Anda di halaman 1dari 16

TUGAS REFERAT

UNDESENSUS TESTIS

Oleh:

Anshoril Arifin

H1A009025

Pembimbing:

Dr. Akhada Maulana, SpU

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN

KLINIK MADYA BAGIAN/SMF BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM /RSUP NTB

2014
PENDAHULUAN

Undesensus testis (UDT) atau kriptokismus merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada
bayi laki-laki. Sepertiga kasus bersifat bilateral, dan dua pertiganya bersifat unilateral.
Insidensinya terkait dengan umur kehamilan dan maturitas bayi. Angka kejadian kriptokismus
pada bayi prematur kurang lebih 30%, mengingat tahap akhir dari penurunan testis mencapai
skrotum yaitu pada minggu 25-35 masa kehamilan. Angka kejadian ini lebih tinggi dibandingkan
dengan bayi cukup bulan yang angka kejadiannya berkisar 3-9%. Dengan bertambahnya usia,
testis akan mengalami desensus secara spontan, sehingga semakin bertambah usia, insidensi
kejadian untuk kriptokismus semakin berkurang. Pada usia 1 tahun, angka kejadian kriptokismus
sekitar 1-2%. UDT dapat kembali turun spontan ke testis sekitar 70-77% pada usia 3 bulan.
Setelah usia 1 tahun testis yang letaknya abnormal jarang mengalami desensus testis secara
spontan.1,2,3,4

Diduga ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan testis ke dalam skrotum
antara lain 1) adanya tarikan dari gubernaculum testis dan refleks kremaster, 2) perbedaan
pertumbuhan gubernaculum dan pertumbuhan badan, 3) dorongan dari tekanan intraabdominal,
4) factor hormonal. Oleh karena sesuatu hal proses desensus testis tidak berjalan dengan baik
sehingga testis tidak berada dalam kantong skrotum (maldensensus). Dalam hal ini mungkin
testis tidak mampu mencapai skrotum tetapi masih berada dalam jalur yang normal, keadaan ini
disebut kriptokismus, atau pada testis yang keluar jalur normal yang disebut sebagai ektopik.
Testis yang belum turun ke kantung skrotum dan masih berada dijalurnya mungkin terletak di
kanalis inguinalis atau di rongga abdomen, yaitu terletak diantara fossa renalis dan annulus
inguinalis internus. Testis ektopik mungkin berada diperineal, di luar kanalis inguinalis yaitu
diantara aponeurosis oblikuseksternus dan jaringan subkutan, suprapubik, atau di regio
femoral.3,4

Posisi testis memiliki keterlibatan yang signifikan pada kelanjutan hidup penderita.
Kelainan ini dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesuburan dan meningkatkan resiko
timbulnya tumor testis pada usia dewasa muda. Oleh karena itu, Esensi terapi rasional yang
dianut hingga saat ini adalah memperkecil terjadinya risiko komplikasi dengan melakukan
reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara
pembedahan (orchiopexy).2,3
Definisi

Undescended testis (UDT) atau biasa disebut kriptorkismus adalah suatu keadaan dimana setelah
usia 1 tahun, satu atau kedua testis tidak berada di dalam kantung skrotum, tetapi masih berada di
salah satu tempat sepanjang jalur desensus normal.1,3

Kriptorkismus berasal dari kata cryptos (Yunani) yang berarti tersembunyi dan orchis
yang dalam bahasa latin disebut testis. Testis yang berlokasi di luar jalur desensus yang normal
disebut sebagai testis ektopik, sedangkan testis yang terletak tidak di dalam skrotum tetapi dapat
didorong masuk ke dalam skrotum dan menaik lagi bila dilepaskan dinamakan
pseudokriptorkismus atau testis retraktil. Testis yang berada dalam skrotum setidaknya satu kali
setelah lahir, namun kemudian berubah posisi disebut sebagai Ascent Testis atau Acquired UDT.
3,5,6

