Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Retina


2.1.1 Anatomi Retina
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan
yang melapisi bagian dalam 2/3 posterior dinding bola mata. Retina membentang ke
anterior hampir sejauh korpus siliare dan berakhir pada ora serrata dengan tepi yang
tidak rata (Riordan-Eva, 2007). Secara kasar, retina dibagi menjadi dua bagian, yaitu
kutub posterior dan retina perifer yang dipisahkan dengan ekuator retina. Ekuator
retina adalah garis khayal yang dianggap membentang sejalan dengan keluar dari
empat vena vertikosa (Khurana, 2007). Ketebalan retina kira-kira 0,1 mm pada ora
serata dan 0,56 mm pada kutub posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat
makula lutea yang berdiameter 5,5 sampai 6 mm, yang secara klinis dinyatakan
sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-cabang pembuluh darah retina temporal
(Riordan-Eva, 2007).

Gambar 1. Struktur bola mata manusia (Riordan-Eva, 2007).

Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi luar ke dalam, adalah sebagai berikut
(Khurana, 2007):
1. Membran limitans interna, merupakan lapisan terdalam dan memisahkan
retina dari vitreous, dibentuk oleh penyatuan terminal ekspansi serat Muller,
dan pada dasarnya adalah sebuah membran basal.
2. Lapisan serat saraf, terdiri dari akson dari sel-sel ganglion, yang melewati
lamina cribrosa untuk membentuk saraf optic.
3. Lapisan sel ganglion, terutama berisi badan sel-sel ganglion (urutan neuron
kedua jalur visual). Ada dua jenis sel ganglion. Sel-sel ganglion kerdil yang
terdapat di daerah makula dan dendrit dari setiap sinaps sel tersebut dengan
akson sel bipolar tunggal. Sel ganglion polisinaptik terletak terutama di retina
perifer dan setiap sel tersebut dapat synapse dengan upto seratus sel
bipolar.
4. Lapisan pleksiformis dalam. Pada dasarnya terdiri dari hubungan antara
akson sel bipolar dendrit sel ganglion, dan prosesus sel amakrin.
5. Lapisan inti dalam, terutama terdiri dari badan sel-sel bipolar. Hal ini juga
berisi badan sel amakrin horizontal dan sel-sel Muller dan kapiler-kapiler
arteri retina sentral. Sel-sel bipolar membentuk urutan neuron pertama.
6. Lapisan pleksiformis luar, terdiri dari sambungan sferul sel batang dan
pedikel sel kerucut dengan dendrit sel bipolar dan sel horizontal.
7. Lapisan inti luar, terdiri dari inti sel batang dan kerucut.
8. Membran limitans eksterna, merupakan membran fenesterasi, melalui
prosesus sel batang dan kerucut.
9. Lapisan sel kerucut dan sel batang (fotoreseptor). Batang dan kerucut
merupakan organ akhir penglihatan dan juga dikenal sebagai fotoreseptor.
Lapisan sel batang dan sel kerucut hanya memiliki satu segmen luar sel
fotoreseptor yang tersusun secara palisade. Ada sekitar 120 juta sel batang
dan 6,5 juta sel kerucut. Sel batang mengandung zat fotosensitif visual yang
ungu (rhodopsin) dan bertanggung jawab pada penglihatan perifer dan
penglihatan pencahayaan rendah (penglihatan skotopik). Sel kerucut juga
mengandung zat fotosensitif dan terutama bertanggung jawab untuk
penglihatan sentral yang sangat diskriminatif (penglihatan fotopik) dan
penglihatan warna.
10. Epitelium pigmen retina, merupakan lapisan terluar dari retina. Terdiri dari
satu lapisan sel yang mengandung pigmen. Melekat kuat pada lamina basal
yang mendasari (membran Bruch) dari koroid.
Gambar 2. Lapisan retina (Riordan-Eva, 2007).

