1.modul RDE-01 Final PDF
1.modul RDE-01 Final PDF
MODUL
RDE - 01: ETIKA PROFESI, ETOS KERJA,
UNDANG-UNDANG JASA
KONSTRUKSI DAN
UNDANG-UNDANG JALAN
2005
MyDoc/Pusbin-KPK/Draft1
Modul RDE 01 : Etika Profesi, Etos Kerja, UUJK dan UU Jalan Kata Pengantar
KATA PENGANTAR
Modul ini berisi bahasan mengenai etika profesi, etos kerja, UUJK (undang-
undang Jasa Konstruksi) dan Undang-undang Jalan.
Berkaitan dengan lingkup UUJK dibahas di dalamnya usaha jasa konstruksi,
peran masyarakat, pengikatan pekerjaan konstruksi, penyelenggaraan jasa
konstruksi, kelembagaan dalam penyelenggaraan jasa konstruksi, penyelesaian
sengketa dan sanksi terhadap pelanggaran serta bahasan mengenai etika profesi
termasuk kode etik yang ada pada asosiasi-asosiasi yang terlibat secara langsung
terhadap penyelenggaraan jasa konstruksi.
Selain itu juga diketengahkan Undang-undang Jalan No. 38/2004 sebagai
pengganti Undang-undang Jalan lama No. 13/1980. Undang-undang baru ini
dibuat sehubungan dengan adanya perkembangan otonomi daerah, tantangan
persaingan global, dan tuntutan peningkatan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan jalan.
Demikian modul ini dipersiapkan untuk membekali Road Design Engineer dengan
pengetahuan yang berkaitan dengan aspek hukum dan aspek non teknis lainnya
agar produk desain yang disiapkannya sudah mempertimbangkan aspek-aspek
lain yang riil berlaku di dalam upaya memberikan pelayanan kepada publik atau
pengguna jalan.
LEMBAR TUJUAN
NOMOR : RDE 01
TUJUAN PELATIHAN :
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
LEMBAR TUJUAN ii
DAFTAR ISI iv
DESKRIPSI SINGKAT PENGEMBANGAN
MODUL PELATIHAN AHLI TEKNIK
DESAIN JALAN (Road Design
Engineer) vi
DAFTAR MODUL vii
PANDUAN INSTRUKTUR viii
RANGKUMAN
DAFTAR PUSTAKA
HAND OUT
1. Kompetensi kerja yang disyaratkan untuk jabatan kerja Ahli Teknik Desain
Jalan (Road Design Engineer) dibakukan dalam Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang didalamnya telah ditetapkan unit-unit
kerja sehingga dalam Pelatihan Ahli Teknik Desain Jalan (Road Design
Engineer) unit-unit tersebut menjadi Tujuan Khusus Pelatihan.
2. Standar Latihan Kerja (SLK) disusun berdasarkan analisis dari masing-
masing Unit Kompetensi, Elemen Kompetensi dan Kriteria Unjuk Kerja yang
menghasilkan kebutuhan pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku dari
setiap Elemen Kompetensi yang dituangkan dalam bentuk suatu susunan
kurikulum dan silabus pelatihan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan
kompetensi tersebut.
3. Untuk mendukung tercapainya tujuan khusus pelatihan tersebut, maka
berdasarkan Kurikulum dan Silabus yang ditetapkan dalam SLK, disusun
seperangkat modul pelatihan (seperti tercantum dalam Daftar Modul) yang
harus menjadi bahan pengajaran dalam pelatihan Ahli Teknik Desain
Jalan (Road Design Engineer).
DAFTAR MODUL
Nomor
Kode Judul Modul
Modul
Etika Profesi, Etos Kerja, UUJK, dan UU
1 RDE 01
Jalan
2 RDE 02 Manjemen K3, RKL dan RPL
PANDUAN INSTRUKTUR
A. BATASAN
B. KEGIATAN PEMBELAJARAN
Waktu = 35 menit
4. Ceramah Bab III Mengikuti ceramah dengan tekun OHT
Undang-Undang Jalan dan memperhatikan hal-hal penting
Latar Belakang yang perlu di catat
Penyelenggaraan Jalan Mengajukan pertanyaan apabila
Asas Penyelenggaraan kurang jelas atau sangat berbeda
Jalan dengan fakta dilapangan dan atau
pengalaman
Bagian-Bagian Jalan
Pengelompokan Jalan
Kewenangan
Penyelenggaraan Jalan
Kewajiban Memrioritaskan
Pemeliharaan Jalan
Standar Pelayanan
Minimal
Laik Fungsi
Pemberian Izin,
Rekomendasi, Dispensasi
Dan Pertimbangan
Pemanfaatan Ruang-
Ruang Jalan
Penyelenggaraan Jalan
Tol
Pokok-Pokok Pengaturan
Jalan Tol
Pengaturan Pengadaan
Tanah
Peran Masyarakat
Larangan-Larangan
Waktu = 35 menit
BAB I
ETIKA PROFESI DAN ETOS KERJA
1.1. UMUM
Etika profesi akan merupakan komitmen pribadi seorang profesional dalam menjalankan
tugas-tugas profesionalismenya untuk tetap memegang teguh nilai-nilai kepatutan dan
kejujuran intelektualnya.
Dengan demikian di samping nilai-nilai keilmuan, nilai-nilai kepatutan dan kejujuran dalam
bentuk etika profesi merupakan unsur yang paling penting dalam menjalankan
penyelenggaraan jasa konstruksi dan hal tersebut memberikan andil besar dalam
mewujudkan tujuan pengaturan jasa konstruksi yakni terwujudnya struktur usaha yang
kokoh, andal, bersaing tinggi, dan hasil pekerjaan yang berkualitas, serta terwujudnya tertib
penyelenggaraan konstruksi.
Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran
Masyarakat Jasa Konstruksi mengamanatkan bahwa asosiasi perusahaan maupun asosiasi
profesi wajib memiliki dan menjunjung tinggi kode etik asosiasi.
Kode etik asosiasi pada dasarnya merupakan penjabaran dari prinsip-prinsip dasar norma
dan nilai luhur yang menjadi pegangan dalam melaksanakan kegiatan profesi para
anggotanya.
Kode etik tersebut akan merupakan tuntunan untuk para anggota asosiasi yang
bersangkutan dalam menjalankan tugas-tugas keprofesionalannya pada penyelenggaraan
jasa konstruksi dalambebagai situasi dan kondisi
Pelanggaran terhadap kode etik asosiasi akan berakibat dikenakannya sanksi oleh asosiasi
yang bersangkutan.
Berikut ini adalah kode etik yang dimiliki oleh beberapa asosiasi profresi yang memberikan
gambaran bahwa sikap professional dalam penyelenggaraan jasa konstruksi diikat oleh etika
profesi dan etos kerja. Butir-butir kode etik tersebut substansinya adalah etika profesi dan
etos kerja yang harus dimiliki oleh para professional, agar setiap langkah yang dilakukan dan
terkait dengan kegiatan jasa konstruksi dilandasi oleh etika profesi dan etos kerja yang dapat
dipertanggungjawabkan.
1. Menjunjung tinggi dan mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
2. Menghormati dan menghargai profesinya sebagai kontraktor.
3. Tidak melakukan tindakan mempengaruhi dalam memenangkan tender.
4. Tidak memberi atau menerima imbalan dalam memenangkan tender.
5. Tidak berusaha mendapatkan data penawaran rekan dalam pra-tender.
6. Tidak berusaha mengubah harga dan kondisi penawaran setelah tender ditutup.
7. Tidak membajak tenaga kerja sesama anggota.
8. Tidak menyabot baik langsung maupun tak langsung nama baik, kesempatan dan usaha
sesama anggota.
9. Berpartisipasi dalam pelatihan, penelitian, dan tukar-menukar isi informasi sebagai
bagian dari tanggung jawab kepada masyarakat dan industri jasa konstruksi.
Sebagai standar moral bagi setiap anggota yang tergabung dalam organisasi profesi HPJI,
disusunlah PRINSIP DASAR tentang norma dan nilai luhur yang disepakati bersama untuk
menjadi pegangan, dihayati, dan harus selalu dijunjung tinggi dalam melaksanakan kegiatan
profesi.
Selanjutnya Prinsip Dasar tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam KODE ETIK yang akan
menjiwai setiap langkah para anggota HPJI dalam mengemban tugas-tugas
keprofesionalannya.
Kemudian Kode Etik tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk KAIDAH UMUM TATA
LAKU yang merupakan pedoman umum anggota untuk menghadapi situasi dan kondisi
beragam yang timbul di suatu saat dalam menjalankan tugas profesinya dan sekaligus
merupakan ciri-ciri tindak keprofesionalannya. Pedoman umum ini memuat kaidah-kaidah
dalam hubungan-hubungan pelaksanaan tugas anggota HPJI dengan masyarakat, rekan
seprofesi dan profesi lain yang terkait serta hubungan dengan pemberi tugas.
1. Menjunjung tinggi keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Menggunakan pengetahuan dan kemampuan untuk kesejahteraan umat manusia secara
berkelanjutan.
3. Bekerja secara profesional untuk kepentingan masyarakat, bangsa, negara dan
organisasi.
4. Meningkatkan pengetahuan dan kompetensi serta menjunjung tinggi martabat
profesinya.
1. Anggota HPJI wajib bertindak konsekuen, jujur dan adil dalam menjalankan profesinya
2. Anggota HPJI wajib menghormati profesi lain dan tidak boleh merugikan nama baik serta
profesi orang lain.
3. Anggota HPJI wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan tidak merugikan
kepentingan umum khususnya yang menyangkut lingkungan.
4. Anggota HPJI setia dan taat pada perturan dan perundang-undangan yang berlaku.
5. Anggota HPJI harus bersedia memberi bimbingan dan pelatihan untuk peningkatan
profesionalisme sesama anggota.
6. Anggota HPJI wajib memenuhi baku kinerja dan tanggung jawab profesi dengan
integritas tinggi dan tidak akan menerima pekerjaan di luar bidang keahlian teknisnya.
7. Anggota HPJI wajib menjunjung tinggi martabat profesi, bersikap terhormat, dapat
dipercaya, dan bertanggung jawab secara profesional berazaskan kaidah keilmuan,
kepatutan dan kejujuran intelektual.