Istilah Undensensus Testis Berdasarkan Definisi


Pemeriksaan Fisik
Undensensus testis Testis terletak intra-abdominal atau dalam
kanalis inguinalis. Ini terletak pada jalur
penurunan yang normal dan menunjukkan
penyisipan normal gubernaculum.
Kriptokismus Dari Yunani kuno "kryptos" (tersembunyi) dan
"orchis" (testis). Testis tidak teraba dan terletak
intra-abdominal (retentio testis abdominalis)
atau tidak hadir (anorchia).
Ektopik Testis terletak di bawah kulit suprafascia,
perineal, pada paha atau batang penis. testis
menunjukkan penyisipan abnormal
gubernaculum.
Testis Inguinal Testis teraba di pangkal paha (retentio testis
inguinalis)
Gliding Testis Testis terletak di pintu masuk skrotum atau di
atas skrotum. Ini dapat ditarik ke dalam
skrotum, tapi langsung meluncur kembali ke
posisi awal
Testis Refraktil Testis dapat dengan mudah ditekan ke dalam
skrotum, itu ditarik pada induksi refleks
cremasteric namun kembali secara spontan.
Epidemiologi

Sampai dengan sepertiga dari anak laki-laki prematur mengalami maldensensus testis, sementara
sekitar 2% sampai 5% dari anak laki-laki cukup bulan memiliki minimal satu testis tidak turun.
Sekresi testosteron endogen postnatal jangka pendek mengurangi insiden ini untuk 1% sampai
2% setelah tiga bulan. Sebuah strategi Watchfull waiting tidak dibutuhkan setelah enam bulan
sesuai dengan literatur, karena dalam kasus ini penurunan spontan sangat jaramg terjadi.6

Proses fisiologis penurunan testis hampir tidak dijelaskan. Demikian pula, penyebab pasti
dari maldescent tidak diketahui. Bayi dengan berat lahir di bawah 2,5 kg dan kelahiran prematur
merupakan faktor risiko untuk maldensensus testis. Insufisiensi plasenta yang mengurangi
sekresi human chorionic gonadotropin (hCG) tampaknya memainkan peran yang sama penting
sebagai penurunan tingkat estrogen maternal.6

Bayi dengan berat lahir < 900 gram seluruhnya mengalami UDT, sedangkan dengan berat
lahir < 1800 gram sekitar 68,5 % UDT. Dengan bertambahnya umur menjadi 1 tahun, insidennya
menurun menjadi 0,8 %, angka ini hampir sama dengan populasi dewasa.2,3
Embriologi dan Proses Penurunan Testis

Pada minggu ke enam umur kehamilan primordial germ cells mengalami migrasi dari yolk sac ke
genital ridge. Dengan adanya gen SRY (sex deter mining region Y), maka akan berkembang
menjadi testis pada minggu ke-7. Testis yang berisi prekursor sel-sel Sertoli besar (yang kelak
menjadi tubulus seminiferous dan sel-sel Leydig kecil) dengan stimulasi FSH yang dihasilkan
pituitary mulai aktif berfungsi sejak minggu ke-8 kehamilan dengan mengeluarkan MIF
(Mllerian Inhibiting Factor), yang menyebabkan involusi ipsilateral dari duktus mullerian. MIF
juga meningkatkan reseptor androgen pada membran sel Leydig. Pada minggu ke-10 dan 11
kehamilan, akibat stimulasi chorionic gonadotropin yang dihasilkan plasenta dan LH dari
pituitary sel-sel Leydig akan mensekresi testosteron yang sangat esensial bagi diferensiasi duktus
Wolfian menjadi epididimis, vas deferens, dan vesika seminalis.2,3

Penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke-10. Walaupun mekanismenya belum
diketahui secara pasti, namun para ahli sepakat bahwa terdapat beberapa faktor yang berperan
penting, yakni: faktor endokrin, mekanik (anatomik), dan neural. Terjadi dalam 2 fase yang
dimulai sekitar minggu ke-10 kehamilan segera setelah terjadi diferensiasi seksual. Fase
transabdominal dan fase inguinoscrotal. Keduanya terjadi dibawah kontrol hormonal yang
berbeda.2,3

