ditimbang untuk
mencerminkan arti pentingnya.
Pilihan yang konstan
Diasumsikan bahwa kriteria keputusan yang spesifik itu konstan dan bahwa beban yang
ditugaskan kepada mereka stabil sepanjang waktu.
c. Tidak ada batasan waktu atau biaya
Pengambilan keputusan rasional dapat memperoleh informasi lengkap tentang kriteria dan
alternatif karma diasumsikan bahwa tidak ada pembatasan waktu dan biaya.
f. Pelunasan maksimum
Pengambilan keputusan rasional akan memilih alternatif yang menghasilkan mlai yang dirasakan
paling tinggi.
Tahapan proses pengambilan keputusan menurut Herbet A. Simon dalam Onong Uchyana -
Effendi, 1996: 161 meliputi hal-hal berikut ini.
Inteligensi (inteligence), yaitu menyelidiki lingkungan bagi kondisi dalam mengambil keputusan,
data mentah diperoleh, diproses, dan diperiksa untuk pertunjukan yang dapat
mengidentifikasikan masalah.
Rancangan (design), yaitu menemukan, mengembangkan, dan menganalisis kegiatan yang
mungkin dilakukan. Hal ini mencakup proses memahami masalah, membangkitkan cara
pemecahan, dan menguji pemecahan untuk mengetahui mungkin tidaknya dilaksanakan.
Pilihan (choice), yaitu memilih suatu cara kegiatan Idiusus dari cara-cara yang telah diperoleh,
suatu pilihan diambil dan dilaksanakan.
Implementasi (implementation), yaitu pelaksanaan tindakan setelah memperoleh pilihan atas
berbagai alternatif kegiatan yang telah ditentukan.
Semua tahapan ini dapat dipergunakan oleh pimpinan lembaga pendidikan dalam mengambil
keputusan sehingga menghasilkan keputusan yang lebih terarah. Model langkah-langkah
pengambilan keputusan dapat diilustrasikan dengan diagram berikut (lihat Gambar 7.4).
Dari diagram Gambar 7.4 menggambarkan bahwa langkah pertama dalam proses I)engambilan
keputusan, adalah merumuskan masalah yang dihadapi berkaitan dengan fenomena tertentu yang
dihadapi. Langkah selanjutnya menetapkan masalah yang dihadapi untuk kemudian
disederhanakan dan merumuskan kriteria yang 111CMUngkinkan akan menjadi salah satu
pilihan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Identifikasi terhadap alternatif yang akan
menjadi salah satu pendukung proses pengambilan keputusan menipakan tahap berikutnya. Dari
rumusan kriteria
DAFTAR PUSTAKA

Azhar, Kasim. 1995. Teori Pembuatan Keputusan. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-
U1.
Best, J. Roger. 2000. Market-Based Management, Strategies For Growing
Customer Value and Profitability. Second Edition. New York: Prentice Hall Inc.
Daihani Umar, Dadan. 2001. Komputerisasi Pengambilan Keputusan. Jakarta: Elex
Media Komputindo.
Davis, M. Mark & Heineke Janette. 2003. Managing Services, Using Technology to
Create Value. New York: McGraw-Hill.
Fajar, A. Malik. 2004. Renungan Hardiknas 2004. Kompas, Mel hlm. 4-5.
Fitzsimmons, A. James. 2001. Service Management Creating Competitive
Advantage, Operations, Strategy and Information Technology. New York:
McGraw-Hill Book International Edition.
Gaspersz, Vincent. 2002. Manajemen Kualitas dalam Industri Jasa. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Geuens at all, 2001. Marketing Communication. First Published. New York:
Prentice-Hall.
Glueck, William F. 1998. Manajemen Strategic dalam Kebijakan Perusahaon Edisi
Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Gordon, Davis. 1999. Management Information System. Seventh Edition
Newyork: McGraw-Hill Book Company.
Gordon, Dryden. & Jeannette Vos. 1999. The Learning Revolution: To Clunii,,c
The Way The World Learns. New Zealand: The Learning Web.
laksever, Cengiz et. al. 2002. Service Management and Operations. Second
Edition. New York: Prentice Hall.
I larnalik, Oemar. 2002. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompelensl
Jakarta: Bumi Aksara
Han, Flora & Leong Debby. 1998. Productivity and Service Quality. First Published. New
York: Prentice-Hall.
Hasibuan, S.P. Malayu. 1996. Manajemen Pengertian & Masalah Dasar. Jakarta: Ginning
Agung.
Hesskett, James L. et. al. 1999. The Service Profit Chain, How Leading Companies
Link Profit and Growth to Loyalty, Satisfaction and Value. New York: The Free
Press.
Hoffmann, Douglas K. & John, E.G. Batcson. 2002. Essentilas of Services
Marketing; Concept, Strategies and Cases. New York: Harcourt.
Hope, Christine & Alan Muhlemann. 1999. Service Operations management,
Strategy, Design and Delivery. New York: Prentice Hall.
Huges, L. Richard, Ginntt C. Robert, Curphy J. Gordon. 2002. Leadership
Enhancing The Lesson of Experience. New York: McGraw Hill.
Ibnu, Syamsi. 1995. Pengambilan Keputusan dan Sistem Informasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Idochi, Moch. Anwar. 2003. Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya
Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Indrajit Eko, Richardus. 2001. Pengantar Konsep Dasar Manajemen Sistem
Informasi dan Teknologi Informasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Iqbal, M. Hasan. 2002. Pokok Materi Pengambilan Keputusan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Jalal, Fasli. 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Edisi Pertama.
Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Jebarus, Felix. 1999. Konflik dalam Organisasi sebagai Perilaku Komunikasi. Manajemen
Usahawan Indonesia, No. 02 Th. XXVIII. Februari, hlm. 28-31.
Johnston, Robert. 2001. Service Operations Management. First Published. New York:
Prentice Hall Inc.
Kartono, Kartini dan Gulo Dali. 2000. Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya.
Kotler, Philip et. al. 1995. Strategic Marketing For Educational Institution. Second Edition.
New York: Prentice Hall Inc.
Lovelock, Christopher H & Wright Laurent K. 2003. Principles of Service
Marketing and Management. New York: Prentice Hall.
Lupiyoadi, Rambat. 2001. Manajemen Pemasaran dasa, Teori dan Praktik. Jakarta: Salemba
Empat.
Made, Pidarta. 1997. Landasan Kependidikan. Cetakan Pertama.Jakarta: Rineka Cipta.
Manurung, Adler Haymans. 1991. Pengambilan Keputusan PendekatanKuantilatif.' Jakarta:
Rineka Cipta.
Mardiatmadja, B.S. 2004. Titik-Titik Kritis Sekolah Kita. Kompas (5), hlm. 4.
Marquardt J, Michael. 2000. Building The Learning Organization. New York:
McGraw-Hill.
Milcovich T. George. 1997. Human Resource Management. Eight Edition. Chicago: Irwin.
Murdick, Robert K. 1995. Sistem Informasi untuk Manajemen Modern. Edisi Ketiga.
Jakarta: Erlangga.
Nanang Fatah. 2000. Landasan Manajemen Pendidikan. Cetakan Ketiga. Bandung: Rosda
Karya.
Oetomo, Dharma, Budi Sutedjo. 2002. Perencanaan dan Pembangunan Sistem
Informasi. Yogyakarta: Andi.
Onong, Uchyana Effendy. 1996. Sistem Informasi Manajemen. Cetakan Keempat.
Bandung: CV Mandar Maju.
Pradiansyah, Arvan. 1999. Menciptakan Komunikasi don Sistem SDM Terpadu.
Manajemen Usahawan Indonesia. No. 02 Th. XXVIII. Februari, hlm. 7-16. Pearn,
Michael. 2002. Learning Organizations in Practice. New York: McGraw-
Hill Developing Organizations Series.
Permadi, Dadi. 1998. Kepemimpinan Mandiri (Profesional) Kepala Sekolah, Kiat
Memimpin yang Mengembangkan Partisipasi. Bandung: Sarana Panca Karya. Porter,
Michael E. 1995. Keunggulan Bersaing, Menciptakan dan Mempertahankan
Kineria Unggul. Cetakan Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Pring, Richard. 2000. Philosophy of Educational Research. London: Continuum.
Rahardjo, Dawam. 1997. Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional. Cetakan
Pertama. Jakarta: Intermasa.
Raymond, McLeod. 2001. Management Information System. Eighth Edition. New Jersey:
Prentice-Hall International, Inc.
Redford, K.J. 1994. Analisis Keputusan Manajemen (Terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Richards, Max D. and Paul S. Greenlaw. 1972. Management Decision Making. Illinois:
Richard D. Irwin, Inc.
Robson, Wendy. 2000. Strategic Management & Information Systems. Thil-d Edition. New
York: Prentice Hall.
Rogers, Robert. W. 1992. Creating a High Involvement Culture Through a Value-
Driven Change Process. Monograph, XVIII ; p. 24.
BIOGRAFI PENULIS