8. Anggota HPJI dengan menggunakan pengetahuan & keahlian yang dimilikinya wajib
menyampaikan pendapat dan pernyataan dengan jujur berdasarkan bukti dan tanpa
membedakan.
1. Kejujuran (honesty).
2. Keadilan (fairness).
3. Satunya pikiran, ucapan dan tindakan (integrity).
4. Dapat dipertanggungjawabkan (accountability).
5. Kebertanggungjawaban (responsibility)
6. Kesetiaan kepada bangsa dan negara (loyalty).
7. Tepat janji (commited).
8. Menghormati orang lain (respect to other)
9. Mengutamakan kepentingan masyarakat (community)
10. Menjanjikan karya terbaik (pursuit to excellence)
11. Mendukung perkembangan ilmu pengetahuan.
12. Mengupayakan dan menjaga pelestarian lingkungan.
kerja itu sendiri yang mencakup idealisme yang mendasari, prinsip-prinsip yang mengatur,
nilai-nilai yang menggerakkan, sikap-sikap yang dilahirkan, standar-standar yang hendak
dicapai, termasuk karakter utama, pikiran dasar, kode etik, kode moral, dan kode perilaku
bagi para pelakunya.
Jadi, jika seseorang, suatu organisasi, atau suatu komunitas menganut paradigma kerja
tertentu, percaya padanya secara tulus dan serius, serta berkomitmen pada paradigma kerja
tersebut maka kepercayaan tersebut akan melahirkan sikap kerja dan perilaku kerja mereka
secra khas dan itulah yang disebut sebagai etos kerja mereka, dan sekaligus sebagai
budaya kerja mereka.
Jansen H Sinamo (2005) memformulasikan etos kerja sebagai 8 (delapan) paradigma kerja
Dengan ke delapan etos kerja tersebut dapat menjadi landasan utama dalam menuju sukses
secara komprehensif dalam mencapai tujuan kerja semua tingkat: pribadi, organisasi,
Kerja adalah rahmat adalah merupakan paradigma dan pengakuan bahwa kerja adalah
anugerah Tuhan Yang Maha Pengasih yang akan selalu memelihara hidup kita.
Paradigma kerja adalah rahmat yang patut disyukuri didasarkan pada 5 (lima) alasan:
Pertama, pekerjaan adalah itu sendiri pada hakekatnya adalah berkat Tuhan Sang
Pemelihara yang lewat pekerjaan itu memelihara kita dengan upah yang kita terima.
Kedua, di samping upah finansial, kita juga menerima imbalan lain seperti jabatan,
fasilitas, tunjangan dan kemudahan, yang juga merupakan rahmat yang patut kita sukuri.
Pelatihan Road Design Engineer (RDE) I-8
Modul RDE 01 : Etika Profesi, Etos Kerja, UUJK dan UU Jalan Bab I Etika Profesi dan Etos Kerja
Ketiga, talenta yang menjadi basis keahlian kita yang pada dasarnya adalah rahmat dari
Keempat, bahan baku yang kita terima, kita pakai, dan kita olah dalam melaksanakan
Kelima, dalam bekerja, kita semua terlibat dalam suatu jaringan antar manusia yang
fungsional, hirarkis dan sinergis, yang kemudian terbentuk kelompok kerja,, profesi,
korps dan sekaligus komunitas. Semua ini memberikan identitas kepada kita yang di
Dengan berlandaskan pada kelima alasan tersebut maka kita dalam bekerja akan selalu
Amanah titipan berharga yang dipercayakan kepada kita atau aset penting yang yang
dipasrahkan kepada kita. Konsekuensinya, sebagai penerima amanah, kita secara moral
terikat untuk melaksanakan amanah itu dengan baik dan benar.Selanjutnya amanah
melahirkan tanggungjawab yang harus dilaksanakan secara baik dan benar sesuai nilai
amanah itu sendiri. Dalam melaksanakan suatu tanggungjawab, tidaklah boleh sekedar
formalitas, tetapi harus betul-betul dilakukan secara benar, baik esensialnya, spiritnya,
Dengan uraian di atas, Etos Kerja 2 Kerja Adalah Amanah adalah Aku Bekerja Benar
Penuh Tanggungjawab.
Semua orang diciptakan oleh Sang Pencipta mempunyai darma, panggilan, dan
kewajiban suci dalam hidup ini, baik sebagai anggota keluarga, warga organisasi, warga
Setiap orang mempunyai panggilan hidup yang spesifik yang harus dijawab, dijalani dan
dilakoni melalui profesi. Untuk menjawab, menjalani, memenuhi dan melakoni panggilan
itu, setiap orang dikaruniai dengan berbagai kemampuan seperti: bakat, talenta,
Menunaikan kerja sebagai panggilan, yang harus dilakoni secara tuntas, secar internal
akan membangun karakter integritas dalam diri kita. Integritas di sini berarti menunaikan
panggilan kita hingga tuntas selesai. Integritas merupakan pengertian yang utuh atas
sikap jujur pada diri kita sendiri, penerimaan dan pengakuan oleh para konstituen,
penunaian pekerjaan secara sepenuh hati, segenap pikiran, dan seluruh tenaga kita.
Secara internal etos kerja ini menjadi instrumen dalam proses pengembangan diri kita
menjadi manusia yang berintegritas. Secara eksternal, berkat integritas yang kita
tunjukkan maka kita akan dipercaya oleh mitra kerja kita, baik vertikal maupun horisontal
a. komitmen, janji yang harus ditepati, untuk menunaikan darma hingga tuntas,
b. berarti memenuhi tuntutan darma dan profesi dengan segenap hati, segenap
d. berarti bersikap sesuai dengan tuntutan hati nurani, memenuhi panggilan hati
untuk bertindak dan berbuat yang benar dengan mengikuti aturan dan prinsip
Dengan demikian, Etos Kerja 3 Kerja Adalah Panggilan adalah Aku Bekerja Tuntas
Penuh Integritas.
Aktualisasi adah proses membuat suatu potensi menjadi aktual, menjadi nyata. Proses
yang membuat potensi menjadi kenyataan tersebut adalah kerja keras. Artinya bahwa
kerja keras adalah berfungsi sebagai wahana aktualisasi diri bagi sang manusia pekerja.
Berbeda dengan orang yang kecanduan kerja (workaholic) yang memandang kerja
sebagai pemberi rasa aman, sebagai raja yang menguasai seluruh hidupnya, sebagai
a. Pekerja keras menghayati kerja sebagai ongkos mencapai visi dan tujuan yang
b. Pekerja keras bisa membatasi diri sehingga masih tersedia waktu untuk untuk
Dengan demikian Etos Kerja 4 Kerja Adalah Aktualisasi adalah: Aku Bekerja Keras
Penuh Semangat
Makna ibadah adalah persembahan diri, penyerahan diri, yang dilandasi kesadaran
mendalam dan serius; kesadaran bahwa kita berutang cinta kepada Dia yang kita abdi
dan kita puja; bahwa kita telah menerima cinta sepenuh-penuhnya, maka kita pun patut
mengabdi dengan sepenuh-penuh cinta pula. Berarti biribadah adalah mengabdi kepada
Ibadah adalah upaya untuk selalu memberi dalam bekerja dan tujuan ibadah yang
terpenting adalah agar kita biasa bekerja serius namun penuh kecintaan. Dengan cinta,
kita bisa melihat keagungan di dalam, di balik, dan di ujung pekerjaan kita, sehingga
tercipta ikatan batin antara sang pekerja dan pekerjaannya yang akan meningkatkan
kualitas motivasi, sikap, dan kebiasaan kerja, kualitas kerja, kepribadian dan karakter
serta martabat diri kita ke tingkat yang lebih mulia, serta harga finansial kita di bursa
tenaga kerja. Tujuan kerja sebagai ibadah ialah God satisfaction, lebih daripada sekedar
customer satisfaction.
Etos Kerja 5 Kerja Adalah Ibadah adalah: Aku Bekerja Serius Penuh Kecintaan.
Bekerja adalah berkesenian. Kerja sebagai seni yang mendatangkan kesukaan dan
gairah kerja bersumber pada aktivitas-aktivitas kreatif, artistik dan interaktif. Kerja yang
dilakoni dengan penuh kesukaan akan membuat kita dipenuhi dengan daya cipta, kreasi-
kreasi baru, dan gagasan inovatif. Hasilnya, buah pekerjaan kita akan disukai orang lain,
Etos seni adalah penjabaran pengalaman artistik kita, yaitu ekspresi budi-akhlak-iman
kita dalam ungkapan-ungkapan estetik yang berwujud karya-karya, yang pada gilirannya
Pekerjaan yang dihayati sebagai seni terutama kelihatan dari kemampuan kita berfikir
Etos 6 Kerja Adalah Seni adalah: Aku Bekerja Cerdas Penuh Kreativitas.
Kerja adalah kehormatan karena berkarya dengan kemampuan sendiri adalah suatu
kebajikan sosial di mana kita diakui sebagai manusia produktif dan kontributif. Mencari
kehormatan merupakan salah satu motivasi yang terkuat dalam struktur hati manusia
yang adalah ekspresi langsung spiritualitas terbaik kita. Kehormatan berarti menunjukkan
perilaku yang etis dan menjauhi perilaku kerja yang nista. Orang yang mampu menjaga
kehormatan, terutama secara moral dan profesional, biasanya akan diberi kehormatan
yang lebih tinggi lagi dalam bentuk jabatan atau pangkat yang lebih tinggi.
Bagi manusia terhormat, tujuan kehormatan yang terpenting adalah agar dia selalu
Dengan demikian Etos Kerja 7 Kerja Adalah Kehormatan adalah: Aku Bekerja Tekun
Penuh Keunggulan.
Apapun pekerjaan kita pada hakikatnya kerja adalah untuk melayani. Secara sosial
pelayanan adalah hal yang mulia, karena itu hakikat pekerjaan kita pun mulia dan
Etos pelayanan yang berporoskan sikap altruistik -yang berarti tidak mementingkan diri
sendiri- dan idealisistik sangat penting bukan saja sebagai strategi sukses sejati, tetapi
juga langkah utama untuk memanusiakan diri kita. Tujuan pelayanan yang terpenting
Jadi Etos 8 Kerja Adalah Pelayanan adalah berarti : Aku Bekerja Sempurna Penuh
Kerendahan Hati.
