Anda di halaman 1dari 13

PERCOBAAN VI

ANALGETIKA

I. Tujuan
Mempelajari daya analgetika obat dengan metode rangsangan kimia.
II. Tinjauan Pustaka
2.1. Nyeri
Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering.Walaupun
sering berfungsi untuk mengingatkan, melindungi dan sering memudahkan diagnosis,
pasien merasakannya sebagai hal yang tak mengenakkan, kebanyakan menyiksa dan
karena itu berusaha untuk bebas darinya. Seluruh kulit luar mukosa yang membatasi
jaringan dan juga banyak organ dalam bagian luar tubuh peka terhadap rasa
nyeri,tetapi ternyata terdapat juga organ yang tak mempunyai reseptor nyeri, seperti
misalnya otak. Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia atau listrik
melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri)dan karena itu
menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan yang disebut senyawa nyeri
(Mutschler,1999)
Terkadang, nyeri dapat berarti perasaan emosional yang tidak nyaman dan
berkaitan dengan ancaman seperti kerusakan pada jaringan karena pada dasarnya
rasanyeri merupakan suatu gejala, serta isyarat bahaya tentang adanya gangguan
pada tubuh umumnya dan jaringan khususnya. Meskipun terbilang ampuh, jenis obat
ini umumnya dapat menimbulkan ketergantungan pada pemakai. Untuk mengurangi
atau meredakan rasa sakit atau nyeri tersebut maka banyak digunakan obat-obat
analgetik (seperti parasetamol, asam mefenamat dan antalgin) yang bekerja dengan
memblokir pelepasan mediator nyeri sehingga reseptor nyeri tidak menerima
rangsang nyeri (Green, 2009).
2.2. Analgesik
Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa
nyeri dan akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita. Nyeri
adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman,berkaitan dengan
ancaman kerusakan jaringan. Rasa nyeri dalam kebanyakan halhanya merupakan

1
suatu gejala yang berfungsi sebagai isyarat bahaya tentang adanya gangguan di
jaringan seperti peradangan, rematik, encok atau kejang otot (Tjay, 2007).
2.3. Mekanisme Nyeri
Mediator nyeri penting adalah amin histamine yang bertanggung jawab untuk
kebanyakan reaksi alergi (bronchokonstriksi, pengembangan mukosa, pruritus) dan
nyeri. Bradikinin adalah polipeptida (rangkaian asam amino) yang dibentuk dari
protein plasma. Prostaglandin mirip strukturnya dengan asam lemak dan terbentuk
dari asam arachidonat. Menurut perkiraan zat-zat ini meningkatkan kepekaan ujung-
saraf sensoris bagi rangsangan nyeri yang diakibatkan oleh mediator lainnya. Zat-zat
ini berkhasiat vasodilatasi kuat dan meningkatkan permeabilitas kapiler yang
mengakibatkan radang dan udema. Berhubung kerjanya serta inaktivasinya pesat dan
bersifat local, maka juga dinamakan hormon lokal. Mungkin sekali zat-zat ini juga
bekerja sebagai mediator demam (Collins, 2000).
Reseptor nyeri (nociceptor) merupakan ujung saraf bebas, yang tersebar di
kulit, otot, tulang, dan sendi. Impuls nyeri disalurkan ke susunan saraf pusat melalui
dua jaras, yaitu jaras nyeri cepat dengan neurotransmiternya glutamat dan jaras nyeri
lambat dengan neurotransmiternya substansi P (Ganong, 2003).
Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikin,
leukotriendan prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor) di ujung-ujung
saraf bebas di kulit, mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara
lain reaksiradang dan kejang-kejang. Nociceptor ini juga terdapat di seluruh jaringan
dan organtubuh, terkecuali di SSP. Dari tempat ini rangsangan disalurkan ke otak
melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sangat banyak sinaps via
sumsum- belakang, sumsum-lanjutan dan otak-tengah. Dari thalamus impuls
kemudianditeruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai
nyeri (Tjaydan Rahardja, 2007).
Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator
nyeri. Mediator nyeri antara lain mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang
yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung-ujung saraf bebas dikulit, mukosa, dan
jarigan lainnya. Nociceptor ini terdapat diseluruh jaringan danorgan tubuh, kecuali di
system saraf pusat. Dari sini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan yang

