Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Pendahuluan Laring memiliki tiga fungsi penting yakni sebagai proteksi jalan nafas,
pengaturan pernafasan dan menghasilkan suara. Kerusakan pada laring akibat trauma
dapat sangat parah. Untungnya, trauma laring ini sangatlah jarang ditemukan dan hanya
ditemukan pada sebagian kecil dari keseluruhan kejadian trauma. Penatalaksanaan yang
terstandarisasi telah dikembangkan untuk membantu dalam mengevaluasi dan
mengidentifikasi kerusakan yang membutuhkan intervensi bedah. Diagnosis dan
perawatan dini sangat penting untuk mencegah kerusakan lebih lanjut termasuk kematian.
Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam akibat luka sayat, luka
tusuk dan luka tembak. Trauma tumpul pada daerah leher selain dapat merusak struktur
laring juga menyebabkan cedera pada jaringan lunak seperti otot, saraf, pembuluh darah,
dan seterusnya. Hal ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti leher terpukul
oleh tangkai pompa air, leher membentur dash board dalam kecelakaan mobil, tertendang
atau terpukul waktu berolahraga bela diri, berkelahi, dicekik atau usaha bunuh diri dengan
menggantung diri (strangulasi) atau seorang pengendara motor terjerat tali yang terentang
di jalan (clothesline injury). Fraktur laring dapat terjadi pada trauma yang mengenai
daerah leher dan seringkali menimbulkan obstruksi jalan nafas yang membutuhkan
perawatan seumur hidup. Oleh karena itu, pasien-pasien yang diduga mengalami fraktur
laring harus diperlakukan sebagai pasien gawat darurat.
1.2 Latar Belakang Masalah
Pasien dengan trauma seringkali datang dengan berbagai kerusakan yang menyulitkan.
Terapi yang tepat pada pasien seperti ini haruslah menempatkan keutuhan jalan nafas
sebagai prioritas utama. Cedera pada laring dapat bervariasi dari cedera mukosa hingga
fraktur dan pecahnya tulang rawan. Berbagai kombinasi cedera sepanjang saluran akan
berakibat pada kagawatdaruratan jalan nafas. Meskipun kemajuan dalam teknik foto
radiologi telah menyempurnakan diagnosis, angka kejadian trauma laring yang jarang
disertai terbatasnya jumlah spesialis tht yang berpengalaman dengan trauma ini, telah
membuat trauma laring menjadi sangat sulit untuk diatasi. Pendekatan trauma laring yang
terorganisir dapat mencegah dari kesalahan diagnosis dan penatalaksanaan yang tidak
adekuat.
BAB 2
LAPORAN PENDAHULUAN

2.1 Pengertian Trauma Laring Dan Trakea

Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau tajam akibat luka sayat, luka
tusuk, dan luka tembak. Trauma tumpul pada leher dapat merusak struktur laring juga
menyebabkan cedera pada jaringan lunak seperti otot, saraf, pembuluh darah, dan lain-lain.
Hal ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Ballanger membagi penyebab trauma laring ,menjadi:

a. Trauma mekanik eksternal ( trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi trakeostomi


