Anda di halaman 1dari 5

Inilah Sejarah Awal Permusuhan Barcelona dan Real Madrid

Dibaca Kali Monday, October 28, 2013 18:43 WIB

JOIN

PERMUSUHAN antara Barcelona dan Real Madrid bermula pada masa Franco. Siapa Franco? Dia adalah
seorang Jenderal yang menjadi penguasa diktator di Spanyol pada tahun 1930-an. Barcelona, sampai
sekarang, adalah ibukota dari Provinsi Catalonia (Catalunya), yang sebagian besar penduduknya adalah
dari suku bangsa Catalan dan Basque.

Bagi rakyat Catalan, ada istilah semacam El Barca Es Mas Que Un Club (Barca bukan hanya sekedar
klub), namun lebih dari itu. Barcelona merupakan cerminan dari dendam pemberontakan dan
perjuangan social-politik kaum tertindas, terpinggirkan, terjajah di sebuah wilayah kekuasaan yang
bernama kerajaan Spanyol.

Gambaran perlawanan yang paling jelas adalah kalimat Catalonia is Not Spain yang selalu menghiasi
spanduk fans Barcelona ketika kesebelasan kesayangan mereka bertanding-hadapan melawan Real
Madrid, yang sudah sejak tahun 1930-an, pada zaman Jenderal Franco yang kejam, merupakan klub
favorit pemerintah Spanyol.

Jenderal Franco melarang penggunaan bendera dan bahasa daerah Catalan. FC Barcelona kemudian
menjadi satu-satunya tempat dimana sekumpulan besar orang dapat berkumpul dan berbicara dalam
bahasa daerah mereka. Oleh sebabnya, setiap laga El-Clasico pendukung Barca terlihat kerap membawa
bendera Catalonia (biru, kuning dan merah-marun) sebagai bendera mereka, bukan bendera nasional
Spanyol pada umumnya.

Pada tahun 1936, Jenderal Franco kemudian bertindak lebih jauh. Josep Suol, Presiden Barcelona waktu
itu, dibunuh oleh pihak militer dan sebuah bom dijatuhkan di FC Barcelona Social Club pada tahun 1938.
Di lapangan sepakbola, titik nadir permusuhan ini terjadi pada tahun 1941 ketika para pemain Barcelona
diinstruksikan (dibawah ancaman militer) untuk kalah dari Real Madrid.

Barcelona kalah dan gawang mereka kemasukan 11 gol dari Real Madrid. Sebagai bentuk protes,
Barcelona bermain serius dalam 1 serangan dan mencetak 1 gol. Skor akhir 11-1, dan 1 gol itu membuat
Franco kesal. Kiper Barcelona kemudian dijatuhi tuduhan apengaturan pertandingan dan dilarang
untuk bermain sepakbola lagi seumur hidupnya.

Sejak saat itu FC Barcelona menjadi semacam klub Anti-Franco dan menjadi simbol perlawanan Catalonia
terhadap Franco, dan secara umum, terhadap Spanyol. Ada juga klub-klub lain di Catalonia seperti
Athletic Bilbao dan Espanyol. Athletic Bilbao sampai saat ini tetap pada idealismenya untuk hanya
merekrut pemain-pemain asli Basque, tetapi dari segi prestasi tidak sementereng Barcelona.

Demikian juga dengan Espanyol. Sementara yang dijadikan simbol musuh, tentu saja, adalah klub
kesayangan Franco yang bermarkas di ibukota Spanyol, FC Real Madrid. Sebagai sebuah simbol
perlawanan, kultur dan karakter Barcelona kemudian terbentuk dengan sendirinya. Siapapun pelatihnya,
dan gaya apapun yang dipakai, karakternya hanya satu: Menyerang!.

Sebagai penyerang, Barcelona bermaksud untuk mendobrak dominasi Real Madrid (dan bagi orang
Catalonia, mendobrak dominasi Spanyol). Untuk itulah Barcelona pantang bermain bertahan, karena itu
adalah simbol ketakutan. Kalah atau menang adalah hal biasa. Tapi keberanian memegang karakter,
itulah yang menjadi simbol perlawanan.

Pada tahun 50-an dan 60-an, Barca memang tertutup oleh kejayaan Real Madrid yang waktu itu
diperkuat Ferenc Puskas, Di Stefano, dsb. Sebagai anak emas Franco sejak tahun 1930-an, Real Madrid
memang selalu memiliki sumber dana besar untuk belanja pemain. Barcelona sendiri, pada 2 dasawarsa
tersebut hanya bisa memenangi 4 kali liga spanyol, 2 kali piala raja, dan satu kali piala Inter City Honest
(yang kemudian menjadi UEFA Cup).

Pada tahun 1973, seorang pemain Belanda yang kelak menjadi salah satu legenda Barcelona, Johan
Cruyff, bergabung dari Ajax. Dalam pernyataan persnya ketika diperkenalkan, Cruyff menyatakan bahwa
ia lebih memilih Barcelona dibanding Real Madrid karena ia tidak akan mau bermain di sebuah klub yang
diasosiasikan dengan Franco.
Bersama kompatriotnya, Johan Neeskens, mereka langsung membawa Barcelona memenangi gelar liga
spanyol (setelah sebelumnya 14 tahun puasa gelar), dan dalam prosesnya tahun itu sempat
mengalahkan Real Madrid di kandang Madrid sendiri dengan skor 5-0 (!).