BAB II
UNDANG-UNDANG JASA KONSTRUKSI
2.1. UMUM
Jasa konstruksi yang menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau bentuk fisik
lainnya, baik dalam bentuk prasarana maupun sarana pendukung pertumbuhan dan
perkembangan berbagai bidang terutama bidang ekonomi, sosial, dan budaya, mempunyai
peranan penting dan strategis dalam berbagai bidang pembangunan.
Mengingat pentingnya peranan jasa konstruksi tersebut terutama dalam rangka mewujudkan
hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas, dibutuhkan suatu pengaturan penyelenggaraan
jasa konstruksi yang terencana, terarah, terpadu serta menyeluruh.
Guna pengaturan penyelenggaraan jasa konstruksi tersebut, maka pada 7 Mei 1999 telah
diundangkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan berlaku
efektif satu tahun kemudian. Dan untuk peraturan pelaksanaannya kemudian telah ditindak
lanjuti dengan diterbitkannya tiga peraturan pemerintah yakni Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, serta
peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa
Konstruksi.
Dengan adanya Undang-undang Jasa Konstruksi tersebut dimaksudkan agar terwujud iklim
usaha yang kondusif dalam rangka peningkatan kemampuan usaha jasa konstruksi nasional,
seperti : terbentuknya kepranataan usaha; dukungan pengembangan usaha;
berkembangnya partisipasi masyarakat; terselenggaranya pengaturan, pemberdayaan, dan
pengawasan oleh pemerintah dan/atau masyarakat dalam penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi; dan adanya Masyarakat Jasa Konstruksi yang terdiri dari unsur asosiasi
perusahaan maupun asosiasi profesi.
2.2. PENGERTIAN
mekanikal;
elektrikal; dan
tata lingkungan.
Pengguna jasa adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik
pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi.
Penyedia jasa adalah orang peseorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan
layanan jasa konstruksi.
b. Asas Manfaat
Asas Manfaat mengandung pengertian bahwa segala kegiatan jasa konstruksi harus
dilaksanakan berlandaskan prinsip-prinsip profesionalitas dalam kemampuan dan
tanggung jawab, efisiensi dan efektifitas yang dapat menjamin terwujudnya nilai tambah
yang optimal bagi para pihak dalam penyelenggaraan jasa konstruksi dan bagi
kepentingan nasional.
c. Asas Keserasian
Asas Keserasian mengandung pengertian harmoni dalam interaksi antara pengguna jasa
dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang berwawasan
lingkungan untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan bermanfaat tinggi.
d. Asas Keseimbangan
Asas Keseimbangan mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi harus berlandaskan pada prinsip yantg menjamin terwujudnya keseimbangan
antara kemampuan penyedia jasa dan beban kerjanya.
Pengguna jasa dalam menetapkan penyedia jasa wajib mematuhi asas ini, untuk
menjamin terpilihnya penyedia jasa yang paling sesuai, dan di sisi lain dapat memberikan
peluang pemerataan yang proposional dalam kesempatan kerja penyedia jasa.
e. Asas Kemandirian
Asas Kemitraan mengandung pengertian tumbuh dan berkembangnya daya saing jasa
konstruksi nasional.
f. Asas Keterbukaan
Asas Keterbukaan mengandung pengertian ketersediaan informasi yang dapat diakses
sehingga memberikan peluang bagi para pihak, terwujudnya transparansi dalam
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang memungkinkan para pihak dapat
melaksanakan kewajiban secara optimal dan kepastian akan hak dan untuk
memperolehnya serta memungkinkan adanya koreksi sehingga dapat dihindari adanya
berbagai kekurangan dan penyimpangan.
g. Asas Kemitraan
Asas Kemitraan mengandung pengertian hubungan kerja para pihak yang harmonis,
terbuka, bersifat timbal balik, dan sinergis.
2.5. TUJUAN
19. Undang-undang yang mengatur tentang arbitrase dan alternatif pilihan penyelesaian
sengketa;
20. Undang-undang yang mengatur tentang penataan ruang.
Pada akhir dekade yang lalu usaha jasa konstruksi telah mengalami peningkatan kuantitatf
di berbagai tingkatan. Namun peningkatan kuantitatif tersebut belum diikuti dengan
peningkatan kualifikasi dan kinerjanya yang tercermin pada kenyataan bahwa mutu produk,
ketepatan waktu pelaksanaan, dan efisiensi pemanfaatan sumber daya manusia, modal, dan
teknologi dalam penyelenggaraan jasa konstruksi belum sebagaimana yang diharapkan.
Dengan tingkat kualifikasi dan kinerja tersebut, pada umumnya pangsa pasar pekerjaan
konstruksi yang berteknologi tinggi belum sepenuhnya dapat dikuasai oleh usaha jasa
konstruksi nasional.
Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa sebab antara lain : belum diarahkannnya
persyaratan usaha, serta keahlian dan keterampilan untuk mewujudkan keandalan usaha
yang profesional; masih rendahnya kesadaran hukum dalam penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi termasuk kepatuhan para pihak dalam pemenuhan kewajibannya serta
pemenuhan terhadap ketentuan yang terkait dengan aspek keamanan, keselamatan,
kesehatan, dan lingkungan yang dapat menghasilkan bangunan yang berkualitas dan
mampu berfungsi sebagaimana direncanakan; serta masih rendahnya kesadaran
masyarakat akan manfaat dan arti penting jasa konstruksi yang mampu mewujudkan
ketertiban dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi secara optimal.
Kondisi jasa konstruksi sebagaimana diuraikan di atas disebabkan oleh dua faktor, yaitu:
a. Faktor internal, yakni :
1) Masih adanya kelemahan dalam manajemen, penguasaan teknologi, dan
permodalan, serta keterbatasan tenaga ahli dan tenaga terampil;
2) Belum tertatanya secara utuh dan kokoh struktur usaha jasa konstruksi yang
tercermin dalam kenyataan belum terwujudnya kemitraan yang sinergis antar
penyedia jasa dalam berbagai klasifikasi dan/atau kualifikasi.
3) Belum tertatanya pembinaan jasa konstruksi secara nasional, masih bersifat parsial
dan sektoral.
Mengingat jasa konstruksi nasional tersebut merupakan salah satu potensi Pembangunan
Nasional dalam mendukung perluasan lapangan usaha dan kesempatan kerja serta
penerimaan negara, maka potensi jasa konstruksi tersebut perlu ditumbuhkembangkan agar
lebih mampu berperan dalam Pembangunan Nasional.
Dalam rangka peningkatan kemampuan usaha jasa konstruksi nasional diperlukan iklim
usaha yang kondusif, yakni :
a. Pekerjaan arsitektural yang mencakup antara lain : pengolahan bentuk dan masa
bangunan berdasarkan fungsi serta persyaratan yang diperlukan setiap pekerjaan
konstruksi;
b. Pekerjaan sipil yang mencakup antara lain : pembangunan pelabuhan, bandar udara,
jalan kereta api, pengamanan pantai, saluran irigasi/kanal, bendungan, terowongan,
gedung, jalan dan jembatan, reklamasi rawa, pekerjaan pemasangan perpipaan,
pekerjaan pemboran, dan pembukaan lahan;
c. Pekerjaan mekanikal dan elektrikal yang merupakan pekerjaan pemasangan produk-
produk rekayasa industri;
d. Pekerjaan mekanikal yang mencakup pekerjaan antara lain : pemasangan turbin,
pendirian dan pemasangan instalasi pabrik, kelengkapan instalasi bangunan, pekerjaan
pemasangan perpipaan air, minyak, dan gas;
e. Pekerjaan elektrikal yang mencakup antara lain : pembangunan jaringan transmisi dan
distribusi kelistrikan, pemasangan instalasi kelistrikan, telekomunikasi beserta
kelengkapannya;
f. Pekerjaan tata lingkungan yang mencakup antara lain : pekerjaan pengolahan dan
penataan akhir bangunan maupun lingkungannya;
Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU No.18/1999 bentuk usaha jasa konstruksi dapat
berupa badan usaha atau orang perseorangan.
Bentuk usaha orang perorangan baik warga negara Indonesia maupun asing hanya khusus
untuk pekerjaan-pekerjaan konstruksi berskala terbatas/kecil seperti :
a. Pelaksanaan konstruksi yang bercirikan : risiko kecil, teknologi sederhana, dan biaya
kecil.
b. Perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi yang sesuai dengan bidang
keahliannya.
Pembatasan jenis pekerjaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan
terhadap para pihak maupun masyarakat atas risiko pekerjaan konstruksi.
Pada dasarnya penyelenggaraan jasa konstruksi berskala kecil melibatkan usaha orang
perseorangan atau usaha kecil.
Sementara itu untuk pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang berteknologi
tinggi dan/atau berbiaya besar harus dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan
terbatas (PT) atau badan usaha asing yang dipersamakan.
Bentuk badan usaha nasional dapat berupa badan hukum seperti : Perseroan Terbatas (PT),
Koperasi, ataupun bukan badan hukum seperti : CV, atau Firma.
Sedangkan badan usaha asing adalah badan usaha yang didirikan menurut hukum dan
berdominisili di negara asing, memiliki kantor perwakilan di Indonesia, dan dipersamakan
dengan badan hukum Perseroan Terbatas (PT).
Usaha jasa konstruksi dapat berupa badan usaha atau usaha orang perorangan.
Badan usaha baik selaku perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, maupun pengawas
konstruksi dipersyaratkan memenuhi perizinan usaha di bidang konstruksi, dan memiliki
sertifikat klasifikasi dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi.
Perizinan usaha tersebut yang mempunyai fungsi publik dimaksudkan untuk melindungi
masyarakat dalam usaha dan/atau pekerjaan jasa konstruksi.
Sedangkan penetapan klasifikasi dan kualifikasi usaha jasa konstruksi bertujuan untuk
membentuk struktur usaha yang kokoh dan efisien melalui kemitraan yang sinergis antar
pelaku usaha jasa konstruksi.
Klasifikasi usaha jasa konstruksi dilakukan untuk mengukur kemampuan badan usaha dan
usaha orang perseorangan untuk melaksanakan pekerjaan berdasarkan nilai pekerjaan, dan
kualifikasi usaha jasa konstruksi dilakukan untuk mengukur kemampuan badan usaha dan
usaha orang perseorangan untuk melaksanakan berbagai sub pekerjaan.