atau krikotirotomi) dan trauma mekanik internal ( akibat tindakan endoskopi, intubasi
endotrakea atau pemasangan pipa nasogaster)
b. Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan yang panas) dan kimia ( cairan
alkohol, amoniak, natrium, hipoklorit dan lisol) yang terhirup.
c. Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas leher.
d. Trauma otogen akibat pemakaian suara yang berlebihan (vocal abuse) misalnya akibat
berteriak, menjerit keras, atau bernyanyi dengan suara keras.
2.2 Anatomi
Laring adalah organ khusus yang mempunyai sfingter pelindung pada pintu masuk
jalan nafas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Di bagian superiornya membuka ke
dalam laringofaring, dan di inferiornya bersambung dengan trakea. Kerangka laring
dibentuk oleh beberapa tulang rawan (yaitu: hioid, epiglottis, tiroid, aritenoid dan krikoid)
yang dihubungkan oleh ligamentum dan digerakkan oleh otot. Tulang rawan tiroid
merupakan tulang rawan terbesar dalam laring. Bentuknya yang seperti perisai
memberikan perlindungan terhadap komponen internal dari laring. Kedua sayap
quadrilateralnya (lamina dekstra dan sinistra) saling bertemu membentuk tonjolan laring
(adams apple). Bagian superior dari tonjolannya membentuk takik tiroid. Di bagian
bawah, tonjoan laring mebentuk takik tiroid inferior.
Kornu superior dan inferior berasal dari margin posterior di masing-masing sisi.
Kornu yang lebih rendah berartikulasi dengan sisi lateral dari tulang rawan krikoid dan
membentuk sendi krikotiroid. Ligamentum tirohyoid tersambung antara kornu superior
tiroid dengan kornu besar dari tulang hyoid. Membran tirohyoid membentang diantara
tulang hyoid dengan permukaan atas kartilago tiroid. Membran krikotiroid membentang
diantara kartilago tiroid dan krikoid. Garis oblique, tempat perlekatan dari sternohyoid,
tirohyoid dan muskulus konstriktor faring inferior, berlokasi di permukaan luar dari
kartilago tiroid. Seperti halnya kartilago tiroid, kartilago krikoid juga memproteksi
struktur lain dalam laring. Kartilago krikoid merupakan satu-satunya struktur pendukung
dari rangka laring yang berbentuk cincin yang utuh. Di bagian depan, kartilago ini
membentuk pita yang relatif sempit sementara di bagian belakangnya membentuk lamina
yang lebih besar yang tingginya kurang lebih 2-3 cm. Articulatio krikotiroid terjadi antar
masing-masing persambungan dari lamina dan arkus. Tanduk inferior dari kartilago tiroid
berartikulasi sisi demi sisi dengan kartilago krikoid.
Seperti halnya kartilago tiroid, kartilago krikoid juga memproteksi struktur lain dalam
laring. Kartilago krikoid merupakan satu-satunya struktur pendukung dari rangka laring
yang berbentuk cincin yang utuh. Di bagian depan, kartilago ini membentuk pita yang
relatif sempit sementara di bagian belakangnya membentuk lamina yang lebih besar yang
tingginya kurang lebih 2-3 cm. Articulatio krikotiroid terjadi antar masing-masing
persambungan dari lamina dan arkus. Tanduk inferior dari kartilago tiroid berartikulasi
sisi demi sisi dengan kartilago krikoid. Tulang hyoid menyediakan dukungan tambahan
terhadap laring. Membran yang melekat pada tulang hyoid berfungsi mengangkat laring
dan mencegahnya dari aspirasi. Korpus anterior dan 2 kornu yang lebih besar mengarah
ke posterior sementara 2 kornu yang lebih kecil mengarah ke superior. Epiglottis bersifat
fleksibel, seperti daun, elastis dan memiliki struktur tulang rawan yang meruncing ke
bawah membentuk ekstensi yang mirip kapur tulis disebut petiole. Petiole merupakan
tempat perlekatan dari ligamen tiroepiglottic yang menghubungkan epiglottis dengan
tonjolan laring. Bagian superior dari epiglottis berlokasi di posterior lidah dan di depan
aditus laringis dan tidak dilindungi oleh tulang rawan tiroid. Sementara di bagian
lateralnya, lipatan ariepiglottik melekatkan epiglottis pada tulang rawan arytenoid.
Ligamen hyoepiglottik dan tiroepiglottis membantu menstabilkan tulang rawan epiglottis
ini. Sepasang tulang arytenoid berada di perbatasan supero-posterior dari lamina tulang
rawan krikoid. Dasar segitiga dari kartilago arytenoid memiliki 3 permukaan (posterior,
anterolateral, medial) untuk tempat melekatnya otot dan ligamen. Otot arytenoid
transversal melekat pada permukaan posterior. Ligamen vestibular, dan otot arytenoid
serta otot vokalis melekat di permukaan anterolateralnya. Sementara pada permukaan
medialnya mengandung kelenjar mukus laring. Dasar dari masing-masing arytenoid juga
memiliki prosessus muskular (dimana otot-otot krikooarytenoid posterior dan lateral
melekat) dan sebuah prosessus vokalis antero-caudal (dimana ligamen vocalis melekat).
Sendi krikoaryteoid berada di dasar dari masing-masing tulang rawan arytenoid.
Kartilago kornikulata (santorini) berlokasi di superior dari kartilago arytenoid.
Kartilago kuneiformis (Wrisberg) berlokasi di lateral dan superior dari kartilago
kornikulata. Kartilago triticeous berlokasi didalam ligamen tirohyoid.
Membran quadrangular merupakan jaringan elastis yang membentuk ligamen intrinsik
