Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan. Efek dari


timbulnya luka, antara lain hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ,
respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri,
hingga kematian sel. Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk
melindungi dan memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang
rusak, pembersihan sel dan benda asing, serta perkembangan awal seluler,
merupakan bagian dari proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi
secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat
membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Akan tetapi,
penyembuhan luka juga dapat terhambat akibat banyak faktor, baik yang
bersifat lokal maupun sistemik 1.
Penyembuhan luka yang normal memerlukan suatu rangkaian peristiwa
yang kompleks yang terjadi secara simultan pada jaringan epidermis, dermis,
dan subkutis, suatu yang mudah membedakan penyembuhan pada epidermis
dengan penyembuhan pada dermis dan perlu diingat bahwa peristiwa itu
terjadi pada saat yang bersamaan. Proses yang kemudian terjadi pada jaringan
yang rusak ini ialah penyembuhan luka yang dibagi dalam tiga fase yaitu fase
inflamasi, fase proliferasi, dan fase remodelling jaringan yang bertujuan untuk
menggabungkan bagian luka dan mengembalikan fungsinya 1.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Luka

1
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan
ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu,
zat kimia, ledakan sengatan listrik, atau gigitan hewan 2.
Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ini adalah
penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase inflamasi,
proliferasi, dan penyudahan yang merupakan perupaan kembali
(remodelling) jaringan 2.

2.2. Jenis Luka


Luka dapat diklasifikasi berdasarkan kategori tertentu 3:
1. Berdasarkan waktu penyembuhan luka
a. Luka akut, yaitu luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan
proses penyembuhan.
b. Luka kronis, yaitu luka yang mengalami kegagalan dalam proses
penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.

2. Berdasarkan proses terjadinya


a. Luka insisi (incised wounds atau vulnus scisum), terjadi karena teriris
oleh instrumen yang tajam dan kerusakan sangat minimal. Misal, yang
terjadi akibat pembedahan.
b. Luka memar (contusion wound atau vulnus contussum), terjadi
akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera
pada jaringan lunak, perdarahan, dan bengkak.
c. Luka lecet (abraded wound atau vulnus escoriatum), terjadi akibat
kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang
tidak tajam.
d. Luka tusuk (punctured wound atau vulnus punctum), terjadi akibat
adanya benda seperti peluru atau pisau yang masuk ke dalam kulit
dengan diameter yang kecil.
e. Luka gores (lacerated wound atau vulnus laceratum), terjadi jika
kekuatan trauma melebihi kekuatan regang jaringan.
f. Luka tembus (penetrating wound atau vulnus penetratum), yaitu luka
yang menembus organ tubuh. Biasanya pada bagian awal masuk luka
diameternya kecil, tetapi pada bagian ujung luka biasanya akan
melebar.

2
g. Luka bakar (vulnus combustio), merupakan kerusakan kulit tubuh
yang disebabkan oleh api, atau penyebab lain seperti oleh air panas,
radiasi, listrik, dan bahan kimia. Kerusakan dapat menyertakan
jaringan bawah kulit

3. Berdasarkan Derajat Kontaminasi


a. Luka bersih (clean wounds), yaitu luka tak terinfeksi, dimana tidak
terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi, dan kulit disekitar
luka tampak bersih. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang
tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% 5%.
b. Luka bersih terkontaminasi (clean-contamined wounds), merupakan
luka dalam kondisi terkontrol, tidak ada material kontamin dalam
luka. Kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% 11%.
c. Luka terkontaminasi (contamined wounds), yaitu luka terbuka kurang
dari empat jam, dengan tanda inflamasi non-purulen. Kemungkinan
infeksi luka 10% 17%.
d. Luka kotor atau infeksi (dirty or infected wounds), yaitu luka terbuka
lebih dari empat jam dengan tanda infeksi di kulit sekitar luka, terlihat
pus dan jaringan nekrotik. Kemungkinan infeksi luka 40%.