2
hebat dari tajuk-tajuk neuron dengan sinaps yang amat banyak melalui sum-sum
tulang belakang, sum-sum tulang lanjutan dan otak tengah. Dari thalamus impuls
diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tan
Hoan,1964).
Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang
berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang
adanya ganguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang otot.
Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat
menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-
zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Mediator nyeri antara lain dapat
mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di
ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat
diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di salurkan
ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat benyak sinaps via
sumsumtulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah. Dari thalamus impuls
kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai
nyeri (Tjay, 2007).
Menurut Tan Hoan (1964), penanganan rasa nyeri berdasarkan proses
terjadinya, rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara,yakni :
Merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri pada perifer dengan
analgetika perifer.
Merintangi penyaluran rangsangan di saraf-saraf sensoris, misalnya dengan
anestetika local.
Blockade pusat nyeri di ssp dengan analgetika sentral (narkotika) atau dengan
anestetika umum.
2.4. Mekanisme Kerja Obat Analgesik
1. Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics)
Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu
enzim siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah
satunya adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah
mengeblok pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX

3
pada daerah yang terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator
nyeri . Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors. Efek
samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan lambung
usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek
samping biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan
dosis besar (Mutschler, E. 1999).
Secara farmakologis praktis dibedakan atas kelompok salisilat (asetosal,
diflunisal) dan non salisilat. Sebagian besar sediaansediaan golongan non
salisilat ternmasuk derivat as. Arylalkanoat (Gilang, 2010).
2. Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika
Mekanisme kerja utamanya ialah dalam menghambat enzim sikloogsigenase
dalam pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan kerja analgesiknya dan
efek sampingnya. Kebanyakan analgesik OAINS diduga bekerja diperifer .
Efek analgesiknya telah kelihatan dalam waktu satu jam setelah pemberian per-
oral. Sementara efek antiinflamasi OAINS telah tampak dalam waktu satu-dua
minggu pemberian, sedangkan efek maksimalnya timbul berpariasi dari 1-4
minggu. Setelah pemberiannya peroral, kadar puncaknya NSAID didalam darah
dicapai dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian, penyerapannya umumnya tidak
dipengaruhi oleh adanya makanan. Volume distribusinya relatif kecil (< 0.2 L/kg)
dan mempunyai ikatan dengan protein plasma yang tinggi biasanya (>95%).
Waktu paruh eliminasinya untuk golongan derivat arylalkanot sekitar 2-5 jam,
sementara waktu paruh indometasin sangat berpariasi diantara individu yang
menggunakannya, sedangkan piroksikam mempunyai waktu paruh paling panjang
(45 jam) (Gilang, 2010).
Semua obat golongan NSAIDs bersifat antipiretik, analgesik, dan anti-
inflamasi. Efek samping obat golongan NSAIDs didasari oleh hambatan pada
sistem biosintesis prostaglandin. Selain itu, sebagian besar obat bersifat asam
sehingga lebih banyak terkumpul dalam sel yang bersifat asam seperti di lambung,
ginjal, dan jaringan inflamasi. Efek samping lain diantaranya adalah gangguan
fungsi thrombosit akibat penghambatan biosintesis tromboksan A2 dengan akibat

