Anda di halaman 1dari 16

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Urine di keluarkan melalui uretra. Uretra wanita jauh lebih pendek dari pada
uretra pria hanya 4 cm panjangnya di bandingkan dengan panjang sekitar 20 cm
pada pria. Perbedaan anatomis menyebabkan insiden infeksi saluran kemih
asendens lebih tinggi pada wanita. dengan demikian hitung koloni yang lebih dari
100.000 sel bakteri permililiter urin di anggap bermakna patologis. Sfingter
internal bagian atas di tempat keluar dari kandung kemih, terdiri atas otot polos
dan dibawah pengendalian otonom. Sfingter eksternal adala otot rangka dan
berada di bawah pengendalian folunter. Uretra pada pria memiliki fungsi ganda
sebagai saluran untuk urin dan spermatozoa melalui koitus.
Striktur urethra merupakan penyakit atau kelainan yang berupa penyempitan
atau konstriksi dari lumen urethra akibat adanya obstruksi . Striktur urethra di
sebut juga penyempitan akibat dari adanya pembentukan jaringan fibrotik
(jaringan parut) pada urethra atau daerah urethra.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan tujuan di atas maka, dapat ditarik rumusan masalah untuk
kemudian akan dibahas pada bab selanjutnya yakni bagaimana penerapan asuhan
keperawatan pada pasien dengan cedera uretra.
1.3 Tujuan penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera uretra.
1.3.2 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami antara
lain:
1. Mengetahui defenisi dari cedera uretra
2. Menegetahui Anatomi fisiologi dari uretra
3. Menegetahui etiologi dari cedera uretra.
4. Menegetahui klasifikasi cedera uretra uretra.
5. Menegetahui patofisiologi cedera uretra uretra.

1
2

6. Mengetahui tanda dan gejala cedera uretra.


7. Mengetahui penatalaksanaan cedera uretra.
8. Mengetahui teori asuhan keperawatan cedera uretra.
9. Mengetahui Patoflowdiagram cedera uretra ke masalah keperawatan
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan yaitu dengan studi kepustakaan dan
mencari data-data penunjang di internet.
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Cedera uretra adalah suatu cedera yang mengenai uretra sehingga
menyebabkan ruptur pada uretra. Cidera uretra dibedakan menjadi cedera uretra
anterior dan cedera uretra posterior berdasarkan etiologi trauma, tanda klinis,
pengelolaan, serta prognosisnya berbeda.
Ruptur uretra posterior akan didapatkan pada kondisi patah tulang pelvis,
pada daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah dijumpai jelas, hematom
perivesika, dan nyeri tekan.
Pada kondisi parah terjadi ruptur uretra total bisa ditemukan tanda
rangsangan peritoneum, klaen mengeluh tidak bisa buang air kecil sejak terjadi
trauma. Klien biasanya mengalami syok hivopolamik akibat perdarahan dalam
dari praktur pelvis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda khas, meliputi (1)
perdarahan per-uretram, (2) retensi urine, dan (3) pemeriksaan colok dubur
didapatkan kelembutan prostat dan terasa organ prostat seperti melayang didalam
suatu hematom dan adanya darah yang menetes pada sarung tangan
mengindikasikan adanya perdarahan masif akibat trauma pada panggul.
Ruptur pada uretra anterior mekanisme cedera yang paling sering
meneyebabkan kerusakan uretra anterior adalah cedera selangkangan (straddle
injuri) terutama pada saat bersepeda yaitu uretra terjepit diantara tulang pelvis dan
benda tumpul.
Pada pengkajian, klien mengeluh nyeri, adanya perdarahan per-uretram atau
hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum terlihat adanya
hematom pada penis atau hematoma kupu-kupu. Pada keadaan ini seringkali
pasien tidak dapat miksi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya daerah memar atau hematom
pada penis dan skrotum. Oleh karena kerusakan uretra, saat urine melewati uretra,
proses berkemih dapat menyebabkan ekstravasasi saluran urine yang
menimbulkan pembengkkan pada skrotum atau area inguinal dengan memberikan
gambaran butterfly haematome.

