Anda di halaman 1dari 23

Case Report Session

KEJANG DEMAM

OLEH :

Juwi Aguarti 1210311004


Seruni Allisa Aslim 1210311017
Mila Permata Sari 1210313008

PRESEPTOR:
dr. Metrizal Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RS. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2017

1
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38 0C,
dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial1. Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan5 tahun 2.
Kejang demam dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu kejang demam
sederhana dan kejang demam kompleks3. Di Asia sekitar 70%-90% dari seluruh
kejang demam merupakan kejang demam sederhana dan sisanya merupakan
kejang demam kompleks4.
Penyebab demam pada pasien kejang demam biasanya adalah
gastroenteritis (38,1%), infeksi saluran nafas atas (20%), dan infeksi saluran
kencing (16,2%)5. Sementara menurut penelitian lain oleh Chung & Wong, infeksi
saluran nafas (79,5%), gastroenteritis (5,5%), roseola (2,9%), infeksi saluran
kencing (1,1%) dan bakteriemia (0,9%) merupakan penyebab demam pada pasien
kejang demam6.
Dalam praktek sehari-hari, orang tua sering cemas bila anaknya
mengalami kejang, karena setiap kejang kemungkinan dapat menimbulkan
epilepsi dan trauma pada otak. Pengobatan antikonvulsan setiap hari yaitu dengan
fenobarbital atau asam valproate mengurangi kejadian kejang demam berulang.
Obat intermiten dengan diazepam pada permulaan pada kejang demam pertama
memberikan hasil yang baik. Antipiretik bermanfaat tetapi tidak dapat mencegah
kejang demam serta berulangnya kejang demam.2
Kejang merupakan gangguan saraf yang paling sering dijumpai pada anak.
Insiden kejang demam 2.2-5% pada anak di bawah usia 5 tahun. Anak laki-laki
lebih sering dari pada perempuan dengan perbandingan 1.2-1.6 : 1, menemukan
62,2% kemungkinan kejang berulang pada 90 anak yang mengalami kejang
setelah usia 12 tahun. Kejang demam kompleks dan khususnya kejang demam
fokal merupaka prediksi untuk terjadinya epilepsi. Sebagian besar penelitian
melaporkan angka kejadian epilepsi dikemudian sekitar 2-5%.3

2
Pemicu kejang umumnya adalah demam karena infeksi di organ tubuh
seperti radang saluran pernafasan (batuk, pilek), saluran pencernaan (mencret) dan
lain sebagainya. Pemicu lain ialah demam akibat imunisasi antara lain imunisasi
DPT dan campak. Penyebab terjadinya kejang demam masih belum diketahui
pasti. Keseimbangan suhu tubuh kita diatur oleh organ yang terletak di otak
disebut hypothalamus. Diduga pada anak-anak, fungsi hypothalamus masih belum
sempurna sehingga belum mampu menjaga keseimbangan suhu tubuh dengan
cermat. Kenaikan suhu tubuh yang tinggi akan memicu pelepasan muatan listrik
sehingga terjadi kejang. Secara statistik medis, 95-98% anak yang menderita
kejang demam akan sembuh sempurna tanpa cacat dan tidak berpotensi menjadi
epilepsi. Dengan bertambahnya usia frekuensi terjadinya kejang demam juga akan
berkurang7.

1.2. Batasan Penulisan

Penulisan case report ini dibatasi mengenai kejang demam, mencakup


definisi, epidemiologi, patofisiologi, etiologi dan faktor risiko, klasifikasi,
manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, dan prognosis.

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan case report ini adalah membahas mengenai kejang


demam, mencakup definisi, epidemiologi, patofisiologi, etiologi dan faktor risiko,
klasifikasi, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, dan prognosis