2.3. Penutupan Luka


Tujuan utama dari penutupan luka, yaitu untuk mengembalikan
integritas kulit sehingga mengurangi risiko terjadinya infeksi, scar, dan
penurunan fungsi 1. Proses penutupan pada luka terbagi menjadi 3 kategori,
tergantung pada tipe jaringan yang terlibat dan keadaan serta perlakuan pada
luka 4.
1. Penutupan luka primer (intensi primer)
Penyembuhan primer atau sanatio per primam intentionem terjadi bila
luka segera diusahakan bertaut, biasanya dengan bantuan jahitan. Luka
dibuat secara aseptik dengan kerusakan jaringan minimum, dan dilakukan
penutupan dengan baik seperti penjahitan. Ketika luka sembuh melalui
instensi pertama, jaringan granulasi tidak tampak dan pembentukan jaringan
parut minimal. Parutan yang terjadi biasanya lebih halus dan kecil 4.

2. Penutupan luka sekunder (intensi sekunder)

3
Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar akan berjalan
secara alami. Luka akan terisi jaringan granulasi dan kemudian ditutup
jaringan epitel. Penyembuhan ini disebut penyembuhan sekunder atau
sanatio per secundam intentionem. Cara ini biasanya memakan waktu
cukup lama dan meninggalkan parut yang kurang baik, terutama jika
lukanya terbuka lebar 5.

3. Penutupan luka primer tertunda (intensi tersier)


Penjahitan luka tidak dapat langsung dilakukan pada luka yang
terkontaminasi berat atau tidak berbatas tegas. Luka yang tidak berbatas
tegas sering meninggalkan jaringan yang tidak dapat hidup yang pada
pemeriksaan pertama sukar dikenal. Keadaan ini diperkirakan akan
menyebabkan infeksi bila luka langsung dijahit. Luka yang demikian akan
dibersihkan dan dieksisi (debridement) dahulu, selanjutnya baru dijahit dan
dibiarkan sembuh secara primer. Cara ini disebut penyembuhan primer
tertunda 6.
Selain itu, jika luka baik yang belum dijahit, atau jahitan terlepas dan
kemudian dijahit kembali, dua permukaan granulasi yang berlawanan akan
tersambungkan. Hal ini mengakibatkan jaringan parut yang lebih dalam dan
luas dibandingkan dengan penyembuhan primer 6.

Gambar 2.1. Penutupan luka 2.

4
A. Penutupan luka primer didapat bila luka bersih, tidak terinfeksi, dan dijahit dengan
baik: luka (1), luka jahit (2), penyembuhan primer (3).
B. Penutupan luka sekunder: luka dibiarkan terbuka (1), luka terisi jaringan granulasi;
epitel menutup granulasi mulai dari pinggir (2), terisi penuh dengan jaringan granulasi
(3), granulasi ditutup oleh epitel (4), proses perupaan kembali disertai pengerutan (5).
C. Penetupan luka primer tertunda atau penutupan dengan jahitan tertunda: luka dibiarkan
terbuka (1), setelah beberapa hari ternyata ada granulasi baik tanpa gejala dan tanda
infeksi (2), dipasang jahitan (3), penyembuhan (4).

Gambar 2.2. Debridement atau toilet luka (luka primer) 2.


Luka kasar atau kotor (1), pembersihan dan pembilasan (2), debridement yang terdiri atas
pembuangan segala jaringan yang kotor atau nekrotik termasuk pinggir luka (3), jahitan
lapis demi lapis (4), penyembuhan primer (5).
2.4. Fase Penyembuhan Luka
Setiap proses penyembuhan luka akan melalui 3 tahapan yang
dinamis, saling terkait dan berkesinambungan, serta tergantung pada
tipe/jenis dan derajat luka. Sehubungan dengan adanya perubahan
morfologik, tahapan penyembuhan luka terdiri dari:
1. Fase Hemostasis dan Inflamasi
Fase hemostasis dan inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan
seluler yang terjadi akibat perlukaan pada jaringan lunak. Tujuannya adalah
menghentikan perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing,
sel-sel mati, dan bakteri, untuk mempersiapkan dimulainya proses
penyembuhan 7.
Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh darah akan menyebabkan
keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan menutupi
vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan substansi