Dr. ETI ROCHAETY. Menempuh Pendidikan Strata Tiga (S-3), Bidang


Ilmu Ekonomi Manaj*cmcn Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung. Sejak
tahun 1990 menjadi dosen Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA
(UHAMKA) Jakarta sampai sekarang, dengan j abatan akadcmik Lektor Kepala
untuk mengampu mata kuliah Manajemen Pemasaran, Strategi Pemasaran, dan
Riset Pemasaran. Tahun 2001 diperbantukan sebagal tenaga pengajar Program
Pascasarjana Magister Administrasi Pendidikan UHAMKA, dengan mengampu
mata kuliah Sistem I iiformasi Manajemen Pendidikan (SIM-Pendidikan).
Aktif sebagai penulis modul Universitas Terbuka sejak tahun 1997 di
antaranya untuk mata kuliah Bank dan Lembaga Keuangan, Manajemen Produksi
dan Operasi. Penulis juga aktif melakukan penelitian-penelitian yang berfokus
pada pelayanan jasa, seperti jasa kesehatan (rumah sakit), jasa perhotelan, jasa
pariwisata, dan jasa pendidikan.
Seminar-seminar nasional maupun internasional, workshop Berta pclatih-,i
yang wring diikuti penulis, terutama tentang manajemen pemasaran, manajemen
operasi, dan manajemen sumber daya manusia. Tahun 2004 penulis menglktiti
penataran penulis buku ajar perguruan tinggi se-Indonesia yang diselenggarak;Ill
olch Bagian Proyek Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia (BPK-SUM),
Dircktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Penulis
ks di
tiga aktif sebagai nara sumber/pembicara pada seminar atau workshop
antaranya yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Daerah
Khusus I blikota Jakarta, dan PT Pertani Persero. Jabatan terakhir penulis sebagai
Direktur PT Batam Bina Yudha yang bergerak di bidang Jasa Konsultasi
Manajemen dan Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata (STIPAR) Batam.
In PONTJORINI RAHAYUNINGSIH, M.Pd. Menyelesaikan Pendidikan Strata
Satu (S-1) pada Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Karma
kepedulian terhadap bidang pendidikan sangat tinggi, penulis menyclesaikan Strata
Dua (S-2) Magister Pendidikan. Karier di bidang pendidikan

dilaluinya menjadi tenaga pengajar pada SMU Negeri I Batam, Kepala SMU
Negeri I Batam, dan Dosen Universitas Riau.
Prestasi yang telah dicapai di antaranya, tahun 1986 menjadi Dosen Teladan 11
Universitas Riau, tahun 1992 menjadi guru teladan tingkat Kotamadya Batam,
pelatihan, seminar, maupun lokakarya di dalam maupun di luar negeri terutama
bidang pendidikan dan manajemen pemerintahan.
Dra. PRIMA GUSTI YANTI M.Hum. Lahir di Pekanbaru 7 Agustus 1966.
Menyelesaikan Strata Satu (S-1) Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Strata Dua
(S-2) diselesaikan pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Tahun 1992 sampai
sekarang bekerja sebagai Dosen Tetap Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
UHAMKA dengan jabatan akademik Lektor.
Lampiran 1

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT


REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2005
TENTANG
GURU DAN DOSEN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional calam bidang pendidikan
adalah upay a mencercask an kehidu pan bangs a dan
meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman,
bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu
pengetahuan, teknologi, dan Beni dalam mewujudkan
masy arak at y an g maju , acil, mak mu r, dan be radab
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses,
peningkatan mutu can relevansi, serta tata pemerintahan
yang balk dan akuntabilitas pendidikan yang mampu
menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global perlu dilakukan
pemberdayaan clan peningkatan mutu guru dan dosen
secara terencana, terarah, dan berkesinambungan;
c. bahwa guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan
kedudukan yang sangat strategic dalam pembangunan
nasional dalam bidang pendidikan sebagaimana dimaksud
pada huruf a sehingga perlu dikembangkan sebagai profesi
yang bermartabat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, clan huruf c perlu dibentuk Undang-
Undang tentang Guru dan Dosen.
Menimbang: 1. bahwa berclasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, clan huruf c perlu dibentuk Unclang-
Unclang tentang Guru clan Dosen.
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tabun 2003
Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4301).

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG GURU DAN DOSEN BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mencliclik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, clan pendidikan menengah.
2. Dosen adalah pendidik profesional clan ilmuwan dengan tugas utama
mentransformasikan, mengembangkan, clan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi, clan seni melalui pendidikan, penelitian, clan pengabdian kepada
masyarakat.
3. Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan
fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan
pendidikan tinggi.
4. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
clan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian,
kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma
tertentu Berta memerlukan pendidikan profesi.
5. Penyelenggara pendidikan adalah pemerintah, pemerintah daerah, atau
masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan
formal.

6. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menye -


lenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal dalam setiap jenjang dan
jenis pendidikan.
7. Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama adalah perjanjian tertulis
antara guru atau dosen dengan penyelenggara pendidikan atau satuan
pendidikan yang memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban para
pihak dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
8. Pemutusan hubungan kerja atau pemberhentian kerja adalah pengakhiran
perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bers ama guru atau dosen karena
sesuatu hal yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
guru atau dosen dan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
9. Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendid ikan akademik yang harus
dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan
pendidikan formal di tempat penugasan.
10. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, clan perilaku
yang harus dimiliki, dihayati, dan d)kuasa) o)eh guru atau dosen da)am
melaksanakan tugas keprofesionalan.
11. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen.
12. sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberika n
kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
13. Organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hokum yang
didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.
14. Lembaga pendidikan tenaga kependidikan adalah pergurUan tinggi yang
diberi tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan
guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan
mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan.
15. Gaji adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen atas pekerjaannya
dari penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan dalam bentuk
finansial secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
16. Penghasilan adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen dalam bentuk
finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas keprofesionalan yang
clitetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dan
mencerminkan martabat guru atau dosen sebagai pendidik profesional.
17. Daerah khusus adalah daerah yang terpencil atau terbelakang; daerah dengan
kondisi masyarakat adat yang terpencil; daerah perbatasan dengan negara lain;
daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, atau daerah yang berada
dalam keadaan darurat lain.
18. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang
mempunyai perhatian clan peranan dalam bidang pendidikan.
19. Pemerintah adalah pemerintah pusat.
20. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten,
atau pemerintah kota.
21. Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan calam
bidang pendidikan nasional.

BAB II
KEDUDUKAN, FUNGSI, DAN TUJUAN
Pasal 2

(1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pen -
didikan clasar, pendidikan menengah, clan pendidikan anak usia dini pada
jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang -
undangan.
(2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Pasal 3
(1)Dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang
pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang -
undangan.
(2)Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana
dimaksud pada ayat 0) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Pasal 4
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat clan peran guru sebagai agen
pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Pasal 5
Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada Pasal
3 ayat 0) berfungsi untuk meningkatkan martabat clan peran dosen sebagai
agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, clan seni, serta
pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional.
Pasal 6
Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk
melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan
nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggung jawab.