1.4. Metode Penulisan

Metode penulisan case report ini adalah berdasarkan tinjauan kepustakaan


dari berbagai literatur.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38 0C,
dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial1. Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf
seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan tersebut
mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang
mendasari mengenai sistem saraf pusat.8
Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu kejang
demam sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi oleh
demam (epilepsi triggered of by fever). Definisi ini tidak lagi digunakan karena
studi prospektif epidemiologi membuktikan bahwa resiko berkembangnya
epilepsi atau berulangnya kejang tanpa demam tidak sebanyak yang diperkirakan.8
Akhir-akhir ini, kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu kejang
demam sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum, dan kejang
demam kompleks, yang berlangsung lebih dari 15 menit, fokal atau multiple
(lebih dari 1 kali kejang dalam 24 jam). 9 Derajat tingginya demam yang dianggap
cukup untuk diagnosis kejang demam ialah 380C atau lebih, tetapi suhu
sebenarnya pada waktu kejang sering tidak diketahui.7
Bila anak berusia kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, perlu dipikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau
epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.10

2.2. Epidemiologi

Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan 5 tahun2.


Puncak umur mulainya adalah sekitar 14-6 bulan.7 Studi populasi di Eropa dan
Amerika melaporkan insiden kejang demam sebesar 2-5% dari anak10. Insiden di
bagian lain dunia bervariasi, antara 5-10 % (India), 8,8% (Jepang).

4
2.3. Klasifikasi 11

1. Kejang demam kompleks

Kejang lama yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang
lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar.
Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang
parsial
Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
2. Kejang demam sederhana

Berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti


sendiri, berbentuk umum tonik dan atau klonik, kejang tidak berulang dalam
24 jam.

2.4. Etiologi7,8,11

Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan


infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan
infeksi saluran kemih. Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak
kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang
disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat, misalnya infeksi virus,
tonsillitis, otitis media akut, ISK, Gastrointeritis, ISPA, furunkulosis, meningitis,
post imunisasi dan lain-lain.

2.5. Faktor Risiko

Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Faktor
yang memegang peranan penting dalam perlangsungan kejang demam adalah
faktor genetik. Pewarisannya autosomal dominan dengan minimal 3 lokus
abnormal yaitu pada kromosam 8q13-q21 (FEB1), p (FEB2) dan 5q14-q15 (FEB4).
19

Kejang demam plus adalah kejang demam dengan riwayat epilepsi pada keluarga.
Pada bayi atau anak dengan kejang demam plus ini mempunyai resiko paling
besar untuk terjadinya kejang demam, kemudian diikuti kejang selanjutnya tanpa
demam.12

5
Kejadian kejang demam pada anak laki-laki lebih tinggi daripada anak
perempuan dengan rasio 1,5 : 1. Jumlah episode serangan pada anak dengan
riwayat epilepsi pada keluarga 6 kali lebih tinggi daripada tanpa riwayat epilepsi.
Dari penjelasan diatas, faktor resiko untuk terjadi kejang demam yaitu: 12
- Umur
- Keterlambatan perkembangan ( contohnya cerebral palsy, retardasi mental
- Riwayat kelainan kejang dalam keluarga
- Sering demam (disebabkan infeksi virus atau bakteri)
- Demam tinggi (diatas 102F)
- Saat kehamilan, ibu pasien merokok dan pengguna alcohol
- Meningitis (Inflamasi membrane yang mengelilingi otak dan spinal cord)
- Riwayat kepribadian (misalnya ada riwayat kejang demam).

2.6. Patofisiologi13

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan meningkatkan metabolisme


basal 10%15% dan kebutuhan oksigen 20%. Untuk mempertahankan
kelangsungan hidup sebuah sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang
didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting
adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan
dengan perantaraan fungsi paru dan diteruskan ke otak melalui sistem
kardiovaskular. Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi
dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari
permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik.
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah
oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na +) dan elektrolit
lainnya, kecuali klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi
dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat konsentrasi K+
rendah dan konsentrasi Na+ tinggi. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di
dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial
membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini
diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada

6
permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dapat dirubah oleh
adanya :
- Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
- Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya ; mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya
- Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada seorang anak 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
tubuh, sehingga pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi ion Kalium dan Natrium melalui membran sel neuron sehingga terjadi lepas
muatan listrik. Lepas muatan listrik yang besar dapat meluas ke seluruh sel
maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan neurotransmitter, hal ini
yang menyebabkan kejang.
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang dapat terjadi pada
suhu 38oC sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru
dapat terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang
yang rendah.
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan sequel. Tetapi kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit)
dapat menimbulkan kerusakan neuron otak karena pada kejang lama disertai
terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energy untuk kontraksi
otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat
disebabkan oleh metabolism anaerobic, hipotensi arterial disertai denyut jantung
yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan akibat aktivitas
otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Faktor
terpenting adalah gangguan peredaran darah yang dapat mengakibatkan hipoksia
sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.