5
vasokonstriktor yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler
vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup
pembuluh darah. Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu
akan terjadi vasodilatasi kapiler karena stimulasi saraf sensoris (local
sensoris nerve ending), local reflex action, dan adanya substansi vasodilator:
histamin, serotonin dan sitokin 7.
Histamin selain menyebabkan vasodilatasi juga mengakibatkan
meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma darah keluar dari
pembuluh darah dan masuk ke daerah luka. Secara klinis terjadi edema
jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis. Eksudasi ini juga
mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra vaskuler.
Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan bakteri di
daerah luka selama 3 hari dan kemudian akan digantikan oleh sel makrofag
yang berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil pada proses
penyembuhan luka 8.
Fungsi makrofag disamping fagositosis adalah 8:
a. Sintesa kolagen
b. Membentuk jaringan granulasi bersama dengan fibroblast
c. Memproduksi growth factor yang berperan pada re-epitelisasi
d. Membentuk pembuluh kapiler baru atau angiogenesis
Dengan berhasil dicapainya luka yang bersih, tidak terdapat infeksi
serta terbentuknya makrofag dan fibroblas, keadaan ini dapat dipakai
sebagai pedoman/parameter bahwa fase inflamasi ditandai dengan adanya
eritema, hangat pada kulit, edema, dan rasa sakit yang berlangsung sampai
hari ke-3 atau hari ke-4 8.

6
Gambar 2.3 Fase hemostasis dan inflamasi 5.

2. Fase Proliferasi (Fase Fibroplasia)


Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia, karena yang menonjol
adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase
inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel
mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida,
asam aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar kolagen serat
yang akan mempertautkan tepi luka 6.
Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki
dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran
fibroblast sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada
persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan
selama proses rekonstruksi jaringan 5.
Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel
fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan
penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblast akan aktif bergerak dari jaringan
sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi)
serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, asam hyaluronat,
fibronektin dan proteoglikans) yang berperan dalam membangun jaringan
baru 5.
Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal
jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya subtrat

7
oleh fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru
dan juga fibroblast sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan
luka. Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam
jaringan baru tersebut disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses
proliferasi fibroblast dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroplasia.
Respons yang dilakukan fibroblast terhadap proses fibroplasia adalah 8:
a. Proliferasi
b. Migrasi
c. Deposit jaringan matriks
d. Kontraksi luka
Angiogenesis, suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru
didalam luka, mempunyai arti penting pada tahap proleferasi proses
penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit (diabetes),
pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan lambatnya
proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan vaskuler
yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk
memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka, karena biasanya
pada daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen.
Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan
dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag
(growth factors) 1,4.
Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblast mengeluarkan
keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel
epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya
membentuk barrier yang menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen
oleh fibroblast, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan
kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis.
Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblas akan
merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang mempunyai kapasitas
melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol
pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka minimal 1,4.

8
Gambar 2.4. Fase proliferasi 5.
3. Fase Remodelling
Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir
sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase remodelling adalah
menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan
penyembuhan yang kuat dan berkualitas. Fibroblast sudah mulai
meninggalkan jaringan grunalasi, warna kemerahan dari jaringan mulai
berkurang karena pembuluh mulai regresi, dan serat fibrin dari kolagen
bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan
parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah perlukaan.
Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan
pada fase remodelling. Selain pembentukan kolagen, juga akan terjadi
pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen muda (gelatinous
collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi
kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat, dengan struktur yang lebih baik
(proses re-modelling) 4,5,7.
Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan
keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan.
Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau
hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan
kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan
sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit
mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal.
Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun

9
outcome atau hasil yang dicapai sangat tergantung dari kondisi biologik
masing-masing individu, lokasi, serta luasnya luka 4,5,7.