BAB III
PRINSIP PROFESIONALITAS
Pasal 7
(1) Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang
dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:
a. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisms;
b. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan,
ketakwaan, dan akhlak mulia;
c. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai
dengan bidang tugas;
d. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
e. memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
f. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
g. memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara
berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;
h. memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan; dan
i. memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-
hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
(2) Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen diselenggarakan
melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan,
tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode
etik profesi.

BAB IV
GURU
Bagian Kesatu
Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi
Pasal 8
Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional.
Pasal 9
Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui
pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.
Pasal 10
(1) Kompetensi guru sebagaimanadimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi guru sebagaimana di maksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada
guru yang telah memenuhi persyaratan.
(2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki
program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan
oleh Pemerintah.
(3) Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
Setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan
yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu.
Pasal 13
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk
peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan
yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai anggaran untuk peningkatan kualifikasi


akademik clan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:
a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan
kesejahteraan sosial;
b. menclapatkan promosi clan penghargaan sesuai dengan tugas clan
prestasi kerja;
c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas
kekayaan intelektual;
d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran
untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan
kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai
dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perunclang-
unclangan;
g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan
tugas;
h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pen -
didikan;
J. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan clan meningkatkan
kualifikasi akademik clan kompetensi; dan/atau
k. memperoleh pelatihan clan pengembangan profesi dalam bidangnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak guru sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang
melekat pada gaji, Berta penghasilan lain berupa tunjangan profesi,
tunjangan fungsional, tunjangan khusus, clan maslahat tambahan yang
terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip
penghargaan atas clasar prestasi.
(2) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah
atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yan g diselenggarakan oleh
masyarakat diberi gaji berclasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama.
Pasal 16
(1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang
diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat.
(2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara
dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada
tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan
dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan/atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APED).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan profesi guru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan
Pemerintah.
Pasal 17
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan tunjangan fungsional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang diangkat
oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah clan
pemerintah daerah.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan subsidi tunjangan
fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1 ) kepada guru yang
diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan subsidi
tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dialokasikan dalam
anggaran pendapatan clan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan
belanja daerah.

Pasal 18
(1) Pemerintah memberikan tunjangan khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang bertugas di daerah khusus.
(2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara
dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada
tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah di daerah
khusus, berhak atas rumah din g s yang disediakan oleh pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), clan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 19
(1) Maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) merupakan
tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan,
asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan
untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan,
atau bentuk kesejahteraan lain.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat
tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai maslahat tambahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban:
a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang
bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi
secara berkelanjutan sejalan dengan perkernbangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni;
c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimba ngan jenis
kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang
keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik
guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Bagian Ketiga
Wajib Kerja dan 1katan Dings
Pasal 21
(1) Dalam keadaan darurat, pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib
kerja kepada guru dan/atau warga negara Indonesia lainnya yang memenuhi
kualifikasi akademik dan kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai guru di
daerah khusus di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan warga negara Indonesia
sebagai guru dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat menetapkan pola ikatan
dinas bagi calon guru untuk memenuhi kepentingan pembangunan
pendidikan nasional atau kepentingan pembangunan daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon guru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(1) Pemerintah mengembangkan sistem pendidikan guru ikatan dinas berasrama
di lembaga pendidikan tenaga kependidikan untuk menjamin efisiensi clan
mutu pendidikan.
(2) Kurikulum pendidikan guru pada lembaga pendidikan tenaga kependidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengembangkan kompetensi yang
diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pendidikan nasional, pendidikan
bertaraf internasional, dan pendidikan berbasis keunggulan lokal.

Bagian Keempat
Pengangkatan, Penempatan, Pemind ahan, dan Pemberhentian
Pasal 24
(1) Pemerintahwajibmemenuhi kebutuhanguru, baikdalamjumlah, kualifikasi
akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin
keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal
Berta untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan menengah
yang diselenggarakan oleh pemerintah.
(2) Pemerintah provinsi wajib memenuhi kebutuhan guru, balk dalam jumlah,
kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk
menjamin keberlangsungan pendidikan menengah dan pendidikan khusus
sesuai dengan kewenangan.
(3) Pemerintah kabupaten/kota wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah,
kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk
menjamin keberlangsungan pendidikan dasar clan pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal sesuai dengan kewenangan.
(4) Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, clan pendidikan menengah yang
diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi kebutuhan guru-tetap,
baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun kompetensinya untuk
menjamin keberlangsungan pendidikan.
Pasal 25
(1) Pengangkatan can penempatan guru dilakukan secara objektif dan transparan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diseleng -
garakan Pemerintah atau pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Pengan gkatan dan penempatan guru pada s atu an pen didik an yan g
diselenggarakan masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan
atau satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja
atau kesepakatan kerja bersama.
Pasal 26
(1) Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah dapat
ditempatkan pada jabatan struktural.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan guru yang diangkat oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah pada jabatan struktural sebagaimana
climaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di
Indonesia wajib mematuhi kode etik guru dan peraturan perundang -undangan.
Pasal 28
(1) Guru yangdiangkatoleh pemerintahatau pemerintandaerandapatdipindah -
tugaskan antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan maupun
antarsatuan pendidikan karena alasan kebutuhan satuan pendidikan dan/
atau promosi.
(2) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah clapat meng -
ajukan permohonan pindah tugas, baik antarprovinsi, antarkabupaten/
antarkota, antarkecamatan maupun antarsatuan pendidikan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal permohonan kepindahan dikabulkan, Pemerintah atau pemerintah
daerah memfasilitasi kepindahan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sesuai dengan kewenangan.
(4) Pemindahan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat diatur oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan
yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahan guru sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 29
(1) Guru yang bertugas di daerah khusus memperoleh hak yang meliputi kenaikan
pangkat rutin secara otomatis, kenaikan pangkat istimewa sebanyak 1 (sate)
kali, dan perlindungan dalam pelaksanaan tugas.
(2) Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah wajib menan -
datangani pernyataan kesanggupan untuk ditugaskan di daerah khu sus
paling sedikit selama 2 (dua) tahun.
(3) Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang telah
bertugas selama 2 (dua) tahun atau lebih di daerah khusus berhak pindah
tugas setelah tersedia guru pengganti.
(4) Dalam hal terjadi kekosongan guru, pemerintah atau pemerintah daerah
wajib menyediakan guru pengganti untuk menjamin keberlanjutan proses
pembelajaran pada satuan pendidikan yang bersangkutan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai guru yang bertugas di daerah khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), clan ayat (4) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
(1) Guru dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sebagai guru karena:
a. meninggal dunia;
b. mencapai batas usia pensiun;
C. atas permintaan sendiri;
d. sakit jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat melaksanakan tugas
secara terus-menerus selama 12 (dua bolas) bulan; atau
e. berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara
guru clan penyelenggara pendidikan.
(2) Guru dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai guru
karena:
a. melanggar sumpah dan janji jabatan;
b. melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama; atau
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1 (satu) bulan
atau lebih secara terus-menerus.
(3) Pemberhentian guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemberhentian guru karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 60 (enam puluh) tahun.
(5) Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang
diberhentikan dari jabatan sebagai guru, kecuali sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b, tidak dengan sendirinya diberhentikan
sebagai pegawai negeri sipil.
Pasal 31
(1) Pemberhentian guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2)
dapat dilakukan setelah guru yang bersangkutan diberi kesempatan untuk
membela diri.
(2) Guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang
diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri memperoleh
kompensasi financial sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama.
Bagian Kelima
Pembinaan dan Pengembangan
Pasal 32
(1) Pembinaan dan pengembangan guru meliputi pembinaan dan pengem -
bangan profesi dan karier.
(2) Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
social, dan kompetensi profesional.
(3) Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui jabatan fungsional.
(4) Pembinaan dan pengembangan karier guru sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.
Pasal 33
Kebijakan strategic pembinaan dan pengembangan profesi dan karier guru pada
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah,
atau masyarakat ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 34
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan
kualifikasi akademik dan kompetensi guru pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat.
(2) Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib
membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan anggaran untuk
meningkatkan profesionalitas dan pengabdian guru pada satuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat.
Pasal 35
(1 ) B e b an k e rj a gu ru me n c ak u p k e gi a t a n po k o k , y a it u me re n c an ak a n
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
membimbing, dan melatih peserta didik, Berta melaksanakan tugas
tambahan.
(2 ) Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sekurangkurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak -
banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.
(3 ) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja guru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Penghargaan
Pasal 36
(1) Guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di
daerah khusus berhak memperoleh penghargaan.
(2) Guru yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus
memperoleh penghargaan dari pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau
masyarakat.
Pasal 37
(1) Penghargaan dapat diberikan oleh pemerintah, pemerintah daerah,
masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan.
(2) Penghargaan dapat diberikan pada tingkat sekolah, tingkat
desa/kelurahan, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi,
tingkat nasional, dan/atau tingkat internasional.
(3) Penghargaan kepada guru clapatcliberikan dalam bentuk tandajasa, kenaikan
pangkat istimewa, finansial, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.
(4) Penghargaan kepada guru dilaksanakan dalam rangka memperingati hari
ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, hari ulang tahun provinsi, hari
ulang tahun kabupaten/kota, hari ulang tahun satuan pendidikan, hari
pendidikan nasional, hari guru nasional, dan/atau hari besar lain.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian p enghargaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan
peraturan Pemerintah.
Pasal 38
Pemerintah dapat menetapkan hari guru nasional sebagai penghargaan
kepada guru yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketujuh
Perlindungan
Pasal 39
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau
satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam
pelaksanaan tugas.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan
hukum, perlindungan profesi, Berta perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja.
(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup
perlindungan hukum terhadap tindak kekeras an, ancaman, perlakuan
diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik,
prang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
(4) Perlindungan p rofesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup
perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak
wajar, pembatasan dalam menyampaikan p andangan, p elecehan terhadap
profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru
dalam melaksanakan tugas.
(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan
kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam,
kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.