dari laring salah satunya adalah ligamen vokalis. Membran quadrangular melekat di
bagian posterior dari arytenoid bagian atas dan kartilago kornikulata. Ia kemudian
berjalan ke bagian atas laring ke bagian lateral dari epiglottis. Batas bawah dari membran
ini adalah ligamen ventrikular sementara batas atasnya merupakan bagian dari lipatan
aryepiglottik.
Membran konus elastikus (membran krikotiroid) menjembatani rongga diantara
krikoid dan tiroid. Di bagian belakangnya, konus elastikus melekat pada arytenoid dan
prosessus vokalis pada masing-masing sisi. Prosessus vokalis terproyeksi keluar
membentuk ligamen vokalis., yang kemudian membentuk komissura anterior. Ligamen
ventrikularis melekat pada bagian superior dari tulang arytenoid dan menyeberangi laring
untuk melekat pada tulang rawan tiroid sedikit di atas ligamen vokalis. Ligamen
ventrikularis membentuk batas bawah dari membran quadrangular dan turut membentul
kord ventrikularis.
Batas dari aditus laringis meliputi epiglottis di anterior, kartilago kornikulata di
posterior dan lipatan aryepiglottis di lateralnya. Batas bawah dari laring adalah kartilago
krikoid. Laring sendiri kemudian dibagi atas regio supraglottis (vestibulus), glottis
(ventrikel) dan subglottis.
Supraglottis membentang dari ceruk laryngeal ke lipatan vestibular. Lipatan vestibular
(meliputi kord vokalis palsu dan kord vokalis superior) melekat di bagian depan thyroid
sedikit di bawah tempat perlekatan epiglottis. Di bagian belakangnya, lipatan ini melekat
pada arytenoid. Ventrikel laring (ventrikel Morgagni) merupakan sebuah rongga di antara
vestibular dan Plica vokalis sejati. Segmen anterior dari ventrikel ini memanjang hingga
ke dalam divertikulum yang disebut sakulus laring atau apendiks ventrikel laring. Kord
vokalis sejati berlokasi di bagian inferior dari ventrikel ini.
Daerah di antara korda vokalis sejati di sebut glottis. Glottis merupakan bagian laring
yang paling sempit. Celah glottis (rima glottis) merupakan celah yang memisahkan kord
vokalis sejati dengan kartilago arytenoid. Daerah subglottis memanjang dari glottis
hingga krikoid. Konus elastik membentuk batas lateral dari subglottis.
Kord vokalis sejati terutama terdiri dari otot-otot tiroarytenoid yang menghubungkan
arytenoid dengan bagian dalam dari kartilago tiroid. Masing-masing otot ini berjalan
paralel. Bagian medialnya disebut otot vokalis dan bagian lateralnya memanjang ke
superior dan masuk ke dalam tiroid.
Otot-otot krikoarytenoid sangat penting untuk fungsi laring yang sempurna. Otot
krikoarytenoid lateral membentang dari prosesus muskularis dari arytenoid ke bagian
superolateral dari krikoid. Sementara otot krikoarytenoid posterior membentang dari
prosessus muskularis arytenoid ke bagian posterior krikoid. Otot-otot ini merupakan satu-
satunya yang dapat mengabduksi kord vokalis. Otot-otot di interarytenoid melekatkan
satu arytenoid dengan lainnya.
Krikoaritenoid lateral dan interarytenoid memediasi adduksi dari kord vokalis. Otot
interarytenoid merupakan satu-satunya kelompok otot yang memiliki inervasi bilateral
dari nervus laring rekurren. Nervus ini menginervasi seluruh otot intrinsik lainnya. Otot
krikotiroid merupakan satu-satunya otot yang di persarafi oleh cabang eksternal dari
nervus laring superior( cabang kranial dari nervus X ). Otot ini berasal dari bagian bawah
kartilago tiroid dan berorigo di kartilago krikoid.
2.3 Fisiologi
Mekanisme dari cedera yang timbul adalah refleksi dari jenis penyebabnya. Pada
setiap cedera yang timbul akibat trauma laring seringkali disertai kelainan pada tulang,
secara khusus, dapat terjadi dislokasi krikotiroid dan krikoaritenoid.
Trauma laring akibat kecelakaan bermotor dapat terjadi pada penumpang yang tidak
mengenakan sabuk pengaman ketika lehernya menimpa setir atau dashboard pada saat
kendaraan di rem dengan mendadak. Kekuatan dari arah depan akan mendorong laring ke
arah vertebra servikalis dan menyebabkan cedera.
Cedera akibat terjerat tali yang terentang (clothesline injuries) terjadi ketika seseorang
yang bergerak menerjang sebuah objek terentang yang diam. Hasilnya adalah cedera yang
serius akibat laring yang terdorong ke arah spina servikalis.
Secara umum pada semua mekanisme kasus trauma laring adalah adanya transfer
langsung dari tenaga eksternal yang besar kepada laring. Tenaga besar ini memiliki
kemampuan untuk menyebabkan berbagai cedera yang hebat termasuk robekan mukosa,
dislokasi dan fraktur. Edema, hematoma, nekrosis kartilago, perubahan suara, paralisis
saraf, aspirasi dan gangguan jalan nafas dapat menyertai trauma ini.
2.4 Klasifikasi Trauma Laring Dan Trakea
Boyes(1968) membagi trauma laring dan trakea berdasarkan beratnya kerusakan yang
timbul dalam 3 golongan :
1. Trauma dengan kelainan mukosa saja, berupa edema, hematoma, emfisema
submukosa, luka tusuk atau sayat tanpa kerusakan tulang rawan
2. Trauma yang mengakibatkan tulang rawan hancur
3. Trauma yang mengakibatkan sebagian jaringan hilang.