Gambar 2.5. Fase remodelling 5.

2.5. Penyembuhan Luka pada Jaringan Khusus


a. Tulang
Pada patah tulang panjang yang korteksnya cukup tebal, terjadi
perdarahan yang berasal dari pembuluh darah di endostium, di kanal
Havers pada korteks, dan di periosteum. Hematom yang terbentuk segera
diserbu oleh proliferasi fibroblast yang bersifat osteogenik yang berasal
dari mesenkim periosteum dan sedikit dari endostium. Fibroblast
esteogenik berubah menjadi osteoblast dan menghasilkan bahan organik
antarsel yang disebut osteoid. Osteoblast yang terkurung dalam lakuna
oleh osteoid disebut osteosit. Proses pembentukan tulang ini disebut
osifikasi. Bekas hematom yang berosteoid disebut kalus yang tidak
tampak secara radiologis. Kalus akan makin padat, seakan merekat
patahan 2.
Di daerah yang agak jauh dari patahan dan pendarahannya lebih
bagus, mulai terbentuk jaringan tulang karena proses peletakan kalsium
pada osteoid, sedangkan di daerah patahan sendiri, yang perdarahannya
lebih sedikit, osteoblast berdiferensiasi menjadi kondroblast dan
membentuk tulang rawan. Kalus eksterna dan interna yang berubah
menjadi jaringan tulang dan tulang rawan makin keras dan setelah
menjadi terisi kalsium menjadi jelas pada pemeriksaan radiologi. Pada
saat ini, patahan dikatakan telah menyambung secara klinis. Selanjutnya,

10
terjadi pembentukan tulang lamelar dan perupaan kembali selama
berbulan-bulan 2.
Pada anak, perupaan kembali dair kalus primer ini disertai proses
pengaturan kembali pertumbuhan epifisi sehingga sudut patahan akan
pulih sampai derajat tertentu 2.
Penyembuhan patahan tulang yang bukan tulang pipa (tulang
pendek) berjalan lebih cepat karena pendarahan yang lebih kaya.
Nekrosis yang terjadi di pinggir patahan tulang tidak banyak, dan kalus
interna segara mengisi rongga patah tulang 2.
Penyembuhan patah tulang yang terjadi pada tindakan reduksi dan
setelah fiksasi metal yang kuat berjalan lebih cepat dan lebih baik. Ini
dapat digolongkan penyembuhan per primam. Dengan fiksasi, daerah
patahan terlindungi dari stres dan tidak ada rangsang yang menimbulkan
kalus sehingga setelah bahan osteosintesis dikeluarkan, tulang kurang
kuat dibandingkan dengan tulang yang sembuh per sekundam dengan
kalus 2.

b. Tendo
Bila tendo yang merupakan ujung dari otot lurik luka atau putus,
hematom yang terjadi akan mengalami proses penyembuhan alami dan
menjadi jaringan ikat yang melekat pada jaringan sekitarnya. Bagian
distal akan mengalami hipotrofi karena tidak ada yang menggerakkan.
Dengan demikian, tendo yang putus sama sekali tidak akan berfungsi
kembali. Untuk dapat berfungsi kembali. Tendo harus dijahit dengan
teknik khusus dan rapi disertai perawatan pascatindakan yang khusus
agar perlekatan dengan jaringan sekitarnya dikurangi dan tendo masih
dapat bergerak dan meluncur bebas 2.

c. Fasia
Luka pada fasia akan mengalami penyembuhan alami yang normal.
Hematom dan eksudasi yang terjadi akan diganti dengan jaringan ikat.
Bila otot tebal, kuat, dan luka robeknya tidak sembuh betul dengan atau
tanpa dijahit, mungkin akan tertinggal defek yang dapat menyebabkan
herniasi otot 2.