Bagian Kedelapan
cuti
Pasal 40
(1) Guru memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Guru dapat memperoleh cuti untuk studi dengan tetap memperoleh hak gaji
penuh.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cud sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
clan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesembilan
Organisasi Profesi dan Kode Etik
Pasal 41
(1) Guru membentuk organisasi profesi yang bersifat independen.
(2) Organis asi profesi sebagaiman a dimaksud pada ay at (1) berfungsi
untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan
kependidikan,perlindunganprofesi,kesejahteraan,danpengabdiankepada
masyarakat.
(3) Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi.
(4) Pembentukan organ isasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di lakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Pemerintandan/atau pemerintah daerah dapat mei-nfasi I itasi organ isasi profesi
guru dalam pelaksanaan pembinaan clan pengembangan profesi guru.
Pasal 42
Organisasi profesi guru mempunyai kewenangan:
a. menetapkan dan menegakkan kode etik guru;
b. memberikan bantuan hukum kepada guru;
c. memberikan perlindungan profesi guru;
d. melakukan pembinaan clan pengembangan profesi guru; clan
e. memajukan pendidikan nasional.
Pasal 43
(1) Untuk menjaga clan meningkatkan kehormatan clan martabat guru dalam
p elaksanaan tugas keprofesionalan, organisasi profesi guru membentuk
kode etik.
(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat 0) berisi norma clan etika yang
mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan.
Pasal 44
(1) Dewan kehormatan guru dibentuk oleh organisasi profesi guru.
(2) Keanggotaan serta mekanisme kerja dewan kehormatan guru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam anggaran dasar organisasi profesi
guru.
(3) Dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk
untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi
pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru.
(4) Rekomendasi dewan kehormatan profesi guru sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) harus objektif, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan
anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan perundang-undangan.
(5) Organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehor-
matan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

BAB V
DOSEN
Bagian Kesatu
Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik
Pasal 45
Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik,
sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan
satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pasal 46
(1) Kualifikasi akademik dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diperoleh
melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai
dengan bidang keahlian.
(2) Dosen memiliki kualifikasi akademik minimum:
a. lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana;
b. lulusan program doktor untuk program pascasarjana.
(3) Setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat
diangkat menjadi dosen.
(4) Ketentuan lain mengenai kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dan keahlian dengan prestasi luar biasa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh masing -masing senat akademik
satuan pendidikan tinggi.
Pasal 47
(1) Sertifikat pendidik untuk dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
diberikan setelah memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki pengalaman kerja sebagai pendidik pada perguruan tinggi sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun;
b. memiliki jabatan akademik sekurang-kurangnya asisten ahli; clan
c. lulus sertifikasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang menye -
lenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan pada perguruan
tinggi yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Pemerintah menetapkan perguruan tinggi yang terakreditasi untuk
menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan sesuai dengan
kebutuhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat pendidik untuk dosen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) clan penetapan perguruan tinggi yang terakreditasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Pemerintah.
Pasal 48
(1) Status dosen terdiri atas dosen tetap clan dosen tidak tetap.
(2) Jenjang jabatan akademik dosen-tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor
kepala, clan profesor.
(3) Persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki
kualifikasi akademik doktor.
(4) Pengaturan kewenangan jenjang jabatan akademik clan dosen -ticlak tetap
ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 49
(1) Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan
tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor.
(2) Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta
menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat.
(3) Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang
sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional
dapat diangkat menjadi profesor paripurna.
(4) Pengaturan lebih lanjut mengenai profesor par ipurna sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 50
(1) Setiap orang yang memiliki kualifikasi akademik clan kompetensi sebagai -
mana dimaksud dalam Pasal 45 mempunyai kesempatan yang sama untuk
menjadi dosen.
(2) Setiap orang, yang akan diangkat menjadi dosen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), wajib mengikuti proses seleksi.
(3) Setiap orang clapat diangkat secara langsung menduduki jenja ng jabatan
akademik tertentu berdasarkan hasil penilaian terhadap kualifikasi akademik,
kompetensi, clan pengalaman yang dimiliki.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) clan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh Setiap satuan
pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban
Pasal 51
(1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak:
a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan
jaminan kesejahteraan social;
b. menclapatkan promosi clan penghargaan sesuai dengan tugas dan
prestasi kerja;
c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas
kekayaan intelektual;
d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses
cumber belajar, informasi, sarana clan prasarana pembelajaran, serta
penelitian clan pengabdian kepada masyarakat;
e. memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, clan otonomi
keilmuan;
f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian clan menentukan
keiulusan peserta didik; dan
g. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi/
organisasi profesi keilmuan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dosen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan peraturan Pemerintah.

Pasal 52
(1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat
pada gaji, serta penghasilan lain yang berupa tunjangan profesi, tunjangan
fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat
tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen yang ditetapkan dengan
prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
(2) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh
masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan
kerja bersama.

Pasal 53
(1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik yang
diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan tinggi
yang diselenggarakan oleh masyarakat.
(2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara
dengan 1 (satu) kah gaji pokok dosen yang diangkat oleh Pemerintah pada
tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam
anggaran pendapatan clan belanja negara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan profesi sebagaimana dimaksud
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 54
(1) Pemerintah memberikan tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang diangkat oleh Pemerintah.
(2) Pemerintah memberikan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang diangkat oleh satuan
pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(3) Tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan
dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.