4
terjadinya perpanjangan waktu perdarahan. Namun, efek ini telah dimanfaatkan
untuk terapi terhadap thrombo-emboli (Gunawan, 2009).
2.6 Analisa Bahan
1. Paracetamol
Merupakan zat berkhasiat analgetik antipiretik dengan nama latin
Acetaminophen, memiliki pemerian serbuk hablur putih, tidak berbau, dan
rasa sedikit pahit. Larut dalam air mendidih dan etanol. Dosis lazim sebagai
analgetik- antipiretik 15-30 mg/kgBB/hari.
2. Asetosal
Merupakan zat berkhasiat analgetik antipiretik dengn nama lain acidum
acetil salicylicum, dalam dosis kecil dapat digunakan sebagai antikoagulan.
Memiliki pemerian berupa serbuk seperti Kristal, hablur putih, tidak berbau
sampai berbau lemah. Stabil di udara kering, di udara lembab mudah
terhidrolisa menjadi asam salisilat dan asam asetat. Sukar larut dalam air,
mudah larut dalam etanol dan larut dalam eter. Dosis lazim sebagai
analgetik antipiretik 15-65 mg/kgBB/hari, dosis lazim sebagai antikoagulan
0,1 - 5,4 mg/kgBB/hari
3. Asam Asetat
Berupa cairan jernih, tidak berwarna, berbau khas menusuk, memiliki rasa
asam yang tajam. Larut dalam air, etanol dan gliserol. Asam asetat
merupakan senyawa kimia yang dapat menstimulus nyeri dimana serabut
saraf akan menghantarkan impuls nyeri ke korteks sensorik di otak dan
menimbulkan nyeri yang bersifat linu. Mekanisme dari asam asetat dalam
menimbulkan rasa nyeri adalah dengan cara membuat luka pada jaringan
yang menstimulus prostaglandin, sehingga menyebabkan sakit. Selain itu,
asam asetat yang bersifat asam dan darah yang bersifat nertral agak sedikit
basa juga akan menyebabkan asidosis. Dosis untuk menginduksi nyeri dapat
diberikan 12 mg/grBB. (Kusuma, 2015).
Anonim, 2015. Paracetamol. https://www.drugs.com/paracetamol.html
diakses 11 Mei 2017

5
Anonim, 2015. Aspirin. https://www.drugs.com/dosage/aspirin.html
diakses, 11 Mei 2017.
Kusuma, Asri Astuti. 2015. Makalah Analgetika. Jakarta: Uniersitas Yarsi.

III. Metodologi Percobaan


3.1. Alat
1. Beaker glass 600 cc
2. Sonde
3. Stopwatch
4. Spuit (0,1-1 ml) dan needle steril
3.2. Bahan
1. Larutan tilosa dalam air
2. Suspense asetosal
3. Suspense paracetamol
4. Asam asetat
5. Mencit betina
3.3. Cara Kerja

Mencit perlakuan ditimbang dan diberi suspensi asetosal sebanyak 32 gr


secara oral

Setelah 5 menit diberikan asam asetat sebanyak 0,45 ml secara intra


peritonial

Kumulatif geliat dihitung dalam kurun waktu 5 menit selama 60 menit

Persen analgetika dihitung dan bandingkan dengan kontrol

IV. Hasil Pengamatan


Berat mencit betina = 38,5 gram
Perhitungan Dosis = 300 mg / Kg BB
= 300 mg x 38,5 x 10-3 kg
= 11,55 mg

6
Asetosal yang dibutuhkan = (11,55/ 80) x 221,4 mg
= 31,82 mg
= 32 mg

Bobot Mencit Dosis Yang Diberikan Nama Zat

38,5 mg 32 mg Asetosal
38 mg 12,2 mg Paracetamol
- - Tilosa

4.1. Tabel Pengamatan Mencit Kontrol


Menit ke - Jumlah geliat Kumulatif
5 8 8
10 6 14
15 13 27
20 10 37
25 3 40
30 2 42
35 7 49
40 5 54
45 14 68
50 16 84

4.2. Tabel Pengamatan Mencit Perlakuan Asetosal


Menit ke - Jumlah geliat Kumulatif
5 8 8
10 17 25
15 18 43
20 14 57
25 19 76
30 10 86
35 8 94
40 11 105
45 5 110
50 7 117
55 3 120
60 2 122

7
4.3. Tabel Pengamatan Mencit Perlakuan Paracetamol
Menit ke - Jumlah geliat Kumnulatif
5 3 3
10 14 17
15 23 40
20 14 54
25 12 66
30 11 77
35 11 88
40 9 97
45 9 106
50 7 113
55 7 120
60 5 125