Standar klasifikasi dan kualifikasi keahlian kerja adalah pengakuan tingkat keahlian kerja
setiap badan usaha baik nasional maupun asing yang bekerja di bidang jasa konstruksi.
Pengakuan tersebut diperoleh melalui ujian yang dilakukan badan/lembaga yang ditugasi
untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Proses untuk mendapatkan pengakuan tersebut
dilakukan melalui kegiatan registrasi yang meliputi : klasifikasi, kualifikasi, dan sertifikasi.
Dengan demikian hanya badan usaha yang memiliki sertifikat tersebut yang diizinkan untuk
bekerja di bidang jasa konstruksi.
Penyelenggaraan jasa berskala kecil pada dasarnya melibatkan pengguna jasa dan
penyedia jasa orang perseorangan atau usaha kecil. Untuk tertib penyelenggaraan jasa
konstruksi ketentuan yang menyangkut keteknikan misalnya sertifikasi tenaga ahli harus
tetap dipenuhi secara bertahap tergantung kondisi setempat. Namun penerapan ketentuan
perikatan dapat disederhanakan dan permilihan penyedia jasa dapat dilakukan dengan cara
pemilihan langsung sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (3) UU No. 18/1999.
2.11.2.ORANG PERSEORANGAN
Mengenai persyaratan bagi orang perseorangan yang bekerja di bidang jasa konstruksi
diatur dalam Pasal 9 UU No. 18/1999 sebagai berikut :
Standar klasifikasi dan kualifikasi keterampilan kerja dan keahlian kerja adalah pengakuan
tingkat keterampilan kerja dan keahlian kerja di bidang jasa konstruksi ataupun yang bekerja
orang perseorangan. Pengakuan tersebut diperoleh melalui ujian yang dilakukan oleh
Badan usaha maupun orang perseorangan yang melakukan pekerjaan konstruksi baik
sebagai perencana, pelaksana maupun pengawas harus bertanggung jawab terhadap hasil
pekerjaannya baik terhadap kasus kegagalan pekerjaan konstruksi maupun terhadap
kasus kegagalan bangunan.
Tanggung jawab profesional tersebut dilandasi prinsip-prinsip keahlian sesuai dengan kaidah
keilmuan, kepatutan, dan kejujuran intelektual dalam menjalankan profesinya dengan
mengutamakan kepentingan umum.
Bentuk sanksi yang dikenakan dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab tersebut dapat
berupa : sanksi profesi, sanksi administratif, sanksi pidana, atau ganti rugi.
Sanksi profesi tersebut berupa : peringatan tertulis, pencabutan keanggotaan asosiasi, dan
pencabutan sertifikat keterampilan atau keahlian kerja.
Sanksi administratif tersebut berupa : peringatan tertulis, memasukkan dalam daftar
pembatasan/larangan kegiatan kegiatan, atau pencabutan sertifikat keterampilan atau
keahlian kerja.
Lembaga jasa konstruksi yang melaksanakan pengembangan jasa konstruksi dan bersifat
independen dan mandiri tersebut beranggotakan wakil-wakil dari :
a. asosiasi perusahaan jasa konstruksi;
b. asosiasi profesi jasa konstruksi;
c. pakar dan perguruan tinggi yang berkaitan dengan jasa konstruksi; dan
d. instansi Pemerintah yang terkait.
Lembaga jasa konstruksi tersebut bertugas :
a. melakukan atau mendorong penelitian dan pengembangan jasa konstruksi;
b. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan jasa konstruksi;
c. melakukan registrasi tenaga kerja, yang meliputi klasifikasi, kualifikasi dan sertifikasi
keterampilan dan keahlian kerja;
d. melakukan registrasi badan usaha jasa konstruksi;
e. mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi, dan penilai ahli di bidang jasa
konstruksi.
Pengikatan merupakan suatu proses yang ditempuh oleh pengguna jasa dan penyedia jasa
pada kedudukan yang sejajar dalam mencapai suatu kesepakatan untuk melaksanakan
pekerjaan konstruksi. Dalam setiap tahapan proses ditetapkan hak dan kewajiban masing-
masing pihak yang adil dan serasi dengan sanksi.
1. Para Pihak
Dalam pekerjaan konstruksi dikenal adanya para pihak yang mengadakan ikatan kerja
berdasarkan hukum yakni pengguna jasa dan penyedia jasa.
Pengguna jasa adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik
pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi.
Penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya
menyediakan layanan jasa konstruksi.
Pengertian orang perseorangan adalah warga negara Indonesia atau warga negara asing,
dan pengertian badan adalah badan usaha atau bukan badan usaha, baik Indonesia
maupun asing.
Badan usaha dapat berbentuk badan hukum seperti : Perseroan Terbatas (PT), Koperasi,
atau bukan badan hukum seperti : CV, Firma.
Badan yang bukan badan usaha berbentuk badan hukum seperti : instansi dan lembaga-
lembaga Pemerintah.
Pemilik pekerjaan/proyek adalah orang perseorangan dan badan yang memiliki
pekerjaan/proyek yang menyediakan dana dan bertanggung jawab di bidang dana.
Dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi penyedia jasa dapat berfungsi sebagai sub
penyedia jasa dari penyedia jasa lainnya yang berfungsi sebagai penyedia jasa utama.
Dengan demikian perlakuan terhadap sub penyedia jasa berkaitan dengan pengikatannya
dengan penyedia jasa utama sama dengan pengikatan yang dilakukan antara pengguna
jasa dengan penyedia jasa utama dengan melalui persaingan yang sehat sesuai dengan
kemampuan dan ketentuan yang dipersyaratkan.
2. Ketentuan Pengikatan
b. pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat dilaksanakan oleh penyedia jasa yang
sangat terbatas atau hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak;
c. pekerjaan yang perlu dirahasiakan, yang menyangkut keamanan dan keselamatan
negara;
d. pekerjaan yang berskala kecil.
Dokumen pemilihan penyedia jasa yang disusun oleh pengguna jasa dan dokumen
penawaran yang disusun oleh penyedia jasa berdasarkan prinsip keahlian bersifat mengikat
antara kedua pihak dan tidak boleh diubah secara sepihak sampai dengan
penandatanganan kontrak kerja konstruksi.
Tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dapat terwujud melalui antara lain melalui
pemenuhan hak dan kewajiban dan adanya kesetaraan kedudukan para pihak terkait.
Dalam rangka terjaminnya kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa,
maka dalam undang-undang mengenai jasa konstruksi diatur ketentuan mengenai hak dan
kewajiban para pihak dalam proses pengikatan secara seimbang.
Kewajiban pengguna jasa dalam pengikatan mencakup :
a. mengumumkan secara luas melalui media massa dan papan pengumuman setiap
pekerjaan yang ditawarkan dengan cara pelelangan umum atau pelelangan terbatas;
b. menerbitkan dokumen tentang pemilihan penyedia jasa yang memuat ketentuan-
ketentuan secara lengkap, jelas dan benar serta mudah dipahami, yang memuat :
1) petunjuk bagi penawar;
2) tata cara pelelangan dan atau pemilihan mencakup prosedur, persyaratan, dan
kewenangan;
3) persyaratan kontrak mencakup syarat umum dan syarat khusus; dan
4) ketentuan evaluasi;
c. mengundang semua penyedia jasa yang lulus prakualifikasi untuk memasukkan
penawaran;
d. memberikan penjelasan tentang pekerjaan termasuk mengadakan peninjauan lapangan
apabila diperlukan;
e. memberikan tanggapan terhadap sanggahan dari penyedia jasa;
f. menetapkan penyedia jasa secara tertulis sebagai hasil pelaksanaan pemilihan dalam
batas waktu yang ditentukan dalam dokumen lelang;
g. mengembalikan jaminan penawaran bagi penyedia jasa yang kalah sedangkan bagi
penyedia jasa yang menang mengikuti ketentuan yang diatur dalam dokumen
pelelangan;
h. menunjukkan bukti kemampuan membayar;
i. menindaklanjuti penetapan tertulis tersebut dengan suatu kontrak kerja konstruksi untuk
menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak yang secara adil dan seimbang
serta dilandasi dengan itikad baik dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi;
j. mengganti biaya yang dikeluarkan oleh penyedia jasa untuk penyiapan pelelangan jika
pengguna jasa membatalkan pemilihan penyedia jasa; dan
k. memberikan penjelasan tentang risiko pekerjaan termasuk kondisi dan bahaya yang
dapat timbul dalam pekerjaan konstruksi dan mengadakan peninjauan lapangan apabila
diperlukan.
Hak pengguna jasa dalam pengikatan :
a. memungut biaya penggandaan dokumen pelelangan umum dan pelelangan terbatas dari
penyedia jasa (Sesuai dengan ketentuan Pasal 36 ayat (6) Keppres 18/2000, ketentuan
ini tidak berlaku untuk pengadaan barang/jasa Instansi Pemerintah);
b. mencairkan jaminan penawaran dan selanjutnya memiliki uangnya dalam hal penyedia
jasa tidak memenuhi ketentuan pelelangan; dan
c. menolak seluruh penawaran apabila dipandang seluruh penawaran tidak menghasilkan
kompetisi yang efektif atau seluruh penawaran tidak cukup tanggap terhadap dokumen
pelelangan.
Kewajiban penyedia jasa dalam pengikatan :
a. menyusun dokumen penawaran yang memuat rencana dan metode kerja, rencana
usulan biaya, tenaga terampil dan tenaga ahli, rencana dan anggaran keselamatan dan
kesehatan kerja, dan peralatan berdasarkan prinsip keahlian untuk disampaikan kepada
pengguna jasa;
b. menyerahkan jaminan penawaran; dan
c. menandatangani kontrak kerja konstruksi dalam batas waktu yang ditentukan dalam
dokumen lelang.
Hak penyedia jasa dalam pengikatan :
a. memperoleh penjelasan pekerjaan;
b. melakukan peninjauan lapangan apabila diperlukan;
c. mengajukan sanggahan terhadap pengumuman hasil lelang;
d. menarik jaminan penawaran bagi penyedia jasa yang kalah; dan
e. mendapat ganti rugi apbila terjadi pembatalan pemilihan jasa yang tidak sesuai dengan
ketentuan dokumen lelang.