2.5 Etiologi Trauma Laring Dan Trakea


1. Supraglottis: Tenaga yang menimbulkan trauma seringkali menyebabkan fraktur
horisontal pada alae tiroid dan disrupsi ligamentum hyoepiglottik yang disusul
terjadinya dislokasi ke arah superior dan posterior. Reposisi dari epiglottis akan
menghasilkan lumen palsu di depan epiglottis. Lumen palsu ini dapat menjadi saluran
ke dalam laring atau terus ke depan ke arah kartilago tiroid dan menyebabkan
emfisema servikal.
2. Glottis: Kekuatan trauma akan menyebabkan fraktur berbentuk salib pada kartilago
thyroid di dekat perlekatannya dengan kantung suara.
3. Subglottis: Kekuatan trauma terhadap kartilago krikoid akan menyebabkan cedera
pada sendi krikothyroid dan berakibat pada paralisis kantung suara akibat kerusakan
nervus laring rekuren.
4. Tulang Hyoid : Lebih sering ditemukan pada wanita dan fraktur hyoid cenderung
terjadi pada bagian sentral dari tulang hyoid oleh karena sifat kekuatan tulangnya.
5. Sendi Cricoarytenoid: Kekuatan traumatik akan menyebabkan dislokasi dari alae
tiroid secara medial atau menyebabkan kompresi laring terhadap vertebra servikalis
seringkali juga menyebabkan dislokasi krikoaritenoid. Cedera yang terjadi biasanya
unilateral.
6. Sendi krikotiroid : Gangguan terjadi ketika kekuatan traumatik pada leher depan
menyebabkan kornu inferior dari kartilago tiroid tergeser ke belakang ke arah
kartilago krikoid. Dislokasi ini menyebabkan terbatasnya fungsi otot krikotiroid dan
mengganggu kontrol nada (pitch control). Cedera pada saraf-saraf laring yang
berulang pada akhirnya akan menyebabkan paralisis pita suara.

Selalu menduga akan adanya cedera jalan nafas atas pada setiap pasien dengan trauma
servikal. Gejala-gejala yang sering muncul pada pasien trauma laring termasuk
diantaranya nyeri leher, suara parau, dispnea, disfonia, afonia, odinofonia, dan
odinofagia. Namun, tidak ada satu gejalapun yang berkorelasi dengan baik dengan
beratnya cedera laring yang terjadi.

Pemeriksaan fisis lengkap adalah vital untuk menentukan penatalaksanaan yang tepat
dari trauma laring. Sebelum melanjutkan ke area lain dari pemeriksaan fisis yang
dilakukan, spina servikalis harus dipastikan tidak mengalami cedera. Beberapa tanda-
tanda umum dari trauma laring adalah emfisema subkutan, stridor, hemoptisis, hematoma,
ekimosis, kekakuan laring, imobilitas pita suara, hilangnya lapang pandang anatomis dan
krepitus tulang. Patut dicurgai adanya fraktur akut jika kekakuan didapatkan pada palpasi
laring. Periksa obstruksi jalan nafas bila terdapat stridor. Pemeriksaan lebih lanjut pada
glottis diperlukan bila terdapat kombinasi stridor inspiratoar dan ekspiratoar sekaligus.