3
4

2.2 Anatomi Fisiologi


2.2.1 Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari buli-buli
melalui proses miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan
cairan mani.
Uretra ini diperlengkapi dengan spingter uretra interna yang terletak pada
perbatasan buli-buli dan uretra, dinding terdiri atas otot polos yang disyarafi oleh
sistem otonomik dan spingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra
anterior dan posterior, dinding terdiri atas otot bergaris yang dapat diperintah
sesuai dengan keingian seseorang. Panjang uretra dewasa 23-25 cm.
Secara anatomis uretra terdiri dari dua bagian yaitu uretra posterior dan
uretra anterior. Kedua uretra ini dipisahkan oleh spingter uretra eksternal.
Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian
uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea.
Dibagian posterior lumen uretra prostatika terdapat suatu tonjolan verumontanum,
dan disebelah kranial dan kaudal dari verumontanum ini terdapat krista uretralis.
Bagian akhir dari vasdeferen yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat dipinggir
kanan dan kiri verumontanum, sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara
didalam duktus prostatiks yang tersebar di uretra prostatika.
Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus
spongiosum penis. Uretra anterior terdiri atas: 1. Pars bulbosa, 2. Pars pendularis,
3. Fossa navikulare, dan 4. Meatus uretra eksterna. Didalam lumen uretra anterior
terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu
kelenjar Cowperi berada didalam diafragma urogenitalis bermuara diuretra pars
bulbosa, serta kelenjar Littre yaitu kelenjar para uretralis yang bermuara di uretra
pars pendularis.
5

2.3 Etiologi Dari Cedera Uretra.


Penyebab striktur uretra umumnya adalah cedera uretral, diantaranya :
1. Cidera akibat insersi peralatan bedah selama operasi transurethral,
pemasnagan kateter atau prosedur sistoskopi.
2. Cedera akibat peregangan.
3. Cedera yang berhubungan dengan kecelakaan.
4. Uretritis gonorhoe yang tidak ditangani.
5. Abnormalitas congenital.
Penyebab trauma uretra adalah:
1. Trauma uretra terjadi akibat cedera yan berasal dari luar dan cedera
iatrtogenik akibat intrumentasi pada uretra.
2. Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis,menyebabkan
ruptur uretra pars membranasea,sedangkan trauma tumpul pada
selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan ruptur utetra para
bulbosa.
3. Pemasangan kateter pada uretra yangkurang hati-hati dapat menimbulkan
robekan uretra karena salah jalan (false route).
6

2.4 Klasifikasi Cedera Uretra Uretra


straddle injury ini sering ditemukan ; dibedakan menjadi tiga macam :
1. Ringan (Grade I )
2. Sedang (Grade II)
3. Berat (Grade III)
- Ringan
a. Pada Tingkat Ini Yang Rusak Adalah Dinding Uretra
b. Fasia Buck Masih Utuh.
- Sedang
Pada tingkat ini terjadi :
a. Ruptura Dinding Uretra
b. Fasia Buck Tetap Utuh
- Berat
Pada tingkat ini terjadi :
a. Ruptura Uretra
b. Facia Buck Robek.
7

2.5 Patofisiologi
Struktur uretra terdiri dari lapisan mukosa dan lapisan submukosa.Lapisan
mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosabuli-buli, ureter dan
ginjal.Mukosanya terdiri dari epitelkolumnar, kecuali pada daerah dekatorifisium
eksterna epitelnya skuamosa dan berlapis.Submukosanya terdiri dari lapisan
erektil vaskular.
Apabila terjadi perlukaan pada uretra, maka akan terjadi penyembuhan cara
epimorfosis, artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan lain (jaringanikat)
yang tidak sama dengan semula.
Jaringan ikat ini menyebabkan hilangnya elastisitas dan memperkecil lumen
uretra, sehingga terjadi striktur uretra.

2.6 Tanda dan gejala


1. Ringan
Gejala kliniknya adalah perdarahan per uretra yang bukan suatuhematuria
tetapi darah langsung keluar dari uretra.
2. Sedang
Gejala kliniknya adalah adanya hematom yang besar tapi tidak progresif
karena hematom tetap dalam bulbus karvenosus.
3. Berat
Gejala kliniknya darah akan mengalir keluar dan terus menjular kebawah
kulit (subkutis) oleh karena itu terbentuk hematom progresif , mula-mula
didaerah perinium , terus ke skrotum ,daerah ingunal,suprapubik sampai di
penis . Bila dari anamnesis diketahui ada trauma dan pada peadaan klinik
ditemukan hematom progresif demikian ini jeals straddle injury berat
tidak perlu foto rontgen lagi bila tidak segera diobati penderita dapat
meninggal akibat perdarahan atau urosepsis.
8