Sesuai ketentuan Pasal 1 UU No.18/1999, kontrak kerja konstruksi (K3) adalah keseluruhan
dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Kontrak kerja pada dasarnya dibuat secara terpisah sesuai tahapan dalam pekerjaan
konstruksi yang masing-masing untuk pekerjaan pelaksanaan, dan umtuk pekerjaan
pengawasan. Khusus untuk pekerjaan terintegrasi, kontrak kerja konstruksi untuk kedua
tahapan pekerjaan konstruksi tersebut dapat dituangkan dalam satu kontrak kerja konstruksi.
Kontrak kerja konstruksi dibedakan berdasarkan : bentuk imbalan, jangka waktu
pelaksanaan, dan cara pembayaran hasil pekerjaan.
Cidera janji adalah suatu keadaan apabila salah satu pihak dalam kontrak kerja
konstruksi :
1) Tidak melakukan apa yang diperjanjikan; dan/atau
2) Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan; dan/atau
3) Melakukan apa yang diperjanjikan, tetapi terlambat; dan/atau
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Yang dimaksud dengan tanggung jawab, antara lain, berupa pemberian kompensasi,
penggantian biaya dan atau perpanjangan waktu, perbaikan atau pelaksanaan ulang
hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan, atau pemberian
ganti rugi.
i. Pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak
kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
j. Keadaan memaksa (force majeure), yang memuat ketentuan tentang kejadian yang
timbul di luar kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak;
k. Kegagalan bangunan, yang memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan
pengguna jasa atas kegagalan bangunan;
l. Perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihakdalam
pelaksanaan keselamata dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;
m. Aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan
tentang lingkungan.
Di samping ketentuan di atas, ketentuan lain mengenai kontrak kerja konstruksi yakni :
a. Untuk pekerjaan perencanaan harus memuat ketentuan mengenai hak atas kekayaan
intelektual yang diartikan sebagai hasil inovasi perencana konstruksi dalam suatun
pelaksanaan kontrak kerja konstruksi baik bentuk hasil akhir perencanaqan dan/atau
bagian-bagiannya yang kepemilikannya dapat diperjanjikan.
Penggunaan hak atas kekayaan intelektual yang sudah dipatenkan harus dilindungi
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Kontrak kerja konstruksi untuk kegiatan pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi dapat
memuat ketentuan mengenai ketentuan tentang sub penyedia jasa serta pemasok bahan
dan atau komponen bangunan dan atau peralatan yang harus memenuhi standar yang
berlaku.
c. Kontrak kerja konstruksi dapat memuat kesepakatan para pihak tentang pemberian
insentif.
Insentif adalah penghargaan yang diberikan kepada penyedia jasa atas prestasinya,
antara lain kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih awal daripada yang
diperjanjikan dengan tetap menjaga mutu sesuai dengan yang dipersyaratkan, yang
dapat berupa uang ataupun bentuk lainnya.
d. Kontrak kerja konstruksi dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam hal kontrak kerja
konstruksi dengan pihak asing, maka dapat dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris. Namun harus secara tegas hanya 1 (satu) bahasa yang mengikat secara hukum.
e. Kontrak kerja konstruksi tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia.
f. Ketentuan mengenai kontrak kerja konstruksi sebagaimana diuraikan pada butir a.
sampai dengan butir m. di atas berlaku juga dalam kontrak kerja konstruksi antara
penyedia jasa dengan sub penyedia jasa.
Kesemua ketentuan mengenai kontrak kerja konstruksi tersebut di atas dituangkan dalam
dokumen yang terdiri dari sekurang-kurangnya :
a. Surat perjanjian, yang ditandatangani pengguna jasa dan penyedia jasa dan memuat
antara lain :
1) uraian para pihak;
2) konsiderans;
3) lingkup pekerjaan;
Kewajiban para pihak dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi baik dalam kegiatan
penyiapan, dalam kegiatan pengerjaan, maupun dalam kegiatan pengakhiran meliputi :
4. Subpenyedia Jasa
a. Subpenyedia jasa tersebut harus juga memenuhi ketentuan mengenai perizinan usaha
di bidang konstruksi, mengenai kepemilikan sertifikat klasifikasi dan kualifikasi
perusahaan, dan mengenai kepemilikan sertifikasi keterampilan kerja dan sertifikat
keahlian kerja.
b. Pengikutsertaan subpenyedia jasa dibatasi oleh adanya tuntutan pekerjaan yang
memerlukan keahlian khusus dan ditempuh melalui mekanisme subkontrak, dengan tidak
mengurangi tanggung jawab penyedia jasa terhadap seluruh hasil pekerjaannya.
c. Bagian pekerjaan yang akan dilaksanakan subpenyedia jasa harus mendapat
persetujuan pengguna jasa.
d. Pengikutsertaan subpenyedia jasa bertujuan memberikan peluang bagi subpenyedia jasa
yang mempunyai keahlian spesifik melalui mekanisme keterkaitan dengan penyedia jasa.
6. Kegagalan Bangunan
Penetapan kegagalan bangunan dilakukan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli yang
profesional dan kompeten dalam bidangnya serta bersifat independen dan mampu
memberikan penilaian secara obyektif dan profesional dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Penilai ahli harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan sejak
diterimanya laporan mengenai terjadinya kegagalan bangunan;
2) Penilai ahli adalah penilai ahli di bidang konstruksi;
3) Penilai ahli yang terdiri dari orang perseorangan atau kelompok orang atau badan
usaha dipilih dan disepakati bersama oleh penyedia jasa dan pengguna jasa;
4) Penilai ahli harus memiliki sertifikat keahlian dan terdaftar pada Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi.
Tugas penilai ahli adalah :
1) menetapkan sebab-sebab terjadinya kegagalan bangunan;
2) menetapkan tidak berfungsinya sebagian atau keseluruhan bangunan;
3) menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan bangunan serta tingkat
dan sifat kesalahan yang dilakukan;
4) menetapkan besarnya kerugian, serta usulan besarnya ganti rugi yang harus dibayar
oleh pihak atau pihak-pihqak yang melakukan kesalahan;
5) menetapkan jangka waktu pembayaran karugian.
Jika terjadi kegagalan bangunan yang terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain,
yang disebabkan kesalahan perencana/pengawas atau pelaksana konstruksi, maka
kepada perencana/pengawas atau pelaksana selain dikenakan ganti rugi wajib
bertanggung jawab bidang profesi untuk perencana/pengawas atau sesuai bidang usaha
untuk pelaksana.
Penyedia jasa konstruksi diwajibkan menyimpan dan memelihara dokumen pelaksanaan
konstruksi yang dapat dipakai sebagai alat pembuktian bilamana terjadi kegagalan
bangunan selama jangka waktu pertanggungan dan selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun
sejak dilakukan penyerahan akhir hasil pekerjaan konstruksi.
Perencana konstruksi dibebaskan dari tanggung jawab atas kegagalan bangunan
sebagai dari rencana yang diubah pengguna jasa dan atau pelaksana konstruksi tanpa
persetujuan tertulis dari perencana konstruksi
Subpenyedia jasa berbentuk usaha orang perseorangan dan atau badan usaha yang
dinyatakan terkait dalam terjadinya kegagalan bangunan bertanggung jawab kepada
penyedia jasa utama.
Pelaksanaan ganti rugi dalam hal kegagalan bangunan dapat dilakukan dengan
mekanisme pertanggungan pihak ketiga atau asuransi, dengan ketentuan :
1) persyaratan dan jangka waktu serta nilai pertanggungan ditetapkan atas dasar
kesepakatan;
2) premi dibayar oleh masing-masing pihak, dan biaya premi yang menjadi bagian dari
unsur biaya pekerjaan konstruksi.
Dalam hal pengguna jasa tidak bersedia memasukkan biaya premi tersebut di atas,
maka risiko kegagalan bangunan menjadi tanggung jawab pengguna jasa.
Besarnya kerugian yang ditetapkan oleh penilai ahli bersifat final dan mengikat.
Sementara itu biaya penilai ahli menjadi beban pihak-pihak yang melakukan kesalahan
dan selama penilai ahli melakukan tugasnya, maka pengguna jasa menanggung
pembiayaan pendahuluan.
7. Gugatan Masyarakat
Biaya atau pengeluaran nyata adalah biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan sudah
dikeluarkan oleh masyarakat dalam kaitan dengan akibat kegiatan penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi.
Khusus gugatan perwakilan yang diajukan oleh masyarakat tidak dapat berupa tuntutan
membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas gugatan lain, yaitu :
1) memohon kepada pengadilan agar salah satu pihak dalam penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi untuk melakukan tindakan hukum tertentu yang berkaitan
dengan kewajibannya atau tujuan dari kontrak kerja konstruksi;
8. Larangan Persekongkolan
Dalam rangka terselenggaranya proses pengikatan yang terbuka dan adil, yang dilandasi
oleh persaingan yang sehat serta terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi, dalam Pasal 55 PP No. 29/2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
diatur ketentuan mengenai larangan persekongkolan di antara para pihak dalam
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Pengguna jasa dan penyedia jasa dilarang melakukan persekongkolan untuk :
1) mengatur dan atau menentukan pemenang dalam pelelangan umum atau pelelangan
terbatas sehingga mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat (termasuk
antar penyedia jasa);
2) menaikan nilai pekerjaan (mark up) yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat
dan atau keuangan Negara;
Pelaksana konstruksi dan atau subpelaksana konstruksi dan atau pengawas konstruksi
dan atau subpengawas konstruksi dilarang melakukan persekongkolan untuk :
1) mengatur dan menentukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kontrak kerja
konstruksi yang merugikan pengguna jasa dan atau masyarakat;
2) mengatur dan menentukan pemasokan bahan dan atau komponen bangunan dan
atau peralatan yang tidak sesuai dengan kontrak kerja konstruksi yang merugikan
pengguna jasa dan atau masyarakat.