Trauma akibat inhalasi biasanya disebabkan oleh udara yang sangat panas, terutama
uap panas, yang mampu membawa serta tenaga panas bersamanya. Ketika menghisap
udara yang panas, glottis secara refleks akan menutup. Hal ini akan mengurangi cedera
yang disebabkan oleh panas dengan cara menghentikan pernafasan, dan membuat cedera
terbatas hanya sampai di daerah supraglottis saja.

Cedera yang disebabkan oleh bahan-bahan kaustik seringkali didapatkan pada


kelompok usia kanak-kanak dan biasanya akibat kecerobohan mereka dalam
menggunakan benda-benda berbahaya di rumah sebagai alat permainan. Bila didapatkan
pada usia dewasa, biasanya ditemukan pada kasus-kasus percobaan bunuh diri dengan
menelan larutan alkali ataupun hidrokarbon.

2.6 Manifestasi Klinis Trauma Laring Dan Trakea


Pasien trauma laring sebaiknya dirawat untuk observasi dalam 24 jam pertama.
Timbulnya gejala stridor yang perlahan-lahan makin menghebat atau timbul mendadak
merupakan tanda adanya sumbatan jalan nafas.
Suara serak (disfoni) atau suara hilang (afoni) timbul bila terdapat kelainan pada pita
suara akibat trauma seperti edema , hematoma, laserasi atau parese pita suara. Stridor juga
mungkin akan ditemukan.
Emfisema subkutis terjadi bila ada robekan mukosa laring atau trakea atau fraktur
tulang-tulang rawan laring hingga mengakibatkan udara pernafasan akan keluar dan
masuk ke jaringan subkutis leher. Emfisema leher dapat meluas sampai ke daerah muka,
dada dan abdomen dan pada perabaan terasa sebagai krepitasi kulit.
Hemoptisis terjadi akibat laserasi mukosa jalan nafas dan bila jumlahnya banyak
dapat menyumbat jalan nafas. Perdarahan ini biasanya terjadi akibat luka tusuk,luka
sayat, luka tembak maupun luka tumpul.
Disfagia (sulit menelan) dan odinofagia (nyeri menelan) dapat timbul akibat ikut
bergeraknya laring yang mengalami cedera pada saat menelan.
Trauma laring eksternal dibagi ke dalam 5 grup sebagai berikut :
1. Grup I:
Trauma endolaringeal ringan tanpa fraktur.
2. Grup II:
Edema sedang, hematoma dengan laserasi mukosa, tidak ada ekspose tulang rawan,
fraktur nondislokasi.
3. Grup III
Edema berat, robekan mukosa dengan ekspose tulang rawan, disertai kord vokalis
yang immobile.
4. Grup IV
sama dengan derajat 3 ditambah perlukaan berat endolaringeal disertai bentuk laring
yang tidak beraturan.
5. Grup V
Terputusnya laringotrakeal komplit.

2.7 Komplikasi Trauma Laring Dan Trakea


Komplikasi trauma laring dapat terjadi apabila penatalaksanaannya kurang tepat dan
cepat. Komplikasi yang dapat timbul antara lain : terbentuknya jaringan parut dan
terjadinya stenosis laring, paralisis nervus rekuren, infeksi luka dengan akibat terjadinya
perikondritis, jaringan parut dan stenosis laring dan trakea.
Secara garis besarnya, komplikasi yang mungkin terjadi :
1. Akut
a. Obstruksi jalan nafas
b. Afonia
c. Disfonia
d. Odinofagia
e. Disfagia
f. Komplikasi post operasi ( hematoma, infeksi)
2. Kronik
a. Perubahan suara (21-25%)
b. Obstruksi kronik (15-17%)
c. Cedera kord vokalis (paralisis, terfiksasi)
d. Fistula (trakeoesofageal, esofageal, atau faringokutaneous)
e. Perubahan kosmetik
f. Aspirasi kronik

2.8 Patofisiologi Trauma Laring Dan Trakea


Trauma laring dapat bmenyebabkan edema dan hematoma di plika ariepiglotik dan
plikaventrikularis, oleh karena jaringan submukosa daerah ini mudah membengkak.
Selain itu mukosa faring dan laring mudah robek, yang diikuti dengan terbentuknya
emfisema subkutis di daerah leher. Infeksi skunder melaui robekan ini dapat
menyebabkan selulitis, abses atau fistula. Tulang rawan laring dan persendiannya dapat
mengalami fraktur dan dislokasi. Kerusakan pada perikondrium dapat menyebabkan
hematoma, nekrosis tulang rawan dan perikondritis yang mengakibatkan penyempitan
lumen laring dan trakea. Robekan mukosa yang tidak dijahit dengan baik, yang diikuti
oleh infeksi skunder, dapat menimbulkan terbentuknya jaringan granulasi, fibrosis dan
akhirnya stenosis.