Pasal 55
(1) Pemerintah memberikan tunjangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
ayat (1) kepada dosen yang bertugas di daerah khusus.
(2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara
dengan 1 (satu) kali gaji pokok dosen yang diangkat oleh Pemerintah atau
pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, clan kualifikasi yang sama.
(3) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam
anggaran pendapatan clan belanja negara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), clan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
(1) Pemerintah memberikan tunjangan kehormatan kepada profesor yang
diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi
setara 2 (du g) kali gaji pokok profesor yang diangkat oleh pemerintah pada
tingkat, masa kerja, clan kualifikasi yang sama.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan kehormatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 57
(1) Maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) merupakan
tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan,
asuransi pendidikan, beasiswa, clan penghargaan bagi dosen, serta kernuclahan
untuk memperoleh pendidikan bagi putra clan putri dosen, pelayanan kese-
hatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat
tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai maslahat tambahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) clan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 58
Dosen yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan
tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat berhak memperoleh jaminan
sosial tenaga kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 59
(1) Dosen yang mendalami clan mengembangkan bidang ilmu langka berhak
memperoleh dana clan fasi I itas khusus dari Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah.
(2) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah di daerah khusus, berhak atas rumah
dinas yang disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangan.
Pasal 60
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berkewajiban:
a. melaksanakan pendidikan, penelitian, clan pengabdian kepada masyarakat;
b. merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai
clan mengevaluasi hasil pembelajaran;
C. meningkatkan clan mengembangkan kualifikasi akademik clan
kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, clan Beni;
d. bertinclak objektif clan ticlak diskriminatif atas clasar pertimbangan
jenis kelamin, agama, suku, ra y , kondisi fisik tertentu, atau latar
belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
e. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, clan kode
etik, serta nilai-nilai agama clan etika; dan
f. memelihara clan memupuk persatuan clan kesatuan bangsa.
Bagian Ketiga
Wajib Kerja dan Ilkatan Dings
Pasal 61
(1) Dalam keadaan darurat pemerintah clapat memberlakukan ketentuan
wajib kerja kepada dosen dan/atau warga negara Indonesia lain yang
memenuhi kualifikasi akademik clan kompetensi untuk
melaksanakan tugas sebagai dosen di daerah khusus.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan warga negara
Indonesia sebagai dosen dalam keadaan darurat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 62
(1) Pemerintah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon dosen
untuk memenuhi kepentingan pembangunan pendidikan nasional,
atau untuk memenuhi kepentingan pembangunan daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon
dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian
Pasal 63
(1) Pengangkatan clan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi dilakukan
secara objektif clan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang
diselenggarakan oleh pemerintah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang
diselenggarakan oleh masyarakatdilakukan oleh penyelenggara pendidikan
atau satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan perjanjian
kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan
tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk menjamin terseleng -
garanya pendidikan yang bermutu.
Pasal 64
(1) Dosen yang diangkat oleh pemerintah dapat ditempatkan pada jabatan
struktural sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dosen yang diangkat oleh
pemerintah pada jabatan struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 65
Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai dosen pada satuan pendidikan
tinggi di Indonesia wajib mematuhi peraturan perundang -undangan.
Pasal 66
Pemindahan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh
masyarakat diatur oleh penyelenggara pendidikan berdasarkan perjanjian kerja
atau kesepakatan kerja bersama.
Pasal 67
(1) Dosen dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. telah mencapai batas usia pensiun;
C. atas permintaan sendiri;
d. tidak dapat melaksanakan tugas secara terus-menerus selama 12
(dua betas) bulan karena sakit jasmani dan/atau rohani; atau
e. berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara
dosen dan penyelenggara pendidikan.
(2) Dosen dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya karena:
a. melanggar sumpah dan janji jabatan;
b. melanggar perjanjian anjian kerja atau kesepakatan kerja bersama; atau
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1 (satu) bulan
atau lebih secara terus-menerus.
(3) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) clan ayat
(2) dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi
yang bersangkutan berclasarkan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemberhentian dosen karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 65 (enam puluh lima) tahun.
(5) Profesor yang berprestasi dapat cliperpanjang batas usia pensiunnya
sampai 70 (tujuh puluh) tahun.
(6) Dosen yang diangkat oleh pemerintah yang diberhentikan dari
jabatannya, kecuali sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a clan huruf b,
ticlak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.
Pasal 68
(1) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2)
dapat dilakukan setelah dosen yang bersangkutan diberikan
kesempatan untuk membela diri.
(2) Dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh
masyarakat yang diberhentikan dengan hormat ticlak atas permintaan sendiri
memperoleh kompensasi financial sesuai dengan perjanjian kerja atau
kesepakatan kerja bersama.
Bagian Kelima
Pembinaan dan Pengembangan
Pasal 69
(1) Pembinaan clan pengembangan dosen meliputi pembinaan clan
pengembangan profesi dan karier.
(2) Pembinaan clan pengembangan profesi dosen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi social, clan kompetensi profesional.
(3) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen dilakukan melalui jabatan
fungsional.
(4) Pembinaan clan pengembangan karier dosen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi penugasan, kenaikan pangkat, clan promosi.
Pasal 70
Kebijakan strategic pembinaan clan pengembangan profesi clan karier dosen
pada satuan pendidikan tinggi yang diselen ggarakan oleh pemerintah atau
masyarakat ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 71
(1) Pemerintah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan
kompetensi dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan/atau masyarakat.
(2) Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib
membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi dosen.
(3) Pemerintah wajibmemberikan anggaran untukmeningkatkan profesionalitas
dan pengabdian dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan
oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
Pasal 72
(1) Beban kerja dosen mencakup kegiatan pokok, yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, melakukan evaluasi
pembelajaran, membimbing dan melatih, melakukan penelitian, melakukan
tugas tambahan, serta melakukan pengabdian kepada masyarakat.
(2) Beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang -kurangnya
sepadan dengan 12 (dua belas) satuan kredit semester (SKS) da n sebanyak-
banyaknya 16 (enam belas) satuan kredit semester.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja dosen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh setiap satuan pendidikan
tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keenam
Penghargaan
Pasal 73
(1) Dosen yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah
khusus berhak memperoleh penghargaan.
(2) Dosen yang gugurdalam melaksanakan tugas di daerah khusus memperoleh
penghargaan dari pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 74
(1) Penghargaan dapat diberikan pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat,
organisasi profesi keilmuan, dan/atau satuan pendidikan tinggi.
(2) Penghargaan dapat diberikan pada tingkat satuan pendidikan tinggi,
tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, tingkat nasional, dan/atau tingkat
internasional.
(3) Penghargaan dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa,
finansial, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.
(4) Penghargaan kepada dosen dilaksanakan dalam rangka memperingati hari
ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, hari ulang tahun provinsi, hari
ulang tahun kabupaten/kota, hari ulang tahun satuan pendidikan tinggi, hari
pendidikan nasional, dan/atau hari besar lain.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketujuh
Perlindungan
Pasal 75
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profe si, dan/atau
satuan pendidikan tinggi wajib memberikan perlindungan terhadap dosen
dalam pelaksanaan tugas.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan
hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan
kesehatan kerja.
(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup
perlindungan terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan
diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta
didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, dan/atau pihak lain.
(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup
perlindungan terhadap pelaksanaan tugas dosen sebagai tenaga
profesional yang meliputi pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar,
pembatasan kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan,
serta pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat dosen dalam
pelaksanaan tugas.
(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan
keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja,
bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.
(6) Dalam rangka kegiatan akademik, dosen mendapat perlindungan untuk
menggunakan data dan sumber yang dikategorikan terlarang oleh peraturan
perundang-undangan.

Bagian Kedelapan
c u t i
Pasal 76
(1) Dosen memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dosen memperoleh cuti untuk studi dan penelitian atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dengan
memperoleh hak gaji penuh.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti sebagaimana dimaksud pada
pada ayat 0) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
SANKSI
Pasal 77
(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang
tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. tegu ra n;
b. peringatan tertulis;
c. penundaan pemberian hak guru;
d. penurunan pangkat;
e. pemberhentian dengan hormat; atau
f. pemberhentian tidak dengan hormat.
(3) Guru yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau
kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan
dinas.
(4) Guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, yang tidak
menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama.
(5) Guru yang melakukan pelanggaran kode etik dikenai sanksi oleh
organisasi profesi.
(6) Guru yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) mempunyai hak membela diri.