Atas pelanggararan ketentuan tersebut di atas, pengguna jasa dan atau penyedia jasa
dan atau pemasok dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Sengketa (disputes) atau beda pendapat sering terjadi selama pelaksanaan kontrak kerja
konstruksi yang disebabkan adanya beda penafsiran atas pelaksanaan ketentuan kontrak
kerja konstruksi. Sekalipun upaya-upaya keras untuk mengurangi kemungkinan sengketa
tersebut telah dilakukan dengan menyiapkan dan membahas bersama para pihak atas isi
ketentuan dokumen kontrak kerja konstruksi dalam rangka penyamaan penafsiran dan
pemahaman, namun tetap saja kemungkinan terjadi beda pendapat selama pelaksanaan
kontrak kerja. Oleh karenanya, sengketa atau beda pendapat selalu diperkirakan d an
tatacara penyelesaiannya harus diatur dalam ketentuan kontrak kerja konstruksi.
Kontrak kerja konstruksi sering menetapkan bahwa direksi pekerjaan adalah pihak yang
akan menafsirkan atas ketentuan kontrak kerja konstruksi dan keputusannya bersifat final.
Ketika permasalahan itu berkaitan dengan mutu bahan dan mutu kerja (workmanship),
keputusan direksi pekerjaan tersebut biasanya dapat diterima semua pihak. Namun bila
beda pendapat tersebut menyangkut kerja tambah, tambah waktu, tambah biaya, denda
dan sejenisnya, legalitas atau kewenangan hukum direksi pekerjaan adalah terbatas, dan
dengan kata lain pengaturan mengenai penyelesaian sengketa diperlukan.
Pada dasarnya penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara bertahap yakni dimulai
dengan tahapan melalui perdamaian yaitu melalui perundingan langsung, kemudian kalau
tidak berhasil menyelesaikan, dengan kesepakatan tertulis, tahap kedua, yakni para pihak
menunjuk atau meminta bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun mediator untuk
menyelesaikan sengketa.
Jika cara tersebut belum juga menyelesaikan sengketa, maka dapat ditempuh penyelesaian
sengketa tahap ketiga yakni dengan menunjuk seorang mediator oleh lembaga arbitrase
atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa atas permintaan para pihak yang
bersengketa.
Jika cara perdamaian melalui pilihan penyelesaian sengketa tersebut tidak dapat dicapai,
maka para pihak berdasarkan kesepakatan tertulis dapat mengajukan usaha
penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc yang pelaksanaannya
sesuai ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Walaupun tidak dinyatakan secara tegas, namun penyelesaian sengketa tersebut tidak harus
mengikuti prosedur alternatif penyelesaian tahap demi tahap mulai dari tahap pertama
sampai dengan tahap keempat, dan dapat saja mengabaikan tahap tertentu. Hal tersebut
berdasarkan pertimbangan antara lain : kecepatan dan efisiensi penyelesaian, tidak adanya
ketentuan yang secara tegas mengatur keharusan mengikuti tahapan tersebut, adanya
kebebasan memilih cara penyelesaian sengketa oleh para pihak yang bersengketa, dan
efektifitas penyelesaian.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa telah menyediakan beberapa pranata hukum sebagai pilihan penyelesaian
sengketa secara damai yang dapat ditempuh para pihak untuk menyelesaikan sengketa atau
beda pendapat mereka yakni dengan melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian para ahli sesuai kesepakatan mereka. Penggunaan mekanisme penyelesaian
secara damai tersebut hanyalah berlaku untuk sengketa di bidang perdata dan tidak berlaku
untuk sengketa di bidang pidana.
Dalam rangka melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa, Pasal 36 UU No.
18/1999 mengatur ketentuan bahwa penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh
melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan plihan secara sukarela para pihak
yang bersengketa dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut tidak berlaku
terhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Guna mencegah terjadinya putusan yang berbeda mengenai suatu sengketa jasa konstruksi
untuk menjamin kepastian hukum, jika dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar
pengadilan gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
2.19. S A N K S I
Atas pelanggaran Undang-undang Jasa Konstruksi tersebut, kepada para penyelenggara
pekerjaan konstruksi dapat dikenai sanksi berupa dan atau denda dan atau pidana.
Sanksi administratif dapat dikenakan kepada penyedia jasa berupa :
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara pekerjaan konstruksi;
c. pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi;
d. pembekuan izin usaha dan/atau profesi;
e. pencabutan izin usaha dan/atau profesi.
Sanksi administratif dapat dikenakan kepada pengguna jasa berupa :
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara pekerjaan konstruksi;
c. pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi;
d. larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi;
e. pembekuan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi;
f. pencabutan izin pelaksanaan pekerjaan konstruksi.
Sanksi pidana atau denda dapat dikenakan kepada barang siapa yang :
a. melakukan perencanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan
keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan
bangunan;
b. melakukan pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan
keteknikan yang telah ditetapkan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaann
konstruksi atau kegagalan bangunan;
c. melakukan pengawasan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dengan sengaja memberi
kesempatan kepada orang lain yang melaksanakan pekerjaan konstruksi melakukan
penyimpangan terhadap ketentuan keteknikan dan menyebabkan timbulnya kegagalan
pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan.
BAB III
UNDANG-UNDANG JALAN
Setelah kurang lebih dua dasa warsa UU No. 13/1980 digunakan sebagai landasan hukum
dalam melaksanakan tugas menangani jalan, sehubungan dengan adanya perubahan
kondisi lingkungan strategis kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita seperti tuntutan
desentralisasi atas tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, pelaksanaan otonomi
daerah secara nyata, penghapusan hal-hal yang bersifat monopolistik, pemberian peran
masyarakat yang lebih luas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, dan
cara berpemerintahan yang terbuka, transparan dan akuntabel, maka UU No. 13/1980
tersebut dirasakan kurang memadai lagi sebagai landasan hukum pelaksanaan tugas
pemerintahan maupun pembangunan di bidang prasarana jalan dan oleh karenanya perlu
disesuaikan.
Kebutuhan untuk mengubah atau mengganti UU No. 13/1980 tersebut semakin dirasakan
mendesak dengan diundangkannya beberapa undang-undang pada tahun 1999 yang
sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas pemerintahan dan tugas pembangunan di
bidang jalan yakni UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, UU No. 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Dibandingkan dengan UU No. 13/1980, maka dalam UU No. 38/2004 disusun dalam rangka
memenuhi perubahan-perubahan paradigma yang terjadi dalam masyarakat seperti
desentralisasi kewenangan, terwujudnya otonomi daerah, non monopolistik, peningkatan
peran masyarakat serta cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang
terbuka, transparan dan akuntabel dengan memuat beberapa perubahan penting yang diatur
dalam Undang-Undang No. 38/2004 antara lain adalah pengertian penyelenggaraan jalan,
wewenang penyelenggaraan jalan, penyelenggaraan jalan tol, pengusahaan jalan tol,
pengadaan tanah, dan peran masyarakat
Perubahan pengaturan tersebut perlu disimak secara cermat agar apa yang diamanatkan
oleh undang-undang tersebut dapat diterapkan secara benar sesuai maksud, tujuan serta
semangat pengaturan yang dimaksud dan pelaksanaan tugas-tugas para penyelenggara
jalan dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dapat dilakukan secara baik dan
benar.
Dalam UU No. 13/1980 kegiatan penanganan jaringan jalan disebut sebagai pembinaan
jalan yang sesuai Pasal 1 meliputi penentuan sasaran dan pewujudan sasaran. Dalam
penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan penentuan sasaran meliputi
penyusunan rencana umum jangka panjang, penyusunan rencana jangka menengah, dan
program pewujudan sasaran. Sementara itu pewujudan sasaran meliputi kegiatan
penyusunan rencana teknik, pembangunan, dan pemeliharaan. Dengan pengertian seperti
itu maka pihak yang melakukan penanganan jaringan jalan selalu disebut sebagai pembina
jalan.
Sesuai dengan kondisi pelaksanaan tugas penanganan jaringan jalan yang diperlukan maka
terminologi pembinaan jalan dalam arti kegiatan menangani jaringan jalan dalam UU No.
38/2004 diperluas dan diubah menjadi penyelenggaraan jalan yang mencakup semua
aspek penanganan jaringan jalan yakni pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan
pengawasan jalan dengan pengertian sebagai berikut:
Pengaturan jalan adalah kegiatan yang meliputi perumusan kebijakan perencanaan,
penyusunan perencanaan umum, dan penyusunan peraturan perundang-undangan
jalan.
Pembinaan jalan diartikan sebagai kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis,
pelayanan, pemberdayaan sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan
jalan.
Pembangunan jalan meliputi kegiatan pemrograman dan penganggaran, perencanaan
teknis, pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan.
Pengawasan jalan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib
pengaturan, pembinaan, dan pembangunan jalan.
Dengan pengertian tersebut maka secara jelas dalam undang-undang ini tergambarkan
semua aspek kegiatan penanganan jaringan jalan serta pengaturan kewenangan masing-
masing pihak yang bertugas dalam penyelenggaraan jalan yakni pemerintah pusat, propinsi,
dan kabupaten/kota.
Berdasarkan pengertian tersebut maka pihak yang melakukan penyelenggaraan jalan yang
meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan jalan disebut
penyelenggara jalan bukan lagi disebut pembina jalan.
UU No. 38/2004 tersebut juga mengamanatkan tentang penyelenggaraan jalan yang harus
didasarkan pada asas kemanfaatan, keamananan dan keselamatan, keserasian,
keselarasan dan keseimbangan, keadilan, transparansi dan akuntabilitas,
keberdayagunaan dan keberhasilgunaan, serta kebersamaan dan kemitraan.
Dengan asas tersebut dimaksudkan agar penyelenggaraan jalan:
dapat memberikan nilai tambah sebesar-besarnya bagi pemangku kepentingan dan
nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
harus memenuhi persyaratan keteknikan jalan termasuk kondisi permukaan jalan dan
kondisi geometrik jalan;
dilaksanakan dengan memperhatikan terwujudnya keharmonisan dengan lingkungan
sekitarnya, keterpaduan sektor lain, keseimbangan antarwilayah dan pengurangan
kesenjangan sosial;
memberikan perlakuan yang sama terhadap semua pihak;
yang prosesnya dapat diketahui masyarakat dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat;
berdasarkan pemanfaatan sumberdaya dan ruang yang optimal dengan pencapaian
hasilnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan;
melibatkan peran serta pemangku kepentingan melalui suatu hubungan kerja yang
harmonis, setara, timbal balik, dan sinergis.