Fase transabdominal terjadi antara minggu ke-10 dan 15 kehamilan, dimana testis
mengalami penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal initerjadi karena adanya
regresi ligamentum suspensorium cranialis dibawah pengaruh androgen (testosteron), disertai
pemendekan gubernaculums (ligament yang melekatkan bagian inferior testis ke segmen bawah
skrotum) di bawah pengaruh MIF. Dengan perkembangan yang cepat dari region abdomino
pelvic maka testis akan terbawa turun ke daerah inguinal anterior. Pada bulan ke-3 kehamilan
terbentuk processus vaginalis yang secara bertahap berkembang ke arah skrotum. Selanjutnya
fase ini akan menjadi tidak aktif sampai bulan ke-7 kehamilan.2,3

Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai dengan minggu
ke-35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari region inguinal ke dalam skrotum dibawah
pengaruh hormon androgen. Mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun diduga melalui
mediasi pengeluaran calcitonin generelated peptide (CGRP). Androgen akan merangsang nervus
genitofemoral untuk mengeluarkan CGRP yang menyebabkan kontraksi ritmis dari
gubernaculum. Faktor mekanik yang turut berperan pada fase ini adalah tekanan abdominal yang
meningkat yang menyebabkan keluarnya testis dari cavum abdomen, di samping itu tekanan
abdomen akan menyebabkan terbentuknya ujung dari processus vaginalis melalui canalis
inguinalis menuju skrotum. Proses penurunan testis ini masih bisa berlangsung sampai bayi usia
9-12 bulan.2,3

Etiologi

Maldensensus testis dapat terjadi karena adanya kelainan pada 1) gubernaculum testis 2)
kelainan intrinsic testis, atau 3) defisiensi hormone gonadotropin yang memacu proses densensus
testis.4

Desensus testis dirangsang dan dicetuskan oleh hormone gonadotropin dari ibu sewaktu
bulan terakhir kehamilan. Kriptokismus harus dibedakan dengan ektopik testis. Pada ektopik
testis tidak disebabkan oleh gangguan hormonal, melainkan oleh insersi abnormal gubernaculum
testis. Retensi testis yang berbentuk kriptokismus sejati lebih sering mengalami degenerasi
kegananasan dan gangguan spermatogenesis.7

Perimbangan dan faal hormonal pada kriptokismus atau testis ektopik tidak terganggu.
Perkembangan pubertas dan kelamin tidak tertinggal dan tidak menunjukkan kelainan.
Spermatogenesis hanya dipengaruhi oleh suhu dingin di dalam skrotum. Pada testis yang tidak
terletak di skrotum, perkembangan tubulus seminiferus tertinggal.7

Patofisiolgi dan Patogenesis

Suhu di dalam rongga abdomen kurang lebih 10C lebih tinggi daripada suhu di dalam skrotum,
sehingga testis abdominal selalu mendapatkan suhu yang lebih tinggi daripada testis normal, hal
ini mengakibatkan kerusakan sel-sel germinal testis.4

Pada usia 2 tahun, sebanyak 1/5 bagian dari sel-sel germinal testis telah mengalami
kerusakan, sedangkan pada usia 3 tahun hanya 1/3 sel-sel germinal yang masih normal.
Kerusakan ini makin lama makin progresif dan akhirnya testis menjadi mengecil. Karena sel-sel
Leydig sebagai penghasil hormone androgen tidak ikut rusak, maka potensi seksual tidak
mengalami gangguan. Akibat lain yang ditimbulkan dari letak testis yang tidak berada diskrotum
adalah mudah terpluntir (torsio), mudah terkena trauma, dan lebih mudah mengalami degenerasi
maligna.4

Diagnosis

Pasien biasanya dbawa berobat ke dokter karena orang tuanya tidak menjumpai testis di kantong
skrotum, sedangkan pasien dewasa mengeluh karena infertilitas yaitu belum mempunyai anak
setelah kawin beberapa tahun. Kadang-kadang merasa ada benjolan di perut bagian bawah yang
disebabkan testis maldensensus mengalami trauma, mengalami torsio atau berubah menjadi
tumor testis.4