4.4. Perhitungan
1. Persen Analgetika Acetosal
100
Persen asetosal = 100 -
117 100
= 100 - 84

= 39 %

2. Persen Analgetika Paracetamol


100
Persen paracetamol = 100 -
113 100
= 100 -
84

= 34

8
4.5. Grafik
Grafik Banyaknya Geliat Kumulatif terhadap Waktu
25

20

15 Paracetamol

10 Asetosal
Kontrol
5

0
5" 10" 15" 20" 25" 30" 35" 40" 45" 50"

V. Pembahasan
Praktikum Farmakologi dengan acara Analgetika dilaksanakan pada hari Jumat, 28
April 2017 di Laboratorium Basah, Gedung E Lantai 5, FK Undip. Praktikum ini bertujuan
untuk mempelajari daya analgetika obat dengan metode radang buatan dan rangsangan
kimia. Obat yang digunakan adalah Asetosal dan Paracetamol. Asetosal dan Paracetamol
merupakan obat analgetik golongan nonopioid.
Praktikum diawali dengan menimbang tiga bobot mencit betina untuk kemudian
dihitung dosis obat asetosal, dosis paracetamol, dan dosis larutan asam asetatnya. Satu dari
tiga mencit yang ada dijadikan control dan diberi tilosa oral 1%. Rumus menghitung dosis
yang digunakan adalah 300mg/kgBB.
Dari hasil perhitungan didapat dosis asetosal untuk mencit betina berbobot 38,5 gram
adalah 32 mg dan dosis asam asetat untuk mencit betina yang sama adalah 0,45 ml.
Sedangkan dosis paracetamol untuk mencit betina berbobot 38 gram adalah 12,2 mg dan
untuk dosis asam asetatnya adalah 0,456 ml. Mencit yang digunakan adalah mencit
berjenis kelamin betina karena lebih peka terhadap rangsangan.

9
Setelah diperoleh dosis tersebut, asetosal dan paracetamol yang sudah ditimbang
akan dilarutkan dalam air sampai volumenya 1 ml. Setelah homogen, larutan tersebut akan
dimasukkan kedalam sonde dan diberikan secara oral ke masing-masing mencit. Setelah 5
menit, masing-masing mencit diberikan asam asetat sebanyak dosis yang sudah dihitung
secara intra peritoneal. Lalu diamati dan dihitung geliat yang ditunjukkan setiap 5 menit
selama 50 menit. Seharusnya pengamatan dilakukan selama 60 menit, tetapi karena
terbatasnya waktu maka menjadi 50 menit.
Mencit pertama yang diberikan asetosal mengalami geliat sebanyak tiga kali di 5
menit pertama. Lalu di 5 menit kedua mengalami geliat sebanyak 14 kali. Selanjutnya, di 5
menit ketiga mengalami geliat sebanyak 23 kali, 5 menit keempat sebanyak 14 kali, 5
menit kelima sebanyak 12 kali, 5 menit keenam sebanyak 11 kali, 5 menit ketujuh
sebanyak 11 kali, 5 menit kedelapan sebanyak 9 kali, 5 menit kesembilan sebanyak 9 kali,
dan 5 menit ke sepuluh sebanyak 7 kali.
Sedangkan mencit kedua yang diberikan paracetamol mengalami geliat sebanyak 8
kali di 5 menit pertama. Lalu di 5 menit kedua mengalami geliat sebanyak 17 kali.
Selanjutnya, di 5 menit ketiga mengalami geliat sebanyak 18 kali, 5 menit keempat
sebanyak 14 kali, 5 menit kelima sebanyak 19 kali, 5 menit keenam sebanyak 10 kali, 5
menit ketujuh sebanyak 8 kali, 5 menit kedelapan sebanyak 11 kali, 5 menit kesembilan
sebanyak 5 kali, dan 5 menit kesepuluh sebanyak 7 kali.
Lalu mencit ketiga yang diberikan tilosa oral 1% atau sebagai kontrol mengalami
geliat sebanyak 8 kali di 5 menit pertama. Lalu di 5 menit kedua mengalami geliat
sebanyak 6 kali. Selanjutnya, di 5 menit ketiga mengalami geliat sebanyak 13 kali, 5 menit
keempat sebanyak 10 kali, 5 menit kelima sebanyak 3 kali, 5 menit keenam sebanyak 2
kali, 5 menit ketujuh sebanyak 7 kali, 5 menit kedelapan sebanyak 5 kali, 5 menit
kesembilan sebanyak 14 kali, dan 5 menit kesepuluh sebanyak 16 kali.
Hasil pengamatan yang tergambar menunjukan bahwa jumlah geliat terbanyak
adalah yang ditunjukkan oleh mencit betina yang diberi asetosal yaitu setelah dihitung
secara kumulatif sebanyak 125 geliat selama 50 menit, yang kedua yaitu mencit betina
yang diberi paracetamol dengan geliat sebanyak 122 selama 50 menit. Terakhir adalah
mencit betina control yang diberi tilosa yaitu sebanyak 64 geliat selama 50 menit.