2.8 Pemeriksaan penunjang

Protokol trauma umum (Advanced Trauma Life Support [ATLS]) diindakasikan


untuk menilai pasien yang cedera parah. Jalan nafas mesti dibersihkan dan sistem organ
yang lain ( jantung, paru, vaskular) juga harus distabilisasi. Sebelum melakukan
pemeriksaan lebih lanjut, cedera yang mengancam jiwa, seperti cedera vaskular dan
perdarahan, harus diatasi terlebih dahulu.
Secara umum, pada fraktur laring, foto servikal dan thoraks harus diambil terlebih
dahulu untuk menyingkirkan trauma servikal.
Fraktur laring biasanya telah dapat dicurigai berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisis
saja,namun visualisasi langsung dari laring sangatlah penting untuk menentukan lokasi
dan luasnya cedera. Endoskopi merupakan pilihan utama untuk maksud ini. Dengan
endoskopi, berbagai kelainan seperti edema, hematoma, robekan mukosa, kartilago yang
terpapar, lebam dan paralisis kord vokal,serta dislokasi arytenoid dapat diperiksa dengan
endoskopi. Prosedur pilihan endoskopi yang terbaik digunakan adalah Transnasal
fiberoptic laryngoscopy dimana dengan prosedur ini dapat menilai jalan nafas dalam
kondisi dinamik dan mengidentifikasi berbagai kelainan. Sementara itu, laringoskopi
indirek dapat membantu melihat keadaan mukosa yang abnormal, kartilago yang fraktur
ataupun dislokasi arytenoid. Namun pada pasien yang cedera berat sebaiknya
laringoskopi indirek tidak dilakukan karena dapat menyumbat pernafasan dan memicu
batuk .
Bila penyebab dari cedera laring belum jelas, pemeriksaan histologi dan membantu
menentukan penyebab cedera dan mendeteksi kelainan makroskopik lainnya.