2.7 Penatalaksanaan Medis


Penanganan dapat mencakup dilatasi secara bertahap terhadap area yang
menyempit(menggunakan logam yang kuat atau bougies) atau secara bedah.
Jika striktur menghambat pasase kateter, maka menggunakan
beberapa filiform bougies untuk membuka jalan.Ketika salah satu bougie mampu
mencapai kandung kemih, kemudian dilakukan fiksasi, dan urine di drainase dari
kandung kemih. Jalan yang telah terbuka tersebut kemudian didilatasi dengan
menggunakan alat pendilitasi yang mengikuti filiform sebagai petunjuk.
Setelah dilatasi dapat dilakukan rendam duduk menggunakan air panas dan
analgesic non-narkotik untuk mengendalikan nyeri. Pemberian antimicrobial
(antibiotic) diresepkan untuk beberapa hari setelah dilatasi.
Eksisi bedah atau uretroplasti diperlukan untuk kasus yang
parah. Sistostomi suprapubis mungkin diperlukan untuk beberapa pasien

2.8 Asuhan Keperawatan.

2.8.1 Pengkajian

Pengkajian Diagnostik

Pada ruptur uretra posterior, pemeriksaan uretrografi retrograd mungkin


terdapat elongasi uretra atau ekstravasasi kontras pada pars prostato-
membranasea. Sementara itu pada ruptur uretra anterior menunjukan adanya
ekstravasasi kontras di pars bullbosa.

Pengkajian Penatalaksanaan Medis


Penting bagi seluruh perawat untuk menegtahui bahwa tidak boleh
melakukan pemasangan kateter pada kondisi ruptur uretra karena dapat
menyebabkan kerusakan uretra yang lebih parah.
Ruptur uretra posterior biasanya di ikuti oleh trauma mayor pada organ lain
(abdomen dan fraktur pelvis) disertai dengan ancaman jiwa berupa perdarahan.
Tindakan yang berlebihan akan menyebabkan timbulnya perdarahan yang lebih
banyak pada kavum pelvis dan prostat, serta menambah kerusakan pada uretra dan
sruktur neurovaskular disekitarnya.
9

Kerusakan neurovaskular menambah kemungkinan terjadinya disfungsi


ereksi dan inkontinensia. Pada keadaan akut, tindakan yang dilakukan adalah
melakukan sistostomi untuk diversi urine. Setelah keadaan stabil, sebagian ahli
urologi melakukan primary endoscopic realigment yaitu setelah melakukan
pemasangan kateter uretra sebagai splint melalui tuntunan uretroskopi. Dengan
cara ini diharapkan kedua ujung uretra yang terpisah dapat saling
didekatkan.tindakan ini dilakukan sebelum satu minggu pasca-ruptur dan kateter
uretra dipertahankan selama 14 hari.
Pada trauma anterior, kontusi uretra di monitor terhadap kemungkina
menjadi striktur uretra dan dilakukan uretrografi pada 4-6 bulan kemudian. Pada
ekstra pasasi ringan, cukup dilakukan sistostomi untuk mengalihkan aliran urine.
Kateter sistostomi dipertahankan samapai 2 minggu dan dilepas setelah
diyakinkan melalui pemeriksaan uretrografi bahwa sudah tidak ada ektravasasi
kontras atau tidak timbul striktura uretra. Namun, jika timbul striktura uretra,
maka dilakukan reparasi uretra.
2.8.2 Diagnosis Keperawatan
1) Kelebihan volume cairan b/d mekanisme regulatori ( gagal ginjal ) dengan
retensi urine.
2) Perubahan eliminasi urin b/d stimulasi kandung kemih, iritasi ginjal atau
uretra, obstruksi mekanik, inflamasi atau trauma jaringan.
3) Retensi urine ( akut/kronik ) b/d obstruksi mekanik, pembesaran prostat,
ketidakmampuan kandung kemih untuk bermkontraksi secara adekuat.
4) Nyeri akut b/d iritasi mukosa kandubg kemih, spasme otot, trauma
jaringanpeningkatan frekuensi / dorongan kontraksi uretra.
5) Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan pengobatan b/d
kurang terpajaan informasi, salah mengartikan informasi, tidak mengenal
sumber informasi.
10

2.8.3 Intervensi Dan Implementasi Keperawatan

1. Kelebihan volume cairan b/d mekanisme regulatori (gagal ginjal) dengan


retensi urine.