Gambar 3. Gambaran histologi lapisan-lapisan retina (Lang & Lang, 2000)


2.1.2 Anatomi Vaskuler Retina
Retina memerima pasokan darah dari 2 sumber. Sepertiga lapisan luar retina
yaitu lapisan pleksiform luar, lapisan nuklear luar, lapisan fotoreseptor, dan lapisan
epitel pigmen retina menerima pasokan nutrisi dari arah koroid melalui RPE oleh
arteri siliaris posterior dan arteri siliaris anterior dan vena vorteks. Sedangkan 2/3
dalam retina yang terdiri dari lapisan nuklear dalam, lapisan pleksiform dalam
menerima pasokan nutrisi dari arteri retina sentral dan vena retina sentral diantara
nervus optikus dan makula sentral (Klein et al, 2000). Arteri retina sentral
merupakan cabang dari arteri oftalmika yang merupakan cabang dari arteri karotis
interna. Arteri karotis interna memasuki bagian ventromedial nervus optikus pada 1,2
cm di belakang bola mata. Arteri retina sentral keluar dari nervus optikus melalui
diskus optikus dan membentuk 4 percabangan yaitu cabang superior temporal dan
nasal, dan cabang inferior temporal dan nasal yang memperdarahi seluruh kuadran
dari retina (Khurana, 2007). Arteri dan vena retina sentral akan membentuk arteriol
dan venule dengan diameter yang lebih kecil yang menjalar sampai ke bagian dalam
retina pada lapisan sel ganglion yaitu pleksus kapiler superfisial dan pada lapisan
nuklear dalam yaitu pleksus kapiler dalam (Rogers et al, 2010).

Gambar 4. Pasokan darah nervus optikus (Riordan-Eva P, 2007).

Pada tingkat jaringan, retina di pasok oleh dua lapis kapiler, yang pertama
berada pada bagian superfisial sel ganglion dan lapisan serat saraf (NFL) dan ada
cabang yang masuk ke lapisan nuclear (Klein et al, 2000). Pasokan darah pada
tingkat jaringan akan disokong oleh koriokapiler. Setelah mencapai koriokapiler,
darah dikumpulkan ke dalam venula, yang kemudian menuju ke vena vorteks
(Hayreh et al, 2001). Jumlah vena vorteks pada tiap mata bervariasi antara empat
atau lima vena, yang akan meninggalkan mata pada daerah ekuator, lalu masuk ke
vena oftalmika superior (McIntosh et al, 2010).
2.1.3 Fisiologi Retina
Retina adalah jaringan mata yang paling kompleks. Sel-sel batang dan
kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi
impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus
dan akhirnya ke korteks penglihatan (Fletcher & Chong, 2007). Makula bertanggung
jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan
sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat hubungan
hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat saraf yang keluar,
dan hal ini menjamin penglihatan yang paling panjang. Di retina perifer, banyak
fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan system
pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti itu adalah makula
digunakan terutama untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik)
sedangkan bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor
batang, digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik) (Riodan-
Eva, 2007).
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar yang avaskuler
pada retina sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang
mencetuskan proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung
rhodopsin, yang merupakan suatu pigmen penglihatan fotosensitif. Rhodopsin
merupakan suatu glikolipid membran yang separuh terbenam di lempeng membrane
lapis ganda pada segmen paling luar fotoreseptor. Penglihatan skotopik diperantarai
oleh fotoreseptor sel batang. Pada bentuk penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat
bermacam-macam nuansa abu-abu, tetapi warna ini tidak dapat dibedakan.
Penglihatan siang hari (fotopik) terutama diperantarai oleh fotoreseptor kerucut,
senja (mesopik) oleh kombinasi sel kerucut dan batang, dan penglihatan malam
(skotopik) oleh fotoreseptor batang (Fletcher & Chong, 2007).

2.2 Definisi Central Retinal Venous Occlusion (CRVO)


Oklusi vena retina adalah penyumbatan pembuluh darah kecil yang
membawa darah dari retina. Retina adalah lapisan jaringan di bagian belakang mata
bagian dalam yang mengubah gambar cahaya menjadi sinyal saraf dan
mengirimkannya ke otak. Central retinal venous occlusion (CRVO) merupakan suatu
keadaan di mana terjadi penyumbatan vena retina pada bagian sentral yang
mengakibatkan gangguan perdarahan di dalam bola mata (Vorvick, 2013).
2.3 Epidemiologi CRVO
CRVO adalah penyebab penting morbiditas penglihatan pada lansia,
terutama mereka yang mengidap hipertensi dan glaukoma. Insiden CRVO meningkat
pada kondisi-kondisi sistemik tertentu, seperti hipertensi, hiperlipidemia, diabetes
militus,penyakit kolagen vaskular, gagal ginjal kronik, dan sindrom hiperviskositas
(misalnya, mieloma dan makroglobulinemia Wildenstrm). Merokok juga merupakan
faktor resiko. CRVO berkaitan dengan peningkatan mortalitas penyakit jantung
iskemik, termasuk infark miokardium (Graham, 2007).
Insidensi yang benar RVO pada populasi secara keseluruhan sulit untuk
ditentukan, karena banyak RVO tersembunyi di mana kondisinya ringan, pasien
asimtomatik, dan hanya dideteksi secara kebetulan. Namun, studi berbasis populasi
longitudinal yang telah membantu dalam memberikan perkiraan insidensi ini. The
Blue Mountains Eye Study menemukan bahwa insidensi kumulatif 10-tahun RVO
adalah 1,6% dan secara signifikan berhubungan dengan bertambahnya usia,
terutama di atas usia 70 tahun. Namun tidak ada predileksi untuk jenis kelamin atau
ras. The Beaver Dam Eye Study melaporkan insidensi kumulatif 15-tahun CRVO
sebesar 0,5% (Wong & Scott, 2010).

2.4 Faktor Resiko CRVO


Kondisi yang berhubungan dengan CRVO berdasarkan Retinal Vein
Occlusion (RVO) Guidelines tahun 2015:
- Hipertensi
- Diabetes
- Hyperlipidemia
- Blood coagulation disorders
- Age-related vascular (blood vessel) disease
- SystemIc inflammatory disorders
- GlauKoma
- Shorter axial lenght
- Retrobulbar external compression
Faktor resiko yang signifikan berhubungan dengan CRVO adalah faktor resiko
terjadinya atherosklerosis sehingga menyebabkan kondisi hiperviskositas atau
lambat atau aliran yang lambat pada vena retina. The Eye disease case control
study menunjukkan bahwa hipertensi, diabetes dan glaucoma meningkatkan resiko
terjadinya CRVO tipe iskemik, dimana presentase hipertensi mencapai 65%
dibandingkan dengan faktor resiko lainnya.
Penilaian Faktor Resiko Kardiovaskular pada Pasien dengan Sumbatan Vena
Retina (Graham, 2007)
1. Riwayat penyakit terdahulu dan pemeriksaan klinis
- Hipertensi
- Diabetes melitus
- Dyslipidemia
- Penyakit kardiovaskular (seperti stroke, penyakit jantung koroner)
- Medikasi (seperti kontrasespi oral, dan obat diuretik)
- Kondisi hiperkoagubilitas
2. Pemeriksaan darah rutin
- Pemeriksaan darah lengkap
- Fungsi renal (kadar elektrolit, urea, dan kreatinin)
- Kadar gula darah puasa dan Hemoglobin
- Kadar kolesterol dalam kondisi puasa
3. Pemeriksaan tambahan (Pada kasus tertentu seperti pada pasien
dengan oklusi bilateral atau yang diduga memiliki ganguan koagulasi dan
trombosis)
- Kadar Homosistein (peningkatan homositein dalam serum akan
menaikkan resiko pembentukan trombus)
- Kadar protein C dan protein S (kofaktor dalam proses pembekuan)
- Antitrombin III
- Antibodi antifosfolipid antikoagulan lupus, antibodi antikardiolipin
- PCR untuk faktor Leiden V
- Faktor XII
- Mutasi gen Protrombin
2.5 Patofisiologi CRVO
Patofisiologi dari oklusi vena retina sentralis sampai saat ini belum diketahui
penyebabnya secara jelas. Faktor sistemik ataupun lokal berperan dalam
patofisiologi terjadinya oklusi vena retina sentralis. Patogenesis oklusi vena retina
dapat terjadi melalui salah satu atau kombinasi dari Triad Virchows yaitu
trombogenesis, kerusakan pembuluh darah, stasis dan hiperkoagulabilitas darah.
Kerusakan dinding pembuluh darah retina akibat aterosklerosis dapat mengubah
sifat rheologi vena yang terkena, menyebabkan stasis, trombosis dan akhirnya
terjadi sumbatan (Hayreh et al, 2001)
Arteri dan vena retina sentral berjalan bersama-sama pada jalur keluar dari
nervus optikus dan melewati pembukaan lamina kribrosa yang sempit. Karena
tempat yang sempit tersebut mengakibatkan hanya ada keterbatasan tempat bila
terjadi displacement. Jadi, anatomi yang seperti ini merupakan predisposisi
terbentuknya trombus pada vena retina sentral dengan berbagai faktor, di antaranya
perlambatan aliran darah, perubahan pada dinding pembuluh darah, dan perubahan
dari darah itu sendiri. Perubahan arterioskelerotik pada arteri retina sentral
mengubah struktur arteri menjadi kaku dan mengenai/bergeser dengan vena sentral
yang lunak, hal ini menyebabkan terjadinya disturbansi hemodinamik, kerusakan
endotelial, dan pembentukan trombus. Mekanisme ini menjelaskan adanya
hubungan antara penyakit arteri dengan CRVO, tapi hubungan tersebut masih belum
bisa dibuktikan secara konsisten (Klein et al, 2000)
Oklusi trombosis vena retina sentral dapat terjadi karena berbagai kerusakan
patologis, termasuk di antaranya kompresi vena, disturbansi hemodinamik dan
perubahan pada darah. Oklusi vena retina sentral menyebabkan akumulasi darah di
sistem vena retina dan menyebabkan peningkatan resistensi aliran darah vena.
Peningkatan resistensi ini menyebabkan stagnasi darah dan kerusakan iskemik pada
retina. Hal ini akan menstimulasi peningkatan produksi faktor pertumbuhan dari
endotelial vaskular (VEGF=vascular endothelial growth factor) pada kavitas vitreous.
Peningkatan VEGF menstimulasi neovaskularisasi dari segmen anterior dan
posterior. VEGF juga menyebabkan kebocoran kapiler yang mengakibatkan edema
makula (McIntosh et al, 2010).
2.6 Klasifikasi CRVO
a. CRVO tipe Non Iskemik
Merupakan tipe CRVO bentuk ringan yang terkadang mengacu pada
keadaan parsial, perfusi atau retinopati vena statis. CRVO tipe non iskemik dicirikan
dengan dilatasi ringan dari semua cabang vena retina sentral, dengan bercak yang
menyerupai perdarahan pada semua kuadran retina. Udem makula dengan tajam
penglihatan berkurang dan pembengkakan lensa optik yang ringan atau mungkin
bisa tak ada. Neovaskularisasi segmen anterior jarang terjadi pada tipe CRVO non
iskemik konsisten (Klein et al, 2000).
Pada beberapa kasus ditemukan sel-sel vitreus yang lunak yang bisa
mengindikasikan inflamasi kombinasi dan mekanisme oklusi.Pada saat pemeriksaan
oftalmoskop akan terlihat:
- Dilatasi dan terlihat cabang vena retina sentral sedikit berkelok-kelok
- Perdarahan retina ringan-sedang (gambaran seperti titik,noda dan berbentuk
api).
- Gambaran eksudat sering tidak terlihat,walaupun mungkin didalam beberapa
kasus dapat dilihat di bagian posterior.
- Edema sedang berat pada disc optic.
- Edema macula dapat terlihat atau mungkin tidak terlihat.

Tanda yang umum ditemui:


a. Gambaran fundus secara klinis lebih ringan dari tipe iskemik
b. Tidak ada RAPD
c. Visus lebih baik dari 6/60

Gambar 5.CRVO Non Iskemik


b. CRVO tipe Iskemik
Merupakan bentuk tipe CRVO yang dikarakteristikkan setidaknya disepuluh
lapisan retina, sebagaimana yang digambarkan oleh Angiography Fluoresensi dari
perfusi kapiler retinal pada gambaran kutub posterior dan juga dikenal sebagai Non
perfusi complete atau haemoragic (Klein et al, 2000).
CRVO tipe iskemik biasanya dihubungkan dengan perdarahan empat
kuadran yang lebih banyak dan udem retina. Pada udem retina dan makula
ditemukan bercak-bercak (eksudat) wol katun yang terdapat diantara bercak-bercak
perdarahan. Pada saat pemeriksaan oftalmoskop akan terlihat gambaran seperti :
- Vena retina tampak bengkak dan berkelok.
- Perdarahan yang luas meliputi daerah tepi retina sampai bagian posterior.
- Terlihat gambaran eksudat.
- Edema berat pada disc optic dan hiperemis.
- Makula yang diselimuti oleh perdarahan, yang mungkin menunjukkan
perubahan pada kistoid.

Tanda umum yang ditemui:


a. Eksudat lunak multiple
b. Perdarahan retina luas
c. Cappilary non perfusion luas pada pemeriksaan FFA
d. Kadang dapat disertai dengan relative pupillary defect (RAPD)
e. Visus lebih buruk dari 6/60 (20/400)

Gambar 6. CRVO tipe Iskemik


2.7 Manifestasi Klinis
Gejala awal pada mata adalah sebagai berikut (American Academy of
Opthalmology, 2010):
- Tidak ada gejala
- Penurunan penglihatan
- Kehilangan penglihatan secara tiba-tiba atau bertahap,bisa hari hingga bulan.
Penurunan penglihatan mulai dari ringan hingga berat.
Hal ini dapat terjadi akibat darah dan cairan yang bocor ke area pusat retina
yaitu makula, sehingga menyebabkan macular edema. Makula adalah bagian
yang bertanggung jawab untuk melihat detail dari sebuah objek. Jika terjadi
macular edema maka akan terjadi blurred vision, penurunan visus atau
keduanya.
- Fotopobia
- Bersifat unilateral
- Tidak ada rasa nyeri
Gejala pada tahap selanjutnya adalah sebagai berikut (American Academy of
Opthalmology, 2010):
- Penurunaan penglihatan
- Nyeri pada mata
Disebabkan karena terdapat blok pada vena retina menyebabkan
neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis) dan menghambat drainage humor
aquos sehingga muncul rasa nyeri di mata akibat glaukoma neovaskular.
- Rasa tidak nyaman
- Kemerahan
- Berair
- Floaters
CRVO dapat mengakibatkan neovaskularisasi pada pembuluh darah retina.
Pembuluh darah ini rapuh dan mudah berdarah dan dapat bocor ke area
vitreous. Spot kecil atau merasa terdapat awan di mata dapat muncul pada
lapang pandang pasien, yang disebut floaters. Jika hal ini berlanjut maka
dapat terjadi retinal detachment.
- Irreversible blindness jika komplikasi CRVO tidak ditangani dengan baik.
2.8 Diagnosis CRVO
Diagnosis sumbatan vena retina dapat ditegakkan berdasarkan klinis saja
dengan menilai penurunan visus dan gambaran retina yang diperiksa menggunakan
oftalmoskop direk disertai penilaian perubahan lapang pandang. Sumbatan vena
sentral retina non perfusi dicurigai pada pasien dengan visus lebih buruk dari 6/60,
disertai defek pupil aferen relatif, eksudat berbentuk kapas yang luas dan
perdarahan berbentuk konfluen. Pemeriksaan angiografi dilakukan untuk menilai
tingkat keparahan edema makula dan status perfusi. Pemeriksaan tomografi retina
merupakan pemeriksaan non invasif yang digunakan untuk menilai kuantitas edema
makula dan evaluasi terapi (McIntosh et al, 2010).
Penegakan diagnosis oklusi vena retina dari anamnesis harus dilakukan
secara mendalam, pemeriksaan oftalmologis dan pemeriksaan laboratorium untuk
menilai faktor yang mempengaruhi kondisi kardiovaskuler. Terapi hipertensi dan
penyakit kardiovaskular dapat mempengaruhi prognosis tajam penglihatan dan
kondisi tersebut terkait dengan kerusakan organ akibat penyakit sistemik yang
merupakan penyakit dasar. Sehingga bila sudah pernah ditemukan oklusi pembuluh
darah pada mata dapat diperkirakan adanya gangguan vaskuler pada pembuluh
darah intrakranial, jantung atau ginjal. Dalam hal itu diperlukan kerjasama perawatan
dengan departemen lain seperti penyakit dalam, kardiologi ataupun neurologi
tergantung pada manifestasi klinisnya (McIntosh et al, 2010).
Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk melacak faktor resiko.
Pemeriksaan yang disarankan antara lain berupa profil koagulasi darah. Pasien
dengan sumbatan vena retina yang berusia dibawah 50 tahun atau pasien dengan
sumbatan vena retina bilateral wajib untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium
terutama profil lipid penderita. Hal itu dilakukan karena adanya kaitan dengan faktor
sistemik berupa hiperkoagubilitas darah ataupun dislipidemia yang disertai penyakit
kardiovaskular (McIntosh et al, 2010).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan
Reflex pupil mungkin normal dan mungkin terlihat refleks pupil aferen. Jika
iris mempunyai pembuluh darah abnormal, mungkin pupil tidak bereaksi.
- Konjungtiva: tahap lanjutan mungkin menunjukkan hambatan di pembuluh
konjungtiva dan silia.
- Iris mungkin normal. Stadium lanjut dapat menunjukkan neovaskularisasi.
Pembuluh darah ini terdeteksi pada saat iris tidak berdilatasi. Awalnya,
pembuluh darah dapat dilihat di sekitar perbatasan pupil dan iris.
- Bagian ruang anterior diperiksa dengan mengguanakan gonioscopy. Hal ini
telah diteliti dilakukan yang paling bagus pada saat iris tidak berdilatasi.
Awalnya, mungkin menunjukkan neovaskularisasi dengan sudut terbuka dan
kemudian menunjukan adanay synechia anterior.