11
d. Otot
Otot lurik dan otot polos diketahui mampu sembuh dengan
membentuk jaringan ikat. Walaupun tidak mengalami regenerasi, faal
otot umumnya tidak berkurang karena adanya hipertrofi sebagai
kompensasi jaringan otot sisa. Sifat ini menyebabkan luka otot perlu
dijahit dengan baik 2.

e. Usus
Luka pada usus tentu harus dijahit, tidak dapat dibiarkan sembuh
per sekundam intentionem karena kebocoran isi usus akan menyebabkan
peritonitis umum. Penyembuhan biasanya cepat karena dinding usus kaya
akan darah sehingga dalam 2-3 minggu kekuatannya dapat melebihi
daerah yang normal 2.

f. Serabut Saraf
Trauma pada saraf dapat berupa trauma yang memutus saraf atau
taruma tumpul yang menyebabkan tekanan atau tarikan pada saraf.
Penekanan akan menimbulkan kontusio serabut saraf dengan kerangka
yang umumnya masih utuh, sedangkan tarikan mungkin menyebabkan
putusnya serabut dengan kedua ujung terpisah jauh 2.
Bila akson terputus, bagian distal akan mengalami degenerasi
Waller karena akson merupakan perpanjangan sel saraf di ganglion atau
di tanduk depan sumsum tulang belakang. Akson yang putus
meninggalkan selubung mielin kosong yang lama kelamaan kolaps atau
terisi fibroblast. Sel saraf di pusat setelah 24-48 jam akan menumbuhkan
akson baru ke distal dengan kecepatan kira-kira 1 mm per hari. Akson ini
dapat tumbuh baik sampai ke ujungnya di organ akhir bila dalam
pertumbuhannya menemukan selubung mielin yang utuh. Dalam
selubung inilah akson tumbuh ke distal. Bila dalam pertumbuhannya
akson tidak menemukan selubung yang kosong, pertumbuhannya tidak
maju, dan akan membentuk tumor atau gumpalan yang terdiri atas akson
yang tergulung. Ini disebut neuroma. Tentu saja tidak setiap akson akan
menemukan selubung mielin yang masih kosong dan sesuai, terutama
jika saraf tersebut merupakan campuran sensoris dan motoris. Jika

12
selubung mielin sudah dimasuki akson yang salah, akson yang benar
tidak mungkin menemukan selubung lagi 2.
Mengingat syarat tumbuhnya akson ini, lesi tekan dengan kerangka
yang relatif lebih utuh memberikan prognosis lebih baik dari pada lesi
tarik yang merusak pembuluh darah nutrisi. Melalui bedah mikro, ujung
setiap fasikulus yang terputus dipertemukan, kemudia saraf yang terputus
itu disambung dengan menjahit epi- dan perineuriumnya. Upaya ini
memberikan hasil yang lebih baik 2.

g. Jaringan Saraf
Bila jaringan saraf mengalami trauma, sel saraf yang rusak tidak
akan pulih karena sel saraf tidak bermitosis sehingga tidak memiliki daya
regenerasi. Tempat sel yang rusak akan digantikan oleh jaringan ikat
khusus yang terdiri atas sel glia dan membentuk jaringan yang disebut
gliosis 2.

h. Pembuluh Darah
Proses penyembuhan luka pada pembuluh darah bergantung pada
besarnya luka, derasnya arus darah yang keluar, dan kemampuan
tamponade jaringan sekitarnya 2.
Pada pembuluh yang luka, serat elastin pada dinding pembuluh
akan mengerut dan otot polosnya berkontraksi. Bila kerutan ini lebih kuat
daripada arus darah yang keluar, luka akan menutup dan perdarahan
berhenti. Bila sempat terbentuk gumpalan darah yang menyumbat luka,
permukaan dalam gumpalan perlahan-lahan akan dilapisi endotel dan
mengalami organisasi menjadi jaringan ikat 2.
Bila hematom sangat besar karena arus darah yang keluar kuat,
bagian tengah akan tetap cair karena turbulensi arus, sedangkan dinding
dalamnya perlahan-lahan akan dilapisi endotel sehingga terjadi
aneurisma palsu 2.
Bila pembuluh sampai putus, ujung potongan akan mengalami
retraksi dan kontraksi akibat adanya serat elastin dan otot dinding 2.