Inspeksi pada region skrotum terlihat hypoplasia kulit skrotum karena tidak pernah
ditempati oleh testis. Saat pemeriksaan fisik kondisi pasien harus dalam keadaan relaksasi dan
posisi sepertifrog-leg atau crosslegged. Pada pasien yang terlalu gemuk, dapat dilakukan dalam
posisi sitting cross-legged atau baseball catchers. Pemeriksaan testis pada bayi dan anak-anak
membutuhkan pengalaman dan harus selalu dilakukan menggunakan teknik dua tangan. Palpasi
harus dilakukan dalam keadaan bebas cemas dan lingkungan yang hangat, karena dingin atau
kecemasan dapat menyebabkan refleks cremasteric untuk menarik kembali testis. Satu tangan
menyapu dari spina iliaka superior sepanjang kanalis inguinalis menuju os pubis, sedangkan sisi
lain mencoba untuk meraba testis. Dengan maneuver ini, sering juga memungkinkan untuk
mendorong testis menuju skrotum, menyebabkan testis menjadi berada pada annulus inguinalis
eksternus. Ketika testis berhasil dikeluarkan ke arah kompartemen skrotum di bagian atas,
namun kembali spontan masuk ke kanalis inguinalis ini disebut gliding testis.3,4,6

Sebagai teknik pencitraan, sonografi dengan highresolution transduser (>7,5 MHz)


memberikan tingkat klasifikasi yang benar (akurasi) 84% untuk testis non-palpable (dengan
sensitivitas 76% dan spesifisitas 100%). Identifikasi awal dari testis inguinal memungkinkan
penilaian dalam hal ukuran dan struktur parenkim. Dalam pencarian untuk intraabdominal testis,
MRI dapat diharapkan untuk memberikan hasil (akurasi) 85% dengan sensitivitas 86% dan
spesifisitas 79%. Metode sekarang yang disukai untuk lokalisasi testis non-teraba adalah
laparoskopi. Pemeriksaan flebografi selektif juga dapat dilakukan untuk mencari keberadaan
pleksus pampiniformis. Jika tidak ditemukan pleksus ini, maka kemungkinan testis memang
tidak pernah ada.4,6

Pada umumnya pmeriksaan laboratorium diagnostik tidak menjadi kebutuhan. Untuk bayi
laki-laki yang lahir dengan testis bilateral tidak teraba, Kariotype wanita dengan sindrom
androgenital harus disingkirkan. Pemeriksaan endokrinologis anak dapat dialukan dengan deteksi
testosterone dengan melakukan uji stimulasi konvensional dengan pemberian hormone hCG. Hal
ini dapat dilakukan sebelum melakukan pembedahan eksplorasi.4,6
Diagnosis Banding

Diagnosis banding meliputi testis letak ektopik dan seringkali dijumpai testis yang biasanya
berada di kantung skrotum tiba-tiba berada di daerah inguinal dan pada keadaan lain kembali ke
tempat semula. Keadaan ini terjadi karena reflek otot kremaster yang terlalu kuat akibat cuaca
dingin, atau setelah melakukan aktifitas fisik. Hal ini disebut sebagai testis retraktil atau
kriptorkismus fisiologis dan kelainan ini tidak perlu diobati. Selain itu UDT perlu dibedakan
dengan anorkismus, yaitu testis memang tidak ada. Hal ini bias terjadi secara congenital memang
tidak terbentuk testis, atau testis yang mengalami atrofi akibat torsio in utero atau torsio pada
saat neonatus.4

Penatalaksanaan

Pengobatan kriptorkismus adalah hormonal, bedah, atau kombinasi keduanya. Keberhasilan


pengobatan tergantung pada posisi testis pada diagnosis. Itu penggunaan human chorionic
gonadotropin (hCG) merangsang sel-sel Leydig testis untuk memproduksi testosteron.
Gonadotropin releasing hormone (GnRH) merangsang pituitary untuk mensekresi hormon
luteinizing (LH) yang pada gilirannya merangsang sel-sel Leydig testis untuk memproduksi
testosteron dan dengan demikian memulai turunnya.4

Orkidopeksi adalah operasi standar untuk undensensus testis. Ini terutama harus
dilakukan untuk testis ektopi, hernia inguinal simultan, setelah sebelumnya operasi inguinal,
untuk kambuh, pada bayi yang lebih tua, atau setelah terapi hormon tidak berhasil. Untuk testis
non-palpable, operasi terbuka / laparoskopi secara bersamaan diagnostik dan terapeutik.4