Dalam UU No. 38/2004 sesuai peruntukannya, jalan terdiri dari Jalan Umum yakni jalan yang
diperuntukkan bagi lalu lintas umum, dan Jalan Khusus yang dibangun oleh instansi, badan
usaha, perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri dan bukan
diperuntukkan bagi lalu lintas umum.
Pengelompokan jalan umum dilakukan menurut Sistem, Fungsi, Status dan Kelas.
jalan umum dalam sisitem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan
strategis kabupaten. Jalan Kota yang mempunyai lingkup layanan kota adalah jalan umum
dalam sistem jaringan jalan jalan sekunder yang menghubungkan antarpusat pelayanan
dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil,
serta menghubungkan antarpusat permukiman yang berada di dalam kota. Dan Jalan Desa
adalah merupakan jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antarpermukiman
di dalam desa, serta jalan lingkungan.
Berbeda dengan UU No. 13/1980 yang wewenang pembinaan jalan diberikan kepada
Pemerintah (Pusat) dan kemudian sebagian wewenang tersebut kepada pemerintah daerah
melalui proses penyerahan wewenang, UU No. 38/2004 telah memberikan wewenang
penyelenggaraan jalan secara tegas kepada Pemerintah (Pusat) dan pemerintah daerah
tanpa melalui proses penyerahan wewenang, sekalipun UU ini juga mengatur penyerahan
sebagian wewenang Pemerintah kepada pemerintah daerah seperti sebagian wewenang
pembangunan Jalan Nasional yang dapat dilaksanakan kepada pemerintah daerah. Hal ini
merupakan upaya secara nyata desentralisasi penyelenggaraan jalan serta terwujudnya
otonomi daerah sesuai amanat peraturan perundang-undangan bidang pemerintahan
daerah.. Dengan pembagian wewenang penyelenggaraan jalan antara Pemerintah dan
pemerintah daerah secara jelas tersebut dimaksudkan agar diperoleh hasil penanganan
jalan yang memberikan pelayanan yang optimal melalui penyelenggaraan jalan yang terpadu
dan bersinergi antarsektor, antardaerah dan antarpemerintah serta masyarakat.
Sekalipun pembagian wewenang secara umum telah diatur seperti di atas, namun secara
khusus dalam UU ini diatur juga pelaksanaan maupun penyerahan sebagian wewenang
penyelenggaraan jalan sebagai berikut:
1. Sebagian wewenang Pemerintah di bidang pembangunan Jalan Nasional yang
mencakup perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan
pemeliharaannya dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai peraturan
perundang-undangan (seperti melalui dekonsentrasi dan atau tugas pembantuan);
2. Dalam hal pemerintah provinsi belum dapat melaksanakan sebagian wewenangnya,
pemerintah provinsi dapat menyerahkan wewenang tersebut kepada Pemerintah;
3. Dalam hal pemerintah kabupaten/kota belum dapat melaksanakan sebagian
wewenangnya, pemerintah kabupaten/kota dapat menyerahkan wewenang tersebut
kepada pemerintah provinsi.
Penyerahan wewenang pemerintah provinsi kepada Pemerintah dan wewenang
pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah provinsi tersebut bertujuan agar peran
jalan dalam melayani kegiatan masyarakat dapat tetap terpelihara dan keseimbangan
pembangunan antarwilayah terjaga.
Pasal 30 ayat (1) angka b. UU No. 38/2004 menyatakan bahwa penyelenggara jalan wajib
memprioritaskan pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan jalan secara berkala untuk
memepertahankan tingkat pelayanan jalan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang
ditetapkan.
Sesuai dengan ketentuan tersebut maka tujuan utama dari kewajiban melakukan
pemeliharan jalan dengan memberikan skala prioritas paling tinggi tersebut adalah dalam
rangka mempertahankan tingkat pelayanan jalan yang ditetapkan.
Kenyataan menunjukkan bahwa pemeliharaan jalan yang tidak memadai mengakibatkan
penurunan kondisi jalan yang sangat drastis dan dari segi pelayanan kepada masyarakat,
UU ini mewajibkan penyelenggara jalan untuk memenuhi tingkat pelayanan jalan sesuai
standar pelayanan yang ditetapkan. Standar pelayanan minimal tersebut yang menunjukkan
keandalan pelayanan jalan meliputi standar pelayanan jaringan jalan dan standar
pelayanan minimal ruas jalan.
Standar pelayanan jaringan jalan meliputi aspek aksesibilitas (kemudahan pencapaian),
mobilitas, kondisi jalan, keselamatan, sedangkan standar pelayanan ruas jalan meliputi
aspek kondisi jalan, dan kecepatan tempuh rata-rata.
Aksesibilitas merupakan indikator pelayanan yang menunjukkan tersedianya jaringan jalan
yang mudah diakses oleh masyarakat dengan ditunjukkan oleh jumlah panjang jalan di satu
wilayah dalam kilometer panjang jalan per kilometer persegi luas wilayah (km/km2).
Sedangkan mobilitas merupakan indikator pelayanan yang menunjukkan tersedianya
jaringan jalan yang dapat menampung mobilitas masyarakat dengan ditunjukkan oleh
jumlah panjang jalan di satu wilayah dalam kilometer panjang jalan per jumlah penduduk
wilayah tersebut dalam satuan ribuan jiwa (km/1000 jiwa),
Keselamatan yang menunjukkan indikator pelayananan berupa tersedianya jaringan jalan
yang dapat melayani pengguna jalan dengan aman adalah jumlah kejadian kecelakaan di
satu wilayah per jumlah pergerakan di wilayah tersebut dalam satuan kendaraan, dalam satu
tahun kalender (kejadian/kend/tahun).
Kondisi jalan yang merupakan tersedianya ruas jalan yang dapat memberikan kenyamanan
pengguna jalan ditunjukkan dengan nilai kerataan permukaan dan dinyatakan dengan IRI
(International Roughness Index)
Kecepatan tempuh rata-rata yang merupakan tersedianya ruas jalan yang dapat
memberikan kenyamanan pengguna jalan ditunjukkan dengan perhitungan waktu tempuh
rata-rata pada panjang ruas jalan yang dilalui (km/jam)
Dalam rangka memenuhi ketentuan tingkat pelayanan jalan kepada masyarakat, maka
setiap ruas jalan yang selesai dibangun dapat dioperasikan setelah dinyatakan memenuhi
persyaratan laik fungsi secara teknis dan administrasi. Ketentuan laik fungsi tersebut juga
berlaku untuk ruas jalan yang sudah beroperasi dengan melakukan uji laik fungsi secara
berkala dan atau sesuai kebutuhan selama pengoperasiannya.
Laik fungsi secara teknis meliputi antara lain kelaikan perwujudan bagian-bagian jalan, jalan
terowongan, jalan lintas atas, jalan lintas bawah, jalan layang, termasuk bangunan
pelengkap, dan perlengkapanan jalan.
Laik fungsi adminstrasi meliputi antara lain kelengkapan dan kelaikan dokumen penetapan
aturan perintah dan larangan (APIL), dokumen penetapana titik lokasi perlengkapana jalan,
status jalan, kelas jalabn, kepemilikan tanah ruang milik jalan, dan dokumen AMDAL.
Prosedur pelaksanaan uji kelaikan funsgsi dilakukan oleh tim uji laik fungsi yang dibentuk
oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan dan terdiri dari unsur penyelenggara jalan dan
instansi yang bertugas dan bertanggungjawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Penetapan kaik fungsi oleh penyelenggara jalan yang bersangkutan berdasarkan
rekomendasi yang diberikan oleh tim uji laik fungsi.
Dalam rangka pelayanan kepada masyarakat umum, maka ruang milik jalan dan ruang
manfaat jalan selain digunakan untuk kepentingan pengguna jalan, dapat juga dimanfaatkan
untuk kepentingan lain sepanjang tidak mengganggu fungsi jalan seperti:
pemasangan papan iklan, hiasan gapura, dan benda-benda sejenis yang bersifat
sementara;
pembuatan bangunan-bangunan sementara untuk kepentingan umum yang mudah
dibongkar setelah fungsinya selesai;
penanaman pohon-pohon dalam rangka penghijuan;
penempatan bangunan dan instalasi utilitas seperti telpon, listrik, air minum, gas, pipa
limbah dan lainnya yang bersifat melayani kepentingan umum.
yang terbuka dan transparan, dan pengadaan tanah yang dapat mewujudkan kepastian
usaha.
4. Tarif Tol
Tarif tol yang merupakan komponen utama dalam penawaran yang diajukan peserta
pelelangan, dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan, besar keuntungan
biaya operasi kendaraan, dan kelayakan investasi. Pemberlakuan tarif tol yang besarannya
termuat dalam perjanjian pengusahaan jalan tol ditetapkan oleh Menteri PU bersamaan
dengan penetapan pengoperasian jalan tol yang telah selesai dibangun. Penyesuaian tariff
tol berdasarkan pengaruh laju inflasi dilakukan setiap dua tahun dan pemberlakuannya
ditetapkan oleh Menteri PU.
Pengaturan tarif tol tersebut dimaksudkan agar memberikan kepastian yang lebih baik dalam
pengusahaaan jalan tol yang merupakan salah satu komponen pokok dalam pengusahaan
jalan tol.
pelaksanaan pembangunan jalan dapat dimulai pada bidang tanah yang telah diberi ganti
kerugian atau telah dicabut hak atas tanahnya;
untuk menjamin kepastian hukum, tanah yang sudah dikuasai oleh Pemerintah
didaftarkan untuk diterbitkan sertifikat hak atas tanahnya sesuai peraturan perundang-
undangan di bidang pertanahan; dan
pengadaan tanah untuk jalan tol dapat menggunakan dana yang berasal dari Pemerintah
dan atau badan usaha.
Pada prinsip desentralisasi yang bukan saja merupakan hubungan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antara pemerintah
sebagai wakil negara dengan masyarakat, maka setiap pengambilan keputusan dan
kebijakan oleh Negara sesuai keinginan semua pihak wajib dilakukan dengan melibatkan
masyarakat.