Intervensi dan Implementasi Rasional

1. Pantau nadi dan tekanan darah, serta 1. Takikardi dan hipertensi terjadi
central Venous pressure(CVP) karena kegagalan ginjal
2. Batasi cairan sesuai indikasi mengeluarkan urin; pemberian
3. Rencanakan pengantian variasi cairan cairan berlebihan selama
daalam pemberian. Berikan minuman pengobatan
yang disukai. hipovolemia;perubahan fase
4. Auskultasi paru dan bunyi jantung. oliguri.
5. Pasang atau pertahankan kateter 2. Manajemen cairan diukur untuk
sesuai indikasi. menggantikan pengeluaran dari
6. Pantau hasil-hasil pemeriksaan semua sumber
laboratorium seperti BUN, kreatinin, ditambah insensible water loss.
elektrolit, Hb/Ht. 3. Membantu menghindari periode
7. Kolaborasi pemberian obat diuretic ( tanpa cairan; menurunkan rasa
furosemid/lasix ) haus.
8. Kolaborasipemberian obat 4. Kelebihan cairan dapat
antihipertensi(catapres,metildopa, menimbulkan edema paru dan
prazosin) gagal jantung yang dibuktikan
9. Kolaborasi pemberian obat adanya suara paru tambahan
antihipertensi (catapres, metildopa, dan bunyi jantung ekstra.
prazosin). 5. Kateterisasi mengeluarkan
obstruksi saluran bawah dan
memudahkan pengawasan
akurat pengeluaran urin.
6. Mengkaji adanya disfungsi
ginjal, hipo/hipernatremia,
hipo/hiperkalemia, dan adanya
11

anemia.
7. Untuk melebarkan lumen
tubular, menurunkan
hiperkalemia, dan
meningkatkan pengeluaran
urine.
8. Untuk melebarkan lumen
tubular, menurunkan
hiperkalemia, dan
meningkatkan pengeluaran
urine.
9. Diberikan untuk mengatasi
hipertensi akibat dari kelebihan
volume cairan

2. Perubahan eliminasi urin b/d obstruksi mekanik

Intervensi dan Implementasi Rasional


1. Pantau masukan dan pengeluaran 1. Memberikan informasi tentang
serta karakteristik urin. fungsi ginjal dan adanya
2. Dorong untuk meningkatkan komplikasi. Contoh infeksi dan
pemasukan cairan. perdarahan.
3. Pantau hasil pemeriksaan 2. Kaji adanya keluhan nyeri
laboratorium : elektrolit, BUN, kandung kemih: palpasi adanya
kreatinin. distensi suprapubik, dan
4. Kolaborasi pemberian obat sesuai perhatikan penurunan haluaran
dengan indikasi ( misalnya diamox, urin dan adanya edema
HCT, kalium atau natrium fosfat, periorbital.
biknat, dan antibiotic. 3. Peningkatan BUN dan kreatinin
5. Pasang atau pertahankan kateter serta elektrolit menandakan
sesuai indikasi disfungsi ginjal.
6. Siapakan klien untuk prosedur 4. Diamox dapat meningkatkan pH
12

pemeriksaan endoskopi urin; HCT digunakan untuk


mencegah statis urin; K atau Na
fosfat untuk menurunkan
pembentukan batu fosfat; biknat
untuk mencegah pembentukan
batu kalkuli akibat alkalinisasi
urin; dan antibiotic untuk
mengobati infeksi.
5. Memudahkan pemantauan
akurat pengeluaran urin.
6. Supaya klien siap dan tidak
cemas.

3. Retensi urine ( akut/kronik ) b/d obstruksi mekanik

Intervensi dan Implementasi Rasional


1. Dorong klien untuk berkemih tiap 2- 1. Meminimalkan retensi urine dan
4 jam dan saat ada keinginan. distensiberlebihan pada kandung
2. Observasi aliran urin perhatikan kemih.
ukuran dan kekuatan. 2. Berguna untuk mengevaluasi
3. Anjurkan klien untukminum sampai obstruksi dan pilihan intervensi.
300 ml sehari, jika masih toleransi. 3. Peningkatan cairan
4. Perkusi/palpasi area suprapubik. mempertahankan perfusi ginjal
5. Pantau tanda vital, edema, perubahan serta kandung kemih dari
mental dan timbang berat badan tiap bakteri.
hari. 4. Distensi kandung kemih dapat
6. Berikan rendam duduk sesuai dirasakan diarea suprapubik.
indikasi 5. Kehilangan fungsi ginjal
7. Kateterisasi untuk residu urin dan mengakibatkan penurunan
pertahankan kateter sesuai indikasi eliminsi cairan dan akumulasi
8. Irigasi kateter sesuai indikasi sisa toksik.
13

6. Meningkatkan relaksasi
otot,penurunan edema,dan dapat
meningkatkan upaya berkemih.
7. Menghilangkan / mencegah
retensi urin
8. Mempertahankan patensi aliran
urine.