Pasal 78
(1) Dosen yang diangkat oleh pemerintah yang tidak menjalankan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi sesuai deng an
peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. penundaan pemberian hak dosen;
d. penurunan pangkat clan jabatan akademik;
e. pemberhentian dengan hormat; atau
f. pemberhentian tidak dengan hormat.
(3) Dosen yang diangkatoleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan
tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang tidak menjalankan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi sesuai
dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(4) Dosen yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
62 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau
kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan
dinas.
(5) Dosen yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) mempunyai hak membela diri.

Pasal 79
(1) Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,
Pasal 34, Pasa( 39, Pasal 63 ayat (4), Pasal 71, dan Pasal 75 diberi sanksi
sesuai dengan peraturar perundang-undangan.
(2) Sanksi bagi penyelenggara pendidikan berupa:
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan; atau
d. pembekuan kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 80
(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini:
a. guru yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan
fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) dan
memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau gur u yang bersangkutan
telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.
b. dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan fungsional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat 0) clan ayat (2) dan memperoleh
maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) paling lama 10
(sepuluh) tahun, atau dosen yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki
sertifikat pendidik.
(2) Tunjangan fungsional dan maslahat tambahan bagi guru dan dosen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di alokasikan dalam anggaran
pendapatan clan belanja negara clan anggaran pendapatan clan belanja
daerah.
Pasal 81
Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan guru dan dosen
tetap berlaku sepanjang ticlak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan
barn berclasarkan Undang-Undang ini.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 82
(1) Pemerintah mulai melaksanakan program sertifikasi pendidik paling lama
dalam waktu 12 (dua belas) bulan terhitung sejak berlakunya Undang -
Undang ini.
(2) Guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik
sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang ini wajib memenuhi kualifikasi
akademik dan sertifikat pendidik paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak
berlakunya Undang-Undang ini.
Pasal 83
Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan
Undang-Undang ini hares diselesaikan selambat-lambatnya 18 (delapan belas)
bulan sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Pasal 94
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Lampiran 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 20 TAHUN 2003
TENTANG
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


Presiders Republik Indonesia

Menimbang:
a. bahwa pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia can seluruh tumpah darah
Indonesia clan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, clan ikut melaksanakan ketertiban clunia yang
berclasarkan kemerdekaan, perclamaian abadi clan keadilan sosial;
b. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan Pemerintah mengusahakan clan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan can
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mu I ia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang;
C. bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin
pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi
clan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan
sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, clan
global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana,
terarah, clan berkesinambungan;
d. bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional tidak memadai lagi clan perlu diganti serta perlu
disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang -
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. bahwa berdasarkan per timbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, b, c, can d perlu membentuk Unclang-Unclang tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Mengingat:
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 Undang -
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
dan
Presiders Republik Indonesia

Memutuskan
Menetapkan
Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional

B A B I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:


1 . Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujuckan
suasana belajardan proses pembelajaran agar peserta did i k secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
Berta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia,
dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
3. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan
yang Baling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional.
4. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang
tersecia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
5. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri clan
diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
6. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai
guru, closer, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur,
fasilitator, clan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, Berta
berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
7. jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk
mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang
sesuai dengan tujuan pendidikan.
8. jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan
berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan
dicapai, clan kemampuan yang dikembangkan.
9. jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada
kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.
10. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan
informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
11. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi.
12. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan
formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
13. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
14. Pendidikan anak usia diri adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun
yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk
membantu pertumbuhan clan perkembangan jasmani dan rohani agar
anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
15. Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya
terpisah dari pendidik clan pembelajarannya menggunakan berbagai
sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.
16. Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan
berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, clan potensi
masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, clan untuk
masyarakat.
17. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem
pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
18. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti
oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah clan
pemerintah daerah.
19. Kurikulum adalah seperangkat rencana clan pengaturan mengenai
tujuan, isi, can bahan pelajaran serta cara yang cligunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu.
20. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik
clan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
21. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, clan
penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen
pendidikan pada setiap jalur, jenjang, can jenis pendidikan
sebagai bentuk pertanggung jawaban penyelenggaraan pendidikan.
22. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam
satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
23. Sumber day a pendidikan adal ah segala sesuatu yan g
clipergun akan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi
tenaga kependidikan, masyarakat, clang, sarana, can prasarana.
24. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan
berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan
25. Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang
beranggotakan orang tu g /wall peserta didik, komunitas sekolah,
serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
26. Warga negara adalah Warga Negara Indonesia balk yang tinggal di
wilayah Negara Kesatuan Republ ik Indonesia maupun di luar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
27. Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia
nonpemerintah yang mempunyai perhatian clan peranan dalam bidang
pendidikan.
28. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
29. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Propinsi, Pemerintah
Kabupaten, atau Pemerintah Kota.
30. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang
pendidikan nasional.

B A B I I
D ASAR, FUNG SI, D AN TUJUAN
Pasal 2

Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang -Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

BAB III
PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Pasal 4

(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak


diskriminatifdengan menjunjungtinggi hakasasi manusia, nilai keagamaan,
nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan
lenggaraar sistem terbuka dan multimakna.
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pen didik an dis ele nggarak an de ngan me mbe ri k e telaclan an ,
memban gun
kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran.
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca,
menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan clan pengendalian
mutu layanan pendidikan.

BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA,
ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH
Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Warga Negara
Pasal 5
(1 ) Se ti ap warga n egara mempuny ai h ak y an g s ama un tuk mempe rol eh
pendidikan yang bermutu.
(2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
(3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat
y an g terpe n cil be rh ak me mpe role h pe ndidik an lay an an k hus us .
(4 ) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan clan bakat istimewa
berhak memperoleh pendidikan khusus.
(5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pen -
didikan sepanjang hayat.
Pasal 6
(1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima betas tahun
wajib mengikuti pendidikan dasar.
(2) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
penyelenggaraan pendidikan.

Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Orang Tua
Pasal 7

(1) Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan
memperoleh inf ormasi tentang perkembangan pendidikan an aknya.
(2) Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan
pendidikan dasar kepada anaknya.

Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 8

Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan,


pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. man
Pasal 9
Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penye -
lenggaraan pendidikan.
Bagian Keempat
Hak dan Kewajiban Pemerintah
dan Pemerintah Daerah
Pasal 10
Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing,
membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 11
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan clan
BAB V
PESERTA DIDIK
Pasal 12

(1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:


a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama;
b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, clan
kemampuannya;
c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak
mampu membiayai pendidikannya;
d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak
mampu membiayai pendidikannya;
e. pindah ke program pendidikan pada jalur clan satuan pendidikan lain yang
setara;
f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar
masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang
ditetapkan.
(2) Setiap peserta didik berkewajiban:
a. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan
proses clan keberhasilan pendidikan;
b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi
peserta didik yang clibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)Warga Negara asing dapat menjacli peserta didik pada satuan pendidikan
yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai hak clan kewajiban peserta didik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB VI
JALUR, JENJANG, DAN JENIS PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
UMUM
Pasal 13
(1) jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, clan informal
yang dapat Baling melengkapi dan memperkaya.
(2) Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan dengan
sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh.
Pasal 14

jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah,


clan pendidikan tinggi.
Pasal 15

jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,


vokasi, keagamaan, clan khusus.
Pasal 16

Jalur, jenjang, clan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/
atau masyarakat.

Bagian Kedua
Pendidikan Dasar
Pasal 17

(1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang


pendidikan menengah.
(2) Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) clan Madrasah lbtidaiyah
(MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP)
clan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
(3) Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) clan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Pendidikan Menengah
Pasal 18

(1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.