Temuan baru menunjukkan bahwa lebih baik untuk menunggu spontan turunnya testis
selama 6 bulan setelah kelahiran. Bila tidak juga mengalami penurunan, terapi hormon dilakukan
terutama dengan maksud untuk memberikan kesuburan. Pengobatan berupa tindakan operasi
harus dilakukan saat anak berusia satu tahun. Karena sekitar 24% anak laki-laki yang mendapat
terapi hormone akan mengalami ascending testis. Jika kriptokismus ditemukan saat anak berusia
lebih dari satu tahun, tindakan bedah adalah pendekatan yang utama. Dengan asumsi bahwa jika
dibiarkan testis tidak dapat turun sendiri setelah usia 1 tahun, sedangkan setelah usia 2 tahun
terjadi kerusakan testis yang cukup bermakna, maka saat yang tepat untuk melakukan terapi
adalah pada usia 1 tahun.3,4,6
Terapi Hormonal

Dua tujuan terapi hormonal adalah 1) menginduksi turunnya testis dan 2) menstimulasi
pematangan sel germinal dan proliferasi untuk meningkatkan kesuburan. Tingkat keberhasilan
hormone hCG dibeberapa literatur bervariasi antara 22% - 99% pada studi control, ddengan
sebagian besar studi mencapai keberhasilan 20% atau kurang pada studi dengan retraktil testis
dieksklusi karena tidak menerima pengobatan. Perbedaan ini terletak pada jumlah dosis, interval
pemberian dosis, dan usia anak yang diobati yang berbeda.6

Efek samping dari terapi hCG mungkin termasuk pembesaran penis (3%), pertumbuhan
rambut kelamin, pembesaran testis, dan perilaku agresif anak selama perawatan (1%).6

Tingkat keberhasilan GnRH Terapi juga sangat bervariasi dalam studi terkontrol (0%
sampai 78%). Dalam meta - analisis dari 33 studi acak di 3282 anak laki-laki dengan 4524 testis
tidak turun, tingkat keberhasilan adalah 19% dengan hCG, 21% dengan GnRH , dan 4% dengan
placebo.6

Terapi hormon GnRH pascaoperasi dengan dosis rendah analog muncul untuk
memberikan manfaat bagi kesuburan kemudian. Literatur saat ini tidak membenarkan rutin
penggunaan terapi hormon pasca operasi. pendekatan ini harus individual dan didiskusikan
dengan orang tua.6
Terapi Pembedahan

Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus UDT adalah orchiopexy.
Keputusan untuk melakukan orchiopexy harus mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain
teknis, risiko anastesi, psikologisanak, dan risiko bila operasi tersebut ditunda. Tujuan operasi
pada kriptorkismus adalah: (1) mempertahankan fertilitas, (2) mencegah timbulnya degenerasi
maligna, (3) mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis, (4) melakukan koreksi hernia, dan
(5) secara psikologis mencegah terjadinya rasa rendah diri karena tidak mempunyai testis.
Operasi yang dikerjakan adalah orkidopeksi yaitu meletakkan testis ke dalam skrotum dengan
melakukan fiksasi pada kantung sub dartos.4

Prinsip dasar orchiopexy adalah :2,3

1. Mobilisasi yang cukup dari testis dan pembuluh darah


2. Ligasi kantong hernia
3. Fiksasi yang kuat testis pada skrotum

Testis sebaiknya direlokasi pada subkutan atau subdartos pouch skrotum.2,3


Tindakan operasi sebaiknya dilakukan sebelum pasien usia 2 tahun, bahkan beberapa
penelitian menyarankan pada usia 6 12 bulan. Penelitian melaporkan spermatogonia akan
menurun setelah usia 2 tahun.2,3

Indikasi absolut dilakukan operasi pembedahan primer adalah2,3

1. kegagalan terapi hormonal


2. testis ektopik
3. terdapat kelainan lain seperti hernia dengan atau tanpa prosesus vaginalis yang terbuka

Komplikasi Orchidopexy

Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat tindakan pembedahan Orchiopexy antara lain:

1. Posisi testis yang tidak baik karena diseksi retroperitoneal yang tidak komplit (10%
kasus)
2. Atrofi testis karena devaskularisasi saat membuka funikulus (5%kasus)
3. Trauma pada vas deferens ( 12% kasus)