13
2.6. Gangguan Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari tubuh sendiri
(endogen) dan oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen). Penyebab endogen
terpenting adalah gangguan koagulasi yang disebut koagulopati, dan
gangguan sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah akan menghambat
penyembuhan luka, sebab homeostatis merupakan titik tolak dan dasar fase
inflamasi. Gangguan sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi
tubuh terhadap luka, kematian jaringan dan kontaminasi 2.
Penyebab eksogen meliputi penyinaran sinar ionisasi yang akan
mengganggu mitosis dan merusak sel dengan akibat dini maupun lanjut.
Pemberian sitostatik, obat penekan imun misalnya setelah transplantasi organ,
dan kortikosteroid juga akan mempengaruhi penyembuhan luka. Pengaruh
setempat seperti infeksi, hematom, benda asing, serta jaringan mati seperti
sekuester dan nekrosis sangat menghambat penyembuhan luka 2.

Tabel 2.1. Penyebab gangguan penyembuhan luka 2.

14
2.7. Perawatan Luka
a. Diagnosis
Pertama, dilakukan pemeriksaan secara teliti untuk memastikan
apakah ada perdarahan yang harus dihentikan. Kemudian, tentukan jenis
trauma, tajam atau tumpul, luasnya kematian jaringan, banyaknya
kontaminasi, dan berat ringannya luka 2.

b. Tindakan
Pertama dilakukan anestesi setempat atau umum, tergantung berat
dan letak luka, serta keadaan penderita. Luka dan sekitarnya dibersihkan
dengan antiseptik, kalau perlu dicuci dengan air sebelumnya. Bahan yang
dapat dipakai berupa larutan yodium povidon 1% dan larutan

15
klorheksidin %. Larutan yodium 3% atau alkohol 70% hanya
digunakan untuk membersihkan kulit di sekitar luka 2.
Kemudian, daerah sekitar lapangan kerja ditutup dengan kain steril
dan secara steril dilakukan kembali pembersihan luka dari kontaminan
secara mekanis, misalnya pembuangan jaringan mati dengan gunting atau
pisau (debridement) dan dibersihkan dengan bilasan guyuran, atau
semprotan cairan NaCl. Akhirnya, dilakukan penjahitan dengan rapi. Bila
diperkirakan akan terbentuk atau dikeluarkan cairan yang berlebihan,
perlu dibuat penyaliran. Luka ditutup dengan bahan yang dapat
mencegah lengketnya kasa, misalnya kasa yang mengandung vaselin,
ditambah dengan kasa penyerap, dan dibalut dengan pembalut elastis 2.
Tabel 2.2. Ringkasan tatalaksana luka 2.

16
Gambar 2.6. Penanggulangan luka 2.
A. Luka.
B. Luka dijahit lapis demi lapis (1), penyembuhan primer (2).
C. Luka dijahit, tetapi terjadi hematom karena hemostasis kurang sempurna dan/atau
dibiarkan ada ruang mati di luka (1), hematom merupakan lahan baik untuk infeksi dan
perkembangan abses (2), setelah abses pecah atau dibuka, harus ditunggu penyembuhan
sekunder; proses ini juga ditemukan jika pembersihan lukan dan/atau eksisi luka tidak
dilakukan sebagaimana mestinya (3).

2.8. Komplikasi Penyembuhan Luka


Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena reaksi serat
kolagen yang berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Serat kolagen
disini teranyam teratur. Keloid yang tumbuh berlebihan melampaui batas
luka, sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan
intervensi bedah 2.
Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang menonjol, nodular, dan
kemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang kadang nyeri. Parut
hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka setelah sekitar
satu tahun, sedangkan keloid tidak 2.
Keloid dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh. Tempat
predileksi merupakan kulit, toraks terutama di muka sternum, pinggang,
daerah rahang bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi. Keloid agak jarang
dilihat di bagian sentral wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut 2.