2.7. Manifestasi Klinis

7
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan
dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi
diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis,
furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam
pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat
berbentuk tonikklonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Postur tonik (kontraksi
dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-20 detik),
gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya
berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya
terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar
kesadarannya), gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.9
Kejang umumnya berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian anak
akan terbangun dan sadar kembali tanpa kelainan saraf. Kejang demam yang
berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala
sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (>15 menit) sangat berbahaya dan
dapat menimbulkan kerusakan permanen dari otak.11

2.8. Diagnosis11,12,13

Diagnosis kejang demam hanya dapat ditegakkan dengan menyingkirkan


penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi
susunan saraf pusat, perubahan akut pada keseimbangan homeostasis, air dan
elektrolit dan adanya lesi structural pada sistem saraf, misalnya epilepsi.
Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.
a) Anamnesis
waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang
sifat kejang (fokal atau umum)
Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap
atau naik turun)

8
Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA,
GE)
Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai
demam atau epilepsi)
Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
Trauma kepala
b) Pemeriksaan fisik
Tanda vital terutama suhu
Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang
berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya
kelainan struktur otak.
Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan
hipoventilasi, henti nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil
terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya kuadriparesis flasid
mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.
Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan
yang disebabkan oleh trauma. Ubunubun besar yang tegang dan
membenjol menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang
dapat disebabkan oleh pendarahan subaraknoid atau subdural. Pada bayi
yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari luka atau bekas tusukan
janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan karena kesalahan
penyuntikan obat anestesi pada ibu.
Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis
dan bising jantung, yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.
Pemeriksaan tanda-tanda infeksi di luar SSP untuk menentukan penyakit
yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)
Pemeriksaan refleks patologis
Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
c) Pemeriksaan laboratorium

Darah tepi lengkap mencari penyebab demam

9
Elektrolit, glukosa darah menyingkirkan diare, muntah, hal lain yang dapat
mengganggu keseimbangan elektrolit atau gula darah.
Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal mencari gangguan metabolisme
Kadar TNF alfa, IL-1 alfa & IL-6 pada CSS meningkat pada ensefalitis
akut/ensefalopati.
d) Pemeriksaan penunjang lain
Lumbal Pungsi Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS
dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal
dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut:
bayi < 12 bulan : diharuskan
bayi antara 12-6 bulan : dianjurkan
bayi > 6 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis
Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan pada anak dengan kejang demam
pertama kali dengan umur dibawah 6 bulan karena tidak tampaknya tanda
meningeal pada umur dibawah 6 bulan, sehingga sulit mendeteksi adanya
meningitis maupun infeksi intrakranial lain tanpa dilakukannya lumbal
pungsi. Namun, jika yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu lumbal
pungsi.
1. EEG tidak dapat mengidentifikasi kelainan yang spesifik maupun
memprediksi terjadinya kejang yang berulang, tapi dapat
dipertimbangkan pada KDK. Oleh sebab itu tidak direkomendasikan,
kecuali pada kejang demam yang tidak khas (misalnya pada kejang
demam komplikata pada anak usia >6 tahun atau kejang demam fokal).
2. CT-scan atau MRI tidak dilakukan pada KDS yang terjadi pertama kali,
akan tetapi dapat dipertimbangkan untuk pasien yang mengalami KDK
untuk menentukan kelainan struktural berupa kompleks tunggal atau
multipel. CT scan atau MRI dilakukan atas indikasi seperti : kelainan
beurologi fokal yang menetap (hemiparesis) atau kemungkinan adanya
lesi struktural di otak, terdapat peningkatan intrakranial (kesadaran
menurun, muntah berulang, UUB menonjol, paresis N VI dan odem
papil).