Komplikasi UDT2,3,6

UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan dengan risiko tumor sel germinal yang
meningkat 3-10 kali. Atrofi testis terjadi pada usia 5-7 tahun, akan tetapi perubahan morfologi
dimulai pada usia 1-2 tahun. Risiko kerusakan histologi testis juga berhubungan dengan letak
abnormal testis. Pada awal pubertas, lebih dari 90% testis kehilangan sel germinalnya pada kasus
intraabdomen, sedangkan pada kasus testis inguinal dan preskrotal, penurunan sel geminal
mencapai 41% dan 20%.3

Telah lama diketahui bahwa komplikasi utama yang dapat terjadi pada UDT adalah
keganasan testis dan infertilitas akibat degenerasi testis. Di samping itu disebut juga terjadinya
torsi testis, dan hernia inguinalis.

Risiko Keganasan

Terdapat hubungan yang erat antara UDT dan keganasan testis. Insiden keganasan testis sebesar
1-6 pada setiap 500 laki-laki UDT di Amerika. Risiko terjadinya keganasan testis yang tidak
turun pada anak dengan UDT dilaporkan berkisar 10-20 kali dibandingkan pada anak dengan
testis normal. Makin tinggi lokasi UDT makin tinggi risiko keganasannya, testis abdominal
mempunyai risikomenjadi ganas 4x lebih besar dibanding testis inguinal.

Orchiopexi sendiri tidak akan mengurangi risiko terjadinya keganasan,tetapi akan lebih
mudah melakukan deteksi dini keganasan pada penderita yang telah dilakukan orchiopexy .

Infertilitas

Penderita UDT bilateral mengalami penurunan fertilitas yang lebih berat dibandingkan penderita
UDT unilateral, dan apalagi dibandingkan dengan populasi normal. Penderita UDT bilateral
mempunyai risiko infertilitas 6x lebih besar dibandingkan populasi normal (38% infertile pada
UDT bilateral dibandingkan 6% infertil pada populasi normal), sedangkan pada UDT unilateral
berisiko hanya 2x lebih besar.
Komplikasi infertilitas ini berkaitan dengan terjadinya degenerasi pada UDT. Biopsi pada
anak-anak dan binatang coba UDT menunjukkan adanya penurunan volume testis, jumlah germ
cells dan spermatogonia dibandingkandengan testis yang normal. Biopsi testis pada anak dengan
UDT unilateral yang dilakukan sebelum umur 1 tahun menunjukkan gambaran yang tidak
berbeda bermakna dengan testis yang normal.

Perubahan gambaran histologis yang bermakna mulai tampak setelahumur 1 tahun,


semakin memburuk dengan bertambahnya umur. Tidak seperti risiko keganasan, penurunan
testis lebih dini akan mencegah proses degenerasi lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Cristophe G, Peter F, Francois, et al. Management of Chriptorchidism in children:


Guidelines. Swiss Medical Weekly. 492-498. 2008. Available from:
http://www.swisspu.ch/pdfempfehlungen/7.pdf
2. Winarta L. Diagnosis dan Tatalaksana Undescended Testis. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. 2008. Available from:
http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/viewFile/5636/4280
3. No Name. Undesensus Testis. 2005. Available from:
http://www.scribd.com/document_downloads/direct/169306871?extension=pdf&ft=1399
087644&lt=1399091254&user_id=4085364&uahk=m7HbKx2g1xiWlMr0trc8DrCx7v8
4. Basuki P. Dasar-Dasar Urologi. 2011. Sagung Seto: Jakarta
5. Julia S. The Epidemiology of Congenital Chriptorchidism, Testicular Ascent, dan
Orchiopexy. American Urology Association. Journal of Urology. Vol. 170. 2396-2401.
2003. Available from:
http://www.pedclerk.sites.uchicago.edu/sites/pedclerk.uchicago.edu/files/uploads/1-s2.0-
S0022534705628704-main.pdf
6. Michael J. et al. Review Article: The Undescended Testis: Diagnosis, Treatment and
Long-Term Consequences. Deutsches rzteblatt International. 106(33): 5273. 2009.
Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2737432/pdf/Dtsch_Arztebl_Int-106-
0527.pdf
7. Sjamjuhidayat & Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai