Anda di halaman 1dari 19

Saya Bukan Sayuran

Suatu kali Nasrudin menjadi orang penting di istana. Ia gunakan posisinya ini untuk menunjukkan cara
mengatur orang-orang di dalam istana. Suatu hari Raja merasa lapar sekali. Beberapa tukang masak
menyajikan hidangan yang luar biasa enaknya, sehingga Raja meminta Kepala Istana untuk menyiapkan
makanan seperti itu setiap hari.
Bukankah ini sayuran terbaik di dunia, Mullah? tanya sang Raja kepada Nasrudin.
Teramat baik, Tuanku. jawab Nasrudin.
Tapi kalau tiap kali harus makan makanan yang sama, siapapun akan menjadi bosan. Lima hari
kemudian, ketika para juru masak merampungkan sajian makanan untuk kesepuluh kalinya, sang Raja
berteriak:
Singkirkan semuanya! Aku benci makanan-makanan ini!
Ini memang sayuran terburuk di dunia, Tuanku, ujar Nasrudin.
Tapi, Mullah, belum satu minggu yang lalu engkau mengatakan itu sayuran yang terbaik.
Memang benar, Tuanku. Tapi hamba ini adalah pelayan Raja, bukan sayuran.
Ya sebagai seorang pelayan tentunya Nasrudin harus patuh dan nurut saja apa kata baginda.

Nasrudin Pergi Bercukur


Nasrudin dianggap sebagai guru sufi bahkan ia dipanggil sebagai Mullah, hal ini menujukkan dia memang
berilmu. Pada suatu hari -Nasrudin pergi ke tukang cukur. Sialnya si tukang cukur bekerja amat lamban
karena pisaunya tumpul. Setiap kali pipi Nasrudin tergores hingga berdarah.
Tukang cukur cepat cepaf mengambil sejumput kapas dan meletakkannya pada luka itu. Hal ini
berlangsunq terus hingga beberapa kali. Sampai wajah Nascudin penuh dengan jumputan-jumputan
kapas. Ketika si tukang cukur hendak melanjutkan dengan pipi Nasrudin yang satunya, tiba-tiba saja
Nasrudin melompat dan memandangi wajahnya di kaca.
Cukup, terima kasih, Saudara! Aku telah memutuskan untuk menanam kapas di pipi kiri dan gandum di
pipi yang lain!

Disuruh Untuk Mengawasi Pintu Supaya Tidak Ada Pencurinya


Suatu hari Nasrudin kecil ditinggal ibunya untuk pergi ke rumah Ibu RT. Sebelum pergi ibunya berkata
kepada Nasrudin, Nasrudin, kalau kamu sedang sendirian di rumah, kamu harus selalu mengawasi pintu
rumah dengan penuh kewaspadaan. Jangan biarkan seorang pun yang tidak kamu kenal masuk ke dalam
rumah karena bisa saja mereka itu ternyata pencuri!
Nasrudin memutuskan untuk duduk di samping pintu. Satu jam kemudian pamannya datang. Mana
ibumu? tanya pamannya.
Oh, Ibu sedang pergi ke pasar, jawab Nasrudin.
Keluargaku akan datang ke sini sore ini. Pergi dan katakan kepada Ibumu jangan pergi ke mana-mana
sore ini! kata pamannya.
Begitu pamannya pergi Nasrudin mulai berpikir, Ibu menyuruh aku untuk mengawasi pintu. Sedangkan
Paman menyuruhku pergi untuk mencari Ibu dan bilang kepada Ibu kalau keluarga Paman akan datang
sore ini.
Setelah bingung memikirkan jalan keluarnya, Nasrudin akhirnya membuat satu keputusan. Dia
melepaskan pintu dari engselnya, menggotongnya sambil pergi mencari ibunya.

Sekalian Saja Bawa Semuanya


Nasruddin pernah bekerja pada seorang yang sangat kaya, tetapi seperti biasanya ia mendapatkan
kesulitan dalam pekerjaannya. Pada suatu hari orang kaya itu memanggilnya, katanya, Nashruddin
kemarilah kau. Kau ini baik, tetapi lamban sekali. Kau ini tidak pernah mengerjakan satu pekerjaan
selesai sekaligus. Kalau kau kusuruh beli tiga butir telur, kau tidak membelinya sekaligus. Kau pergi ke
warung, kemudian kembali membawa satu telur, kemudian pergi lagi, balik lagi membawa satu telur
lagi, dan seterusnya, sehingga untuk beli tiga telur kamu pergi tiga kali ke warung.
Nashruddin menjawab, Maaf, Tuan, saya memang salah. Saya tidak akan mengerjakan hal serupa itu
sekali lagi. Saya akan mengerjakan sekaligus saja nanti supaya cepat beres.
Beberapa waktu kemudian majikan Nashruddin itu jatuh sakit dan ia pun menyuruh Nashruddin pergi
memanggil dokter.Tak lama kemudian Nashruddin pun kembali, ternyata ia tidak hanya membawa
dokter, tetapi juga bebarapa orang lain.
Ia masuk ke kamar orang kaya itu yang sedang berbaring di ranjang, katanya, Dokter sudah datang,
Tuan, dan yang lain-lain sudah datang juga. Yang lain-lain? Tanya orang kaya itu. Aku tadi hanya
minta kamu memanggil dokter, yang lain-lain itu siapa?
Begini Tuan! jawab Nashruddin, Dokter biasanya menyuruh kita minum obat. Jadi saya membawa
tukang obat sekalian. Dan tukang obat itu tentunya membuat obatnya dari bahan yang bermacam-
macam dan saya juga membawa orang yang berjualan bahan obat-obat-an bermacam-macam. Saya juga
membawa penjual arang, karena biasanya obat itu direbus dahulu, jadi kita memerlukan tukang arang.
Dan mungkin juga Tuan tidak sembuh dan malah mati. Jadi saya bawa sekalian tukang gali kuburan.

Susu dan Garam


Nasrudin dan Ali merasa haus, mereka pergi ke sebuah warung untuk minum. Karena uang mereka
hanya cukup untuk membeli segelas susu maka Mereka memutuskan membagi segelas susu untuk
berdua.
Ali : kamu minum dulu setengah gelas,Karena aku hanya punya gula yang hanya cukup untuk satu
orang. Aku akan menuangkan gula ini ke dalam susu bagianku.
Nasrudin : Tuangkan saja sekarang dan aku akan minum setengahnya.
Ali : Aku tidak mau. Sudah kukatakan, gula ini hanya cukup membuat manis setengah gelas susu
akhirnya Nasrudin pergi ke pemilik warung dan kembali dengan sekantung garam.
Nasrudin : Ada berita baik. Seperti telah kita setujui, aku akan minum susu ini lebih dulu. Aku akan
minum bagianku dengan garam ini.
Ali : apa.?

Naik Kapal Yang Mau Tenggelam


Kapal tampaknya mulai tenggelam. Para penumpang yang sebelumnya menertawakan peringatan
Nasrudin yang meminta mereka agar bersiap-siap untuk kehidupan akhirat, mulai berlutut dan
berteriak-teriak minta tolong. Mereka berdoa, mereka berjanji untuk berbuat sebanyak mungkin
kebajikan jika mereka selamat.
Teman-teman! teriak Nasrudin. Jangan boros dengan kata-kata bagus itu. Percayalah! Aku melihat
daratan!
Hah? semua penumpang membelalak.
Apa? Apakah kalian tidak jadi meneruskan tobat dan berbuat baik? tanya Nasrudin.

Membantu Orang Membayar Hutang


Saudaraku, kata Nasrudin kepada seorang tetangga, aku sedang mengumpulkan uang untuk
membayar utang seorang laki-laki yang amat miskin, yang tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya.
Sikap yang amat terpuji, komentar tetangga itu, dan kemudian memberinya sekeping uang.
Siapakah orang itu?
Aku, kata Nasrudin sambil bergegas pergi. Beberapa minggu kemudian Nasrudin muncul lagi di depan
pintu tetangganya itu. Kupikir, kau mau membicarakan soal utang, kata sang tetangga yang sekarang
tampak sinis.
Betul demikian.
Ada seseorang yang tidak bisa membayar utangnya dan engkau mengumpulkan sumbangan
untuknya?
Ya. Memang demikian adanya.
Lalu engkau sendiri yang meminjam uang itu?
Tidak untuk saat ini.
Aku senang mendengarnya. Ini ambillah sumbangan ini.
Terima kasih
Satu hal, Nasrudin. Apa yang membuatmu begitu bersikap manusiawi terhardap masalah yang khusus
ini?
Oh, rupanya kamu tahu akulah yang memberi pinjaman.

Tidak Ikhlas Menolong


Tidak etis jika kita selalu menyebut-nyebut pertolongan yang kita berikan kepada orang lain. Nasrudin
hampir saja terjatuh ke dalam sebuah kolam. Tapi seseorang yang tidak terlalu dikenalnya berada di
dekat tempat itu dan kemudian menolongnya. Setelah itu, setiap kali orang itu bertemu dengan
Nasrudin, ia selalu mengingatkan kebaikan yang pernah dilakukannya terhariap sang Mullah.
Suatu kali, Nasrudin membawa laki-laki itu ke dekat kolam, kemudian sang Mullah menerjunkan dia ke
dalam air. Dengan kepala menyembul di permukaan air, Nasrudin berteriak: Kau lihat, sekarang aku
sudah benar-benar basah, seperti yang seharusnya terjadi jika engkau dulu tidak menolongku! Sudah,
pergi sana!

Menghabiskan Halwa Masakan Istri


Suatu hari Nasrudin meminta istrinya untuk memasak halwa, masakan dari daging yang diberi bumbu
dengan rasa manis. Istrinya memasak makanan itu dalam jumlah besar, dan Nasrudin hampir saja
menyantap habis seluruhnya.
Malamnya, ketika mereka berdua sudah hampir lelap tertidur, Nasrudin mengguncang-guncang tubuh
istrinya. Eh, aku ada gagasan bagus.
Apa itu?
Bawa dulu ke sini sisa halwa yang masih ada. Baru setelah itu aku beri tahu gagasan yang ada di
otakku.
Istri Nasrudin segera bangkit dan mengambil sisa halwa yang langsung dilahap oleh sang Mullah.
Sekarang, kata istrinya, aku tidak akan bisa tidur sebelum engkau ceritakan isi pikiranmu itu.
Idenya itu, kata Nasrudin, Jangan sekali-kali pergi tidur sebelum menghabiskan semua halwa yang
telah dibuat pada hari itu juga.

Memberi Nasihat Gratis


Suatu hari Nasrudin pergi ke rumah hartawan untuk mencari dana.
Bilang sama tuanmu, kata Nasrudin kepada penjaga pintu gerbang, Mullah Nasrudin datang, mau
minta uang.
Sang penjaga masuk, dan kemudian ke luar lagi.
Aku khawatir, jangan-jangan, tuanku sedang pergi, katanya.
Ke sini. Ini ada pesan untuk tuanmu, kata Nasrudin. Meskipun ia belum memberi sumbangan, tapi
tidak apa-apa, ini nasihat gratis buat tuanmu. Lain kali, kalau tuanmu pergi, jangan sampai ia
meninggalkan wajahnya dijendela. Bisa-bisa dicuri orang nantinya.

Nasrudin di Tangkap Waktu Perang


Ketika perang Salib, Nasrudin tertangkap dan dikenai kerja paksa di sebuah parit dekat benteng Aleppo.
Kerja paksa itu, begitu melelahkan sehingga sang Mullah sering kali berkeluh kesah.
Suatu hari, seorang pedagang yang mengenalnya lewat di jalan tempatnya bekerja, dan kemudian
menebus sang Mullah dengan tiga puluh uang keping perak. Nasrudin dibawa pulang oleh sang
pedagang, dan diperlakukan dengan baik sekali. Sang pedagang, juga memberikan anak perempuannya
kepada sang Mullah untuk diperistri.
Sekarang, hidup Nasrudin sudah lebih baik. Tapi tampaknya anak perempuan sang pedagang muiai suka
marah-marah. Engkau adalah laki-laki, kata wanita itu suatu hari, Yang dibeli ayahku dengan harga
tiga puluh keping perak. Ayahku kemudian memberikan engkau kepadaku.
Ya, kata Nasrudin, Ayahmu membayar tebusan sebanyak tiga puluh keping perak, lalu engkau tidak
memperoleh apa-apa dari aku, dan aku sendiri sebenarnya juga sudah kehilangan otot-otot yang sudah
kudapat sewaktu aku menggali parit-parit.

Sedih Karena Keledai Mati


Huuu huuuu
Ada apa, Nasrudin?
Aku sedih sekali hari ini. Istriku sakit.
Oh, aku kira, keledaimu yang sakit.
Ya, memang betul. Tapi aku sedang melatih diriku agar terbiasa menghadapi kejutan dengan tahapan
yang mudah dulu.

Memakai Pakaian Berkabung


Nasrudin sedang berjalan di sepanjang jalan dengan mengenakan jubah berwarna biru tua ketika
seseorang bertanya: Mengapa engkau berpakaian seperti ini, Nasrudin? Apa ada yang meninggal?
Ya, kata sang Mullah, Kan bisa saja terjadi kematian, tanpa kita diberi tahu.

Kehilangan Sorban
Suatu hari Nasrudin kehilangan sehelai sorbannya yang bagus dan berharga mahal.
Kamu tidak sedih Nasrudin? Seseorang bertanya kepadarnya.
Tidak. Aku optimistis kok. Kau sendiri lihat, aku telah menawarkan hadiah setengah sekeping uang
perak bagi siapa saja menemukannya.
Tapi penemunya, tentu, tidak akan mengembalikan sorbanmu. Habis, hadiahnya tidak sebanding
dengan nilai sorban yang seratus kali lipat itu.
Sudah kupikirkan itu. Aku juga sudah membuat pengumuman bahwa sorban yang hilang itu kondisinya
kotor sekali dan tua, berbeda dengan yang sebenarnya.

Siapa yang Salah Kalau Kecurian


Suatu hari Nasrudin dari istrinya pulang dan mendapati rumah mereka telah dimasuki pencuri. Segala
sesuatu yang berguna dibawa kabur sang pencuri,
Ini semua salahmu. kata istrinya, karena kamu selalu merasa yakin bahwa pintu rumah sudah
terkunci sebelum kita pergi
Para tetangga juga turut berkomentar: Kamu sih tidak mengunci pintu-pintu, ujar seorang tetangga.
Heran.
Kenapa kamu tidak membayangkan apa yang bakal terjadi? ujar yang lain. Kunci-kunci ternyata sudah
rusak dan kamu tidak menggantinya, kata orang ketiga.
Sebentar, kata Nasrudin, tentunya, aku bukan satu-satunya orang yang bisa kalian salahkan.
Lalu, siapa yang harus kami salahkan kalau bukan engkau? teriak orang-orang dengan gemas
Lho? Kok bukan para pencuri itu? kata Nasrudin.

Menolong Bulan
Ketika sedang berjalan-jalan, Nasrudin melewati sebuah sumur yang membuatnya ingin melihat ke
dalamnya. Ketika itu hari mulai malam. Waktu Nasrudin menatap air dalam sumur itu, ia melihat bulan
di sana.
Aku harus menyelamatkan bulan! pikir Nasrudin. Jika tidak, ia tidak akan pernah beranjak, dan bulan
puasa tidak akan pemah berakhir.
Akhirnya, ia mendapatkan seutas tali, dan kemudian, ia pun berteriak:
Pegang kuat-kuat, ya, terus bersinar
Tali itu ternyata terjerat pada sebuah batu besar di dalam sumur, dan Nasrudin menghela tali itu sekuat
tenaga. Ketika ujung tali sudah hampir mendekatinya, ia jatuh terpelanting. Sambil terkapar, matanya
memandangi langit, dan tiba-tiba saja, ia melihat sang Bulan sudah ada di sana. Bisa juga engkau
kuselamatkan kata Nasrudin, Betulkan, untung saja saya aku lewat.

Makan Sop Bebek


Nasrudin memandang beberapa ekor bebek yang kelihatannya akan lezat bila dimasak. Mereka sedang
bersenang-senang di sebuah kolam. Ketika Nasrudin mencoba menangkapnya, bebek-bebek itu terbang.
Setelah itu ia celupkan beberapa patong roti ke dalam air dan kemudian melahapnya. Beberapa orang
yang lewat bertanya apa yang ia lakukan itu.
Aku sedang makan sop bebek, jawab Nasrudin kalem.

Menggunakan Dua Alternatif


Seorang teolog sakit. Ia mendengar bahwa Nasrudin itu searang mistikus. Dan dalam keadaannya yang
setengah sadar, ia merasa ada sesuatu di dalam dirinya.
Akhirnya ia dikirim kepada Nasrudin.
Buatkan doa yang bisa membuatku memasuki dunia lain, Mullah, katanya. Bukankah engkau
terkenal pandai dalam berhubungan dengan dimensi lain.
Dengan senang hati, kata Nasrudin.
Tuhan tolonglah aku. Setan, tolonglah aku!
Lupa dengan rasa sakitnya, orang suci ini bangkit karena rasa tersinggung yang luar biasa. Mullah,
engkau pasti sudah gila.
Tidak sepenuhnya, sahabatku. Seseorang yang berada dalam kondisi seperti engkau ini, tidak akan
mampu menangkap kesempatan. Jika ia melihat dua alternatif, ia mencoba membuktikan yang mana
yang berhasil!

Tidak Ada yang Menawarkan Keledai Pengganti

Engkau memang telah kehilangan keledaimu, Mullah. Tetapi tidak perlu bersedih, lebih sedih dibanding
ketika engkau kehilangan istrimu.

Ah, kalau saja kalian ingat. Ketika aku kehilangan istriku, kalian semua warga kampung berkata: Kami
akan mencari pengganti untukmu.

Tapi coba sekarang, ketika keledaiku mati tak seorang pun yang menawarkan penggantinya.

Perlakuan Sama Tapi Hasil Beda


Segala sesuatu yang ada harus dibagi sama rata, ujar seorang filsuf di hadapan sekelompok orang di
warung kopi.
Aku tak yakin, itu akan terjadi, ujar seseorang yang selalu ragu.
Tapi, pernahkah engkau memberi kesempatan? menimpali sang filsuf.
Aku pernah! teriak Nasrudin. Aku beri istriku dan keledaiku perlakuan yang sama. Mereka
memperoleh apa yang betul-betul mereka inginkan.
Bagus sekali! kata sang filsuf. Sekarang
katakan bagaimana hasilnya.
Hasilnya adalah seekor keledai yang baik, dan istri yang buruk.

Ujian Menebak Isi Tangan


Menurut pandangan umum, para Sufi itu gila, gumam Nasrudin.
Menurut para orang bijak, mereka benar-benar penguasa dunia. Aku akan mengeceknya, supaya aku
sendiri bisa yakin mana yang benar.
Kemudian ia melihat seseorang yang tinggi besar, mengenakan jubah seperti seorang Sufi Akhdan.
Sahabat, kata Nasrudin, aku ingin membuat sebuah percobaan untuk menguji kekuatan jiwamu, dan
juga kesehatan rohaniku.
Boleh. Silakan mulai, kata sang Akhdan.
Nasrudin membuat gerakan menyapu dengan tangannya, kemudian
mengepalkan kedua tangannya. Sekarang, apa yang ada ditanganku?
Seekor kuda, kereta dan sais, ujar sang Akhdan cepat.
Itu sih bukan test, ujar Nasrudin marah, Habis kamu sih tadi melihat aku mengambilnya.

Kebijaksanaan dari Toko Sepatu

Nasrudin diundang menghadiri sebuah pesta perkawinan.Sebelumnya, di rumah orang yang


mengundang itu, ia pernah kehilangan sandal. Karenanya sekarang ia tidak lagi meninggalkan sepatunya
di dekat pintu masuk, tapi menyimpannya di balik jubahnya.

Buku apa itu di dalam sakumu? tanya tuan rumah kepada Nasrudin.
Ha, mungkin dia sedaang mencari-cari sepatuku, pikir Nasrudin, untung aku dikenal sebagai kutu
buku.

Maka, dengan sekeras-kerasnya ia berkata:


Tonjolan yang engkau lihat ini adalah Kebijaksanaan.
Menarik sekali! Dari toko buku mana engkau dapatkan itu?
Yang jelas aku mendapatkannya dari toko sepatu!

Anak kecil yang kurang ajar


Nasrudin biasa duduk-duduk di teras sebuah warung kopi. Suatu hari, seorang anak kecil laki-laki berlari
di hadapannya sambil memukul kepala Nasrudin sehingga sorbannya melayang. Tapi sang Mullah tidak
bereaksi apa-apa. Hal yang sama terjadi terus selama beberapa hari. Yang selalu dilakukan sang Mullah
adalah mengambil sorbannya yang terjatuh dan mengenakannya kembali.
Seseorang bertanya kepada Nasrudin mengapa ia tidak menangkap dan menghukum anak kecil itu, atau
meminta orang lain untuk melakukanya.
Itu bukan cara yang tepat, kata Nasrudin.
Suatu hari Nasrudin, terlambat datang ke warung kopi. Ketika sampai di sana, dilihatnya seorang
serdadu dengan wajah yang seram sedang duduk di tempat yang biasanya ia duduki.
Tiba-tiba anak kecil laki-laki itu muncul. Seperti biasanya, ia menonjok sorban orang yang duduk di
tempat itu. Tanpa berkata apa-apa, sang serdadu menghunus pedangnya dan kemudian memenggal
leher anak itu.
Ah, dia kan hanya anak kecil! gumam Nasrudin dengan penuh sesal.
Bersembunyi
Suatu malam seorang pencuri memasuki rumah Nasrudin. Kabetulan Nasrudin sedang melihatnya.
Karena ia sedang sendirian aja, Nasrudin cepat-cepat bersembunyi di dalam peti. Sementara itu pencuri
memulai aksi menggerayangi rumah. Sekian lama kemudian, pencuri belum menemukan sesuatu yang
berharga. Akhirnya ia membuka peti besar, dan memergoki Nasrudin yang bersembunyi.
Aha! kata si pencuri, Apa yang sedang kau lakukan di sini, ha?
Aku malu, karena aku tidak memiliki apa-apa yang bisa kau ambil. Itulah sebabnya aku bersembunyi di
sini.

Jatuhnya jubah
Nasrudin pulang malam bersama teman-temannya. Di pintu rumah mereka berpisah. Di dalam rumah,
istri Nasrudin sudah menanti dengan marah. Aku telah bersusah payah memasak untukmu sore tadi !
katanya sambil menjewer Nasrudin. Karena kuatnya, Nasrudin terpelanting dan jatuh menabrak peti.
Mendengar suara gaduh, teman-teman Nasrudin yang belum terlalu jauh kembali, dan bertanya dari
balik pintu,
Ada apa Nasrudin, malam-malam begini ribut sekali?
Jubahku jatuh dan menabrak peti, jawab Nasrudin.
Jubah jatuh saja ribut sekali ?
Tentu saja, sesal Nasrudin, Karena aku masih berada di dalamnya.

Bahasa burung
Dalam pengembaraannya, Nasrudin singgah di ibukota. Di sana langsung timbul kabar burung bahwa
Nasrudin telah menguasai bahasa burung-burung. Raja sendiri akhirnya mendengar kabar itu. Maka
dipanggillah Nasrudin ke istana.
Saat itu kebetulan ada seekor burung hantu yang sering berteriak di dekat istana. Bertanyalah raja pada
Nasrudin, Coba katakan, apa yang diucapkan burung hantu itu!
Ia mengatakan, kata Nasrudin, Jika raja tidak berhenti menyengsarakan rakyat, maka kerajaannya
akan segera runtuh seperti sarangnya.

Kekekalan massa
Ketika memiliki uang cukup banyak, Nasrudin membeli ikan di pasar dan membawanya ke rumah.
Ketika istrinya melihat ikan yang banyak itu, ia berpikir, Oh, sudah lama aku tidak mengundang teman-
temanku makan di sini.
Ketika malam itu Nasrudin pulang kembali, ia berharap ikannya sudah dimasakkan untuknya. Alangkah
kecewanya ia melihat ikan-ikannya itu sudah habis, tinggal duri-durinya saja.
Siapa yang menghabiskan ikan sebanyak ini ?
Istrinya menjawab, Kucingmu itu, tentu saja. Mengapa kau pelihara juga kucing yang nakal dan rakus
itu!
Nasrudin pun makan malam dengan seadanya saja. Setelah makan, dipanggilnya kucingnya, dibawanya
ke kedai terdekat, diangkatnya ke timbangan, dan ditimbangnya. Lalu ia pulang ke rumah, dan berkata
cukup keras,
Ikanku tadi dua kilo beratnya. Yang barusan aku timbang ini juga dua kilo. Kalau kucingku dua kilo,
mana ikannya ? Dan kalau ini ikan dua kilo, lalu mana kucingnya ?

Menjemur baju
Nasrudin sedang mengembara cukup jauh ketika ia sampai di sebuah kampung yang sangat kekurangan
air. Menyambut Nasrudin, beberapa penduduk mengeluh,
Sudah enam bulan tidak turun hujan di tempat ini, ya Mullah. Tanaman-tanaman mati. Air persediaan
kami tinggan beberapa kantong lagi. Tolonglah kami. Berdoalah meminta hujan.
Nasrudin mau menolong mereka. Tetapi ia minta dulu seember air. Maka datanglah setiap kepala
keluarga membawa air terakhir yang mereka miliki. Total terkumpul hanya setengah ember air.
Nasrudin melepas pakaiannya yang kotor, dan dengan air itu, Nasrudin mulai mencucinya. Penduduk
kampung terkejut,
Mullah ! Itu air terakhir kami, untuk minum anak-anak kami!
Di tengah kegaduhan, dengan tenang Nasrudin mengangkat bajunya, dan menjemurnya. Pada saat itu,
terdengar guntur dahsyat, yang disusul hujan lebat. Penduduk lupa akan marahnya, dan mereka
berteriak gembira.
Bajuku hanya satu ini, kata Nasrudin di tengah hujan dan teriakan penduduk, Bila aku menjemurnya,
pasti hujan turun deras!

Hidangan Untuk Baju 2


Nasrudin menghadiri sebuah pesta pernikahan. Dilihatnya seorang sahabatnya sedang asyik makan.
Namun, di samping makan sebanyak-banyaknya, ia sibuk pula mengisi kantong bajunya dengan
makanan.
Melihat kerakusan sahabatnya, Nasrudin mengambil teko berisi air. Diam-dian, diisinya kantong baju
sahabatnya dengan air. Tentu saja sahabatnya itu terkejut, dan berteriak,
Hai Nasrudin, gilakah kau ? Masa kantongku kau tuangi air!
Maaf, aku tidak bermaksud buruk, sahabat, jawab Nasrudin, Karena tadi kulihat betapa banyak
makanan ditelan oleh kantongmu, maka aku khawatir dia akan haus. Karena itu kuberi minum
secukupnya.
Dakwah dengan hikmah dilakukan oleh Nasrudin setiap mengetahui kebatilan di depannya.Jika
perkataan yang menggelitik atau tindakan yang menyejukkan sudah mampu menginggatkan seseorang
akan kekeliruannya kenapa harus dengan perlawanan fisik.Ya nggak?

Hidangan Untuk Baju 1


Nasrudin menghadiri sebuah pesta. Tetapi karena hanya memakai pakaian yang tua dan jelek, tidak ada
seorang pun yang menyambutnya. Dengan kecewa Nasrudin pulang kembali.
Namun tak lama, Nasrudin kembali dengan memakai pakaian yang baru dan indah. Kali ini Tuan Rumah
menyambutnya dengan ramah. Ia diberi tempat duduk dan memperoleh hidangan seperti tamu-tamu
lainnya.
Tetapi Nasrudin segera melepaskan baju itu di atas hidangan dan berseru, Hei baju baru, makanlah!
Makanlah sepuas-puasmu!
ia memberikan alasan
Ketika aku datang dengan baju yang tadi, tidak ada seorang pun yang memberi aku makan. Tapi waktu
aku kembali dengan baju yang ini, aku mendapatkan tempat yang bagus dan makanan yang enak. Tentu
saja ini hak bajuku. Bukan untukku.

Miskin dan Sepi


Seorang pemuda baru saja mewarisi kekayaan orang tuanya. Ia langsung terkenal sebagai orang kaya,
dan banyak orang yang menjadi kawannya. Namun karena ia tidak cakap mengelola, tidak lama seluruh
uangnya habis. Satu per satu kawan-kawannya pun menjauhinya.
Ketika ia benar-benar miskin dan sebatang kara, ia mendatangi Nasrudin. Bahkan pada masa itu pun,
kaum wali sudah sering [hanya] dijadikan perantara untuk memohon berkah.
Uang saya sudah habis, dan kawan-kawan saya meninggalkan saya. Apa yang harus saya lakukan?
keluh pemuda itu.
Jangan khawatir, jawab Nasrudin, Segalanya akan normal kembali. Tunggu saja beberapa hari ini. Kau
akan kembali tenang dan bahagia.
Pemuda itu gembira bukan main. Jadi saya akan segera kembali kaya?
Bukan begitu maksudku. Kau salah tafsir. Maksudku, dalam waktu yang tidak terlalu lama, kau akan
terbiasa menjadi orang yang miskin dan tidak mempunyai teman.

Tampang itu perlu


Nasrudin hampir selalu miskin. Ia tidak mengeluh, tapi suatu hari istrinyalah yang mengeluh.
Tapi aku mengabdi kepada Allah saja, kata Nasrudin.
Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah, kata istrinya.
Nasrudin langsung ke pekarangan, bersujud, dan berteriak keras-keras, Ya Allah, berilah hamba upah
seratus keping perak! berulang-ulang. Tetangganya ingin mempermainkan Nasrudin. Ia melemparkan
seratus keping perak ke kepala Nasrudin. Tapi ia terkejut waktu Nasrudin membawa lari uang itu ke
dalam rumah dengan gembira, sambil berteriak Hai, aku ternyata memang wali Allah. Ini upahku dari
Allah.
Sang tetangga menyerbu rumah Nasrudin, meminta kembali uang yang baru dilemparkannya. Nasrudin
menjawab Aku memohon kepada Allah, dan uang yang jatuh itu pasti jawaban dari Allah.
Tetangganya marah. Ia mengajak Nasrudin menghadap hakim. Nasrudin berkelit, Aku tidak pantas ke
pengadilan dalam keadaan begini. Aku tidak punya kuda dan pakaian bagus. Pasti hakim berprasangka
buruk pada orang miskin.
Sang tetangga meminjamkan jubah dan kuda.
Tidak lama kemudian, mereka menghadap hakim. Tetangga Nasrudin segera mengadukan halnya pada
hakim.
Bagaimana pembelaanmu? tanya hakim pada Nasrudin.
Tetangga saya ini gila, Tuan, kata Nasrudin.
Apa buktinya? tanya hakim.
Tuan Hakim bisa memeriksanya langsung. Ia pikir segala yang ada di dunia ini miliknya. Coba tanyakan
misalnya tentang jubah saya dan kuda saya, tentu semua diakui sebagai miliknya. Apalagi pula uang
saya.
Dengan kaget, sang tetangga berteriak, Tetapi itu semua memang milikku!
Bagi sang hakim, bukti-bukti sudah cukup. Perkara putus.

Penyelundup
Ada kabar angin bahwa Mullah Nasrudin berprofesi juga sebagai penyelundup. Maka setiap melewati
batas wilayah, penjaga gerbang menggeledah jubahnya yang berlapis-lapis dengan teliti. Tetapi tidak
ada hal yang mencurigakan yang ditemukan. Untuk mengajar murid-muridnya, Mullah Nasrudin
memang sering harus melintasi batas wilayah tersebut.
Suatu malam, salah seorang penjaga mendatangi rumahnya.Aku tahu,wahai Mullah, engkau
penyelundup. Tapi aku menyerah, karena tidak pernah bisa menemukan barang selundupanmu.
Sekarang, jawablah penasaranku: apa yang engkau selundupkan ?
Jubah, kata Nasrudin, serius.

Cara membaca buku


Seorang yang filosof dogmatis sedang meyampaikan ceramah. Nasrudin mengamati bahwa jalan pikiran
sang filosof terkotak-kotak, dan sering menggunakan aspek intelektual yang tidak realistis. Setiap
masalah didiskusikan dengan menyitir buku-buku dan kisah-kisah klasik, dianalogikan dengan cara yang
tidak semestinya.
Akhirnya, sang penceramah mengacungkan buku hasil karyanya sendiri. Tokoh kita Nasrudin segera
mengacungkan tangan untuk menerimanya pertama kali. Sambil memegangnya dengan serius, Nasrudin
membuka halaman demi halaman, berdiam diri. Lama sekali. Sang penceramah mulai kesal.
Engkau bahkan membaca bukuku terbalik!
Aku tahu, jawab Nasrudin acuh, Tapi karena cuma ini satu-satunya hasil karyamu, rasanya, ya,
memang begini caranya mempelajari jalan pikiranmu.

Harmoni buah-buahan
Nasrudin bersantai di bawah pohon arbei di kebunnya. Dilihatnya seluruh kebun, terutama tanaman
labu yang mulai berbuah besar-besar dan ranum. Seperti biasa, Nasrudin merenung.
Aku heran, apa sebabnya pohon arbei sebesar ini hanya bisa menghasilkan buah yang kecil. Padahal,
labu yang merambat dan mudah patah saja bisa menghasilkan buah yang besar-besar.
Angin kecil bertiup. Ranting arbei bergerak dan saling bergesekan. Sebiji buah arbei jatuh tepat di kepala
Nasrudin yang sedang tidak bersorban.
Ah. Kurasa aku tahu sebabnya.

Yang tersulit
Salah seorang murid Nasrudin di sekolah bertanya,
Manakah keberhasilan yang paling besar: orang yang bisa menundukkan sebuah kerajaan, orang yang
bisa tetapi tidak mau, atau orang yang mencegah orang lain melakukan hal itu ?
Nampaknya ada tugas yang lebih sulit daripada ketiganya, kata Nasruddin.
Apa itu?
Mencoba mengajar engkau untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya.

Harga kebenaran
Seperti biasanya,Nasrudin memberikan pengajaran di mimbar. Kebenaran ujarnya
adalah sesuatu yang berharga. Bukan hanya secara spiritual, tetapi juga memiliki harga material.
Seorang murid bertanya, Tapi mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran ? Kadang-
kadang mahal pula ?
Kalau engkau perhatikan, sahut Nasrudin, Harga sesuatu itu dipengaruhi juga oleh kelangkaannya.
Makin langka sesuatu itu, makin mahallah ia.

Bahasa Kurdi
Tetangga Nasrudin ingin belajar bahasa Kurdi. Maka ia minta diajari Nasrudin. Sebetulnya Nasrudin juga
belum bisa bahasa Kurdi selain beberapa patah kata. Tapi karena tetangganya memaksa, ia pun akhirnya
bersedia.
Kita mulai dengan sop panas. Dalam bahasa Kurdi, itu namanya Aash.
Bagaimana dengan sop dingin ?
Hemm. Perlu diketahui bahwa orang Kurdi tidak pernah membiarkan sop jadi dingin. Jadi engkau tidak
akan pernah mengatakan sop dingin dalam bahasa Kurdi.

Umur Nasrudin
Berapa umurmu, Nasrudin ?
Empat puluh tahun.
Tapi beberapa tahun yang lalu, kau menyebut angka yang sama.
Aku konsisten.

Manipulasi deskripsi
Nasrudin kehilangan sorban barunya yang bagus dan mahal. Tidak lama kemudian, Nasrudin tampak
menyusun maklumat yang menawarkan setengah keping uang perak bagi yang menemukan dan
mengembalikan sorbannya.
Seseorang protes, Tapi penemunya tentu tidak akan mengembalikan sorbanmu. Hadiahnya tidak
sebanding dengan harga sorban itu.
Nah, kata Nasrudin, Kalau begitu aku tambahkan bahwa sorban itu sudah tua, kotor, dan sobek-
sobek.

Sama Rata Sama Rasa


Seorang filosof menyampaikan pendapat, Segala sesuatu harus dibagi sama rata.
Aku tak yakin itu dapat dilaksanakan, kata seorang pendengar yang skeptik.
Tapi pernahkah engkau mencobanya ? balas sang filosof.
Aku pernah, sahut Nasrudin, Aku beri istriku dan keledaiku perlakuan yang sama. Mereka
memperoleh apa pun yang mereka inginkan.
Bagus sekali, kata sang filosof, Dan bagaimana hasilnya ?
Hasilnya ? Seekor keledai yang baik dan seorang istri yang buruk.

Jubah Hitam
Nasrudin berjalan di jalan raya dengan mengenakan jubah hitam tanda duka, ketika seseorang bertanya,
Mengapa engkau berpakaian seperti ini, Nasrudin? Apa ada yang meninggal.
Yah, kata sang Mullah, Bisa saja terjadi tanpa kita diberi tahu.

Menjual Tangga
Nasrudin mengambil tangganya dan menggunakannya untuk naik ke pohon tetangganya. Tetapi sang
tetangga memergokinya.
Sedang apa kau, Nasrudin ?
Nasrudin berimprovisasi, Aku punya sebuah tangga yang bagus, dan sedang aku jual.
Dasar bodoh. Pohon itu bukan tempat menjual tangga! kata sang tetangga, marah.
Nasrudin bergaya filosof. Tangga, bisa dijual di mana saja.

Nasib dan asumsi


Apa artinya nasib, Mullah ?
Asumsi-asumsi.
Bagaimana ?
Begini. Engkau menganggap bahwa segalanya akan berjalan baik, tetapi kenyataannya tidak begitu.
Nah itu yang disebut nasib buruk. Atau, engkau punya asumsi bahwa hal-hal tertentu akan menjadi
buruk, tetapi nyatanya tidak terjadi. Itu nasib baik namanya. Engkau punya asumsi bahwa sesuatu akan
terjadi atau tidak terjadi, kemudian engkau kehilangan intuisi atas apa yang akan terjadi, dan akhirnya
berasumsi bahwa masa depan tidak dapat ditebak. Ketika engkau terperangkap di dalamnya, maka
engkau namakan itu nasib.

Berita baik
Di dunia Timur, orang-orang yang membawa berita baik, selalu diberi penghargaan. Dan ini dianggap
sebagai adat-istiadat yang tak bisa dihapus.
Suatu hari Nasrudin merasa amat gembira dengan kelahiran anaknya laki-laki. Ia berada di tengah-
tengah pasar sambil berteriak-teriak: Berkumpullah kemari! Ada berita baik! Apa itu, Mullah?
Nasrudin menunggu sampai semua orang hadir, kemudian berteriak: Wahai semuanya, kumpulkanlah
uang untuk sebuah berita baik, berita baik untuk setiap orang di antara kalian! Ini baru berita! Mullahmu
telah memperoleh rahmat dengan dikaruniai seorang anak laki-laki.

Jangan terlalu dalam


Telah berulang kali Nasrudin mendatangi seorang hakim untuk mengurus suatu perjanjian. Hakim di
desanya selalu mengatakan tidak punya waktu untuk menandatangani perjanjian itu. Keadaan ini selalu
berulang sehingga Nasrudin menyimpulkan bahwa si hakim minta disogok. Tapi kita tahu menyogok
itu diharamkan. Maka Nasrudin memutuskan untuk melemparkan keputusan ke si hakim sendiri.
Nasrudin menyiapkan sebuah gentong. Gentong itu diisinya dengan kotoran sapi hingga hampir penuh.
Kemudian di atasnya, Nasrudin mengoleskan mentega beberapa sentimeter tebalnya. Gentong itu
dibawanya ke hadapan Pak Hakim. Saat itu juga Pak Hakim langsung tidak sibuk, dan punya waktu untuk
membubuhi tanda tangan pada perjanjian Nasrudin.
Nasrudin kemudian bertanya, Tuan, apakah pantas Tuan Hakim mengambil gentong mentega itu
sebagai ganti tanda tangan Tuan ?
Hakim tersenyum lebar. Ah, kau jangan terlalu dalam memikirkannya. Ia mencuil sedikit mentega dan
mencicipinya. Wah, enak benar mentega ini!
Yah, jawab Nasrudin, Sesuai ucapan Tuan sendiri, jangan terlalu dalam. Dan berlalulah Nasrudin.

Membedakan Kelamin

Seorang tetangga Nasrudin telah lama berkelana ke berbagai negeri yang jauh.
Ketika pulang, ia menceritakan pengalaman-pengalamannya yang aneh di negeri orang.

Tetangga: Kau tahu.... Ada sebuah negeri yang aneh. Di sana udaranya panas bukan main sehingga tak
seorangpun yang mau memakai pakaian, baik lelaki maupun perempuan.

Sambil tersenyum Nasrudin dengan santai menanggapi lelucon itu.


Nasrudin: Kalau begitu, bagaimana cara kita membedakan mana orang yang lelaki dan mana yang
perempuan?

Tampak Seperti Wujudmu


Nasrudin sedang merenungi harmoni alam, dan kebesaran Penciptanya.
Oh kasih yang agung.
Seluruh diriku terselimuti oleh-Mu.
Segala yang tampak oleh mataku.
Tampak seperti wujud-Mu.
Seorang tukang melucu menggodanya, Bagaimana jika ada orang jelek dan dungu lewat di depan
matamu ?
Nasrudin berbalik, menatapnya, dan menjawab dengan konsisten:
Tampak seperti wujudmu.

Lalu Di Mana Dagingnya?


Nasrudin Hoja beberapa kali membawa pulang daging ke rumah . Namun tak sekalipun ia mendapat
kesempatan memakannya. Isterinya memakan daging itu atau memberikannya kepada teman-
temannya.
Tiap kali Hoja bertanya, isterrinya selalu menjawab, Dagingnya dicuri kucing. Aku kejar dia, tapi tak
berhasil menangkapnya.
Pada suatu hari Hoja kembali membawa pulang daging. Tidak tanggung-tangung, beratnya dua kilogram!
Sore harinya Hoja bertanya kepada isterinya dan kembali mendengar jawaban bahwa kucing mereka
makan semua daging itu.
Hoja menangkap kucing dan mengambil timbangan. Kucing itu ditimbangnya, beratnya dua kilogram.
Kalau ini dagingnya, mana kucingnya? Kalau ini kucingnya, lalu di mana dagingnya?

Terburu-buru
Keledai Nasrudin jatuh sakit. Maka ia meminjam seekor kuda kepada tetangganya. Kuda itu besar dan
kuat serta kencang larinya. Begitu Nasrudin menaikinya, ia langsung melesat secepat kilat, sementara
Nasrudin berpegangan di atasnya, ketakutan.
Nasrudin mencoba membelokkan arah kuda. Tapi sia-sia. Kuda itu lari lebih kencang lagi.
Beberapa teman Nasrudin sedang bekerja di ladang ketika melihat Nasrudin melaju kencang di atas
kuda. Mengira sedang ada sesuatu yang penting, mereka berteriak,
Ada apa Nasrudin ? Ke mana engkau ? Mengapa terburu-buru ?
Nasrudin balas berteriak, Saya tidak tahu ! Binatang ini tidak mengatakannya kepadaku!

Orientasi Pada Baju


Nasrudin diundang berburu, tetapi hanya dipinjami kuda yang lamban. Tidak lama, hujan turun deras.
Semua kuda dipacu kembali ke rumah. Nasrudin melepas bajunya, melipat, dan menyimpannya, lalu
membawa kudanya ke rumah. Setelah hujan berhenti, dipakainya kembali bajunya. Semua orang takjub
melihat bajunya yang kering, sementara baju mereka semuanya basah, padahal kuda mereka lebih
cepat.
Itu berkat kuda yang kau pinjamkan padaku, ujar Nasrudin ringan.
Keesokan harinya, cuaca masih mendung. Nasrudin dipinjami kuda yang cepat, sementara tuan rumah
menunggangi kuda yang lamban. Tak lama kemudian hujan kembali turun deras. Kuda tuan rumah
berjalan lambat, sehingga tuan rumah lebih basah lagi. Sementara itu, Nasrudin melakukan hal yang
sama dengan hari sebelumnya.
Sampai rumah, Nasrudin tetap kering.
Ini semua salahmu! teriak tuan rumah, Kamu membiarkan aku mengendarai kuda brengsek itu!
Masalahnya, kamu berorientasi pada kuda, bukan pada baju.

Relativitas Keju
Setelah bepergian jauh, Nasrudin tiba kembali di rumah. Istrinya menyambut dengan gembira,
Aku punya sepotong keju untukmu, kata istrinya.
Alhamdulillah, puji Nasrudin, Aku suka keju. Keju itu baik untuk kesehatan perut.
Tidak lama Nasrudin kembali pergi. Ketika ia kembali, istrinya menyambutnya dengan gembira juga.
Adakah keju untukku ? tanya Nasrudin.
Tidak ada lagi, kata istrinya.
Kata Nasrudin, Yah, tidak apa-apa. Lagipula keju itu tidak baik bagi kesehatan gigi.
Jadi mana yang benar ? kata istri Nasrudin bertanya-tanya, Keju itu baik untuk perut atau tidak baik
untuk gigi ?
Itu tergantung, sambut Nasrudin, Tergantung apakah kejunya ada atau tidak.

Keadilan dan Kelaliman


Tak lama setelah menduduki kawasan Anatolia,Timur Lenk mengundangi para ulama di kawasan itu.
Setiap ulama mendapatkan pertanyaan yang sama:
Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau
akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan
kupenggal.
Beberapa ulama telah jatuh menjadi korban kejahatan Timur Lenk ini.Dan akhirnya, tibalah waktunya
Mullah Nasruddin (Hoja) diundang. Ini adalah perjumpaan resmi Mullah Nasruddin yang pertama
dengan Timur Lenk. Timur Lenk kembali bertanya dengan angkuh :
Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku engkau
akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan
kupenggal.
Dan dengan menenangkan diri, Mullah Nasruddin menjawab:
Sesungguhnya,kamilah,para penduduk di sini, yang merupakan orang-orang lalim dan abai. Sedangkan
Anda adalah pedang keadilan yang diturunkan Allah yang Maha Adil kepada kami.
Setelah berpikir sejenak, Timur Lenk mengakui kecerdikan jawaban itu. Maka untuk sementara para
ulama terbebas dari kejahatan Timur Lenk lebih lanjut.

Keledai Membaca
Timur Lenk menghadiahi Mullah Nasruddin seekor keledai. Mullah Nasruddin menerimanya dengan
senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata,
Ajari keledai itu membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya.
Mullah Nasruddin berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur
Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Mullah Nasruddin menggiring keledainya ke buku itu, dan
membuka sampulnya.
Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus
menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Mullah
Nasruddin.
Demikianlah, kata Mullah Nasruddin, Keledaiku sudah bisa membaca.
Timur Lenk mulai menginterogasi, Bagaimana caramu mengajari dia membaca?
Mullah Nasruddin berkisah, Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku,
dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halaman untuk
bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan
benar.
Tapi, tukas Timur Lenk tidak puas, Bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya?
Mullah Nasruddin menjawab, Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya membalik-balik
halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut
setolol keledai, bukan?

Pelayan Raja
Nasrudin menjadi orang penting di istana, dan bersibuk mengatur urusan di dalam istana. Suatu hari raja
merasa lapar. Beberapa koki menyajikan hidangan yang enak sekali.
Tidakkah ini sayuran terbaik di dunia, Mullah ? tanya raja kepada Nasrudin.
Teramat baik, Tuanku.
Maka raja meminta dimasakkan sayuran itu setiap saat. Lima hari kemudian, ketika koki untuk yang
kesepuluh kali memasak masakan yang sama, raja berteriak:
Singkirkan semuanya! Aku benci makanan ini!
Memang sayuran terburuk di dunia, Tuanku. ujar Nasrudin.
Tapi belum satu minggu yang lalu engkau mengatakan bahwa itu sayuran terbaik.
Memang benar. Tapi saya pelayan raja, bukan pelayan sayuran.

Pada Sebuah Kapal


Nasrudin berlayar dengan kapal besar. Cuaca cerah menyegarkan, tetapi Nasrudin selalu mengingatkan
orang akan bahaya cuaca buruk. Orang-orang tak mengindahkannya. Tapi kemudian cuaca benar-benar
menjadi buruk, badai besar menghadang, dan kapal terombang ambing nyaris tenggelam. Para
penumpang mulai berlutut, berdoa, dan berteriak-teriak minta tolong. Mereka berdoa dan berjanji
untuk berbuat sebanyak mungkin kebajikan jika mereka selamat.
Teman-teman! teriak Nasrudin. Jangan boros dengan janji-janji indah! Aku melihat daratan!

Yang Benar-benar Benar


Nasrudin sedang menjadi hakim di pengadilan kota. Mula-mula ia mendengarkan dakwaan yang berapi-
api dengan fakta yang tak tersangkalkan dari jaksa. Setelah jaksa selesai dengan dakwaannya, Nasrudin
berkomentar:
Aku rasa engkau benar.
Petugas majelis membujuk Nasrudin, mengingatkan bahwa terdakwa belum membela diri. Terdakwa
diwakili oleh pengacara yang pandai mengolah logika, sehingga Nasrudin kembali terpikat. Setelah
pengacara selesai, Nasrudin kembali berkomentar:
Aku rasa engkau benar.
Petugas mengingatkan Nasrudin bahwa tidak mungkin jaksa betul dan sekaligus pengacara juga betul.
Harus ada salah satu yang salah ! Nasrudin menatapnya lesu, dan kemudian berkomentar:
Aku rasa engkau benar.

Api!
Hari Jum`at itu, Nasrudin menjadi imam Shalat Jum`at. Namun belum lama ia berkhutbah, dilihatnya
para jamaah terkantuk-kantuk, dan bahkan sebagian tertidur dengan lelap. Maka berteriaklah Sang
Mullah,
Api ! Api ! Api !
Segera saja, seisi masjid terbangun, membelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan.
Sebagian ada yang langsung bertanya,
Dimana apinya, Mullah ?
Nasrudin meneruskan khutbahnya, seolah tak acuh pada yang bertanya,
Api yang dahsyat di neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah.

Nasrudin Memanah
Sesekali, Timur Lenk ingin juga mempermalukan Nasrudin. Karena Nasrudin cerdas dan cerdik, ia tidak
mau mengambil resiko beradu pikiran. Maka diundangnya Nasrudin ke tengah-tengah prajuritnya. Dunia
prajurit, dunia otot dan ketangkasan.
Ayo Nasrudin, kata Timur Lenk, Di hadapan para prajuritku, tunjukkanlah kemampuanmu memanah.
Panahlah sekali saja. Kalau panahmu dapat mengenai sasaran, hadiah besar menantimu. Tapi kalau
gagal, engkau harus merangkak jalan pulang ke rumahmu.
Nasrudin terpaksa mengambil busur dan tempat anak panah. Dengan memantapkan hati, ia membidik
sasaran, dan mulai memanah. Panah melesat jauh dari sasaran. Segera setelah itu, Nasrudin berteriak,
Demikianlah gaya tuan wazir memanah.
Segera dicabutnya sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi. Masih juga panah meleset
dari sasaran. Nasrudin berteriak lagi, Demikianlah gaya tuan walikota memanah.
Nasrudin segera mencabut sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi. Kebetulan kali ini
panahnya menyentuh sasaran. Nasrudin pun berteriak lagi, Dan yang ini adalah gaya Nasrudin
memanah. Untuk itu kita tunggu hadiah dari Paduka Raja.
Sambil menahan tawa, Timur Lenk menyerahkan hadiah Nasrudin.
Nasrudin Pemungut Pajak
Pada masa Timur Lenk, infrastruktur rusak, sehingga hasil pertanian dan pekerjaan lain sangat menurun.
Pajak yang diberikan daerah-daerah tidak memuaskan bagi Timur Lenk. Maka para pejabat pemungut
pajak dikumpulkan. Mereka datang dengan membawa buku-buku laporan. Namun Timur Lenk yang
marah merobek-robek buku-buku itu satu per satu, dan menyuruh para pejabat yang malang itu
memakannya. Kemudian mereka dipecat dan diusir keluar.
Timur Lenk memerintahkan Nasrudin yang telah dipercayanya untuk menggantikan para pemungut
pajak untuk menghitungkan pajak yang lebih besar. Nasrudin mencoba mengelak, tetapi akhirnya
terpaksa ia menggantikan tugas para pemungut pajak. Namun, pajak yang diambil tetap kecil dan tidak
memuaskan Timur Lenk. Maka Nasrudin pun dipanggil.
Nasrudin datang menghadap Timur Lenk. Ia membawa roti hangat.
Kau hendak menyuapku dengan roti celaka itu, Nasrudin ? bentak Timur Lenk. Laporan keuangan
saya catat pada roti ini, Paduka, jawab Nasrudin dengan gaya pejabat.
Kau berpura-pura gila lagi, Nasrudin ? Timur Lenk lebih marah lagi. Nasrudin menjawab takzim,
Paduka, usiaku sudah cukup lanjut. Aku tidak akan kuat makan kertas-kertas laporan itu. Jadi semuanya
aku pindahkan pada roti hangat ini.

Perusuh Rakyat
Kebetulan Nasrudin sedang ke kota raja. Tampaknya ada kesibukan luar biasa di istana. Karena
ingin tahu, Nasrudin mencoba mendekati pintu istana. Tapi pengawal bersikap sangat waspada dan
tidak ramah.
Menjauhlah engkau, hai mullah! teriak pengawal. [Nasrudin dikenali sebagai mullah karena
pakaiannya] Mengapa ? tanya Nasrudin.
Raja sedang menerima tamu-tamu agung dari seluruh negeri. Saat ini sedang berlangsung
pembicaraan penting. Pergilah ! Tapi mengapa rakyat harus menjauh ?
Pembicaraan ini menyangkut nasib rakyat. Kami hanya menjaga agar tidak ada perusuh yang
masuk dan mengganggu. Sekarang, pergilah !
Iya, aku pergi. Tapi pikirkan: bagaimana kalau perusuhnya sudah ada di dalam sana ?
kata Nasrudin sambil beranjak dari tempatnya

Timur Lenk di Dunia


Timur Lenk masih meneruskan perbincangan dengan Nasrudin soal kekuasaannya.
Nasrudin! Kalau setiap benda yang ada di dunia ini ada harganya, berapakah hargaku ?
Kali ini Nasrudin menjawab sekenanya, tanpa banyak berpikir.
Saya taksir, sekitar 100 dinar saja
Timur Lenk membentak Nasrudin, Keterlaluan! Apa kau tahu bahwa ikat pinggangku saja harganya
sudah 100 dinar.
Tepat sekali, kata Nasrudin. Memang yang saya nilai dari Anda hanya sebatas ikat pinggang itu saja.

Timur Lenk di Akhirat


Timur Lenk meneruskan perbincangan dengan Nasrudin soal kekuasaannya.
Nasrudin! Menurutmu, di manakah tempatku di akhirat, menurut kepercayaanmu ? Apakah aku
ditempatkan bersama orang-orang yang mulia atau yang hina ?
Bukan Nasrudin kalau ia tak dapat menjawab pertanyaan semudah ini.
Raja penakluk seperti Anda, jawab Nasrudin, Insya Allah akan ditempatkan bersama raja-raja dan
tokoh-tokoh yang telah menghiasi sejarah.
Timur Lenk benar-benar puas dan gembira. Betulkah itu, Nasrudin ?
Tentu, kata Nasrudin dengan mantap. Saya yakin Anda akan ditempatkan bersama Firaun dari Mesir,
raja Namrudz dari Babilon, kaisar Nero dari Romawi, dan juga Jenghis Khan.
Entah mengapa, Timur Lenk masih juga gembira mendengar jawaban itu.

Gelar Timur Lenk


Timur Lenk mulai mempercayai Nasrudin, dan kadang mengajaknya berbincang soal kekuasaannya.
Nasrudin, katanya suatu hari, Setiap khalifah di sini selalu memiliki gelar dengan nama Allah.
Misalnya: Al-Muwaffiq Billah, Al-Mutawakkil Alallah, Al-Mutashim Billah, Al-Watsiq Billah, dan lain-lain.
Menurutmu, apakah gelar yang pantas untukku ?
Cukup sulit, mengingat Timur Lenk adalah penguasa yang bengis. Tapi tak lama, Nasrudin menemukan
jawabannya. Saya kira, gelar yang paling pantas untuk Anda adalah Naudzu-Billah* saja.
* Aku berlindung kepada Allah (darinya)

Mimpi Religius
Nasrudin sedang dalam perjalanan dengan pastur dan yogi. Pada hari kesekian, bekal mereka tinggal
sepotong kecil roti. Masing-masing merasa berhak memakan roti itu. Setelah debat seru,
akhirnya mereka bersepakat memberikan roti itu kepada yang malam itu memperoleh mimpi paling
relijius. Tidurlah mereka.
Pagi harinya, saat bangun, pastur bercerita: Aku bermimpi melihat kristus membuat tanda salib. Itu
adalah tanda yang istimewa sekali.
Yogi menukas, Itu memang istimewa. Tapi aku bermimpi melakukan perjalanan ke nirwana, dan
menemui tempat paling damai.
Nasrudin berkata, Aku bermimpi sedang kelaparan di tengah gurun, dan tampak
bayangan nabi Khidir bersabda Kalau engkau lapar, makanlah roti itu. Jadi aku langsung bangun
dan memakan roti itu saat itu juga

Itik Berkaki Satu


Sekali lagi Nasrudin diundang Timur Lenk. Nasrudin ingin membawa buah tangan berupa itik panggang.
Sayang sekali, itik itu telah dimakan Nasrudin sebuah kakinya pagi itu. Setelah berpikir-pikir, akhirnya
Nasrudin membawa juga itik panggang berkaki satu itu menghadap Timur Lenk.
Seperti yang kita harapkan, Timur Lenk bertanya pada Nasrudin, Mengapa itik panggang ini hanya
berkaki satu, Mullah ?
Memang di negeri ini itik-itik hanya memiliki satu kaki. Kalau Anda tidak percaya, cobalah lihat di
kolam.
Mereka berdua berjalan ke kolam. Di sana, banyak itik berendam sambil mengangkat sebuah kakinya,
sehingga nampak hanya berkaki satu.
Lihatlah, kata Nasrudin puas, Di sini itik hanya berkaki satu.
Tentu Timur Lenk tidak mau ditipu. Maka ia pun berteriak keras. Semua itik kaget, menurunkan kaki
yang dilipat, dan beterbangan.
Tapi Nasrudin tidak kehilangan akal. Subhanallah, katanya, Bahkan itik pun takut pada keinginan
Anda. Barangkali kalau Anda meneriaki saya, saya akan ketakutan dan secara reflek menggandakan kaki
jadi empat dan kemudian terbang juga.

Teori Kebutuhan
Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti umumnya cendekiawan masa itu,
sering berpikir hanya dari satu sisi saja. Hakim memulai,
Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi hukum dan etika,
Nasrudin menukas, Bukan manusia yang harus mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus
disesuaikan dengan kemanusiaan.
Hakim mencoba bertaktik, Tapi coba kita lihat cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan:
kekayaan atau kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?
Nasrudin menjawab seketika, Tentu, saya memilih kekayaan.
Hakim membalas sinis, Memalukan. Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda
memilih kekayaan daripada kebijaksanaan?
Nasrudin balik bertanya, Kalau pilihan Anda sendiri?
Hakim menjawab tegas, Tentu, saya memilih kebijaksanaan.
Dan Nasrudin menutup, Terbukti, semua orang memilih untuk memperoleh apa yang belum
dimilikinya.

Jatuh ke Kolam
Nasrudin hampir terjatuh ke kolam. Tapi orang yang tidak terlalu dikenal berada di dekatnya, dan
kemudian menolongnya pada saat yang tepat. Namun setelah itu, setiap kali bertemu Nasrudin orang
itu selalu membicarakan peristiwa itu, dan membuat Nasrudin berterima kasih berulang-ulang.
Suatu hari, untuk yang kesekian kalinya, orang itu menyinggung peristiwa itu lagi. Nasrudin mengajaknya
ke lokasi, dan kali ini Nasrudin langsung melompat ke air.
Kau lihat! Sekarang aku sudah benar-benar basah seperti yang seharusnya terjadi kalau engkau dulu
tidak menolongku. Sudah, pergi sana!

Kera Tahan Bau


Istri Nasruddin menginginkan binatang piaraan, maka ia membeli seekor kera. Nasruddin tidak senang.
Apa makanannnya? tanyanya.
Sama dengan yang kita makan, jawab istrinya.
Dimana kera itu akan tidur?
Di tempat tidur kita, bersama kita.
Bersama kita? Baunya bagaimana?
Kalau saya saja betah dengan bau itu, saya kira kera juga tahan.
Abu nawas dan Jeng Juminten

Suatu hari Sultan Harun Alrashid merasa begitu boring. Kemudian, dia bertanya kepada hulubalang,
"Hulubalang, siapa seseorang paling pandai saat ini?"
"Abunawas" jawab hulubalang.

Sultan pun memanggil Abunawas n baginda bertitah:


"Kalau kamu pandai, coba buat satu cerita 100 kata tapi setiap kata mesti dimulai dengan huruf 'J'. kalau
kamu bisa, kamu akan saya beri hadiah. tapi, kalau tidak, kamu akan kumasukkan ke dalam penjara
selama 10 tahun.
Terperanjat Abunawas, tapi setelah berfikir, diapun mulai bercerita:

Jeng Juminten janda judes, jelek jerawatan, jari jempolnya jorok. Jeng juminten jajal jualan jamu jarak
jauh Jogya-Jakarta. Jamu jagoannya: jamu jahe."Jamu-jamuuu..., jamu jahe-jamu jaheee...!" Juminten
jerit-jerit jajakan jamunya, jelajahi jalanan.

Jariknya jatuh, Juminten jatuh jumpalitan. Jeng Juminten jerit-jerit: "Jarikku jatuh, jarikku jatuh..."
Juminten jengkel, jualan jamunya jungkir-jungkiran, jadi jemu juga.

Juminten jumpa Jack, jejaka Jawa jomblo, juragan jengkol, jantan, juara judo. Jantungnya Jeng Juminten
janda judes jadi jedag-jedug. Juminten janji jera jualan jamu, jadi julietnya Jack.

Johny justru jadi jelous Juminten jadi juliet-nya Jack. Johny juga jejaka jomblo, jalang, juga jangkung.
Julukannya, Johny Jago Joget.
"Jieehhh, Jack jejaka Jawa, Jum?" joke-nya Johny. Jakunnya jadi jungkat-jungkit jelalatan jenguk
Juminten.
"Jangan jealous, John..." jawab Juminten.
Jumat, Johny jambret, jagoannya jembatan Joglo jarinya jawil-jawil jerawatnya Juminten.
Juminten jerit-jerit: "Jack, Jack, Johny jahil, jawil-jawil!!!" Jack jumping-in jalan, jembatan juga jemuran.
Jack jegal Johny, Jebreeet..., Jack jotos Johny. Jidatnya Johny jenong, jadi jontor juga jendol... jeleekk.
"John, jangan jahilin Juminten...!" jerit Jack...
Jantungnya Johny jedot-jedotan, "Janji, Jack, janji... Johnny jera..." jawab Johny.

Juni, Jack jadikan Johny join jualan jajajan jejer Juminten. Jhony jadi jongosnya Jack-Juminten, jagain
jongko, jualan jus jengkol jajanan jurumudi jurusan Jogja-Jombang, julukannya Jus Jengkol Johny "jolly-
jolly jumper."

Kurang 15 kata...!!, bentak Harun Alrashid sambil mengancam menjebloskan ke penjara.


Setelah ngintip obrolan WA sempejoeh ini, Abu nawas langsung melengkapi cerita menjadi 100 kata.

...Jelas... jingok joke Juminten, jando-jando jebolan Jempejoeh jambi jadi jingkrak-jingkrak jumpalitan....

Anda mungkin juga menyukai