2.9 Penatalaksanaan trauma laring


2.9.1 Terapi Medis
Untuk gejala yang ringan dimana edema, hematoma, ataupun robekan mukosa yang
kecil (tidak signifikan) ditemukan tanpa adanya cidera lain yang serius, terapi
konservatif saja sudah cukup memadai. Robekan mukosa yang kurang dari 2 cm dapat
diterapi efekif tanpa perlu dibedah. Tujuan utama dari terapi konservatif adalah untuk
mengembalikan fungsi laring pasien ke keadaan awal sebelum trauma yakni sebgai
ventilasi, pembentukan suara dan proteksi saluran nafas. Cedera laring ringan tidak
membutuhkan trakeostomi, namun observasi ketat dalam 24-48 jam setelah cedera
terjadi, tetap harus dilakukan.
Bed rest sangat dianjurkan dengan elevasi kepala 30-45. Demikian juga
dengan kantung suara di anjurkan untuk diistirahatkan untuk mengurangi edema,
pembentukan hematoma dan emfisema subkutan. Udara yang dilembabkan akan
membantu mengurangi pembentukan krusta dan mempercepat berakhirnya disfungsi
silier. Oksigen tambahan seringkali tidak diperlukan dan bahkan bisa membahayakan
pada beberapa pasien yang disertai PPOK.
Pada tahap awal hindari pemberian makan secara oral melainkan cukup
parenteral saja yang perlahan-lahan diikuti makanan cair per oral. Diet disesuaikan
dengan derajat parahnya trauma. Hindari penggunaan tuba nasogastrik karena akan
memperparah cedera laring ketika tuba dipasang.
Penggunaan kortikosteroid masih kontroversial, sebagian ahli THT percaya
kortikosteroid akan mengurangi inflamasi, edem dan fibrosis serta mencegah
pembentukan jaringan granulasi. Kortikosteroid sistemik sangat menolong hanya pada
beberapa hari pertama saja setelah trauma terjadi.
Penggunaan antibiotik tidak begitu penting pada trauma ringan dimana fraktur
kartilago dan robekan mukosa tidak dapat diidentifikasi. Namun, begitu robekan
mukosa dapat divisualisasi, antibiotik sistemik harus digunakan untuk mengurangi
resiko infeksi lokal dan perikondritis yang bisa memperlambat penyembuhan dan
menyebabkan stenosis jalan nafas.
Penggunaan obat-obatan anti refluks sepeti antagonis reseptor H-2 dan PPI,
dapat membantu mengurangi jaringan granulasi dan stenosis trakea.
2.9.2 Terapi Bedah
Informasi yang diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisis, prosedur
endoskopik dan radiologi memberikan bantuan yang sangat penting dalam
merencanakan sebuah eksplorasi daerah leher. Bila jalan nafas mengalami sumbatan,
trakeostomi harus dilakukan dalam keadaan pasien sadar dan menggunakan anastesi
lokal dengan efek sedasi ringan. Biasanya, insisi trakeal dibuat pada posisi di bawah
trakeostomi standar. Insisi di bawah cincin ketiga dan keempat lebih disukai untuk
menolong pasien dengan trauma laring. Karena pada posisi ini, membantu mencegah
trauma lebih lanjut yang mungkin mengenai laring.
Eksplorasi dimulai dengan insisi horizontal pada lipatan kulit setinggi
membran krikotiroid. Sebuah flap subplatisma kemudian diangkat ke arah tulang
hyoid di superior dan ke krikoid di inferior. Perluasan dari insisi akan membantu
memperlihatkan cedera pada saraf, vaskular dan organ isceral. Otot-otot dipisahkan di
miline dan retraksi ke lateral agar tulang dapat di lihat dengan baik. Pada titik ini,
dapat di identifikasi dan dibuang jaringan sisa fraktur pada kartilago laring yang
terlihat.
Laring dapat dimasuki tergantung dari lokasi cederanya. Bisa dengan midline
tirotomi, ataukah melalui kartilago tiroid yakni 2-3 mm dari takik tiroid. Bila kartilago
tiroid telah terbuka, mukosa endolaring kemudian dipotong tajam. Pemeriksaan
endolaring kemudian dapat dilakukan secara menyeluruh. Aritenoid dipalpasi untuk
mengevaluasi posisi dan mobilitasnya. Kord vokalis di perbaiki menggunakan benang
absorbable 5-0 atau 6-0. Menyambung kembali kommissura anterior sangat penting
untuk mengembalikan kualitas suara.
Perhatian yang seksama harus dicurahkan untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki laserasi mukosa. Kartilago yang terbuka harus ditutup untuk
meminimalisir fibrosis dan mencegah jaringan granulasi. Bila tidak dapat ditutup,
maka dapat dipergunakan kulit atau membran mukosa sebagai graft.
Fraktur kartilago harus dikurangi dan dimobilisasi. Bila terdapat fraktur
kartilago yang terisolasi dan tidak memiliki perikondrium harus segera di debridemen
untuk menghindari kondritis dan disfungsi kord vokalis.
Secara tradisional, benang kawat telah digunakan untuk immobilisasi dan
mengurangi fraktur pada kartilago.
Namun saat ini kebanyakan ahli bedah lebih memilih menggunakan miniplate
dari logam untuk memperbaiki fraktur pada kartilago laring. Miniplate ini terbukti
efektif untuk menstabilisasi arsitektur laring dan membantu mengembalikan bentuk
laring seperti sedia kala. Miniplate juga mengurangi masa rawat inap, dan lebih
nyaman bagi pasien. Apalagi kini telah tersedia plate yang terbuat dari bahan yang