Pada tahun itu Johan Cruyff dinobatkan sebagai pesepakbola terbaik Eropa, dan memberi nama anaknya
dengan nama khas Catalan, yaitu Jordi. Statusnya sebagai legenda menjadi abadi. Jordi Cruyff sendiri
pada akhirnya tidak pernah bisa sebesar ayahnya. Karir sepakbolanya lebih banyak dihabiskan di klub-
klub medioker, meski sempat beberapa tahun memperkuat Manchester United.

Selanjutnya, permusuhan itu terus ada, meskipun tidak sesengit pada tahun-tahun awalnya, sampai
sekarang. Bisa dibilang, rivalitas saat ini sudah lebih sportif dan berjalan dengan lebih sehat . Tapi
permusuhan yang sejak dulu telah begitu mengakar menjadikan duel diantara keduanya selalu
menjanjikan sesuatu yang spesial.

Inilah mengapa duel antara Barcelona dengan Real Madrid yang terjadi setidaknya 2 kali setiap tahunnya
(di liga Spanyol) disebut dengan el classico, karena memang menyajikan satu duel klasik dengan sejarah
panjang terbentang dibelakangnya.

Meski berulang setiap tahun, akan tetapi saking monumentalnya duel ini membuat Johan Cruyff dan
Bobby Robson ketika menjadi pelatih Barcelona pada era akhir 1980-an sampai akhir 1990-an sampai
mengibaratkan el classico sebagai sebuah perang , bukan sekedar pertandingan sepak bola.

Baik pelatih Real Madrid maupun pelatih Barcelona ketika menghadapi el classico akan merasa seperti
membawa sepasukan 'serdadu' perang, bukan sebuah 'kesebelasan' sepak bola, karena begitu besarnya
kehormatan yang dipertaruhkan.

Demikian juga pertaruhan bagi pelatih, karena ketika dia diangkat sebagai pelatih seolah sudah ada
beban yang diberikan oleh klub: "Anda boleh kalah dari siapa saja di liga ini, tapi jangan sampai kalah
dari Real Madrid...,"
Meski begitu di dalam lapangan, peperangan ini sepanjang sejarahnya selalu berlangsung dalam
sportifitas yang tinggi, karena sportifitas pun merupakan satu bentuk kehormatan yang harus dijaga. Ini
soal nama baik.

Transfer pemain adalah salah satu bentuk perang di luar lapangan. Dalam hal ini, perpindahan pemain
dari Barcelona ke Real Madrid (maupun sebaliknya) akan dianggap sebagai sebuah bentuk
pengkhianatans Figo mungkin adalah salah seorang yang paling mengerti mengenai hal ini.

Direkrut oleh Barcelona pada tahun 1996, pemain Portugal yang kala itu bukan siapa-siapaa tersebut
kemudian menemui masa-masa jayanya. Barcelona memberinya peranan signifikan sebagai sayap kanan
tim, dan bersama Rivaldo membawa Barcelona berjaya pada akhir tahun 1990an.

Akan tetapi, pada tahun 2001, dunia tersentak ketika Figo menerima tawaran Real Madrid dengan iming-
iming gaji dua kali lipat dan nilai transfer yang ketika itu menjadi rekor pembelian termahal seorang
pemain sepak bola.

Nilai itu melebihi batas klausul transfer Figo, sehingga Barcelona harus menerima tawaran tersebut
berdasarkan aturan Bosman. Meski begitu, transfer itu tetap tidak akan terjadi seandainya Figo secara
pribadi tidak menerima tawaran Real Madrid. Toh akhirnya Figo berkhianat.

Dalam duel el classico tahun berikutnya, ketika pertandingan dilangsungkan di Nou Camp (kandang
Barcelona), Figo menerima sambutan monumental yang mungkin tidak akan dilupakannya seumur
hidup.

Seorang pendukung Barcelona di tengah-tengah pertandingan berhasil menerobos pagar petugas


keamanan, sambil memakai bendera Barcelona sebagai jubah, kemudian berlari ke arah Figo membawa
sebuah hadiah istimewa, yakni: Sebuah kepala babi, lengkap dengan darah masih menetes dari lehernya.
Ia kemudian melemparkan bendera Barcelona dan kepala babi itu ke arah Figo.
Figo sendiri hanya terdiam menunduk beberapa saat, lalu berjalan menjauh. Entah apa yang ada dalam
pikirannya saat itu, karena ia tahu kepala babi itu adalah simbol keserakahan dan pengkhianatan.

Dalam hal prestasi, Real Madrid memang masih di atas Barcelona. Jarak prestasi itu terjadi terutama
pada tahun 1950-1970an, ketika Real Madrid menjadi anak emas Franco dan memiliki kekuatan finansial
jauh diatas Barcelona untuk membeli bintang-bintang sepakbola nan bersinar dari seluruh dunia dan
tradisi itu masih berlanjut hingga sekarang.

(El Classico)

Anda mungkin juga menyukai