Sesuai dengan tuntutan tersebut serta untuk meningkatkan dayaguna serta hasilguna
penyelenggaraan jalan, maka pengaturan penyelenggaraan jalan dalam UU No. 38/2004
memuat juga peran serta masyarakat sebagai berikut:
1. Hak Masyarakat
Masyarakat berhak:
memperoleh informasi menegenai penyelenggaraan jalan;
memperoleh manfaat atas penyelenggaraan jalan sesuai standar pelayanan yang
ditetapkan;
memperoleh ganti kerugian yang layak akibat kesalahan dalam pembangunan jalan;
mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pembangunan jalan
memberi masukan dalam penyelenggaraan jalan; dan
berperan dalam penyelenggaraan jalan.
2. Kewajiban Masyarakat
Masyarakat wajib ikut serta menjaga ketertiban dalam pemanfaatan fungsi jalan
3.15. LARANGAN-LARANGAN
Agar dapat tercapai tujuan pengaturan penyelenggaraan jalan yakni terwujudnya ketertiban
dalam masyarakat maka di samping dimuat ketentuan mengenai kewajiban maka dimuat
juga larangan-larangan yang apabila dilanggar akan berakibat terkena sanksi bagi pelanggar
yang bersangkutan.
UU No. 38/2004 memuat larangan-larangan sebagai berikut:
1. Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi
jalan di dalam ruang pengawasan jalan;
2. Setiap orang dilarang menyelenggarakan jalan yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
3. Setiap orang dilarang mengusahakan suatu ruas jalan sebagai jalan tol sebelum adanya
penetapan Menteri PU; dan
4. Setiap orang dilarang memasuki jalan tol, kecuali pengguna jalan tol dan petugas jalan
tol.
RANGKUMAN
Pada dasarnya tingkat profesional diharapkan memenuhi 3 (tiga) kriteria yakni :
a. kemampuan teknis atau apa yang dikenal dengan intelligence quotient (IQ);
b. kemampuan emosional atau apa yang dikenal dengan emotional quotient (EQ); dan
c. kemampuan spiritual atau apa yang dikenal dengan spiritual quotient (SQ).
Etika profesi akan merupakan komitmen pribadi seorang profesional dalam menjalankan
tugas-tugas profesionalismenya untuk tetap memegang teguh nilai-nilai kepatutan dan
kejujuran intelektualnya.
Dengan demikian di samping nilai-nilai keilmuan, nilai-nilai kepatutan dan kejujuran dalam
bentuk etika profesi merupakan unsur yang paling penting dalam menjalankan
penyelenggaraan jasa konstruksi dan hal tersebut memberikan andil besar dalam
mewujudkan tujuan pengaturan jasa konstruksi yakni terwujudnya struktur usaha yang
kokoh, andal, bersaing tinggi, dan hasil pekerjaan yang berkualitas, serta terwujudnya tertib
penyelenggaraan konstruksi.
Kode etik asosiasi pada dasarnya merupakan penjabaran dari prinsip-prinsip dasar norma
dan nilai luhur yang menjadi pegangan dalam melaksanakan kegiatan profesi para
anggotanya.
Kode etik tersebut akan merupakan tuntunan untuk para anggota asosiasi yang
bersangkutan dalam menjalankan tugas-tugas keprofesionalannya pada penyelenggaraan
jasa konstruksi dalambebagai situasi dan kondisi
Pelanggaran terhadap kode etik asosiasi akan berakibat dikenakannya sanksi oleh asosiasi
yang bersangkutan.
1. Anggota HPJI wajib bertindak konsekuen, jujur dan adil dalam menjalankan profesinya
2. Anggota HPJI wajib menghormati profesi lain dan tidak boleh merugikan nama baik serta
profesi orang lain.
3. Anggota HPJI wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan tidak merugikan
kepentingan umum khususnya yang menyangkut lingkungan.
4. Anggota HPJI setia dan taat pada perturan dan perundang-undangan yang berlaku.
5. Anggota HPJI harus bersedia memberi bimbingan dan pelatihan untuk peningkatan
profesionalisme sesama anggota.
6. Anggota HPJI wajib memenuhi baku kinerja dan tanggung jawab profesi dengan
integritas tinggi dan tidak akan menerima pekerjaan di luar bidang keahlian teknisnya.
7. Anggota HPJI wajib menjunjung tinggi martabat profesi, bersikap terhormat, dapat
dipercaya, dan bertanggung jawab secara profesional berazaskan kaidah keilmuan,
kepatutan dan kejujuran intelektual.
8. Anggota HPJI dengan menggunakan pengetahuan & keahlian yang dimilikinya wajib
menyampaikan pendapat dan pernyataan dengan jujur berdasarkan bukti dan tanpa
membedakan.
Etos kerja professional diartikan sebagai seperangkat perilaku kerja positif yang berakar
pada kesadaran yang kental, keyakinan yang fundamental, disertai komitmen yang total
pada paradigma kerja yang integral.
Jansen H Sinamo (2005) memformulasikan etos kerja sebagai 8 (delapan) paradigma kerja
atau 8 (delapan) perilaku kerja yakni:
Dengan adanya Undang-undang Jasa Konstruksi dimaksudkan agar terwujud iklim usaha
yang kondusif dalam rangka peningkatan kemampuan usaha jasa konstruksi nasional,
seperti: terbentuknya kepranataan usaha; dukungan pengembangan usaha; berkembangnya
partisipasi masyarakat; terselenggaranya pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan oleh
pemerintah dan/atau masyarakat dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi; dan adanya
Masyarakat Jasa Konstruksi yang terdiri dari unsur asosiasi perusahaan maupun asosiasi
profesi.
h. Sanksi
i. Ketentuan peralihan
j. Ketentuan penutup
Pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk :
a. Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan
struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi
yang berkualitas;
b. Mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan
kedudukan antara pengguna jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan
kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.
Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan
dan/atau pelaksanaan serta pengawasan yang mencakup pekerjaan :
arsitektural;
sipil;
mekanikal;
elektrikal; dan
tata lingkungan.
Pengikatan dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip
persaingan yang sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum
atau pelelangan terbatas. Namun dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa
tersebut dapat dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau penunjukan langsung.
Dengan pemilihan atas dasar prinsip yang sehat tersebut, pengguna jasa mendapatkan
penyedia jasa yang andal dan mempunyai kemampuan untuk menghasilkan rencana
konstruksi ataupun bangunan yang berkualitas sesuai dengan jangka waktu dan biaya yang
ditetapkan. Di sisi lain merupakan upaya untuk menciptakan iklim usaha yang mendukung
tumbuh dan berkembangnya penyedia jasa yang semakin berkualitas dan mampu bersaing.
Dibandingkan dengan UU No. 13/1980, maka dalam UU No. 38/2004 disusun dalam rangka
memenuhi perubahan-perubahan paradigma yang terjadi dalam masyarakat seperti
desentralisasi kewenangan, terwujudnya otonomi daerah, non monopolistik, peningkatan
peran masyarakat serta cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang
terbuka, transparan dan akuntabel dengan memuat beberapa perubahan penting yang diatur
dalam Undang-Undang No. 38/2004 antara lain adalah pengertian penyelenggaraan jalan,
wewenang penyelenggaraan jalan, penyelenggaraan jalan tol, pengusahaan jalan tol,
pengadaan tanah, dan peran masyarakat
Sesuai dengan kondisi pelaksanaan tugas penanganan jaringan jalan yang diperlukan maka
terminologi pembinaan jalan dalam arti kegiatan menangani jaringan jalan dalam UU No.
38/2004 diperluas dan diubah menjadi penyelenggaraan jalan yang mencakup semua
aspek penanganan jaringan jalan yakni pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan
pengawasan jalan.
Wewenang penyelenggaraan jalan tersebut secara tegas diatur sebagai berikut:
1. Wewenang Pemerintah mencakup penyelenggaraan Jalan Nasional, dan
penyelenggaraan jalan secara umum yakni penyelenggaraan jalan secara makro untuk
seluruh status jalan (nasional, provinsi, kabupaten, kota, dan desa),;
2. Wewenang pemerintah provinsi meliputi penyelenggaraan Jalan Provinsi;
3. Wewenang pemerintah kabupaten meliputi penyelenggaraan Jalan Kabupaten dan
Jalan Desa;
4. Wewenang pemerintah kota meliputi penyelenggraan Jalan Kota;
Pasal 30 ayat (1) angka b. UU No. 38/2004 menyatakan bahwa penyelenggara jalan wajib
memprioritaskan pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan jalan secara berkala untuk
memepertahankan tingkat pelayanan jalan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang
ditetapkan.
Pengaturan penyelenggaraan jalan tol yang dituangkan dalam UU No. 38/2004 terutama
berkaitan dengan tarif tol, pemisahan antara peran pengaturan (regulator) dan peran
pengusahaan (operator), pemberian kesempatan lebih luas bagi semua badan usaha untuk
ikut serta dalam pengusahaan jalan tol, pemilihan badan usaha yang terbuka dan
transparan, dan pengadaan tanah yang dapat mewujudkan kepastian usaha.
Sebagian wewenang penyelenggaraan jalan tol oleh Pemerintah yakni sebagian wewenang
pengaturan, pengusahaan dan pengawasan jalan tol dilakukan oleh Badan Pengatur Jalan
Tol (BPJT) yang dibentuk oleh, berada di bawah, dan bertanggungjawab kepada Menteri
Pekerjaan Umum.
Dalam peraturan perunfdang-undangan mengenai pertanahan, jalan umum termasuk jalan
tol merupakan parsarana untuk kepentingan umum. Dengan pengertian tersebut, dalam UU
No. 38/2004 pengadaan tanah baik untuk jalan umum bukan tol maupun jalan tol.
Sesuai dengan tuntutan masyarakat serta untuk meningkatkan dayaguna serta hasilguna
penyelenggaraan jalan, maka pengaturan penyelenggaraan jalan dalam UU No. 38/2004
memuat juga peran serta masyarakat sebagai berikut:
1. Hak Masyarakat
Masyarakat berhak:
memperoleh informasi menegenai penyelenggaraan jalan;
memperoleh manfaat atas penyelenggaraan jalan sesuai standar pelayanan yang
ditetapkan;
memperoleh ganti kerugian yang layak akibat kesalahan dalam pembangunan jalan;
mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pembangunan jalan
2. Kewajiban Masyarakat
Masyarakat wajib ikut serta menjaga ketertiban dalam pemanfaatan fungsi jalan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sinamo, Jansen H.,8 Etos Kerja Profesional, Insitut Darma Mahardika, Jakarta,
2005