17
Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan. Biasanya
dilakukan penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, bebat tekan, radiasi ringan
dan salep madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk mencegah
terjadinya keloid, sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus, diberikan
bebat tekan dan dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada proses
penyembuhan luka 2.

BAB III
KESIMPULAN

Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah
kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain.
Luka dapat diklasifikasi berdasarkan waktu penyembuhan luka, proses terjadinya,
dan derajat kontaminasi. Sementara itu proses penutupan pada luka terbagi

18
menjadi 3 kategori, tergantung pada tipe jaringan yang terlibat dan keadaan serta
perlakuan pada luka, yaitu primer, sekunder, dan tersier
Setiap proses penyembuhan luka akan melalui 3 tahapan yang dinamis,
saling terkait dan berkesinambungan, serta tergantung pada tipe/jenis dan derajat
luka. Fase hemostasis dan inflamasi ditandai dengan adanya respons vaskuler dan
seluler yang terjadi akibat perlukaan pada jaringan lunak yang bertujuan
menghentikan perdarahan dan sterilisasi. Selanjutnya pada fase proliferasi,
fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan
mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar
kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka. Selanjutnya fase remodelling
yang bertujuan menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan
penyembuhan yang kuat dan berkualitas.
Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari tubuh sendiri
(endogen) dan oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen). Penyebab endogen
terpenting adalah gangguan koagulasi yang disebut koagulopati, dan gangguan
sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah akan menghambat penyembuhan
luka, sebab homeostatis merupakan titik tolak dan dasar fase inflamasi. Gangguan
sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap luka,
kematian jaringan dan kontaminasi. Perawatan luka sebaiknya dijaga pada kondisi
lingkungan yang lembab karena mempercepat epitelisasi. Komplikasi
penyembuhan luka di antaranya keloid dan jaringan parut hipertrofik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Monaco JL., Lawrence W.T. 2003. Acute Wound Healing An Overview. Clin
Pastic Surg. 30: 1-12, (http://bsu.ncl.ac.uk/, diunduh 20 November 2012,
20:40).
2. Sjamsuhidajat R., de Jong W. (ed). 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah: Luka. EGC,
Jakarta, Indonesia, hal. 67-73.
3. Mangram AJ., Horan TC., Pearson ML., Silver LC., Jarvis WR. 1999.
Guideline for Prevention of Surgical Site Infection. Infection Control and
Hospital Epidemiology, 20 (4): 217-277, (http://www.cdc.gov/, diunduh 20
November 2012, 21:40).

19
4. David LD. 2005. Would Closure Manual. Ethicon Inc. Someville, New
Jersey, United States of America, (http://surgery.uthscsa.edu/, diunduh 20
November 2012, 21:54).
5. Mallefet P., Dweck AC. 2008. Mechanisms Involved in Wound Healing. The
Biomedical Scientist. Swiss, United Kingdom, p. 609-615,
(http://www.dweckdata.com/, diunduh 20 November 2012, 23:30)
6. Diegelmann RF., Evans M. 2004. Would Healing: An Overview of Acute,
Fibrotic, and Delayed Healing. Frointiers in Bioscience, 9: 283-289,
(http://www.math.pitt.edu/, diunduh 21 November 2012, 18:17).
7. Schwartz BF., Neumeister M. 2006. The Mechanics of Would Healing. Future
Direction in Surgery, Southern Illinois University, Illinois, United States of
America, p. 78-79 (http://www.touchbriefings.com/, diunduh 21 November
2012, 19:18).
8. MacKay D., Miller AL. 2003. Would Healing: Nutritional Support for Wound
Healing. Alternative Medicine Review, 8 (4): 359-377,
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/, 21 November 2012, 19:25).

20

Anda mungkin juga menyukai