Pada pemeriksaan penunjang, beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk


mengetahui keutuhan retina, diantaranya adalah (OCT)
Oftalmoskopi direk dan indirek
- Ketajaman penglihatan Pemeriksaan penglihatan harus selalu dilakukan.
Ini adalah salah satu indikator penting dari prognosis akhir pada penglihatan.
Respon reflek pupil
Pemeriksaan slit lamp
Color Doppler
USG mata
Angiography Fluoresensi
Electroretinography
Optical coherence tomography teknik pencitraan non invasif yang
digunakan untuk mengukur makula edema dan menilai respon dari
pengobatan.
Pemeriksaan Funduskopi

Gambar 7. Oklusi vena retinal sentralis akut (Wong & Scott, 2010).
Menunjukkan gambaran perdarahan ekstensif di pole posterior dan memberikan gambaran
blood and thunder appearance
2.9 Diagnosa Banding CRVO

Oklusi vena retina cabang (American Academy of Opthalmology, 2010)


Sindrom iskemik ocular

2.10 Penatalaksanaan CRVO


Manajemen CRVO disesuaikan dengan kondisi medis terkait, misalnya
hipertensi, diabetes mellitus, hiperhomosisteinemia, dan riwayat merokok. Jika hasil
tes negatif pada faktor-faktor resiko CRVO di atas, maka dipertimbangkan untuk
melakukan tes selektif pada pasien-pasien muda untuk menyingkirkan kemungkinan
trombofilia, khususnya pada pasien-pasien dengan CRVO bilateral, riwayat
trombosis sebelumnya, dan riwayat trombosis pada keluarga.
Pengobatan terutama ditujukan kepada mencari penyebab dan
mengobatinya, antikoagulasia, dan fotokoagulasi daerah retina yang mengalami
hipoksia. Steroid diberi bila penyumbatan disebabkan flebitis. Pasien CRVO harus
diperingatkan pentingnya melaporkan perburukan penglihatan karena pada
beberapa kasus, dapat terjadi progresifitas penyakit dari noniskemik ke iskemik.

a. Pembedahan dan Farmakoterapi


Dekompresi surgikal dari CRVO via radial optik neurotomi dan kanulasi vena
retina dan pemasukan tissue-plasminogen activator (t-PA). Keefektifan dan resiko
dari pengobatan ini tidak terbukti. Kortikosteroid dan terapi untuk mengurangi
perlengketan platelet (aspirin) telah disarankan, tapi kemanjuran dan resikonya juga
masih belum terbukti. Antikoagulasi sistemik tidak dianjurkan. Edema makula tidak
merespon terhadap terapi laser. Penyuntikan intravitreal triancinolone memberikan
sedikit efek. Uji coba dengan menyuntikkan depot steroid atau agen anti -VEGF
memberi hasil yang menjanjikan (Ilyas, 2010).
b. Neovaskularisasi Iris
Suatu studi penelitian menemukan bahwa faktor risiko paling penting pada
iris neovaskularisasi adalah ketajaman visual yang jelek. Faktor risiko yang lain yang
berhubungan dengan perkembangan neovaskularisasi iris termasuk di antaranya
nonperfusi kapiler retina yang luas dan darah intraretinal. Bila terjadi
neovaskularisasi iris, terapi bakunya adalah fotokoagulasi laser pan-retina (Laser
PRP). Neovaskularisasi juga dapat dikontrol dengan agen anti-VEGF intravitreal.
Namun laser-PRP (Pan Retinal Photocoagulation) dapat menyebabkan skotoma
perifer, berkemungkinan meninggalkan hanya sedikit retina yang dapat berfungsi
dengan baik dan lapangan pandang yang menyempit (Ilyas, 2010).

c. Injeksi Intravitreal Triamsinolon


Pada pasien dengan edema makula, suntikan triamcinolone (0,1 ml / 4 mg)
ke dalam rongga vitreous melalui pars plana telah terbukti efektif tidak hanya dalam
menyelesaikan edema, tetapi juga dalam perbaikan yang sesuai dengan perbaikan
penglihatan. Meskipun mekanisme yang tepat belum diketahui dalam tindakan
penyuntikan intravitreal kortikosteroid, kristal triamsinolon didalam rongga vitreous
mungkin dapat mengurangi konsentrasi VEGF yang berada dalam rongga vitreous.
Hal ini menyebabkan penurunan permeabilitas kapiler dan edema makula.
Kelemahan utama suntikan triamcinolone adalah kambuh kembali setelah
pengibatan edema makula, sehingga membutuhkan penyuntikan triamcinolone
ulang, biasanya setiap 3-6 bulan. Selain itu, komplikasi yang signifikan dilaporkan
karena suntikan triamcinolone adalah katarak, glaukoma, ablasi retina, perdarahan
vitreous, dan endophthalmitis (Ilyas, 2010).

d. Injeksi Intravitreal Bevacizumab


Pada pasien dengan edema makula, suntikan bevacizumab (0,05 mL/1.25
mg) ke dalam rongga vitreous melalui pars plana telah terbukti efektif tidak hanya
dalam menyelesaikan edema, tetapi juga dalam perbaikan yang sesuai dalam visi
(Wong 2010)..
Suntikan bevacizumab diberikan setiap 6 minggu selama 6 bulan
meningkatkan ketajaman visual dan secara signifikan mengurangi edema
dibandingkan dengan pura-pura. Pada pasien dengan glaukoma neovascular, dosis
yang sama telah menunjukkan penurunan signifikan neovaskularisasi sudut dan
meningkatkan kontrol tekanan intraokular, baik secara medis dan pembedahan
(Ilyas, 2010).
Mekanisme yang tepat tindakan suntikan intravitreal bevacizumab tidak
diketahui, bevacizumab mungkin mengurangi konsentrasi VEGF dalam rongga
vitreous. Hal ini menyebabkan penurunan permeabilitas kapiler dan edema makula.
Kelemahan utama intravitreal suntikan kambuh perawatan pasca edema makula,
yang membutuhkan suntikan berulang.
Komplikasi yang signifikan dilaporkan karena injeksi bevacizumab termasuk
katarak, glaukoma, ablasi retina, perdarahan vitreous, dan endophthalmitis.
Komplikasi signifikan yang dilaporkan dengan dosis tinggi bevacizumab diberikan
secara intravena untuk pengobatan kanker. Belum ada laporan yang signifikan
komplikasi ini dalam studi kecil yang tersedia (Ilyas, 2010).

e. Injeksi Intravitreal Ranibizumab


Faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) merupakan ekspresi yang
diregulasi akibat hipoksia dan tercatat meningkat pada cairan mata pada pasien
dengan CRVO. Salah satu efek kuat VEGF adalah untuk meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah di makula menyebabkan edema makula.
Ranibizumab menunjukkan hasil penignkatan pengliahatan pada pasien
dengan degenerasi neovascular yaitu vaskular yang terkait usia karena aktivitas anti-
VEGF nya. Peran ranibizumab dalam pengelolaan CRVO dilaporkan dalam
beberapa studi. Suntikan intraokular dari 0,3 mg atau 0,5 mg ranibizumab disediakan
perbaikan cepat dalam ketajaman penglihatan 6 bulan dan edema makula mengikuti
CRVO. Enam bulan pengobatan bulanan dengan ranibizumab pada pasien dengan
makula edema sekunder untuk cabang atau pusat RVO menghasilkan peningkatan
yang lebih besar dalam tujuan terkait fungsi. Ranibizumab disetujui untuk
pengobatan edema makula setelah pengobatan oklusi vena retina pada bulan Juni
2010 (Ilyas, 2010).
2.11 ` Komplikasi CRVO
Penyulit oklusi vena retina sentral berupa perdarahan masif ke dalam retina
terutama pada lapis serabut saraf retina dan tanda iskemia retina. Pada
penyumbatan vena retina sentral, perdarahan juga dapat terjadi di depan papila dan
ini dapat memasuki badan kaca menjadi perdarahan badan kaca. Oklusi vena retina
sentral dapat menimbulkan terjadinya pembuluh darah baru yang dapat ditemukan di
sekitar papil, iris, dan retina (rubeosis iridis). Rubeosis iridis dapat mengakibatkan
terjadinya glaukoma sekunder, dan hal ini dapat terjadi dalam waktu 1-3 bulan.
Penyulit yang dapat terjadi adalah glaukoma hemoragik atau neovaskular (Ilyas,
2010).

2.12 Prognosis CRVO


Prognosis visual pada pasien dengan oklusi vena sentralis retina (khususnya
tipe iskemia) lebih buruk dari pada oklusi pada percabangan vena. Komplikasi
berupa neovaskularisasi retina ditemukan pada 20% kasus dan komplikasi paling
buruk adalah glaukoma neovaskular pada 60% kasus yang biasanya terjadi pada
sumbatan vena sentralis retina. Selain itu disebutkan bahwa sepertiga kasus yang
pada awalnya diklasifikasikan sebagai sumbatan vena sentralis retina tipe perfusi
(non-iskemi) dapat berubah menjadi non perfusi (iskemi) dalam satu tahun pertama.
Penelitian dengan rancangan acak tentang penggunaan terapi laser pada oklusi
vena sentralis retina yang dilakukan oleh Central Vein Occlusion Study, menemukan
bahwa 65% pasien dengan diagnosis sumbatan vena sentralis dapat menetap atau
mengalami perbaikan visus bila pada saat kunjungan pertama, tajam penglihatannya
6/12.
Prognosis yang baik dapat diperkirakan pada pasien dengan riwayat oklusi
alami tipe non-iskemik. Enam puluh lima persen pasien dengan ketajaman
penglihatan 20/40 akan mendapatkan ketajaman yang sama atau lebih baik pada
evaluasi terakhir. Pada sekitar 50% pasien, ketajaman penglihatan dapat mencapai
20/200 atau lebih buruk, yang mana pada 79% pasien tampak adanya kemunduran
ketajaman penglihatan pada follow up. Pada sepertiga pasien dengan oklusi vena
retina cabang, ketajaman penglihatan akhir mencapai 20/40. Pada 2/3 kasus dari
pasien mengalami penurunan ketajaman penglihatan akibat edema makula, iskemia
makula, perdarahan makula, dan perdarahan vitreous.
Oklusi vena retina sentral noniskemia dapat kembali ke keadaan seperti
semula tanpa adanya komplikasi pada sekitar 10% kasus. Sepertiga pasien dapat
berlanjut ke tipe iskemia, umumnya pada 6-12 bulan pertama setelah terjadinya
tanda dan gejala. Pada lebih dari 90% pasien dengan oklusi vena retina sentral
iskemia, tajam penglihatan akhir dapat mencapai 20/200 atau lebih (Ilyas, 2010).

Anda mungkin juga menyukai