4. Nyeri akut b/d peningkatan frekuensi / dorongan kontraksi uretra.

Intervensi dan Implementasi Rasional


1. Kaji nyeri, perhatikan lokasi dan 1. Nyeri tajam, intermiten sekitar
intensitas nyeri. kateter menunjukkan spasme
2. Berikan rasa nyaman ( sentuhan kandung kemih
terapiutik perubahan posisi, 2. Menurunkan tegangan otot,
pijatan/kompres hangat pada memfokuskan kembali
punggung) dan dorong penggunaan perhatian, dan dapat
tehnik relaksasi ( latihan nafas meningkatkan kemampuan
dalam, visualisasi atau imagery). koping.
3. Kolaborasi pemberian obat analgetik, 3. Menurunkan rasa nyeri akut dan
antispasmodic dan kortokosteroid. meningkatkan relaksasi otot.
Anti spasmodic dapat
menurunkan spasme otot.
Sedangkan kortikosteroid dapat
menurunkan edema jaringan.
14

5. Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan pengobatan b/d kurang


terpajaan informasi, salah mengartikan informasi, tidak mengenal sumber
informasi.

Intervensi dan Implementasi Rasional


1. Kaji tingkat pengetahuan klien 1. Memberikan dasar
tentang proses penyakit, prognosis pengetahuan dimana klien
dan pengobatan yang belum dapat membuat pilihan
diketahui. informasi.
2. Diskusikan tentang proses penyakit, 2. Meningkatkan pengetahuan
prognosis dan pemeriksaan dan klien tentang penyakitnya,
pengobatan yang akan diberikan. prognosis dan program
pengobatan.

2.8.4 Evaluasi Keperawatan


1) Haluaran urine tepat, dengan berat jenis (hasil pemeriksaan laboratorium)
mendekati normal; berat badan stabil; tanda vital dalam batas normal;
tidak ada edema.
2) Buang air kecil dengan pola dan jumlah yang normal tanpa adanya
obstruksi.
3) Buang air kecil yang cukup dan tak teraba adanya distensi kandung kemih.
4) Rasa nyeri klien hilang atau berkurang atau terkontrol dengan
menunjukkan keterampilan relaksasi, tampak rileks dan istirahat/ tidur
dengan nyaman.
5) Klien menyatakan mengetahui proses penyakit, prognosis dan pengobatan.
15

2.9 PATOFLOWDIAGRAM CEDERA URETRA


Didapat
Kongenital Infeksi
Anatomi saluran kemih Spasmus Otot
yang lain Tekanan Dari Luar:Tumor
Cedera Uretra
Cedera Peregangan
Uretritis Gonorhea

Jaringan parut Penyempitan lumen uretra

Kekuatan pancaran & jumlah urine


Total tersumbat berkurang

Obstruksi saluran kemih yg bermuara ke Perubahan pola eliminasi


Vesika Urinaria

Peningkatan tekanan vesika Rufluk urine


urinaria

hidroureter

Penebalan dinding VU
Gg. Rasa nyaman:nyeri hidronefrosis

Penurunan kontraksi otot VU pyelonefritis

Kesulitan berkemih GGK

Resiko infeksi Retensi urine


Luka insisi

Perubahan pola
Sistostomi
berkemih Gg. Rasa nyaman:nyeri
16

BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
Cedera uretra adalah suatu cedera yang mengenai uretra sehingga
menyebabkan ruptur pada uretra. Cidera uretra dibedakan menjadi cedera uretra
anterior dan cedera uretra posterior berdasarkan etiologi trauma, tanda klinis,
pengelolaan, serta prognosisnya berbeda.
Ruptur uretra posterior akan didapatkan pada kondisi patah tulang pelvis,
pada daerah suprapubik dan abdomen bagian bawah dijumpai jelas, hematom
perivesika, dan nyeri tekan.
Ruptur pada uretra anteriormekanisme cedera yang paling sering
meneyebabkan kerusakan uretra anterior adalah cedera selangkangan (straddle
injuri) terutama pada saat bersepeda yaitu uretra terjepit diantara tulang pelvis dan
benda tumpul.

3.2 Saran
Diharapkan pada Perawat sebagai ujung tombak pelayanan di rumah sakit
perlu memiliki pemahaman dasar mengenai Cedera Uretra. Pemahaman yang
tepat sangat membantu perawat dalam memberikan pelayanan secara optimal.

15

Anda mungkin juga menyukai