10
2.9. Diagnosa Banding14

Diagnosis banding kejang demam antara lain penyakit infeksi pada sistem
susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis dan abses otak.
Klinis/Lab Ensefalitis Meningitis Meningiti Meningitis Kejang
Herpes bacterial/ s TB virus demam
simpleks purulenta
Awitan Akut Akut Kronik Akut Akut
Demam <7 hari < 7hari >7hari <7hari <7hari
Tipe kejang Fokal/ Umum umum umum Umum/
umum fokal
Singkat/ singkat Singkat singkat lama >15 menit
Lama
Kesadaran Sopor-koma Apatis- Somnolen Sadar-apatis somnolen
somnolen -sopor
Pemulihan lama Cepat lama cepat cepat
kesadaran
Tanda - ++/- ++/- +/- -
rangsangan
meningeal
Tekanan Sangat meningkat Sangat Normal Normal
intrakranial meningkat meningkat
Paresis +++/- +/- +++ - -
Pungsi Jernih Keruh/ Jernih/ Jernih Jernih
lumbal Normal/ opalesen xanto normal Normal
limfo Segmenter/ Limfo/
limfo segmen
Etiologi Virus VS Bakteri M. TB virus Diluar
SSP
Penyakit
dasar
Terapi Antivirus Antibiotik Simtomatik

2.10. Tatalaksana1

Tatalaksana saat kejang


Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada
waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam
keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-
lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis
maksimal 10 mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma
kejang pada umumnya.

11
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital) adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75
mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12
kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila
setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah
sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena. Jika kejang masih
berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus. Bila kejang telah berhenti,
pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi antikonvulsan
profilaksis.

Pemberian obat saat demam


a) Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam (level of evidence 1, derajat rekomendasi A).

12
Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah
10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-
4 kali sehari.
b) Antikonvulsan
Pemberian obat antikonvulsan intermiten : obat antikonvulsan yang diberikan
hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam
dengan salah satu faktor risiko di bawah ini:
- Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
- Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
- Usia <6 bulan
- Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39C
- Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat.

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau
rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat
badan >12 kg), sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5
mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu
diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat
menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.

2.11. Prognosis1

Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah


dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada
pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan
kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus dan kelainan ini biasanya terjadi
pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.
Kematian karena kejang tidak pernah dilaporkan. Kejang demam akan
berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam
adalah:
Riwayat kejang demam dalam keluarga
Usia kurang dari 12 bulan
Temperatur yang rendah saat kejang
Cepatnya kejang setelah demam

13
Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam
adalah 80% , sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang 1015%. Kemungkinan berulangnya kejang paling besar pada
tahun pertama.
Faktor risiko terjadinya epilepsi dikemudian hari adalah :
Perkembangan saraf terganggu
Kejang demam kompleks
Riwayat epilepsi dalam keluarga
Lamanya demam

Masingmasing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi


sampai 46%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan
kejadian epilepsi menjadi 1049%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat
dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.

BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : An. MK
Jenis kelamin : laki laki
Umur : 5 tahun
Suku bangsa : Minangkabau

14
Alamat : Bonjo Panampuangan Ujuang

3.2 ANAMNESIS
Anamnesis (diberikan oleh ibu kandung)
Seorang pasien laki-laki umur 5 tahun dirawat di bangsal anak RSUD Achmad
Mochtar Bukittinggi sejak tanggal 14 Agustus 2017 dengan :
Keluhan utama :
Kejang 12 jam sebelum masuk rumah sakit
Riwayat penyakit sekarang :
- Kejang 12 jam sebelum masuk rumah sakit, kejang terjadi pada seluruh
tubuh, kedua mata melihat keatas saat kejang, frekuensi 1 kali, lama kejang
1 menit, anak sadar sebelum dan sesudah kejang. Kejang terjadi lagi saat
pasien datang ke poli anak, kejang terjadi pada seluruh tubuh, kedua mata
melihat keatas saat kejang, frekuensi 1 kali, lama kejang 30 detik, anak
sadar sebelum dan sesudah kejang.
- Demam tinggi 16 jam sebelum kejang, saat kejang anak masih demam,
demam tetap tinggi walaupun sudah diberikan paracetamol sirup oleh ibu
pasien.
- Batuk sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, batuk tidak berdahak.
- Muntah ada sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, frekuensi 4x, muntah
tidak menyemprot, muntah berisi makanan yang dimakan pasien.
- Penurunan nafsu makan ada sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.
- BAB normal, konsistensi padat warna kuning.
- BAK normal, warna kuning jernih.

Riwayat penyakit dahulu


- Pasien memiliki riwayat kejang sebelumnya, kejang terjadi 1 tahun yang lalu,
pasien berobat ke puskesmas dan mendapatkan obat penurun panas serta anti
kejang.
Riwayat penyakit keluarga
- Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami kejang sebelumnya

Riwayat persalinan
Anak lahir spontan ditolong bidan, cukup bulan. Berat badan lahir 3100 gram,
panjang lahir 48 cm, dan langsung menangis saat lahir.
Kesan : tidak ada masalah saat kelahiran

15
Riwayat makanan dan minuman
Bayi : tidak mendapatkan ASI ekslusif, bayi mendapat ASI dari lahir hingga usia 3
bulan, dilanjutkkan ASI, Susu formula dan MPASI. Sekarang makan makanan
keluarga.
Kesan : asupan nutrisi secara kualitas dan kuantitas kurang

Riwayat imunisasi
Imunisasi yang diberikan hanya : Polio I dan HB-0
Kesan : imunisasi dasar tidak lengkap
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Riwayat pertumbuhan Umur Riwayat gangguan Umur
dan perkembangan perkembangan dan mental
Ketawa 3 bulan Isap jempol -
Miring 3 bulan Gigit kuku -
Tengkurap 4 bulan Sering mimpi -
Duduk 7 bulan Mengompol -
Merangkak 8 bulan Aktif sekali -
Berdiri 10 bulan Apatik -
Lari 18 bulan Membangkang -
Gigi pertama 8 bulan Ketakutan -
Bicara 12 bulan Pergaulan jelek -
Membaca - Kesukaan belajar -
Prestasi di sekolah - -

Kesan : pertumbuhan dan perkembangan normal

Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama Hengki Butet Sri Dewi
Umur 39 34
Pendidikan SMP SMA
Pekerjaan Wiraswasta Pedagang
Penghasilan Rp. 1.500.000,00 Rp. 1.000.000,00
Perkawinan Pernikahan pertama Pernikahan pertama
Penyakit yang pernah diderita Batu saluran kemih -

Riwayat perumahan dan lingkungan


Rumah tempat tinggal : permanen
Sumber air minum : sumur
Buang air besar : jamban dalam rumah
Perkarangan : cukup luas

16
Sampah : bakar atau dibuang ke kali
Kesan : higine dan sanitasi lingkungan cukup baik

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Status generalis
- Keadaan umum : sakit sedang
- Kesadaran : composmentis kooperatif
- Frekuensi nadi : 110 x/menit
- Nafas : 28x/menit
- Suhu : 39,7 C
- Edema : tidak ada
- Ikterus : tidak ada
- Kulit : tidak tampak pucat, teraba hangat
- Berat badan : 15,5 kg
- Tinggi badan : 112 cm
- Status gizi
BB/U : 83,78%
TB/U : 102,7%
BB/TB : 79,5%
Kesan : gizi kurang
- Anemia : tidak ada
- Sianosis : tidak ada
- Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran KGB
- Kepala : normocephal
- Rambut : hitam, tidak mudah rontok
- Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik, pupil isokor 2mm/2mm, refleks
cahaya +/+
- Telinga : tidak ada kelainan
- Hidung : tidak ada kelainan
- Tenggorok : tonsil T2 T2 hiperemis, faring hiperemis
- Leher : JVP sukar dinilai, kaku kuduk (-)
- Gigi dan mulut : tidak ada kelainan
- Thorax
Paru inspeksi : normochest, simetris kiri = kanan
palpasi : sulit dinilai
perkusi : sonor di kedua lapang paru
auskultasi : suara nafas bronkovesikuler, Rh -/-,Wh -/-

Jantung inspeksi : iktus cordis tidak terlihat


palpasi : iktus cordis teraba 1 jari LMCS RIC V
perkusi : batas atas RIC II, batas kanan LSD,
batas kiri 1 jari medial LMCS RIC V
auskultasi : irama reguler, gallop (-), bising (-)
- Abdomen inspeksi : distensi (-)

17
palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor
kulit baik
perkusi : timpani
auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : tidak ada kelainan
Genitalia : tidak ada kelainan
Eksremitas : akral hangat, CRT < 2
refleks fisiologis +/+
refleks patologis : Babinski -/-, Oppenheim
-/-, Chadoks -/-, Gordon -/-, Schaefer -/-
Tanda rangsangan meningeal : Kaku kuduk (-), Brudzinski I dan
Brudzinski II (-), Kernig sign (-)

3.4 PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Hb : 12,5 g/dl
Ht : 37,4 %
Leukosit : 8.550/mm3
Trombosit : 193.000/mm3
Kesan : Hasil dalam batas normal

3.5 DIAGNOSA KERJA


Kejang demam kompleks
Tonsilofaringitis akut

3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Pemeriksaan darah rutin
- Pemeriksaan elektrolit

3.7 PENATALAKSANAAN
IVFD KAEN 1B 15 tetes/menit makro
O2 nasal kanul 0,5 liter/menit
Sibital 2x50 mg iv

18
Paracetamol 4x175 mg p.o (T 38,50 C)
Ambroxol 3x7,5 mg (3x1/2 cth)

3.8 FOLLOW UP
15 Agustus 2017 (13.00 WIB)
S/ Kejang (-)
Demam (-)
Batuk tidak berdahak (+)
Muntah (-)
BAB dan BAK normal
O/ KU : Sakit sedang Kesadaran : composmentis kooperatif
HR : 112x/menit RR : 28x/menit
T : 37,0 C BB : 15,5 kg
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Paru : suara nafas bronkovesikuler, Rh -/-,Wh -/-

Jantung : irama reguler, gallop (-), bising (-)


Abdomen : bising usus (+) normal
Eksremitas : akral hangat, CRT < 2
Tanda rangsangan meningeal : kaku kuduk (-), Brudzinski I dan
Brudzinski II (-), Kernig sign (-)
A/ kejang demam kompleks
tonsilofaringitis akut
P/ IVFD KAEN 1B 15 tetes/menit makro
O2 nasal kanul 0,5 liter/menit
Sibital 2x50 mg iv
Paracetamol 4x175 mg p.o (T 38,50 C)
Ambroxol 3x7,5 mg (3x1/2 cth)
16 Agustus 2017 (07.00 WIB)
S/ Kejang (-) Demam (-)
Batuk tidak berdahak (+)

19
Muntah (-)
BAB dan BAK normal
O/ KU : Sakit sedang Kesadaran : composmentis kooperatif
HR : 112x/menit RR : 28x/menit
T : 37,4 C BB : 15,5 kg
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Paru : suara nafas bronkovesikuler, Rh -/-,Wh -/-

Jantung : irama reguler, gallop (-), bising (-)


Abdomen : bising usus (+) normal
Eksremitas : akral hangat, CRT < 2
Tanda rangsangan meningeal : kaku kuduk (-), Brudzinski I dan
Brudzinski II (-), Kernig sign (-)
A/ kejang demam kompleks
tonsilofaringitis akut
P/ IVFD KAEN 1B 15 tetes/menit makro
O2 nasal kanul 0,5 liter/menit
Luminal 2x50 mg p.o
Paracetamol 4x175 mg p.o (T 38,50 C)
Ambroxol 3x7,5 mg (3x1/2 cth)
Cek Urinalisa

20
BAB 4
DISKUSI

Seorang pasien anak laki-laki, usia 5 tahun dibawa dengan keluhan utama
kejang 12 jam sebelum masuk rumah sakit, seluruh tubuh, kedua mata melihat
keatas saat kejang, frekuensi 1 kali, lama kejang 1 menit, anak sadar sebelum
dan sesudah kejang. Follow up dalam 24 jam pertama ada lagi kejang saat pasien
berobat ke poli anak RS. Sebelum kejang, pasien sudah merasakan demam selama
16 jam sebelum masuk rumah sakit. Pola gambaran kejang sesuai dengan
gambaran kejang demam kompleks.13
Pasien kemungkinan mengalami infeksi yang ditunjukkan dengan adanya
keluhan batuk sejak 2 hari yang lalu dan hal ini kemungkinan merupakan salah
pencetus timbulnya demam dan bahkan bisa mencetuskan munculan demam
kembali. Sehingga perlu diketahui penyebab infeksi pada pasien ini dan diberikan
penatalaksanaan yang sesuai.
Hasil pemeriksaan fisik pasien menunjukkan tidak ada kelainan selain
peningkatan suhu tubuh. Tidak ditemukan adanya ronkhi pada pasien dan
perubahan pola nafas pada pasien kecuali batuk yang mungkin menunjukkan
adanya infeksi saluran nafas pada pasien namun penyebabnya perlu dipastikan.
Pada pasien ini, kecenderungan diagnosis kearah kejang demam bukan
akibat infeksi intrakranial karena pada pasien terjadi peningkatan suhu tubuh
secara cepat yang diikuti oleh kejang, bukan demam yang terjadi bersamaan atau
setelah kejang.13
Pada pasien ini,diberikan infus KAEN I B, obat anti kejang dan paracetamol
diberikan per oral. Pasien dirawat dengan tujuan untuk observasi apakah terdapat
kejang ulangan yang mungkin dapat merubah diagnosis serta prognostik penyakit
pasien.

21
Walaupun pasien tidak mengalami kejang lagi, pasien tetap diberikan anti
kejang berupa sibital 2x50 mg iv dengan tujuan untuk mengurangi angka kejadian
kejang berikutnya pada pasien sebab pasien masih dalam kondisi demam yang
potensial untuk mencetuskan kembali kejang.
Prognostik penyakit pasien ini adalah baik, namun dengan kondisi pasien
sekarang potensi untuk kembali kejang adalah besar. Sehingga, pasien diberikan
anti pireutik, dianjurkan untuk sering minum dan dikompres untuk menurunkan
suhu tubuh pasien. Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus.
Faktor risiko berulangnya kejang demam yaitu apabila kejang demam pertama
merupakan kejang demam kompleks, riwayat kejang demam, atau epilepsi dalam
keluarga, usia kurang dari 12 bulan, suhu tubuh kurang dari 39 derajat celcius saat
kejang dan interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya
kejang. Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang adalah 80
%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut maka kemungkinan berulangnya
kejang demam hanya 10-15%.

DAFTAR PUSTAKA

1. Unit kerja koordinasi neurologi IDAI. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang


Demam. Badan penerbit IDAI. Jakarta, 2016.
2. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Febrile Seizure. Pediatr.
2011;127:389-94.
3. Schwartz. M. W. Pedoman Klinis Pediatri. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta:
EGC; 2005.
4. Karimzadeh, 2008. Febrile Convulsions: The Role Played By Paracinical
Evaluation. Iran J Child Neurology. 2008.
5. Aliabad, G.M. et al. 2013, June. Clinical, epidemiological and laboratory
characteristics of patients with febrile convulsion. J Compr Ped,3(4), 134-137.
6. Chung, B. & V. Wong. 2007, February. Relationship between five common
viruses and febrile seizure in children. Arch Dis Child, 92(7), 589593.
7. Soetomenggolo TS, Ismail S. Buku Ajar Neurologi Anak. IDAI. Jakarta. 1999.

22
8. Neelson WE. Ilmu Kesehatan Anak (Neelson Textbook Of Pediatri). Edisi 15.
Jakarta: EGC. 2000
9. Arif M, dkk. Kejang Demam dalam Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:
Media Aesculapius FKUI. 2000.
10. Hirz DG. Febrile Seizures. Ped in Rev 1997; 18:5-9.
11. Pusponegoro, Hardiono. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi I.
IDAI. Jakarta. 2005.
12. Sunartini. Simposium Ilmiah Manajemen Baru untuk Kejang Demam dan
Epilepsi pada Anak, di RS DR. Sardjito 27 Mei 2003. Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjahmada Yogyakarta. 2003.
13. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2005.
14. Lumbantobing,S.M. Kejang Demam.Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.

23

Anda mungkin juga menyukai