10
Menurut Schror (2009), aspirin atau asam asetil salisilat (asetosal) adalah sejenis obat
turunan dari salisilat yang sering digunakan sebagai senyawa analgesik (penahan rasa sakit
atau nyeri minor), antipiretik (penurun demam), dan anti-inflamasi (peradangan). Aspirin
juga memiliki efek antikoagulan dan dapat digunakan dalam dosis rendah dalam tempo
lama untuk mencegah serangan jantung.
Menutur Macintyre dkk (2010), paracetamol atau asetaminofen adalah obat analgesik
dan antipiretik yang populer dan digunakan untuk melegakan sakit kepala, sengal-sengal,
sakit ringan, dan demam. Paracetamol digunakan dalam sebagian besar resep obat
analgesik selesma dan flu.
Hasil pengamatan yang dilakukan sesuai dengan teori yang kami dapatkan
bahwasanya Paracetamol dan Asetosal memang merupakan obat analgesic yang berkhasiat
untuk penahan rasa nyeri.
VI. Penutup
.1. Kesimpulan
Analgetika merupakan suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk
mengurangi rasa sakit atau nyeri diakibatkan oleh berbagai rangsangan pada tubuh
misalnya rangsangan mekanis, kimiawi dan fisis.
Atas dasar kerja farmakologinya, analgetika dibagi dalam dua kelompok yaitu
analgetik sentral (narkotik) dan analgetik perifer (non-narkotik).
Rangsangan nyeri yang diberika kepada mencit berupa rangsangan nyeri kimiawi
menggunakan Asam Asetat.
Besarnya persentasi analgetik Paracetamol terhadap mencit adalah 39%.
Besarnya persentasi analgetik Asetosal terhadap mencit adalah 34%.
.2. Saran
Praktikan harus lebih memahami lagi makna geliat nyeri karena geliat nyeri
terlihat sangat subjektif dan apabila terjadi kesalahan pemahaman maka data
pengamatan menjadi tidak akurat

11
VII. Daftar Pustaka
Collins, S.L, et.al. 2000. Antidepressants and Anticonvulsants. PharmWkbl.
Ganong, William F, 2003. Fisiologi Saraf & Sel Otot. Dalam H. M. Djauhari
Gilang. 2010. Analgesik non-opioid atau NSAID/OAINS.
Gunawan, Aris. 2009. Perbandingan Efek Analgesik antara Parasetamol dengan
Kombinasi Parasetamol dan Kafein pada Mencit. Jurnal Biomedika, Volume 1,
Nomor 1.
Macintyre, PE; Schug, SA; Scott, DA; Visser, EJ; Walker, SM. 2010. Acute Pain
Management: Scientific Evidence Melbourne, Australia: National Health and
Medical Research Council.
Schror K. 2009. Acetylsalicylic Acid. Darmstadt: Wiley-Blackwell.
Tan Hoan, dan Kirana Rahardja. 1964. Obat-Obat Penting Edisi Kelima. Jakarta: PT.
Gramedia.
Tjay dan K .Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting . Jakarta; PT Elex Media Komputindo.

12
VIII. Lampiran
No Foto Keterangan
1 Pemberian asetosal secara per oral

2 Pemberian asam asetat secara injeksi


di intra peritoneal

13

Anda mungkin juga menyukai