(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan
pendidikan menengah kejuruan.
(3) Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah
Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), clan Madrasah Aliyah
Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
(4) Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksu d
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Keempat
Pendidikan Tinggi
Pasal 19

(1) Pend id ikan ti nggi meru pakan jenjang pendiclikan setelah pend id i kan menengah
yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan
doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
(2) Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.

Pasal 20

(1) Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah


tinggi, institut, atau universitas.
(2) Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan,
penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi,
dan/ atau vokasi.
(4)Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 21

(1) Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian clan


dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu
dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan
program pendidikan yang diselenggarakannya.
(2) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang
bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik,
profesi, atau vokasi.
(3) Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan
dari perguruan tinggi yang
(4) dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(5) Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi
hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari
perguruan tinggi yang bersangkutan.
(6) Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan
pendirian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ) atau penyelenggara
pendidikan bukan perguruan tinggi yang melakukan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi administratif
berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan.
(7) Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh
penyelenggara pendidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau penyelenggara pendidikan
yang bukan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dinyatakan tidak sah.
(8) Ketentuar mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturar Pemerintah.
Pasal 22

Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor


berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa)
kepada setup individu yang layak memperoleh penghargaan
berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau
seni.
Pasal 23

(1) Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru
besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama
yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di
perguruan tinggi.
Pasal 24

(1) Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu


pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik
dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.

(2) Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri


lembaganya sebagai p usat penyelenggaraan pendidikan tinggi,
penelitian ili-niah, dan pengabdian kepada masyarakat.

(3) Perguruan tinggi clapat memperoleh sumber clan g dari masyarakat


yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas
publik.

(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), clan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
(1) Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk menclapatkan
gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(2) Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk mem -
peroleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan -jiplakan
dicabut gelarnya.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan clan pencabutan gelar akademik,
profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) clan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Pendidikan Nonformal
Pasal 26

(1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memer -


lukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai penggand, penambah, clan/
atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka men -clukung pendidikan
sepanjang hayat.
(2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik
dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan clan keterampilan fung -
sional serta pengembangan sikap clan kepribadian profesional.
(3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak
usia dini, pendidikan kepemuclaan, pendidikan pemberdayaan perem puan,
pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan clan pelatihan kerja,
pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik.
(4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan,
kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, clan majelis taklim, serta
satuan pendidikan yang sejenis.
(5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan
bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk
mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri,
dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
(6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh
lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan.
(7) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat
(6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Pendidikan Informal
Pasal 27

(1) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan
berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
(2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan
pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai
dengan standar nasional pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketujuh
Pendidikan Anak Usia Dini
Pasal 28

(1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan


dasar.
(2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan
formal, nonformal, dan/atau informal.
(3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman
Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
(4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk
Kelompok Germain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang
sederajat.
(5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan
keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
(6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), can ayat (4) diatur lebih lanju t dengan
Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan
Pendidikan Kedinasan
Pasal 29

(1) Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggara k an


oleh departemen atau lembaga pemerintah nonde partemen.

(2) Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan clan keterampilan


dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai can talon pegawai negeri
suatu departemen atau lembaga pemerintah non-departemen.

(3) Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui ja lur pendidikan formal dan


nonformal.
(4) Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Kesembilan
Pendidikan Keagamaan
Pasal 30

(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok


masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi


anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran
agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
nonformal, dan informal.
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman,
pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), ayat (3), clan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Kesepuluh
Pendidikan jarak jauh
Pasal 31
(1) Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan.
(2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada
kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap
muka atau reguler.
(3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus,
dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar Berta sistem
penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional
pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesebelas
Pendidikan Khusus dan
Pendidikan Layanan Khusus
Pasal 32
(1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan
fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa.
(2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di
daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/
atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi
ekonomi.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendi dikan
layanan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
BAHASA PENGANTAR
Pasal 33

(1) Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam
pendidikan nasional.
(2)Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap
awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan
dan/atau keterampilan tertentu.
(3)Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan
pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta
didik.

BAB VIII
WAJIB BELAJAR
Pasal 34

(1) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program
wajib belajar.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terse I enggara nya wajib
belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

(3) Wajib belajar merupakan tanggungjawab negara yang diselenggarakan oleh


lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan rnasyarakat.
Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
Pasal 35
(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan,
tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan
penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
(2) Standar nasional pendidikan cligunakan sebagai acuan pengembangan
kurikulum, tenaga kependidikan, sarana clan prasarana, pengelolaan, dan
pembiayaan.
(3) Pengembangan standar nasional pendidikan Berta pemantauan dan pelaporan
pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi,
penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai standar nasional p endidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), clan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB X
KURIKULUM
Pasal 36
(1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar
nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan
prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan
peserta didik.
(3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidika n dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan
a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
C. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global; dan
j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
(4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 37
(1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan;
C. bahasa;
d. matematika;
e. ilmu pengetahuan alam;
f. ilmu pengetahuan sosial;
g. seni dan budaya;
h. pendidikan jasmani dan olahraga;
i. keterampilan/kejuruan; dan
j. muatan lokal
(2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan; dan
c. bahasa.
(3) Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 38

(1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah
ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan
relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervise din g s pendidikan atau
kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan
Propinsi untuk pendidikan menengah.
(3) Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang
bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk
setiap program studi.
(4) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh
perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk setiap program studi.

B A B X I
PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Pasal 39

(1) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan,


pengembangan, pengawasan, clan pelayanan teknis untuk menunjang
proses pendidikan pada satuan pendidikan.
(2) Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan clan pelatihan, Berta melakukan penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Pasal 40

(1) Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:


a. penghasilan clan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan
memadai;
b. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
d. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas clan hak atas hasil
kekayaan intelektual; clan
f. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, clan fasilitas
pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
(2) Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:
a. menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan,
kreatif, dinamis, clan dialogist
b. mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu
pendidikan; dan
c. memberi teladan dan menjaga nama balk lembaga, profesi, clan
keduclukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Pasal 41

(1) Pendidik clan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah.

(2) Pengangkatan,penempatan,danpenyebaranpendidikdantenagakependidikan
diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan
pendidikan formal.

(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan
pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terse I
enggara nya pendidikan yang bermutu.

(4) Ketentuan mengenai pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 42
(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi s esuai dengan
jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, Berta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2) Pendidik untuk pendidikan formal p ada jenjang pendidikan usia dini,
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan
oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
(3) Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 43

(1) Promosi dan p enghargaan bagi pendidikdan tenaga kependidikan dilakukan


berdasarkan latar belakang pendidikan, p engalaman, kemampuan, clan
prestasi kerja dalam bidang pendidikan.
(2) sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki
program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
(3) Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pend id i k sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) clan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 44

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membina dan mengembangkan


tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

(2) Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat berkewajiban membina clan


mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang
diselenggarakannya.

(3) Pemerintah clan Pemerintah Daerah wajib membantu pembinaan clan


pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang
diselenggarakan oleh masyarakat.

BAB X11
SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN
Pasal 45

(1) Setiap satuan pendidikan formal clan nonformal menyediakan sarana clan
prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan
clan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, clan
kejiwaan peserta didik.
(2) Ketentuan mengenai penyediaan sarana clan prasarana pendidikan pada
semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

B A B X 1 1 1
P E ND AN A AN P E N D ID IK AN
Bagian Kesatu
Tanggung Jawab P endanaan
Pasal 46

(1) Pendanaanpendidikanmenjaditanggungjawabbersamaantarapemerintah,
pemerintah daerah, clan masyarakat.
(2) Pemerintah clan Pemerintah Daerah bertanggungjawab menyediakan
anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang -
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Ketentuan mengenai tanggung jawab penclanaan pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) clan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua
Sumber Pendanaan Pendidikan
Pasal 47

(1) Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasar kan prinsip keadilan,


kecukupan, clan keberlanjutan.