dapat diabsorbsi sehingga akan jauh lebih nyaman bagi pasien.
Penatalaksanaan macam-macam luka :
1. Luka terbuka
Luka terbuka dapat disebabkan oleh trauma pada leher setinggi laring,
misalnya oleh clurit, pisau dan peluru. Kadang-kadang pasien dengan luka terbuka
pada laring meninggal sebelum mendapat pertolongan, oleh karena perdarahan atau
terjadinya asfiksia.
Diagnosis luka terbuka di laring dapat dapat ditegakkan berdasarkan adanya
gelembung-gelembung udara pada daerah luka, oleh karena udara yang keluar dari
trakea.
Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan
saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke daerah paru.
Tindakan segera yang harus dilakukan adalah trakeostomi dengan
menggunakan kanul trakea yang memakai balon, sehingga tak terjadi aspirasi darah.
Tindakan intubasi endotrakea tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan kerusakan
struktur laring yang lebih parah. Setelah trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi
untuk mencari dan mengikat pmbuluh darah yang cedera serta memperbaiki struktur
laring dengan menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek.
Untuk mencegah infeksi dan tetanus dapat diberikan antibiotik serum anti
tetanus. Komplikasi yang dapat timbul adalah aspirasi darah, paralisis pita suara dan
stenosis laring.
2. Luka tertutup (closed injury)
Gejala luka tertutup tergantung pada berat ringannnya trauma. Pada truma
ringan gejalanya dapat berupa nyeri pada waktu menelan, waktu batuk dan waktu
bicara. Disamping itu mungkin terdapat disfonia, tetapi belum terdapat sesak nafas.
Pada trauma berat dapat terjadi fraktur dan dislokasi tulang rawan serta
laserasi mukosa laring. Sehingga menyebabkan gejala sumbatan jalan nafas ( stridor
dan dispnea), disfonia atau afonia, hemoptisis, hematemesis, disfagia, odinofagia,
serta emfisema yang ditemukan di daerah leher, muka, dada dan mediastinum.
Berbeda dengan luka terbuka, diagnosis luka tertutup pada laring lebih sulit.
Diagnosis ini penting untuk menentukan sikap selanjutnya, apakah perlu segera
dilakukan eksplorasi atau cukup dengan pengobatan konservatif dan observasi saja.
Kebanyakan pasien trauma laring juga mengalami trauma pada kepala dan
dada, sehingga pasien biasanya dirawat di ruang perawatan intensif dalam keadaan
tidak sadar dan sesak nafas. Tindakan trakeostomi untuk mengatasi sumbatan jalan
nafas tanpa memikirkan penatalaksanaan selanjutnya akan menimbulkan masalah di
kemudian hari yaitu kesukaran dekanulasi.
Olson berpendapat bahwa eksplorasi harus dilakukan dalam waktu paling
lama 1 minggu setelah trauma. Eksplorasi yang dilakukan setlah lewat seminggu akan
memberikan hasil yang kurang baik dan menimbulkan komplikasi di kemudian hari.
Keputusan untuk menentukan sikap apakah akan melakukan eksplorasi atau
konservatif, tergantung pada hasil pemeriksaan laringoskopi langsung atau tidak
langsung, foto jaringan lunak leher, foto toraks dan CT Scan.
Pada umumnya pengobatan konservatif dengan istirahat suara, humidifikasi
dan pemberian kortikosteroid diberikan pada keadaan mukosa laring yang edema,
hematoma atau laserasi ringan, tanpa adanya gejala sumbatan laring.
Indikasi untuk melakukan eksplorasi ialah :
a. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.
b. Emfisema subkutis yang progresif.
c. Laserasi mukosa yang luas.
d. Tulang rawan krikoid yang terbuka.
e. Paralisis bilateral pita suara.
Eksplorasi laring dapat dicapai dengan membuat insisi kulit horizontal. Tujuannya adalah
untuk melakukan reposisi pada tulang rawan atau sendi yang mengalami fraktur atau
dislokasi, menjahit mukosa yang robek dan menutup tulang rawan yang terbuka dengan jabir
(flap) atau tandur alih (graft) kulit.
Untuk menyangga lumen laring dapat digunakan bidai (stent) atau mold dari silastik,
porteks, atau silicon, yang dipertahankan selama 4 atau 6 minggu. Penyangga tersebut
bisanya berbentuk seperti huruf T sehingga disebut T tube.
2.10 prognosis
Sebagian besar trauma laring dapat sembuh secara spontan dan tidak memerlukan
perhatian lebih lanjut. Oleh karena berbagai faktor yang dapat memicu cedera ini telah
dikurangi maka , derajat dan insidens komplikasinya dapat pula diminimalisir.
Trauma tajam laring diasosiasikan dengan 3-6 % angka kematian. Berbagai teknik
penatalaksanaan yang strategis terus dikembangkan untuk trauma laring jenis ini.
Pasien dengan derajat trauma laring yang berada di grup I dan II sebagian besar sembuh
sempurna meski demikian beberapa yang lebih parah (misalnya yang disertai dislokasi
kartilago ataupun cedera saraf), memiliki prognosis yang buruk.

Daftar pustaka
http://www.medicinestuffs.com/2010/03/trauma-laring.html
http://www.scribd.com/doc/129655871/Trauma-Laring
http://id.wikipedia.org/wiki/Laring

Anda mungkin juga menyukai