(2)Pemerintah, Pemerintah Daerah, clan masyarakat mengerahkan sumberclaya


yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan mengenai

(3) Sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) clan ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Pengelolaan Dana Pendidikan
Pasal 48

(1) Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi,


transparansi, clan akuntabilitas publik.
(2) Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Pengalokasian Dana Pendidikan
Pasal 49

(1)Dana pendidikan selain gaji pendidik clan biaya pendidi kan kedinasan
dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan clan Belanja
Negara (APBN) pada sektor pendidikan clan minimal 20% dari Anggaran
Pendapatan clan Belanja Daerah (APED).
(2)Gaji guru clan dosen yang diangkat oleh pemerintah dialokasikan dalam
Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara (APBN).
(3)Dana pendidikan dari pemerintah clan pemerintah daerah untuk satuan
pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(4)Dana pendidikan dari pemerintah kepada peme rintah daerah diberikan
dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang -undangan yang
berlaku.
(5) Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) d iatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
B A B X I V
PENGELOLAAN PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 50
(1) Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri.
(2) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan stanclarnasional pendidikan
untuk menjamin mutu pendidikan nasional.
(3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang -
kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
(4) Pemerintah Daerah Propinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan
pendidikan.
(5) pengembangantenagakependidikan,dan penyediaanfasilitaspenyelenggaraan
pendidikan limas daerah Kabupaten/Kota untuk tingkat pendidikan dasar dan
menengah.
(6) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan
menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
(7) Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam me -
ngelola pendidikan di lembaganya.
(8) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 51
(1) Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pen -
didikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal
dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. (2) Pengelolaan satuan
pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas,
jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.
(3) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat 0) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 52

(1) Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh pemerintah,


pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
(2) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan nonformal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Badan Hukum Pendidikan
Pasal 53

(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang d idirikan oleh


pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi
memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip
nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan
pendidikan.
(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang
tersendiri

BAB XV
PERAN SERTA MASYARAKAT
DALAM PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
UMUM
Pasal 54

(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan,
kelompok, kel uarga, organ isasi profesi, pengusaha, clan organ isasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan.
(2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, clan pengguna
hasil pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) clan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pasal 55
(1)Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat
pada pendidikan formal clan nonformal sesuai dengan kekhasan ag ama,
lingkungan social, clan budaya untuk kepentingan masyarakat.
(2)Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan clan me -
laksanakan kurikulum clan evaluasi pendidikan, serta manajemen clan
pendanaannya sesuai dengan stanclar nasional pendidikan.
(3)Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber
dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan/
atau sumber lain yang ticlak bertentangan dengan peraturan perunclang -
unclangan yang berlaku.
(4)Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis,
subsidi dana, clan sumber daya lain secara adil clan merata dari pemerintah
dan/atau pemerintah daerah.
(5)Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Ketiga
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah
Pasal 56
(1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang
meliputi perencanaan, pengawasan, clan evaluasi program pendidikan
melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
(2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk clan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimban gan,
arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan
pendidikan pada tingkat Nasional, Provinsi, clan Kabupaten/ Kota yang ticlak
mempunyai hubungan hirarkis.
(3) Kom iteseko I a h/m ad rasa h, sebagai lembaga mandiri, dibentuk d an berperan
calam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan,
arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan
pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/
madrasah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

B A B X V I
EVALUASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI
Bagian Kesatu
Evaluasi
Pasal 57

(1) Evaluasi dilakukan dalam rangka p engencalian mutu pendidikan secara


nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.

(2) Evaluasi dilakukan terhadap p eserta didik, lembaga, dan program pen -
didikan pada jalur formal can nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan
jenis pendidikan.
Pasal 58
(1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau
proses, kemajuan, dan p erbaikan hasil belajar peserta didik secara berke -
sinambungan.
(2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan
oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik
untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

Pasal 59

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola,


satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

(2) Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang


mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58.
(3) Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) clan ayat
(2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Akreditasi
Pasal 60
(1) Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan
pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal pada setup jenjang
dan jenis pendidikan. Akreditasi terhadap program clan satuan pendidikan
dilakukan oleh manajemen
pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk
akuntabilitas publik.
(2) Akreditasi dilakukan atas clasar kriteria yang bersifat terbuka.
(3) Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), aya t
(2), clan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
sertifikasi
Pasal 61
(1) Sertifikat berbentuk ijazah clan Sertifikat kompetensi.
(2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi
belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian
yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.
(3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan clan
lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai
pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus
uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan
yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
(4) Ketentuan mengenai sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), clan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

B A B X V I I
PENDIRIAN SATURN PENDIDIKAN
Pasal 62

(1) Setiap satuan pendidikan formal can nonformal yang didirikan wajib
memperoleh izin pemerintah atau pemerintah caerah.
(2) Syarat-syarat untuk memperoleh izin, meliputi isi pendidikan, jumlah
dan kualifikasi pencliclik dan tenaga kependidikan, sarana clan p rasarana
pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta
manajemen dan proses pendidikan.
(3) Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberi atau mencabut izin pendirian
satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang -undangan yang
berlaku.
(4) Ketentuan mengenai pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), clan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 63

Satuan pendidikan yang didirikan dan diselenggarakan oleh Perwakilan Republik


Indonesia di negara lain menggunakan ketentuan undang-undang ini.

B A B X V I I I
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
OLEH LEMBAGA NEGARA LAIN
Pasal 64

Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di


wilayah Nvgara Kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara
asing, dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang
bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.
Pasal 65
(1) Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya
dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar clan menengah
wajib memberikan pendidikan agama clan kewarganegaraan bagi peserta
didik Warga Negara Indonesia.
(3) Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga
pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
mengikutsertakan tenaga pendidik clan pengelola Warga Negara Indonesia. ofe
(4) Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain a
yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia O
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana ba
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), clan ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIX
PENGAWASAN
Pasal 66
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dewan pendidikan, can komite sekolah/
madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada
semua jenjang clan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing -
masing. de
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
prinsip transparansi clan akuntabilitas publik. l
(3) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 67

(1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan


(4) Setiap ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, clan/ atau
vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun
can/atau dengan pidana denda paling banyak Rp 1 .000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(2) Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal
21 ayat(5)dan masih beroperasidipidanadengan piclanapenjara paling lama
sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rpl.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(3) Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau
profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun can/atau pidana denda paling banyak Rp
1 .000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
1 .000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 68

(1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi,


gelar akademik, profesi, can/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak
memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
(2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar
akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan
yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling
lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan
bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru
besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 69
(1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar
akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan
pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah
dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat
(2) dan ayat (3) yang terbukti p alsu dipidana dengan pidana penjara paling
lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).

Pasal 70
Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar
akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2)
terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
Pasal 71
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin pemerintah atau
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp 1 .000.000.000,00 (sate miliar rupiah).
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 72
Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang pada saat undang-undang
ini diundangkan belum berbentuk badan hukum pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang -
undang yang mengatur badan hukum pendidikan.
Pasal 73
Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib memberikan izin paling lambat dua
tahun kepada satuan pendidikan formal yang telah berjalan pada saat undang -
undang ini diundangkan belum memiliki izin
Pasal 74

Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3390) yang ada pada saat diundangkannya undang -undang ini masih tetap
berlaku sepanjang ticlak bertentangan clan belum diganti berdasarkan Undang -
undang ini.

B A B X X I I
KE TE NTUAN PE NUTUP
Pasal 75

Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan


undang-undang ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak
berlakunya Undang-undang ini.

Pasal 76

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-Undang Nomor 48/


Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembara n
Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3390) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 77
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang -
undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Diundangkan di Jakarta Disahkan di Jakarta


pada Tanggal 8 Juli 2003 pada Tanggal 8 Juli 2003
Sekretaris Negara Republik Indonesia, Presiden Republik Indonesia,

Bambang Kesowo Megawati Soekarnoputri

Anda mungkin juga menyukai